Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLININ

“Gagal Ginjal Kronik”

Oleh :

KELOMPOK A 3d

ERVIANA (1620323452)
ERWINA ABAS (1620323453)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016
PENDAHULUAN
DEFINISI

Gagal ginjal kronik (chronic kidney disease/CKD) adalah kehilangan


fungsi ginjal progesif, yang terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun yang
dikarakterisasi dengan perubahan struktur normal ginjal secara bertahap disertai
fibrosis interastisial. CKD dikategorikan menurut tingkat fungsi ginjal,
berdasarkan laju filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) menjadi
tahap 1 sampai tahap 5, dengan peningkatan nomor menunjukkan peningkatan
derajat keparahan penyakit yang didefinisikan sebagai penurunan GFR
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi
menunjukka n nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi
tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1
adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2
kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3
kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4
kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5
adalah gagal ginjal (Perazella, 2005).
ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya
kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis
primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amyloidosis. Gambaran klinik glomerulonefritis
mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin
rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan
terapi pengganti ginjal seperti dialysis.
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great
imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes
melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari
akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air
kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat
berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke
dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai
adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata
kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal
polikistik dewasa.
PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron
utuh). Nefron nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi
yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR /
daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri
dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak
oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala
pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalanginjal
bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis.
TANDA DAN GEJALA
CKD awalnya tanpa gejala spesifik dan hanya dapat dideteksi sebagai
peningkatan dalam serum kreatinin atau protein dalam urin, serta terjadi
penurunan fungsi ginjal. Tanda dan gejalanya antara lain :
1. Tanda atau gejala umum awal adalah gatal-gatal secara terus-menerus di
bagian tubuh atau badan (bervariasi).
2. Tidak nafsu makan.
3. Pembengkakan cairan di bagian kulit, contohnya di bagian kulit kaki, betis,
dan area yang tidak biasanya.
4. Hemoglobin menurun drastis pada kisaran 6-9, ditandai dengan lemas dan
tidak kuat untuk berjalan kaki dalam waktu yang lama, gejala ini merupakan
tanda awal sebelum ke arah yg lebih kritis. Karena Hemoglobin menurun,
aktivitas normal biasanya terasa lebih berat dari biasanya.
5. Sulit buang air kecil, jika volume atau kuantitas buang air kecil menurun,
perlu diwaspadai.
6. Tekanan darah meningkat karena kelebihan cairan dan produksi hormon
vasoaktif yang diciptakan oleh ginjal melalui RAS (renin-angiotensin
system). Ini meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami hipertensi dan /
atau gagal jantung.
7. Urea terakumulasi, yang dapat menyebabkan azotemia dan akhirnya uremia
(gejala mulai dari kelesuan ke perikarditis dan ensefalopati). Urea
diekskresikan oleh keringat dan mengkristal pada kulit ("frost uremic").
8. Kalium terakumulasi dalam darah (dikenal sebagai hiperkalemia dengan
berbagai gejala termasuk malaise dan berpotensi fatal aritmia jantung)
9. Erythropoietin sintesis menurun (berpotensi menyebabkan anemia, yang
menyebabkan kelelahan) overload volume yang Fluida - gejala dapat berkisar
dari ringan edema untuk mengancam kehidupan edema paru
10. Hyperphosphatemia - karena ekskresi fosfat berkurang, terkait dengan
hipokalsemia (karena 1,25 hidroksivitamin D defisiensi), yang karena
stimulasi faktor pertumbuhan fibroblast.
11. Belakangan ini berkembang menjadi hiperparatiroidisme sekunder,
osteodistrofi ginjal dan kalsifikasi vaskular yang berfungsi juga mengganggu
jantung.
12. Metabolik asidosis, karena akumulasi sulfat, fosfat, asam urat dll ini dapat
menyebabkan aktivitas enzim diubah oleh kelebihan asam yang bekerja pada
enzim dan eksitabilitas juga meningkat membran jantung dan saraf dengan
promosi hiperkalemia karena kelebihan asam (asidemia)
TERAPI
Terapi Nonfarmakologi
Tujuan dan sasaran terapi :
1. Terapi spesifik, didasarkan pada diagnosis
2. Evaluasi dan manajemen keadaan yg menyertai
3. Memperlambat penurunan fungsi ginjal;
4. Mencegah dan terapi penyakit kardiovaskuler
5. Mencegah dan terapi komplikasi dari penurunan fungsi ginjal
6. Persiapan jika GGT & terapi dengan dialisis;
7. Terapi sulih fungsi ginjal dgn dialisis dan transplantasi, jika muncul tanda dan
gejala uremia
Terapi Farmakologi
A. Terapi Gagal Ginjal Kronik Dengan Diabetes Mellitus
1. Terapi intensif pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan 2 dapat
mengurangi kompikasi mikrovaskular, termasuk nefropati. Terapi intensif
dapat termasuk insulin atau obat oral dan melibatkan pengukuran kadar
gula darah setidaknya tiga kali sehari
2. Perkembangan CKD dapat dibatasi melalui control optimal terhadap
hiperglikemia dan hipertensi
Algoritma terapi CKD dengan Diabetes Melitus
B. Terapi Gagal Ginjal Kronik Dengan Hipertensi
1. Control tekanan darah yang memadai dapat mengurangi laju penurunan
GFR dan albuminuria pada pasien dengan atau tanpa diabetes
2. Terapi antihipertensi untuk pasien CKD dengan diabetes atau tanpa
diabetes sebaiknya diawali dengan pemberian inhibitor ACE atau
Angiotensin Reseptor Bloker. Kalsium kanal bloker nondihidropiridin
biasanya digunakan sebagai obat antiproteinuria lini kedua apabila
penggunaan ACEI atau ARB tidak dapat ditoleransi
3. Klirens ACEI menurun pada kodisi CKD sehingga sebaiknya terapi
dimulai dengan pemberian dosis terendah yang memungkinkan diikuti
dengan titrasi meningkat untuk mencapai target tekanan darah dan
sebagai tambahan mengurangi proteiuria
Algoritma Terapi CKD dengan hipertensi
C. Terapi Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik
1. Suplemen besi berguna untuk memenuhi persediaan besi. Terapi besi
parenteral meningkatkan respon terhadap terapi eritropoietin dan
menurunkan dosis yang diperlukan untuk memperoleh dan menjaga
indeks target. Sebaliknya, terapi oral kadang tidak mencukupi
2. Sediaan besi IV memiliki profil farmakokinetik yang berbeda, yang tidak
memiliki kolerasi dengan efek farmakodinamik
3. Pemberian epoetin alfa secara subkutan lebih disukai karena tidak
memerlukan akses IV, dan dosis SC untuk mempertahankan target indeks
sekitar 15%-50% lebih rendah dibandingkan dosis IV
4. Darbopoetin alfa memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan
epoetin alfa, juga memiliki aktivitas biologic yang lebih lama. Dosis yang
diberikan dengan frekuensi lebih sedikit, mulai dari pemberian dosis satu
kali seminggu apabila diadministrasikan secara IV atau SC.
Algoritma Terapi CKD dengan Anemia
D. Terapi Hiperparatiroid Sekunder
1. Tatalaksana terapi K/DOQI mencantumkan rentang kalsium, fosfor,
sediaan kalsium-fosfor dan keseluruhan PTH berdasarkan tahap CKD.
Pengukuran sebaiknya diulangi tiap 12 bulan untuk tahap 3, tiap 3 bulan
untuk tahap 4, dan lebih sering untuk tahap 5.
2. Pembatasan asupan fosfor (800 sampai 100 mg/hari) sebaiknya dijadikan
intervensi lini pertama untuk CKD tahap 3 atau lebih tinggi
3. Pada saat ESRD terbentuk, kebanyakan pasien memerlukan kombinasi
terapi phosphate binding agent, vitamin D dan kalsimentik untuk
mencapai tujuan terapi
KASUS

Gagal Ginjal Kronis


Seorang pria 61 tahun mengalami CKD stabil, hipertensi dan obesitas. Ia tidak
merokok, tidak menderita DM dan tidak ada proteinuria bermakna.
a. Tekanan darah: 145/95mmHg (6 bulan yll 165/102mmHg)
b. Serum potassium = 4.4mmol/L
c. Serum creatinine = 260 micromol/L
d. eGFR = 23mL/minute/1.73m2
e. Total cholesterol puasa = 3.4mmol/L
f. Fungssi hati normal
g. TB = 175cm, BB = 98kg
Pengobatan:
- Lisinopril 20mg/hari.
- Bendroflumethiazide 2.5mg /hari
- Simvastatin 40mg/hari.
Kondisi pasien 18 bulan kemudian:
BB 80kg, BMI 26kg/m2, tekanan darah 125/75mmHg, serum potassium =
4.8mmol/L, serum creatinine = 215 micromol/L, eGFR = 29mL/minute/1.73m2.
Pengobatan:
- Lisinopril 40mg/Hari
- Amlodipine 10mg/Hari
- Aspirin 75mg /Hari
- Simvastatin 40mg /Hari
Pasien kemudian mengalami pyelonephritis akut dan hasil pengujian lab.nya
menunjukkan hiperposfatemia.
Tugas:
1. Buatlah latar belakang singkat, tentang patofisologi dan farmakoterapinya
2. Masukkan data base pasien ke dalam format database (termasuk data subyektif
dan obyektif)
3. Buatlah assessment
4. Identifikasi dan usulkan pengatasan problem medik
5. Lakukan Pemantauan Terapi Obat
6. Apa penyebab pyelonephritis dan terapi yang bisa direkomendasikan untuk
mengatasi pyelonephritis akut pasien ini?
7. Apa penyebab hiperposfatemia dan terapi yang bisa direkomendasikan untuk
mengatasi hiperposfatemia pasien ini?
IDENTITAS PASIEN

Nama :- No Rek Medik :-


Tempat/tgl lahir :- Dokter yang merawat: -
Umur : 61 tahun
TB/BB : 175 cm/98 kg
Jenis kelamin : Laki-laki
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :-
Riwayat masuk RS :-
Riwayat penyakit terdahulu : -
Riwayat sosial
Kegiatan Ya/tidak
Pola makan/diet
-Vegetarian Tidak
Merokok Tidak
Meminum Alkohol Tidak
Meminun Obat herbal Tidak

Riwayat Alergi :-
Keluhan/Tanda Umum
H Hari/Tgl Subjektif Objektif
- CKD Stabil, - Tekanan darah: 145/95mmHg (6

- Hipertensi bulan yll 165/102mmHg)

- Obesitas - Serum potassium = 4.4mmol/L


- Serum creatinine = 260
micromol/L
- eGFR = 23mL/minute/1.73m2
- Total cholesterol puasa =
3.4mmol/L
- TB = 175cm, BB = 98kg

18 bulan Pyelonephritis akut dan - BB 80kg,


kemudian hasil pengujian lab.nya - BMI 26kg/m2,
menunjukkan - tekanan darah 125/75mmHg,
hiperposfatemia. - serum potassium = 4.8mmol/L,
- serum creatinine =
215micromol/L,
- eGFR = 29mL/minute/1.73m2.

Pemeriksaan Labolatorium
Parameter Nilai Tanggal
Normal 18 Bulan Keterangan
Kemudian
Serum 4.8mmol/L
3,0 – 5,3 mE/L 4.4mmol/L Normal
Potasium
Serum 62 – 115 Diatas batas
260 micromol/L 215micromol/L
Creatinine micromol/L normal
≥90 (GFR Stage 4 CKD
eGFR normal/meningkat)
23mL/minute/1.73m2 29mL/minute/1.73m2
(15-29)
Total
<200mg/dl
cholesterol (11.1mmol/L)
3.4mmol/L Normal
puasa

Riwayat penyakit dan pengobatan


Nama Nama Obat
Penyakit 18 Bulan
Kemudian
- Lisinopril 20mg/hari. - Lisinopril 40mg/Hari
Hipertensi - Bendroflumethiazide 2.5mg - Amlodipine 10mg/Hari
/har
- Simvastatin 40 mg/hari - Simvastatin 40mg/hari
(mengurangi resiko - Aspirin 75mg/hari (mengurangi
Obesitas kardiovaskular karena resiko kardiovaskular karena
obesitas)
obesitas)
Obat Yang Digunakan Saat Ini

Rutepembe
No. Namaobat Indikasi Dosis Interaksi ESO Outcome
rian
- Sakit kepala,
Hipertensi esensial, - Urtikaria
Tekanan darah
Infark miokard Gol.ARB - Ruam Kulit
Lisinopril normal,
akut, terapi 40 mg/hari Oral Alisikren - Diare
1. tablet mengurangi resiko
tambahan untuk - Edema
penyakit jantung
gagal jantung. - Angioneurotik
- Hipotensi
Hipertensi, - Edema
- Dantrolen Tekanan darah
hipertensi dengan - Pulmonari
2. Amlodipin - Diltiazem normal,
angina pektoris, 10 mg/hari Oral edema
tablet - Simvastati mengurangi resiko
penyakit jantung - Sakit kepala
- Idelalisib. penyakit jantung
koroner - Palpitasi
Antiplatelet untuk
3. - Diklorfenamid - Angiodema Pencegahan resiko
Aspirin tablet penyakit stroke 75 mg/hari Oral
, - Bronkospama kardiovaskular
iskemik
- Mifepriston - Gangguan GI
- Ibuprofen - Muntah,mual
- Klopidogrel - Urtikaria
- Ketorolak
- Konstipasi
- Atazanavi
- Infeksi
4. Simvastatin Untuk pengobatan - Klaritomisi Pencegahan resiko
40 mg/hari Oral sal.nafas
tablet hiperkolestreolemia - Danazol kardiovaskular
- Kembung
- Siklosporin
- Sakit kepala
Asesment
NO. PROBLEM MEDIK SUBYEKTIF OBJEKTIF TERAPI ANALISIS DRP
Amlodipin dapat meningkatan
- Lisinopril
kadar simvastatin, sehingga
Tablet
1. pemberiannya tdk bisa -
Hipertensi - TD 125/75 mmHg - Amlodipin
bersamaan dengan
tablet
simvastatin
serum creatinine =
Pasien mengalami
215micromol/L, Indikasi tanpa
2. Pyelenonefritis - - Pielenonefritis tapi belum
eGFR = terapi
diterapi
29mL/minute/1.73m2.
Hasil lab menunjukan adanya
Indikasi tanpa
3. Hiperfosfatemia - - - hiperfosfatemia tapi belum
terapi
ditearpi
Penggunaan Aspirin dosis
- Simvastatin rendah (75 mg) digunakan
40 mg/hari sebagai pencegahan pada
4. Resiko kardiovaskular - BMI 26 kg/m2
- Aspirin 75 pasien dengan risiko -
mg/hari mengalami penyakit
kardiovaskular
Serum Creatinine = CKD dapat diterapi dengan
215micromol/L, mengobati gejala yang ada.

5. CKD - -
GFR = 23 -
2
mL/minute/1.73m .
Plan
1. Penggunaan amlodipin untuk terapi hipertensi dapat meningkatan kadar
simvastatin, sehingga pemberiannya tidak bisa bersamaan dengan simvastatin.
2. Penggunaan antiplatelet berupa aspirin dengan dosis rendah (75 mg)
digunakan sebagai pencegahan pada pasien dengan risiko mengalami
penyakit kardiovaskular.
3. Pengobatan Hiperfosfatemia diberikan terapi dengan Kalsium Karbonat 0,5-1
g 3 x sehari.
4. Pengobatan pyelenonefritis diberikan terapi dengan Amoksisilin Klavulanat
500 mg digunakan selama 7 hari.
5. Dilakukan pemerikasaan kultur bakteri agar dapat memberikan pengobatan
antibiotik yang tepat.
Terapi Non Farmakologi
1. Diet rendah protein dalam hal ini dengan mengurangi asupan makanan yang
mengandung protein yang tinggi. Dimana hal ini dapat membantu dalam
memperlambat perkembangan CKD.
2. Diet rendah lemak dalam hal ini dengan mengurangi asupan makanan yang
mangandung lemak tinggi.
3. Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga teratur
Monitoring
1. Monitoring tekanan darah pasien
2. Monitoring kadar GFR dan serum kreatinin
3. Monitoring kadar kolesterol pasien
4. Monitoring kadar fosfat
5. Monitoring berat badan pasien
Penyebab Pyelonephritis dan Terapi yang Bisa Direkomendasikan
Pielenonefritis akut merupakan jenis infeksi saluran kemih bagian atas, dimana terjadi
inflamasi pada parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Lokasi infeksi
biasanya bermula pada bukaan uretra, bergerak naik ke atas melalui traktus urinari dan
menuju saluran kemih hingga kandung kemih dan bertumbuh kembang di sini dan
menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut melalui ureter hingga ke ginjal. Terapi yang dapat
diberikan untuk pengobatan Pielenonefritis akut yaitu Amoksisilin Klavulanat 500 mg
digunakan selama 7 hari.

Penyebab Hiperposfatemia dan Terapi yang Bisa Direkomendasikan


Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, dimana untuk fungsi ginjal
yang normal dapat mengekskresikan fosfat dengan baik. Dalam hal ini
hiperposfatemia merupakan kadar fosfat yang tinggi dalam darah, yaitu suatu
keadaan dimana konsentrasi fosfat dalam darah lebih dari 4,5 mgr/dL darah.
Hiperposfatemia terjadi akibat kegagalan ginjal dalam mengekskresi fosfat
sehingga dapat menyebabkan tingginya kadar posfat dalam darah. Hal ini
dikarenakan adanya penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu
untuk mengekskresikan zat-zat tertentu seperti posfat. Diman ginjal masih mampu
mempertahankan keseimbangan posfat pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit.
Terapi yang dapat diberikan untuk pengobatan hiperposfatemia yaitu dengan
pemberian Kalsium Karbonat 0,5-1 g 3 x sehari.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008.
ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta
Barbara G. Wells, Joseph T.DiPiro, Terry L. Schwinghammer, Cecily V. DiPiro.
Pharmacoterapy Handbook 9th Edition. 2015
Dipiro, J.T., Talbert, R.L. et al. 2015. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach.
Ninth Edition. Copyright The McGraw-Hill Companies
Sukandar E.Y dkk. 2013. Iso Farmakoterapi Buku 1. ISFI: Jakarta
Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam:
Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan:
95-108.

Anda mungkin juga menyukai