Di Susun Oleh :
Hariyanta Br Sembiring (12330056)
Ida Ayu Laksmi Dewi (12330057)
Lita Nuradri Yani (12330058)
Dina Rachmawati (12330060)
Yunita Beladina (12330063)
Puji dan Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas kehendak-
Nyalah makalah interaksi obat dengan judul ”Interaksi obat antidiabetes” ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tidak terlalu banyak mengalami
kesulitan, karena referensi yang didapatkan oleh penyusun merupakan rekomendasi langsung
dari dosen matakuliah yang bersangkutan, hal ini tidak meminimkan pengetahuan para
penyusun dalam penyelesaian makalah. Selain itu, penyusun pun mendapatkan berbagai
bimbingan dari beberapa pihak yang pada akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan para pembaca
tentang definisi dari interaksi obat dengan diabetes, klasisifikasi, mekanisme interaksi obat,
tingkat keparahan interaksi obat, terapi untuk penyakit diabetes, penggolongan obat oral
antidiabetes, interaksi obat oral antidiabetes dan bagaimana mekanisme kerjanya, level
signifikansi dan cara penanganannya bila terjadi interaksi.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah interaksi Obat
yaitu ibu Rara Merindra Puspitasari,S.Si.,M.Farm yang telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menyusun makalah ini dengan baik. Dan pada akhirnya kepada Allah jualah
penyusun mohon taufik dan hidayah, semoga usaha kami dalam menyusun makalah ini
mendapat manfaat yang baik, serta mendapat ridho Allah SWT. amin ya rabbal alamin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Definisi ................................................................................................................... 3
Klasifikasi Diabetes............................................................................................... 3
Mekanisme Interaksi Obat..................................................................................... 4
Tingkat Dokumentasi / Kejadian Interaksi Obat.................................................... 6
Tingkat Keparahan Interaksi Obat .................................................................................... 6
Penatalaksana .................................................................................................................... 7
Obat Antidiabetes................................................................................................... 9
Interaksi Obat Antidiabetes ................................................................................... 17
Level Signifikansi Interaksi Obat .......................................................................... 22
Cara Penanggulangan............................................................................................. 30
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 32
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang banyak menarik perhatian karena
tingkat prevalensinya yang semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi karena adanya
perubahan gaya hidup dan bertambahnya populasi usia lanjut. Perubahan gaya hidup
diantaranya mulai dari pola makan/jenis makanan yang dikonsumsi sampai
berkurangnya kegiatan jasmani. Penyakit DM sering menimbulkan komplikasi berupa
stroke, gagal ginjal, jantung, nefropati, kebutaan dan bahkan harus menjalani
amputasi jika anggota badan menderita luka gangren (Annisa, 2004).
Kasus diabetes melitus yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe II yang
umumnya memepunyai latar belakang kelainan berupa resistensi insulin. Pengobatan
untuk DM tipe II dengan perencanaan makan (diet) atau terapi nutrisi medik, yang
merupakan pengobatan utama yang diikuti dengan latihan jasmani (olahraga), namun
bila tindakan tersebut tidak atau kurang efektif untuk menormalkan glukosa darah
maka perlu digunakan obat antidiabetik oral. Obat antidiabetik oral merupakan
senyawa yang dapat menurunkan kadar glukosa darah dan diberikan secara oral.
Pada penggunaan obat antidiabetik oral dapat terjadi interaksi dengan obat-
obat tertentu yang digunakan oleh pasien sehingga menyebabkan terjadinya gejala
hipoglikemia yang merupakan efek samping paling berbahaya. Gejala hipoglikemia
berupa berkeringat, tremor, takikardia, kesemutan, pandangan kabur, konsentrasi
berkurang, ataksia, hemiplegia dan koma. Maka pada makalah ini, akan dibahas
tentang interaksi obat antidiabetes.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari interaksi obat dan diabetes ?
2. Apa saja klasifikasi diabetes ?
3. Apa saja mekanisme interaksi obat ?
4. Apa saja tingkat keparahan interaksi obat ?
5. Apa saja terapi untuk penyakit diabetes ?
6. Apa saja penggolongan obat oral antidiabetes ?
1
7. Apa saja interaksi obat oral antidiabetes dan bagaimana mekanisme kerjanya ?
8. Pada level signifikansi berapa interaksi obat oral antidiabetes dengan obat lain ?
9. Bagaimana cara penanganannya bila terjadi interaksi ?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat sebagai bahan pembelajaran untuk mata kuliah interaksi
obat. Selain itu sebagai pemenuhan tugas.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Interaksi obat merupakan peristiwa yang terjadi karena perubahan efek obat
pertama oleh pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Interaksi obat
dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau
mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit.
Diabetes mellitus merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri,
polidipsi dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia (glukosa puasa ≥126mg/dL atau postprandial ≥200mg/dL atau glukosa
sewaktu ≥200mg/dL). Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin, sehingga
glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adiposa atau hepar dan
metabolismenya terganggu. Pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel sehingga
energi utama diperoleh dari metabolisme lemak dan protein (Suherman, 2007).
Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator (peniru yang
handal), karena penyakit ini dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan (Waspadji, 1996).
B. Klasifikasi Diabetes
American Diabetes Assosiation (ADA), memperkenalkan klasifikasi diabetes
berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan
gangguan toleransi glukosa. Terdapat empat klasifikasi klinis gangguan toleransi
glukosa, yaitu DM tipe 1, tipe 2, diabetes gestasional (kehamilan) dan tipe lain (akibat
kelainan genetik, penyakit, obat dan infeksi) (Schteingart, 2006).
Diabetes tipe 1, merupakan akibat dari perusakan autoimun sel beta pankreas
dibuktikan dengan diagnosis pada 90% orang terdapat sejumlah kecil sel antibodi,
antibodi untuk asam glutamat dekarboksilase dan antibodi untuk insulin. Pada
umumnya diderita anak-anak dan remaja, namun dapat terjadi pada umur berapapun.
Pada usia muda terjadi laju kecepatan perusakan sel beta ditandai dengan
ketoasidosis, ketika dewasa sering dipelihara dengan sekresi insulin yang cukup untuk
mencegah ketoasidosis untuk beberapa tahun (Triplitt et al., 2005).
3
Diabetes tipe 2, karakteristik dari tipe ini adalah resisten insulin sehingga
relatif kurangnya sekresi insulin. Kebanyakan penderita tipe ini disertai obesitas, hal
ini yang menyebabkan resisten insulin. Hipertensi, dislipidemia dan peningkatan level
plasminogen aktivator inhibitor-1 (PAI-1) juga ditunjukkan pada penderita tipe ini.
Ketidaknormalan ini sering disebut ”insulin resistance syndrome” (Triplitt et al.,
2005).
Diabetes gestasional, akibat peningkatan sekresi berbagai hormon sehingga
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, pasien yang mempunyai
predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi
glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan (Schteingart, 2006). Deteksi
klinik diabetes ini sangat penting, hal ini untuk mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas perinatal (Triplitt et al., 2005).
Diabetes tipe lain, merupakan diabetes yang disebabkan kelainan genetik
fungsi sel beta (MODY 1, MODY 2, MODY 3 dan DNA mitokondria). Penyebab lain
yaitu penyakit pada eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, cistic fibrosis, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus). Dapat juga
disebabkan adanya penyakit endokrin, pemakaian obat/zat kimia (glukokortikoid,
hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, tiazid, dilantin dan interferon) dan akibat
infeksi (Anonim, 2005).
4
interaksi yang berkaitan dengan absorpsi, tidak bermakna secara klinis dan
dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat (Fradgley, 2003).
b) Interaksi pada distribusi obat
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat
ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari
ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan
sementara konsentrasi obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti
dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun
disesuaikan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan
obat-obat yang ikatannya dengan protein tinggi (Fradgley, 2003).
c) Interaksi pada metabolisme obat
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P 450
monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan
kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek.
Induksi enzim melibatkan sintesis protein, jadi efek maksimum terjadi setelah
dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan
akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat
inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada
induksi enzim (Fradgley, 2003).
d) Interaksi pada proses eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular
aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat
mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat
yang cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal
sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di
hati (Fradgley, 2003).
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini
dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat – obat yang
berkerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi
dari pengetahuan tentang farmakologi obat – obat yang berinteraksi (BNF 58,
2009).
5
Interaksi farmakodinamik terdiri dari beberapa tipe :
a) Interaksi aditif atau sinergis
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara
dua obat yang bekerja pada sistem organ, sel atau enzim yang sama dengan
efek farmakologi yang sama.
b) Interaksi antagonis atau berlawanan
Antagonis terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang
berlawanan, sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari
satu atau lebih obat.
3. Interaksi farmasetik / inkompatibilitas
Inkompatibilitas ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang
tidak dapat campur (inkompatibel). Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat
(Setiawati, 2005).
6
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin
terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika
terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh
antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya
potensial mungkin terjadi pada pasien dan beberapa tipe intervensi/monitor sering
diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status
klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan
atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam
kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas
(Baile, 2004).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas
yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang
menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Baile, 2004).
F. Penatalaksanaan
Menurut Persatuan Endrokinologi Indonesia (PERKENI) terdapat dua macam
penatalaksanaan DM, yaitu :
a. Terapi Tanpa Obat
1) Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait
dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan fisik yang pada
dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Penuruan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respon sel –sel beta terhadap stimulus glukosa.
2) Olahraga, berolahraga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal.
b. Terapi Obat
7
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil mengendalikan kadar
glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa
penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat dapat dilakukan dengan antidiabetes oral,
tetapi insulin atau kombinasi keduanya (Anonim, 2006).
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
Jarang terjadi : Ruam kulit, sakit kepala, nausea, vomiting,
fotosensitivitas.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas dengan sulfonamide, Pasien dengan tidak sadar menderita
hipoglikemi, Fungsi ginjal tidak berfungsi dengan baik (glipizid merupakan
pilihan yang lebih baik daripada gliburid atau glimepirid pada pasien yang
geriatri atau memiliki kelemahan pada ginjal karena obat atau metabolit aktif
tidak dapat dieliminasi di dalam ginjal.
f. Interaksi Obat
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obatan sulfonilurea,
sehingga resiko terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau senyawa-
senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian
obat-obatan hipoglikemik sulfonilurea antara lain : alkohol, fonformin,
sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezide, dikumarol,
kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, steroid anabolitik, fenfluramin,
dan klofibrat.
10
hipoglikemik. Mempunyai efek anti agregasi
trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan
Contoh Sediaan :
pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal
Diamicron (Darya Varia) (Soegondo, 1995)
Glibet (Dankos)
Glicab
Glimepirid Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan
waktu kerja yang lama. Sehingga umum
diberikan dengan cara pemberian dosis tunggal.
Contoh Sediaan : Untuk pasien yang beresiko tinggi, yaitu pasien
usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau
Amaryl
yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan
obat ini. Dibandingkan dengan glibenklamid,
glimepirid lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan
( Soegondo, 1995)
3. Golongan Meglitinid
a. Mekanisme Kerja
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam
waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena harus diberikan beberapa kali
11
sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya
tidak aktif. Sekitar 10% di metabolisme di ginjal. Pada pasien dengan
gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara berhati-hati. Efek
samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi
juga pernah dilaporkan.
b. Efek Merugikan
Hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan dengan sulfonilurea) berat badan
berkurang, infeksi pernapasan meningkatkan.
c. Kontraindikasi
Hipersensitivitas, Penggunaan repaglinid dengan gemfibrozil dapat
meningkatkan konsentrasi repaglinid
4. Binguanid (Metformin)
a. Mekanisme Kerja
12
Mereduksi glukoneogenesis hati, juga menimbulkan efek yang
menguntungkan sehingga meningkatkan sensitivitas insulin
b. Efek Merugikan
Umum : Nausea, vomiting, diare
Jarang terjadi : Menurunkan konsentrasi vitamin B12, asidosis
laktat
Gejala asidosis lektat termasuk nausea, vomiting, meningkatkan
laju respirasi, sakit perut, syok, takikardia
c. Kontaindikasi
Kelemahan pada ginjal, Usia 80 tahun atau lebih, Resiko tinggi mengalami
kardiovaskular, Kelemahan hati
d. Interaksi Obat :
5. Golongan Tiazolidindion
a. Mekanisme Kerja
e. Interaksi Obat
14
Akarbosa Akarbosa dapat diberikan dalam terapi
kombinasi dengan sulfonilurea,
Contoh sediaan : metformin, atau insulin.
Glucobay (Bayer)
Precose
9. Bromokriptin
15
a) Mekanisme kerja : belum diketahui
b) Efek merugikan : nausea, vomiting, malas, sakit kepala, hipotensi, kelaparan
c) Kontraindikasi : sebaiknya tidak digunakan pada pasien migrain.
16
salisilat dalam dosis yang besar dapat menurunkan kadar gula darah) yang
menyebabkan hipoglikemia.
Interaksi obat antara golongan sulfonilurea yaitu glibenklamid, glimepirid dan
gliklazid dengan golongan penghambat Angiotensin Converting enzym (ACE), yaitu
ramipril dan kaptoprilyang menimbulkan efek hipoglikemik sulfonilurea meningkat.
Interaksi ini terjadi karena penghambat ACE meningkatkan sensitivitas insulin.
Obat antidiabetik oral golongan biguanid yaitu metformin juga memiliki
interaksi obat dengan golongan penghambat ACE (kaptopril dan ramipril) yang
mengakibatkan peningkatan efek hipoglikemik metfromin. Interaksi obat yang dapat
meningkatkan efek hipoglikemik lainnya adalah interaksi obat glibenklamid,
glimepirid dan gliklazid dengan ranitidin. Mekanisme interaksi obat yang terjadi yaitu
ranitidin menginhibisi metabolisme dari glibenklamid dan gliklazid di hati sehingga
menyebabkan kecepatan metabolisme glibenklamid, glimepirid dan gliklazid
berkurang sehingga terjadi akumulasi dari obat-obat tersebut didalam tubuh. Interaksi
obat tersebut umumnya jarang terjadi dikarenakan adanya interval waktu penggunaan
antara glibenklamid yang diberikan sebelum makan dengan ranitidin yang diberikan
sesudah makan.
Interaksi obat glibenklamid dan gliklazid dengan antasida (aluminium
hidroksida dan magnesium karbonat) melalui mekanisme peningkatan pH lambung
sehingga kelarutan glibenklamid dan gliklazid meningkat, dengan demikian absorpsi
glibenklamid dan gliklazid di usus akan meningkat.
Interaksi antara glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan golongan AINS
(diklofenak, asam mefenamat, meloksikam, tenoksikam, dexketoprofen) terjadi
melalui mekanisme pergeseran ikatan protein. Hal ini terjadi akibat meningkatnya
konsentrasi glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dalam kondisi bebas (tidak terikat
oleh protein plasma). Interaksi obat antara glibenklamid, glimepirid dan gliklazid
dengan asam asetil salisilat terjadi melalui mekanisme aditif.
Interaksi obat glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan kotrimoksazol,
dapat terjadi akibat sulfonamida menginhibisi metabolisme sulfonilurea sehingga
meningkatkan kadar serum sulfonilurea, akibatnya efek hipoglikemik meningkat.
Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah sulfonamida dapat menggeser
ikatan protein sulfonilurea dari tempat ikatannya. Peningkatan efek hipoglikemik
yang disebabkan karena interaksi obat-obat tersebut diatas dalam batas tertentu dapat
menguntungkan pasien dengan kadar glukosa darah yang tinggi, namun kadar glukosa
17
darah pasien harus tetap dimonitor untuk menjaga agar tidak terjadi kondisi yang
tidak diinginkan seperti hipoglikemia.
Pada suatu penelitian, ditemukan sejumlah obat yang memiliki efek antagonis
dengan obat antidiabetik oral yaitu hidroklortiazid, furosemid dan obat kortikosteroid
(deksametason dan prednison). Obat – obat tersebut dapat menghambat sekresi
insulin, sehingga meningkatkan kadar glukosa darah dan dengan demikian
memperlemah kerja obat antidiabetik oral.
Interaksi obat yang terjadi antara metformin dengan ranitidin mengakibatkan
terjadinya asidosis laktat, mekanisme yang terjadi adalah kompetisi pada sistem
transport yang sama sehingga ranitidin menurunkan eliminasi metformin di tubulus
ginjal sehingga konsentrasi plasma metabolit metformin meningkat. Interaksi
metformin dengan golongan AINS juga dapat menyebabkan terjadinya asidosis laktat
yang diakibatkan karena terjadinya gangguan fungsi ginjal.
Interaksi obat gemfibrozil dengan novomix. Gemfibrozil dapat berikatan kuat
dengan protein ataupun albumin dalam plasma sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan dalam pengikatan protein novomix, sehingga lebih banyak obat bebas yang
bersikulasi di dalam plasma dan meningkatkan konsentrasi novomix di dalam tubuh.
Gemfibrozil dapat meningkatkan efek novomix melalui adanay mekanisme kompetisi
pada sekresi tubulus ginjal dan adanya persaingan pengikatan protein plasma.
Gemfibrozil akan menghambat sekresi novomix di tubulus ginjal sehingga
konsentrasi plasma novomix meningkat dan menimbulkan efek hipoglikemi.
Interaksi antara gemfibrozil dengan glimepirid. Gemfibrozil merupakan
inhibitor dari enzim CYP2C9 sedangkan glimepirid di dalam tubuh di metabolisme
oleh enzim CYP2C9. Gemfibrozil sebagai inhibitor enzim CYP2C9 dapat
menghambat metabolisme glimepirid sehingga dapat meningkatkan konsentrasi
glimepirid did dalam tubih dan menimbulkan hipoglikemia.
18
perubahan ambilan katekolamin
glukosa dari hati dan sel- sesudah terjadinya
sel lain, vasodilatasi
2 Metformin Nifedipin Nifedipin meningkatkan Meningkatkan kadar
kadar metformin dengan
meningkatkan penyerapan metformin
metformin di gastro
intestinal
3 Metformin Ranitidin Ranitidin mengurangi Kadar plasma
pembersihan ginjal metformin
metformin dengan meningkat dan efek
menghambat sekresi farmakologi
metformin di tubular meningkat
ginjal
4 Gol. Sulfonilurea Nifedipin Nifedipin dapat Kadar gula dalam
menginhibisi sekresi darah
insulin dan menghambat meningkatmengikuti
sekresi glukagon, terjadi pengeluaran
perubahan ambilan katekolamin
glukosa dari hati dan sel- sesudah terjadinya
sel lain, vasodilatasi
5 Gol. Sulfonilurea HCT Diuretik tiazid dapat Hiperglikemia
menurunkan sensitivitas
jaringan insulin,
menurunkan sekresi
insulin, atau meningkatkan
kehilangan kalium
6 Gol. Sulfonilurea ACE inhibitor Terjadi peningkatan resiko hipoglikemia
sensitivitas insulin oleh
- Glibenklamid (ramipril atau ACE inhibitor sehingga meningkat
- Glimepirid kaptopril) resiko hipoglikemia
meningkat
- Gliklazid
7 Gol. Sulfonilurea : Ranitidin Ranitidin dapat Meningkatkan efek
menghambat metabolism
- Glibenklamid hepatik sulfonilurea sulfonilurea
- Glimepirid dengan menghambat enzim
sitokrom P450 hati.
- Gliklazid
8 - Glibenklamid Antasida Peningkatan pH lambung Meningkatkan
yang disebabkan oleh
- Gliklazid antasida dapat absorpsi
meningkatkan kelarutan sulfonilurea
sulfonilurea dan karenanya
dapat meningkatkan (glibenklamid &
absorpsi sulonilurea
19
gliklazid)
9 Gol. Sulfonilurea : Kotrimoksazol Sulfonamida Efek hipoglikemik
menginhibisi
- Glibenklamid meningkat
metabolisme
- Glimepirid sulfonilurea sehingga
meningkatkan kadar
- Gliklazid
serum sulfonilurea
10 - Glikazid Acarbose Adanya acarbose, akan Meningkatkan efek
memperlambat absorpsi
hipoglikemi
dan penguraian
disakarida
11 Glikuidon Clonidin Clonidin menurunkan Menyebabkan
efek glikuidon
hiperglikemi
12 Glimepirid Gemfibrozil Gemfibrozil Efek hipoglikemi
meningkatkan efek
glimepirid. Interksi
farmakokinetik yaitu
pada proses distribusi.
Metabolisme, dan
ekskresi
13 Glikuidon Amitriptilin Amitriptilin Risiko terjadinya
meningkatkan efek
hipoglikemi
glikuidon. Interaksi
farmakodinamik
sinergisme
14 Glimepirid Simvastatin Simvastatin Efek hipoglikemi.
meningkatkan
konsentrasi glimepirid.
Interaksi farmakokinetik
pada proses
metabolisme.
15 Novomix (Insulin Clonidin Clonidin menurunkan Efek hiperglikemi
efek novomix. Interaksi
kombinasi)
farmakodinamik yaitu
antagonisme.
16 Novomix Captopril Captopril meningkatkan Efek hipoglikemia
efek novomix. Interksi
farmakodinamik yaitu
sinergisme
17 Novomix HCT HCT mengurangi efek Efek hiperglikemi
novomix. Interaksi
farmakodinamik yaitu
antagonisme.
18 Insulin Ranitidin Ranitidine dapat Hipoglikemia
menganggu kontrol
glukosa darah dengan
meningkatkan efektivitas
dari insulin
19 Glimepirid Novomix Saling meningkatkan Efek obat
20
efek . Interaksi meningkat
farmakodinamik yaitu
sinergisme. (Chelmow et
al, 2014)
20 Glimepirid KSR KSR meningkatkan Risiko terjadinya
glimepirid. Interaksi
hipoglikemi
farmakodinamik yaitu
sinergisme (Chelmow et
al, 2014).
21 Novomix Gemfibrozil Gemfibrozil Efek hipoglikemi.
meningkatkan efek
novomix. Interaksi
farmakokinetik pada
distribusi dan ekskresi.
C. Level Signifikansi
Menurut Hansten dan Horn (2002), kategori signifikansi klinis
mempertimbangkan adanya suatu potensi yang dapat membahayakan bagi pasien dan
terdapat tingkat dokumentasi dari interaksi obat yang terjadi. Terdapat tiga kategori
signifikansi klinis, yaitu :
Signifikansi klinis 1 : Pemberian kombinasi obat harus dihindari karena
efek yang ditimbulkan pada pasien akibat interaksi obat lebih banyak
menimbulkan resiko dan kerugian dibandingkan manfaat dan
keuntungannya.
Signifikansi klinis 2 :Pemberian kombinasi obat sebaiknya dihindari,
kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar daripada risiko
yang ditimbulkan, namun disarankan untuk menggunakan kombinasi obat
lain yang sejenis dan memiliki risiko yang lebih kecil.
Signifikansi klinis 3 : Kombinasi obat memberikan risiko yang kecil,
memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan
serta pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat.
Menurut Chelmow et al., (2014) terdapat empat kategori signifikansi klinis
interaksi obat yaitu:
1. Interaksi obat kontraindikasi : obat yang tidak dapat digunakan karena
dapat membahayakan keadaan pasien
2. Interaksi obat yang serius : kombinasi obat tidak dapat digunakan atau
harus dihindari karena dapat membahayakan keadaan pasien
21
3. Interaksi obat yang signifikan : harus dilakukan monitoring secara ketat
terhadap kombiansi obat yang diberikan kepada pasien, diperlukan adanya
penyesuaian dosis antara kedua obat dan modifikasi jalur serta waktu
pemberian obat.
4. Interaksi obat minor atau tidak signifikan : kombinasi obat dapat diberikan
kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi
pasien, namun harus tetap dilakukan monitoring pada kondisi pasien
(Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia, 2013).
Menurut Tatro (2007), tingkat signifikansi interaksi obat dibedakan menjadi 5
kategori yang mencakup tingkat keparahan dan dokumentasi.
22
minor menimbulkan efek interaksi obat ringan dan secara signifikan tidak
mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan.
4. Kategori signifikansi klinis 4 mencakup tingkat keparahan major atau moderat dan
dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu possible. Tingkat keparahan major atau
moderat menimbulkan efek yang dapat berbahaya karena dapat mengubah respin
farmakologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan.
5. Kategori signifikansi klinis 5 mencakup tingkat keparahan minor dan dokumentasi
mengenai interaksi obat yaitu sebagian besar unlikely namun terdapat juga
beberapa dokumentasi yang possible. Tingkat keparahan minor menimbulkan efek
yang ringan dan respon klinik yang dialami pasien dapat mengalami perubahan
atau tidak.
23
belum pasti terjadi
4 Glimepirid Novomix Kategori Adanya modifikasi dosis dan
signifikansi klinis waktu pemberian obat serta
signifikan pemantauan kadar glukosa darah
(Chelmow et al, pasien.
2014).
5 Novomix HCT Kategori Modifikasi waktu pemberian
signifikansi klinis kedua obat, monitoring kadar
minor atau tidak glukosa darah pasien dan kadar
signifikan klirens kreatinin pasien.
(Chelmow et al,
2014).
6 Novomix Captopril Kategori Monitoring terhadap glukosa
signifikansi klinis darah pasien diperlukan saat
ketiga yang berarti pemeberian, penghentian, dan
kombinasi obat penggantian dosis bersamaan
memberikan risiko dengan penggunaan captopril
atau tingkat (Hansten and Horn, 2002) dan
keparahan yang (Baxter, 2010).
bersifat minor atau
kecil
7 Glikuidon Clonidin Kategori Modifikasi dosis dan waktu
signifikansi klinis pemberian obat serta pemantauan
minor atau tidak kadar glukosa darah pasien
signifikan. (Baxter, 2010).
(Chelmow et al,
2014)
8 Novomix Clonidin Kategori Modifikasi dosis dan waktu
signifikansi klinis pemberian obat serta pemantauan
minor atau tidak kadar glukosa darah pasien
signifikan. (Baxter, 2010)
(Chelmow et al,
2014).
Kategori
signifikansi klinis 3
24
(Hastern and Horn,
2002)
9 Glikuidon Amitriptilin Kategori Modifikasi dosis dan waktu
signifikansi klinis pemberian obat serta pemantauan
minor atau tidak kadar glukosa darah pasien
signifikan (Baxter, 2010)
(Chelmow et al,
2014)
10 Glimepirid KSR Kategori Modifikasi dosis dan waktu
signifikansi klinis pemberian obat serta pemantauan
minor atau tidak kadar glukosa darah pasien
signifikan (Baxter, 2010)
(Chelmow et al,
2014)
11 Insulin Ranitidin Kategori Memantau kadar glukosa darah,
jika terlalu rendah disarankan
signifikansi
menurunkan dosis insulin
moderate (Stockley 2010).
27
meningkatkan kadar glukosa
darah dengan aksi antagonis
dan menekan sekresi insulin
yang menghasilkan
penghambatan penyerapan
glukosa perifer dan
peningkatan glukoneogenesis.
2 Insulin Diltiazem Diltiazem dapat menurunkan Pemantauan
efek hipoglikemik insulin, glukosa darah
namun mekanisme interaksi ini selama beberapa
tidak diketahui. hari pertama atau
minggu terapi
diltiazem sampai
kontrol glukosa
terjamin.
3 Metformin Acarbose Metformin dengan acarbose Pemantauan untuk
mungkin memiliki onset aksi penurunan respon
yang tertunda dan penurunan metformin.
bioavailabilitas. Kedua
konsentrasi serum puncak dan
AUC secara signifikan
berkurang 35%. Mekanisme
tampaknya karena tertunda
penyerapan metforfin di usus.
4 Glimepiride Omeprazole Beberapa inhibitor proton Memonitoring
benzimidazole dapat gula darah dan
meningkatkan konsentrasi menasehati
sulfonilurea dan peningkatan tentang bagaimana
efek hipoglikemik. Mekanisme mengenali dan
mungkin penghambatan mengobati
metabolisme hati dari CYP450 hipoglikemia.
2C19 dan/atau 3A4 Dosis sulfonilurea
dikurangi.
D. Cara Penanggulangan
28
Penanggulangan bila terjadi interaksi obat, diantaranya :
1. Penambahan senyawa dari makanan. Contohnya, seorang penderita diabetes harus
selalu siap sedia dengan membawa permen seperti monojel atau glutose apabila
terjadi penurunan darah secara drastis.
2. Mengeluarkan obat dari saluran cerna dengan cara merangsang muntah atau
emesis, lavage, laksansia dan adsorben.
3. Dialisis adalah suatu proses untuk membersihkan darah berguna untuk
menghilangkan atau mengurangi zat-zat sisa metabolisme yang berbahaya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Interaksi obat merupakan peristiwa yang terjadi karena perubahan efek obat pertama
oleh pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Diabetes mellitus
merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi dan polifagi,
disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa
≥126mg/dL atau postprandial ≥200mg/dL atau glukosa sewaktu ≥200mg/dL).
Mekanisme interaksi obat ada tiga diantaranya : interaksi farmakokinetik,
farmakodinamik, dan farmasetik.
Terdapat limat tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established, probable,
suspected, possible, dan unlikely.
29
Terdapat 3 level keparahan interaksi obat, yaitu mayor, minor dan moderate.
Terapi untuk diabetes ada dua yaitu terapi tanpa obat dan terapi obat. Terapi tanpa
obat meliputi diet dan olahraga. Sedangkan terapi obat yaitu insulin dan obat oral
antidiabetes, diantaranya golongan sulfonilurea, golongan meglitinida, golongan
biguanide, golongan tiazolidindion, golongan inhibitor alfa glukosidase, dll.
Interaksi obat antidiabetika dapat berinteraksi dengan antasida, golongan AINS,
golongan ACE inhibitor, obat – obat kortikosteroid, diuretik, dan lain – lain.
Menurut Hansten dan Horn (2002), ada 3 kategori signifikansi klinis. Menurut
Chelmow et al.,2014 terdapat empat kategori signifikansi klinis diantaranya interaksi
obat kontraindikasi, serius, signifikan, dan minor. Menurut Signifikansi klinis
interaksi obat menurut Tatro (2007) ada 5, diantaranya :
1. Major dengan tingkat kejadian established, probable, atau suspected
2. Moderate dengan tingkat kejadian established, probable, atau suspected
3. Minor dengan tingkat kejadian established, probable, atau suspected
4. Major atau moderat dengan tingkat kejadian possible
5. Minor dengan tingkat kejadian possible dan sebagian besar dengan tingkat
kejadian unlikely.
Cara penanggulangan bila terjadi interaksi dengan penambahan senyawa dari
makanan, mengeluarkan obat dari saluran cerna atau dialisis.
DAFTAR PUSTAKA
Sari S.P., dkk. 2008. Analisis Interaksi Obat Antidiabetik Oral pada Pasien Rawat
Jalan di rumah Sakit X Depok. Jurnal Farmasi Indonesia. Volume 4 Nomor 1.
Gitawati, Retno. 2008. Interaksi Obat dan beberapa Implikasinya . Media Litbang
Kesehatan. Volume XVIII Nomor 4.
Mutiara, Lusiana., dkk. Interaksi Obat Pada pasien Geriatri Diabetes Melitus Tipe 2
Rawat Inap Dengan Komorbiditas Di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi Periode
Januari – Desember 2013. Jakarta. Fakultas Farmasi dan Sains Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Nagi, C.H. 2015. Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal
Kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
30
periode Desember Tahun 2013. Skripsi. Dipublikasikan. Yogyakarta : Universitas
Sanata Darma.
Restuadhi, Suntiko. 2011. Insidensi Interaksi Obat Pasien Lansia dengan Terapi
Polifarmasi di Puskesma Pamulang Periode januari 2011 – Maret 2011. Laporan
Penelitian. Dipublikasikan. Jakarta : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Istiqomatunnisa. 2014. Rasionalitas Penggunaan Obat Antidiabetes dan Evaluasi
Beban Biaya Perbekalan Farmasi Pada Pasien Rawat Inap Kartu Jakarta Sehat di
Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Skripsi. Dipublikasikan. Jakarta :
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Felista,R.A. 2010. Evaluasi Pemilihsn dan Interaksi Obat Asntidiabetic Pada Pasien
Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah
Semarang Pada Tahun 2008. Skripsi. Dipublikasikan. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Bailie, G.R., Johnson, C.A., Mason, N.A., dan Peter, W.L.St. (2004). Medfacts Pocket
Guide of Drug Interaction. Edisi kedua. Middleton: Bone Care International,
Nephrology Pharmacy Associated, Inc. Halaman 43
Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain:
Pharmaceutical Press. Halaman 470-516
Drugs.com
31