Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan

makalah tentang “DRPs (Drug Related Problems)”. Dan juga kami berterima

kasih pada Ibu apt. Debi Meilani, S,Si., M.Si. selaku dosen mata kuliah Ilmu

Resep yang telah memberikan tugas ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah

wawasan serta pengetahuan.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam

makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,

diharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah

kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna

tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang

membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami

sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila

terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan

saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Medan, 02 Juli 2021

                                                                                                        Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................

1.1 Latar Belakang ........................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................

1.3 Tujuan ......................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................

2.1 Definisi DRPs (Drug Related Problems) ................................................

2.2 Komponen-Komponen DRPs ..................................................................

2.3 Data Yang Penting Mengenai Pasien ......................................................

2.4 Klasifikasi DRPs .....................................................................................

2.5 Studi Kasus DRP (Drug Related Problem) .............................................

2.6 Kasus .......................................................................................................

BAB III PENUTUP ..............................................................................................

3.1 Kesimpulan ..............................................................................................

3.2 Saran ........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang

Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka

memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi

pasien.Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya

ketidakpatuhan terhadap program pengobatan.Penyebab ketidak patuhan tersebut

salah satunya disebabkan kurangnya informasi tentang obat.Selain itu, regimen

pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang

diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap

pengobatan.Selain maslah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang

tidak diinginkan dari penggunaan obat.Dengan diberikannya informasi obat

kepada pasien maka maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi,

indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta

interaksi obat dapat dihindari.

Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep

baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu

penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek

merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk

penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencana pemantauan lanjutan.

Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan

menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.

Drug  Related  Problems  (DRPs)  merupakan  masalah  kesehatan yang 

serius  yang  dapat  terjadi  pada  semua  tingkat  umur,  dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien serta menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar.

Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan

melakukan screening resep untuk mengetahui ada atau tidaknya  DRP,  serta 

melakukan  konseling  pada  pasien  tersebut  agar masalah terkait penggunaan

obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti tentang pengobatannya yang 

bermuara  pada meningkatnya  kepatuhan pasien dalam pengobatan yang teratur.

1.2.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

a.  Apa definisi dari DRPs (Drug Relatit Problems)?

b. Apa saja komponen-komponen DPRs?

c. Apa saja data yang penting mengenai pasien?

d. Apa saja klasifikasi DRPs?

e. Apakah ada contoh studi kasus DRP (Drug Related Problem)?

1.3.   Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui definisi dari DRPs (Drug Relatit Problems)

b. Mengetahui komponen-komponen DPRs

c. Mengetahui apa saja data yang penting mengenai pasien

d. Mengetahui klasifikasi DRPs

e. Mengetahui contoh studi kasus DRP (Drug Related Problem)


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi DRPs (Drug Related Problems)

DRPs adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan

secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang

diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua

kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian

ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnose penyakit, ketidak mampuan

(disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur

atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi

obat (Strand, et al., 1990).

Society Consultant American Pharmacist menyebutkan bahwa tujuan dari

terapi obat adalah perbaikan kualitas hidup pasien melalui pengobatan atau

pencegahan penyakit, mengurangi timbulnya gejala, atau memperlambat proses

penyakit. Kebutuhan pasien berkaitan dengan terapi obat atau drug related

needs meliputi ketepatan indikasi, keefektifan, keamanan terapi, kepatuhan

pasien, dan indikasi yang belum tertangani. Apabila kebutuhan tersebut tidak

terpenuhi atau outcome pasien tidak tercapai maka hal ini dapat dikategorikan

sebagai DRP (Cipolle et al., 1998).

Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan

dan pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga

kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang

dikehendaki (Cipolle et al, 1998).


DRP aktual adalah DRP yang sudah terjadi sehingga harus diatasi dan

dipecahkan.Dalam hal ini pasien sudah mengalami DRP misalnya dosis terlalu

besar sehingga dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien. DRP potensial

adalah DRP yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami oleh pasien

apabila tidak dilakukan pencegahan, misalnya pasien apabila diberikan suatu obat

akan mengalami kontraindikasi sehingga harus diganti dengan obat lain

(Rovers et al, 2003).

2.2  Komponen-Komponen DPRs

Ada dua komponen penting dalam DRPs yaitu:

1. Kejadian atau resiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien. Kejadian

ini dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi, fisiologis, atau

sosiokultural pasien.

2. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak

diharapkan yang dialami oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini meliputi

konsekwensi dari terapi obat sehingga penyebab/diduga sebagai penyebab

kejadian tersebut,atau dibutuhkannya terapi obat untuk mencegah kejadian

tersebut.

Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:

1. Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya

Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau

premedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu.

2. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai


Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya

dengan terapi non obat,minum beberapa obat padahal hanya satu terapiobat

yang diindikasikan dan atau minum obat untuk mengobati efeksamping.

3. Menerima obat salah

Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya resiko

kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang tidak

perlu dan bukan yang paling aman.

4. Dosis terlalu rendah

Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan

respon yang diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu pendek,pemilihan obat,

dosis, rute pemberian, dan sediaan obat tidak tepat.

5. Dosis terlalu tinggi

Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka

waktu tidak tepat dan adanya interaksi obat.

6. Pasien mengalami ADR

Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila

obatdigunakan, efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan

pasien,interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu

cepatsehingga menyebabkan ADR dan mengalami efek yang tidak

dikehendakiyang tidak diprediksi.

7. Kepatuhan

Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat,

pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan, pasien tidak

mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal, pasien tidak mengambil
beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat

(Cipolle et al, 1998).

2.3  Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga

kategori :

1. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis,

ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan

jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.

2. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini

dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara

pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.

3. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan,

prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.

Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang

yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis,

data laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al.,

1998).

Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems

sebaiknya diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan

menyusui, serta pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi

sempit(Yunita et al., 2004).

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah

dan memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak

selalu mudah dicapai.Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas


kesembuhannya.Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling,

edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).

Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas

kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social

pasien.Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat

(DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata

atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan

(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).

2.4  Klasifikasi DRPs

Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:

1. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien

tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut

2. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai

indikasi medis yang valid.

3. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obatyang tidak aman,

tidak palingefektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.

4. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi

dosis obat tersebut kurang.

5. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benartetapi dosis

obat tersebut lebih.

6. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.

7. Pasien mempunyai kondisi medis akibatinteraksi obat-obat, obat-makanan,

obat-hasil laboratorium.
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)

mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care

Network Europe., 2006) :

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping

atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan

memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan

kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi

tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang

digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih

besar atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak

menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak

diresepkan.

5. Interaksi obat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang

bermanifestasi atau potensial.

6. Masalah lainnya (Others)


Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran

yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak

jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui

penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.

Klasifikasi DRP :

1. Indikasi

Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi

untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.

a. Pasien memerlukan obat tambahan

Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien

menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk

daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama

perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien

yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang

sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan

obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan

untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.

b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan

Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang

tidak benar, polifarmasi dan duplikasi.Merupakan tanggungjawab farmasi agar

pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat.DRP

kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas

atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang

seharusnya.Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat


batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah

mengandung paracetamol.

2. Efektivitas

a. Pasien menerima regimen terapi yang salah

 Terapi multi obat (polifarmasi)

Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan

penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10

jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat

untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah

obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat

menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak

dengan batuk pilek yang berisi :

a) Amoksisillin

b) Parasetamol

c) Gliseril Guaiakolat

d) Deksametason

e) CTM

f)  Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa

menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga

penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak

diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.

b. Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk

memelihara konsentrasi darah dan jaringan.Namun, beberapa obat yang

dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi

sekali dalam sehari.Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari

yang seharusnya 3 kali sehari.

cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin

sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat

mengiritasi lambung.

a) Durasi dari terapi

Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama

satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang

sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti

tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah

berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.

b) Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah

Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis

terapinya.Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya

terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi

kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah

yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat,

frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang

diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh

terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar

juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.
3. Keamanan

a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi

Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan

dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko

efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien

menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis

pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya,

penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan

interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol

sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.

b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)

Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan

karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak

benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat,

dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.

4. Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan

nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain :

a. Persepsi tentang kesehatan

b. Pengalaman mengobati sendiri

c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya

d. Lingkungan (teman, keluarga)

e. Adanya efek samping obat


f. Keadaan ekonomi

g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

5. Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar.Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus

yang paling tepat dari yang tersedia.Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika

dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik.Pasien

yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan

bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan

penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

6. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat

lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah

kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini

ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau

berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai

berikut:

a. Obat-Makanan

Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan

pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:

1) Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan

sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.


2) Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi

meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat

diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah

absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.

b. Obat-Uji Laboratorium

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi

uji diagnostik.Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia.Misalnya,

laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh

perubahan zat yang diukur.Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker

harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.

c. Obat-Penyakit

Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu

dipantau.Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada

kondisi medik pasien.Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut

sebagai kontraindikasi absolut dan relatif.Misalnya, penggunaan kloramfenikol

dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida

dapat menyebabkan nefrotoksik.

d. Obat-Obat

Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari.Semua

obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat.Apoteker perlu

mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan.Suatu interaksi

dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan

menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien.Interaksi antar obat dapat

berakibat merugikan atau menguntungkan.Interaksi obat dianggap penting secara


klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat

yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang

sempit.

Adapun kasus  masing-masing kategori DRPs yang mungkin terjadi dapat

dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Jenis-jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi

DRPs Kemungkinan kasus pada DRPs

Butuh terapi obat  1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obatnya

tambahan yang terbaru

2. Pasien dengan kronik membutuhkan lanjutan terapi obat

3.Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombi

nasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau

potensiasi

4.Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru

dapat dicegah dengan penggunaan obat profilaksis


Terapi obat yang  1.    Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi

tidak perlu 2.    Pasien yang mengalami toksisitas karena obat atau hasil

pengobatan

3.    Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat,alkohol dan

rokok

4.    Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik di obati

tanpa terapi obat

5.    Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana

hanya sigle drug therapy dapat di gunakan

6.    Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhan dapat


menghindari

reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya
Obat tidak tepat 1.    Pasien di mana obatnya tidak efektif

2.    Pasien alergi Pasien penerima obat yang tidak paling

efektif untuk indikasi pengobatan

Pasien   dengan   faktor   resiko   pada   kontraindikasi

penggunaan obat Pasien menerima  obat  yang  efektif tetapi

ada  obat  lain yang lebih murah

f. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman

g. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat

yang diberikan
Dosis terlalu 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang

rendah digunakan

2. Pasien  menerima   kombinasi   produk  yag  tidak   perlu di

mana single drug dapat memberikan pengobatan yang tepat

3. Pasien alergi dosis yang digunakan terlalu rendah untuk

menimbulkan respon konsentrasi obat  dalam serum

pasien di  bawah range terapeutik yang diharapkan.

Waktu prophylaksis (preoperasi)  antibiotic diberikan terlalu

tepat dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk pasien

Terapi    obat    berubah   sebelum    terapetik   percobaan

cukup untuk pasien Pemberian obat terlalu cepat

Reaksi obat  1. Pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila obat

Merugikan digunakan

2. Ketersediaan dari obat dapat  menyebabkan interaksi denga
n obat lainatau makanan pasien

3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien

4.  Efek dari obat di ubah enzym inhibitor atau induktor dari

obat lain

5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding

site oleh obat lain

6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain


Dosis telalu  1.    Dosis terlalutiggi

Tinggi 2.    Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas srange terapi obat

yang diharapkan

3.    Dosis obat meningkat terlalu cepat

4.    Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat.

5.    Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Ketidakpatuhan  1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat

pasien (penulisan, obat, pemberian, pemakaian)

2. Pasien  tidak  menuruti  (ketaatan)  rekomendasi  yang

diberikan untuk pengobatan

3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena

harganya mahal

4.Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan

karena kurang mengerti.

5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang  diresepkan

secara konsisten karena merasa sudah sehat

2.5  Studi Kasus DRP (Drug Related Problem)


Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki

tugas primer yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai

pengobatan yang rasional dan optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk

mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai berikut :

1.    Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi

2.    Menentukan penyebab terjadinya DRPs

3.    Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs

4.    Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan

untuk evaluasi

2.6  Kasus

CONTOH ANALISA KASUS DRP

Kasus 1

Seorang pria 42 tahun dengan diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi

dirujuk ke klinik untuk assassment (penilaian) mixed hyperlipidemia yang

ditemukan dalam pemeriksaan rutinnya. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan

di klinik menunjukan hasil yang biasa. Pasien tidak memiliki xanthomatous.

Riwayat keluarga ada yang menderita diabetes melitus tipe 2. Pengobatan saat ini

ramipril, glyburide, dan hydroclorthiazide. Hasil analisis sampel darah (puasa)

kolesterol total 356,34 mg/dL, total trigliserida 5927,4 mg/dL, HDL-c 23,4

mg/dL, TSH 0,94 mIU/L. Urea, kreatininm elektrolit, bilirubin, AST, ALT

normal. HbA1c 9,5%. Kemudian dokter meresepkan fenofibrate, metformin, dan

rosuvastatin termasuk ramipril, glyburide, dan hydroclorothiazide. Empat minggu

kemudian lipid profil pasien mengalami peningkatan. Hasil laboratorium

menunjukkan kadar kolesterol total 213,45 mg/dL, trigliserida 825,5 mg/dL,


HDL-c 37,05 mg/dL. Dengan terus dilakukan follow up, 3 bulan kemudian

kolesterol total 145,9 mg/dL, trigliserida 330,4 mg/dL, HDL-c 27,84 mg/dL.

Penyelesaian

A.    Subjek

Pria berusia 55 tahun

1. Past Medical History

 Diabetes melitus tipe 2

 Hipertensi

2. Medication History (Dosis tidak dicantumkan di dalam jurnal)

 Ramipril

 Glyburide

 Hydrochlorothiazide

B.     Objek

Data Laboratorium (Puasa)

Saat pertama Nilai uji Nilai normal


Kolestrol Total 536.34 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 5927.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 23.4 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
TSH 0.94 mIU/L 0.49 - 4.67 mIU/L
HbA1c 9.5% < 6,5%
Urea, kreatininm elektrolit,

bilirubin, AST, ALT normal


4 minggu kemudian
Kolestrol Total 213.45 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 825.5 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 37.05 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
3 minggu kemudian
Kolestrol Total 145.9 mg/dL, 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 330.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 27.84 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
C.     Assassment
Pasien mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi.

Glyburide (dosis tidak dicantumkan) digunakan untuk terapi diabetes pasien.

Ramipril dan hydroclorothiazide (dosis tidak dicantumkan) digunakan untuk

terapi hipertensi pasien. Berdasarkan data diatas, kolesterol total dan trigliserida

pasien sangat tinggi sementara kadar HDL-c dibawah normal. Menurut  NCEP

(National Cholestrol Education Program) kolesterol total normal < 200 mg/dL,

trigliserida normal < 150 mg/dL, dan HDL-c 35-93 mg/dL. Hal ini

mengindikasikan bahwa pasien menderita hiperlipidemia (mixed hyperlipidemia).

Diabetes melitus tipe 2 yang diderita pasien merupakan salah satu

penyebab terjadinya hiperlipidemia sekunder karena kondisi tersebut dapat

menyebabkan meningkatnya level VLDL dan menurunkan HDL (Rader & Hobbs,

2012). Menurut Koda-Kimble et al (2005), pemakaian obat hipertensi golongan

tiazid juga menyebabkan peningkatan kolestrol 5-7% dan peningkatan trigliserida

30-50%. Sementara menurut Martin et al. 2009, pasien dengan kadar trigliserida >

2001,77 mg/dL semuanya hampir memiliki hiperlipidemia sekunder dan primer.

Dokter meresepkan fenofibrate (dosis tidak dicantumkan) untuk mengatasi

hiperlipidemia. Saat pemeriksaan HbA1c pasien sebesar 9,5% maka dokter

memberi metformin (dosis tidak dicantumkan) tambahan obat untuk diabetes

pasien. Rusovastatin (dosis tidak dicantumkan) untuk terapi mixed

hyperlipidemia.

D.    Plan

Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam pengobatan adalah penurunan kadar

kolesterol total dan trigliserida, meningkatkan kadar HDL-c, menormalkan kadar

gula darah dan tekanan darah tinggi serta mengurangi resiko pertama atu berulang
dari infark miokardiak, angina, gagal jantung, stroke iskemia, dan kejadian lain

pada penyakit arterial (karotid stenosis atau aortik abdominal)

1.Terapi hiperlipidemia

a. Fenofibrate

Dosis inisial yang biasa digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia yaitu

sebesar 300 mg per hari dan dapat ditingkatkan menjadi 400 mg perhari. Dosis

pemeliharan 200 mg per hari. Obat diminum setelah makan.

b. Rusovastatin

Dosis inisial yang biasa digunakan yaitu 20 mg per hari. Range dosis 5 – 40 mg

per hari dan tidak lebih dari 40 mg perhari. Obat sebelum atau setelah makan.

2. Terapi hipertensi

a. Ramipril

Dosis pemeliharaan yaitu 2,5-5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah

makan.

b. Hidrochlortiazide

Dosis yang biasanya digunakan yaitu 12,5 mg per hari diminum pagi sebelum

atau setelah makan.

3. Terapi Diabetes melitus tipe 2

a. Glyburide

Dosis pemeliharaan yaitu 1,25 – 20 mg per hari diminum segera sebelum makan.

b. Metformin

Dosis pemeliharan yaitu 500 mg 1 – 2 kali perhari diminum setelah makan.

Drug Related Problem dalam Kasus 1


Pasien dengan mixed hyperlipidemia , diabetes metitus tipe 2 dan hipertensi dalam

kasus ini menerima 6 macam obat dalam pengobatannya. Walaupun dokter tetap

melakukan follow up terhadap pasien tersebut, analisis DRP tetap harus dilakukan

untuk mencegah pasien mengalami kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat

merugikan pasien. Adapun analisis DRP antara lain: indikasi tanpa obat, obat

tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, kelebihan dosis obat, interaksi obat,

efek samping obat, dan kegagalan pasien menerima terapi.

1.      Indikasi tanpa obat

Pasien menderita mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi.

Dari data hasil laboratorium dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya

indikasi penyakit lain.

2.      Obat tanpa indikasi

Enam jenis obat yang digunakan (glyburide, ramipril, hydrochlortiazide,

fenofibrate, rusovostatin, dan metformin) diindikasikan untuk mengobati mixed

hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi. Tidak ditemukan obat

tanpa indikasi dalam kasus ini.

3.      Ketidaktepatan pemilihan obat

Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian obat yang

tidak efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya atau

obat bukan paling efektif untuk mengatasi penyakit. Rusovostatin efektif

menurunkan kadar kolesterol total dan LDL dan merupakan terapi utama untuk

mayoritas pasien hiperlipidemik. Namun dalam kasus tertentu dapat ditambahkan

agen hipolipidemik lain untuk mencapai tujuan terapi yang lebih agresif. Oleh
sebab itu, Fenofibrate ditambahkan karena memiliki kemampuan menurunkan

kadar VLDL.

Mekanisme kunci obat golongan fibrat adalah dengan meningkatkan 

lipolisis, meningkatkan asupan lemak hati dan menurunkan produksi trigliserida

hati, meningkankan asupan LDL oleh reseptor LDL, dan menstrimulasi transpor

balik sehingga meningkatkan HDL. Fibrat utamanya digunakan pada pasien yang

hanya mengalami peningkatan trigliserida dan juga digunakan dalam terapi mixed

hyperlipidemia, terutama jika HDL rendah. Kombinasi golongan statin dan fibrat

meningkatkan resiko miopati bermakna, pertimbangan pemilihan obat baru seperti

ezetimid mungkin akan lebih tepat.

Glyburide golongan sulfonil urea dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%

dengan menstimulasi sekresi insulin. Metformin memiliki efek utama metformin

adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa

puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%.

Algoritma pengelolaan diabetes melitu tipe 2 menurut ADA/EASD yang pertama

yaitu dengan intervensi pola hidup dan metformin. Bila belum maksimal maka

obat kedua dapat ditambahkan agar HbA1C pasien < 7%, konsensus

menganjurkan penambahan sulfonilurea atau insulin. Pemilihan kombinasi

glyburide dan metformin sebagai antidiabetes melitus tipe 2 dinilai cukup tepat.

Terapi hipertensi dalam kasus ini menggunakan ramipril dan hydrochlortiazide.

Ramipril adalah antihipertensi golongan ACEi yang merupakan vasodilator yang

menghambat angiotensin II (vasokonstriktor kuat). Penghambatan pembentukan

angiotensin II akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-

aldonsteron teraktivasi (misalnya pada keadaaan penurunan sodium, atau terapi


diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. Oleh karena itu dalam kasus

itu menggunakan  kombinasi ramipril dengan hydrochlorothiazide. Pasien

diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi untuk mencapai target tekanan

darah optimal. ACEi merupakan terapi pilihan karena dapat mencegah progresi

mikroalbuminoria ke nefropati. Selain itu, penggunaan beta-blocker tidak lagi

direkomendasikan oleh NICE karena kurang efektif untuk mengurangi resiko

diabetes terutama untuk pasien yang mendapatkan diuretik tiazid.

4.      Dosis obat kurang dan berlebih

Dalam kasus ini hanya terdapat data jenis kelamin dan usia pasien, tidak

dicantumkan berapa dosis yang digunakan dan juga tidak tersedia data berat badan

pasien. Penilaian apakah dosis yang diberikan oleh dokter kurang atau berlebih

sangat sulit dilakukan, kerena perhitungan dosis tidak dapat dilakukan. Namun,

apabila dokter memberikan dosis obat-obat tersebut dalam jumlah dan range dosis

lazimnya maka dapat dikatakan tidak terjadi kekurangan dan kelebihan dosis obat.

Mengingat kondisi organ pasien dalam keadaan baik (dilihat dari data

laboratorium dan pernyataan dokter mengenai pemeriksaan fisik) maka tidak perlu

dilakukan penyesuaian dosis.

5.       Interaksi obat

Obat A Obat B Tingkat Interaksi


Fenofibrate Rosuvastatin Serius Meningkatkan efek karena
sinergisme farmakodinamik.
Fenofibrate dapat meningkatkan
risiko rhabdomyolysis ketika di
kombinasi dengan statin untuk
menurun trigliserida dan
meningkatkan HDL. Jika tetap
digunakan maka lakukan
monitoring dengan ketat.
Gunakan alternatif obat lain
Glyburide Signifikan (ezetimibe).
Fenofibrate meningkatkan efek
dari glyburide dengan 
berkompetisi membentuk ikatan
protein plasma. Signifikan
interaksi dapat terjadi, lakukan
monitoring.
Rosuvastatin Glyburide Signifikan Glyburide meningkatkan
toksisitas rosuvastatin.
Merupakan inhibitor OATP1B1,
dapat meningkatkan
risiko myopathy. Lakukan
monitoring.
Hydrochloro Metformin Minor / Hydrochlorothiazide akan
-thiazide tidak meningkatkan efek metformin
signifikan melalui mekanisme kompetisi
klirens tubular ginjal.

Ramipril Glyburide Signifikan Ramipril meningkatkan efek


interaksi glyburide melalui aksi sinergisme
mungkin farmakodinamik. Monitoring
terjadi dengan ketat.

6.      Efek samping

Obat Efek samping Keterangan


Fenofibrate Nyeri otot, myopathi, myositis, diare, Pasien
flatulance, pankreatitis, ulser peptik, diingatkan
kolelitiasis, depresi CNS, tentang efek
disarithmia, pulmonari emboli, samping yang
gangguan ginjal, anemia, leukopenia. mungkin
Rosuvastatin Keluhan abdominal ringan, ruam terjadi. Efek
kulit, gatal, nyeri kepala, nyeri otot, yang mungkin
kejang otot, lelah, dan gangguan terjadi
tidur. Kenaikan konsentrasi berbeda antar
transminase. Efek samping yang invidu,
jarang terjadi: rhabdomiolisis dan tergantung
miopati.
Anafilaksis, aneroksia, kebingungan,
gangguan hematopoetik, pusing,
gangguan lambung, kelelahan, sakit
Hydrochlorothiazid
kepala, hiperkalemia, hiperkolestro,
e
hiperurisemi, hipotensi, metabolik
asidosis, nausea, pankreatitis,
vertigo, dan vomitting.
Batuk, hipotensi, pusing, angina
pektoris, sakit kepala, vomitting,
Metformin
vertigo, abnormalitas fungsi ginjal,
dengan respon
dan diare.
tubuh.
Gangguan saluran cerna, sakit
kepala, gejala hematologik,
trombositopenia, agranulositosis,
Glyburide
anemia aplastik (jarang). Gangguan
fungsi hati dan ginjal pada pasien
lanjut usia
Neutropenia, agranulosis,
Ramipril proteinuria, glomerulusnefrosis,
gagal ginjal akut.
7. Kegagalan terapi

Tidak ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up yang

dilakukan oleh dokter pasien terus mengalami perkembangan peningkatan profil

lipid. Kegagalan terapi dalam suatu pengobatan dapat disebabkan oleh faktor

psikososial, ketidakmampuan ekonomi, kurangnya pemahaman pasien tentang

terapi yang dia lakukan, dosis yang tidak sesuai, dan pasien menggunakan obat

lain tanpa sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat disebabkan oleh

petugas kesehatan yang tidak memberitahu cara penggunaan obat dengan benar.
BAB III

PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

1. Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan

pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga

kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang

dikehendaki.

2. Terdapat dua komponen penting dalam DRPs yaitu Kejadian atau resiko yang

tidak diharapkan yang dialami oleh pasien dan ada hubungan atau diduga ada

hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien

dengan terapi obat.


3. Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:

a.  Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya

b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai

c. Menerima obat salah

d. Dosis terlalu rendah

e. Dosis terlalu tinggi

f. Pasien mengalami ADR

g. Kepatuhan

4.  Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori:

a.   Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien

b.  Obat lain yang dikonsumsi pasien

c.   Penyakit, keluhan, gejala pasien

5. Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)

mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut:

a.    Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

b.   Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

c.    Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

d.   Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

e.    Interaksi obat (Interaction)

f.    Masalah lainnya (Others)

6. Klasifikasi DRP meliputi: Indikasi, Efektivitas, Keamanan, Kepatuhan,

Pemilihan Obat, Interaksi Obat.

7. Langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai

berikut :
a.    Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi

b.   Menentukan penyebab terjadinya DRPs

c.    Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs

d.   Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan

untuk evaluasi

3.2  SARAN

Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan

kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association

Royal Pharmacetical of Great Britain, England.

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New

York.

Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care, McGraw-

Hill, New York.

Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1992, Pharmaceutical Care An

Introduction Current Concept, McGraw-Hill, New York.

Hepler, CD, Strand, LM 1990, ‘Opportunities and Responsibilities in

Pharmaceutical Care’, American Journal of Hospital Pharmacy, 47, pp.533-

543.
PCNE. 2006. Classification for Drug Related Problems V5.01. Europe:

Pharmaceutical Care Network Europe Foundation.

Rovers, J.P., Currie, J.D., Hagel, H.P., McDonough, R.P., Sobotka, J.L. Eds.,

2003, A Practical Guide to Pharmaceutical Care,2nd Ed., American

Pharmaceutical Association, Washington, D.C.

Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-

Related Problems: Their Structure and function’, DICP the Annals of

Pharmacotherapy, vol. 24, pp. 1094-1096.

Anda mungkin juga menyukai