PERITONITIS
Disusun Oleh:
Siwi Bagus Kusuma Wardhana
P1337420219072
3B
2. Klasifikasi Peritonitis
Peritonitis dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu
a. Peritonitis Primer
Tidak ditemukan adanya sumber kontaminasi atau kebocoran organ
berongga pada rongga perut. Penyebabnya adalah translokasi perpindahan
kuman
b. Peritonitis Sekunder
Kontaminasi kuman/bakteri dalam rongga perut karena adanya kebocoran
orga berongga. Penyebabnya adalah radang usus buntu yang pecah atau
kebocoran pada divertikel dan ulkus pada lambung, usus dan kantung
empedu, penyakit kronis, pancreatitis, kebocoran akibat trauma tajam atau
tumpul.
c. Peritonitis Tersier
Dikenal sebagai peritonitis berulang. Penyebabnya adalah infeksi intra
abdomen selama perawatan masa kritis di ICU tanpa kebocoran organ pada
operasi sebelumnya, (Handaya, 2017).
3. Etiologi
1) Infeksi Bakteri
a. Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan
beta hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling
berbahaya adalah clostridium wechii
b. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
c. Appendiksitis yang meradang dan perforasi
d. Tukak peptic
e. Tukak thypoid
f. Tukak pada tumor
2) Secara langsung dari luar
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide, terjadi
peritonitis yang disertai pembentukan jaringangranulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
c. Trauma pada kecelakaan peritonitis local seperti rupturs limpa, rupture
hati
d. Melalui tube fallopius seperti cacing enterbius vermikularis
3) Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media akut, mastoiditis,
glomerulonefritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus,
(Nursalam, 2008).
4. Manifestasi Klinik
1) Nyeri tekan
2) Nyeri lepas pada abdomen
3) Bissing usus lemah
4) Diare
5) muntah
6) Otot-otot abdomen kencang
7) Tidak ada gerakan peristalsis, (Baradero.2008).
8) denyut nadi cepat dan kecil
9) pernapasan dangkal
10) Juga terjadi muntah-muntah dan cegukan, (Pearce.2009).
5. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
(peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina
dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan
reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat
dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri
dari mekanisme pembersihan oleh tubuh. (Pearce, 2009).
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi
persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses
melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan
steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba
mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh
kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis.
Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit
viseral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri
telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal
berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan
abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi
terbaru menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya
pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan
pembentukan abses abdomen berikutnya. (Pearce, 2009).
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa,
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko
ileus paralitik. (Pearce, 2009).
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons
hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian
akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia, (Nursalam,2008).
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal
dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake
yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
(Nursalam,2008).
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau
rekuren. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau
phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih
sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada
sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang
diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada
pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-
74%.(Handaya, 2017).
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia,
trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema
jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga
peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih,
debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah
hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan
dalam usus. (Handaya, 2017).
6. Komplikasi
a. Salpingongo-oofaritis dan parametritis
b. Septicemia
c. Penurunan drastic tekanan darah
d. Abses
(Handaya,2017).
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut :
a. Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan
leukositosis (>11.000 sel/µL)
b. Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
c. Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi
disfungsi pembengkuan
d. Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
e. Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun
pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering
menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan mikrohematuria
f. Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
g. Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur
cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur, (Nursalam, 2008).
2) Pemeriksaan radiografik
a. Foto polos abdomen
b. Computed tomography scan (CT scan)
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI), (Nursalam, 2008).
3) USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas
(misalnya perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas
pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya
appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas), tetapi terkadang
pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri, distensi abdomen dan
gangguan gas usus. (Handaya, 2017).
8. Penatalaksanaan
1) Tindakan Klinis
Jika terjadi syok, tindakan untuk mengatasinya, yaitu dengan infuse laktat
Ringer, dekstran, atau transfuse darah. Tindakan laparatomi ekplorasi
dilakukan untuk mengetahui dan menghentikan perdarahan.
2) Tindakan Keperawatan
a. Focus pemantauan keperawatan, yaitu terhadap kekurangan volume
cairan. Oleh karena itu, pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit
selama 1 jam ; tiap 30 menit selama 2 jam; tiap jam selama 4 jam.
b. Pemantauan haluaran urin tiap jam (dengan memasang kateter Foley)
c. Pemantauan tetesan dan kepatenan infuse
d. Persiapan pasien untuk laparatomi ekplorasi
e. Pemberia dukungan psikologis dan spiritual kepada pasien dan
keluarga, (Baradero, 2008).
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal
masuk, dan alamat
2) Riwayat penyakit
a. Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit
sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral).
Kemudian berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih
terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi,
rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit tertentu
(misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia usus)
nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b. Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan
suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan
didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari septicemia
c. Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis,
perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai
bahan untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit
sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan
sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola
makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga
sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis,
ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3) Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4) Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a. Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b. TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan
hemodinamik.
c. Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien
tampak legarti serta syok hipovolemia
d. Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
a) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen
didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan
menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan
peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga
pinggul tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut
sering mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini
mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga
mengungkapkan peradangan massa
b) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah
satu tanda ileus obstruktif
c) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh,
adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat
menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal
dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan
mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior
penuh dapat mengindikasikan sebuah abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk
mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya endometritis, salpingo-
ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit
diinterprestasikan dalam peritonitis berat
d) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen,
Bararah dan Jauhar. 2013.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Risiko syok (Hipovolemik)
2) Risiko ketidakseimbangan elektrolit
3) Resiko Infeksi
3. Intervensi Keperawatan
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Hati : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC
Lianingsih, Fitri dan Ningsih, Sri Lestari. 2018. Super Modul Biologi SMA Kelas
X, XI, dan XII. Jakarta: PT. Grasindo, Anggota Ikapi
Pearce, Evelin C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama