Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

VOLUME DISTRIBUSI OBAT

Pembimbing:
dr. Tjangeta Liempy S., Sp.An

Disusun Oleh
Felix Nifalo 030.14.067

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
PERIODE 5 NOVEMBER 2018 – 8 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN

Referat dengan Judul


“VOLUME DISTRIBUSI OBAT”

Disusun oleh:
Felix Nifalo
030.14.067

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Tjangeta Liempy S., Sp.An
untuk dipresentasikan

Jakarta, November 2018


Mengetahui,

dr. Tjangeta Liempy S., Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengizinkan referat ini
terlaksana, karena berkat anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Volume Distribusi Obat”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas dari syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Periode 5 November 2018 – 8 Desember 2018.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Tjangeta Liempy, Sp.An sebagai


pembimbing, dokter dan staf-staf Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo, teman-teman sesama Co-Assisten Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Angkatan Laut
Dr. Mintohardjo, dan semua pihak yang turut serta memberikan bantuan, doa, semangat, dan
membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, namun besar
pengharapan penulis bagi pembaca untuk memberikan masukan dan kritikan yang akan saya
pertimbangkan untuk memperbaiki referat ini menjadi lebih baik. Terima kasih dan Tuhan
memberkati.

Jakarta, November 2018

Penulis

Felix Nifalo

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
FARMAKOKINETIKA ............................................................................ 3
A. Definisi ....................................................................................... 3
B. Jalur Pemberian obat ................................................................... 3
C. Parameter Farmakokinetika......................................................... 4
VOLUME DISTRIBUSI ........................................................................... 11

KESIMPULAN......................................................................................... ................. 30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Farmakologi klinik sebagai salah satu disiplin ilmu kedokteran berkembang karena
latar belakang adanya kebutuhan akan ilmu atau keahlian (expertise) dalam disiplin tersebut.
Kebutuhan akan perkembangan ilmu farmakologi klinik tidak lepas dari perkembangan pesat
dalam ilmu kedokteran di tahun lima puluhan, terutama dengan adanya zaman keemasan
penemuan obat-obat baru yang kemudian digunakan dalam praktek klinik. Karena kemajuan
dalam bidang-bidang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, banyak jenis obat baru
yang dikembangkan dan dipakai dalam bidang kedokteran sehingga untuk ini diperlukan
evaluasi secara ilmiah pada manusia agar obat-obat yang dipakai adalah obat-obat yang
memberi manfaat maksimal dan risiko minimal terhadap pasien. Kekeliruan dalam proses
evaluasi dan pemakaian suatu obat akan menimbulkan dampak negatif yang kadang-kadang
dapat menjadi bencana pengobatan (therapeutic disaster).1
Dari waktu ke waktu, karena perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang
kedokteran dan pengobatan, jenis obat yang tersedia dalam praktek semakin banyak. Untuk
masing-masing kondisi penyakit tersedia berbagai alternatif obat yang dapat diberikan.
Banyaknya jenis obat yang tersedia cenderung mendorong pemakaian obat yang tidak
tepat/tidak rasional, sehingga diperlukan pemahaman prinsip-prinsip pemilihan dan
pemakaian obat dalam klinik secara benar. Pokok-pokok bahasan yang relevan dengan
prinsip-prinsip pemilihan dan pemakaian obat dalam klinik dicakup dalam farmakologi
klinik.2
Dalam pembahasan kali ini, akan dibahas lebih detail mengenai salah satu topik yang
tercakup dalam farmakologi klinik, yaitu farmakokinetika.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

FARMAKOKINETIKA

A. Definisi
Farmakokinetika mengacu kepada apa yang tubuh lakukan terhadap obat.3
Farmakokinetika memiliki empat parameter yang menentukan onset, intensitas, dan
durasi kerja obat, yaitu:
a. Absorpsi : masuknya obat secara langsung atau tidak langsung ke dalam plasma
b. Distribusi : obat meninggalkan aliran darah dan terdistribusi ke insterstisial dan
cairan intrasel
c. Metabolisme : obat dibiotransformasikan lewat metabolisme oleh hati dan jaringan
lain
d. Eliminasi : obat dan hasil metabolisme dibuang dari tubuh melalui urin, empedu,
atau feses.

Gambar 1. Parameter farmakokinetika3

Dengan melihat alur peristiwa yang tergambar pada bagan di atas, sebenarnya
farmakokinetika merupakan analisis matematika dari proses-proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat. Penerapan prinsip-prinsip farmakokinetika yang meliputi

2
absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat dalam penanganan penderita secara
langsung atau tidak dikenal sebagai farmakokinetika klinik.

B. Jalur Pemberian Obat


Jalur pemberian obat ditentukan oleh sifat obat (contohnya, air atau larut dalam
lemak, ionisasi) dan oleh tujuan terapeutik (onset yang cepat atau keperluan pengobatan
jangka panjang). Jalur utama pemberian obat diantaranya lewat enteral, parenteral, dan
topikal.3
I. Enteral
Pemberian secara enteral merupakan jalur pemberian obat melalui mulut dan
merupakan yang paling aman, paling sering digunakan, paling mudah, dan metode
pemberian obat paling ekonomis.
a) Oral
Pemberian secara oral memiliki banyak keuntungan, salah satunya paling
mudah dan paling aman bila terjadi intoksikasi atau overdosis. Akan tetapi jalur
absorpsi oral merupakan yang paling rumit dan pH lambung yang rendah akan
menginaktivasi beberapa obat.

b) Sublingual/buccal
Penempatan obat di bawah lidah memungkinkan obat berdifusi ke dalam
jaringan kapiler dan masuk ke sirkulasi sistemik secara langsung. Pemberian
secara sublingual memiliki beberapa keuntungan, salah satunya adalah mudah,
absorpsinya cepat, melewatkan obat dari lingkungan gastrointestinal yang buruk,
dan menghindari metabolisme lintas pertama (metabolisme obat dimana
konsentrasi obat akan direduksi secara besar sebelum mencapai sirkulasi
sistemik).

II. Parenteral
Jalur parenteral memasukkan obat secara langsung ke sirkulasi sistemik.
Pemberian obat secara parenteral digunakan untuk obat-obatan yang kurang
diabsorpsi secara baik oleh traktus gastrointestinal (contohnya heparin) atau tidak
stabil di dalam traktus gastrointestinal (contohnya insulin). Pemberian obat secara

3
parenteral juga digunakan pada pasien yang tidak dapat diberikan secara oral (pasien
tidak sadar) dan keadaan dimana membutuhkan onset yang cepat.

Sebagai tambahan, jalur parenteral memiliki bioavailabilitas tertinggi dan tidak


terpengaruh terhadap metabolism lintas pertama atau lingkungan gastrointestinal
yang buruk.
a) Intravena (IV)
Suntikan IV adalah rute parenteral yang paling umum. Jalur ini berguna
untuk obat-obatan yang tidak bisa diserap secara oral. Penghantaran IV
memungkinkan efek cepat dan tingkat kontrol maksimal atas jumlah obat yang
dihantarkan.

b) Intramuskular (IM)
Obat yang diberikan IM dapat berada dalam larutan berair, yang diserap
dengan cepat, atau dalam persiapan khusus, yang diserap perlahan. Persiapan
depot sering terdiri dari suspensi obat dalam vehikulum tak berair seperti
polietilena glikol. Ketika vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut
mengendap di tempat suntikan. Obat tersebut kemudian larut perlahan,
memberikan dosis berkelanjutan selama jangka waktu yang panjang. Contoh
obat pelepas berkelanjutan adalah haloperidol dan depot medroxyprogesterone.

c) Subkutan (SC)
Seperti injeksi IM, injeksi SC juga menyajikan absorpsi via difusi
sederhana dan lebih lambat dibandingkan IV. Injeksi SC meminimalisir risiko
hemolisis atau thrombosis yang berkaitan dengan injeksi IV dan mungkin
menyajikan efek yang konstan, lambat, dan berkelanjutan. Injeksi ini seharusnya
tidak digunakan pada obat yang menyebabkan iritasi jaringan, karena nyeri hebat
dan nekrosis dapat terjadi. Obat-obatan yang biasanya diberikan melalui injeksi
subkutan adalah insulin dan heparin.

III. Lainnya
a) Inhalasi oral
Jalur inhalasi, baik oral maupun nasal, menyajikan penghantaran obat yang
cepat dan melewati permukaan yang luas pada mukus membran saluran

4
pernapasan dan epitel paru. Efek obat inhalasi hampir secepat injeksi secara IV.
Jalur ini efektif dan cocok pada pasien dengan penyakit saluran pernapasan
(seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis), karena obat dihantarkan
langsung ke organ target dan meminimalisir efek sistemik. Obat yang bersifat
gas contohnya pada obat bronkodilator dan obat-obatan anestesi.

b) Inhalasi nasal
Jalur ini melibatkan pemberian obat-obatan langsung ke hidung. Contoh
obatnya adalah dekongestan nasal, seperti oxymetazoline, dan kortikosteroid,
seperti mometason furoat. Desmopressin diberikan secara intranasal dalam
pengobatan diabetes insipidus.

c) Intratekal/Intraventrikular
Sawar darah-otak biasanya menunda atau mencegah absorpsi obat ke dalam
sistem saraf pusat (SSP). Ketika diberikan secara lokal, efek cepat diperlukan,
perlu untuk memperkenalkan obat langsung ke dalam cairan serebrospinal.
Misalnya, amfoterisin B intratekal digunakan dalam mengobati meningitis
kriptokokal.

d) Topikal
Aplikasi topikal digunakan ketika efek lokal dari obat yang diinginkan.
Misalnya, Clotrimazole adalah krim yang dioleskan langsung ke kulit untuk
pengobatan infeksi jamur dan tropicamide atau cyclopentolate yang dipakai
(diberikan tetes demi tetes) secara langsung pada mata untuk mendilatasikan
pupil dan memudahkan pengukuran kelainan refraksi.

e) Transdermal
Jalur pemberian transdermal mencapai efek sistemik dengan aplikasi obat
pada kulit, biasanya melalui patch transdermal. Tingkat penyerapan dapat
bervariasi, tergantung pada karakteristik fisik kulit di tempat aplikasi, serta
kelarutan lemak obat. Jalur ini paling sering digunakan untuk penghantaran obat
berkelanjutan, seperti obat antiangina nitrogliserin, antiemetik scopolamine, dan
patch nikotin transdermal, yang digunakan untuk menghentikan pasien merokok.

5
f) Rektal
Karena 50% drainase dari daerah rektum melewati sirkulasi portal,
biotransformasi obat oleh hati diminimalisir dengan pemberian rektal. Jalur
rektal memiliki keuntungan tambahan mencegah kerusakan obat di lingkungan
gastrointestinal. Jalur ini juga berguna jika obat menginduksi muntah ketika
diberikan secara oral, jika pasien sudah muntah, atau jika pasien tidak sadar.
Absorpsi rektal sering terjadi tidak menentu dan tidak lengkap, dan banyak obat
yang mengiritasi mukosa rektal.

C. Parameter Farmakokinetika
a. Absorpsi
Suatu proses dimana suatu obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Di dalam
studi farmakokinetika klinik yang menilai mengenai absorpsi, informasi mengenai
kadar suatu obat dalam darah menjadi penting, karena hal itu akan berkaitan dengan
cara pemberian obat. Kadar obat di dalam darah tentu akan berbeda jika obat
diberikan secara oral dibandingkan dengan pemberian obat secara intravena (IV).4
Untuk menilai keefektifan obat memasuki sirkulasi sistemik, tentu saja
terdapat beberapa parameter yang harus dinilai meliputi bioavailabilitas yaitu fraksi
obat dalam bentuk yang tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik setelah
pemberian melalui jalur apa saja, laju absorpsi dan banyaknya absorpsi. Untuk dosis
obat IV, bioavailabilitas diasumsikan sama dengan satu. Pada perbandingan cara
pemberian oral dan IV, perhitungan bioavailabilitas dan rasio absorpsi menjadi
penting untuk mengklarifikasi pengaruh eliminasi lintas pertama (first-pass effect)
yang terjadi pada pemberian oral. Untuk obat yang diberikan secara oral,
bioavailabilitasnya mungkin kurang dari 100% berdasarkan dua alasan utama:
banyaknya obat yang diabsorpsi tidak sempurna dan adanya eliminasi lintas pertama.
Faktor-faktor fisik yang memengaruhi absorpsi
1. Aliran darah pada lokasi absorpsi: Aliran darah menuju usus jauh lebih besar
daripada aliran darah yang menuju lambung; jadi, absorpsi dari usus jauh lebih
baik daripada lambung

6
[Catatan: Keadaan syok sangat mengurangi aliran darah yang menuju ke jaringan
subkutan sehingga mengurangi absorpsi pada pemberian SC].

2. Jumlah area permukaan yang tersedia untuk absorpsi: Karena usus


memiliki permukaan yang kaya akan mikrovili, usus mempunyai luas
permukaan kira-kira 1000 kali lebih luas dibanding permukaan lambung; Jadi,
absorpsi melalui usus lebih efisien.
3. Lama kontak dengan permukaan absorpsi: Jika suatu obat dalam saluran
cerna bergerak sangat cepat, seperti pada keadaan diare berat, obat tidak
diabsorpsi secara baik. Sebaliknya, segala sesuatu yang memperlambat transpor
obat dari lambung menuju usus akan memperlambat kecepatan absorpsi obat
tersebut. [Catatan: Input parasimpatis meningkatkan kecepatan pengosongan
lambung, sedangkan input simpatis (misalnya, akibat latihan fisik atau perasaan
stres) memperpanjang waktu pengosongan lambung, begitu pula antikolinergik
(misalnya, dicyclomine). Selain itu, keberadaan makanan dalam lambung akan
melarutkan obat dan memperlambat pengosongan lambung. Oleh sebab itu,
suatu obat yang diminum bersama makanan, umumnya, terabsorpsi lebih
lambat.]

b. Distribusi

Distribusi obat merupakan sebuah proses perpindahan suatu obat secara reversibel
dari sirkulasi darah menuju ke interstisium (cairan ekstraseluler) dan/atau sel-sel
jaringan. Perpindahan obat dari plasma menuju interstisial terutama tergantung pada
aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein
plasma dan jaringan, dan sifat hidrofobik relatif obat tersebut.5

Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan. Cairan tubuh dapat
dibagi menjadi:

a) Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari berat badan),
cairan interstisial (16%) dan limfe (1-2%).

b) Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan jumlah


cairan dalam seluruh sel-sel tubuh.

7
c) Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokuler,
peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.

Organ yang memiliki perfusi tinggi (grup kaya pembuluh darah) menerima
pecahan yang tidak proporsional dari curah jantung (cardiac output). Maka dari itu,
jaringan-jaringan ini menerima jumlah obat yang tidak proporsional juga di menit-
menit pertama setelah pemberian obat.5

Tabel 1. Komposisi grup jaringan, massa tubuh relatif, dan persentase curah jantung6

Jaringan Komposisi Massa tubuh (%) Curah jantung (%)


Otak, jantung, hati,
Kaya pembuluh
ginjal, kelenjar 10 75
darah
endokrin
Otot Otot, kulit 50 19
Lemak Lemak 20 6
Sedikit pembuluh Tulang, ligamen,
20 0
darah kartilago

Jaringan-jaringan ini mencapai titik ekuilibrium dengan konsentrasi plasma


lebih cepat dibandingkan jaringan yang sedikit perfusinya akibat dari perbedaan
pada aliran darah. Akan tetapi, jaringan yang kurang perfusinya seperti lemak dan
kulit memiliki kapasitas mengabsorpsi obat bersifat lipofilik dalam jumlah besar,
yang hasilnya menjadi wadah besar setelah obat diinfus jangka panjang.

Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler
halus ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial ditambah
dengan cairan plasma disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya
dari cairan interstisial, molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam
sitoplasma.5

Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak
sebagai sawar lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak akan
melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak
larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya

8
terbatas, terutama di cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut dalam lemak tersebut
bersifat polar sehingga akan terikat pada protein plasma (albumin) dan membentuk
kompleks obat-protein yang terlalu besar untuk berdifusi melintasi membran sel.7

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah:


A. Aliran darah
Kecepatan aliran darah kapiler jaringan sangat bervariasi sebagai akibat
distribusi curah jantung yang tidak sama ke berbagai organ. Aliran darah yang
menuju otak, hati, dan ginjal lebih besar daripada aliran darah yang menuju otot
rangka; jaringan adiposa tetap mendapat aliran darah yang lebih rendah.
Perbedaan aliran darah ini turut menjelaskan durasi singkat hipnosis yang
dihasilkan oleh bolus suntikan intravena thiopental.

Besarnya aliran darah, bersama kelarutan lipid thiopental yang tinggi,


memudahkan pergerakan yang cepat menuju ke susunan saraf pusat (SSP) dan
menghasilkan efek anestesia. Distribusi yang lebih lambat ke otot rangka dan
jaringan adiposa menurunkan konsentrasi plasma dengan cukup sehingga
konsentrasi dalam SSP yang tinggi menjadi turun dan kesadaran pulih kembali.
Meskipun fenomena ini terjadi pada semua obat hingga derajat tertentu,
redistribusi terutama terjadi pada kerja obat berdurasi sangat singkat, thiopental,
dan senyawa yang memiliki sifat kimiawi dan farmakologi yang serupa.

B. Permeabilitas kapiler

Permeabilitas kapiler ditentukan oleh struktur kapiler dan sifat kimiawi obat
tersebut.


9
1. Struktur kapiler: Struktur kapiler sangat bervariasi dalam hal fraksi
membran basalis yang terpapar oleh taut celah antara sel-sel endotel. Pada
otak, struktur kapiler bersifat kontinu
dan tidak ada taut celah antara sel-sel
endotel. Berbeda dengan hati dan limpa
yang sebagian besar membran
basalisnya terpapar akibat putusan-
putusan kapiler yang berukuran besar
dapat dilewati protein plasma yang
berukuran besar.

 Sawar darah-otak: Untuk memasuki


otak, obat harus melewati sel-sel
endotel kapiler SSP atau ditranspor
secara aktif. Misalnya, pengangkut
spesifik untuk asam amino netral yang
berukuran besar mengangkut levodopa
menuju otak. Sebaliknya, obat yang
larut lemak memenetrasi secara mudah
menuju SSP karena dapat terlarut di
dalam membran sel-sel endotel. Obat-
obat yang terionisasi atau yang polar
umumnya tidak dapat masuk ke SSP
karena tidak mampu melewati sel
endotel SSP, yang tidak memiliki taut
celah. Sel-sel endotel kapiler pada otak
yang tersusun rapat ini membentuk taut
sempit yang disebut sawar darah otak.

2. Struktur obat: Sifat kimiawi obat


sangat memengaruhi kemampuannya
menembus membran sel. Obat-obat
hidrofobik yang mempunyai distribusi
elektron seragam dan tidak bermuatan
mudah bergerak menembus sebagian besar membran biologis. Obat-obat ini
dapat larut dalam membran lipid sehingga menembus seluruh permukaan sel.
Faktor utama yang memengaruhi distribusi obat hidrofobik adalah aliran
darah yang menuju area itu. Sebaliknya, obat-obat hidrofilik, yang

10
mempunyai distribusi elektron atau muatan positif atau negatif yang tidak
seragam, tidak mudah menembus membran sel sehingga harus melalui taut
celah.

C. Pengikatan obat pada protein plasma

Pengikatan reversibel pada protein plasma menjadikan obat berada dalam


bentuk yang tidak dapat berdifusi dan memperlambat pemindahan keluar obat
tersebut dari kompartemen vaskular. Pengikatan bersifat relatif tidak selektif,
seperti struktur kimia, dan terdapat pada sisi protein tempat senyawa endogen,
seperti bilirubin, biasa menempel. Albumin plasma adalah protein pengikat
obat yang utama dan dapat bertindak sebagai reservoir obat; seperti halnya
konsentrasi obat bebas berkurang akibat eliminasi oleh metabolisme atau
ekskresi, demikian pula obat yang terikat akan berdisosiasi dari protein
tersebut. Hal ini berguna untuk mempertahankan konsentrasi obat yang
konstan di bebas sebagai suatu fraksi seluruh obat dalam plasma.

VOLUME DISTRIBUSI

Volume distribusi adalah suatu volume cairan, yang secara hipotesis, tempat obat tersebar di
dalamnya. Meskipun volume distribusi tidak mempunyai dasar fisiologis maupun fisis,
kadang-kadang perbandingan distribusi suatu obat dengan volume-volume kompartemen
cairan dalam tubuh memiliki kegunaan (Gambar 1.9).

A. Kompartemen cairan dalam tubuh

Begitu obat memasuki tubuh, melalui jalur pemberian apa pun, obat tersebut memiliki
potensi untuk berdistribusi ke dalam satu dari tiga kompartemen cairan tubuh yang
berbeda atau terisolasi dalam satu sisi seluler.

1) Kompartemen plasma: Jika suatu obat
 memiliki berat molekul yang sangat besar

atau
 terikat kuat pada protein plasma, obat tersebut
 menjadi terlalu besar untuk

melalui taut celah
 endotel kapiler sehingga mudah terperangkap
 dalam

kompartemen plasma (vaskuler).
 Akibatnya, obat tersebut terdistribusi

dalam
 suatu volume (plasma) yang kira-kira 6% dari
 berat badan, atau kira-kira 4

11
L dari cairan
 tubuh pada seorang individu yang memiliki berat badan 70 kg. Heparin

menunjukkan tipe distribusi ini.

2) Cairan ektraseluler: Jika suatu obat


mempunyai berat molekul yang rendah tetapi
bersifat hidrofilik, obat tersebut dapat
bergerak melalui taut celah endotel kapiler
menuju cairan interstisial. Namun, obat-
obatan hidrofilik tidak dapat melintasi
membran lipid sel untuk masuk ke fase cair
di dalam sel. Oleh sebab itu, obat-obat ini
terdistribusi ke dalam suatu volume yang
merupakan penjumlahan cairan plasma dan
cairan interstisial, yang bersama-sama
membentuk cairan ekstraseluler. Jumlah ini
sekitar 20% dari berat badan, atau kira-kira
14 L pada orang dengan berat badan 70 kg.
Antibiotika aminoglikosida menunjukkan
tipe distribusi ini.

3) Cairan tubuh total: Jika suatu obat


mempunyai berat molekul yang rendah dan
bersifat hidrofobik, obat tersebut tidak hanya dapat bergerak melalui taut celah
menuju interstisial, tetapi juga dapat bergerak melalui membran sel menuju cairan
intraseluler. Oleh sebab itu, obat tersebut terdistribusi menuju suatu volume yang
berkisar 60% dari berat badan atau kira-kira 42 liter pada seseorang dengan berat
badan 70 kg. Ethanol menunjukkan volume distribusi ini dengan nyata.

4) Tempat-tempat lain: Pada kehamilan, janin dapat menyerap obat sehingga


meningkatkan volume distribusi. Obat yang sangat larut-lemak seperti thiopental juga
dapat mempunyai volume distribusi yang luar biasa tinggi.

12
B. Volume distribusi nyata

Suatu obat jarang berhubungan dengan hanya satu kompartemen cairan tubuh.
Sebaliknya, sebagian besar obat terdistribusi dalam beberapa kompartemen. Sering kali
berikatan dengan komponen-komponen seluler–misalnya, lipid (berlimpah di dalam
adiposit dan membran sel), protein (berlimpah dalam plasma dan sel) atau asam nukleat
(berlimpah dalam inti sel). Oleh sebab itu, volume tempat obat terdistribusi disebut
volume distribusi yang nyata atau Vd. Dengan kata lain, konstanta ini merupakan
koefisien partisi obat antara plasma dan seluruh tubuh.

1. Penentuan Vd


a. Distribusi obat tanpa adanya eliminasi:


Volume nyata tempat obat terdistribusi (Vd)
ditentukan oleh penyuntikan suatu obat dengan
dosis standar yang mula-mula masuk seluruhnya
ke dalam sistem vaskular. Obat tersebut
kemudian bergerak dari plasma menuju
interstisial dan ke sel, menyebabkan konsentrasi
plasma berkurang menurut waktu. Untuk
memudahkan, anggaplah bahwa obat tersebut
tidak dieliminasi dari tubuh; obat tersebut kemudian mencapai suatu konsentrasi yang
sama dan dipertahankan sesuai waktu. Konsentrasi di dalam kompartemen vaskular
adalah jumlah total obat yang diberikan dibagi volume tempat obat terdistribusi, Vd:

𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑏𝑜𝑙𝑢𝑠
𝑉𝑑 = 

𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎

Volume distribusi adalah suatu parameter yang penting dalam farmakokinetik. Salah
satu kegunaannya adalah untuk menentukan dosis obat yang diperlukan untuk
memperoleh kadar obat dalam darah yang dikehendaki. Obat-obat dengan nilai Vd
yang kecil akan menghasilkan kadar dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan obat
dengan nilai Vd yang besar akan menghasilkan kadar dalam darah yang rendah.

13
Di dalam praktiknya, terlihat bahwa obat-obat yang terdistribusi secara meluas dalam
tubuh akan mempunyai nilai Vd yang besar, sebaliknya obat-obat yang kurang
terdistribusi ke seluruh tubuh akan menunjukkan nilai nilai Vd yang kecil, yang
menunjukkan adanya ikatan yang sangat kuat antara obat tersebut dengan protein
plasma. Nilai Vd < 5 L menunjukkan bahwa obat dipertahankan dalam kompartemen
vaskular. Nilai Vd < 15 L menunjukkan bahwa obat terbatas pada cairan ekstraselular.
Sementara volume distribusi yang besar (Nilai Vd > 15 L) menunjukkan distribusi di
seluruh cairan tubuh total atau konsentrasi pada jaringan tertentu. Volume distribusi
dapat digunakan untuk menghitung bersihan (clearance) obat.

Misalnya, jika 25 mg obat (D = 25 mg) diberikan dan konsentrasi dalam plasma


adalah 1 mg/L, Vd, = 25 mg/1 mg/L = 25 L.

Konsep Vd tidak berlaku untuk obat intravena yang digunakan dalam anestesi.
Semua obat anestesi intravena lebih baik dimodelkan dengan setidaknya dua
kompartemen: kompartemen sentral dan kompartemen perifer. Perilaku dari banyak
obat ini paling baik dijelaskan menggunakan tiga kompartemen: kompartemen sentral,
kompartemen perifer yang cepat seimbang, dan kompartemen perifer yang
menyeimbangkan secara perlahan.

Kompartemen sentral dapat dianggap sebagai termasuk darah dan jaringan


yang sangat cepat seimbang seperti otak, jantung, paru-paru. Kompartemen perifer
terdiri dari jaringan tubuh lainnya. Untuk obat-obatan dengan dua kompartemen
perifer, kompartemen yang cepat seimbang terdiri dari organ dan otot, sedangkan
kompartemen yang secara perlahan menyeimbangkan secara kasar menunjukkan
distribusi obat ke dalam lemak dan kulit. Kompartemen ini diberi nama V 1 (sentral),
V2 (distribusi cepat), dan V3 (distribusi lambat).

Volume distribusi pada steady state (Vdss) adalah jumlah aljabar dari volume
kompartemen ini. V1 dihitung oleh persamaan di atas menunjukkan hubungan antara
volume, dosis, dan konsentrasi. Volume lainnya dihitung melalui pemodelan
farmakokinetik. Vdss kecil menyiratkan bahwa obat tersebut memiliki kelarutan berair
tinggi dan sebagian besar tetap berada dalam ruang intravaskular. Sebagai contoh,
Vdss dari pancuronium adalah sekitar 15 L pada orang 70 kg, menunjukkan bahwa
pancuronium sebagian besar ada di cairan tubuh dan sedikit distribusi ke lemak.

14
Namun, obat anestetik tipikal adalah lipofilik, menghasilkan Vdss yang melebihi total
air tubuh (sekitar 40 L). Sebagai contoh, Vdss untuk fentanyl adalah sekitar 350 L pada
orang dewasa, dan Vdss untuk propofol dapat melebihi 5000 L. Vdss tidak mewakili
volume sebenarnya, tetapi menunjukkan ukuran
kumpulan cairan tubuh yang diperlukan jika obat
didistribusikan secara merata ke seluruh tubuh.

b. Distribusi obat bila terdapat eliminasi:


Kenyataannya, obat-obat dieliminasi dari tubuh,
dan suatu grafik konsentrasi plasma terhadap
waktu menunjukkan dua fase. Penurunan multi-
multi konsentrasi dalam plasma disebabkan oleh
suatu fase distribusi yang cepat, yaitu obat
ditransfer dari plasma menuju ke interstisial dan cairan intraseluler. Fase ini diikuti
oleh fase eliminasi yang lebih lambat, yaitu selama obat meninggalkan kompartemen
plasma dan menghilang dari tubuh, misalnya oleh eliminasi ginjal atau empedu atau
biotransformasi di hati. Kecepatan eliminasi obat, biasanya, proporsional dengan
konsentrasi obat, C; artinya, kecepatan eliminasi sebagian besar obat bersifat first-
order dan menunjukkan hubungan yang tinier terhadap waktu—jika lnC (dengan InC
adalah log C, dari pada C) diekstrapolasi menurut waktu. Hal ini karena proses
eliminasi tidak disaturasi.

c. Penghitungan konsentrasi obat jika

distribusi
 bersifat cepat: Anggaplah bahwa

proses eliminasi
 bermula pada saat

penyuntikan dan terus
 berlangsung selama

fase distribusi. Konsentrasi
 obat dalam

plasma, C, dapat diperhitungkan
 kembali

mulai pada waktu nol (saat penyuntikan) untuk


menentukan C0 yang merupakan konsentrasi
obat yang tercapai jika fase distribusi terjadi secara instan. Misalnya, jika 10 mg obat

15
disuntikkan ke pasien dan konsentrasi plasma yang diperhitungkan pada waktu nol
adalah Co = 1 mg/L (dari grafik yang ditunjukkan diatas), lalu Vd = 10 mg/1 mg/L =
10 L.

d. Distribusi obat yang tidak merata antarkompartemen: Volume distribusi yang


nyata menganggap bahwa obat terdistribusi secara sama dalam suatu kompartemen
tunggal. Namun, sebagian besar obat terdistribusi secara tidak merata dalam beberapa
kompartemen dan volume distribusi tidak memberikan suatu volume fisik yang nyata
tetapi lebih mencerminkan rasio obat dalam ruangan ekstraplasma terhadap ruang
intraplasma. Meskipun demikian, Vd berguna karena dapat digunakan untuk
mengalkulasi jumlah obat yang diperlukan agar mencapai konsentrasi plasma yang
diinginkan. Misalnya, anggaplah aritmia pada seorang pasien penyakit jantung tidak
terkontrol dengan baik karena kadar digitalis dalam plasma tidak adekuat.
Seharusnya, konsentrasi obat dalam plasma adalah C1 dan kadar digitalis yang
diinginkan (diketahui dari uji klinis) berkonsentrasi lebih tinggi, C2. Dokter perlu tahu
jumlah obat tambahan yang harus diberikan untuk meningkatkan kadar obat dalam
sirkulasi dari C1 menuju C2:

(Vd)(C1) = jumlah obat awal di dalam tubuh


(Vd)(C2) = jumlah obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi

plasma yang diinginkan.


Perbedaan antara kedua nilai tersebut adalah dosis obat tambahan yang diperlukan,
sama dengan Vd (C2–C1).

2. Efek Vd yang besar terhadap waktu-paruh suatu obat

Nilai Vd yang besar berpengaruh penting terhadap waktu-paruh suatu obat karena
eliminasi obat tergantung pada jumlah obat yang sampai ke hati atau ginjal (atau organ-
organ lain tempat metabolisme berlangsung) per satuan waktu. Penghantaran obat menuju
organ-organ penghancur tidak hanya tergantung pada aliran darah, tetapi juga fraksi obat
dalam plasma. Jika Vd suatu obat bernilai besar, sebagian besar obat berada dalam
ruangan ekstraplasma dan tidak berada pada organ-organ ekskresi. Oleh sebab itu, setiap
faktor yang meningkatkan volume distribusi dapat menyebabkan peningkatan waktu paruh

16
dan memperpanjang lama kerja obat.

[Catatan: Vd yang luar biasa besar menunjukkan adanya isolasi obat dalam beberapa
organ atau kompartemen].

c. Metabolisme
Proses alternatif yang memiliki kemungkinan menuju pada penghentian atau
perubahan aktivitas biologis adalah metabolisme. Peran metabolisme dalam
inaktivasi obat-obat larut lemak cukup luar biasa. Sebagai contoh, barbiturat lipofilik
seperti thiopental dan pentobarbital mempunyai waktu paruh yang sangat panjang
kalau bahan tersebut tidak dimetabolisme menjadi senyawa larut air. Dalam hal
tertentu, sebagian besar biotransformasi metabolik terjadi pada suatu tahap diantara
penyerapan obat ke dalam sirkulasi umum dan eliminasi melalui ginjalnya. Beberapa
transformasi terjadi di dalam lumen usus atau dinding usus. Secara umum, semua
reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari dua kategori utama yang disebut reaksi-
reaksi fase I dan fase II. Metabolisme yang terjadi di usus halus harus diperhitungkan
pada saat pemberian obat secara oral oleh karena isoform enzim sitokrom P450
(CYP3A4) banyak dijumpai dalam usus halus. Dapat dikatakan bahwa metabolisme
merupakan proses awal dari ekskresi.8

d. Eliminasi
Parameter yang penting adalah bersihan/klirens (clearance), yaitu suatu faktor
yang memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi obat.
𝐂𝐥 = 𝐕𝐝 𝐱 𝐊𝐞

Konstanta kecepatan eliminasi (Ke) adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan
tereliminasi dalam satuan waktu, yang dapat dihitung dengan rumus:
𝟎, 𝟔𝟗𝟑
𝐾𝒆 =
𝒕
Eliminasi obat dari tubuh meliputi proses-proses yang terjadi di dalam ginjal,
paru, hati dan organ lainnya. Dengan membagi laju eliminasi pada setiap organ
dengan konsentrasi obat yang menuju pada organ menghasilkan klirens pada masing-
masing organ tersebut. Kalau digabungkan, klirens-klirens yang terpisah ini sama
dengan klirens sistemik total. Dua lokasi utama eliminasi obat adalah kedua ginjal
dan hati.9 Klirens dari obat yang tidak berubah di dalam urin menunjukkan klirens

17
ginjal. Di dalam hati, eliminasi obat terjadi melalui biotransformasi obat induk pada
satu metabolit atau lebih, atau ekskresi obat yang tidak berubah ke dalam empedu
atau kedua-duanya.

18
BAB III
KESIMPULAN

Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip-prinsip farmakokinetik yang


meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dalam penanganan penderita baik
secara langsung ataupun tidak. Farmakokinetika klinik sangat berguna terutama untuk
tuntunan penentuan aturan dosis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya dosis dan
interval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit
seperti digoksin, fenitoin, lidokain, prokain amida dan lain-lain. Terdapat beberapa
parameter yang sering diukur di dalam studi farmakokinetika klinik untuk menilai tentang
bagaimana kinetika obat di dalam tubuh yaitu bioavailabilitas, volume distribusi, klirens,
waktu paruh, dan lain sebagainya. Studi farmakokinetika klinik menjadi suatu keharusan
di dalam pengembangan obat-obat baru terlebih setelah diketahui adanya keanekaragaman
antar etnik dan antar individu yang dikenal sebagai polimorfisme genetik dan adanya
faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses kinetika obat (terutama
metabolisme).

19
DAFTAR PUSTAKA

1. de Vries TPGM , Henning RH, Hogerzeil HV, Bapna JS, Bero L, et al. Impact of
short course in pharmacotherapy for undergraduate medical students: an international
randomised controlled study. 2015. The Lancet 346 (2):1454-1457
2. Ingenito AJ, Lathers JM, Burford HJ. Instruction of Clinical Pharmacology: Changes
in the wind. J Clin Pharmacol. 2016 Jan; 29(1):7-17.
3. Whalen K, Finkel R, Panavelil TA. Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology
Sixth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015; 35(1):1
4. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2008
5. Shargel L, Wu-Pong S, Andrew B. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi 5. Surabaya: Universitas Airlangga Press. 2012
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology Fifth Edition. United States: McGraw-Hill Education. 2013
7. Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2011
8. Gibson GG, Skett P. Introduction to Drug Metabolism. London: Chapman and Hall.
2016
9. Valerie CS, et al. Essentials of Anatomy and Physiology 5th Edition. Philadelphia:
F.A. Davis Company. 2011

20

Anda mungkin juga menyukai