EFUSI PLEURA
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. PENGERTIAN
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses
penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain.
Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau
dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang
pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas
yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C
Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga
pleura. (Price C Sylvia, 1995)
Kesimpulan, efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleura,
efusi dapat berupa cairan jernih, yang terletak diantara permukaan visceral dan
pariental, yang merupakan penyakit primer yang jarang terjadi.
2. EPIDEMIOLOGI
Efusi puera merupakan penyakit sistem respirasi, yaitu terjadi penumpukan
cairan di dalam ruang pleural, yang berupa cairan bening, yang terletak diantara
permukanan visceral dan parietal, penyakit ini merupakan penyakit primer yang
jarang terjadi.
Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, salah
satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila
di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif,
keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta
org/th. Di Indonesia TB Paru adalah peyebab utama efusi pleura, disusul oleh
keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan
karena TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas dan morbiditas efusi pleura
ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan dan jenis biochemical dalam
cairan pleura.
3. ETIOLOGI
Penyebab efusi pluera :
Infeksi tuberculosis
Infeksi nontuberculosis
Keganasan
Trauma
jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena
sirosis kepatis), syndroma vena cava superior, tumor, sindroma meig.
2) Efusi Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia, tumor, infark paru,
radiasi, penyakit kolagen. Kanker, tuberkulosis
lainnya, reaksi obat, asbetosis
beberapa contoh penyakit
yang
bisa menyebabkan
Pneumonia
Blastomikosis
Koksidioidomikosis
Tuberkulosis
Histoplasmosis
Kriptokokosis
Abses dibawah diafragma
Artritis rematoid
infark paru,
Pankreatitis
Emboli paru
Tumor
Lupus eritematosus sistemik
Pembedahan jantung
Cedera
di
dada
baik.
Ada berbagai keganasan yang dapat menimbulkan efusi pleura, namun pada
umumnya disebabkan oleh metastasis tumor ganas dari bagian tubuh yang lain;
karena keganasan primer pleura sendiri, yaitu mesotelioma pleura sangat jarang
ditemukan. Keganasan yang paling sering mengakibatkan efusi pleura adalah
karsinoma paru, baik berupa karsinoma epidermoid, karsinoma sel kecil,
adenokarsinoma, maupun karsinoma sel besar. Jenis kanker paru yang paling banyak
menimbulkan efusi pleura adalah adenokarsinoma, karena keganasan ini biasanya
terletak di daerah perifer paru. Limfoma dan keganasan lain pada kelenjar limfe di
daerah hilus pare dan mediastinum juga dapat menyebabkan efusi pleura.
Berdasarkan sumber lain, penyebab efusi pleura yaitu:
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti
pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig
(tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,
virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura,
karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia
80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik,
tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari
empat mekanisme dasar :
Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
Penurunan tekanan osmotic koloid darah
Peningkatan tekanan negative intrapleural
Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral.
Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya. Akan tetapi efusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit
berikut: Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus
eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.
Berdasarkan jenis cairannya dibedakan menjadi:
a.
Hemotoraks (darah di dalam rongga pleura) biasanya terjadi karena
cedera
di
dada.
Penyebab lainnya adalah:
pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke
dalam rongga pleura
kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
gangguan pembekuan darah. Darah di dalam rongga pleura tidak membeku
secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah
jarum atau selang.
b.
Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa terjadi jika
pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura.
Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
Pecahnya kerongkongan
Abses di perut.
c.
Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan
oleh suatu cedera pada saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus)
atau oleh penyumbatan saluran karena adanya tumor.
5. PATOFISIOLOGI
Cairan di rongga pleura jumlahnya tetap karena adanya keseimbangan antara
produksi oleh pleura parietalis dan absorbsi oleh pleura viseralis. Keadaan ini dapat
dipertahankan karena adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatis pleura
parietalis sebesar 9 cm HO dan tekanan koloid osmotik pleura viseralis 10 cm HO.
Cairan pleura terakumulasi ketika pembentukan cairan pleura lebih besar dari absorbsi
cairan pleura
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi
seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh
kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya
tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura
viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe
sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, hal ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia
Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian
atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena
cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronki.
Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
7. KOMPLIKASI
Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum)
Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari
alveoli masuk ke vena pulmonalis)
Laserasi pleura viseralis
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium :
Rontgen dada : Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan
untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.
CT scan dada: CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor
USG dada: USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang
jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
Torakosentesis : Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis
(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke
dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
Biopsi:Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka
dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.Biopsi pleura perlu dipikirkan
setelah hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat
ditegakkan dengan biopsi pleura tertutup pada 3060% penderita. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa biopsi yang dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat
meningkatkan diagnosis sebesar 24%. Biopsi pleura dapat dilakukan dengan jarum.
Analisa cairan pleura : Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi
lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling
sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga
pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya
sudut costophreicus yang tidak tajam.
Bronkoskopi : Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber
cairan yang terkumpul.
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan
pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan
cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
1. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase,
pH, dan glucose
2. Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan
terjadi infeksi bakteri
3. Pemeriksaan hitung sel
4. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis
efusi pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada
foto toraks terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar,
dan sudut kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan
memberikan gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah
kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan teknik
biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila cairan efusi lebih dari 300
ml. Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA), maka dapat dibuat
foto pada posisi dekubitus lateral.
9. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta
dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung
kongestif, pneumonia, sirosis).
Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen
guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari
tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan
elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan
pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase
water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan
paru.
Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam
ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan
lebih lanjut.
Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada,
bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
10. PATHWAY
d.
e.
f.
g.
7)
8)
9)
10)
Pemeriksaan fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku
pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat
kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan
berat badan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga
mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan
mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea
dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya > 250
cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya
tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa
garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi
duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian
depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan
makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian
paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis
kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i e artinya
bila penderita diminta mengucapkan kata-kata i maka akan terdengar suara e
sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus, Widjaya Adjis, Mukty
Abdol, 1994,79)
i.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan medis dan laboratorium
1. Pemeriksaan Radiologi
Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak
bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan
kostofrenikus. Pada effusi pleura sub pulmonal, meski cairan pleura lebih dari
300 cc, frenicocostalis tampak tumpul, diafragma kelihatan meninggi. Untuk
memastikan dilakukan dengan foto thorax lateral dari sisi yang sakit (lateral
dekubitus) ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura
sedikit (Hood Alsagaff, 1990, 786-787).
2. Biopsi Pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura dengan melalui
biopsi jalur percutaneus. Biopsi ini digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel
ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan
tumor pleura) (Soeparman, 1990, 788).
j.
Pemeriksaan Laboratorium
Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :
a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Transudat
Eksudat
Kadar protein dalam effusi 9/dl
<3
>3
Kadar protein dalam effusi
< 0,5
> 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi (1-U)
< 200
> 200
Kadar LDH dalam effusi
< 0,6
> 0,6
Kadar LDH dalam serum
< 1,016
Negatif
> 1,016
Positif
: jernih, kekuningan
: kuning, kuning-kehijauan
: putih seperti susu
: kental dan keruh
: berbau busuk
: sangat kental dan berdarah
2) DIAGNOSA KEPARAWATAN
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan efusi pleura
antara lain :
Diagnosa keperawatan pre-op
1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan perubahan membran alveolar-kapiler.
3. Nyeri dada berhubungan dengan peradangan pada rongga pleura.
4. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara mendadak
ditandai dengan demam.
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia. akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur
abdomen.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan kelelahan/kelemahan.
7. Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan
sesak nafas serta perubahan suasana lingkungan
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, patofisiologis efusi pleural, aturan
pengobatan sehubungan dengan kurang terpajang informasi.
3) INTERVENSI KEPERAWATAN
Menyusun prioritas :
Diagnosa keperawatan pre-op
1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan perubahan membran alveolar-kapiler.
3. Nyeri dada berhubungan dengan peradangan pada rongga pleura.
4. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara mendadak
ditandai dengan demam.
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia. akibat sesak nafas sekunder terhadap
penekanan struktur abdomen.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan kelelahan/kelemahan.
Diagnosa keperawatan post-op
Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5-40 0C pada
waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan
struktur abdomen.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria Hasil :
Menunjukkan peningkatan berat badan.
Intervensi :
a. Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional:
Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan,
dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
b. Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
Rasional :
Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan disfragma, dan dapat meningkatkan dispnea.
c. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
d. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya,
kebiasaannya, agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi
bagi tubuh.
e. Auskultasi suara bising usus.
Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya
gangguan pada fungsi pencernaan.
f. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak
adanya dipsnea dan kelemahan berlebihan
Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi :
a. Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. Catat laporan dipsnea, peningkatan
kelemahan/ kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
Rasional :
Menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
b. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi. Dorong pengguanaa manajemen stress dan pengalih yang tepat.
Rasional :
Menentukan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
c. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional :
Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolic, menghemat energy untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respon individual pasien terhadap aktivitas dan perbaikan
kegagalan pernafasan.
d. Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istiraha dan/ tidur.
Rasional :
Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau menunduk ke
depan meja dan bantal.
e. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan
aktivitas selama fase penyembuhan.
Rasional :
Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan
oksigen.
Post-op
1. Nyeri berhubungan dengan faktor-fakor fisik (pemasangan water seat drainase
(WSD)
Tujuan :
Setelah diberi askep 3 x 24 jam diharapkan nyeri hilang .
Kriteria hasil :
Pasien mengatakan nyeri berkurang , hilang, atau dapat dikontrol serta tampak rileks
dan tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi :
a. Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri, misalnya terusmenerus,sakit, menusuk, terbakar. Buat rentang ibtensitas pada skala 0-10.
Rasional :
Membantu dalam evaluasi gejala nyeri. Penggunan skala nyeri dapat membantu
pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan alat untuk evaluasi
keefektifan analdesik, meningkatkan control nyeri.
b. Kaji pernyataan verbal dan nonverbal nyeri pasien.
Rasional:
Kesesuaian antara petunjuk verbal/nonverbal dapat memberikan petunjuk
derajat nyeri.
c. Evaluasi keefektifan pemberian obat. Dorong pemakaian obat dengan benar
untuk mengontrol nyeri;ganti obat atau waktu sesuai ketepatan.
Rasional :
Persepsi nyeri dan hilangnya nyeri adalah subjektif dan pengontrolan nyeri
yang terbaik merupakan keleluasaan pasien. Boila pasien tidak mampu
memberi masukan, perawat harus mengobservasi tanda fisiologis dan
psikologis nyeri dan memberilan obat berdasarkan aturan.
Kriteria hasil :
Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan
keadaannya.
Intervensi :
a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasienJelaskan mengenai
penyakit dan diagnosanya.
Rasional : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat
diajak kerjasama dalam perawatan.
b. Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktifsangat
bermanfaat dalam mengatasi stress.
c. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.
Rasional : Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
d. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasional : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang
dihadapi klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
e. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
1997.