Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1. Definisi
1.1.1. Definisi Laparotomi
Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada
dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 2009).
Laparotomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya
perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus, yang mana tujuan prosedur
tindakan pembedahan dengan membuka cavum abdomen adalah untuk eksplorasi (Arif
Mansjoer, 2010).
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi
(Lakaman:2010;194). Pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
Ada 4 cara pembedahan laparatomy yaitu;
1) Midline incision
2) Paramedian, yaitu 2,5 cm), panjang (12,5 cm).; sedikit ke tepi dari garis tengah
3) Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4) Transverse lower 4 cm di abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.

1.1.2. Definisi Peritonitis


Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga
abdomen) lamnya. (Arif Muttaqin, 2011)
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen
dan meliputi visera. (Brunner dan Suddarth, 2001)
1.2. Etiologi
1.2.1. Etiologi Laparotomi
Etiologi sehingga di lakukan laparatomy adalah karena di sebabkan oleh
beberapa hal (Smeltzer, 2009) yaitu;
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
 Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2 jenis yaitu :
 Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)
yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
 Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum) yang
dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau
sabuk pengaman (sit-belt).
2. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga
abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis
primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan
penyebab peritonitis tersier.
3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya mengenai
kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar
dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan
keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa perlengketan
(lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada
jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi (salah satu bagian
dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat
penyempitan lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai mesocolon
dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan
menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus
melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor
(tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus
menyebabkan tekanan pada dinding usus).
4. Apendiksitis mengacu pada radang apendiks
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior
dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen
oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa
menyebabkan inflamasi.

1.2.2. Etiologi Peritonitis


1. Infeksi bakteri
 Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
 Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
 Appendiksitis yang meradang dan perforasi
 Tukak peptik (lambung / dudenum)
 Tukak thypoid
 Tukak pada tumor
2. Secara langsung dari luar.
 Operasi yang tidak steril
 Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
 Trauma pada kecelakaan peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur hati
 Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

1.3. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Bila bahan-bahan infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oliguri. Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas
fibrinolitik intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan
sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat
fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini
akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di antara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme
tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk
menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat
banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan
penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen - kompartemen yang kita kenal
sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai
sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral
atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien
yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga memang karena
virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan
bakteri dengan neutrofil.
Keadaan makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain
atau jamur, misalnya pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan
bakterigram negatif, terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis
menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan
menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health evaluation)
diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis juga
diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
1.4. Manifestasi Klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari
peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi,
lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang
sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku.
Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

1.5. Komplikasi
a. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang
menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal.
b. Abses peritoneal
c. Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas.
d. Sepsis

1.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Test laboratorium
 Leukositosis
 Hematokrit meningkat
 Asidosis metabolik
2. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
 Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
 Usus halus dan usus besar dilatasi.
 Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
1.7. Penatalaksanaan Medis
1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk
mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan
melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus.
2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan.
3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti
apendiktomi. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah
insisi dan drainase terhadap abses.
ASUHAN KEPERAWATAN

1.8. PENGKAJIAN
1.8.1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
b. Riwayat kesehatan
 Kaji keluhan utama
 Keluhan waktu di data : Terdapat pasien muntah-muntah, demam, sakit kepala,
nyeri ulu hati, makan-minum kurang, turgor kulit jelek, keadaan umum lemah.
 Riwayat kesehatan yang lalu : Pernah menderita moviting atau tidak
 Riwayat kesehatan keluarga : Apakah anggota keluarga pernah menderita
penyakit seperti pasien
c. Pemeriksaan fisik
 Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi
 Inspeksi :
- Kepala : Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga dan leher
- Abdomen: biasanya terjadi pembesaran limfa,
- Genetalia : Tidak ada perubahan
 Palpasi abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung, nyeri
 Auskultasi : peristaltic usus menurun
 Perkusi abdomen : hipersonor

1.8.2. Pengkajian primer


a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa
secret, lidah jatuh atau benda asing
b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa
frekuensi pernafasan klien per menitnya.
c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan
cairan dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang cukup
jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri
U: Tidak Ada Nyeri
e. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat diketahui
kelaianan yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai akibat perubahan
sirkulasi, penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.

1.9. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa yang muncul pada pasien dengan kasus peritonitis berdasarkan
rumusan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain:

Pre Operasi
I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
III.Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
IV.Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen.
V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
Post Operasi
I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
III.Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
IV.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

1.10. INTERVENSI KEPERAWATAN


Intervensi menurut Mc.Closkey (1996) Nursing Intervention Classsification
(NIC), dan hasil yang diharapkan menurut Johnson (2000) Nursing Outcome
Classification ( NOC) , antara lain:

Pre Operasi
Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang.
Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Kegelisahan atau keteganganotot
4. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
5. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
Penatalaksanaan nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan, factor
presipitasinya
2. Observasi ketidaknyamanan non verbal
3. Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
5. Anjurkan pasien untuk istirahat
6. Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
7. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


mual,muntah, anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien adekuat.
Status Gizi, kriteria hasil:
1. Mempertahankan berat badan.
2. Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3. Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4. Turgor kulit baik.
Pengelolaan Nutrisi
1. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya.
4. Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
5. pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

Dx III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali
normal 370 C
Thermoregulation, kriteria hasil:
1. Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan
2. Suhu tubuh dalam batas normal
3. Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan
4. Perubahan warna kulit tidak ada
Fever Treatment
1. Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
2. Pantau warna kulit dan suhu
4. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar
pakaian.
4. Berikan cairan intravena

Dx IV. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi.
Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1. Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
2. Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
3. Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
Penatalaksanaan defekasi
1. Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan
warna yang tepat.
2. Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan
penggunaan laksatif.
3. Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan cairan,aktivitas dan
latihan.
4. Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk
mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet.
5. Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan tingkah laku.

Dx V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien bebas dari gejala
peritonitis.
Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.
2. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria, dan imun dalam
batas normal.
3. Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan.
Pengendalian Infeksi
1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan
suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-
tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan
kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara,
pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan
meningkatkan resiko perforasi.
4. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
5. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Post Operasi
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang.
Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
4. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
Penatalaksanaan nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
2. Observasi ketidaknyamanan non verbal
3. Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
5. Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
7. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan
pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
Fluid balance, kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab,
4. Tidak ada rasa haus yang berlebihan
Fluid Management
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Monitor vital sign dan status hidrasi
3. Monitor status nutrisi
4. Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.
5. Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.
6. Atur kemungkinan transfusi darah.

Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.


Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi pada
luka bedah.
Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Bebas dari tanda dan gejala infeksi.
2. Higiene pribadi yang adekuat.
3. Mengikuti prosedur dan pemantauan.
Pengendalian Infeksi
1. Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).
2. Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
3. Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi.
4. Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut yang
steril.
5. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.

Dx. IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa
mengalami kelemahan.
Konservasi energi, kriteria hasil:
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi,
dan RR
2. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
Management Energi
1. Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat
dan aktivitas
2. Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
3. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi
4. Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas
5. Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.
6. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat

Anda mungkin juga menyukai