Anda di halaman 1dari 173

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Dra. Refdanita Wahab M.Si, Apt


Annisa Farida Muti, S.Farm.,M.Sc.,Apt

SARAH AYU OKTAVIYANI 14330117

Program Studi Farmasi


FAKULTAS FARMASI
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Jakarta 2015

1
KATA PENGHANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas kehendak- Nyalah
Laporan Praktikum Farmakologi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tidak terlalu banyak mengalami


kesulitan, karena dengan berbagai referensi yang didapatkan oleh penyusun, tidak
meminimkan pengetahuan para penyusun dalam penyelesaian makalah. Selain itu, penyusun
pun mendapatkan berbagai bimbingan dari beberapa pihak yang pada akhirnya laporan ini
dapat diselesaikan.

Semoga dengan adanya makalah ini pula dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
Farmakologi bagi para pembaca pada umumnya, maupun bagi para penyusun khususnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang membimbing mata
kuliah Praktikum Farmakologi yaitu Ibu Dra. Refdanita, M. Si, Apt serta Ibu Annisa Farida
Muti, S. Farm. MSc, Apt yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun
makalah ini dengan baik. Dan pada akhirnya kepada Allah jualah penyusun mohon taufik dan
hidayah, semoga usaha kami mendapat manfaat yang baik. Serta mendapat ridho Allah SWT.
Amin ya rabbal alamin.

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
CARA-CARA PEMBERIAN OBAT ..................................................................................................... 4
PENGARUH VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT ...................................................... 23
VARIASI KELAMIN ........................................................................................................................... 40
DOSIS OBAT DAN RESPON ............................................................................................................. 51
HIPNOTIK DAN SEDATIV ................................................................................................................ 66
EFEK LOKAL OBAT PADA MEMBRAN DAN KULIT MUKOSA ................................................ 76
ANESTESI PERMUKAAN ................................................................................................................. 89
METODE REGNIER.......................................................................................................................... 100
ANASTESI KONDUKSI ................................................................................................................... 111
ANESTESI INFILTRASI ................................................................................................................... 121
EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK PADA SEKRESI KELENJAR LUDAH 132
EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK PADA MATA ........................................ 144
DIURETIKA ....................................................................................................................................... 155

3
CARA-CARA PEMBERIAN OBAT

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Judul Praktium

Cara – cara pemberian obat

1.2.Latar Belakang
Banyak obat, banyak juga cara pemberiannya kepada pasien. Sediaan per-oral sering
kita temukan dalam perkembangan pemberian obat. Namun, banyak Cara Pemberian &
Minum Obat ke pasien selain per-oral. Mengapa hal ini terjadi? Cara Pemberian Obat Ke
Pasien didasarkan beberapa faktor, diantaranya : Faktor Formulasi. Faktor zat aktif serta
stabilitasnya menjadi alasan bahwa obat dibuat dalam sediaan yang cocok untuk zat aktif
tersebut.

Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya
resorpsi suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh
tubuh) atau efek lokal (setempat) dan keadaan pasien serta sifat-sifat fisiko-kimiawi obat,
dapat dipilih di antara berbagai cara untuk memberikan obat.

Untuk Memberikan Efek Sistemik (Obat disebar ke seluruh tubuh)

1. Oral :

Yaitu pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya, lazim


dan praktis, tidak semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya : Obat yang bersifat
merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung
(benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin), dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum
diedarkan ke tempat kerjanya, dapat juga untuk mencapai efek lokal misalnya : obat
cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung – usus, baik sekali untuk
mengobati infeksi usus. Bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat hisap, Sirup dan
Tetesan.

2. Injeksi :

Yaitu pemberiannya dengan jalan suntikkan, efek yang diperoleh cepat, kuat dan
lengkap, keberatannya lebih banyak dari pasien, alat suntik harus steril dan dapat
merusak pembuluh darah atau syaraf jika tempat penyuntikkannya tidak tepat.

5
Terutama untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung atau tidak
tidak diresorpsi oleh dinding usus.

1.3. Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan :

a. Mencit

 Oral :

Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral, sonde oral ditempelkan
pada langit –langit mulut atas mencit kemudian masukkan perlahan-lahan sampai ke
esophagus dan cairan obat dimasukkan.

 Subkutan :

Kulit di daerah tengkuk di angkat dan di bagian bawah kulit dimasukkan obat dengan
menggunakan alat suntik 1 ml.

 Intra vena :

Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit dengan bagian


ekor menjulur keluar. Bagian ekor dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh venaekor
mengalami dilatasi lalu pemberian obat ke dalam pembuluh vena menjadimudah. Pemberian
obat dilakukan dengan jarum suntik no.24.

 Intra peritoneal :

Mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.1, pada penyuntikkan posisi
kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10
dariabdomen pada daerah yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum
suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak
terkena penyuntikkan pada hati.

6
 Intramuskular (im) :

Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau


dimana tidak banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat
atau lengan atas.

b. Tikus

Pemberian secara oral, intra muscular dan intra peritoneal dilakukan dengancara sama pada mencit.
Secara sub kutan dilakukan penyuntikkan di bawah kulit tengkuk atau kulit abdomen dan
pemberian secara intra vena dilakukan pada vena penis ketimbang vena ekor.

2. Tujuan Percobaan

1. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute
pemberian obat.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang
timbul.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan mengamati berbagai faktor yang
memodifikasi dosis obat.
4. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat rute pemberian obat terhadap
efek yang ditimbulkan.
5. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan.

3. Prinsip Percobaan

Perbedaan rute atau cara-cara pemberian obat mempengaruhi cepat lambat efek
sedative-hipnotik yang ditimbulkan pada hewan percobaan.

4. Manfaat Percobaan

a. Dapat mengetahui cara-cara pemberian obat.


b. Dapat mengetahui efek dari cara pemberian obat.
c. Dapat mengetahui efek dari cara pemberian obat.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Teori
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristika lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi yang berbeda pada
daerah kontak mula obat dan tubuh. Karakteristika ini berbeda karena jumlah suplay
darah yang berbeda; struktur anatomi dari lingkungan kontak antara obat-tubuh yang
berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut
berbeda. Hal-hal ini menyebabkan jumlah obat yang dapat mencapai kerjanya dalam
jangka waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat.

2.2. Macam- Macam Rute Pemberian Obat

1. Rute Oral (melalui mulut)


Obat- obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok dapat
relative mudah diproduksi dengan disamping itu kebanyakan pasien lebih menyukai
pemakaian ini, akan tetapi pemakaina obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang
sukar diabsorbsi melaui saluran cerna atau iritasi mukosa lambung. Cara pemakaian obat
merupakam cara obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah.
Kerugiannya ialah banyak factor yang mempengaruhui biovaibilitasnya, obat dapat
mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita, tidak bisa dilakukan
bila pasien koma.
2. Rute Subkutan (SK) (dibawah kulit)
Bagian kulit yang baik untuk cara pemberian ini adalah kulit disisi sebelah
punggung atau tengkuk.Hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan
iritasi jaringan.Absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan
lama.Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan.
Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan di dalam kulit dapat diabsorpsi selama
beberapa minggu atau beberapa bulan.
3. Rute Intravena (kedalam pembuluh darah balik atau vena)
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor dengan menggunakan jarum suntik number
27.Tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara
cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu
yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah
relative tidak sensitive dan bila disuntikan perlahan-lahan obat segera diencerkan oleh
8
darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera
mencapai darah dan jaringan. Di samping itu obat yang disuntikkan IV tidak dapt ditarik
kembali.
4. Rute Intraperitoneal (kedalam rongga perut)
Penyuntikan dilakukan pada bagian perut sebelah kanan.Penyuntikan ini tidak
dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adisi terlalu besar.

5. Rute Intamuskular (IM)


Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat
yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik, misalnya : digoksin, fenitoin dan
diazepam, akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat,
tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat tergantung
dari aliran darah di tempat suntikan.

9
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.Prosedur dan Hasil Pengamatan Praktikum

Rute oral :
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum oral
Dosis0,02 ml
2. Prosedur :
Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi
obat, diselipkan dekat langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan
diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum
oral tidak melukai esophagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah 5 ml/ 100
gram bobot badan ( bb ).

Rute subkutan ( SK )
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 3/4 – 1 inchi
Dosis0,25 ml

2. Prosedur :
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum
disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.

10
Rute Intra Vena ( IV )

1. Bahan dan Alat


Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi
Dosis0,2 ml

2. Prosedur :
Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum
disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor dilatasi dengan penghangatan/
pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton/ eter. Bila jarum suntik tidak masuk
ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih
dan bila piston alat suntik ditarik, tidak ada darahyang mengalir masuk ke dalamnya.
Dalam keadaan di mana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari
bagian distal ekor.

Rute Intra Peritoneal ( IP )


1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi
Dosis0,2 ml

2. Prosedur :
Tikus dipegang tengkuknya sedemikian sehingga posisi badan abdomen lebih tinggi dari
kepala. Larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus di sebelah garis
midsagital.

11
Rute Intra Muskular ( IM)
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 1/2 inchi
Dosis0,25 ml

2. Prosedur :
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha
lain dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena,
dengan menarik kembali piston alat suntik.

Rute Rektal
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Kateter dari logam atau slikon, alat suntik 1 ml
Dosis0,2 ml

2. Prosedur :
Kateter dibasahi lebih dahulu dengan paraffin atau gliserin, setelah itu masukan kateter
kedalam rectum tikus, sejauh kira-kira 4cm dan larutan obat di desak ke luar sehingga
masuk ke rektrum.

12
3.2.Hasil Pengamatan :

Tikus 1 – Oral

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas 12:16 12:30 14 menit


Sedatif 12:30 12:50 20 menit
Hipnotik - -
Anastesi - -
Mati - -
Aktif 12:50 -

Tikus 2 – Intra Vena

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas 12:24 12:30 3 menit


Sedatif 12:30 12:43 13 menit
Hipnotik - -
Anastesi - -
Mati - -
Aktif 12:43 -

Tikus 3 – Intra Rektal

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas 12:33 12:37 4 menit


Sedatif 12:37 12:49 12 menit
Hipnotik - -
Anastesi - -
Mati - -
Aktif 12:49 -

13
Tikus 4 – Intra Peritoneal

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas 12:32 12:39 7 menit


Sedatif 12:39 13:02 23 menit
Hipnotik - -
Anastesi - -
Mati - -
Aktif 13:02 -

Tikus 5 – Intra Muskular

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas 12:35 12:44 9 menit


Sedatif 12:44 12:48 4 menit
Hipnotik - -
Anastesi - -
Mati - -
Aktif 12:48 -

Tikus 6 – Subkutan

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas 12:38 12:41 3 menit


Sedatif 12:41 12:57 16 menit
Hipnotik 12:52 12:57 5 menit
Anastesi - -
Mati - -
Aktif 12:57 -

14
3.3.Perhitungan :

Perhitungan Dosis

Faktor Konversi manusia 70 kg ke tikus 200 mg adalah 0,018

1. Tikus 1 – Oral
Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-1 = 109 g
109 𝑔
Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018
200 𝑔
= 0,981 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml


0,981 𝑚𝑔
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,0196 ml (0,02 ml)

Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml

2. Tikus 2 – Intra Vena


Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-2 = 105 g
105 𝑔
Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018
200 𝑔
= 0,945 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml


0,945 𝑚𝑔
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,0189 ml (0,02 ml)

Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml

3. Tikus 3 – Intra Rektal


Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-3 = 111 g
111 𝑔
Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018
200 𝑔
= 0,999 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml


15
0,999 𝑚𝑔
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,099 ml (0,02 ml)

Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml

4. Tikus 4 – Intra Muskular


Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-4 = 140 g
140 𝑔
Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018
200 𝑔
= 1,26 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml


1,26 𝑚𝑔
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,0252 ml (0,025 ml)

Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,025 x 10
= 0,25 ml

5. Tikus 5 – Intra Peritoneal


Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-5 = 123 g
123 𝑔
Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018
200 𝑔
= 1,107 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml


1,107 𝑚𝑔
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,02214 ml (0,02 ml)

Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml

16
6. Tikus 6 – Subkutan
Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-6 = 130 g
130 𝑔
Dosis konversi Tikus = x 100 mg x 0,018
200 𝑔
= 1,17 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml


1,17 𝑚𝑔
Volume yang disuntikkan = x 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,0234 ml (0,025 ml)

Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,025 x 10
= 0,25 ml

3.4.Pembahasan

Pada cara pemberian obat secara Oral mulai mengamati pada jam 12:14, terjadinya
efek perubahan aktivitas pada jam12:16 dan selesai efek perubahan aktivitas pada
jam12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 14 menit. Sedangkan terjadinya
perubahan efek sedativ pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:50, durasi
pada efek sedativ selama 20 menit dan tikus 1 yang diberikan obat secara Oral kembali
aktif pada jam 12:50.
Pada cara pemberian obat secara Intravena mulai mengamati pada jam 12:24,
terjadinya perubahan aktivitas pada jam 12:27 dan selesai efek perubahan aktivitas pada
12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan terjadinya
perubahan efek sedatif pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:43, durasi
pada efek sedativ selama 13 menit. Pada tikus 2, obat yang diberikan secara Intravena
kembali aktif pada jam 12:43.
Pada tikus ke-3 cara pemberian obatnya secara Intrarektal mulai mengatinya pada
jam 12:27, terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:33 dan selesai efek
perubahan aktivitas pada jam 12:37, durasi obat yang diberikan selama 4 menit.
Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:37 dan selsai efek sedativ pada jam
12:49, durasi obat yang diberikan selma 12 menit. Pada tikus ke-3 mulai aktif kembali
pada jam 12:49.
Pada cara pemberian obat secara Intraperitoneal mulai mengamati pada jam 12:29.
Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:32 dan selesai efek perubahan
aktivitas pada jam 12:39, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 7 menit.

17
Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:39 dan selesai efek sedativ pada jam
13:02, durasi terjadinya efek sedativ selama 23 menit dan pada tikus ke-4 kembali aktif
pada jam 13:02
Pada tikus ke-5 cara pemeberian obatnya yaitu secara Intramuskular, mulai
mengamati pada jam 12:31. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:35 dan
selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:44, durasi efek pada perubahan aktivitas
selama 9 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:44 dan selesai efek
sedativ pada jam 12:48, durasi pada efek tersebut selama 4 menit. Pada tikus ke-5 aktif
kembali pada jam 12:48.
Pada tikus ke-6 cara pemberian obatnya secara Subkutan, mulai mengamati pada
jam 12:34. Terjadinya perubahan aktifitas pada jam 12:38, selesai efek pada jam 12:41
dan durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan pada efek sedativ
mulai terjadinya efek pada jam 12:41, selesai efek pada jam 12:57 dan durasi pada efek
sedativ selama 16 menit. Pada tikus ke-6 terjadinya juga efek hipnotik, mulai terjadinya
efek pada jam 12:52 dan selesai efek pada jam 12:57, durasi pada efek hipnotik selama
5 menit saja. Tikus ke-6 kembali aktif pada jam 12:57.
Pada percobaan cara pemberian obat, pengamatan yang di dapat diketauhi bahwa
efek sedativ pada pemberian obat Fenobarbital yaitu Oral, Intravena (IV), Intrarektal
(IR), Intra peritoneal (IP), dan Subkutan memiliki efek yang lebih lambat. Tetapi pada
pemberian obat secara Intramuskular (IM) memiliki efek sedativ yang lebih cepat.
Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat
Fenobarbital secara Subkutan.

18
Pertanyaan

1. Cobalah jelaskan secara spesifik dengan contoh – contoh mengenai karakteristik

lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada daerah kontak obat dan

tubuh.

 Hubungkan kecepatan efek timbul pada berbagai CP dengan jumlah kecepatan suplai

darah, lokasi pemberian (struktur anatomi), adanya enzim – enzim dan getah – getah

fisiologis yang mempengaruhi obat?

 Jelaskan secara lebih terperinci pengaruh kondisi – kondisi pasien sehubungan dengan

pemilihan rute pemberian?

Jawab :

 Jumlah suplai darah yang berbeda

Dengan adanya suplai darah yang berbeda maka mengakibatkan perbedaan kecepatan

distribusi. Semakin banyak suplai darah dalam individu maka semakin banyak obat

yang didistribusikan.

 Struktur anatomi yang berbeda

Contoh : absorpsi obat diusus halus lebih cepat daripada dilambung karena

permukaan epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkkan dnegan epitel lambung.

Akibatnya : efek obat lebih cepat bila bat diabsorpsi di usus halus daripada obat yang

diabsorpsi di lambung.

 Enzim – enzim dan getah – getah fisiologis yang berbeda

Contoh : enzim – enzim dari saluran cerna dan enzim – enzim dalam hati

Akibatnya : semakin baik fungsi enzim maka jumlah obat yang mencapai sirkulasi

sistemik semakin banyak.

19
 Lain – lain

Contoh : pada pH saluran cerna , fungsi empedu

Akibatnya : semakin baik fungsi empedu maka kecepatan disintegrasi dan disolusi

obat semakin cepat.

2. Berikan beberapa contoh dimana sifat dan bentuk fisika, kimia obat menentukan cara

pemberiannya ?

Jawab :

 Pada penderita yang tidak sadar atau muntah – muntah diberikan obat secara

suntikan (I.V, I.P, I.M, S.C)

 Pada penderita setengah sadar / pingsan diberikan obat secara oral

 Pada penderita yang kondisinya sadar diberikan obat secara oral

 Untuk memperoleh efek local diberikan obat secara topical.

3. Sebutkan implikasi praktis pada rute pemberian obat seperti menentukan dosis obat jika

dipilih rute pemberian tertentu?

Jawab :

 Pemberian secara oral adalah obat – obatan yang tidak rusak oleh asam lambung

atau empedu.

 Pemberian secara subcutan jika diinginkan efeknya bertahan lama.

20
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan :

Adapun cara pemberian obat terhadap hewan uji dapat dilakukan dengan 4 cara,
yaitu:
a. Cara oral yaitu memasukkan obat melalui mulut hingga mencapai esophagus.
b. Cara intramuscular yaitu menyuntikkan obat pada bagian posterior paha.
c. Cara intraperitoneal yaitu menyuntikkan obat pada bagian abdomen.
d. Cara subkutan yaitu menyuntikkan obat pada bagian bawah kulit pada daerah
tengkuk.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada University Press,
D.I Yogayakarta.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press,
Jakarta
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi, Jilid 3, Airlangga University Press, Surabaya.
Katzung, Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995, Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan
Terapi”, Edisi IV, Editor: Sulistia G.G, Gaya Baru, Jakarta.
Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal, Airlangga Press, Surabaya.

22
PENGARUH VARIASI BIOLOGIK
TERHADAP EFEK OBAT

23
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum

Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat

1.2.Latarbelakang

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan
medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per
oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan
bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik
menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk
bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek
farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama


disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik;
kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa
obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang
menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi
patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2007)

Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal
baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus-tikus
jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-
tikus betina muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon
androgenik. Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex
dependent ini terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen,
dan salisilat. wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan
memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang
sama. (Mary K. and Jim K., 2005)

24
1.3.Tujuan Praktikum

 Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan.

1.4. Prinsip Percobaan

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya yaitu variasi
biologi. Variasi biologi dapat diuji dengan perbandingan tikus dengan berat badan yang
berbeda, perbandingan tikus dengan perbedaan kondisi tubuh, dan dari perbedaan jenis
kelamin jantan dan betina.

25
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan
medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per
oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan
bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik
menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk
bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek
farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor
tersebut.(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama


disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik;
kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa
obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang
menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi
patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2007)

Toleransi

Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.


Berdasarkan mekanisme nya ada dua jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan
toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkat
metabolismenya sendisri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan rifampisin.
Toleransi farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi karena proses adaptasi sel atau
reseptor terhadap obat yang terus-menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah
obat yang mencapai reseptor tidak berkurang, tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang
maka responnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI, 2007)

26
Bioavailabilitas

Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang
cukup besar dapat menimbulkan respon terapi yang berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat
dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life-
saving drugs), perbedaan bioavailabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan
inekivalensi terapi. Contoh obat yang sering kali menimbulkan masalah dalam
bioavailabilitasnya adalah: digoksin, fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin
B, dan nitrofurantoin.(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Efek Plasebo

Dalam setiap pengobatan, respon yang diperlihatkan pasien merupakan resultante dari
efek farmakologik obat yang diberikan dan efek plasebo (efek yang bukan disebabkan oleh
obat) yang selalu terikut selama pengobatan. Efek plasebo ini dapat berbeda secara individual
dan dapat berubah dari waktu ke waktu pada individu yang sama. Efek ini dapat memperbaiki
respon pasien terhadap pengobatan, tetapi dapat juga merugikan, tegantung dari kualitas
hubungan dokter-pasien. Manifestasinya, dapat berupa perubahan emosi, perasaan subyektif,
dan gejala obyektif yang berada di bawah kontrol saraf otonom ataupun somatik.

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Pengaruh Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap obat


antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan,
pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok
menginduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya teofilin) sehingga
mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respon
pasien.

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

GOLONGAN BARBITURAT

Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan
sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan ada-lah barbiturat kerja disana. (long-
acting barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat anti-epilepsi, fenobarbital, mefobarbital, dan
metarbital; serta primi-don yang mirip dengan barbiturat ( Sulistia.G,1980).

27
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus (4). Banyak barbiturat
menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase
berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neuro-transmiter (ump. ACh), dan
untuk repolarisasi mcmbran sel neuron setelah depolarisasi ( Sulistia.G,1980).

FENOBARBITAL

Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) me-rupakan senyawa organik pertama


yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, mem-batasi penjalaran aktivitas
serangan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital merupakan obat antikonvulsi
dengan potensi terkuat, tersering digunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif ren-dah (2).
Efek sedatif, dalam hal ini dianggap efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-
tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa menghi-langkan khasiat antikonvulsinya.
Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya timbul ruam skarlatiniform pada kulit
(2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan
(2). Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena efek
toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan fenitoin, penggunaan
fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut.

( Sulistia.G,1980).

Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan
kortikal lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya
terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok
untuk terapi awal serangan absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi
mengingat kemungkinan komplikasi serangan tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-
nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams
berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama
hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap
kelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak). ( Sulistia.G,1980).

Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk
mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10
sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata.
Penghentian pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan
meningkatnya frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus (
Sulistia.G,1980).

28
MEFOBARBITAL

Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih lemah


daripada feno- barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap
efektif terhadap grand mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama dengan fenobarbital karena
terjadi N-demetilasi di hati. Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi
fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit
mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis
terbagi ( Sulistia.G,1980).

METARBITAL

Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-
dietilbar-biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama.
Metarbital tidak memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam
kombinasi ataupun sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter
terhadap pengobatan lazim; juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap
spasme mioklonik pada anak kecil (infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada
kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada otak, metarbital juga sangat berguna. (
Sulistia.G,1980).

Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit.
Dosis awal dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat
dinaik-kan menjadi 800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan
terbagi. ( Sulistia.G,1980).

Faktor-Faktor Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan juga berperan terhadap variasi individual dalam


metabolisme obat. Perokok sigaret memetabolisasi beberapa jenis obat secara lebih cepat
dibandingkan dengan bukan perokok sebab adanya induksi enzim. Pekerja-pekerja industri
yang terpapar beberapa pestisida memetabolisasi obat-obat tertentu lebih cepat dibandingkan
dengan orang yang tidak terpapar. Perbedaan-perbedaan demikian itu menyebabkan kesulitan
untuk menentukan dosis yang efektif dan aman untuk obat-obat mempunyai indeks terapi
sempit. (Mary K. and Jim K., 2005)

29
Umur dan Jenis Kelamin

Kepekaan yang meningkat terhadap aktivitas farmakologik dan toksisitas obat-obat


telah dilaporkan pada penderita yang sangat muda dan yang tua sekali dibandingkan dengan
penderita yang dewasa muda. Walaupun ini mencerminkan adanya perbedaan dalam absorpsi
obat, distribusi dan eliminasi obat, perbedaan-perbedaan dalam metabolisme obat tidak bisa
disingkirkan, suatau kemungkinan yang didukung oleh studi-studi pada mamalia yang
menunjukkan bahwa obat-obat metabolisme dengan lebih lambat bisa disebabkan oleh
kurangnya metabolik atau kurangnya persediaan kofaktor endogen yang diperlukan.
Kecenderungan yang serupa telah dilihat pada manusia, tetapi bukti-bukti yang pasti masih
harus didapatkan. (Mary K. and Jim K., 2005)

Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal
baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus-tikus
jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-
tikus betina muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon
androgenik. Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex
dependent ini terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen,
dan salisilat.(Mary K. and Jim K., 2005)

Jenis kelamin dan persentase lemak tubuh pada wanita cenderung memiliki persentase
dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah
dari pada pria pada berat badan yang sama. Konsekuensinya, wanita cenderung merasakan
efek obat yang lebih hebat dibandingkan pria karena obat akan terlarut dalam jumlah volume
cairan tubuh yang relatif lebih kecil. Wanita juga memiliki kandungan lemak yang lebih
banyak daripada pria. Obat – obat yang larut dalam lemak akan secara lebih luas terdistribusi
dan dapat menghasilkan durasi kerja yang lebih lama. Konsep yang sama ini juga dapat
diaplikasikan pada perbedaan komposisi lemak tubuh anatara anggota yang memiliki jenis
kelamin yang sama. (Henry H. and Barbara N., 1999)
Variasi Genetis
Individu – individu cenderung mewarisi protein dan pola enzim yang sama dari orang
tuanya. Ada variasi genetik yang signifikan pada enzim yang memetabolisme obat, sehingga
perbedaan pada individu dapat terlihat. Jika perbedaan tersebut mempengaruhi laju
metabolisme obat, maka akan menghasilkan efek yang berbeda juga. Jika sebuah enzim
menghilang, dimana dalam kasus metabolisme obat yang sangat rendah. Laju metabolisme
yang rendah akan menghasilkan meningkatnya dan diperpanjangnya efek dari obat sehingga
dapat mengakibatkan konsekuensi yang serius. (Henry H. and Barbara N., 1999)

30
PENGOBATAN KEADAAN KECEMASAN

Respons psikologis, perilaku, dan fisiologis yang menandai kecemasan mempunyai


berbagai bentuk. Secara tipikal, kesadaran psikis dari kecemasan disertai dengan
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan motor, dan hiperaktivitas otonomik. Sebelum
memberikan resep sedatif-hipnotika, seseorang harus menganalisis gejala pasien secara hati-
hati. Kecemasan adalah merupakan efek sekunder dari keadaan sakit organik infarktus
miokardium akut, angina pektoris, ulkus saluran cerna, dan sebagainya yang masing-masing
memerlukan terapi spesifik. Golongan lain dari keadaan kecemasan sekunder (kecemasan
situasional) berasal dari kejadian yang hanya sekali atau sedikit sekali dialami, termasuk
antisipasi terhadap ketakutan terhadap prosedur medis atau pemeriksaan gigi, penyakit
keluarga, atau tragedi lainnya. Meskipun kecemasan situasional cenderung berakhir dengan
sendirinya, penggunaan sedatif-hipnotika jangka pendek mungkin sesuai untuk menangani
masalah ini dan juga untuk menangani keadaan cemas yang diakibatkan oleh penyakit
tertentu. Penggunaan suatu sedatif-hipnotika sebagai pramedikasi menjelang pembedahan
atau beberapa prosedur medis yang tidak menyenangkan adalah masuk akal dan dibenarkan.
Jika pasien menganggap kecemasan kronis sebagai keluhan utama, mungkin lebih tepat untuk
meninjau kembali kriteria diagnostik yang disusun di dalam Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSMIV) untuk menentukan apakah diagnosisnya sudah benar
dan bila pengobatannya meliputi terapi obat. Misalnya, kecemasan yang berlebihan atau tidak
beralasan atas kejadian-kejadian di dalam kehidupan (generalized anxiety disorder),
gangguan panik (panic disorder) dan agorafobia biasa ditangani dengan obat-obat, biasanya
dalam hubungannya dengan psikoterapi. Dalam beberapa kasus, kecemasan merupakan suatu
gejala dari masalah psikiatrik lainnya, yang mungkin membenarkan untuk digunakannya
penggunaan bahan farmakologis misalnya, senyawa antidepresan atau antipsikosis (
Katzung.B, 2002).

Benzodiazepine tetap merupakan obat yang paling umum digunakan untuk


penanganan keadaan-keadaan kecemasan, termasuk gangguan kecemasan umum. Karena
gejala-gejala kecemasan dapat disembuhkan dengan banyak jenis benzodiazepine, maka
tidaklah selalu mudah untuk memperlihatkan keunggulan satu obat atas obat lainnya. Namun
demikian, alprazolam terutama efektif pada penanganan penderita gangguan panik dan
agorafobia, dan dalam hal ini lebih selektif dibandingkan terhadap benzodiazepine lainnya.
Alprazolam juga dilaporkan memiliki khasiat yang mirip dengan antidepresan trisiklik dalam

31
penanganan sebagian besar gangguan depresi utama. Pemilihan benzodiazepine untuk
mengatasi kecemasan didasarkan pada beberapa prinsip farmakologi:

(1) indeks terapi yang relatif tinggi ditambah dengan ketersediaan flumazenil yang dapat
digunakan untuk pengobatan overdosis benzodiazepine',

(2) rendahnya risiko interaksi obat berdasarkan induksi enzim hati;

(3) kecepatan eliminasi yang lambat, menyebabkan efek sistem saraf pusat bertahan lama;
dan

(4) rendahnya risiko kebergantungan fisiologis, dengan gejala putus obat yang kecil (
Katzung.B, 2002) .

Kerugian dari benzodiazepine meliputi kecenderungan terjadinya kebergantungan


psikologis, pembentukan metabolit-metabolit aktif, adanya efek amnesik dan harganya yang
mahal. Selain itu, benzodiazepine mempunyai efek depresi sistem saraf pusat yang bersifat
aditif bila diberikan bersama dengan obat lain, misalnya ethanol. Pasien harus diingatkan
akan adanya kemungkinan tersebut untuk menghindari gangguan terhadap kerja yang
membutuhkan kewaspadaan mental dan koordinasi motorik. Banyak kelemahan
Benzodiazepine yang tidak dimiliki oleh buspirone yang tampaknya merupakan suatu anti
cemas yang paling selektif dari obat-obat yang tersedia sekarang ini. Namun demikian,
keterbatasan dari buspirone yang meliputi mula kerja efek anti cemas yang luar biasa lambat
yang membatasi penggunaannya untuk mengatasi kecemasan umum dan efikasinya yang
terbatas pada keadaan kecemasan yang ditandai adanya serangan panik dan karakteristik
fobia ( Katzung.B, 2002).

Berdasarkan perbedaan sifatsifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan


dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter
morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan,
bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya, yang membedakan suku-suku tertentu
dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis
tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap
perbedaan fenotipe dari masing-masing etnik tersebut. Farmakogenomik dapat memberikan
metode yang akurat dalam menentukan dosis obat yang tepat berdasarkan sifat genetic dari
seseorang.(Maksum Radji, 2005)

32
Efek dari obat secara terpisah tergantung pada hal - hal berikut ini :

o Jumlah obat yang diberikan


o Luas dan laju absorpsi
o Luas dan laju distribusi
o Pengikatan dan letaknya pada jaringan
o Metabolism (bio-transformasi)
o Ekskresi
Absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi dari suatu obat meliputi perjalanannya
melewati membrane sel.

Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan
pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang
diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat
diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.

Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena
ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut
(sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.

Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping, enteron
berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui
vena (perset / perinfus)

33
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

- 3 ekor tikus jantan


- Alat suntik
- Fenobarbital
- Larutan NaCl fisiologis 0,9%
- Timbangan hewan
- Wadah tempat pengamatan
- Kapas
- Alcohol

3.2 Prosedur Kerja


- Siapkan hewan coba 3 ekor tikus jantan.
- Timbang masing-masing hewan coba
- Hitung dosis dan volume pemberian untuk masing-masing hewan sesuai
dengan berat badan
- Lakukan pemberian larutan fenobarbital pada 2 ekor hewan coba secara IP
(intraperitonial)
- Sebagai pembanding berikan larutan NaCl fisiologis 0,9% secara IP pada 1
ekor hewan coba dengan dosis yang sama seperti fenobarbital
- Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati efek selama 45 menit
dimulai setelah pemberian obat. Efek yang diharapkan adalah hewan tertidur,
tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.
- Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :
a. Mati = sangat peka
b. Tidur, bila diberikan rangsangan nyeri tidak tegak = peka
c. Tidur, bila diberi rangsangan nyeri tegak = sesuai dengan efek yang
diduga
d. Tidak tidur, tetapi mengalami ataksia = resisten
e. Tidak mengalami perubahan = sangat resisten

34
3.3 Perhitungan dosis
 Tikus I
- Berat badan : 121g
- Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg
- Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018
- Dosis fenobarbital pada tikus
121𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,089𝑚𝑔
200𝑔

- Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50mg/ml


- Volume fenobarbital yang diambil
1,089𝑚𝑔 0,021𝑚𝑙
𝑥 1𝑚𝑙 = = 0,21𝑚𝑙 ~ 0,2𝑚𝑙
50𝑚𝑔 10
 Tikus II
- Berat badan : 146g
- Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg
- Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018
- Dosis fenobarbital pada tikus
146𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,314𝑚𝑔
200𝑔

- Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50mg/ml


- Volume fenobarbital yang diambil
1,314𝑚𝑔 0,026𝑚𝑙
𝑥 1𝑚𝑙 = = 0,26𝑚𝑙 ~ 0,3𝑚𝑙
50𝑚𝑔 10

 Tikus III
- Berat badan : 118g
- Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018
- Dosis NaCl pada tikus
118𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,062𝑚𝑔
200𝑔

- Volume NaCl yang diambil


1,062𝑚𝑔 0,021𝑚𝑙
𝑥 1𝑚𝑙 = = 0,21𝑚𝑙 ~ 0,2𝑚𝑙
50𝑚𝑔 10

35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Hewan Dosis Cara


No Pengamatan
Percobaan Pemberian Pemberian

Pada menit ke-45 tikus


1,089mg tidak tidur tetapi
1 Tikus I IP
Fenobarbital mengalami ataksia =
Resisten
Pada menit ke-45 tikus
1,314mg tidak tidur tetapi
2 Tikus II IP
Fenobarbital mengalami ataksia =
Resisten
Sebelum disuntikkan tikus
berontak karena stress.

1,062mg
3 Tikus III IP
NaCl 0,9% Pada menit ke-45 tikus
tidak menunjukkan efek
apapun

4.2 Pembahasan
Dari hasil percobaan diperoleh data bahwa tikus I dan tikus II yang diberikan larutan
fenobarbital tidak memberikan efek obat yang diharapkan pada menit yang ditetapkan,
melainkan hanya memberikan efek resisten seperti tidak tidur tetapi mengalami ataksia. Pada
menit ke 45 pada tikus I (berat badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada
tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami ataksia sedang. Hal ini dapat dilihat pada saat
tikus I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding
tikus II. Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I
tidak menutup kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun
dalam waktu lebih dari 45 menit.
Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan efek biologi tiap hewan
berdasarkan berat badan.Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh

36
dapat disebabkan karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat
diberikan, atau lokasi tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang
kurang sesuai.
Sedangkan pada tikus III (berat badan 118 g) yang diberikan larutan fisiologis NaCl
tidak memberikan efek. Hal ini sesuai karena pada percobaan ini tikus III hanya dijadikan
tikus kontrol. Sifat NaCl yang isotonis tidak memberikan efek terapi obat sehingga tikus III
yang diberikan larutan NaCl hanya sebagai baku pembanding saja.

Pertanyaan :

1. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen yang diamati, apakah ada faktor-faktor yang


menunjukkan adanya indikator-indikator lain untuk menyatakan bahwa ada variasi
biologic ini, jelaskan!
Jawab : Ada, yaitu adanya faktor internal pada pemberian obat, yang memberikan
efek-efek seperti sedasi dan resisten terhadap obat yang diberikan.

2. Bagaimanakah dalam praktek pengobatan variasi biologik itu turut diperhatikan?


Jawab : karena agar mengetahui adanya faktor-faktor yang mempengaruhi efek obat.

37
BAB V

PENUTUP

5.1.Kesimpulan

 Dari hasil percobaan diperoleh data bahwa tikus I dan tikus II yang diberikan
larutan fenobarbital tidak memberikan efek obat yang diharapkan pada menit
yang ditetapkan, melainkan hanya memberikan efek resisten seperti tidak
tidur tetapi mengalami ataksia.
 Sifat NaCl yang isotonis tidak memberikan efek terapi obat sehingga tikus III
yang diberikan larutan NaCl hanya sebagai baku pembanding saja.

38
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi
5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw Hill ;
USA. Pages 231 – 232.

Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba
Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.

Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ; New Jersey.
Pages 42-44

Maksum Radji. (2005). ”Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat Baru”

39
VARIASI KELAMIN

40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Judul
Variasi kelamin

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang
diberikan kepada hewan percobaan
2. Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin berbeda
antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan
memakai hewan coba

41
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.3 Teori.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metaboloit
ditentukan oleh kadar dan aktivutas enzim yang berperan pada proses metabolisme.
Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan memeperpanjang kerja obat.
Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu.
Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang
masa kerja obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan
metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat
sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme. obat antara lain faktor
genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan
faktor-faktor lain.
Perbedaan Jenis Kelamin (yang dipraktikkan)
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama
baik pada mencit betina maupun meencit jantan. mencit betina dewasa ternyata
memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding mencit
jantan.

42
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan bahan


 Alat
1. Timbangan hewan
2. Alat suntik
3. Wadah tempat pengamatan
 Bahan
1. Mencit jantan dan betina
2. Larutan NaCl
3. Fenobarbital
4. Alkohol

3.2 Cara kerja


1. Siapkan mencit betina dan jantan masing – masing 3 ekor.
2. Timbang masing – masing mencit, catat hasilnya
3. Hitung dosis masing – masing mencit sesuai berat badan masing – masing.
4. Suntikan fenobarbital secara IP, sesuai dosis masing – masing yang telah
dihitung.
5. Catat waktu mulai efek perubahan aktifitas yang terjadi pada mencit, sedatif,
hipnotik, anastesi, hingga bangun kembali efek selesai.

43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Biologis
Hewan coba Berat badan (gram)
Mencit betina 1 28
Mencit betina 2 23
Mencit betina 3 28
Mencit jantan 1 40
Mencit jantan 2 44
Mencit jantan 3 41

4.2 Perhitungan Dosis


- Dosis Fenobarbital pada manusia 100 mg
- Factor konversi manusia (70kg)  mencit (200 gram) = 0,0026
- Sediaan obat dilakukan pengenceran 10x, dari kadar fenobarbital 50mg/ml
diambil 2ml + NaCl 20 ml sehingga menjadi = 5mg/ml
- Pada mencit betina sediaan obat dilakukan pengenceran 10x lagi dari kadar
5mg/ml menjadi 0,5 mg/ml

1. Mencit betina 1
28𝑔 0.364
x 0.0026 x 100mg = 0,364 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.7 ml
20𝑔 0.5

2. Mencit betina 2
23𝑔 0.299
x 0.0026 x 100mg = 0,299 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.5 ml
20𝑔 0.5

3. Mencit betina 3
28𝑔 0.364
x 0.0026 x 100mg = 0,364 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.7 ml
20𝑔 0.5

4. Mencit jantan 1
40𝑔 0.52
x 0.0026 x 100mg = 0,52 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml
20𝑔 5

5. Mencit jantan 2
44𝑔 0.572
x 0.0026 x 100mg = 0,572 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml
20𝑔 5

6. Mencit jantan 3
41𝑔 0.533
x 0.0026 x 100mg = 0,533 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1
20𝑔 5
44
4.3 Hasil pengamatan
1. Mencit betina 1
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 02:57 13:23 11 menit 34 detik
Sedatif 13:23 18:43 5 menit 20 detik
Hipnotik 18:43 20:15 1 menit 32 detik
Anatesi -

2. Mencit betina 2
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 03:45 10:13 6 menit 28 detik
Sedatif 10:13 15:05 4 menit 52 detik
Hipnotik 15:05 20:04 4 menit 59 detik
Anatesi - -

3. Mencit betina 3
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 04:02 05:26 1 menit 24 detik
Sedatif 05:26 13:27 8 menit 1 detik
Hipnotik 13:27 20:00 6 menit 33 detik
Anatesi - -

4. Mencit jantan 1
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 03:15 06:08 2 menit 53 detik
Sedatif 06:08 11:08 5 menit
Hipnotik 11:08 16:11 5 menit 3 detik
Anatesi - -

45
5. Mencit jantan 2
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 07:40 10:11 2 menit 31 detik
Sedatif 10:11 22:30 12 menit 19 detik
Hipnotik 22:30 23.30 1 menit
Anatesi - -

6. Mencit jantan 3
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 04:00 07:48 3 menit 48 detik
Sedatif 07:48 13:23 5 menit 35 detik
Hipnotik 13:23 14:40 1 menit 17 detik
Anatesi 14:40 22:37 7 menit 57 detik

4.4 Pembahasan
Pemberian obat secara Intra Peritonial yaitu pemberian cairan obat disuntikkan
di rongga perut dibawah diagfragma. Mencit dipegang dengan cara membalikkan
badannya. Bersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%. Masukkan
obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml.
Pada mencit betina 1, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada
menit ke 2 : 57 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative,
membutuhkan waktu yang lama yaitu pada menit ke 13 : 23 mencit mulai tenang.
Pada menit ke 18 : 43 mencit mengalami keadaan hipnotik yang membuat mencit
tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.
Pada awalnya betina, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada
menit ke 9:56 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative
dalam waktu yang lama yaitu pada menit ke 17:17 mencit mulai tenang. Setelah itu
mencit sadar dan dalam keadaan normal kembali sampai 17 : 20 dan kemudian,
mencit pun masuk kedalam fase hipnotik hingga menit ke 37 : 25 yang membuat
mencit tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.
Pada mencit betina ke 2 dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu
diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 03.45,
kemudian mencit mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 10:13, setelah diamati
kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 15:05, hingga pada
menit ke 20:04 mencit kembali normal, tanpa mengalami anastesi.

46
Pada mencit betina ke 3 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik),
lalu diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke
04:02, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ
pada menit ke 05:26, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik
pada menit ke 13:27, hingga pada menit ke 20:00 mencit kembali bergerak normal,
tanpa mengalami anastesi.
Mencit jantan 1 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu
diamati setelah disuntik, telihat mencit ,mulai mengalami perubahan aktivitas pada
menit ke 03:15, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek
sedativ pada menit ke 06:08, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase
hipnotik pada menit ke 11:08, hingga pada menit ke 16:11 mencit kembali bergerak
normal, tanpa mengalami anastesi.

Pada mencit jantan III, aktifitas awal normal,setelah disuntikkan pada menit ke
4 : 00 terjadi perubahan aktifitas dimana mencit mulai memojok. Pada menit ke 7 : 48
mencit mulai mengalami sedative yang menenangkan mencit. Mencit mengalami
sedative cukup lama, kemudian pada menit ke 13 : 23 mencit mengalami hipnotik
yang meningkatkan keinginan untuk tidur. Pada menit ke 14 : 40 mencit mengalami
anastesi sampai ke 22 : 37, setelah itu mencit terbangun dan melakukan aktifitas
seperti biasa.
Adanya perbedaan lama durasi pada hewan uji, kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan berat badan hewan, yang mempengaruhi dosis. Adanya kesalahan pada saat
penyuntikan juga dapat mempengaruhi lama kerja obat atau durasi. Kesulitan pada
saat penyuntikan karna hewan coba yamg selalu bergerak atau stess juga
menyebabkan kesalahan pada penyuntika tidak tepat.

47
Pertanyaan
1. Jika dalam percobaan ini digunakan Tiopental Na atau pentotal pada hari ke
delapan apakah akan di peroleh waktu induksi dan lama kerja yang berbeda ?
kalau memang akan ada perbedaan , jelaskan !
Jawab :

Pastinya akan diperoleh waktu induksi dan lama kerja yang berbeda.hal tersebut dapat
dilihat dari sifat obat masing-masing.

Tiopental Na atau pentotal larut dalam air,merupakan kelompok barbital ultra-


shortacting,efeknya baik tetapi sangat singkat (t ½ = 5 menit).Mula kerjanya cepat
(tanpa taraf eksitasi) tetapi efek analgetis dan relaksasi otot tidak cukup
kuat.sedangkan fenobarbital yang digunakan pada percobaan kali ini sangat sukar
larut dalam air.

Maka dapat disimpulkan Tiopental Na akan lebih cepat menimbulkan efek jika
diberikan pada hewan coba jantan karena komponen jaringan lemak pada hewan
jantan lebih sedikit sedangkan pada hewan coba betina efeknya akan lebih
lama.Sedangkan fenobarbital akan lebih cepat menimbulkan efek jika diberikan pada
hewan coba betina karena komponen lemaknya dalam betina lebih besar
dibandingkan jantan.

2. Bahas implikasi klinik dari perbedaan kelamin !

Jawab :

Implikasi klinik dari perbedaan kelamin : bahwa pada jenis kelamin betina komponen
jaringan lemak lebih besar dibandingkan jantan oleh karenanya obat yang larut lemak
akan lebih cepat menimbulkan efek pada betina dibandingkan jantan.Pada variasi-
variasi metabolism obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal baik,pada
jantan muda dewasa menunjukan metabolism obat yang jauh lebih cepat daripada
betina muda dewasa atau jantan pubertas.Perbedaan ini disebabkan oleh hormone
androgenik.

48
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
 Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, di mana jantan
lebih cepat memberikan respon dari pada betina karena pengaruh hormon
androgen.
 Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi lama kerja
obat atau durasi.
 Kesulitan pada saat penyuntikan karna hewan coba yamg selalu bergerak atau
stess juga menyebabkan kesalahan pada penyuntika tidak tepat.

49
DAFTAR PUSTAKA

- Tim Dosen Praktikum Farmakologi,Penuntun Praktikum Farmakologi,Fakultas


Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi
Nasional,2013.
- Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-
122
- Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope Indonesia,ed.IV,1995
- Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gaya Baru

50
DOSIS OBAT DAN RESPON

51
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Judul pratikum
Dosis obat dan Respon

1.2.Latar belakang
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat
proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan
untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu
kondisi tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama
pembedahan.
Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau
paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia.Mayoritas obat bekerja secara spesifik
terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh.
Hewan yang digunakan diantaranya adalah mencit, tikus, kelinci, marmot. karakteristik
utama mencit : hewan mencit di laboraturium mudah ditangani ia bersifat penakut, fotofobia,
cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih
aktif dimalam hari dari pada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat aktivitas
mencit. Suhu normal 37,4oC. Laju respirasi normal 163 kali tiap menit.
Karakteristik utama tikus : tikus relatif resisten terhadap infeksi dan cerdas. Tikus putih pada
umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat fotofobik dibandingkan
dengan mencit,dan kecenderungan untuk berkumpul sesamanya, ukuran tidak begitu besar.
Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan adanya manusia disekitanya. Suhu tubuh normal
: 37,5-38,00C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar (atau apabila ia
mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering menyerang si
pemegang.Karakteristik utama kelinci : kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan
nyeri luar biasa ia bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa
keamanannya terganggu. Suhu rektal kelinci sehat adalah antara 38,5-400C, pada umunyan
39,50C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan

52
lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 permenit, pada umumnya 50
(pada kelinci muda, laju ini dipercepat, dan pada kelinci bayi bisa mencapai 100 permenit).

Karakteristik utama marmot : marmot agak jinak tidak menimbulkan kesukaran pada waktu
dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas: kulitnya halus dan
berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat tapi tidak
kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada caran keluar dari hidung ataupun telinga, juga tidak
meneteskan air luar atau diare. Pernafasannya teratur dan tidak bersembunyi. Sikapnya dan
cata berjalannya normal. Dalam satu species, variasi bobot badan dan ukuran badan antara
sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies, variasi bobot badan dan ukuran badan
antara tiap marmot yang berumur sama, tidak besar. Laju denyut jantung marmot normal
adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-115 per menit, dan suhu rektal antara 39-400C.

1.3.Prinsip Percobaan

. Dosis respon obat

Jika dosis meningkat maka intensitas efek obat pada makhluk hidup juga meningkat.Jika
dosis berlebih maka akan menyebabkan over dosis bahkan kematian karena rentang indeks
terapinya terlalu rendah sehingga menimbulkan efek toksik.Jika dosis kurang maka tidak
akan menimbulkan efek teurapeutik.

1.3.Rumusan masalah
1. Bagaimana efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam
berbagai dosis yang berbeda?
2. Bagaimana perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia?
3. Bagaimana hubungan dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan?

1.4.Tujuan praktikum
1. Untuk mengetahui efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit
dalam berbagai dosis yang berbeda.
2. Untuk mengetahui perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia.
3. Untuk mengetahui dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan.

53
BAB II
Tinjauan pustaka
5.1 Teori
Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase
farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan
untuk sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. Proses tersebut dinyatakan
sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat
dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.
Dosis lazim suatu obat dapat ditentukan sebagai jumlah yang dapat diharapkan
menimbulkan efek pada pengobatan orang dewasa yang sesuai dengan gejalanya. Dosis
tunggal diberikan untuk beberapa macam obat dan dosis harian untuk yang lainnya,
tergantung pada bahan obat, bentuk sediaan dan keadaan yang diberi obat. Jika suatu obat
dipakai dalam jangka waktu yang lama seperti aspirin untuk artritis, maka dosis obat harian
lebih tepat. Dosis bahan obat dapat berbeda-beda, tergantung pada cara pemakaiannya. Hal
ini sebagian besar karena perbedaan tingkat penyerapan obat dan kelanjutan kerja obat
melalui berbagai cara setelah pemakaiannya. Selama aktivitas biologik, produk-produk yang
berlainan seperti penisilin, poliomielitis vaksin, dan insulin berbeda-beda, maka setiap unit
dari aktivitasnya, tersendiri bagi setiap obat dan tidak ada hubungan antara satu obat dan
yang lainnya.

54
BAB III
METEDOLOGI PRATIKUM

Alat dan Bahan:

 Spuit (1 ml & 3 ml)


 Phenobarbital
 Alkohol
 Mencit jantan
 Timbangan hewan
 Kapas
 NaCl
 Stopwatch

Cara Kerja

1. Siapkan hewan coba berupa mencit jantan sebanyak 5 ekor.


2. Siapkan alat & bahan.
3. Timbang berat badan masing-masing mencit dan beri penandaan tiap ekor mencit.
4. Hitung dosis phenobarbital dan volume pemberian untuk masing-masing mencit
sesuai dengan berat badan mencit.
5. Lakukan pengenceran phenobarbital 2 ml + NaCl ad 20 ml.
6. Suntikan larutan phenobarbital secara Intravena pada masing-masing mencit.
7. Catat waktu pemberian dan mulai terjadinya efek obat.
8. Tempatkan hewan pada wadah pengamatan. Amati efek selama 30 menit. Efek yang
diharapkan adalah hewan dapat tertidur, tetapi masih memberikan respon bila
dirangsang.
9. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :
a. Perubahan aktivitas
b. Sedatif : tidak tidur tetapi mengalami ataksia (resisten)
c. Hipnotik : tertidur, tetapi bila diberi rangsangan nyeri tegak (sesuai dengan efek
yang diharapkan)
d. Anestesi : tertidur, dan bila diberi rangsangan tidak tegak (peka)
e. Mati : sangat peka

55
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil dan Pengamatan


 Mencit ke 1
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1 Perubahan Aktivitas 04:33 09:56 05:23
2 Sedatif 09:56 36:57 27:01
3 Hipnotik 36:57 - -
4 Anastesi - - -
5 Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 2
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1 Perubahan Aktivitas 08:02 25:33 17:31
2. Sedatif 25:33 55:00 30:07
3. Hipnotik 55:00 - -
4. Anastesi - - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 3
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1. Perubahan Aktivitas 03:57 08:14 04:57
2. Sedatif 08:14 10:49 02:35
3. Hipnotik 10:49 38:26 28:17
4. Anastesi 38:26 - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

56
 Mencit ke 4
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1. Perubahan Aktivitas 08:26 12:46 04:20
2. Sedatif 12:46 29:22 17:16
3. Hipnotik 29:22 30:28 01:05
4. Anastesi 30:28 - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 5
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1. Perubahan Aktivitas 01:40 05:46 04:06
2. Sedatif 05:46 24:07 19:01
3. Hipnotik 24:07 32:40 08:33
4. Anastesi 32:40 - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

Perhitungan

Dik : Dosis phenobarbital pada manusia = 100mg

BB mencit-1 = 41g
BB mencit-2 = 39g
BB mencit-3 = 35g
BB mencit-4 = 41g
BB mencit-5 = 39g
Dit : Dosis masing – masing mencit ? volume yang diberikan?

Jawab :

Faktor konversi manusia (70kg) → Mencit (20g) = 0,0026


a. BB mencit-1 = 41g
41g
Dosis phenobarbital mencit-1 = 20g x 0,0026 x 100 mg

= 0,533 mg

 Tiap ml sediaan mengandung phenobarbital 50 mg


Kadar phenobarbital dalam sediaan = 50 mg /ml
57
0,533 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
50 mg

= 0,01 ml

 Kadar phenobarbital dalam sediaan harus diencerkan 10x


1 ml sediaan + NaCl ad 10 ml atau
2 ml sediaan + NaCl ad 20 ml
Sehingga, kadar phenobarbital menjadi 5 mg/ml

0,533 mg
Jadi, volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,1 ml

b. Mencit-2 = 39 g
39 g
Dosis phenobarbital mencit-2 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)
20 g

= 1,014 mg

1,014 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,2 ml
c. Mencit-3 = 35 g
35 g
Dosis phenobarbital mencit-3 = x 0,0026 x (4 x 100 mg)
20 g

= 1,82 mg

1,82 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,36 ml
d. Mencit-4 = 41 g
41 g
Dosis phenobarbital mencit-4 = x 0,0026 x (8 x 100 mg)
20 g

= 4,264 mg

4,264 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,8 ml

58
e. Mencit-5 = 39 g
39 g
Dosis phenobarbital mencit-5 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)
20 g

= 8,112 mg

8,112 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

=1,6 ml

4.2.Pembahasan

Pada percobaan dosis obat & respon dilakukan dengan menggunakan hewan coba
berupa mencit jantan sebanyak 5 ekor. Langkah awal yang dilakukan adalah menimbang
berat badan masing-masing mencit dan memberi penandaan pada masing-masing mencit.
Kemudian hitung dosis dan volume pemberian phenobarbital untuk masing-masing mencit.
Pada mencit ke-1 dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 0,533 mg,
kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,1 ml. Suntikan secara intravena
pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek
yang terjadi. Pada menit ke 04:33 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan
perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada
menit ke 09:56. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 05:23. Pada menit ke
09:56 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun
tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 36:57. Durasi efek sedatif berlangsung
selama 27:01 menit. Pada menit ke 36:57 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya
mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak
dapat diperkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum. Pada mencit-1, efek yang
terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat terjadi karena dosis yang
diberikan sebesar 0,533 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi bahkan letal (mati).

Pada mencit ke-2 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan sebanyak
1,014 mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,2 ml. Suntikan secara
intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati
perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 08:02 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang
ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan
aktivitas pada menit ke 25:33. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 17:31.
Selanjutnya, pada menit ke 25:33 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia
atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 55:00. Durasi efek
sedatif berlangsung selama 30:07 menit. Kemudian, pada menit ke 55:00 terjadi mulai efek
59
hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali
dan selesai efek hipnotik tidak dapat diperkirakan karena keterbatasan waktu dalam
praktikum. Pada mencit-2, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini
dapat terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 1,014 mg sehingga tidak menimbulkan efek
anestesi bahkan letal (mati). Pada mencit-2, mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari
mencit-1. Hal ini disebabkan karena pada mencit-1 terjadi kesalahan penyuntikan saat
praktikum, sehingga tidak semua larutan obat masuk ke pembuluh vena melainkan sebagian
obat masuk ke dalam muskular (otot).

Pada mencit ke-3 dengan berat badan 35 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 1,82
mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,36 ml. Suntikan secara
intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati
perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 03:57 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang
ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan
aktivitas pada menit ke 08:14. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 04:57.
Kemudian, pada menit ke 08:14 berlanjut dengan mulainya efek sedatif yang ditandai dengan
efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 10:49.
Durasi efek sedatif berlangsung selama 02:35 menit. Selanjutnya, pada menit ke 10:49 terjadi
mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak
kembali dan selesai efek hipnotik pada menit ke 38:26. Durasi efek hipnotik berlangsung
selama 28:17 menit. Pada menit ke 38:26 terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan
tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek
anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga
dosis yang diberikan pada mencit ke-5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau
tidak.

Percobaan pada mencit ke-4 dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan
sebanyak 4,264 mg dan volume yang diambil sebanyak 0,8 ml. Kemudian larutan disuntikan
secara Intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntikkan,
amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 08:26 terjadi mulai efek perubahan
aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai
efek perubahan aktivitas pada menit ke 12:46. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung
selama 04:20 menit. Pada menit ke 12:46 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek
ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 29:22.
Durasi efek sedatif berlangsung selama 17:16 menit. Pada menit ke 29:22 terjadi mulai efek
hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali
dan selesai efek hipnotik pada menit ke 30:28. Durasi efek hipnotik berlangsung selama
60
01:05 menit. Pada menit ke 30:28 terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya
mencit, namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi
tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang
diberikan pada mencit ke-4 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak.

Percobaan pada mencit ke-5 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan
sebanyak 8,112 mg dan volume yang diambil sebanyak 1,6 ml. Kemudian larutan disuntikan
secara Intravena pada bagian ekor mencit. Pada proses penyuntikkan pembuluh vena mencit
kemungkinan pecah yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, hal ini disebabkan
karena dosis obat yang diberikan terlalu tinggi. Oleh karena itu sisa obat diberikan melalui
intraperitoneal. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 01:40
terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah
tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 5:46. Durasi efek
perubahan aktifitas berlangsung selama 04:06 menit. Pada menit ke 05:46 berlanjut ke efek
sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek
sedatif pada menit ke 24:07. Durasi efek sedatif berlangsung selama 19:01 menit. Pada menit
ke 24:07 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi
rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik pada menit ke 32:40. Durasi efek
hipnotik berlangsung selama 08:33 menit. Pada menit ke 32:40 terjadi mulai efek anestesi
yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak
kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam
praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-5 tidak diketahui dapat
menyebabkan letal (mati) atau tidak.

Pertanyaan :
1. Bagaimana menghitung indeks terapi suatu obat?
Jawab:
Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :
Indeks terapi = TD50 atau CD50
ED50 ED50

61
2. Berikan diskusi konsep indeks terapi dari segi efektifitas dan keamanan pemakaian
obat
Jawab:
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik
pada seorang pun pasien, oleh karena itu Suatu ukuran obat, obat yang memiliki indeks
terapi tinggi lebih aman dari pada obat yang memiliki indeks terapi lebih rendah TD50
: Dosis yang toksik pada toksik 50% hewan yang menerima dosis tersebut, kematiaan
merupakan toksisitas terakhir.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis
yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan efek.
Respon tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis mungkin akan
meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat
ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperature badan dan
tekanan darah dapat diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas indivdu
yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan efek yang
sama kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada individu yang berbeda. Variasi
individu dalam sensitifitas secara khusus mempunyai efek “semua atau tak satupun”
sama.
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu
sebagai suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi
kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian)
diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan
titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah
memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi memcerminkan
variasi sensitivitas pada individi terhadap suatu obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia dapat ditemukan
karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang berbeda. Untuk
menentukan variasi biologis, pengukauran telah membawa pada suatu sampel yang
representative dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan memungkinkan dosis terapi akan
menjadi sesuai pada kebanyakan pasien.
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas / lebar diantara dosis-dosis yang
toksik.

62
3. Diskusikan implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang terjal dan
yang datar
Jawab:

4. Sebutkan beberapa pendekatan untuk memperbesar ketelitian eksperimen ini,


khususnya untuk DE50 dan DL50
Jawab:
Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium
lethal dose 50)yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang
percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif (dosis terapi) yang umum
digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu dosis yang
memberikan efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. Indeks terapi
adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau menggambarkan keamanan relatif
sebuah obat pada penggunaan biasa. Diperkirakan sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal
pada 50% kosis) terhadap ED50 (Dosis efektif pada 50% kasus). Sedangkan jendela
terapeutik adalah kisaran konsentrasi plasma suatu obat yang akan menghasilkan respon
atau jarak antara MEC dan MTC. Untuk mengetahiu indeks terapi suatu obat dengan
memberikan tingkatan dosis/ dosis yang berbeda pada hewan uji.

63
BAB V

PENUTUP

5.1.Kesimpulan

 Pada mencit-1 dan mencit-2, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek
hipnotik.
 Pada mencit – 3, 4, 5 terjadi efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit,
namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi
tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga dosis
yang diberi tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak.
 Kesalahan penyuntikan dapat mengakibatkan tidak semua larutan obat masuk ke
pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).

64
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: Universitas Indonesia

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi keenam. Jakarta: EGC

65
HIPNOTIK DAN SEDATIV

66
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Judul Praktikum
Hipnotik-Sedativ
1.2.Latar belakang
Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu
jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang
lain. Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol
interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi
sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat,
rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor,
kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh
perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi
emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan
seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat
yang dapat merangsang SSP disebut analeptika.
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif
menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan.
Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa
menimbulkan kantuk yang berat. Obat yang tergolong sedative, yaitu chloralhidrat.
Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga
kadang-kadang kehilangan tonus otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan
mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.

1.3.Tujuan Praktikum
1. Mengelompokan berbagai senyawa barbiturat sesuai dengan ciri-ciri kerja
farmakologi.
2. Merumuskan implikasi praktis dari berbagai jangka waktu kerja antagonisme dan
sinergisme pada senyawa-senyawa barbiturat.
3. Merencanakan eksperimen-eksperimen sederhana untuk implikasi praktis dari
antagonisme dan sinergisme barbiturat.

67
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar


Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan
keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini
diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih
rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif.
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang
ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali
benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada
dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan
menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor kinetik berikut:
- lama kerjanya obat dan berapa lama tinggal di dalam tubuh,
- pengaruhnya pada kegiatan esok hari,
- kecepatan mulai bekerjanya,
- bahaya timbulnya ketergantungan,
- efek "rebound” insomnia,
- pengaruhnya terhadap kualitas tidur,
- interaksi dengan otot-otot lain,
- toksisitas, terutama pada dosis berlebihan.
Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa
menimbulkan kantuk yang berat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan
disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot.
Hipnotika dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu benzodiazepin, contohnya:
flurazepam, lorazepam, temazepam, triazolam; barbiturat, contohnya: fenobarbital, tiopental,
butobarbital; hipnotik sedatif lain, contohnya: kloralhidrat, etklorvinol, glutetimid,
metiprilon, meprobamat; dan alkohol.
Efek samping umum hipnotika mirip dengan efek samping morfin, yaitu:
a. depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan pada flurazepam
dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada kloralhidrat dan paraldehida;
b. tekanan darah menurun, terutama oleh barbiturat;
c. sembelit pada penggunaan lama, terutama barbiturat;

68
d. "hang over”, yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual, perasaan ringan di
kepala dan termangu.
Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang (plasma-t½-nya panjang),
termasuk juga zat-zat benzodiazepin dan barbiturat yang disebut short-acting. Kebanyakan
obat tidur bersifat lipofil, mudah melarut dan berkumulasi di jaringan lemak.
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepin memiliki daya kerja yaitu khasiat anksiolitis,
sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot. Keuntungan obat ini dibandingkan
dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hampir tidak merintangi tidur. Dulu,
obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin
berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta
memperpanjang dan memperdalam tidur.
Efek utama barbiturat adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari
sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai dengan kematian. Efek hipnotiknya
dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur
fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Barbiturat
sedikit menyebabkan sikap masa bodoh terhadap rangsangan luar.
Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat meningkatkan 20%
ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya) tidak
dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya adanya rasa nyeri,
barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan
dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan.

69
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan bahan


 Alat
1. Jarum suntik
2. Timbangan hewan coba
 Bahan
1. Tikus Jantan
2. Fenobarbibatal
3. NaCl

3.2 Cara Kerja


1. Diambil 3 ekor tikus
2. Diamati keadaan biologi dari hewan coba meliputi : bobot badan.
3. Timbang berat badan masing-masing tikus, catat hasil penimbangan.
4. Dihitung dosis fenobarbital yang akan diberikan kepada hewan coba sesuai berat
badan yang diperoleh.
5. Disuntikan fenobarbital sesuai dosis yang dihitung pada 2 hewan coba dan 1 hewan
coba disuntikan NaCl sebagai kontrol secara IV (intra vena)
6. Dicatat waktu perubahan aktifitas yang terjadi pada tikus dari sedatif, hipnotik hingga
bangun kembali.

70
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Biologis Hewan Coba

Hewan Coba/uji Berat badan (gram)


Tikus 1 131
Tikus 2 132
Tikus 3 (kontrol) 109

4.2 Perhitungan Dosis


Dosis Fenobarbital pada manusia 100 mg
Factor konversi manusia (70kg)  tikus (200 gram) = 0,018
a. Dosis fenobarbital pada tikus 1 dengan berat badan 131 gram
131 𝑔
= X 0,018
200 𝑔
= 1,179 mg
Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml
1,179 𝑚𝑔
Volume sdiaan yang di ambil = X 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,02 ml ( tidak bisa diambil )
Sediaan obat dilakukan pengenceran 10x
∴ Sediaan 2 ml + Nacl ad 20 ml
 Kadar 5 mg/ml
1,179 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔
= 0,2 ml

b. Dosis fenobarbital pada tikus 2 dengan berat badan 132 gram


c. Dosis Fenobarbital pada tikus pertama ( BB = 132 g )
131 𝑔
= X 0,018
200 𝑔

= 1,179 mg

Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml


1,188 𝑚𝑔
Volume sdiaan yang di ambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔

= 0,02 ml ( tidak bisa diambil )

71
1,188 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔

= 0,2 ml

d. Dosis NaCl pada tikus kontrol = 0,2 ml

4.3 Hasil Pengamatan


Tikus 1
Efek Mulai efek Selsai efek Durasi
Perubahan aktifitas 06 : 16 20 : 11 13 : 95
Sedatif 20 : 11 31 : 10 10 : 99
Hipnotik 31 : 10 40 : 02 08 : 92

Tikus 2
Efek Mulai efek Selsai efek Durasi
Perubahan aktifitas 10 : 40 18 : 15 07 : 75
Sedatif 18 : 15 30 : 34 12 : 19
Hipnotik 30 : 34 36 : 52 06 : 18

Tikus 3 ( kontrol )

4.4 Pembahasan
Tikus 1 dengan berat badan 131g disuntikkan phenobarbital secara intravena
sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktivitas dengan durasi selama 13:95 menit,
efek sedatif berlangsung selama 10:99 menit, dan efek hipnotik durasinya selama
08:92 menit. Pada tikus 2 dengan berat badan 132g disuntikkan phenobarbital secara
intravena sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktifitas dengan durasi selama 07:75
menit, efek sedatif berlangsung selama 12:19 menit, dan efek hipnotik durasinya
selama 06:18 menit. Pada tikus kontrol, tidak mengalami perubahan aktivitas karen
hanya diberikan larutan NaCl saja. Digunakan larutan ini karena kandungan dan sifat
larutan tersebut merupakan bahan yang juga terkandung dalam tubuh tikus. Oleh
sebab itu tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap tikus yang diuji coba.
Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai
pada masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh
perbedaan berat badan hewan uji. Obat phenobarbital ini merupakan golongan
barbiturat yang mudah larut dalam lemak, dapat ditimbun dijaringan lemat dan otot
sehingga menyebabkan kadar obat dalam plasma dan otak menurun dengan cepat.

72
Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi
obat pada hewan uji. Pada tikus 2 saat proses penyuntikan, obat phenobarbital tersebut
tidak masuk seluruhnya kedalam jaringan tubuh tikus. Hal ini terjadi karena hewan uji
tersebut bergerak-gerak sehingga mengganggu pada saat penyuntikan berlangsung.
Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek
dibandingkan dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih
sedikit sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi
yang dihasilkan lebih panjang. Hal ini disebabkan karena obat yang masuk kedalam
tubuh hewan uji sesuai dengan dosis yang telah dihitung sehingga jumlah obat yang
harus dieliminasi lebih banyak.

Pertanyaan
1. Cobalah rumuskan hubungan antara perbedaan-perbedaan jangka waktu kerja sebagai
barbiturat ini dengan penggunaan praktik di klinik.
Jawab :

Nama internasional Lama kerja Dosis hipnotik


rata-rata (g)

Obat penghantar tidur

 Sekobarbital Singkat sampai sedang 0,1-0,2

Obat penghantar tidur dan


memperpanjang tidur

 Vinilbital Sedang 0,15

 Aprobarbital Sedang 0,1-0,2

 Sekbutabarbital Sedang 0,1-0,2

 Pentobarbital Sedang 0,1-0,2

 Heptabarbital Sedang 0,1-0,2

 Siklobarbital Sedang (lama) 0,1-0,2

 Fenobarbital Lama 0,1-0,3

73
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
 Pada tikus kontrol, tidak mengalami perubahan aktivitas karen hanya diberikan
larutan NaCl saja.
 Digunakan larutan NaCl karena kandungan dan sifat larutan tersebut merupakan
bahan yang juga terkandung dalam tubuh tikus. Oleh sebab itu tidak akan
memberikan pengaruh apapun terhadap tikus yang diuji coba.
 Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek
dibandingkan dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih
sedikit sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi
yang dihasilkan lebih panjang.
 Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada
masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan
berat badan hewan uji.
 Obat phenobarbital ini merupakan golongan barbiturat yang mudah larut dalam
lemak, dapat ditimbun dijaringan lemat dan otot sehingga menyebabkan kadar
obat dalam plasma dan otak menurun dengan cepat.

74
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara Sulistia et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI Press.


Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
Katzung, Bertram G.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika
Purwanto, SL dan Istiantoro, Yati. 1992. DOI(Data Obat DiIndonesia).Jakarta: PT.
Grafindian Jaya.
Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Gaya Baru.

75
EFEK LOKAL OBAT PADA MEMBRAN
DAN KULIT MUKOSA

76
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum

Efek Lokal Obat Pada Membran dan Kulit Mukosa

1.2 Latar Belakang

Efek lokal itu artinya pengaruh obat pada tubuh yang bersifat lokal, misalnya hanya
mempengaruhi daerah kulit yang dioleskan obat. Efek sistemik adalah pengaruh dari obat
yang (biasanya) diberikan melalui sistem fisiologis tubuh, misalnya obat penurun panas yang
diminum per oral (lewat mulut). Efek teratogen adalah efek samping obat yang dapat
menimbulkan kecacatan tubuh. Plasebo merupakan sediaan yang tidak mengandung bahan
aktif obat. Permeasi kurang lebih berarti daya tembus suatu zat.

Efek Farmakologi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah
satunya adalah dengan rute pemberian obat. Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita
kenal secara umum adalah obat dengan pemakaian melalui mulut dengan cara dimasukkan
dengan bantuan air minum (tablet dan lainnya) atau dilarutkan terlebih dahulu (tablev
evervescent, puyer dan lainnya).

Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi
secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan
demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin.
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.

Obat bius lokal / anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal
mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls.
Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-
cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.

77
1.3 Tujuan Praktikum
1. Dapat memperkirakan bentuk manifestasi efek lokal dari berbagai obat terhadap
kulit dan membran mukosa berdasarkan cara-cara kerja masing-masingnya, serta
mengapresiasikan penerapan ini dalam situasi praktis.
2. Menyadari sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membran mukosa
dari berbagai obat yang bekerja secara lokal.
4. Dapat merumuskan persyaratan-persyaratan farmakologi untuk obat-obat yang
secara lokal.

1.4 Prinsip Percobaan


 Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecahkan ikatan
S-S pada keratin kulit, sehingga bulu mudah rusak dan gugur
 Zat-zat korosif bekerja dengan cara oksidasi, mengendapkan protein kulit,
sehingga kulit/membrane mukosa mudah rusak

78
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan (Ansel, 1985). Sedangkan
menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu
bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan
diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.
Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang
juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh. Berdasarkan efek obat yang diberikan obat
kepada tubuh, maka obat dibagi menjadi :
Obat yang berefek sistemik adalah obat yang memberi pengaruh pada tubuh yang
bersifat menyeluruh (sistemik) dan menggunakan sistem saraf sebagai perantara. Obat ini
akan bekerja jika senyawa obat yang ditentukan bertemu dengan reseptor yang spesifik.

Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan obat yang mempunyai pengaruh
pada tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh obat ini adalah obat-
obat yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal.

Berbagai produk obat yang bersifat lokal dibuat bertujuan untuk menghilangkan
segala sensasi yang tidak menyenangkan pada bagian yang spesifik di tubuh. Beberapa
contoh dari produk tersebut bersifat anastetik ataupun obat-obat yang diberikan secara
transdermal.

Anastetika lokal atau yang dikenal dengan zat penghilang rasa setempat adalah obat
yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf ke SSP dan
dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau
dingin.

Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari daun suatu
tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892, perkembangan
anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain, dan derivat-derivat
lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.

79
Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan tranmisi
impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat menghambat penerusan
impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf untuk ion natrium.

Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetika lokal :

a. Tidak merangsang jaringan


b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf
c. Toksisitas sistemik rendah.
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir
e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut dalam
air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan (sterilisasi).
Selain anestesi, obat-obatan yang digunakan melalui transdermal pun mayoritas
menggunakan prinsip efek lokal yang hanya mengobati/mencegah rasa yang tidak nyaman
pada bagian yang diolesi/ditempelkan obat.

Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan
farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit,
namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (trans = lewat,
dermal = kulit)

Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu bersentuhan
dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa kaustik, misalnya pada
saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau uap pada saluran napas.
Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel hidup.

Cara penggunaan obat yang memberi efek lokal adalah:

a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan alat
seperti : inhaler, nebulizeer atau aerosol.
b. Penggunaan obat pada mukosa seperti: mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat
tetes, dsb.
c. Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, lotion, dsb.

80
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

a. Alat
 Alat-alat bedah
 Batang pengaduk
 Kertas saring
 Wadah kaca
 Pipet tetes
b.Bahan
 Tikus ( Kulit dan usus tikus )
 Asam klorida pekat
 Larutan NaOH 20 %
 Larutan NaOH 10%
 Larutan AgNO3 1%
 Veet cream

3.2 Prosedur Kerja


A. Efek menggugurkan bulu
1.Tikus terlebih dahulu dikorbankan, lalu diambil kulitnya, kemudian kulit
dibuat potongan masing-masing 2,5 x 2,5 cm dan diletakkan di atas kertas
saring.
2.Keatas potongan kulit, di teteskan larutan-larutan obat yan digunakan (veet
cream cukup dioleskan).
3.Setelah beberapa menit, dengan batang pengaduk dilihat, apakah ada bulu
yang gugur.
B. Efek korosif
1.Tikus yang sudah dikorbankan, ususnya diambil, dipotong-potong sepanjang
5 cm. Letakkan di atas kertas saring yang lembab, kemudian diteteskan
dengan cairan- cairan obat.
2.Setelah 15 menit, cairan yang berlebihan pada potongan usus diserap dengan
kertas saring.
3.Potongan-potongan kulit tikus yang baru diambi, direndam selama 15 menit
dalam cairan-cairan obat.
81
4.Potongan-potongan kulit tersebut kemudian dibilas dengan air dan cairan
yang berlebihan diserap dengan kertas saring.

82
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

a. Efek menggugurkan bulu


Larutan Efek diamati
Bahan obat di Gugur
Percobaan Gambar
percobaan berikan Bau awal bulu (… Efek lain
pada kulit menit)

Larutan
Bulu
NaOH 20 Amis 12 : 30
Hancur
%

Gugur
Kulit tikus
bulu

Veet cream Amis 5 : 27 -

83
b. Efek korosif
Pengamatan
Larutan obat
Bahan Kerusakan
Percobaan di berikan Gambar
percobaan Sifat korosif pada
pada usus
jaringan

Sedang =
Larutan sangat lembet
-
NaOH 10% tapi tidak
hancur

Berubah
Tinggi =
Asam warna
hancur
Korosif Usus tikus klorida pekat coklat
(korosif)
kehitaman

Berubah
Larutan Kaku = tidak warna
AgNO3 1% korosif pucat
kehitaman

84
Tinggi =
Larutan
hancur -
NaOH 20%
(korosif)

4.2 Pembahasan

Tikus yang digunakan dalam praktikum dilakukan pengorbanan terlebih dahulu.


pengorbanan dapat dilakukan dengan cara anastesi lokal maupun dengan cara dislokasi lokal.
Anastesi lokal dilakukan dengan cara memasukkan tikus kedalam toples yang telah
dijenuhkan dengan larutan eter dan tertutup, tunggu hingga tikus dalam keadaan mati. Selain
anastesi lokal, dislokasi lokal juga dapat digunakan dengan cara memisahkan/menghambat
pengaliran darah ke otak dengan merenggangkan bagian-bagian tulang belakang dari tikus.

Tikus yang sudah dikorbankan kemudian dikuliti (ambil kulitnya) sesuai dengan
keperluan, baik dari segi jumlah maupun ukurannya. Selain kulit, bagian usus dari tikus juga
digunakan dengan cara membelah usus tikus dan membersihkan dari sisa kotoran yang ada di
usus.

Kulit dan usus yang sudah ada tadi di letakkan diatas kertas saring dan mulailah dengan
pengujian yang sudah ditentukan.

Pada pengujian efek menggugurkan bulu, semua kelompok menghasilkan hasil yang
sama yakni hasil uji menunjukkan adanya kerontokan bulu setelah diberikan larutan natrium
hidroksida 20% dan Veet cream, namun kerontokan bulu yang ceoat terjadi pada bulu yang
diberi veet cream yaitu pada menit ke- 05:27.

Pada pengujian efek korosif, beberapa hasil yang dapat diamati adalah:

- Larutan NaOH 10%, efek korosifnya sedang, usus menjadi sangat lembek tetapi tidak
hancur.
- Larutan HCl pekat, efek korosifnya tinggi, usus menjadi hancur dan mengalami perubahan
warna
menjadi coklat kehitaman.
85
- Larutan AgNO3 1%, usus menjadi kaku dan berubah warna menjadi pucat kehitaman.
- Larutan NaOH 20%, efek korosifnya tinggi, usus menjadi hancur.

Pertanyaan :
1. Apakah ada perbedaan bau yang jelas dari obat-obat yang bersifat menggugurkan
bulu sebelum dan sesudah digunakan?
Jawab :
Ada, bau pada obat-obat sebelum digunakan tidak terlalu menyengat sedangkan
setelah digunakan untuk menggugurkan bulu pada hewan percobaan baunya terasa
lebih menyengat.

2. Mungkinkah suatu obat bekerja korosif tanpa menghilangkan bulu dan sebaliknya?
Jawab :
Hal itu mungkin saja terjadi, namun kemungkinannya hanya sedikit sekali. Obat yang
bekerja korosif akan mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/ membran mukosa
akan menjadi rusak. Hal juga akan berpengaruh pada organ rambut. Rambut
merupakan struktur protein yang kompleks, yang terdiri dari bermacam-macam jenis.

3. Sebutkan obat-obat lain yang dapat menyebabkan gugur bulu? Senyawa kimia lain
yang dapat menyebabkan korosif.
Jawab :
Sugarpot honey waxing (penghilang bulu) dan Depilatory cream (perontok bulu).
Asam sulfat, asam asetat, asam klorida, asam nitrat, fenol, natrium hidroksida, asam
sitrat, kalium hidroksida, amonium hidroksida dan klor.

4. Sebutkan menurut saudara beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi oleh


obat atau sediaan farmasi untuk dapat digunakan sebagai obat berefek lokal agar
menjamin pemakaiannya.
Jawab :

Obat harus berkhasiat atau mempunyai efek, obat harus mempunyai mutu atau
karakter, obat harus aman ketika digunaka

86
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

 Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan obat yang mempunyai


pengaruh pada tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh
obat ini adalah obat-obat yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal.
 Beberapa efek dari obat lokal yang dapat ditemui adalah menggugurkan bulu,
korosif, dan astringen.
 Tingkat pengguguran bulu tergantung kepada kadar dan jenis dari larutan yang
digunakan
 Semakin tinggi kadar suatu zat yang bersifat menggugurkan bulu, maka akan
semakin mendekati tingkat korosif.
 Sama halnya dengan efek menggugurkan bulu. Larutan yang bersifat korosif pun
beraneka ragam, dan menghasilkan mekanisme efek yang berbeda-beda,
tergantung kepada kekuatan korosif yang dikandungnya.
 Astringen merupakan salah satu efek dari efek lokal obat yang mekanisme
kerjanya di mulut. Senyawa ini banyak ditemukan pada gambir, teh, dan
tumbuhan lain yang memiliki rasa kelat hingga kepahitan..

87
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI

Guyton, A.C & Hall, J. E. Buku ajar fisiologi Kedokteran . Jakarta : EGC

88
ANESTESI PERMUKAAN

89
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Percobaan

Anestesi Permukaan

1.2 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls


saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin.

Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat
kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi
semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi
lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot.4
Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut :

1. Senyawa ester

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi
dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan
ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan
golongan amida. Contohnya: tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan prokain
sebagai prototip.

2. Senyawa amida : Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain


dan prilokain.

3. Lainnya : Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran.

90
Menurut cara pemakaian anestesi lokal dibedakan menjadi:

1. Anestesi permukaan.

Anestetika local digunakan pada mukosa atau permukaan luka dan dari sana
berdifusi ke organ akhir sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada epidermis
yang utuh (tidak terluka) maka anestetika local hampir tidak bekhasiat karena tidak
mampu menembus lapisan tanduk.

2. Anestesi Infiltrasi.

Anestetika local disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan ke dalam


jaringan. Dengan demikian selain organ ujung sensorik, juga batang-batang saraf kecil
dihambat.

3. Anestesi Konduksi

Anestetika local disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran
rangsang pada tempat ini diputuskan. Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini adalah
anestesi spinal, anestesi peridural, dan anestesi paravertebral.

4. Anestesi Regional Intravena dalam daerah anggota badan

Sebelum penyuntikan anestetika local, aliran darah ke dalam dan ke luar


dihentikan dengan mengikat dengan ban pengukur tekanan darah dan selanjutnya
anestetika local yang disuntikkan berdifusi ke luar dari vena dan menuju ke jaringan
di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit menimbulkan anestesi.

Salah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain terdiri dari satu
gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan suatu
rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amin tersier).
Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar
lebih mudah larut dan stabil. Didalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak
bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relative dari dua bentuk ini ditentukan
oleh harga pKa nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-
Hasselbalch.3
Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain
dan juga epinefrin. Biasanya Lidokain digunakan untuk anestesi permukaan dalam
bentuk salep, krim dan gel. Efek samping Lidokain biasanya berkaitan dengan

91
efeknya terhadap SSP misalnya kantuk, pusing, paraestesia, gangguan mental, koma,
dan seizure.

1.3 Tujuan Percobaan


 Mengenal teknik anestesi untuk menyebabkan anestesi lokal pada beberapa hewan coba.
 Memahami Farmakokinetik obat anastesi lokal yang diberikan secara topikal pada
mukosa mata.

1.4 Prinsip Percobaan


Anastetika lokal ialah obat yang menghambat konduksi saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anestetik lokal
seperti kokain dan ester-ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan
lidokain . anestesi lokal permukaan tercapai ketika anestesi lokal ditempatkan di daerah
yang ingin dianestesi. Anestesi lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian seperti
anestesi permukaan, anestesi spinal, anestesi mukosa.

92
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. Teori Dasar


Anastesi (pembiusan, berasal dari bahasa yunanian “tidak, tanpa” dan aesthetos,
persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakkan yang
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anastesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Kerja ini dapat digunakan secara klinis
untuk mengurangi rasa sakit dari atau impuls vasokonstriktor simpati menuju daerah
tubuh tertentu.
Anestesi lokal merupakan penetrasi kedalam akson dalam bentuk basa larut lemak
yang bebas. Didalam akson berbentuk molekul berproton, yang kemudian memasuki dan
menyumbat kanal 𝑁𝑎 + setelah terikat pada ‘reseptor’ (residu dari heliks transmembran
s6) dengan demikian,anestetik lokal kuatner (berproton lengkap) hanya bekerja bila
disuntikan ke dalam akson saraf. Obat yang tidak bermuatan (misalnya benzokain) larut
dalam membrane tetapi kanal si blok dengan hukum all-or-none (semua atau tidak sama
sekali). Jadi,pada prinsipnya molekul-molekul yang teronisasi dan tidak teronisasi
bekerja dengan cara yang sama (yaitu terikat pada reseptor dikanal 𝑁𝑎+ ). Hal ini
memblok kanal kebanyak dengan mencegah terbukanya gerbang h (yaitu dengan
meningkatkan inaktivasi). Kadang-kadang begitu banyak kanal terinaktivasi sehingga
jumlahnya berada dibawah jumlah minimal yang diperlukan agar depolarisasi mencapai
ambang batas, dan karena aksi tidak dapat dibangkitkan maka terjadi blok saraf.
Anestetik local bersifat ‘tergantung pemakaian (use dependent)’ (artinya derajat blok
proposional terhadap stimulasi saraf). Hal ini menujukkan bahwa makin banyak molekul
obat (dalam bentuk terprotonisasi ) memasuki kanal 𝑵𝒂+ ketika kana-kanal terbuka dan
menyebabkan lebih banyak terinaktivasi.

Dalam pratikum ini digunakan anastetik local tetrakain (Pantokain) :


1. Tetrakain
Tetrakain (Pontocaine) adalah obat anestesi local yang biasanya digunakan sebagai
obat untuk diagnosis atau terapi pembedahan. Akan tetapi, penelitian pada hewan
menunjukkan efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau lainnya) dan

93
belum pada penelitian yang terkendali pada wanita atau penelitian wanita dan hewan
belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila hanya keuntungan potensial
memberikan alasan terhadap bahaya potensial pada janin. Selain itu, tetrakain yag
potensiasinya lebih tinggi dibandingkan dengan dua obat anestesi local gologan ester
lainnya ini memiliki efek samping berupa rasa seperti tersengat. Namun,efek ini tidak
membuat Tetrakain jarang digunakan, hal ini karena salah satu kelebihannya adalah
tidak menyebabkan midriasis. Tetrakain biasanya digunakan untuk anestesi pada
pembedahan mata, telinga,hidung,tenggorokan,rectum,dan kulit. Berkhasiat 10 kali
dari prokain, tapi juga 10 kali lebih toksik dari pada prokain. Lebih disukai digunakan
anestesi permukaan dosis tunggal maksimum sebesar 20 mg. sangat cepat diabsorbsi
dari membrane mukosa yang terluka, sehingga terdapat bahaya keracunan absorpsi.
Salah satu anestetik yang dapat digunakan secara topical pada mata adalah tetrakain
hidroklorida.
2. Lidocaine
Lidokain (xilokain) adalah anastetik local kuat (potensi bagus) yang digunakan
secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anastesia terjadi lebih cepat,
kuat,lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Pada
konsentrasi yang sebanding. Lidokain merupakan aminoetilamid dan merupakan
prototip dari anestetik lokal golongan amida. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk
anesteia infiltrasi,dengan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical.
Anestetik ini efektif bila digunakan tanpa vaso-konstriktor, tetapi kecepatan
absorpsi dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek.lidokain
merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap anestetik local
golongan ester. Lidokain dapat menimbulkan kantuk . sediaan berupa larutan 0,5-5%
dengan atau tanpa epinefrin (1:50.000 sampai 1:200.000). setelah disuntikkan, obat
dengan cepat akan dihidrolisis dalam jaringan tubuh pada pH 7,4-4 5.

94
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

III. Alat dan bahan

Alat : gunting

pipet tetes

aplikator

Bahan : larutan tetrakain HCl 2% dosis 0,5 ml , diberikan dengan penetesan.

Larutan lidokain HCl 2% 1-2 tetes

IV. Prosedur
1. Gunting bulu mata kelinci, agar tidak mengganggu aplikator
2. Teteskan kedalam kantong konjungtiva larutan anestetik lokal lidokain 0,5 ml pada mata
kanan dan tetrakain HCl 0,5 ml pada mata kiri
3. Tutup masing-masing kelopak mata selama 1 menit
4. Catat ada atau tidaknya reflex mata setiap 5 menit, dengan menggunakan aplikator tiap
kali pada permukaan kornea

95
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. Hasil pengamatan

Hewan Mata Obat Pengamatan pada reflex mata pada waktu …. Menit
diteteskan 0 5 10 15 20 30 45 60
Kelinci Kanan Lidokain + + + + + + +
Kiri Tetrakain + + + + - - -

VIII. Pembahasan

Obat bius lokal/anestesi local aytau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lolal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Pada pratikum ini kami melakukan percobaan anestesi permukaan dengan


menggunakan obat anastetik lokal yaitu lidokain dan tetrakain. Hasil yang diperoleh yaitu
kerja tetrakain sama-sama cepat dengan lidokain sebab pada menit ke 5 mata kelinci sudah
tidak lagi merespon rangsangan karena efek anestesi obat sudah mulai bekerja. selain itu lama
kerja obat tetrakain lebih cepat berhenti dari pada lidocain dan efek obat pada hewan berakhir
lebih dulu pada tetrakain pada menit ke 30 dimana kelinci kembali merespon ransangan
dengan mengedipkan matanya.

96
Pertanyaan :

1. Jelaskan kokain sebagai anestetika local ?


Jawab :
efek anestetika local yang terpenting kemampuannya untuk memblokade konduksi
saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain pernah digunakan secara luas untuk
tindakan bidang oftamologi, tetapi kokain dapat menyebabkan terkelupasnya kornea.
Maka pengguaanya sangat dibatasi.

2. Jelaskan penggolongan kimia dari anestetika local?


Jawab :
 Senyawa ester ( terdapatnya ikatan ester ). Contohnya : Kokain, Prokain, tetrakain
dan Benzokain.
 Senyawa amida ( terdapatnya ikatan amida ). Contohnya : Lidokain, Dibukain,
Mepivakain dan Prilokain.

3. Sebutkan anestetika local yang digunakan sebagai anestetika permukaan?


Jawab :
prokain, lidokain, buvipakain, benzokain, tetrakain

4. Keburukan apa yang terjadi bila permukaan kornea ditetesi anestesi untuk periode
waktu yang lama ?
Jawab :
Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan
intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi
trendelenburg) Hal lain, peningkatan ukuran bola mata yang tidak proporsional
mengubah volume isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Penekanan pada
mata

97
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

 Lidokain merupakan obat anestetika lokal dengan mekanisme kerja menghambat


penghantaran impuls saraf, menghambat sinyal nyeri sel saraf dengan mengeblok kanal
Natrium dalam sel sehingga dapat menginaktivasi sel saraf.
 Aktivitas obat anestesi lokal menyebabkan analgesi sementara namun analgesi yang dapat
dirasakan/diterima impuls saraf hanya pada bagian-bagian tertentu dari tubuh.
 Anestesi permukaan digunakan secara lokal dimana berfungsi untuk melawan rasa nyeri
dan gatal, seperti pada penggunaan larutan atau dengan tablet hisap yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dimulut dan leher, dan seperti pada salep untuk menghilangkan
rasa nyeri akibat luka bakar.

98
DAFTAR PUSTAKA

- Departemen farmakologi dan terapeutik. Farmakologi dan Terapi. Ed V.Balai Penerbit


FKUI Jakarta :2009
- Dardjat M T,editor. Obat Anestetik Lokal. Dalam : Kumpulan Kuliah Anestesiologi
Jakarta :Aksara Medisina : 1986.
- Mutschler,Ernst.dinamika obat.Ed V.Penerbit ITB.Bandung :1999

99
METODE REGNIER

100
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum


Metoda Regnier
1.2 Latar Belakang

Anestesi lokal adalah hilangnya sensasi pada bagian tubuh tertentu tanpa disertai
kehilangan kesadaran atau kerusakan fungsi kontrol saraf pusat dan bersifat reversibel.
Obat anestesi lokal terutama berfungsi untuk mencegah atau menghilangkan sensasi nyeri
dengan memutuskan konduksi impuls saraf yang bersifat sementara. Obat anestesi lokal
pertama yang ditemukan adalah kokain. Kokain yang ditemukan secara tidak sengaja
pada akhir abad ke-19 ternyata memiliki kemampuan sebagai anestesi yang baik. Kokain
diperoleh dari ekstrak daun coca (Erythroxylon coca). Selama berabad-abad bangsa
Andean mengunyah ekstrak daun ini untuk mendapatkan efek stimulasi dan euforia.

Anestesi merupakan pendamping paling tua Ilmu Bedah.Banyak kemajuan Ilmu Bedah
dicapai sejalan dengan perkembangan teknik serta penemuan obat anestesi lokal baru
yang lebih efektif dibandingkan obat anestesi lokal terdahulu. Hampir tidak ada tindakan
bedah yang dilakukan tanpa anestesi. Anestesi dapat mengurangi rasa sakit saat tindakan,
mengurangi biaya dan waktu, serta pemulihan lebih cepat, sehingga tindakan bedah dapat
dilakukan dengan tenang dan memberikan hasil baik.

Pada tindakan bedah, obat anestesi lokal dapat langsung diberikan dan diawasi oleh
operator sehingga operator harus memiliki pengetahuan mengenai jenis, cara,
penggunaan, metabolisme, dosis dan mekanisme kerja, efek samping, dan efek
merugikan dari obat anestesi lokal.

Metode regnier adalah Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan resoin
reflex okuler ( mata berkedip ). Apabila mata ditetskan anestetika local, reflex okuler
timbul setelah beberapa kali kornea desentuh , sebanding dengan kekuatan kerja
anestetika dan besarnya sentuhan yang di berikan. Tidak adanya refleks okuler setelah
kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda adanya anestesi total.

101
1.3 Tujuan Percobaan
 Mengetahui teknik anastesi lokal dengan menggunakan metoda regnier.
 Mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anastetik lokal.

1.4 Prinsip Percobaan

Mata normal bil disentuh pada kornea akan memberikan respon reflex okuler (mata
berkedip). Apabila mata diteteskan anestetika lokal, refleks okuler timbul setelah
beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestetika dan
besarnya sentuhan yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler setelah kornea disentuh
100 kali dianggap sebagai tanda adanya anestesi lokal.

102
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.5 Teori Dasar


Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan terjadinya
efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran secara bertahap karena
adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya, anestesi umum
dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal
farmakodinamik maupun farmakokinetik (Ganiswara, 1995).
Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan yang
cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan dengan koordinasi
pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-fungsi otonom yang lain pada
waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum berbeda potensinya berdasarkan sifat
farmakokinenik dan farmako dinamik yang berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika
obat juga mempengaruhi potensi anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai
dengan potensi depresi sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan
pemantauan yang ketat, untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat
kematian. ( Ganiswara, 1995 ).
Anestetik lokal menghilangkan penghantaran saraf ketika digunakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian Sistem Saraf Pusat
(SSP) dan setiap serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada ujung saraf sensorik tidak
spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dapat dirangsang berbeda. Serabut saraf
motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik. Oleh karena
itu, efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut saraf, maka mula-
mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis lebih besar serabut saraf
motorik dihambat (Rochmawati dkk, 2009).
Rute pemberian anestetika lokal berhubungan erat dengan efek anestesi local yang
dihasilkan. Sebagai contoh anestetika lokal yang diberikan pada permukaan tubuh
(topikal) dapat mencapai ujung saraf sensoris dan bekerja menghambat penghantaran
impuls nyeri pada serabut saraf tersebut, sehingga terjadilah anestesia permukaan.
Anestetika local juga dapat diberikan secara injeksi ke dalam jaringan sehingga
menyebabkan hilangnya sensasi pada struktur disekitarnya. Efek yang dihasilkan disebut
anestesia infiltrasi. Salah satu obat anestetika local yang digunakan adalah lidokain. Pada
percobaan akan diamati efek anesthesia permukaan dari obat tersebut dengan metode
yang sederhana.
103
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena diproduksi
melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam sulfat) digunakan
pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia berusia 25 tahun. Eter sudah
dipakai dalam dunia kedokteran, namun baru digunakan sebagai agen anestetik pada
manusia di tahun 1842, ketika Crawford W. Long dan William E. Clark
menggunakannya pada pasien. Namun penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun
kemudian, di Boston, 16 Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan
demostrasi publik penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan Mikhail, 2002).
Eter dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H] digantikan oleh
gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang berstrukur [R]-C-O-C-[R]
Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap. Titik
didihnya adalah 36,2°C. Cara pembuatan yang paling umum adalah dengan dehidrasi
alkohol bersama asam sulfat (Collins, 1996).

104
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1Alat dan Bahan
 Misai
 Gunting
 Kelinci dewasa
 Larutan lidokain
 Larutan tetrakain HCl

3.2 Prosedur Kerja


1.) Kelinci ditempatkan kedalam kotaknya 1 jam sebelum percobaan dimulai. Gunting
bulu matanya, kemudian periksa refleks normal dari kedua kornea dengan sentuhan
misai secara tegak lurus.
2.) Pada waktu t=0 , teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji kedalam mata kelinci.
Percobaan ini diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch)
3.) Pada menit ke 8 dengan bantuan misai diperiksa refleks mata, yaitu dengan
menyentuhkan misai tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali dengan
kecepatan yang sama. Jangan terlalu keras menyentuhnya dan ritme harus diatur.
Apabila samapai 100 x tidak ada efek (kelopak mata tertutup), maka dicatat angka
100 untuk respon negatif. Tetapi jika sebelum 100 x sudah ada refleks, maka yang
dicatat adalah respon negatif sebelum mencapai angka 100.
4.) Perlakuan yang sama dari menit-menit ke: 15,20,25,30,40,50 dan 60 jika sebelum
menit-menit ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada refleks, maka menit-menit yang
tersisa diberi angka 1.
5.) Setelah percobaan diatas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad 4., tetapi
hanya diteteskan larutan fisiologis.
6.) Jumlah respon negatif dimuat dalam sebuah tabel dan dimulai dari menit ke 8.
Jumlah tersebut menunjukan angka regnier, dimana anastesi lokal mencapai angka
regnier 800, sedangkan angka regnier minimal angka 13.
7.) Hitunglah/jumlahkan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negatif. Apabila
pada sekali setahun terjadi refleks kornea, maka angka yang dicatat adalah 1.
8.) Hitunglah angka rata-rata yang diberikan untuk masing-masing larutan yang
diperoleh pada 8 kali pemeriksaan refleks kornea.
9.)

105
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Jumlah sentuhan reflex kedip mata menit ke - Tabel


Hewan Mata
0 8 15 20 25 30 40 50 60 regnier
Kanan(lidokain) kedip 100 29 1 1 1 1 1 1 135
Kelinci
Kiri(tetrakain) kedip 15 1 1 1 1 1 1 1 22

4.2 Pembahasan

Pada menit ke 0, mata kanan masih masih berkedip secara normal. Hal ini terjadi
karena obat lidokain yang diteteskan ke mata bagian kanan belum mencapai efek
anastesi. Pada menit ke 8, efek obat mulai mencapai efek terapi yang ditunjukkan pada
saat kornea mata kanan diketukkan dengan misai secara tegak lurus pada mata bagian
tengah sebanyak 100kali ketukkan dan reflex mata kelinci tidak berkedip ini berarti
respon yang ditujukan positif (anestesi mulai bekerja). Pada menit ke 15, efek anastesi
mulai berkurang sehingga mata kanan kembali berkedip pada saat diketukkan dengan
misai pada kornea mata kanan sebanyak 29 kali ketukkan.

Pada menit ke 0, mata kiri masih berkedip normal. Hal ini terjadi karena obat
tetrakain yang diteteskan ke mata bagian kiri belum mencapai efek terapi. Pada menit ke
8, saat ketukkan ke 15 kali efek obat sudah mulai berkurang sehingga mata hewan uji
berkedip. Jika sebelum ketukkan mencapai 100 kali, maka pada menit selanjutnya nilai
regnier dihitung 1. Total regnier pada mata kanan hewan uji yaitu kelinci adalah 135, dan
pada mata kiri adalah 22. Hal ini menunjukkan bahwa anastesi yang digunakan masih
memberikan respon positif yang nilainya masih dalam range antara 13 sampai 800.

Pada pemberian obat lidokain, refleks berkedip pada mata kelinci lebih lama
dibandingkan dengan pemberian obat tetrakain. Hal ini membuktikan bahwa potensi
anastesi lokal pada lidokain lebih besar daripada tetrakain, karena lidokain merupakan
anastesi golongan amida yang mempunyai masa kerja yang lebih panjang yang berkaitan
dengan onset dan durasi kerja yang pendek, hal tersebut dapat dilihat pada mata kelinci
yang setelah diberi rangsang berupa ketukan pada menit ke 15 mulai berkedip kembali.

106
Sedangkan pada tetrakain merupakan anastesi lokal golongan ester yang memiliki onset
sekitar 15 menit dan mempunyai durasi kerja yang panjang yaitu 200 menit.

Sesuai prinsipnya anestetika lokal dapat dikatakan tercapai jika refleks okuler tidak
terjadi sampai penyentuhan 100 kali pada kornea kelinci uji. Kemungkinan hal ini terjadi
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penetesan obat yang tidak tepat kedalam
konjungtiva mata kelinci, kondisi fisiologis kelinci yang berbeda-beda sehingga respon
yang ditunjukkan pun berbeda, dosis yang diberikan masih belum tepat untuk
menimbulkan efek anestetika lokal pada hewan uji, pengamatan praktikan yang tidak
tepat atau waktu pengamatan juga mempengaruhi hasil pengamatan tersebut.

Pertanyaan

1. Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat
terjamin khasiatnya?

Jawab :

a. Harus hisohidris memiliki ph sama dengan air mata


b. Kejernihan larutan obat mata
c. Isotonis larutan obat mata
d. Harus bebas pirogen
e. Kesterilan dari obat dan alat yang digunakan
f. Cara penyimpanan obatnya
g. Partikel obat mata

2. Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dari cahaya langsung. Jelaskan!
Jawab :

Karena a sinar matahari langsung akan mengalami reaksi lain yang terjadi pada
mata kelinci yang tidak diinginkan, dapat menyebabkan toksisitas serta apabila
terkena cahaya langsung dapat mempengaruhi reflex mata sehingga membuat
kelinci menutup matanya yang dapat menggangung proses percobaan.

107
3. Sebutkan anestesika lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini !

Jawab :

a. Dibukain
b. Prilokain
c. Prokain
d. Benzokain

108
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa obat lidokain, memiliki refleks berkedip pada mata kelinci
lebih lama dibandingkan dengan obat tetrakain, karena lidokain merupakan anestesi golongan
amida yang mempunyai masa kerja yang lebih panjang yang berkaitan dengan onset dan
durasi kerja yang pendek. Sedangkan pada tetrakain merupakan anastesi lokal golongan ester
yang memiliki onset sekitar 15 menit dan mempunyai durasi kerja yang panjang yaitu 200
menit

109
DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram. 1997. Farmakologi Dasar dan Terapi. Jakarta : EGC.


Mardjono, M. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru.
Gunawan. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta : Gaya Gon.
Goodman & Gilman. 2008. Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC.

110
ANASTESI KONDUKSI

111
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul praktikum


Anastesi konduksi

1.2 Latar belakang


anestesi local (anestesi regional) adalah hilangnya rasa sakit pada bagian tubuh
tertentu tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi local merupakan aplikasi
atau injeksi obat anestesi pada daerah spesifik tubuh, kebalikan dari anestesi umum
yang meliputi seluruh tubuh dan otak. Local anestesi memblok secara reversible pada
system konduksi saraf pada daerah tertentu sehingga terjadi kehilangan sensasi dan
aktivitas motorik.
Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine
yang disintesa oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti tidak bersifat adiksi
dan jauh kurang toksik dibanding kokain. Ester-ester lain telah dibuat termasuk
Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan Chloroprocaine, dan semuanya terbukti
sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan reaksi alergi.
(Rusda, 2004)
Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obat-obat
dengan berbagai keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Oleh sebab itu, sebagai
mahasiswa kedokteran harus mempelajari bagaimana memilih jenis obat anastesi
lokal yang akan digunakan dan cara penggunaannya. Obat – obat anastsi lokal
dikembangkan dari kokain yang digunakan untuk pertama kalinya dalam kedokteran
gigi dan oftalmologi pada abad ke – 19. Kini kokain sudah diganti dengan lignokain
(lidokain), buvikain (marccain), prilokain dan ropivakain. Prilokain terutama
digunakan dalam preparat topical.
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
lorongnatrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jikadigunakan pada saraf sentral atau perifer.Anestetik lokal setelah
keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap
tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.(Sari, 2009)

112
1.3 Tujuan praktikum
1. Memahami faktor-faktor perbedaan-perbedaan dalam sifat dan potensi anestetika
lokal.
2. Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal
3. Mengetahui teknik anastesi lokal dengan menggunakan metoda konduksi.

1.4.Prinsip Percobaan
Anastetika Konduksi adalah Anestetika local yang disuntikkan di sekitar saraf tertentu
yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan.

113
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori

Anestesia konduksi (juga di sebut blockade-saraf perifer), yaitu injeksi di tulang belakang
pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf, hingga tercapai anesthesia dari suatu daerah
yang lebih luas, terutama pada operasi lengan atau kaki, juga bahu. Lagi pula digunakan
untuk menghalau rasa nyeri hebat. Pada anestesi konduksi, Anestetika lokal yang di suntikan
di sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan.
Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini adalah anestesi spinal, anestesi epidural dan anestesi
kaudal :

Anestesi spinal

Anestesi spinal (blokade subarakhnoid atau intratekal) merupakan anesthesia blok yang
luas.Anestetika lokal biasanya disuntikan kedalam ruang subarakhnoid di antara konus
medularis dan bagian akhir dari ruang subarakhnoid untuk menghindari kerusakan medula
spinalis.

Anestesi epidural

Merupakan suatu anesthesia blok yang luas, yang diperoleh dengan jalan menyuntikan zat
anestetik lokal kedalam ruang epidural. Dengan teknik ini anesthesia bagian sensorik dapat
diperluas sampai setinggi dagu. Pada cara ini dapat digunakan dosis tunggal atau dosis yang
diberikan secara terus menerus.

Anestesia kaudal

Merupakan bentuk anesthesia epidural yang larutan anestetiknya di suntikan kedalam kanalis
sakralis melalui hiatus sakralis. Ada dua bahaya utama pada teknik ini, yaitu jarum masuk
kedalam pleksus vena yang terletak sepanjang kanalis sakralis yang berakibat masuknya obat
ke vena dan jarum menembus duramater disertai dengan anesthesia spinal yang luas.

Lidokain
Farmakodinamik :
Lidokain (xilokain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian
topikal dan suntikan. Anestesia terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif
daripada yang ditimbulkan oleh prokain pada konsentrasi yang sebanding. Lidokain
merupakan aminoetiamid dan merupakan prototip dari anestetik lokal golongan amida.

114
Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anestesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0 – 2 %
untuk anestesia blok dan topikal. Anestetik ini efektif apabila digunakan tanpa
vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorpsi dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya
lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap
anestetik lokal terhadap golongan ester. Lidokain dapat menimbulkan kantuk. Sediaan berupa
larutan 0,5 – 5 % dengan atau tanpa epinefrin (1 : 50.000 sampai 1 : 200.000).

Farmakokinetik :Lidokain cepat diserap dari tempat suntikan, saluran cerna dan saluran
pernapasan serta dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat
mencapai 60 % kadar dalam darah ibu. Dalam hati, lidokain mengalami dealkilasi oleh
enzimm oksidase fungsi ganda (mixed-function oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid
dan glisin xilidid, yang kemudian dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin
dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih
memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia, 75% dari xilidid akan diekskresi bersama urin
dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-analin.Efek samping lidokain biasanya
berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, kedutan
otot, gangguan mental, koma dan bangkitan. Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu
monoetiglisin xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam timbulnya efek samping ini.

Lidokain efek berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau oleh
henti jantung.

Indikasi :Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesia infiltrasi, blokade saraf,
anestesia spinal, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal, dan secara setempat untuk
anestesia selaput lendir. Pada anestesia infiltrasi biasanya digunakan larutan 0,25 – 0,5 %
dengan atau tanpa epinefrin. Tanpa epinefrin dosis total tidak boleh melebihi 200 mg dalam
waktu 24 jam, dan dengan epinefrin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang
sama. Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1 – 2 % dengan epinefrin,
untuk anestesia infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan masa kerja kira-kira 1 jam
dibutuhkan dosis 0,5 – 1 mL. Untuk blokade saraf digunakan 1 – 2 mL.

Lidokain dapat pula digunakan untuk anestesia permukaan. Untuk anestesia rongga mulut,
kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1 – 4 % dengan dosis
maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah anogenital atau rasa
sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan suppositoria atau bentuk salep dan krim
5%. Untuk anestesia sebelum dilakukan tindakan sistoskopi atau kateteriasasi uretra
digunakan lidokain gel 2% dan sebelum dilakukan semprotan dengan kadar.

115
BAB III
METODELOGI PRATIKUM
3.1 Alat dan bahan
 Alat
1. Jarum suntik
2. Timbangan hewan
3. Wadah pengamatan hewan
 Bahan
1. Mencit jantan
2. Lidokain
3. NaCl
4. Alkohol

3.2 Cara kerja


1. Siapkan alat dan bahan
2. Semua mencit di tes respon haffnernya terlebih dahulu ( ekor mencit dijepit dan
dilihat angkat atau mencit bersuara, pilih hewan yang bersuara
3. Timbang berat badan mencit, beri tanda pada mencit catat hasilnya, lalu hitung
dosis sesuai dengan berat badan mencit.
4. Mencit dimasukan kedalam kotak penahan mencit dan hanya ekornya yang
dikeluarkan.
5. Suntikan lidokain pada mencit 1 secara IV pada ekor mencit, lalu suntikan larutan
NaCl (kontrol) pada mencit ke 2 dengan cara yan g sama
6. Setelah 10 menit masing – masing di tes respon haffner (mencit bersuara/tidak),
lalu lakukan hal yang sama pada menit ke 15 dan 20.
7. Amati dan catat hasilnya pada tabel pengamatan.

116
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data biologis
Hewan coba Berat badan hewan
Mencit 1 36
Mencit 2 37

4.2 Perhitungan dosis


- Dosis lidokain pada manusia 40mg
- Factor konversi manusia (70kg)  mencit (200 gram) = 0,0026
- Sediaan obat dilakukan pengenceran 10x, dari kadar lidokain 20mg/ml diambil
2ml + NaCl 20 ml sehingga menjadi = 2mg/ml

1. Mencit 1
36𝑔 0.18
x 0.0026 x 40mg = 0,18 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml
20𝑔 2

2. Mencit 2
Dosis NaCl pada mencit kontrol 0,1 ml

4.3 Hasil pengamatan

Cara Respon hafner pada waktu (t = menit)


Hewan Obat/ kelompok
pemberian 0 10 15 20
Mencit 1 Lidokain IV - + + +
Mencit 2 NaCl (kontrol) IV - _ - -

4.4 Pembahasan

Berdasarkan pada apa yang kami praktekkan, pada saat awal praktikum mencit
diambil kemudian ekor dijepit sampai memberika respon rasa sakit. Setelah itu mencit
dimasukkan kedalam tempat khusus (silinder khusus untuk mencit) untuk dilakukan
penyuntikkan dibagian ekor (dijepit pada jarak 0,5cm dari pangkal ekor) dengan lidokain
(mencit I) dan NaCl sebagai kontrol (mencit II) kemudian diamati. Mencit I yang
disuntikkan lidokain pada menit ke 10 tidak memberi efek (+) atau tidak bersuara, pada
menit ke 15 tidak memberi efek (+) atau tidak bersuara dan menit ke 20 juga tidak
memberi efek (+) atau tidak bersuara. Mencit II yang disuntikkan NaCl (sebaia kontrol)

117
pada menit ke 10 memberi efek (-) atau bersuara, pada menit ke 15 memberi efek (-) atau
bersuara dan menit ke 20 juga memberi efek (-) atau bersuara.
Pada praktikum ini, lidokain memiliki efek anastetika lokal karena menimbulkan
berkurangnya respon terhadap stimulus – stilmulus yang diberikan. Kemudian telah
terjadi anestesi permukaan karena anestetika lokal digunakan pada permukaan kulit dan
mencapai ujung saraf sensori sehingga menghambat penghantara impuls nyeri pada
serabut saraf.. sebagai anestetika lokal, lidokain menstabilkan membran saraf dengan cara
mencegah depolarisasi pada membran saraf melalui penghambatan masuknya ion
natrium.

118
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
 Lidokain memiliki efek Anestetika lebih cepat
 Lidokain menstabilkan membrane saraf dengan cara mencegah depolarisasi pada
membrane saraf melalui penghambatan masuknya ion natrium.
 Pada praktikum ini, lidokain memiliki efek anastetika lokal karena menimbulkan
berkurangnya respon terhadap stimulus – stilmulus yang diberikan

119
DAFTAR PUSTAKA

- Tim Dosen Praktikum Farmakologi,Penuntun Praktikum Farmakologi,Fakultas


Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi
Nasional,2013.
- Gunawan. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta : Gaya Gon.
- Sunaryo. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam : ed. Ganiswarna SG. Kee,
J,L., Hayes, E.R., 2005, Farmakologi, EGC : Jakarta
- Departemen Farmakologi dan Terapeutik,Farmakologi dan Terapi,Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,2007.

120
ANESTESI INFILTRASI

121
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul percobaan


Anestesi infiltrasi

1.2 Latar belakang


Anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai
hilang kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1846. Obat yang
digunakan dalam menimbulkan anestesi disebut anestetik, kelompok obat ini dibedakan
dalam anestesi umum dan lokal.

Anestesi lokal sangat toksik bila diberikan secara suntikan, sehingga penggunaannya terbatas
pada pemakaian topikal dimata, selaput lendir atau kulit. Beberapa anaestetika lokal lebih
tepat untuk anaestesi infiltrasi atau blokade syaraf, digunakan juga secara topikal.

Respons suatu organ otonom terhadap obat adrenergik ditentukan tidak hanya oleh efek
langsung obat tersebut, tetapi juga oleh refleks homeostatik tubuh. Rangsangan adrenergik α1
menimbulkan vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. Efinefrin dapat melokalisasi
obat pada syaraf yang akan memperpanjang waktu anaestesi, mengurangi kecepatan absorpsi
anaestesi lokal sehingga akn mengurangi toksisitas sistemiknya. Pada umumnya zat
vasokontriktor diberikan dalam kadar efektif minimal

1.3 Tujuan percobaan


1. Mengetahui efek obat yang diberikan pada anestesi infiltrasi.
2. Mengetahui onset dan durasi obat anestesi infiltrasi.
3. Mengetahui fungsi lidokain dan adrenalin dalam anestesi infiltrasi.

1.4 Prinsip Percobaan


Menimbulkan anestesi ujung saraf melalui kontak langsung dengan obat.

122
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori

Anestesi infiltrasi merupakan anestesi dengan cara mendepositkan larutan anestesi di


dekat serabut terminal dari saraf dan akan terinfiltrasi di sepanjang jaringan untuk mencapai
serabut saraf dan menimbulkan efek anestesi dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf
tersebut. Istilah anestesi diperkenalkan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak
ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.
Anestesi lokal adalah hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan anestesi umum,
yaitu hilang rasa sakit disertai hilang kesadaran. Tindakan anestesi digunakan untuk
mempermudah tindakan operasi maupun memberikan rasa nyaman pada pasien selama
operasi.
Lidokain merupakan bahan anestetikum lokal yang sering digunakan di bidang
kedokteran gigi . Lignokain atau lidokain ditemukan oleh N. Lofgren pada tahun 1943 dan
diperkenalkan pada praktik klinis pada tahun 1946. Setelah itu muncul bahan lain seperti
mepivakain pada tahun 1956 dan prilokain pada tahun 1959. Sampai saat ini, bahan
anestetikum lokal secara umum dapat dibedakan menjadi dua golongan besar. Golongan
pertama adalah bahan yang mengandung senyawa ester seperti kokain, prokain, kloroprokain,
tetrakain, dan benzokain. Golongan kedua adalah bahan yang mengandung ikatan amida
seperti lidokain, prilokain, bupivakain, dibukain, dan ropivakain.
Lidokain jika dibandingkan dengan prokain, lidokain memiliki onset of action yang
lebih cepat dengan duration of action yang lebih lama. Penggunaan lidokain juga hanya
membutuhkan sedikit penambahan vasokonstriktor karena lidokain tidak atau sedikit
menyebabkan vasodilatasi. Penambahan vasokonstriktor pada lidokain HCl 2% dapat
menambah durasi kerja anestesi. Vasokonstriktor yang sering ditambahkan pada lidokain
adalah adrenalin 1:80.000 atau 1:100.000. Dengan penambahan vasokonstriktor, durasi kerja
menjadi lebih lama dari ½-2 jam menjadi 3-4 jam. Waktu onset of action dari lidokain juga
bervariasi, sekitar 3-10 menit. Walaupun penggunaan lidokain bersifat toksik, jika digunakan
dengan dosis yang tepat, maka tidak dapat menimbulkan masalah yang serius. Dengan
penambahan vasokonstrikor, dosis maksimal yang dapat diterima pada orang dewasa adalah
sekitar 350 mg atau maksimal sekitar 6 mg/kgBB. Pada praktiknya, 2% lidokain HCl
umumnya dikemas dalam bentuk ampul 2 ml atau sama dengan 36 mg, sehingga dosis
maksimum pengunaan lidokain pada orang dewasa adalah sekitar 8-10 ampul.

123
Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk anestesi
permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara
luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih
lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain ialah obat
anestesi lokal yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran oleh karena mempunyai
awitan kerja yang lebih cepat dan bekerja lebih stabil dibandingkan dengan obat – obat
anestesi lokal lainnya. Obat ini mempunyai kemampuan untuk menghambat konduksi di
sepanjang serabut saraf secara reversibel, baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun
otonom.Kerja obat tersebut dapat dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit dari–atau
impuls vasokonstriktor menuju daerah tubuh tertentu.
Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap secara cepat dari tempat
injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah menjadi metabolit yang lebih larut dalam air dan
disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain tempat injeksi, dosis obat, adanya vasokonstriktor, ikatan obat – jaringan, dan karakter
fisikokimianya.

124
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Alat dan bahan


 Kelinci
 Spuit (3 ml)
 Lidokain HCl 1 %
 Adrenalin HCl 1%
 Gunting
 Pisau cukur
 Peniti
 Timbangan hewan
 Kapas
 Alkohol
 Stopwatch

3.3 Cara Kerja


1. Siapkan hewan coba berupa kelinci satu ekor.
2. Siapkan alat & bahan.
3. Timbang berat badan kelinci.
4. Hitung dosis lidokain dan lidokain + adrenalin serta volume pemberian untuk kelinci
sesuai dengan berat badan kelinci.
5. Gunting bulu kelinci pada punggung bagian kiri dan kanan, cukur hingga bersih
(hindari terjadinya luka).
6. Suntikan larutan lidokain pada bagian punggung sebelah kiri, dan suntikkan larutan
lidokain + adrenalin pada bagian punggung sebalah kanan secara subkutan pada
kelinci.
7. Lakukan uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah
penyuntikan dengan peniti, setiap 5 menit sekali enam sentuhan.
8. Amati dan catat hasil respon setiap 5 menit sekali.

125
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Perhitungan
Dik : Sediaan ampul lidokain 2 mg/ml

Sediaan ampul lidokain + adrenalin 2 mg/ml

BB kelinci = 2109 g = 2,1 kg


Dit : Dosis absolute obat lidokain ? volume yang diberikan?
Jawab :

Faktor konversi manusia (70kg) → Mencit (1,5kg) = 0,07

2,1
BB kelinci : 2,1 kg → Faktor konversi = 1,5 x 0,07

= 0,098
Dosis absolute obat lidokain = 0,098 x 40 mg

= 3, 92 mg

3,92 mg
Jadi, volume lidokain yang diambil = x 1 ml
2 mg

= 2 ml

3,92 mg
* volume lidokain + adrenalin yang diambil = x 1 ml
2 mg

= 2 Ml

4.2Tabel hasil Pengamatan


Hewan Organ/bagian Obat Cara Getaran otot punggung kelici dengan 6
percobaan yang di Pemberian sentuhan setiap kali dengan peniti pada waktu
berikan 5menit setelah pemberian obat

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60

Kelinci Punggung Lidokain Subkutan - - + + + + + + + - -


kiri
Kelinci Punggung Lidokain Subkutan - + + + + + + + + + +
kanan +
adrenalin
Keterangan :

Jika (+) = Kelinci tidak memberi respon saat di beri sentuhan

Jika (-) = Kelinci memberi respon saat di beri sentuhan

126
4.3.Pembahasan
Pada percobaan anastesi infiltrasi, menggunakan hewan coba yaitu kelinci dengan
BB 2,1 kg dan dosis obat yang diberikan sebesar 3,92 mg serta volume obat yang
diberikan sebanyak 2 ml. Percobaan ini menggunakan dua macam obat, yaitu lidokain dan
lidokain + adrenalin. Langkah awal yang dilakukan yaitu mencukur sedikit bulu kelinci
pada bagian punggung kanan dan kiri. Kemudian di lakukan penyuntikan secara subkutan
di daerah punggung kelinci yang telah di cukur, pada punggung kiri di berikan obat
lidokain dan punggung kanan di berikan obat lidokain + adrenalin masing-masing
sebanyak 2 ml. Setelah itu Setiap 5 menit sekali, punggung kiri dan kanan kelinci
diberikan rangsangan menggunakan peniti untuk melihat respon kelinci terhadap obat
yang diberikan. Hasil dinyatakan positif jika kelinci diberi rangsangan namun tidak
merespon, sedangkan hasil dinyatakan negatif jika kelinci diberi rangsangan dan
memberikan respon berupa getaran tubuh yang dilakukan kelinci tersebut.
Setelah disuntikkan, pada punggung kiri yang diberikan obat lidokain kelinci
masih memberikan efek berupa getaran tubuh pada menit ke 5. Kemudian selang waktu 5
menit sekali, pada menit ke 10 hingga menit ke 40 kelinci diberi rangsangan dengan peniti
dan tidak menghasilkan respon pada punggung kelinci. Hal ini membuktikan bahwa efek
obat memberikan hasil yang positif. Namun pada menit ke 45 hingga menit ke 60, setelah
diberi rangsangan, kelinci aktif kembali yaitu dengan memberikan respon berupa getaran
tubuh. Hal ini membuktikan bahwa efek obat yang diberikan telah terhenti.
Pada punggung kanan yang disuntikkan lidokain + adrenalin, di lakukan
rangsangan dengan dengan peniti selang waktu 5 menit sekali, pada menit ke 5 kelinci
tidak memberikan respon berupa getaran tubuh setelah itu di lakukan rangsangan kembali
dengan peniti pada menit ke 10 hingga menit ke 60, dan kelinci masih tetap tidak
memberikan respon walaupun sudah di lakukan rangsangan dengan peniti. Hal ini
membuktikan bahwa efek obat yg diberikan menghasilkan hasil yang positif. Percobaan
hanya di lakukan sampai menit ke 60 saja dan tidak dapat diperkirakan sampai menit
keberapakah efek obat lidokain + adrenalin yg diberikan pada punggung kanan kelinci
berhenti, karena keterbatasan waktu pada praktikum.
Jadi, pada punggung kiri kelinci yang diberikan obat lidokain terjadi mulai efek
yang lebih lambat dibandingkan dengan punggung kanan kelinci yang diberikan obat
lidokain+adrenalin. Perbedaan efek obat yang diberikan pada punggung kiri dan kanan
disebabkan karena penambahan vasokonstriktor (adrenalin) pada larutan anastesi lokal
(lidokain HCL) akan memberikan rangsangan pada saraf adrenergik yang ada pada otot
polos pembuluh darah kulit dan menyebabkan vasokontriksi (penyempitan pembuluh
darah) sehingga berkurangnya kecepatan absorbsi dalam darah, sehingga memperpanjang
127
kerja efeknya atau dapat dikatakan lain yaitu menambah durasi kerja anestesi dan
memperkuat kerja anastesi. Hal ini sesuai teori bahwa dengan penambahan
vasokonstriktor, durasi kerja menjadi lebih lama dari ½-2 jam menjadi 3-4 jam. Maka dari
itu waktu yang digunakan 60 menit akan kurang untuk mengamati selesai efeknya dari
lidokain yang ditambahkan adrenalin karena durasi kerja obat berlangsung lebih panjang
daripada lidokain yang tidak ditambahkan vasokontriktor (adrenalin).

Pertanyaan :

1. Mengapa ada perbedaan antara efek anestetika lokal dengan anestetika lokal dalam
adrenalin?
Jawab :
Kebanyakan anestetik lokal, kecuali kokain, menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Penambahan vasokonstriksi seperti adrenalin mengurangi aliran darah setempat,
menurunkan kecepatan absorbsi anestetik lokal, dan memperpanjang efek lokalnya.
Penggunaan adrenalin untuk tujuan ini harus hati-hati karena, bila berlebihan, dapat
terjadi nekrosis iskemik.

2. Apakah kokain sebagai anestetika lokal perlu ditambahkan adrenalin, jika iya kenapa, jika
tidak jelaskan !
Jawab :
Tidak perlu ditambahkan dengan adrenalin lagi karena kokain sudah memiliki sifat
kontriksi pembuluh darah, bila kokain ditambahkan dengan adrenalin makan efek
vasokontriksinya bekerja 2 kali lebih besar yang dapat menghambat aliran darah secara
nyata dan berlebihan sehingga dapat menyebabkan kefatalan akibat tersumbatnya aliran
darah.

3. Berikan penerapan klinis dari pemakaian anestesi permukaan dan anestesi infiltrasi!
Jawab :
a. Anastesi permukaan :
Sebagai suntikan banyak di gunakan sebagai penghilang rasa oleh dokter gigi untuk
mencabut geraham atau dokter keluarga untuk pembedahan kecil, seperti menjahit
luka dikulit. Anestesia permukaan juga di gunakan sebagai persiapan untuk prosedur
diagnostik seperti bronkoskopi, gastroskopi, dan sitoskopi.

128
b. Anastesi infiltrasi :
Beberapa injeksi diberikan pada atau sekitar jaringan yang akan di anestisir, sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak di dalam, misalnya
pada daerah kecil di kulit atau gusi ( pada pencabutan gigi ).

4. Bagaimana pengaruh ph darah yang dianastesi lokal terhadap potensi anestetika lokal?
Jawab :
Ph dapat mempengaruhi potensi anetetika lokal karena ph yang sesuai memiliki
konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane saraf
sehingga menghasilkan mula kerja cepat.

129
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Efek obat yang diberikan pada punggung kiri dan kanan disebabkan karena
penambahan vas konstriktor (adrenalin) pada larutan anestesi lokal (lidokain HCL)
akan memberikan rangsangan pada saraf adrenergik yang ada pada otot polos
pembuluh darah kulit dan menyebabkan vaso kontriksi (penyempitan pembuluh
darah) sehingga berkurangnya kecepatan absorb dalam darah, sehingga
memperpanjang kerja efeknya atau dapat dikatakan lain yaitu menambah durasi kerja
anestesi dan memperkuat kerja anastesi

130
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: UI-Press

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi keenam. Jakarta: EGC

Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Gaya Baru

131
EFEK OBAT KOLINERGIK DAN
ANTIKOLINERGIK PADA SEKRESI
KELENJAR LUDAH

132
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum


Efek Obat Kolinergik dan Antikolinergik pada Sekresi Kelenjar Ludah

1.2 Latar Belakang

Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP ke otot polos, otot jantung
dan kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan bagian
dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem dirangsang maka
sistem yang lain akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf postganglion. Impuls
saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang dikeluarkan oleh saraf praganglion
maupun saraf postganglion.
Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem saraf vegetatif, sistem saraf
keseimbangan visceral atau sistem saraf sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran dan
kemauan. Sistem ini terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-ganglion dan jaringan
saraf yang mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-
otot polos.
Untuk selanjutnya, obat-obat yang berhubungan dengan kerja asetilkolin disebut kolinergik,
dan obat-obat yang berhubungan dengan kerja norepineprin disebut adrenergik.
Penggolongan obat-obat yang bekerja pada sistem saraf otonom
1. Kolinergik
a. Agonis kolinergik, contohnya pilokarpin
b. Antagonis kolinergik, contohnyaatropine

2. Adrenergik
a. Agonis adrenergik, contohnya amfetamin
b. Antagonis adrenergik, contohnya fenoksibenzamin

133
1.3 Tujuan Praktikum.

 Mengetahui pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam pengendalian


fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
 Mengetahui efek obat kolinergik pada kelenjar saliva kelinci dalam sekresi air liur.
 Mengetahui efek dan mekanisme kerja obat antikolinergik pada kelenjar saliva
kelinci dalam sekresi air liur.
 Mengevaluasi aktivitas obat kolinergik dan aktivitas obat antikolinergik pada
neuroefektor parasimpatis.

134
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar

Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi
visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal,
pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik
utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa
detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan
tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam
beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk
melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap
homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO
merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut
SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di
batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion
(preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang
terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut
preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti
yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP.
Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic
fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima
impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk
medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang
telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat
yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai
dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom
mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom
bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan
mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut
dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada
sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
135
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik
 Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
 Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale,
propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik
 Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari
saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
 Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (atropine)

Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya


mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang
disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.

Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :

1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan
terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot
rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan,
aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach.

136
Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :

1. Obat adrenergik kerja langsung


Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic
di membran sel efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam
kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya,
isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β dan sedikit sekali pengaruhnya
pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan pada reseptor α. Jadi
suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang terutama
dipengaruhi oleh obat.
2. Obat adrenergik kerja tidak langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak
lansung artinya menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan
dalam ujung saraf adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam
waktu singkat singkat akan menimbulkan takifilaksis.

137
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

 Alat suntik
 Timbangan
 Wadah tempat pengamatan
 Gelas ukur
 Kelinci
 Fenobarbital 25mg/kg BB
 Pilokarpin nitrat 5mg/kg BB
 Atropine sulfat 0,25mg/kg BB

3.2 Prosedur Kerja


 Kelinci disedasikan dahulu dengan larutan Phenobarbital natrium melalui intravena
(telinga kelinci).
 Setelah 5 menit penyuntikan Phenobarbital dan kelinci mengalami efek sedasi atau
tenang, kelinci selanjutnya disuntikkan kembali cairan obat pilokarpin secara i.m (
otot paha kelinci). Catat waktu penyuntikan.
 Amati perubahan yang terjadi pada kelinci, jika saliva muncul catat waktu muncul
efek salivasinya dan tampung saliva yang dieksresikan menggunakan corong
kedalam gelas ukur.
 Hitung dan catat saliva yang dikeluarkan.
 Setelah 5 menit terjadinya hipersalivasi, suntikkan atropine sulfat.
 Tampung saliva yang diekskresikan dalam gelas ukur baru (selama 5 menit).
.

138
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan Dosis


a. Dosis Phenobarbital
untuk efek sedasi digunakan sejumlah 25 mg/kg BB
Berat kelinci yang ditimbang : 2,44 kg
Sediaan Phenobarbital : 50 mg/ml
Jadi dosis untuk kelinci adalah  2,44 kg x 25 mg/kg = 61 mg
61𝑚𝑔
Jumlah phenobarbital yang harus disuntikkan adalah 50𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙 = 1,22 𝑚𝑙

b. Dosis pilokarpin
Digunakan sejumlah 5 mg/kg BB
Sediaan pilokarpin : 20 mg/5ml
Jadi dosis untuk kelinci adalah  2,44 kg x 5 mg/kg = 12,2 mg
12,2𝑚𝑔
Jumlah pilokarpin yang harus diambil adalah  𝑥 1𝑚𝑙 = 3.05 𝑚𝑙
4 𝑚𝑔

c. Dosis Atropin
Digunakan sejumlah 0,25 mg/kg BB
Sediaan atropine : 0,25 mg/ml
Jadi dosis untuk kelinci adalah  2,44 kg x 0,25 mg/kg = 0,61 mg
0,61𝑚𝑔
Jumlah atropine yang harus diambil adalah  0,25𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙 = 2,44 𝑚𝑙

4.2 Hasil Pengamatan


Rute Jumlah air liur
Obat yang Efek yang Waktu
pemberiaan yang dihasilkan
disuntikan dihasilkan timbulnya efek
obat (ml) selama 5 menit
14:53 WIB (5
Phenobarbital Intravena
Sedasi (tenang) menit setelah -
(1,20ml) (telinga kelinci)
penyuntikan)
Pilokarpin Intra muscular
hipersaliva 14:58 WIB 5ml
(3,05ml) (otot paha)
Atropin Pengurangan
intravena 15:03 WIB 2,4ml
(2,40ml) saliva

139
4.3 Pembahasan

Pada praktikum ini dilakukan pengamatan untuk mengetahui efek obat kolinergik
dan antikolinergik pada kelenjar saliva kelinci. Terlebih dahulu kelinci ditimbang untuk
selanjutnya dihitung dosis Phenobarbital yang akan disuntikkan. Phenobarbital yang
disuntikkan sebanyak 1,2 ml. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan efek sedasi pada
kelinci sehingga kelinci akan lebih tenang dan saraf parasimpatis dapat bekerja maksimal
merangsang eksresi kelenjar saliva ketika kelinci dalam keadaan tenang atau istirahat.
Selanjutnya kelinci disuntikkan obat kolinergik pilokarpin sebanyak 3,05 ml secara
intra muscular. Hasil yang diperoleh adalah ekskresi air liur dari kelinci sebanyak 5 ml
selama 5 menit. Kelinci mengalami hipersalivasi setelah penyuntikan pilokarpin. Setelah
5 menit penyuntikan pilokarpin, kelinci kembali disuntikkan obat atropine sebanyak 2,4
ml. Diperoleh hasil berupa eksresi air liur kelinci sebanyak 2,4 ml.
Terjadi pengurangan pengeluaran air liur kelinci sebanyak 2,6 ml setelah
penyuntikkan atropine sulfat. Hal ini membuktikan bahwa pemberian obat kolinergik
pilokarpin dapat meningkatkan kelenjar saliva kelinci untuk mengeluarkan air liur karena
pilokarpin memberikan efek muskarinik dan efek nikotinik. Pilokorpin dapat
menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar ludah yang terjadi karena perangsangan
langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik).
Sedangkan pemberian obat atropine dapat menghambat eksresi kelenjar saliva. Atropin
sulfat merupakan antikolinergik golongan anti muskarinik yaitu golongan yang menyekat
sinaps muskarinik saraf parasimpatis secara selektif. Pada percobaan, atropin
memperlihatkan efek hambatan terhadap saraf parasimpatis dan rangsangan terhadap
saraf simpatis yaitu mukosa mulut kering (saliva berkurang).

Pertanyaan
1. Terangkan dari segi farmakologis (mekanisme) hasil pengamatan yang diperoleh.
Jawab :

Pada 14:53 setelah pemberian fenobarbital sebanyak 1,20 ml terjadi efek sedatif. Pada
menit ke 14:58 setelah pemberian pilokarpin sebanyak 3,05 ml terjadi efek
hipersaliva. Sedangkan pada menit ke 15:03 setelah pemberian atropin terjadi
pengurangan saliva.

140
2. Apakah saudara dapat menerapkan aspek tertentu dari hasil eksperimen ini dalam
pembedahan? Jelaskan.
Jawab :
Dapat, karena obat-obat yang digunakan dalam percobaan ini dapat memberikan efek
yang berbeda-beda sehingga dapat kami terapkan dalam dunia kesehatan terutama
untuk pembedahan.
3. Apakah tropin dapat meniadakan semua efek stimulan kholinergik? Berikan
keterangan untuk jawaban saudara.
Jawab :
Atropin dapat meniadakan semua efek stimulant kolinergik, karena atropin dapat
menyebabkan hambatan pada semua fungsi muskarinik

141
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pilokarpin sebagai
kolinergik mampu merangsang pengeluaran saliva pada kelinci percobaan sebanyak 5 ml.
Sedangkan atropin sebagai antikolinergik yang bersifat kebalikan dengan pilokarpin mampu
menghambat pengeluaran saliva pada kelinci pecoban sebanyak 2,4ml. Hal ini menunjukan
bahwa efek obat yang diberikan mampu merangsang atau menghambat saraf parasimpatis

142
DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ganiswara, S. 2008. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit Falkultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Gunawan. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Falkultas Kedokteran Universitas


Indonesia.

143
EFEK OBAT KOLINERGIK DAN
ANTIKOLINERGIK PADA MATA

144
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul percobaan


Efek obat kholinergik dan antikholinergik pada mata

1.2 Latar belakang


Sistem saraf otonom disusn oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi sistem saraf
simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan ( antagonis ). Dua perangkat neuron dalam
komponen otonom pada system saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan neuron
eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke SSP, di mana impuls itu
diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan
impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam system saraf
otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan system parasimpatis.
Dimana kedua system saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan
respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis (keseimbangan).
Kerja obat-obat pada system saraf simpatis dan system parasimpatis dapat berupa respon
yang merangsang atau menekan.

1.3 Tujuan percobaan


1. Memahami efek obat pada diameter pupil.
2. Memahami efek obat pada refleks korneal.
3. Memahami efek obat pada refleks cahaya.

145
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori
Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-
organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan
fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa
fungsi lain.
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang
bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel
efektor. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf
otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian
neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.
Menurut khasiatnya, obat otonom dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Parasimpatikomimetika (kolinergik) yang merangsang organ-organ yang dilayani


saraf parasimpatis dan meniru efek perangsangan oleh asetilkolin, misalnya pilokarpin
dan fisostigmin.
b. Parasimpatikolitika (antikolinergik) justru melawan efek-efek kilonergik, misalnya
alkaloida, belladona dan propantelin.

Pilokarpin merupakan obat kolinergik golongan alkaloid tumbuhan, yang bekerja


pada efektor muskarinik dan sedikit memperlihatkan sedikit efek nikotinik sehingga dapat
merangsang kerja kelenjar air mata dan dapa tmenimbulkan miosis dengan larutan 0,5 - 3%.
Obat tetes mata dengan zat akti pilokarpin berkhasiat menyembuhkan glaukoma dan mata
kering.

Atropin sulfat menghambat M. constrictor pupillae dan M. ciliaris lensa


mata,sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi).
Mekanisme kerja Atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara
reversible (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat
diatasi oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini
menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan. Hasil ikatan pada
reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil
siklase yang diakibatkan oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya.

146
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan bahan


 Alat yang digunakan :
- Alat pengukur diameter pupil mata (penggaris)
- Senter
- Pipet tetes
 Bahan yang digunakan :
- Larutan pilokarpin HCl 3 %
- Larutan atropine sulfat 2 %
- 1 ekor kelinci

3.2 Cara Kerja


1. Siapkan 1 ekor kelinci.
2. Amati, ukur dan catat diameter pupil kedua mata pada cahaya buram dan pada
cahaya terang dengan senter sebelum diberikan obat, bandingkan.
3. Pada mata kiri diteteskan dengan pilokarpin sebanyak 3 tetes kedalam kelopak mata
bawah, biarkan mata terbuka selama 1-2 menit sambil ditekan saluran nasolacrimal,
amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan cahaya terang.
4. Setelah terjadi miosis kuat pada mata kiri, diteteskan kembali atropine sebanyak 2
tetes tetes kedalam kelopak mata bawah pada mata kiri, biarkan mata terbuka selama
1-2 menit sambil ditekan saluran nasolacrimal, amati reflex pupil mata dengan
cahaya redup dan cahaya terang.
5. Selanjutnya pada mata kanan diteteskan atropine sebanyak 2 tetes kedalam kelopak
mata bawah, biarkan mata terbuka selama 1-2 menit sambil ditekan saluran
nasolacrimal, amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan cahaya terang.
6. Setelah itu diteteskan kembali pilokarpin sebanyak 3 tetes tetes kedalam kelopak
mata bawah pada mata kanan, biarkan mata terbuka selama 5 menit sambil ditekan
saluran nasolacrimal, amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan cahaya
terang.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada mata kanan , diteteskan kembali atropine sebanyak 2
tetes tetes kedalam kelopak mata bawah pada mata kiri, biarkan mata terbuka selama
1-2 menit

147
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahsan KELOMPOK 3
4.1 Hasil pengamatan

 Pengamatan sebelum pemberian obat


Cahaya Diameter mata kiri Diameter mata kanan
redup 0,9 cm 0,9 cm
terang 0.7 cm 0,7 cm

 Pengamatan setelah pemberian obat


 Mata kiri kelinci
Cahaya Pemberian obat pilokarpin Pemberian obat atropin
Redup 1 cm 0,7 cm
Terang 0,9 cm 0,7 cm

 Mata kanan kelinci


Pemberian obat pemberian obat Pemberian obat
Cahaya
atropin pilokarpin atropin
Redup 0,8 cm 1 cm 0,8 cm
Terang 0,7 cm 0,9 cm 0,7 cm

4.2 Pembahasan
Pada percobaan efek obat kholinergik dan antikholinergik pada mata,
menggunakan hewan coba yaitu kelinci. Langkah awal yang dilakukan sebelum
pemberian obat yaitu mengukur diameter pupil mata kiri dan kanan kelinci dengan 2
metode, yaitu cahaya redup dan cahaya terang (menggunakan senter). Pada mata kiri,
diameter yang diperoleh saat cahaya redup sebesar 1cm dan diameter yang diperoleh
saat cahaya terang sebesar 1 cm. Kemudian pada mata kanan, diperoleh diameter yang
sama seperti pada mata kiri kelinci.
Selanjutnya dilakukan pemberian obat pada kedua mata kelinci. Pada mata kiri
diberikan pilokarpin sebanyak 3 tetes dan diamkan selama 1-2 menit, kemudian
diukur diameter pupil dengan penggaris yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya
redup dan 0,7 cm saat cahaya terang. Pilokarpin menyebabkan penyempitan diameter
pupil, dikarenakan pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik, yang mana pada
penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan
148
kontraksi otot siliaris dan hal ini juga sesuai dengan teori bahwa pilokarpin
merupakan golongan obat kolinergik yang dapat memberikan efek miosis pada mata.
Lalu diberikan atropin sebanyak 2 tetes diamkan selama 1-2 menit, ukuran diameter
pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,8 cm saat cahaya terang.
Atropin menyebabkan pelebaran diameter pupil (dilatasi pupil) mata kelinci, hal ini
disebabkan karena atropin termasuk golongan antagonis kolinergik/parasimpatolitik/
merupakan antagonis kompetitif asetilkolin. Atropin sulfat menghambat M.
constrictor pupillae dan M. ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan
siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi).
Pada mata kanan diberikan atropin sebanyak 2 tetes dan diamkan selama 1-2
menit, ukuran diameter pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,8
cm pada cahaya terang. Kemudian diberikan pilokarpin sebanyak 3 tetes selama 1-2
menit, ukuran diameter pupil yang diperoleh sebesar 0,9cm pada cahaya redup dan
0,7 cm pada cahaya terang. Kemudian didiamkan selama 5 menit, lalu diberikan
atropin kembali sebanyak 2 tetes dan diamkan selama 1-2 menit. Ukuran diameter
pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 1 cm saat cahaya terang.
Penambahan atropin kembali bertujuan untuk melihat apakah reaksi pupil menjadi
normal ketika diteteskan atropin kembali, dan hasil yang didapat sesuai dengan teori
bahwa penambahan atropin dapat melebarkan pupil mata atau menormalkan kembali
mata yang menyempit ketika diteteskan pilokarpin.

Mengecilnya pupil saat diberikan cahaya terang yaitu karena pada mata
terdapat sfingter iris yang mengatur mengkoneksi pupil. Jika cahaya disinari ke dalam
mata, pupil akan mengecil ini disebut reflek cahaya pupil. Bila cahaya mengenai
retina maka terjadi impuls yang mula-mula berjalan ke nervus opticus dan kemudian
ke nukleus protektalis. Dari sini impuls berjalan nukleus Edinger-Westphal dan
akhirnya kembali melaui syaraf parasimpatis untuk mengkoneksikan sfinger tersebut.
Dalam keadaan gelap reflek ini dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi pupil

149
Hasil dan pembahasan KELOMPOK 4
4.1 Hasil Pengamatan

 Sebelum pemberian obat

Cahaya Diameter pupil mata kiri Diameter pupil mata kanan


kelinci (cm) kelinci (cm)
Cahaya redup 0,8 cm 0,8 cm
Cahaya terang 0,6 cm 0,6 cm

 Setelah pemberian obat


1. Mata kiri kelinci

Cahaya Diameter pupil mata (cm) pada Diameter pupil mata (cm)
pemberian obat pilokarpin pada pemberian obat atropin

Cahaya redup 0,6 cm 0,9 cm


Cahaya terang 0,4 cm 0,8 cm

2. Mata kanan kelinci

Cahaya Diameter pupil mata (cm) Diameter pupil mata (cm) Diameter pupil mata
pada pemberian obat pada pemberian obat (cm) pada pemberian
atropine pilokarpin obat atropin
Cahaya redup 0,9 cm 0,6 cm 0,9 cm
Cahaya terang 0,6 cm 0,4 cm 0,6 cm

4.2 Pembahasan

Pada percobaan efek obat kholinergik dan antikholinergik pada mata,


menggunakan hewan coba yaitu kelinci. Langkah awal yang dilakukan sebelum
pemberian obat yaitu mengukur diameter pupil mata kiri dan kanan kelinci dengan 2
metode, yaitu cahaya redup dan cahaya terang (menggunakan senter). Pada mata kiri,
diameter yang diperoleh saat cahaya redup sebesar 0,8 cm dan diameter yang diperoleh
saat cahaya terang sebesar 0,6 cm. Kemudian pada mata kanan, diperoleh diameter yang
sama seperti pada mata kiri kelinci.

150
Langkah selanjutnya adalah dilakukan pemberian obat pada kedua mata kelinci.
Pada mata kiri diberikan pilokarpin sebanyak 3 tetes dan diamkan selama 1-2 menit,
kemudian diukur diameter pupil dengan penggaris yang diperoleh sebesar 0,6 cm saat
cahaya redup dan 0,4 cm saat cahaya terang. Pilokarpin menyebabkan penyempitan
diameter pupil, dikarenakan pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik, yang mana
pada penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan
kontraksi otot siliaris dan hal ini juga sesuai dengan teori bahwa pilokarpin merupakan
golongan obat kolinergik yang dapat memberikan efek miosis pada mata. Lalu diberikan
atropin sebanyak 2 tetes diamkan selama 1-2 menit, ukuran diameter pupil yang
diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,8 cm saat cahaya terang. Atropin
menyebabkan pelebaran diameter pupil (dilatasi pupil) mata kelinci, hal ini disebabkan
karena atropin termasuk golongan antagonis kolinergik/parasimpatolitik/ merupakan
antagonis kompetitif asetilkolin. Atropin sulfat menghambat M. constrictor pupillae dan
M. ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis
mekanisme akomodasi).
Pada mata kanan diberikan atropin sebanyak 2 tetes dan diamkan selama 1-2
menit, ukuran diameter pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,6
cm pada cahaya terang. Kemudian diberikan pilokarpin sebanyak 3 tetes selama 1-2
menit, ukuran diameter pupil yang diperoleh sebesar 0,6 cm pada cahaya redup dan 0,4
cm pada cahaya terang. Kemudian didiamkan selama 5 menit, lalu diberikan atropin
kembali sebanyak 2 tetes dan diamkan selama 1-2 menit. Ukuran diameter pupil yang
diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,6 cm saat cahaya terang. Penambahan
atropin kembali bertujuan untuk melihat apakah reaksi pupil menjadi normal ketika
diteteskan atropin kembali, dan hasil yang didapat sesuai dengan teori bahwa
penambahan atropin dapat melebarkan pupil mata atau menormalkan kembali mata yang
menyempit ketika diteteskan pilokarpin.
Mengecilnya pupil saat diberikan cahaya terang yaitu karena pada mata terdapat
sfingter iris yang mengatur mengkoneksi pupil. Jika cahaya disinari ke dalam mata, pupil
akan mengecil ini disebut reflek cahaya pupil. Bila cahaya mengenai retina maka terjadi
impuls yang mula-mula berjalan ke nervus opticus dan kemudian ke nukleus protektalis.
Dari sini impuls berjalan nukleus Edinger-Westphal dan akhirnya kembali melaui syaraf
parasimpatis untuk mengkoneksikan sfinger tersebut. Dalam keadaan gelap reflek ini
dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi pupil.

151
Pertanyaan :

1. Sebutkan tujuan penggunaan pilokarpin,fisostigmin dan atropin optalmologi.


Jawab :
 Pilokarpin untuk amiotik (para simpatomimetik) digunakan untuk
mengendalikan tekanan intra okuler,dapat digunakan secara kombinasi
dengan miotik lainnya
 Fisostigmin menyebabkan miosis dan kekakuan akomodasi dan penurunan
tekanan bola mata digunakan untuk mengobati glukoma
 Atropin untuk melepaskan perlengkatan yang terjadi pada radang mata
dengan melebarkan pupil dan sikloplegik (melumpuhan iris/selaput
pelangi mata)

2. Sebutkan kontraindikasi masing-masing pemakaian obat di atas dalam optalmologi,


jika ada dan jelaskan.
Jawab :

Pilokarpin

 Kontraindikasi:

Radang iris akut, radang uvea akut, beberapa untuk glaucoma sekunder, radang akut
segmen mata depan, penggunaan pasca bedah sudut tertutup tidak dianjurkan, dan
hipersensitif terhadap satu atau lebih kandungan obat ini.

Atropin

 Kontraindikasi :

Glaukoma sudut tertutup, obstruksi/sumbatan saluran pencernaan dan saluran kemih,


atoni (tidak adanya ketegangan atau kekuatan otot) saluran pencernaan, ileus
paralitikum, asma, miastenia gravis, kolitis ulserativa, hernia hiatal, penyakit hati dan
ginjal yang serius.

Fisostigmin
 Kontraindikasi
Penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut

152
BAB V
PENUTUP

5.2 Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa


atropin mampu mendilatasi atau memperlebar pupil mata serta mampu menormalkan
keadaan pupil mata ketika dalam keadaan miosis.sedangkan pada pilokarpin mampu
memperkecil pupil mata pada keadaan midriasis ataupun normal.
Mengecilnya pupil mata pada keadaan cahaya terang karena adanya refleks
cahaya pupil. Sedangkan pada keadaan cahaya redup pupil mata tetap mengecil
karena masih adanya cahaya namun karena redup refleks pupil masih dihambat.

153
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: UI-Press

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi keenam. Jakarta: EGC

Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Gaya Baru

154
DIURETIKA

155
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Percobaan


Diuretik
1.2 Latar Belakang
Dalam mempertahankan homeostatis, ekskresi air dan elektrolit pada asupan harus melebihi ekskresi
karena sebagian dari jumlah air dan elektrolit tersebut akan diikat dalam tubuh. Jika asupan kurang
dari ekskresi maka jumlah zat dalam tubuh akan berkurang. Kapasitas ginjal untuk mengubah ekskresi
natrium sebagai respont terhadap perubahan asupan natrium akan sangat besar. Hal ini sesuai untuk
air dan kebanyakan elektrolit lainnya seperti klorida, kalium, kalsium, hidrogen, magnesium, dan
fosfat.
Obat diuretik adalah sekelompok obat yang dapat meningkatkan laju pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang
diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah keseimbangan
cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal. Obat-obatan yang
menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan
penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine
dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut
secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic. Perubahan Osmotik dimana dalam
tubulus menjadi meningkat karena Natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak
didalam tubulus ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic
meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion didalam urine dan
darah.
Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler) yang
terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli bekerja sebagai saringan halus yang
menyaring darah. Di dalam darah terkandung garam, air, dan glukosa. filtrat yang diperoleh
mengandung banyak air serta elektrolit ditampung di wadah, yang mengelilingi setiap glomerulus
seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil yaitu ke tubulus proksimal.
Di sini terjadi peristiwa reabsorbsi secara aktif dari air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh,
seperti glukosa dan garam-garam antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui
kapiler yang mengelilingi tubuli, sisanya yang tak berguna seperti ”sampah” perombakan
metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. Hasilnya urine akan diserap
kembali di tubulus distal dan dikumpulkan di duktus kolektivus dan ditimbun di kandung kemih
sebagai urin sesungguhnya. Ada 5 jenis obat diuretik yaitu diuretik osmotik, inhibitor karbonik
anhidrase, loop diuretik (diuretik kuat), tiazid dan diuretik hemat kalium (potassium sparing diuretik).

156
1.3Tujuan Percobaan
 Memahami kerja farmakologi dari beberapa kelompok diuretik, sehingga dapat
memperoleh gambaran cara evaluasi efek diuretik.
 Untuk mengetahui efek dari obat diuretic pada hewan percobaan
 Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat
diuretic
 Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik.

1.4 Prinsip Percobaan


Penentuan efek farmakologi dari obat-obat diuretik yaitu furosemide terhadap
tikus yang telah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap frekuensi urinasi
dan volume urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3 jam.

157
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar


Diuretik adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit) (Mutschler,1991).
Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretika bukan ‘obat ginjal’ artinya senyawa ini
tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada
pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan
penggunaan senyawa ini. Beberapa diuretika pada awal pengbatan justru memperkecil
eksresi zat-zat penting urin demgan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga
memperburuk insufisiensi ginjal (Mutschler,1991).
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya
zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digosin,teofilin), memperbesar volume
darah (dekstran),atau merintangi sekresi hormone antidiuretika ADH (air,alkohol).
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah jalan mengeluarkan
semua zat asing dan sisa pertukaran zat dalam darah dimnaa semuanya melintasi
saringan ginjal lecuali zat putih telur dan sel-sel darah.
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengarturan homeostasis, yakni keseimbangan
dinamis anatara cairan intra dan ekstrasel,serta pemeliharaan volume total dan susunan
cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian
besar terhadap diluar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.
Mekanisme kerja obat diuretik
a. Tubuli Proksimal,ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini
direabsorbsi secara aktif untuk kurang lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air,
begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara
proporsional, maka susunan filtrate tidak berubah dan tetap isotonis terhadap
plasma. Diuretika osmosis (manitol,sorbitol)bekerja disini dengan merintangi
reabsorbsi air dan jug natrium.
b. Lengkungan henle.diagian menaik dari henle’s loop ini k,l 25% absorbsi pasif dari
Na+ dan k+ tetapi hingga filtrate menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan seperti
158
furosemide dan etakrinat, bekerjaa terutama disini dengan merintangi transport Cl-
dan demikian reabsorbsi Na+ pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
c. Tubuli distal dibagian pertama sgmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa
air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. senyawa thiazidadan
klortaidion bekerja ditempat ini dengan memperbanyak eksreksi Na+ dan Cl-
sebesar 5-10%. Dibagian kedua segmen ini,ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau
–NH4+ ; Proses ini dikendalikan oleh hormone anak ginjal aldosterone antagonis
aldosterone (spirolacton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida,triateren)
bertitik kerja disini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (5%) dan retensi –k+.
d. Saluran pengumpul hormone antidiuretika ADH (vasoprin) dari hipofisis bertitik
kerja disini dengan jalan memengaruhi bagi air dari sel-sel saluran ini. (Mariska
syafri;2011).

Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :

1. Inhibitor karbonik anhidrase (asetazolamid).


2. Loop diuretik (furosemid, asetakrinat, torsemid, bumetanid)
3. Tiazid (klorotiazid, hidroklorotiazid, klortalidon)
4. Hemat kalium (amilorid, spironolakton, triamteren)
5. Osmotik (manitol, urea)
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesikan
simpanan natrium tubuh. Awanya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan
menurunkan volume darah dan curah jantung, tahanan vaskuler perifer. Penurunan
tekanan darah dapat terlihat dengan terjadinya diuresis. Diuresis menyebabkan
penurunan volume plasma dan stoke volume yang akan menurunkan curah jantung dan
akhirnya menurunkan tekanan darah.

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik :


1. Tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang
reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ
3. Interaksi antara obat dengan reseptor
Kebanyakan diuretic bekerja dengan mengurangi reabsorsi natrium sehingga
pegeluarannya lewat kemih, dan demikian juga dari air – air diperbanyak. Obat – obat
ini bekerja khusus terhadap tubuli.
159
 Pemilihan diuretic
Diuretic thiazide tepat digunakan untuk sebagian besar pasien dengan
hipertensi ringan atau sedang serta dengan fungsi jantung dan ginjal normal. Diuretic
yang lebih kuat (misalnya diuretic yang bekerja pada loop of handle ) diperlukan
untuk hipertensi parah, apabila digunakan kombinasi obat yang menyebabka retensi
natrium. Pada insufiensi ginjal, bila tingkat filtrasi glumeruler kurang dari 30 atau 40
ml/menit pada gagal jantung atau sirosis, ketika terdapat retensi natrium.
Diuretic hemat-kalium berguna untuk menghindari terjadinya deolesi kalium
yang berlebihan, khususnya pada pasien yang menggunakan digitalis dan untuk
memperkuat efek natriuretik diuretic lainnya.
 Penentuan dosis
Walaupun farmakokinetikdan farmakodinamik berbagai diuretic berbeda,
tetapi titik akhir efek terapeuretik dalam pengobatan hipertensi umumnya adalah pada
efek natrium resisnya. Walaupun demikian harus diketahui bahwa dalam keadaan
tunak seperti pada penanganan jangka panjang, ekskresi natrium harian sama – sama
dengan pemasukan natrium dari makanan. Diuretic diperlukan untuk melawan
kecenderungan terjadinya retensi natrium yang pada pasien dengan deplesi natrium
yang relatif, walaupun diuretic thiazide lebih bersifat natriuretik pada dosis tinggi
(100 mg – 200 mg hydrochlorothiazide) bila digunakan sebagai obat tunggal dosis
rendah (25-50 mg ) memberikan efek diuretic seperti hanya pada dosis tinggi.
 Toksisitas diuretic
Pada pengobatan hipertensi sebagian besar efek samping yang lazim terjadi
adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak
pasien, hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien
dengan eritmia kronis, pada infraktus miokardium akut atau disfungsi ventriks kiri.
Kehilangan kalium diimbangi dengan reansorbsi natrium oleh karenanya pembatasan
asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretic glukosa dan
peningkatan konsenutrasi lemak serum. Diuretic dapat meningkatkan konsentrasi uric
acid dan menyebabkan terjadinya gout(pirai). Penggunaan dosis rendah dapat
meminimalkan efek metabolic yang tidak diinginkan tanpa mengganggu efek
antihipertensinnya.

160
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan

 ekor tikus putih jantan


 Furosemid Na (dosis 0,5mg/kgBB dan 13,5mg/kgBB)
 Larutan NaCl fisiologik 0,5ml
 Timbangan tikus
 Spuid
 Sonde oral
 Kandang khusus untuk pengamatan
 Beaker glass
 Gelas ukur 10ml

3.2 Prosedur Kerja


1. Tikus dipuasakan selama 12-16jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Hewan percobaan ditimbang untuk menghitung dosis obat yang akan diberikan.
3. Semua tikus diberikan air hangat per oral sebanyak 50ml/kgBB.
4. Masing-masing tikus diberikan furosemid sesuai dosis atau NaCl fisiologis.
5. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang
didisain untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses.
Pengamatan
1. Kumpulkan urine dan catat pengeluaran urine setiap 20menit. (urine 20menit
pertama dibuang, karena dianggap bukan mula kerja obat).
2. Tabelkan data-data yang diperoleh mulai muncul efek, frekuansi urinasi,
volume uinasi kulatif.
3. Hitung presentasi volume kumulatif urine yang diekskresi sebagai :
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑟𝑖𝑛𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 3𝑗𝑎𝑚
𝑥 100% = ⋯ %
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑙
4. Gunakan kriteria efek positif jika presentase ini melebihi 75% dari volume air
yang diberikan

161
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan KELOMPOK 1


A. Perhitungan Dosis
1. Tikus I
Bobot tikus = 137 g =0,137 kg
Air panas =50ml/kgBB
=50 ml/kg x 0,137 kg
=6,85 ml = 7 ml
2. Tikus 2
Bobot tikus =129 g =0,129 kg
Air panas =50 ml/kg BB
=50 ml/kg x 0,153 kg
=7,65 ml = 8 ml
3. Tikus 3
Bobot tikus =153 g = 0,153 kg
Air panas =50 ml/kg BB
=50 ml/kg x 0,153 kg
=7,65 ml=8 ml

 Volume obat furosemide


 BB tikus 1 =137 g = 0,137 kg
Dosis = 0,137 kg x 0,5 ml/kg BB
=0,0685 mg
0,0685 𝑚𝑔
Volume obat x1ml =0,00685 ml
10 𝑚𝑔
Pengenceran 100x =0,68 ml = 7ml

 BB tikus 2 = 129 g = 0,129 kg


Dosis =0,129 kg x 13,5 mg/kg BB
= 1,74 mg
1,74 𝑚𝑔
Volume obat x1ml =0,174 ml = 0,18 ml
10 𝑚𝑔

162
 BB tikus 3 = 153 g = 0,153 kg
Dosis =0,153 kg x 0,5 mg/kg BB
=0,076 mg
0,076 𝑚𝑔
Volume obat x1ml =0,0076 ml
10 𝑚𝑔
Pengenceran 100x =0,76 ml = 0,75 ml

I. TIKUS I (Furosemid 0,5 mg/kg BB)


Waktu Frekuensi Volume %
20 4 0,4 ml
40 1 1,2 ml
60 1 0,5 ml
80 1 1 ml
100 1 0,2 ml
120 1 0,2 ml
140 1 0,2 ml
160 1 0,2 ml
180 - -
Jumlah 11 frekuensi 3,9 ml 78%

𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒖𝒓𝒊𝒏𝒆 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒆𝒌𝒔𝒌𝒓𝒆𝒔𝒊𝒌𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝟑 𝒋𝒂𝒎


x 100% =
𝒗𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒂𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒆𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒐𝒓𝒂𝒍
𝟑,𝟗 𝒎𝒍
x 100% = 78%
𝟓 𝒎𝒍

163
II. TIKUS II (Furosemid 13,5 mg/kg BB)
Waktu Frekuensi Volume %
20 - -
40 - -
60 1 1 ml
80 1 0,6 ml
100 1 0,5 ml
120 - -
140 - -
160 - -
180 - -
Jumlah 3 frekuensi 2,1 ml 42%

𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒖𝒓𝒊𝒏𝒆 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒆𝒌𝒔𝒌𝒓𝒆𝒔𝒊𝒌𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝟑 𝒋𝒂𝒎


x 100% =
𝒗𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒂𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒆𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒐𝒓𝒂𝒍
𝟐,𝟏 𝒎𝒍
x 100% =42%
𝟓 𝒎𝒍
III. TIKUS III (Nacl 0,5)
Waktu Frekuensi Volume %
20 2 0,4 ml
40 - -
60 - -
80 1 0,2 ml
100 - -
120 - -
140 - -
160 - -
180 - -
Jumlah 3 frekuensi 0,6 ml 12%

𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒖𝒓𝒊𝒏𝒆 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒆𝒌𝒔𝒌𝒓𝒆𝒔𝒊𝒌𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝟑 𝒋𝒂𝒎


x 100% =
𝒗𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒂𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒆𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒐𝒓𝒂𝒍
𝟎,𝟔 𝒎𝒍
x 100% = 12%
𝟓 𝒎𝒍

164
4.2 Pembahasan

Pada pratikum ini kami melakukan percobaan diuretika dengan


menggunakan obat furosemide dan tikus sebagai hewan ujinya. Diuretika
sendiri berfungsi sebagai obat yang dapat menambah kecepatan
pembentukan urine. Dengan kata lain adalah berfungsi membuat produksi
urine meningkat. Hal ini dilakukan dengan maksud mencuci atau
membilas ginjal dari zat-zat berbahaya.
Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan
selama 16 jam tetap di beri minum ini untuk mencegah sebelum
diberikan obat untuk menghilangkan faktor makanan. Namun walaupun
demikian factor variasi biologis dari hewan tidak dapat dihilangkan
sehingga factor ini relative dapat mempengaruhi hasil.
Tikus 1 dierikan furosemide 0,5 mg/kg BB,dan tikus 2 diberi
furosemide 13,5 mg/kg BB,dan tikus 3 sebagai control di beri Nacl 0,5
dengan dosis yang telah diperhitungkan. Sebelum di beri obat,tikus
terlebih dahulu ditimbang dan diberi air hangat menggunakan sonde.
Tujuannya adalah untuk membantu mempercepat atau memperbanyak
urin yang dikeluarkan setelah masing-masing tikus disuntikkan atau
diberi obat,tikus langsung dimasukkan kesebuah tempat yaitu kandang
metabolism. Masing-masing tikus diletakkan pada kandang yang berbeda.
Kemudian urine tersebut di tamping meggunakan gelas ukur. Setelah itu
urine yang telah ditampung menggunakan gelas ukur tersebut diukur dan
dicatat berapa banyak keluarnya. Masing-masing urin tikus diukur
dengan selang waktu 3 jam.
Dari hasil data pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus 1
dan 2 menghasilkan urin lebih banyak disbanding tikus 3 ini berarti
penggunaan furosemide pada tikus 2 dan 3 memberikan hasil yang
negatif.

165
Hasil dan pembahasan KELOMPOK 2

4.1 Data biologis

Hewan percobaan Berat badan (kg) Obat yang diberikan


Tikus I 0,145 Furosemid Na 0,5mg/kgBB
Tikus II 0,129 Furosemid Na 13,5mg/kgBB
Tikus III 0,153 NaCl fisiologik 0,5ml

Perhitungan dosis

 Tikus I
0,5𝑚𝑔
Dosis furosemid pada tikus 𝑥 0,145 𝑘𝑔 = 0,0725𝑚𝑔
𝑘𝑔𝐵𝐵

Kadar furosemid 10mg/ml

0,0725𝑚𝑔
Volume furosemid yang diambil 𝑥 1𝑚𝑙 = 0,00725𝑚𝑙 𝑥 100
10𝑚𝑔

= 0,725𝑚𝑙 ~ 0,7𝑚𝑙

50𝑚𝑙
Volume air hangat yang diambil 𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 0,145𝑘𝑔 = 7,25𝑚𝑙 ~ 5𝑚𝑙

 Tikus II
13,5𝑚𝑔
Dosis furosemid pada tikus 𝑥 0,129 𝑘𝑔 = 1,7415𝑚𝑔
𝑘𝑔𝐵𝐵

Kadar furosemid 10mg/ml

1,7415𝑚𝑔
Volume furosemid yang diambil 𝑥 1𝑚𝑙 = 0,174𝑚𝑙 ~ 0,18𝑚𝑙
10𝑚𝑔

50𝑚𝑙
Volume air hangat yang diambil 𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 0,129𝑘𝑔 = 6,45𝑚𝑙 ~ 5𝑚𝑙

 Tikus III
0,5𝑚𝑔
Dosis furosemid pada tikus 𝑥 0,153 𝑘𝑔 = 0,076𝑚𝑔
𝑘𝑔𝐵𝐵
0,076𝑚𝑔
Volume NaCl fisiologik yang diambil 𝑥 1𝑚𝑙 = 0,0076𝑚𝑙 𝑥 100
10𝑚𝑔

=0,76ml ~ 0,75ml
50𝑚𝑙
Volume air hangat yang diambil 𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 0,153𝑘𝑔 = 7,65𝑚𝑙 ~ 8𝑚𝑙

166
4.2 Hasil Pengamatan

Hewan
Waktu (menit) Volume (ml) Frekuensi %
percobaan
Tikus I
(Furosemid 180 2 3 40%
0,5mg/kgBB)
Tikus II
(Furosemid 180 5,4 9 108%
13,5mg/kgBB)
Tikus III
(Larutan NaCl 180 0,6 3 12%
fisiologis 0,9%)

Catatan : pengamatan dilakukan selama 180 menit, tetapi urin yang keluar pada 20menit
pertama tidak dihitung (dibuang).

Perhitungan presentase :

 Tikus I
2𝑚𝑙
𝑥 100% = 40%
5𝑚𝑙
 Tikus II
5,4𝑚𝑙
𝑥 100% = 108%
5𝑚𝑙
 Tikus III
0,6𝑚𝑙
𝑥 100% = 12%
5𝑚𝑙

4.3 Pembahasan

Praktikum kali ini berkaitan dengan diuretik. Diuretik adalah obat yang dapat
menambah kecepatan pembentukan urin. Fungsi utama diuretik adalah untuk
memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa
sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal.
Proses pengerjaan praktikum ini adalah dengan diinjeksikan menggunakan
furosemid dengan dosis yang berbeda. Furosemid termasuk kedalam golongan diuretik
167
kuat. Mekanisme kerjanya dengan menyebabkan ginjal untuk membuang air dan garam
yang tidak dibutuhkan dari tubuh melalui urin. Sedangkan, tikus sebagai hewan ujinya
sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan selama 16 jam tetapi
tetap di beri minum ini untuk mencegah sebelum diberikan obat untuk menghilangakn
faktor makanan.namun walaupun demikian faktor variasi biologis dari hewan tidak dapat
di hilangkan sehingga faktor ini relative dapat mempengaruhi hasil.
Tikus diberi furosemid dengan dosis 0,5mg/kgBB dan 13,5mg/kgBB. Sebelum
diberi obat, tikus terlebih dahulu diberi air hangat menggunakan sonde. Tujuan nya
adalah untuk membantu mempercepat atau memperbanyak urin yang dikeluarkan. Cara
kerja obat furosemid, karena furosemid adalah diuretik kuat yang digunakan untuk
menghilangkan air dan garam dari tubuh. Pada ginjal, bahan-bahan seperti garam,air dan
molekul kecil lainnya yang biasanya akan disaring keluar dari darah dan masuk kedalam
tubulus ginjal. Akhirnya cairan yang disaring menjadi air seni. Sebagian besar natrium,
klorida dan air yang disaring dari darah diserap kedalam darah sebelum cairan disaring
menjadi air kencing dan dihilangkan dari tubuh. Furosemid bekerja menghalangi
penyerapan natrium, klorida, dan air dari cairan yang disaring dalam tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan mendalam output urin.
Tikus I dengan BB 0,145kg diberikan furosemid dengan dosis 13,5mg/kgBB
sedangkan tikus II dengan BB 0,129kg diberikan furosemid dengan dosis 0,5mg/kgBB,
tikus III diberikan NaCl fisiologik yang hanya berfungsi sebagai kontrol. Dengan begitu
diharapkan tikus I lebih banyak mengekskresikan urine dibanding tikus II. Tetapi dari
percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa tikus II lebih banyak
mengekskresikan urine dibanding tikus I. Hal ini terjadi karena sewaktu menginjeksikan
air hangat maupun furosemid pada tikus I mengalami stress sehingga berontak maka
tidak seluruhnya volume air hangat maupun furosemid yang diinjeksikan masuk ke
dalam tubuh tikus.
Berdasarkan syarat presentase efek positif diuretik yaitu melebihi 75%, maka
dari percobaan yang telah dilakukan hasil efek positif hanya diperoleh pada tikus II yaitu
forusemid dengan dosis 0,5mg/kgBB yang diinjeksikan pada tikus dengan BB 0,129kg
dengan presentase 108%.

168
Pertanyaan

1. Sebutkan satu contoh dari tiap golongan diuretika dan jelaskan masing-masing
mekanisme kerja dan lokasi aktivitas kerja antidiuretikanya di nefron ginjal.
Jawab :
A. Diuretika Lengkungan.
Obat-obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6). Banyak
digunakan dalam keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-paru.
Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis dinaikkan efeknya senantiasa
bertambah. Contoh obatnya adalah furosemidayang merupakan turunan sulfonamid
dan dapat digunakan untuk obat hipertensi.Mekanisme kerjanya dengan
menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle
(lengkungan Henle) dan tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-
binding, yang menyebabkan naiknya eksresi air, Na, Mg,dan Ca. Contoh obat
paten: frusemide, lasix, impugan
B. Derivat Thiazida.
Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih lama, terutama digunakan pada terapi
pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Memiliki kurva dosis-efek datar
yaitu jika dosis optimal dinaikkan, efeknya (diuresis dan penurunan tekanan
darah) tidak bertambah. Contoh obatnya adalah hidroklorthiazida adalah senyawa
sulfamoyl dari turunan klorthiazida yang dikembangkan dari sulfonamid. Bekerja
pada tubulus distal, efek diuretiknya lebih ringan daripada diuretika lengkungan
tetapi lebih lama yaitu 6-12 jam.Banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk
hipertensi ringan sampai sedangkarena daya hipitensifnya lebih kuat pada jangka
panjang. Resorpsi di usus sampai 80% dengan waktu paruh 6-15 jam dan
diekskresi lewat urin secara utuh.Contoh obat patennya adalah Lorinid,
Moduretik, Dytenzide

C. Diuretik antagonis aldosteron.


Efek obat-obat ini lemah dan khusus digunakan terkominasi dengan diuretika
lainnya untuk menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan
ekskresi K, proses ini dihambat secara kompetitif oleh antagonis alosteron.
Contoh obatnya adalah spironolakton yang merupakan pengambat aldosteron
mempunyai struktur mirip dengan hormon alamiah.Kerjanya mulai setelah 2-3
hari dan bertahan sampai beberap hari setelah Pengobatan dihentikan. Daya
diuretisnya agak lemah sehingga dikombinasikan dengan diuretika lainnya. Efek

169
dari kombinasi ini adalah adisi. Pada gagal jantung berat, spironolakton dapat
mengurangi resiko kematian sampai 30%.Resorpsinya di usus tidak lengkap dan
diperbesar oleh makanan. Dalam hati, zat ini diubah menjadi metabolit aktifnya,
kanrenon, yang diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam metabolit aktif
waktu paruhnya menjadi lebih panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada
penggunaan lama dan dosis tinggi akan mengakibatkan gangguan potensi dan
libido pada pria dan gangguan haid padawanita. Contoh obat paten: Aldacton,
Letonal

D. Diuretik hemat kalium jenis sikloamidin. Contoh : triamteren dan amilorid.Kedua


obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkanekskresi
kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan.Efek
penghambatan reabsorpsi natrium dan klorida oleh triameteren agaknyasuatu efek
langsung, tidak melalui penghambatan aldosteron, karena obat inimemperlihatkan
efek yang sama baik pada keadaan normal, maupun setelah adrenalektomi.
Triameren menurunkan ekskresi K + dengan menghambat sekresikalium di sel
tubuli distal. Berkurangnya reaabsorpsi natrium di tempat tersebut mengakibatkan
turunnya perbedaan potensial listrik transtubular,sedangkan adanya perbedaan
potensial listrik transtubular ini diperlukan untuk berlangsungnya proses sekresi
K + oleh sel tubuli distat. Secara eksperimental, obatini efektif dalam keadaan
asidosis maupun alkalosis.

E. Perintang Karbonanhidrase. Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase ditubuli


proksimal, sehingga disamping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih
banyak, bersamaan dengan air. Khasiat diuretiknya lemah, setelah beberapahari
terjadi tachyfylaxie maka perlu digunakan secara berselang-seling. Asetozolamid
diturunkan dari sulfanilamid. Efek diuresisnya berdasarkan penghalangan enzim
karboanhidrase yang mengkatalis reaksi berikut: CO 2 + H 2 O H 2 CO 3 H + +
HCO 3 + . Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion
H + lagi untuk ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatanekskresi Na, K,
bikarbonat, dan air. Obat ini dapat digunakan sebagai obat antiepilepsi, bat
‘penyakit ketinggian’. Resorpsinya baik dan mulai bekerja dl 1-3jam dan bertahan
selama 10 jam. Waktu paruhnya dalam plasma adalah 3-6 jamdan diekskresikan
lewat urin secara utuh. Obat patennya adalah Miamox

170
2. Diuretika bekerja di ginjal, apakah diuretika dapat menyembuhkan penyakit
ginjal tanpa pengobatan lain atau tindakan lain
Jawab :
Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan ‘obat ginjal’,artinya senyawa
ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada
pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan
penggunaan senyawa ini. Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru
memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus
sehingga memperburuk insufisiensi ginjal. ( Mutschler, 1991)
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui kerja
langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya
zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume
darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan
semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana semuanya melintasi
saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan
dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan
cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk
sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.

3. Sebutkan efek samping tak diinginkan atau toksisitas yang dapat ditimbulkan
diuretika bedasarkan mekanisme kerjanya.
Jawab:
Efek samping
Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang
sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium
yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa
diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal yang berat. Efek samping yang lebih ringan dan reversibel diantaranya
ginekomastia, dan gejala saluran cerna

171
BAB V
PRNUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh 2 hasil yang memenuhi syarat
presentase efek positif diuretik melebihi 75%, yaitu pada tikus I dengan presentase 78%
dan tikus IV dengan presentase 108%.

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.

 Diuretik dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik


hemat kalium, diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik
anhidrase, diuretik osmotik
 Furosemid, adalah sebuah obat yang digunakan untuk meningkatkan produksi urin.
 Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal.
Obat furosemid memiliki efek diuresik kuat

172
DAFTAR PUSTAKA

 Tim Dosen Pratikum Farmakologi. Penntun Pratikum Farmakologi. Program Studi


Farmasi ISTN.Jakarta:2008
 Departemen farmakologi da terapeutik. Farmakologi dan terapi.edisi V.Balai
Perbit FKUI.Jakarta :2009
 Tjay,Tan Hoan,Kirana Rahardja.2007.obat-obat penting edisi 6.Jakarta : PT.Elex
Media Komputindo.
 Mutschler,Ernst.Dinamika Obat. Ed V.Penerbit ITB.Bandung :1999

173

Anda mungkin juga menyukai