Anda di halaman 1dari 25

KEBUTUHAN DASAR AMAN DAN NYAMAN

PADA PASIEN HIV/AIDS

Paper ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Disusun Oleh:
1. Annisa Khanna Daroja 22020117120005
2. Rikha Paramitta 22020117120015
3. Anisah Zaky Farras Amalia 22020117140023
4. Raden Roro Sarah Nurfaraj A.P 22020117120029
5. Aulia Aliffah Istigfani 22020117120035
6. Untari Noor Rizqy 22020117140039
7. Mujaahidah Al Kariima 22020117130050
8. Widiana Rizki Kinestiwi 22020117130063
9. Dinda Maulina Putri 22020117130078
10. Eny Indriani 22020117130092

KELOMPOK 4
KELAS: A17-2

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
A. PENGERTIAN
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah
putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
Seseorangdengan virus HIV didalam darahnya dapat tampak sehat dan belum tentu
membutuhkan pengobatan. Meskipun demikian, orang tersebut dapat menularkan
virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi
penggunaan alat suntik dengan orang lain. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau
AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang
menurun yang disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada
seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis,
berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker (Gunawan,
Prasetyowati, & Ririanty, 2016).

B. PREVALENSI
Pada tahun 2013 World Health Organization (WHO) mengumumkan 34 juta orang
di dunia mengidap virus HIV penyebab AIDS dan sebagian besar dari mereka hidup
dalam kemiskinan dan di negara berkembang. Data WHO terbaru juga menunjukkan
peningkatan jumlah pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan. Tahun 2012 tercatat
9,7 juta orang, angka ini meningkat 300.000 orang lebih banyak dibandingkan satu
dekade sebelumnya (WHO, 2013). Berdasarkan jenis kelamin kasus tertinggi HIV dan
AIDS di Afrika adalah penderita dengan jenis kelamin perempuan hingga mencapai
81,7% terutama pada kelompok perempuan janda pada usia 60-69 tahun dengan
persentase paling tinggi bila dibandingkan dengan kelompok beresiko lainnya (Boon,
2009).
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2014, kasus HIV dan AIDS di
Indonesia dalam triwulan bulan Juli sampai dengan September tercatat kasus HIV 7.335,
kasus sedangkan kasus AIDS 176 kasus. Estimasi dan proyeksi jumlah Orang Dengan
HIV dan AIDS (ODHA) menurut populasi beresiko dimana jumlah ODHA di populasi
wanita resiko rendah mengalami peningkatan dari 190.349 kasus pada tahun 2011
menjadi 279.276 kasus di tahun 2016 (Kemenkes RI, 2013).
Dilihat dari prevalensi HIV berdasarkan populasi beresiko Wanita Pekerja Seks
Tidak Langsung (WPSTL) di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 4,0% kemudian pada
tahun 2009-2013 mengalami penurunan dari 3,1% menjadi 2,6% pada tahun 2011, turun
kembali menjadi 1,5% pada tahun 2013 (STBP, 2013). Meningkatnya jumlah kasus HIV
dan AIDS di Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012 peringkat ke-6, tahun 2013 peringkat ke-
5 dan di tahun 2014 peringkat ke-4 dari 10 Provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Sumatra Utara, Sulauwesi Selatan, Banten dan
Kalimatan Barat dengan kasus HIV dan AIDS terbanyak bulan Januari-Desember.
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 ditemukan kasus HIV dan AIDS sebanyak 2.498
kasus, dengan perincian kasus HIV 2.069 orang dan AIDS 428 orang. Berdasarkan jenis
kelamin laki-laki mencapai 61,48% dan perempuan 38,52%. Dilihat dari distribusi kasus
AIDS berdasarkan jenis pekerjaan, IRT dengan HIV dan AIDS dalam beberapa tahun
terakhir meningkat mencapai 18,4% dan menduduki peringkat ke-2 (KPAN, 2014).

2
Kasus HIV dan AIDS berdasarkan wilayah pada bulan Oktober 2005-Juli 2015 yaitu
Karanganyar sebanyak 17% kasus, Sragen sejumlah 15% kasus, Sukoharjo sebanyak
13% kasus, Wonogiri sebanyak 8% kasus, Surakarta sebanyak 21% kasus, Boyolali
sebanyak 8% kasus, dan Klaten sebanyak 5% kasus, selain solo 14%. Data tersebut
memperlihatkan bahwa Surakarta memiliki persentase tertinggi kasus HIV dan AIDS
(KPA Surakarta, 2015).
Jumlah penderita tertinggi kasus HIV dan AIDS berdasarkan jenis kelamin adalah
laki-laki, sedangkan pada faktor risiko adalah kelompok Heteroseksual, dan kelompok
Ibu Rumah Tangga (IRT) juga beresiko tinggi tertular oleh suami yang menderita HIV
dan AIDS. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi
mengenai pencegahan HIV dan AIDS (KPA Surakarta, 2014). Berdasarkan hasil
pemetaan data populasi kunci dan cakupan hasil KPA Surakarta, kasus HIV dan AIDS
sampai bulan Agustus tahun 2015 pada ibu rumah tangga ditemukan sebanyak 417
kasus, tertinggi ke-dua setelah Laki-laki Beresiko Tinggi (LBT) (KPA Surakarta, 2015).

C. ETIOLOGI
Penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamily Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus
RNA atau Ribonucleic Acid yang memiliki berat molekul 9,7 kb (kilobases). Struktur
dari HIV terdiri dari lapisan luar atau envelope dan lapisan inti. Lapisan luar atau
envelop terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4. Lapisan ini
berperan penting ketika terjadinya infeksi karena memiliki afinitas yang tinggi terhadap
reseptor CD4 dari sel Host. Selanjutnya di lapisan kedua terdiri dari protein p17.
Kemudian terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24 dan terdapat komponen
penting yaitu dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Selain itu, terdapat
enzim enzim guna membuat salinan RNA yang diperlukan untuk replikasi HIV yaitu
antara lain reverse transcriptase, integrase, dan protease. Molekul RNA dikelilingi oleh
kapsid berlapis dua dan suatu membrane selubung yang mengandung protein.
Oleh karena HIV termasuk dalam jenis virus RNA, maka diperlukan salinan berupa
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) guna memungkinkan untuk virus bereplikasi karena HIV
hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-
2. Keduanya memiliki struktur yang hampir sama tetapi terdapat perbedaan pada struktur
genom. HIV-1 memiliki gen vpu tetapi tidak memiliki vpx, sementara HIV-2 sebaliknya.
diantara kedua tipe tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas
di seluruh dunia yaitu HIV-1

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan
karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya.
Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam

3
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
a. Manifestasi tumor
1. Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat jarang
menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
 Pneumonia pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
 Cytomegalovirus (CMV) Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai
komensal pada paruparu tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS.
 Mycobacterium avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium
akhir dan sulit disembuhkan.
 Mycobacterium tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat
menjadi milier dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.
c. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.

E. FASE HIV DAN AIDS


1. Fase I : Masa jendela (window period) berlangsung 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terinfeksi awal HIV. Pada masa ini tubuh sudah terinfeksi HIV akan tetapi pada hasil
pemeriksaan darah belum ditemukan antibodi anti-HIV. Gejala yang tampak pada masa ini
berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri
sendi, sakit kepala, bisa batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan
sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase ini terjadi karena serokonversi dalam darah saat
replikasi virus yang hebat pada infeksi primer HIV. Pada fase ini penderita sudah dapat
menularkan HIV ke orang lain.
2. Fase II : Masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Pada
fase ini tes darah sudah menunjukan hasil yang positif terhadap HIV. Masa tanpa gejala

4
berlangsung rata-rata selama 2-3 tahun, sedangkan gejala ringan dapat berlangsung selama
5-8 tahun. Ditandai dengan radang kulit seperti ketombe dan folikulitis yang hilang timbul
meskipun diobati.
3. Fase III : masa AIDS (fase terminal infeksi HIV) pada masa ini kekebalan tubuh sudah
menurun drastis sehingga penderita mudah terserang infeksi oportunistik, berupa
peradangan berbagai mukosa seperti infeksi jamur di di mulut, kerongkongan dan paru-paru.
Penderita juga sering mengalami diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari
10% dari berat awal. (Anonim, 2015)

F. PATOFISIOLOGI
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang
mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun
atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel
yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit
T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target
dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut
merubah bentuk RNA(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA
(Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan
mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibeldan
berlangsung seumur hidup (Murni, Green, Djauzi, Setiyamto, & Okta, 2006).
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejatertular virus HIV yang dikenal dengan masa
“window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut (Murni, Green, Djauzi,
Setiyamto, & Okta, 2006). Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas
pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi (Astari, Sawitri, Safitri, & Hinda,
2009).
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat
cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).20Secara
bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan
fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya
tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-
gejala akibat infeksi oportunistik (Astari, Sawitri, Safitri, & Hinda, 2009)

5
PATHWAY PATOFISIOLOGI HIV/AIDS

Transmisi HIV ke dalam tubuh melalui


darah, ASI / cairan tubuh ibu yg
infeksius

Pengikatan gp120 HIV dengan reseptor


membran T Helper + CD4

Fusi / peleburan membran virus dengan


membran sel T Helper + CD4

Enzim reverse transcriptase


RNA HIV  cDNA

Enzim integrase
cDNA masuk ke inti sel T Helper

Transkripsi mRNA dan translasi


menghasilkan protein struktural virus

Terbentuk virus - virus HIV yang baru


dalam tubuh

Enzim protease
Merangkai RNA virus dengan
protein-protein yang baru dibentuk,

G. PENGOBATAN
Pemberian obat yang bertujuan menyembuhkan HIV/AIDS belum ada. Namun,
antiretroviral (ARV) dapat diberikan penderita HIV/AIDS sebagai obat yang bisa
memulihkan kekebalan dan mencegah penularan. Cara kerja obat ARV ini yakni
menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri dan

6
mencegah virus menghancurkan sel CD4 (Lymphocyte). Obat ini adalah obat pertama
yang harus segera dikonsumsi tiap 3-4 bulan bahkan seumur hidup setelah didiagnosis
terjangkit penyakit ini. Jika menunda pengobatan ini, virus akan cepat merusak sistem
kekebalan tubuh dan memperparah kondisi penderita. Obat ARV ini terdiri dari tiga
golongan yaitu Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI), Non-
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors.
1. Obat ARV diindikasikan untuk:
a. Semua pasien stadium 3 dan 4 dengan jumlah CD4 berapa pun
b. Semua pasien dengan CD4 ≤350 sel/ml apapun stadium klinisnya.
c. Semua pasien ko-infeksi TB
d. Semua pasien ibu hamil
e. ODHA yang punya pasangan status HIV negatif
f. Populasi kunci (waria, LSL, WPS)
g. Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua
2. Prinsip pemberian ARV:
a. Menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berad pada dosis terapeutik guna
menjamin efektivitas penggunaan obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat dengan mendekatkan kases pelayanan
ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.
3. Rekomendasi pemberian baku pengobatan triple therapy menurut WHO yakni:
a. Rejimen lini pertama : 2 obat NRTI + 1 obat NNRTI
b. Rejimen lini pertama sebagai alternatif : 3 obat NRTI
c. Rejimen lini kedua : protease inhibitor
Berikut adalah penggolongan ARV:

Golongan Nama Obat Singkatan Obat


NRTI Zidovudine (100 mg) ZDV (AZT)
Lamivudine (150 mg) 3TC
Stavudine d4T
Didanosine ddl
Abacavir ABC
Tenovovir TDF
NNRTI Nevirapine (200 mg) NVP
Efavirenz (200/600 mg) EFV
Protease Inhibitor Nelfinavir NFV
Lopinavir/ritonavir LPV/r
Saquinavir SQV

Catatan : pemberian efavirenz hanya untuk anak >3 tahun yang dapat
rifampisis guna tuberkulosis.

7
4. Anjuran pemberian Obat ARV:
AZT + 3TC + NVP atau
AZT + 3TC + EFV atau

TDF + 3TC +NVP atau

TDF +3TC + EFV -

5. Beberapa pertimbangan penggunaan terapi ARV


a. Pemberian NVP berdosis awal 200 mg setiap 24 jam selama dua minggu bersama
AZT atau TDF + 3TC. Naikkan dosis 200 mg di hari ke 15 bila tak terjadi
toksisitas hati. Pemberian dosis NVP rendah kembali bila pengobatan dihentikan
lebih dari dua minggu. Dosis awal NVP berhubungan dengan mengurangi risiko
ruam dan hepatitis
b. Pemberian triple NRTI untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat ARV
berbasis NNRTI, seperti keadaan:
1) ko-infeksi TB/HIV terkait interaksi terhadap rifampisin
2) ibu hamil terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
3) hepatitis, terkait dengan efek hepatoktosik karena NVP/EFV/PI
Pemberian triple NRTI hanya berlangsung 3 bulan lalu dikembalikan ke rejimen
pertama.
c. TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda, dapat menyebabkan
toksisitas ginjal. AZT dapat menyebabkan anemi pada orang dengan BMI dan
jumlah CD4 rendah.
d. Penggunaan d4T yang terlalu lama dapat menyebabkan lipodistrofi dan neuropati
perifer.
e. Protease inhibitor hanya digunakan pada lini kedua dengan pertimbangan sediaan
yang terbatas.

H. PENCEGAHAN
Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah AIDS
belum ditemukan, maka alternative untuk menanggulangi masalah AIDS yang terus
meningkat ini adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat
dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV. Pada dasarnya
upaya pencegahan AIDS dapat dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara
penyebaran AIDS.
Ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang :
1. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek
Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi
kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV),
sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya.
Ada 3 polapenyebaran virus HIV :

8
1. Melalui hubungan seksual
2. Melalui darah
3. Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya
a. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan
dalam penularan AIDS adalahmani, cairan vagina dandarah. HIV dapat menyebar
melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria.
Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya
pencegahan adalah dengan cara :
 Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif,
namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan
biologis.
 Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang
setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami)
 Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
 Hindari hubungan seksua dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.
 Tidak melakukan hubungan anogenital.
 Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan
kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
b. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS
melalui darah terjadi dengan :
 Transfusi darah yang mengandung HIV.
 Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai
orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.
 Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang
mengidap virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:
 Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan
jalan memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan
sebab memerlukan biaya yang tingiserta peralatan canggih karena
prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor
darah hanya dengan uji petik.
 Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi
donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi
kode etik, maka darah yang dicurigai harus di buang.
 Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku
setiap kali habis dipakai.
 Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus
disterillisasikan secara baku.
 Kelompok penyalah gunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan
penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan
mengunakan jarum suntik bersama.

9
 Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
 Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.
c. Pencegahan Infeksi HIV Melalu Ibu
Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada
janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada
waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan. Upaya untuk mencegah agar tidak
terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak
hamil.
2. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang
Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagianbesar adalah karena
hubungan seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang
Indonesia adalah mereka yang pernah keluar negeri dan mengadakan hubungan
seksual dengan orang asing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap
HIV keistrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV kesuaminya adalah 8%. Namun
ada penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri
ke suami dianggap sama. Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi
hubungan seksual yang dilakukan suami istri. Mengingat masalah seksual masih
merupakan barang tabu di Indonesia, karena norma-norma budaya dan agama yang
masih kuat, sebetulnya masyarakat kita tidak perlu risau terhadap penyebaran virus
AIDS. Namun demikian kita tidak boleh lengah sebab Negara kita merupakan
Negara terbuka dan tahun 1991 adalah tahun melewati Indonesia.
Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah merajalelanya
AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang
meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat
berperilaku seksual yang bertanggungjawab.
Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggungjawab adalah :
a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan
tidak terinfeksi HIV (monogamy).
c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.
d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari
satu mitra seksual.
e. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
f. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
g. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.
h. Tidak melakukan hubungan anogenital.
i. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual.
Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antaratokoh-tokoh agama, penyebar
luasan informasi tentang AIDS dengan bahasa agama, melalui penataran P4 dan
lain-lain yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-norma agama menuju
perilaku seksual yang bertanggungjawab. Dengan perilaku seksual yang
bertanggungjawab diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit AIDS di
Indonesia.
10
I. HUBUNGAN KEBUTUHAN AMAN NYAMAN DENGAN PASIEN HIV/AIDS
1. Aspek keamanan dalam praktik keperawatan
a) Definisi Keamanan
Salah satu kebutuhan dasar manusia yakni berupa keamanan. Menurut Potter &
Perry (2013), keamanan dapat diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari cedera
baik fisik maupun psikologis atau dengan kata lain yaitu keadaan yang aman dan
tenteram. Begitu pula dengan keamanan dalam pelayanan kesehatan yaitu
terciptanya suatu lingkungan bagi pasien yang bebas dari ancaman dan infeksi.
b) Pengetahuan dasar
Menurut Potter & Perry (2013), dalam praktik keperawatan pengetahuan dasar
pada aspek keamanan dibagi menjadi dua jenis yaitu:
 Dasar pengetahuan ilmiah terdiri dari keselamatan lingkungan
Lingkungan yang aman terdiri dari terpenuhinya kebutuhan dasar, mengurangi
bahaya fisik, mengurangi transmisi pathogen, mempertahankan sanitasi dan
mengendalikan polusi.
Aspek lingkungan terdiri dari rumah sakit, klinik, rumah, sekolah, puskesmas,
posyandu, dan tempat-tempat perawatan lain yang di dalamnya juga mencakup
interaksi antara perawat 11ank lien.
 Dasar pengetahuan keperawatan
Dasar pengetahuan keperawatan adalah dasar pengetahuan bagi perawat untuk
mengenali tingkat perkembangan klien yakni meliputi kemampuan mobilitas,
sensorik, status kognitif, pilihan gaya hidup dan pengetahuan tentang tindakan
keselamatan yang umum.
c) Faktor yang mempengaruhi Keamanan
Menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2010), faktor yang mempengaruhi
keamanan klien, antara lain:
 Usia
Di setiap jenjang usia dan tahap perkembangan, risiko cedera dapat bervariasi.
Pencegahan terhadap cedera tersebut dapat terlaksana apabila pasien
menerima edukasi sesuai dengan tingkatan usianya.
Misalnya seorang lansia membutuhkan edukasi mengenai pencegahan yang
berkaitan dengan penurunan kemampuan indera
 Gaya hidup
Gaya hidup juga sangat berpengaruh karena dapat meningkatkan atau
menurunkan resiko cedera atau potensi penyakit bagi setiap individu.
Misalnya seseorang yang memiliki gaya hidup merokok, maka ia akan
meningkatkan resiko penyakit berkaitan dengan paru-paru dan pernafasan.
 Perubahan fungsi sensori
Ketika terjadi perubahan fungsi sensori, hal ini akan berpengaruh pula
terhadap persepsi individu terhadap lingkup lingkungan keamanannya,missal
apabila salah satu fungsi indra berubah, maka indra lian juga akan
mempengaruhi persepsinya terhadap lingkungan
 Penurunan kemampuan mobilitas

11
Hal ini akan meningkatkan resiko cedera individu karena dapat menyebabkan
koordinasi tubuh tidak seimbang,
Misalnya penurunan kemampuan mobilitas pada ekstremitas bawah dapat
meningkatkan potensi individu untuk cedera
 Keadaan emosional
Meliputi keadaan emosi dan kemarahan yang dapat mempengaruhi persepi
individu terhadap lingkungannya dan mengubah kemungkinnan individu
dalam proses pengambilan resiko
Misalnya seseorang yang marah akan cenderung acuh terhadap
lingkungannya.
d) Ruang lingkup
Ruang lingkup aspek keamanan klien menurut Potter & Perry (2013), yaitu:
 Kebutuhan dasar
Meliputi kebutuhan oksigenasi, kebutuhan nutrisi, suhu dan udara yang bersih
serta kelembaban yang optimal. Apabila kebutuhan dasar tersebut belum
terpenuhi, maka kesehatan klien akan terancam.
 Bahaya fisik
Lingkungan yang kurang mendukung akan menyebabkan bahaya fisik. Akan
tetapi bahaya tersebut dapat diminimalisir dengan pemberian pencahayaan
yang cukup, meletakkan peralatan rumah tangga atau obat pada tempatnya
secara teratur dan rapi
 Resiko jatuh
Pengkajian resiko jatuh digunakan untuk menyusuk intervensi pencegahannya
 Resiko kesalahan medis
Human error dapat menjadi pemicu yang dapat mengancam keselamatan
klien, seperti salah dalam memberikan obat.
 Transmisi pathogen
Penyebaran pathogen dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta melalui
media apa saja. Salah satu tindakan pencegahan yang mudah dilakukan yaitu
dengan mencuci tangan sebelum melakukan aktivitas untuk meminimalisir
persebaran bakteri lebih luas.
2. Prinsip Keamanan dalam Penatalaksanaan Keperawatan
a) Universal precaution
Universal precaution merupakan upaya untuk mencegah sumper penyebaran
infeksi misalnya darah dan cairan tubuh pasien. Tindakan yang dapat dilakukan
dalam mengupayakan universal precaution, yaitu:
 Fasilitasi segala tindakan keperawatan dengan cuci tangan.
 Menyimpan benda tajam jauh dari lingkungan pasien. Upaya ini dilakukan
agar pasien tidak berada dalam bahaya. Selain itu, apabila benda tajam ini
ialah benda invasive, perlu diperhatikan agar tidak menularkan infeksi.
Contoh: jarum dan alat suntik, alat penting untuk pemberian perawatan
kesehatan, bila cara pemakaian tidak benar akan dapat mengakibatkan abses,
keracunan darah dan kematian.

12
 Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh (saliva, cairan semen).
dengan menggunakan perlengkapan baju pelindung.
- Masker agar melindungi wajah dari darah atau cairan
- Sarung tangan agar mencegah penularan infeksi melalui tangan
 Kemampuan membersihkan atau mensterilkan alat-alat kesehatan
Hal ini berguna untuk mencegah kontaminasi dari limbah cairan atau darah
pasien.
 Pemeliharaan kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
 Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar dan
aman (Depkes RI, 2002).
b) Pengendalian infeksi
Merupakan suatu upaya untuk mencegah penyebaran infeksi dalam rumah sakit
dengan prinsip pemahaman atas rantai infeksi yaitu pertumbuhan agen infeksius,
sumber atau tempat pertumbuhan, portal keluar dari tempat tumbuh, cara
penularan, portal masuk ke penjamu, dan penjamu yang rentan serta proses atau
tahapan infeksi.
c) Pengaturan ruangan, alat, beban, dan ketinggian
Pengaturan ruangan juga diperlukan untuk mengurangi faktor resiko. Pengaturan
ruangan diperlukan untuk mengilangkan ancaman lingkungan yang mencakup
tindakan pencegahan seperti pemenuhan kebutuhan dasar, mengurangi bahaya
fisik, dan mengurangi transmisi patogen (Potter & Perry, 2009). Pencahayaan
ruangan yang cukup termasuk dalam tindakan pengamanan suatu ruangan..
Pengaturan alat memiliki tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi karena alat
tidak steril. Selain itu, alat-alat yang tidak diperlukan dan membahayakan harus
dipindahkan dan diletakkan jauh dari jangkauan klien guna terpenuhinya
kebutuhan keamanan klien dan mengurangi resiko cedera.
d) Perawatan antiretroviral rutin
Pengidap HIV sangat dianjurkan untuk menjalani perawatan antiretroviral secara
rutin. Perawatan ini adalah perawatan khusus yang ditujukan bagi penderita yang
terinfeksi retrovirus, terutama HIV. Obat yang digunakan dalam perawatan ini
akan berbeda tergantung pada stadium yang diderita oleh penderita. Maka dari
itu, sangat penting bagi siapa pun yang sudah mengetahui dirinya terjangkit HIV,
untuk melakukan pemeriksaan rutin dan berkonsultasi secara aktif dengan ahli
kesehatan yang mengetahui kondisinya. Hal itu penting dilakukan untuk
mengetahui perkembangan kesehatan diri dan mendapatkan penanganan sesuai
stasenya Pengobatan ini baik dilakukan secepat mungkin jika memungkinkan,
sebelum persebaran virus semakin meluas dan membahayakan. Terapi ini akan
membuat penderita mengonsumsi beberapa jenis obat-obatan medis, dan pasti
akan menimbulkan efek samping pada bulan-bulan pertama pemakaian. Namun,
apabila efek samping itu mempengaruhi kualitas hidup yang sebelumnya ada,
disarankan untuk beralih dan menukar jenis obat yang digunakan untuk
penyembuhan. Pengobatan ini harus dilakukan secara rutin dan teratur. Jika tidak,

13
maka pengobatan ini tidak akan membantu penderita mendapatkan imun yang
stabil.
e) Food Safety and Healthy Diet
Perawat dapat menjaga keamanan pasien HIV/AIDS dengan memperpanjang
kualitas hidupnya yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Upaya yang bisa
dilakukan yakni melalui food safety. Alasannya karena itu merupakan pencegahan
yang sangat penting tehadap infeksi lebih parah yang mungkin dibawa oleh
bakteri atau patogen pada makanan dan air. Dimulai dari handling, preparing,
dan consuming, semuanya harus diwaspadai kandungan dan tingkat
kehigienisannya. 4 langkah dasar food safety yang perlu diterapkan yakni Clean,
Separate, Cook, dan Chill (to freeze). Melakukan food safety tentu akan
memengaruhi kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin baik kualitas
makanan maka kekuatan dan energi pada sistem imun semakin baik. Beberapa
contoh tips food safety lainnya yaitu:
 tidak makan telur, daging, dan seafood mentah karena pada bahan makanan
yang mentah pasti membawa banyak bakteri yang menggangu imunitas pasien
HIV/AIDS.
 meminum air yang sudah disaring dan dimasak lebih dulu karena
kemungkinan besar bakteri sudah mati terlebih dulu sebelum diminum.
Selain memperhatikan food safety untuk menjaga keamanan pasien HIV/AIDS,
perawat bisa menganjurkan healthy diet sebagai gaya hidup yang dapat
memperkuat sistem imun dan menjaga kesehatan pasien. Diet bisa dilakukan
dengan makan 4 sehat 5 sempurna, makanan yang meningkatkan berat badan, dan
food low saturated fat.

J. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / istirahat
 Gejala: Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, progresi
kelelahan / malaise, perubahan pola tidur.
 Tanda: Kelemahan otot, menurunnya massa otot dan perubahan dalam TD,
frekuensi jantung, pernapasan.
2. Sirkulasi
 Gejala: Proses penyembuhan luka yang lambat (bila anemia); perdarahan lama
pada cedera (jarang terjadi).
 Tanda: Takikardia, perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer,
pucat atau sianosis: perpanjangan kapiler.
3. Integritas ego
 Gejala: Faktor stres yang berhubungan dengan kehilangan, mis: dukungan
keluarga, hubungan dengan orang lain, mengkuatirkan penampilan: alopesia, lesi
cacat. Menurunnya BB, mengingkari diagnosa, merasa tidak berdaya, putus asa,
tidak berguna, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri dan depresi.
 Tanda: Mengingkari, cemas, defresi, takut, menarik diri. Perilaku marah, postur
tubuh mengelak, menangis, dan kontak mata kurang.

14
4. Eliminasi
 Gejala: Diare yang intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa disertai
kram abdominall dan nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.
 Tanda: Feces dengan atau tanpa disertai mukus dan merah, diare pekat yang
sering nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, personal, perubahan dalam
jumlah, warna dan karakteristik urin.
5. Makanan / cairan
 Gejala: Anoreksia, perubahan dalam kemampuan mengenali makanan / mual /
muntah, disfagia, nyeri retrostenal saat menelan, penurunan berat badan, lesi pada
rongga mulut, adanya selaputnya putih dan perubahan warna, kesehatan gigi /
gusi yang buruk, adanya gigi yang tanggal, edema (umum, dependen).
6. Higiene
 Gejala: Tidak dapat menyelesaikan aktivitas.
 Tanda: Memperlihatkan penampilan yang kurang rapi, kekurangan dalam banyak
atau perawatan diri, aktivitas perawatan diri.
7. Neurosensori
 Gejala: Pusing, pening / sakit kepala, perubahan status mental. Kehilangan
ketajaman atau kemampuan diri untuk mengatasi masalah, tidak mampu
mengingat dan konsentrasi menurun,. Kerusakan sensasi atau indera posisi dan
getaran. Kelemahan otot, tremor dan perubahan ketajaman penglihatan. Kebas,
kesemutan pada ekstremitas (kaki tampak menunjukkan perubahan paling awal).
 Tanda: Perubahan status mental dan rentang antara kacau mental sampai
dimensia, lupa, konsentrasi buruk, tingkat kesadaran menurun, apatis, retardasi
psikomotor / respon melambat. Ide paranoid, ansietas yang berkembang bebas,
harapan yang tidak realistis. Timbul refleksi tidak normal, menurunnya kekuatan
otot dan gaya berjalan ataksia. Tremor pada motorik kasar / halus, menurunnya
motorik.
8. Nyeri / kenyamanan
 Gejala: Nyeri umum atau local, sakit, rasa terbakar pada kaki, sakit kepala, nyeri
dada pleuritis.
 Tanda: Pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar, nyeri tekan. Penurunan
rentang gerak, perubahan gaya berjalan / pincang. Gerak otot melindungi bagian
yang sakit.
9. Pernapasan
 Gejala: Napas pendek yang progresif, batuk (sedang sampai parah), produktif /
non produktif sputum, bendungan atau sesak dada.
 Tanda: Takipnea, distres pernapasan, perubahan pada bunyi napas, sputum:
kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum).
10. Keamanan
 Gejala: Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka yang lambat proses
penyembuhannya. Riwayat menjalani transfusi darah yang sering atau berulang
(mis: hemofilia, operasi vaskuler mayor, insiden traumatis). Riwayat penyakit
defisiensi imun, yakni kanker tahap lanjut. Riwayat / berulangnya infeksi dengan

15
PHS. Demam berulang; suhu rendah, peningkatan suhu intermitten / memuncak;
berkeringat malam.
 Tanda: Perubahan integritas kulit: terpotong, ruam mis: ekzema, eksantem,
psoriasis, perubahan warna / ukuran mola; mudah terjadi memar yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Rektum, luka-luka perianal atau abses. Timbulnya nodul-
nodul, pelebaran kelenjar limfe pada 2 area tubuh atau lebih (mis: leher, ketiak,
paha). Menurunnya kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya berjalan.
 Pengkajian Aspek Keamanan dalam Potter & Perry (2013)
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam melakukan pengkajian
adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Anamnesis mencakup data untuk menentukan adanya kondisi yang
mengancam keamanan dan keselamatan klien, status perkembangn klien serta
riwayat medikasi yang pernah dijalani. Misalnya kekuatan dan koordinasi otot,
penglihatan dan keseimbangan, ada tidaknya gangguan kognitif, dan
kecakapan emosi.
b. Lingkungan rumah klien
Resiko cedera pada klien dapat terjadi pada lingkungan rumah klien. Oleh
karena itu perlu adanya pengkajian meliputi seluruh bagian rumah dan
lingkungan sekitar serta menganalisis bagaimana klien menjalani aktivitas
kesehariannya dan mencari tahu bahaya yang tersembunyi.
c. Lingkungan pelayanan kesehatan
Berkaitan dengan proses ambulasi pasien serta perlengkapan yang digunakan.
Apakah masih berfungsi normal atau tidak.
d. Resiko jatuh
Hal ini diperlukan untuk menentukan kebutuhan spesifik dan menyusun
intervensi guna mencegah terjadinya resiko jatuh di kemudian hari. Pengkajian
resiko jatuh dapat dibantu oleh alat pengkajian kecelakaan jatuh.
e. Resiko kesalahan medis
Resiko kesalahan medis juga dipengaruhi oleh human error dan dapat
disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan serta kelelahan ketika bekerja.
TJC menetapkan National Patient Safety Goals Hospital Program tahun 2008
untuk mengurangi kesalahan medis, diantaranya mencakup:
- Meningkatkan ketepatan identifikasi klien,
- Meningkatkan efektivitas komunikasi antar pemberi layanan,
- Meningkatkan keamanan penggunaan obat dan pengobatan secara akurat,
- Dorong keterlibatan aktif klien dalam perawatan dirinya (Potter & Perry,
2013).
f. Serangan bioteroris
Perawat perlu menghadapi serangan bioteroris dengan mengkaji tatanan
lingkungan dengan akurat. Perawat perlu mengenali akibat biologis dan
menjalankan peran serta tanggung jawabnya dengan cepat dan efisien.
g. Harapan klien

16
Pengkajian perlu menyertakan pemahaman klien tentang persepsinya
mengenai faktor risiko. Apabila klien belum mengetahui informasi tentang
ancaman keamanan dan keselamatan, maka peran perawat sangat dibutuhkan
untuk memberikan edukasi dan memberikan alternative pencegahan
mengurangi ancaman di lingkungan klien.
11. Seksualitas
 Gejala: Riwayat perilaku beresiko tinggi yakni mengadakan hubungan seksual
dengan pasangan yang positif HIV, pasangan seksual multipel, aktivitas seksual
yang tidak terlindung dan seks anal. Menurunnya libido, terlalu sakit untuk
melakukan hubungan seks, penggunaan kondom yang tidak konsisten.
Menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan terhadap virus
pada wanita yang diperkirakan dapat karena peningkatan kekurangan (pribilitas
vagina).
 Tanda: Kehamilan atau resiko terhadap hamil.
12. Genetalia
 Manifestasi kulit (mis: herpes, kulit); rabas.
13. Interaksi sosial
 Gejala: Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, mis: kehilangan kerabat /
orang terdekat, teman, pendukung, rasa takut untuk mengungkapkannya pada
orang lain, takut akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, kesepian, teman
dekat ataupun pasangan seksual yang meninggal akibat AIDS.
 Tanda: Perubahan pada interaksi keluarga / orang terdekat dan aktivitas yang
tidak terorganisasi, perubahan penyusunan tujuan.

K. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis pasti di tegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang di mulai
dengan uji penapisan/penyaringan dengan menentukan adanya antibody anti HIV
kemudian di lanjutkan dengan uji pemastian dengan pemeriksaan yang lebih spesifik
yaitu Western blot assay karena mampu mendeteksi komponen komponen yang
terkandung pada HIV.
1. Uji Imunologi
a. ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan suatu tes untuk
mendeteksi adanya antibody yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV.
Dimulai dengan mengikatkan benda padat ditambah antibody yang akan dicari.
Setelah itu ditambah dengan antigen yang bertanda enzim seperti peroksidase dan
fosfatase. Substrat kromogenik ditambahkan juga apabila bereaksi dengan enzim
sehingga menimbulkan perubahan warna. Perubahan warma ini sesuai dengan
jumlah enzim yang diikat dan sesuai dengan kadar antibody yang dicari. ELISA
memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu lebih dari 99,5%. Tes ELISA dapat
dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.5
Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung antigen
direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat.

17
Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel enzim dan
ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya diproduksi mulai
minggu ke-2, atau bahkan setelah minggu ke-12 setelah tubuh terpapar virus
HIV,sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan ELISA dilakukan setelah
setelah minggu ke-12 setelah seseorang dicurigai terpapar (beresiko) untuk tertular
virus HIV.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar RIA adalah reaksi antibody dalam konsentrasi yang terbatas
dengan berbagai konsentrasi antigen. Pada metode kompetitif, bahan yang
mengandung antigenberlabel dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan
diberi label radio isotop. Hal ini akan menjadi kompetisi antara antigen yang akan
ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan
antibody spesifik tersebut sampai terjadi keseimbangan. Sisa antigen yang diberi
label dan tidak terikat dengan antibody dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah
itu dilakukan penambahan konyugate, sehingga terjadi pembentukan kompleks
imun dengan konjugate
c. Metode Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA)
ECLIA menggunakan teknologi tinggi yang memberi banyak keuntungan
dibandingkan dengan metode lain. Pada metode ini menggunakan prinsip sandwich
dan kompetitif. Pada. metode ECLIA yang menggunakan metode kompetitif
dipakai untuk menganalisis substrat yang mempunyai berat molekul yang kecil.
Sedangkan prinsip sandwich digunakan untuk substrat dengan berat molekul yang
besar.
d. Imunokromatografi / Rapid Test
Metode ini tidak memerlukan peralatan untuk membaca hasilnya, namun
cukup dilihat dengan kasat mata, sehingga lebih praktis. Rapid test juga bisa
digunakan untuk spesimen yang jumlahnya sedikit bahkan jika hanya satu
spesimen. Untuk sensitifitas dan spesifitas keduanya hampir sama. Jenis
pemeriksaan Rapid test adalah yang paling efisien dan banyak digunakan oleh para
klinisi.Metode ini mempunya dua prinsip yang berbeda.
1) Reaksi langsung
Metode ini dipakai untuk mengukur substrat yang besar dan memiliki lebih
dari satu epitop. Suatu substrat yang spesifik terhadap antibody dimobilisasi
pada suatu membran. Pada metode ini, kadar substrat di dalam sample tidak
boleh berlebih. Kadar substrat harus lebih sedikit daripada kadar antibody
pengikat (capture Ab)yang terdapat dalarn capture ilne.Hal ini akan membuat
mikrosfere tidak diikat pada garis pengikat (capture line) dan mengalir terus ke
garis kedua dari antibody yang dimobilisasi yaitu garis control (control line).
2) Reaksi kompetitif
Metode ini sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop
tunggal yang tidak dapat mengikat dua antibody sekaligus. Reagen pelacaknya
adalah analit yang terikat pada partikel lateks atau suatu colloidal metal. Apabila
sampel dan reagen melewati zona dimana reagen pengikat dimobilisasi,
sebagian dari substrat dan reagen palacak akan terikat pada garis capture line.

18
Makin banyak substrat yang terdapat di dalam sampel, makin efektif daya
kompetisinya dengan reagen pelacak.
e. Western Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA
atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. karena
pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik . Western Blot mempunyai
spesifisitas tinggi yaitu 99,9% apabila dikombinasi dengan pemeriksaan ELISA.
f. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya
pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibody terhadap HIV. Uji ini sederhana
untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal
dari uji Western blot.
2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1
a. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse
transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada window periode dan pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena
asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam
sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan
metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1
c. Uji Antigen p24
Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi
RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat
dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari
antibody anti-p24.
d. PCR Test
PCR adalah suatu teknologi yang menghasilkan turunan / kopi yang berlipat
ganda dari sekuen nukleotida dari organism target, yang dapat mendeteksi target
organism dalam jumlah yang sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini
dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes
ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya
hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti
3. Flow Cytometri
Flow cytometri adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk menghitung dan
meneliti partikel-partikel mikroskopis seperti sel dan kromosom di dalam suatu
suspensi. Flow cytometry secara rutin digunakan dalam diagnosis kesehatan, namun
memiliki banyak aplikasi lain dalam penelitian dan praktek klinis.Metode flow
cytometry terus berkembang sejalan dengan perkembangan elektrik komputer dan
reagen, termasuk digunakannya monoklonal antibody. Ada dua cara pengukuran sel

19
yang digunakan pada alat-alat tersebut, yaitu impedansi listrik (electrical impedance)
dan pendar cahaya (light scattering).
a. Prinsip impedansi listrik
Sel-sel darah terlebih dahulu disuspensikan dalam medium elektrolit yang bersifat
tidak konduktif. Pada waktu sel darah melewati celah dimana pada kedua sisinya
terdapat elektroda beraliran listrik konstan, akan terjadi perubahan tahanan listrik
di antara kedua elektroda tersebut. Hal ini mengakibatkan timbulnya pulsa
listrik.Jumlah pulsa listrik yang terukur per satuan waktu dideteksi sebagai
jumlah sel melalui celah tersebut. Besarnya perubahan tegangan listrik
(amplitudo) yang terjadi merupakan ukuran volume dari masing-masing sel
darah.
b. Prinsip light scattering
Metode di mana sel dalam suatu aliran melewati celah di mana berkas cahaya
difokuskan ke situ (sensing area). Apabila cahaya tersebut mengenai sel, cahaya
akan dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua arah.Hamburan cahaya
dengan arah lurus (forward scattered light) mendeteksi volume dan ukuran sel.
Sedangkan yang dibiaskan dengan sudut 90o (right angle scattered light)
menunjukkan isi granula sitoplasma.

L. DIAGNOSA
1. Risiko infeksi b.d. imunosupresi
a. Perlindungan infeksi
 Memonitoring adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Outcome : Mengetahui tanda dan gejala infeksi seperti demam, menurunkan
demam dari cukup berat menjadi ringan.
 Memonitor kerentanan terhadap infeksi
Outcome : Dapat mencegah terjadinya infeksi, dikarenakan ODHA memiliki
sistem kekebalan tubuh yang menurun sehingga mudah terjadi infeksi.
 Memeriksa kondisi setiap luka
Outcome : Kondisi luka dari berat menjadi ringan.
 Meningkatkan asupan nutrsi yang cukup
Outcome : Terjadinya peningkatan asupan nutrisi untuk mempercepat proses
penyembuhan.
 Menganjurkan istirahat
Outcome : Pasien dapat beristirahat untuk konservasi energi dan menambah
kekebalan tubuh.
 Mengajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus melaporkannya kepada pemberi layanan kesehatan
Outcome : Pasien dan keluarga mengetahui tentang tanda dan gejala infeksi dan
dapat melaporkan kejadian kepada pihak pemberi layanan kesehatan
b. Pemberian obat
 Mengikuti prosedur lima benar dalam pemberian obat

20
Outcome : Pasien mendapatkan efek terapeutik obat.
 Memonitoring kemungkinan alergi terhadap obat, interaksi dan kontraindikasi,
termasuk obbat-obatan diluar konter dan obat-obatan herbal.
Outcome : Mengetahui alergi obat yang dimiliki pasien.
 Memberitahukan klien terhadap jenis obat, alasan pemberian obat, hasil yang
diharapkan dan efek lanjutan yang akan terjadi sebelum pemberian obat.
Outcome : Pasien mengetahui tentang obat yang dikonsumsi agar menghindari
dampak buruk dari obat.
 Memberikan obat-obatan sesuai dengan teknik dan cara yang tepat.
Outcome : pasien melakukan teknik pemberian obat dengan cara yang tepat.
 Mengintruksikan klien dan keluarga mengenai efek yang diharapkan dan efek
lanjut obat,
Outcome : Pasien mengetahui interaksi obat yang akan ia konsumsi.
 Memonitoring klien terhadap efek lanjut, toksisitas dan interaksi pemberian
obat.
Outcome : Menghindari efek perilaku yang merugikan
c. Perawatan luka
 Memonitoring karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau.
Outcome : Mengetahui karakteristik luka sehingga dapat dilakukan tindakan
perawatan luka yang tepat.
 Memberkan perawatan ulkus pada luka, yang diperlukan.
Outcome : mengurangi ukuran luka dari yang besar menjadi sedang.
 Mempertahankan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan luka dengan
tepat.
Outcome : Luka tertutup sehingga membatasi peradangan luka.
 Memeriksa luka setiap kali perubahan balutan
Outcome : Untuk mengetahui pembentukan bekas luka yang awalnya besar
menjadi sedang.
 Membandingkan dan catat setiap perubahan luka
Outcome : Ada proses penyembuhan luka.
 Mendokumentasikan lokasi luka, ukuran, dan tampilan luka.
Outcome : Bentuk dokumentasi perawatan luka.
2. Intoleransi aktivitas b.d. kelemahan umum
a. Manajemen energi
 Memilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik secara farmakologis
maupun non farmakologis dengan tepat.
Outcome : Pasien dapat menyadari keterbatasan energi.
 Memonitor sumber kegiatan olahraga dan kelelahan emosional yang dialami
pasien.
Outcome : Pasien dapat menyeimbangkan aktivitas dan istirahat.
 Mengajarkan pasien mengenai pengelolaan kegiatan dan teknik manajemen
waktu untuk mencegah kelelahan.
Outcome : Pasien dapat mengatur aktivitas untuk konservasi energi.

21
b. Peningkatan latihan
 Mendukung pasien untuk memulai melakukan latihan
Outcome: Pasien mulai melakukan latihan untuk meningkatkan energi.
 Mendampingi individu pada saat menjadwalkan latihan secara rutin setiap
minggunnya.
Outcome : Pasien dapat mengikuti latihan secara rutin dan terjadwal.
 Melibatkan keluarga/ atau orang yang memberi perawatan dalam merencanakan
dan meningkatan program latihan.
Outcome : Keluarga terlibat dalam perencanaan dan peningkatan program
latihan pasien agar pasien dapat kembali pulih dengan cepat.
 Memonitoring kepatuhan individu terhadap program latihan.
Outcome : Pasien patuh mengikuti program latihan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. asupan diet yang kurang
a. Pemberian makan
 Melakukan kebersihan mulut sebelum makan.
Outcome : Keadaan mulut pasien dalam keadaan bersih untuk meminalisir
adanya infeksi kuman ke dalam tubuhn.
 Meletakkan makanan di sisi mulut yang tidak terkena dampak (penyakit)
dengan tepat.
Outcome : Pasien dapat makan tanpa merasakan sakit atau nyeri yang berlebih.
b. Manajemen nutrisi
 Menentukan status gizi pasien pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan gizi.
Outcome : Status gizi pasien berada di rentang normal.
 Menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi.
Outcome : Asupan gizi pasien mencapai rentang normal
 Memonitor kalori dan asupan makanan
Outcome : Mempertahankan asupan makanan pasien di rentang normal..
 Memonitor kecenderungan terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan.
Outcome : Berat badan pasien terpantau.
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. mucus berlebihan
a. Manajemen jalan napas
 Membuang sekret pasien dengan memotivasi pasien untuk batuk
Outcome : pasien termotivasi untuk melakukan batuk.
 Mengintruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif
Outcome : pasien mampu mengeluarkan sekret
5. Hambatan interaksi social b.d. gangguan konsep diri
a. Peningkatan harga diri
 Mendukung pasien untuk bisa mengidentifikasi kekuatan
Outcome : Pasien dapat menerima respon positif yang diharapkan dari orang
lain.
 Membantu pasien untuk menemukan penerimaan diri

22
Outcome : Pasien dappat menerima keterbatasan diri, gambadaran diri dan
meningkatkan kepercayaan diri.
 Membntu pasien untuk mengidentifikasi respon positif dari orang lain.
Outcome : Pasien dapat menerima respon positif yang diharapkan dari orang
lain.
 Membantu pasien untuk mengatasi bullyingatau ejekan
Outcome : Peningkatan kepercayaan diri pada pasien, gambaran sukses di
sekolah, pekerjaan maupun di kelompok sosial.
 Memonitor tingkat harga diri dari waktu ke waktu, dengan tepat
Outcome : Pasien dapat memenuhi peran yang signifikan secara pribadi
b. Dukungan keluarga
 Meningkatkan hubungan saling percaya dengan keluarga
Outcome : Anggota keluarga dapat mempertahankan komunikasi dengan pasien.
 Membantu anggota keluarga dalam mengindentifikasi dan memecahkan konflik
nilai nilai.
Outcome : Anggota keluarga dapat memberikan dorongan kepada anggota
keluarga yang sakit atau pasien.
 Memberikan sumber spiritual untuk keluarga, sesuai kebutuhan
Outcome : Anggota keluarga dapat mencari dukungan spiritual untuk pasien
yang sedang dalam perawatan.
 Memberikan pengetahuan yang dibutuhkan bagi keluarga untuk membantu
mereka dalam membuat keputusan
Outcome : Anggota keluarga dapat diajak bekerja sama dengan pasien dalam
menentukan perawatan.
 Melibatkan anggota keluarga dan pasien dalam membuat keputusan keputusan
terkait perawatan , jika memungkinkan
Outcome : Anggota keluarga dapat berpartisipasi dalam perencanaan pulang.

23
DAFTAR PUSTAKA

Gunaan, Y.T., Prasetyowati,I.,&Ririanty,M. (2016). Hubungan Karakteristik ODHA dengan


Kejadian Loss To Follow Up Terapi ARV. Jurnal IKESMA
Boon H., Ruiter R.A.C., James S., Bone B.V.D.,Williams Edan Reddy P. 2009. The Impact
of a Community-based Pilot Health Education Intetervention for Order People as
Caregivers of Orphaned and Sick Children as a Result of HIV and AIDS in Sounth
Africa. J Cross Cult Gerontol, 24:373-389; Oktober 2009.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-
2016.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2014. 10 Provinsi Indonesia dengan Kasus AIDS.
Komisi Penanggulangan AIDS Surakarta. 2015. Data Kasus HIV dan AIDS Kota Surakarta
Sampai Tahun Maret 2015. Surakarta: KPA Surakarta.
WHO. 2013. United Nations Joint Programme on HIV/AIDS and World Health
Organization. AIDS Epidemic Update 2013. World Health Organization, Geneva.
Fajar, Elizabeth. (2013). “Hubungan Antara Stadium Klinis, Viral Load dan Jumlah CD4
pada Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS) di RSUP dr. Kariadi Semarang”. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Pusat Data Informasi Departemen Kesehatan RI. (2006). Situasi HIV/AIDS di Indonesia
Tahun 1987-2006. Jakarta
Murni, S., Green, W., Djauzi, S., Setiyamto, A., & Okta, S. (2006). Hidup dengan
HIV/AIDS. Jakarta: Yayasan Spiritia.
Astari, L., Sawitri., Safitri, Y. E., & Hinda, D. (2009). Viral load pada infeksi HIV. Jurnal
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, 21(1).
Tim Penyusun. (2011). Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral. Kemenkes Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Tim Penyusun. (2016). Petunjuk teknis program pengendalian HIV AIDS dan PIMS fasilitas
kesehatan tingkat pertama. Kemenkes Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Yanri Z, Fertiaz M, Widiyatmanti W, Muzakir. 2005. Pedoman bersama ILO/WHO (edisi ke-
2). Jakarta:Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja Direktirat Jenderal Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Rosiana, A. N., & Sofro, M. A. U. (2014). Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Lost to
Follow-up Pada Pasien HIV/AIDS dengan Terapi ARV di RSUP Dr Kariadi
Semarang (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine Diponegoro University).
Hartono, R. (2013). Pengaruh Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART) selama 3
bulan terhadap jumlah CD4 pada penderita HIV AIDS di RSUP.H Adam Malik
Medan. Diakses pada
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/38788/Cover.pdf?sequence=7
&isAllowed=y
Anonim. (2015). Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV Dan Sifilis Dari Ibu Ke

24
Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: UNICEF
DeLaune, S. C., Ladner P. K. (2011). Fundamental of nursing: Standards and practice. 4th
Ed. Clifton Park: Delmar Cengage.
Depkes RI. (2002). Modul pelatihan konseling dantes sukarela hiv (voluntary counseling and
tesing = vct). Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
Medeiros, L., Kendall, P.A., et Hillers, V. (2006). Food safety for people with HIV/AIDS.
US Department of Agriculture Food and Drug Administration.
Potter, P. A and Perry, A.G. (2009). Fundamentals of nursing, 7th edition vol1.
Singapore : Elsevier, Inc.
Potter, P.A., Perry, A.G., Stockert, P.A., & Hall, A.M. (2013). Patient safety. Fundamentals
of nursing, 8th ed. Missouri: Elsevier Mosby.

25

Anda mungkin juga menyukai