Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

GANGGUAN SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)

A. DEFINISI
1. Sistemik Eritematosis Lupus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik
dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. (Sylvia. 1995: 1231)
2. Sistemik Lupus Eritematosis (SLE) adalah suatu penyakit peradangan kronik
dimana terbentuk antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang
berlainan. (Corwin. 2000: 76)
3. Sistemik Lupus Eritematosis (SLE) merupakan prototipe kelainan autoimun
sistemik yang ditandai oleh sejumlah autoantibodi, khususnya antibodi
antinukleus (ANA). (Robbins & Cotran. 2008: 146)
4. SLE adalah penyakit autoimun multisistem dengan manifestasi dan sifat yang
sangat berubah-ubah, atau merupakan suatu penyakit kekambuhan, dan sulit
diperkirakan dengan awal manifestasi yang akut atau tersamar yang sebenarnya
dapat menyerang setiap organ tubuh namun penyakit ini terutama menyerang
kulit, ginjal, membran mukosa, sendi, dan jantung. (Robbins. 2007: 144)
5. SLE merupakan penyakit dimana tubuh melakukan reaksi yang berlebihan
terhadap stimulus asing dan memproduksi banyak antibodi, atau protein-protein
yang melawan jaringan tubuh. (Daniel. 2007: 7)

Kesimpulan:
SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan suatu penyakit autoimun,
dimana tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing (antigen)
dan memproduksi banyak antibodi.

B. ETIOLOGI
SLE ditimbulkan oleh berbagai faktor, hal ini dimulai ketika gen-gen tertentu
yang menyebabkan lupus berinteraksi dengan stimulus lingkungan. Interaksi tersebut
menghasilkan respons kekebalan sehingga memproduksi autoantibodi (antibodi untuk
tubuh sendiri) dan membentuk imun komplek (antigen yang menyatu dengan
antibodi). Autoantibodi dan imun komplek tertentu bisa menyebabkan kerusakan
jaringan sel.
1. Faktor Genetik
Beberapa jenis gen memperbesar risiko lupus dengan meningkatkan
kemampuan tubuh untuk memproduksi lebih banyak antibodi. Gen-gen tersebut
adalah gen HLA (Human Leukocyte Antigen) tingkat II (ada gen tingkat I, II,
dan III), yang memunculkan zat-zat luar disebut antigen. Untuk sel darah putih,
yang merupakan pusat sistem kekebalan tubuh. Kerusakan gen HLA tingkat II
mengakibatkan kekurangan komplemen (protein penting yang berperan dalam
peradangan), yang pada umumnya ditemukan pada SLE.

2. Faktor-Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, penggunaan obat-obatan
tertentu, dan beberapa zat kimia bisa meningkatkan risiko lupus. Faktor-faktor
tersebut bertindak seperti antigen yang bereaksi terhadap tubuh atau
memasukkan antigen baru ke sistem kekebalan. Berbagai virus dan mikroba
juga mengubah DNA ataupun RNA (struktur penting dalam kromosom) dan
membuatnya melakukan respons jika mereka adalah antigen.
Sinar matahari dapat merangsang peningkatan hormon estrogen (pada
wanita) yang diperbanyak sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimun.
Secara tidak langsung menimbulkan peradangan sehingga meningkatkan
produksi autoantibodi kemudian menghambat fungsi sel pembunuh alami.

3. Kelainan pada Limfosit B


Limfosit terbagi menjadi sel B dan sel T. Sel B merupakan respon ”cairan”
tubuh; tugasnya adalah memproduksi immunoglobulin yang memusnahkan zat-
zat luar dan melindungi tubuh. Pada pasien lupus antibodi limfosit B terlalu
banyak bekerja. itulah sebabnya, ia secara tidak normal memproduksi banyak
sekali immunoglobulin dan autoantibodi. Pengaturan proses tersebut menjadi
keliru ketika imun komplek tertumpuk dalam jaringan sel dan menimbulkan
peradangan. Autoantibodi yang mengarah ke bagian-bagian tertentu dari sel,
seperti anti-DNA, antikardiolipin, atau anti-RO (SSA), mampu merusak jaringan
sel secara langsung. Toleransi sel B hilang melalui permusuhan yang gagal di
dalam limfa, kelenjar getah bening, tulang sumsum melalui pemindahan pasif
yang mengakibatkan rusaknya mekanisme pengawasan tubuh. Semua itu hilang,
dimusnahkan, ditekan atau diabaikan yang menyebabkan sel-sel yang reaktif
secara otomatis menerobos dan pada akhirnya terbentuklah autoantibodi.

Macam-macam antibodi:
a. Antinuclear Antibody (ANA)
ANA (antibodi untuk inti sel) menjadi autoantibodi yang paling umum pada
SLE. Tes ANA dianalisis menurut jumlah antibodi yang muncul dan tanda yang
terlihat dalam sel dikenali oleh antibodi dalam sempel.
b. Deoxyribonucleic Acid (DNA)
DNA adalah molekul yang ada didalam pusat pengendalian sel kita dan ia
bertanggung jawab terhadap produksi protein dalam tubuh kita. Munculnya
beberapa antibodi pada dua rantai DNA (double-stranded DNA) mungkin
menandakan SLE yang serius, antibodi tersebut jika benar-benar positif, bisa
merusak jaringan sel secara langsung.
c.Ribonuclear Protein (anti-RNP)
Anti-RNP mengganggu, karena kemampuan RNA untuk mengikat di dalam
sitoplasma (bagian di luar inti sel, jika sel diumpamakan sebuah telur maka
sitoplasma adalah putih telurnya).
d. Anti-Sm
Sm antigen sangat spesifik, dalam lupus (terlihat 20-30 % pasien SLE) dan
jarang ditemui pada penyakit lain. Antibody tersebut mengganggu karena
kemampuannya mengubah RNA dari DNA.
e.Antibody Antiphospholipid
Bereaksi terhadap phospholipid, yang merupakan komponen membran sel.
Antibodi phospholipid muncul pada 1/3 pengidap SLE dan jarang ditemukan
pada penyakit autoimun lain. Antibodi antiphospolipid bisa menyebabkan
penggumpalan darah yang terjadi di bagian tubuh manapun, khususnya pada
pembuluh arteri atau vena.
Dalam darah kita, antibodi pada pletelet maupun pada sel darah merah bisa
dikaitkan dengan antibodi antiphospolipid. Pletelet merupakan unsur dalam
darah yang penting untuk penggumpalan darah. Peningkatan jumlah platelet
manandakan adanya peradangan akut yang dialami oleh sebagian kecil pasien
lupus. Jumlah platelet yang normal adalah antara 150.000 sampai 400.000 per
milimeter kubik. Pada pasien SLE jumlah platelet turun hingga kurang dari
50.000 per milimeter kubik.
f. Anti-RO (SSA)
Muncul pada sebagian pasien pengidap SLE ± 20-30%. Anti-RO bisa
mengikatkan sensitifitas terhadap sinar matahari bagi pembawanya dan terlihat
pada hampir semua pasien yang mengidap kelainan kulit.
g. Anti-La (SSB)
Berfungsi sebagai halte disepanjang jalan sementara RNA transkip
membawa dari nukleus ke sitoplasma (khusus untuk penyakit ginjal).
h. Antibody Antiribosomal P
Ditemukan pada 20% pasien SLE, hanya ditemukan di sitoplasma.
i. Antibody Antieritrosit
Mengarah ke sel darah merah. Seorang dari 10% lupus menghasilkan
autoimun hemolitik anemia, atau kerusakan sel darah merah akibat antibodi
antieritrosit.
j. Antibody Antineutrophil
Menunjukkan adanya salah satu dari dua jenis pembengkakan pada PD dan
microscopic polyangitis, juga positif pada 20% pengidap SLE.
k. Antibody Antilimfosit
Merupakan antibodi yang alami, jumlahnya yang banyak menunjukkan
tingkat kehebatan penyakit.
l. Antibody Antitrombosit
Terlihat pada ±15% pasien lupus dan mengakibatkan trombocitopenia.
m. Antibody Antineuronal
Bergerak ke membran sel saraf/neuron terbentuk seperti rangkaian kabel
listrik dan bertanggung jawab untuk mengirim dan menyebarkan respon saraf ke
seluruh tubuh.

4. Kelainan pada Limfosit T


Beberapa jenis sel T memiliki fungsi yang bermacam-macam, mereka
menekan respon kekebalan (sel penekan), meningkatkan respon kekebalan (sel
pembantu), memusnahkan sel (natural killer cell), atau meningkatkan zat-zat
kimia (misalnya sitokin) yang mengatur atau memerintahkan sel-sel kekebalan
lain untuk bertindak. Pada SLE kelamaan yang terlihat antara lain yaitu
peningkatan fungsi pembantu, penurunan fungsi penekan, dan perubahan pada
limfosit yang meningkatkan pembentukan autoantibodi, dan peningkatan
respons sel B. Sel CD8 dan sel NK (natural killer) berhenti meningkatkan
peradangan. Pada lupus, beberapa reseptor dipermukaan sel T berubah struktur
maupun fungsinya, dan penglihatan informasi normal tidak dipahami. Nantinya,
reseptor yang telah berubah dipermukaan sel T disalahartikan perintah dari sel T.
Kemampuan tubuh untuk mengendalikan peradangan terhambat karena sel T
penekan menghasilkan fungsi pembantu sementara sel pembunuh alami
meningkatkan sel B disamping membunuh para penyerbu. Tentu saja, sistem
toleransi tubuh (kemampuan membedakan unsur-unsur dalam dirinya dengan
unsur-unsur luar) berubah. Pada lupus, regulasi sitokin juga berubah.

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang sering muncul pada pentakit Sistemik Lupus Eritematosus adalah:
a. Sakit pada sendi (arthralgia)
b. Demam diatas 38°C
c. Bengkak pada sendi (arthritis)
d. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatique) berkepanjangan
e. Ruam pada kulit
f. Anemia (kurang darah)
Anemia hemolitik pada pasien SLE terjadi karena antibodi langsung
berlawanan dengan sel-sel darah merah, hal ini disebut autoimun hemolitik
anemia. Sel darah merah dihasilkan oleh sumsum tulang, dan dikeluarkan ke
peredaran darah. Ketika sesorang mengali peradangan kronis rangsangan
untuk memproduksi sel darah merah menurun.
g. Gangguan ginjal
h. Sakit di dada jika menghirup napas dalam (pleurisi)
i. Ruam berbentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung
j. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari (fotosensitivitas)
k. Rambut rontok
l. Gangguan abnormal pambekuan darah (clotting)
m. Jari menjadi putih atau biru saat dingin (fenomena rayhaud’s)
n. Sariawan (ulcers) pada rongga mulut dan tenggorokan
o. Selera makan hilang
Kriteria American College of Rheumatologi (ACR) untuk penggolongan
Sistemik Lupus Eritematosus. (Daniel. 2007: 9)
Seseorang dikatakan mengidap SLE jika empat dari sebelas kriteria di bawah
ini muncul sewaktu-waktu:

Kriteria Kulit
1. Butterfly rash (ruam kupu-kupu, ruam pada pipi dan hidung)
2. Discoid rash (ruam tebal, menyerupai cakram yang menggores, biasanya
pada area-area yang terkena ssinar matahari)
3. Sensitif terhadap sinar matahari (ruam setelah terkena sinar ultraviolet A
dan B)
4. Luka mulut (luka kambuhan pada mulut dan hidung)
Kriteria Sistemik
5. Radang sendi (radang di dua tulang persendian dengan rasa sakit,
bengkak, berubah-ubah)
6. Serositis (radang pada garis paru disebut juga pleura atau pada jantung
disebut juga perikardium)
7. Kelainan ginjal (protein pada contoh urin atau endapan tidak normal
dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop)
8. Kelianan saraf (serangan tiba-tiba atau hilang ingatan yang tidak bisa
dijelaskan)
Kriteria Laboratorium
9. Kelainan darah (kurang darah, kekurangan sel darah putih, kekurangan
trombosit)
10. Kelainan sitem kekebalan tubuh (tes darah mengindikasikan
antiphospolipid antibodi, lupus anti-koagulan, anti-DNA, tes positif
sifilis yang keliru, maupun positif anti-Sm)
11. Tes darah ANA positif

D. PATOFISIOLOGI
SLE terjadi karena beberapa faktor yaitu faktor lingkungan, faktor genetik
kelainan sel T, kelainan sel B faktor lingkungan (misalnya; sinar matahari,
penggunaan obat-obat tertentu), faktor-faktor tersebut bertindak seperti antigen yang
bereaksi terhadap tubuh untuk memproduksi antibodi. Faktor lain yang menyebabkan
SLE yaitu faktor genetik. Gen yang dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk
memproduksi lebih banyak autoantibodi yaitu gen HLA (Human Leukocyte Antigen ).
Selanjutnya gen HLA tersebut muncul dipermukaan sel yang dapat memunculkan zat-
zat luar yang disebut antigen. Untuk sel darah putih yang merupakan pusat sistem
kekebalan tubuh sehingga terjadi produksi antibodi.
Sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1 berfungsi mendukung cell-
mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk
memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-
mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya
produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang
dapat membantu meningkatkan sel T.
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel
B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia,
produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel B disebabkan
karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-
bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari
dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells
(APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses
oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang
ada di permukaan.
Dari kelainan sel T dan kelainan sel B menyebabkan sel T beraktivitas secara
berlebihan sehingga memproduksi sitokin. Dari ke empat faktor tersebut akan
menghasilkan autoantibodi. Ciri khas autoantibodi adalah bahwa mereka tidak
spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua
jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas. Melalui 3
mekanisme, pertama kompleks imun (misalnya anti-DNA) terjebak dalam membran
jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Kedua, autoantibodi tersebut mengikat jaringan atau antigen yang terjebak di dalam
jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme
yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan
aktivasi komplemen yang berperan dalam kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berkaitan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel
tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan kerusakan
jaringan. Komplemen merupakan faktor berupa protein yang terdapat dalam serum.
Komplemen yang berperan dalam SLE adalah CD4 dan CD8, CD4 merupakan
sel-sel yang membantu respon kekebalan sedangkan CD8 merupakan sel-sel yang
menekan respon kekebalan.
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan kompleks imun.
Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap
sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ
sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti kulit, sendi, sistem pernapasan, dan
sistem perkemihan. Inflamasi pada kulit terjadi karena sensitivitas sinar matahari,
menyebabkan kantung rambut tersumbat sehingga epidermis menebal, dermis
menipis, pigmentasi menurun, hormon steroid menurun, menyebabkan kelainan pada
pembuluh darah. Untuk reaksi radang inflamasi tulang sendi terjadi kerusakan tulang
sendi dan tulang rawan mengakibatkan bengkak pada sendi dan nyeri sendi.
Pada SLE diproduksi antibodi antiphospolipid yang menimbulkan terjadinya
penggumpalan darah pada sistem pernapasan kemudian mengalami penyumbatan
suplai darah menyebabkan kadar O2 dalam darah menurun sehingga terjadi
hipoksemia yang mengakibatkan terjadinya hipertropi pleura kemudian menyebabkan
Pleuritis (komplikasi) yang ditandai dengan sakit di kepala jika menghirup napas
dalam (pleurisi). Inflamasi pada sistem perkemihan, meningkatkan anti-la (SBB) yang
berfungsi sebagai halte disepanjang jalan sementara RNA transkip membawa dari
nukleus ke sitoplasma (khusus untuk penyakit ginjal) sehingga menyebabkan
produksi protein meningkat kemudian terjadi poliferasi nefritis lalu mengakibatkan
menurunya serum albumin, sehingga ekskresi protein meningkat menyebabkan
gangguan ginjal sehingga terjadi Nefritis.

E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
1. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada pengidap SLE.
2. Perikarditis (peradangan kantung pericardium yang mengelilingi jantung).
3. Perdangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi
pernapasan, sering terjadi bronkitis.
4. Dapat terjadi voskalitis di semua pembuluh otak dan perifer.
5. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan
kepribadian, termasuk psikosis dan depresi, dapat terjadi. Perubahan kepribadian
mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Imunofloresensi Kulit
1) Direct Imunofloresensi Demonstrasi IgG, IgM, C3.
Pemeriksaan untuk menguji kadar total serum komplemen, yaitu kelompok
protein yang terjadi pada reaksi kekebalan. Pemeriksaan dilakukan untuk
menilai kadar spesifik C3 dan C4.
2) LBT (Lupus Band Test)

b. Serologi
1) ANA Positif
Pemeriksaan antinuklear antibodi (ANA), untuk menentukan ada tidaknya
autoantibodi terhadap inti sel di dalam darah.
Catatan:
a) Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan
sistemik lupus, dan ini merupakan pemeriksaan diagnosis terbaik yang
ada saat ini.
b) Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus
tidak ada dalam tubuh seseorang. Meskipun, sangat jarang terjadi
keadaan SLE muncul tanpa ditemukan ANA.
2) Antidouble Strand DNA Antibodies
Pemeriksaan anti-ds-DNA, untuk menentukan apakah pasien memiliki
antibodi terhadap materi genetik di dalam sel.

3) Anti-Sm Antibodies dan r-RNP Antibodies Spesifik


Pemeriksaan anti-Sm antibodi, untuk menentukan ada tidaknya antibodi
terhadap Sm (protein yang dtemukan dalam inti sel).
4) Antikardiolipin Autoantibodi
5) Antibodi Antiphospholipid

c.Hematologi
1. Anemia, limpapemia, trombosipenia.
2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan imun komplek dalam darah.

d. Urinalisa
1. Proteinuria
Pada lupus > 3 gr/hari (proteinuria berat).

H. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


1. Penatalaksanaan Medis
Ada dua tujuan pokok pengobatan yaitu mengurangi peradangan pada jaringan
tubuh yang tertera dan menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.
Ada beberapa kategori obat yang digunakan dalam pengobatan lupus:
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid (steroid) merupakan hormon yang berfungsi mencegah
peradangan (anti inflamatori) dan merupakan pengatur kekebalan tubuh,
bentuknya krim, salep, pil atau disuntikkan. Homon ini dapat mengendalikan
berbagai fungsi metabolisme di dalam tubuh. Kortikosteroid untuk
mengurangi peradangan dan menekan aktivitas berlebihan dari sistem
kekebalan. Penggunaan obat ini tergantung pada kebutuhan pasien, misalnya
pasien dengan gejala demam, radang sendi (atritis), atau radang selaput
dada/paru yang tidak bereaksi terhadap obat-obat non steroid. Umumnya, di
beri obat kortikosteroid oral dengan dosis rendah, seperti prednisone atau
motil prednisolone (prednisolone). Pada pasien tingkat serius diberikan seperti
radang ginjal dengan protein yang sangat banyak pada air seni, amoniak,
jumlah trombosit rendah (trombositopenia) dan kejang-kejang. Pemberian obat
dalam dosis tinggi bisa melalui oral, suntikan atau infus intravena (bolus
terapi). Begitu gejala beraksi terhadap pengobatan ini, dosis berangsur
dikurangi. Contoh obat:
1. Prednison
Indikasi : menekan reaksi radang dan reaksi alergi.
Efek samping : gejala saluran cerna, mual, cegukan, perut kembung,
pankreatitis akut.
Dosis : (oral) dosis awal 10-20 mg/hari, kasus berat sampai 60 mg/hari,
sebaiknya dimakan pagi hari setelah sarapan ; dosis pemeliharaan, 2,5-15
mg/hari ; injeksi IM, prednisolon asetat 25-100 mg sekali atau 2 kali
seminggu.
2. Hidrokortison Butirat
Indikasi : kelainan radang kulit yang hebat seperti eksim tidak
menunjukkan respon pada kortikosteroid yang kurang kuat.
Efek samping : luka kulit akibat bakteri, jamur atau viral yang tak
diobati: cara penggunaan: dioleskan tipis 1-2 x/hari dengan kadar 1%.

b. Non Steroidal Antiinflamatory Drugs (NSAIDS)


Merupakan obat-obatan anti radang dan imunosupresif yang kuat dan
manjur seperti steroid (kortison dan prednisone). Obat-obat anti radang dan
penghilang anti sakit (analgesik) dapat digunakan khususnya bagi kelompok
obat-obatan anti radang non steroid (NSAIDS). Tujuan khususnya adalah
meringankan gejala-gejala, seperti demam ringan, rasa lelah, atritis, dan
radang selaput dada atau paru. Contoh obat:
1. Natrium Diklofenak
Indikasi : nyeri dan radang pada penyakit rematik (termasuk juvenil
artritis) dan gangguan otot skelet lainnya, gout akut, nyeri pasca bedah.
Efek samping : porfiria, supositoria bisa mengakibatkan iritasi rektum.
Dosis : (oral) 75-150 mg/hari dalam 2-3 dosis sebaiknya setelah makan ;
injeksi IM dalam, 75 mg/hari.

c. Antimalaria
Obat antimalaria efektif mengobati atritis (radang sendi, ruam kulit,
dan sariawan di mulut). Serta juga efektif untuk mengobati gejala kulit dan
sendi ini dikarenakan fungsinya yang meredakan sakit di otot, sendi, paru,
radang pada selaput jantung dan gejala lain seperti rasa lelah dan demam
tinggi. Contoh obat:
1. Hidroksiklorofin
Dosis : 3-7 mg/kg/hari sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari).
d. Imunosupresan
Obat ini membantu meredakan aktivitas penyakit pada organ utama,
seperti ginjal. Kedua, mengurangi atau menghilangkan kebutuhan pasien
lupus akan steroid. Contoh obat:
1. Siklofosfamid
Indikasi : digunakan dalam terapi leukimia limfositik kronik, limfoma,
dan tumor solid.
Efek samping : sistitis hemorogika.
Dosis : induksi 40-50 mg/kg ; (oral) 1-5 mg/kg/hari ; injeksi IV, 10-15
mg/kg tiap 7-10 hari.

e. Azathioprinc (Imuran)
Indikasi : digunakan luas untuk pasien yang menjalani transplantasi dan
untuk penyakit autoimun yang tidak dapat dikendalikan dengan
kortikosteroid saja.
Efek samping : reaksi hipersensitifitas (malaise, pusing, mual, demam,
nyeri otot, nyeri sendi, aritmia, hipotensi), rambut rontok.
Dosis : oral 3 mg/kg/hari.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
a.Hindari paparan sinar matahari langsung
Pada kenyataannya 2/3 penderita SLE mempunyai masalah radiasi UVA dan
UVB dari sinar matahari. Oleh karena itu hidari terkena paparan sinar
matahari secara langsung. Bisa menggunakan krim pelindung matahari
(sunscreen). Lakukan berbagai kegiatan pagi hari lebih awal atau melakukan
kegiatan sore hari saat matahari akan tenggelam.
b. Hindari kelelahan terutama kerena olahraga yang berlebihan
Kelelahan merupakan masalah yang sangat sensitif pada penderita. Untuk itu
atasi dengan memberi keseimbangan antara waktu istirahat dengan aktivitas
yang anda lakukan.
c. Hindari pemakaian obat tertentu, konsultasikan terlebih dahulu bila
menggunakan obat baru.
d. Hindari frustasi, apalagi stres. Usahakan melakukan rekreasi untuk mencegah
kejenuhan dan tekanan psikis. Usahakan agar stres jauh dari kehidupan pasien.
Untuk itu, adanya sangat membutuhkan dukungan orang lain agar dapat
mengelola stres dengan baik. Harus diingat bahwa banyak aspek kehidupan
yang berkaitan, seperti hubungan suami-istri, keluarga (bapak, ibu, dan
saudara), teman-teman, sahabat ataupun siapa saja yang dianggap dapat
dipercaya dan mampu memberi semangat untuk sembuh serta membangun
rasa percaya diri.
e. Hindari sakit mata yang disebabkan oleh virus, infeksi mikrobakterium TBC
aktif, dan infeksi radang paru-paru.
f. Hindari penggunaan vaksinasi dari kuman yang dilemahkan, misalnya vaksin
TBC.

I. FOKUS PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Gejala-gejala Pokok, seperti demam, lesu, atau penurunan berat badan
adalah gejala yang dialami pertama kali. Gejala-gejala tersebut menunjukkan
kondisi pasien secara keseluruhan dan apa yang ia rasakan. Diikuti dengan
pemeriksaan sistem organ yang dilakukan dari kepala sampai kaki.
b. Pemeriksaan kepala dan leher, meliputi penyelidikan mengenai katarak,
glaukoma, mata kering, mulut kering, sakit mata, penglihatan ganda,
kehilangan penglihatan, iritasi atau radang mata, infeksi mata, telinga
berdengung, kehilangan pendengaran, sering mengalami infeksi telinga,
mimisan, bau yang tidak normal, sering mengalami infeksi sinus, sakit pada
hidung atau mulut, masalah gigi, atau leher kaku.
c. Bagian kardiopulmonari (jantung dan paru-paru), meliputi asma, bronkitis,
emfisema, tuberkulosis, pleuritis, sesak napas, radang paru-paru, tekanan
darah tinggi, pada sakit dada, rematik, demam, degup jantung tidak normal
(heart murmur), serang jantung, detak atau denyut nadi yang tidak beraturan,
dan pemakaian obat-obat jantung atau hipertensi.
d. Pemeriksaan sistem gastrointestinal (bagian perut dan usus besar) meliputi
usaha menemukan adanya kesulitan menelan, mual atau muntah, diare,
sembelit, dan cara makan yang tidak biasa, hepatitis, batuk empedu, darah di
tinja dan muntahan, divertikulitis, radang usus besar atau pankreas.
e. Bagian genituloninari (sekitar kemaluan) harus diperiksa dengan cara yang
peka. Selain menanyakan pasien mengenai infeksi kandung kemih, batu
ginjal, atau darah serta protein dalam air urin, periksa juga riwayat beberapa
penyakit kelamin (termasuk hasil tes positif sifilis yang keliru) dan pada
wanita, riwayat melahirkan, dengan perhatian khusus pada keguguran,
penyakit-penyakit payudara dan bedah plastik (kosmetik dan sebaliknya),
serta masalah-masalah menstruasi.
f. Faktor hematologik dan kekebalan tubuh yang harus disadari oleh pasien
meliputi bagaimana dengan mudah ia terluka, anemia, kekurangan jumlah
sel darah putih maupun trombosit, kelenjar yang membengkak, atau sering
mengalami infeksi.
g. Riwayat penyakit neuropsikiatrik (saraf yang mempengaruhi perilaku)
termasuk sakit kepala, serangan jantung, mati rasa atau ngilu, pingsan,
kejiwaan atau akibat obat-obatan anti-depresan, penyalahgunaan zat kimia,
dan yang paling penting disebut dengan gangguan kognitif, kesulitan
berpikir atau berbicara dengan artikulasi yang jelas.
h. Beberapa ciri-ciri muskuloskeletal meliputi riwayat penyakit tulang sendi,
kaku, atau pembengkakan, encok, sakit urat, atau lesu.
i. Pemeriksaan sistem endokrin (pengeluaran internal) meliputi penyakit tiroid,
diabetes, atau beberapa jenis kolesterol tinggi.
j. Riwayat mengenai penyakit pembuluh darah akan mengungkap adanya
radang urat darah, penggumpalan darah, stroke, atau raynaud’s (jari-jari
berubah warna dalam cuaca dingin).
k. Kulit merupakan organ yang menjadi target utama dalam lupus, dan
keterangan-keterangan mengenai sensitifitas terhadap sinar matahari, rambut
rontok, luka-luka di sekitar mulut, ”butterfly rash”, psoriasis, atau penyakit-
penyakit kulit lain yang diperiksa secara cermat.

2. Diagnosa Keperawatan
i. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
proses penyakit.
ii. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
iii. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan
fisik.

3. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa: Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan proses penyakit.
1) Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
mampu menunjukkan keutuhan struktural dan fungsi fisiologis dari
kulit dan membran mukosa.
2) Kriteria hasil:
a) Klien mampu menunjukkan tingkah laku atau teknik untuk
mencegah kerusakan kulit atau meningkatkan kesembuhan.
b) Klien mampu menunjukkan kemajuan pada luka atau penyembuhan
lesi.
c) Klien mampu menunjukkan integritas jaringan seperti bebas dari
adanya lesi jaringan dan kulit elastis.
3) Intervensi:
a) Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi.
Gambarkan lesi dan amati perubahan.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b) Pertahankan seprai bersih, kering, dan tidak berkerut.
Rasional: friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah
yang menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi.
c) Berikan matras atau tempat tidur busa atau flotasi.
Rasional: menurunkan iskemia jaringan, mengurangi tekanan pada
kulit, jaringan, dan lesi.
d) Dapatkan kultur dari lesi kulit terbuka.
Rasional: mengidentifikasi bakteri patogen dan pilihan perawatan
yang sesuai.

e) Gunakan atau berikan obat-obatan topikal (Hidrokortison Butirat)


atau sistemik sesuai indikasi.
Rasional: digunakan pada perawatan lesi kulit. Catatan: jika
digunakan salep multidosis, perawatan harus dilakukan untuk
menghindari kontaminasi silang.
4) Pendidikan Kesehatan
a) Ajarkan perawatan luka, termasuk tanda dan gejala
infeksi untuk dapat mempertahankan kulit tetap kering saat mandi.
b) Ajarkan anggota keluarga/pemberi asuhan tentang tanda
kerusakan kulit.

b. Diagnosa: Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan


jaringan.
1) Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
mampu meningkatkan kenyamanan secara fisik dan psikologis.
2) Kriteria hasil:
a) Klien mampu mempertahankan tingkat nyeri atau kurang (skala 0-
10).
b) Klien mampu menunjukkan tehnik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan.
c) Klien mampu mengenali faktor penyebab dan menggunakan
tindakan untuk mencegah nyeri.
3) Intervensi:
a) Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10),
frekuensi, dan waktu. Menandai gejala non verbal misalnya gelisah,
takikardi, meringis.
Rasional: mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga
tanda-tanda perkembangan atau resolusi komplikasi. Catatan: sakit
yang kronis tidak menimbulkan perubahan autonomik.

b) Dorong pengungkapan perasaan.


Rasional: dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga
mengurangi persepsi akan intensitas rasa sakit.
c) Berikan aktivitas hiburan, misalnya membaca, berkunjung, dan
menonton televisi.
Rasional: memfokuskan kembali perhatian, mungkin dapat
meningkatkan kemampuan untuk menanggulangi.
d) Lakukan tindakan paliatif, misalnya pengubahan posisi, massase,
rentang gerak pada sendi yang sakit.
Rasional: meningkatkan relaksasi atau menurunkan tegangan otot.
e) Berikan kompres hangat atau dingin, teknik relaksasi.
Rasional: kompres dapat mengurangi rasa nyeri.
f) Instruksikan pasien atau dorong untuk menggunakan visualisasi atau
bimbingan imajinasi, relaksasi progresif, tehnik nafas dalam.
Rasional: meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat. Dapat
menurunkan kebutuhan narkotik analgesik (depresan SSP) dimana
telah terjadi proses degeneratif neuromotorik. Mungkin tidak
berhasil jika muncul demensia, meskipun minor.
g) Berikan analgesik atau antipiretik narkotik. Gunakan ADP
(analgesik yang dikontrol pasien) untuk memberikan analgesik 24
jam dengan dosis sesuai indikasi.
Rasional: memberikan penurunan nyeri atau tidak nyaman,
mengurangi demam. Obat yang dikontrol pasien atau berdasarkan
waktu 24 jam mempertahankan kadar analgesik darah tetap stabil,
mencegah kekurangan ataupun kelebihan obat-obatan.
4) Pendidikan kesehatan
a) Informasikan pada klien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan saran koping.
b) Ajarkan penggunaan tehnik non farmakologi misalnya distraksi,
relaksasi.

c) Diagnosa: Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan


pada penampilan fisik.
1) Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
mampu mempersepsikan yang positif terhadap penampilan dan fungsi
tubuh sendiri.
2) Kriteria Hasil:
a) Klien mampu menunjukkan citra tubuh ditandai dengan :
(1) Kongruen antara realitas tubuh, ideal tubuh, dan wujud tubuh.
(2) Kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
(3) Keinginan untuk menyentuh bagian tubuh yang mengalami
gangguan.
b) Klien mampu menyusun tujuan atau rencana realistis untuk masa
depan.
3) Intervensi:
a) Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit,
harapan masa depan.
Rasional: berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut atau
kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung.
b) Diskusikan arti dari kehilangan atau perubahan pada pasien atau
orang terdekat. memastikan bagaimana pandangan pribadi pasien
dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari.
Rasional: mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi
persepsi diri dan interaksi dengan orang lain akan menentukan
kebutuhan terhadap intervensi atau konseling lebih lanjut.
c) Diskusikan persepsi pasien mengenai bagaimana orang terdekat
menerima keterbatasan.
Rasional: isyarat verbal atau non verbal orang terdekat dapat
mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang
dirinya sendiri.
d) Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau
terlalu memperhatikan tubuh atau perubahan.
Rasional: dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping
maladaptif, membutuhkan intervensi lebih lanjut atau dukungan
psikologis.
e) Susun batasan pada perilaku maladaptif. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping.
Rasional: membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri,
yang dapat meningkatkan perasaan harga diri.
f) Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
Rasional: mempertahankan penampilan yang dapat meningkatkan
citra diri. Rujuk pada konseling psikiatri, misalnya perawat spesialis
psikiatri perawat klinis, psikiatri atau psokolog, pekerja sosial.
4) Pendidikan Kesehatan
a) Ajarkan orang tua tentang pentingnya respon mereka terhadap
perubahan tubuh anak dan penyesuaian dikemudian hari sesuai
dengan kebutuhan.

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEMIK LUPUS
ERITEMATOSIS
Disusun Oleh:
1. Afitaria Qulsum (1.08.001)
2. Arlina Elvira S (1.08.007)
3. Feri Wibowo (1.08.022)
4. Nor Okta Maulina (1.08.050)
5. Rizka Vyronica (1.08.061)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO
SEMARANG
2010

Anda mungkin juga menyukai