Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FARMAKOLOGI DASAR

ABSORBSI OBAT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. SHEVIRA MAHARANI PUTRI (19160023)


2. FITRI TUMMAG FIRA (19160038)
3. JELVIZATIL KHOLILAH (19160040)
4. RIZALDI YUHENDRI (19160050)
5. RAHMAD HIDAYAT (19160067)
6. DINA ISLAMMIAH (20160023)
7. MAHIRA AZRIYASDINI (20160035)
8. PUJA SRIDEVI (20160038)
9. AFNI DEWI WAHYUNI (20160043)

DOSEN PENGAMPU :
Apt . HELMICE AFRIYENI, M. Farm

PROGRAM S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI, SAINS DAN TEKNOLOGI
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbal’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul Absorbsi obat. Shalawat beserta salam penulis mohonkan kepada
Allah SWT agar dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah
kebenaran dan penerang jalan yang membawa umat manusia dari kebodohan menuju ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulisan makalah ini dilakuan dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah Farmakologi
Dasar yang meliputi nilai tugas kelompok. kami sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu demi kesempurnan makalah ini kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan.
Kepada dosen pengampu yang terhormat dan para pembaca saya ucapkan terimakasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua.

Padang, 4 Desember 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar belakang ..................................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ............................................................................................... 1

1.3 Tujuan ................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 2

2.1 Pengertian Absorbsi Obat ................................................................................... 2

2.2 Mekanisme Transport Aktif .............................................................................. 11

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi .............................................................. 13

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 19

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 19


3.2 Saran ................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul- molekul obat
kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologik. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan
efektivitas obat . Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ,
obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Membran sel mempunyai pori yang
bergaris tengah antara 3,5 - 4,2 Ǻ, merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai
samping molekul protein yang bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini
secara difusi karena kekuatan tekanan darah. Sebelum obat diabsorpsi, terlebih
dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut
menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan
biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membran biologis obat
masuk ke peredaran sistemik. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat yang relatif
tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Ibuprofen
termasuk pada senyawa model biopharmaceutical classification system (BCS) II,
permeabilitas tinggi kelarutan rendah. Untuk obat yang mempunyai kelarutan rendah
laju disolusi merupakan tahap penentu pada proses absorpsi obat.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu absorbsi obat?
2. Bagaimana mekanisme transport pasif?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi absorbsi
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu absorbsi obat
2. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme transport aktif
3. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Absorbsi Obat


Rute pemberian obat
Sebelum kita membahas mengenai proses absorpsi obat, kita harus mengetahui
terlebih dahulu rute pemberian obat yaitu tentang bagaimana cara obat itu masuk ke tubuh
kita.
Ada 2 rute pemberian obat yang utama, yaitu enteral dan parenteral.
1. Enteral
Rute pemberian obat yang melalui saluran cerna. Ada beberapa rute enteral :
a. Oral
Oral merupakan pemberian obat melalui mulut. Pemberian obat melalui
ini sangat umum dilakukan, tetapi memerlukan jalan yang paling rumit
untuk mencapai jaringan.
b. Sublingual
Merupakan pemberian obat dengan penempatan dibawah lidah.
Pemberian obat dengan cara ini membuat obat berdifusi ke kapiler dan
dapat langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Keuntungan rute ini yaitu
obat melewati usus dan hati tapi tidak diinaktivasi oleh metabolism.
c. Rektal
Merupakan pemberian obat melalui organ terakhir dari usus besar. 50%
aliran darah dari rektal memintas sirkulasi portal sehingga biotransformasi
obat oleh hati dikurangi. Rute rektal dan sublingual memiliki keuntungan
yaitu mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH rendah di
dalam lambung. Bentuk sediaan obat rektal adalah suppositoria dan ovula.
2. Parenteral
Penggunaan parenteral digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk melalui
saluran cerna, dan untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran cerna.
Pemberian parenteral juga digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar
dan dalam keadaan yang memerlukan kerja obat yang cepat. Pemberian parenteral

2
memberikan kontrol paling baik terhadap dosis yang sesungguhnya dimasukkan
kedalam tubuh.
Macam-macam pemberian parenteral :
a. Intravena
Merupakan pemberian obat dengan suntikan intravena.biasa dilakukan
untuk obat yang tidak diabsorpsi secara oral. Pemberian parenteral
memberikan kontrol paling baik terhadap dosis yang sesungguhnya
dimasukkan kedalam tubuh. Pemberian parenteral memberikan kontrol
paling baik terhadap dosis yang sesungguhnya dimasukkan kedalam
tubuh.
b. Intramuscular
obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan dalam
air atau preparat depo khusus sering berpa suspensi obat dalam vehikulum
non aqua seperti etilenglikol. Absorpsi obat dalam larutan terjadi cepat,
sedangkan dalam preparat depo terjadi lambat. Setelah vehikulum
berdifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap pada tempat suntikan.
Kemudian obat melarut perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit
demi sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan efek terapetik yang
panjang.
c. Subkutan
suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan
intravaskular. Contohnya pada sejumlah kecil epinefrinkadang-kadang
dikombinasikan dengan suatu obat untuk membatasi area kerjanya.
3. Inhalasi
Merupakan pemberian obat secara langsung ke saluran napas melalui
penghirupan sebuah alat yang berisi obat. Biasanya dipakai untuk penyakit di
saluran pernapasan. Rute ini efektif dan menyenangkan penderita-penderita
dengan keluhan pernafasan seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis
karena obat diberikan langsung ke tempat kerja dan efek samping sistemis
minimal.
4. Intranasal

3
Merupakan pemberian obat dalam bentuk semprot hidung yang biasa digunakan
dengan cara menghisap.
5. Intratekal
Merupakan pemberian obat dengan menyuntikkan obat diantara dua ruas tulang
belakang bagian bawah. Biasanya untk mengatasi masalah otak dan tulang
belakang.
6. Topical
Merupakan pemberian obat melalui kulit maupun selaput lendir. Pemberian
secara topikal digunakan bila suatu efek lokal obat diinginkan untuk pengobatan
7. Transdermal
Merupakan pemberian obat pada lapisan kulit yang mengarah pada sistemik.
Kecepatan absorbsi sangat bervariasi tergantun pada sifat-sifat fisik kulit pada
tempat pemberian. Cara pemberian obat ini paling sering digunakan untuk
pengiriman obat secara lambat

Jumlah obat yang masuk ke tubuh bergantung pada kepatuhan pasien terhadap rejimen yang
diresepkan serta pada laju dan tingkat penyaluran dari tempat pemberian obat ke darah.
Pemberian dosis yang berlebihan atau kekurangan relatif terhadap dosis yang diresepkan
keduanya adalah aspek dari kegagalan kepatuhan—sering dapat dideteksi dengan pengukuran
konsentrasi ketika dijumpai penyimpangan yang nyata dari nilai-nilai yang diharapkan. Jika
kepatuhan dapat dipastikan, gangguan penyerapan di usus halus mungkin menjadi penyebab
konsentrasi yang terlalu rendah. Meskipun jarang, variasi dalam tingkat ketersediaan hayati
mungkin disebabkan oleh ketidakkon-sistenan pembuatan formulasi obat tertentu.Variasi
ketersediaan hayati lebih sering disebabkan oleh metabolisme sewaktu penyerapan.

Ketersediaan hayati didefinisikan sebagai fraksi/bagian dari obat yang belum berubah dan
mencapai sirkulasi sistemik setelah pemberian melalui rute apa pun (Tabel 3-3). Luas daerah di
bawah kurva konsentrasi darah-waktu (AUC) setara dengan tingkat ketersediaan hayati untuk
suatu obat jika eliminasinya adalah ordo-pertama (Gambar 3-4). Untuk pemberian intravena
suatu obat, ketersediaan hayati dianggap setara dengan satu. Untuk obat yang diberikan per oral,
ketersediaan hayati mungkin kurang dari 100% oleh dua alasan—absorpsi yang tidak sempurna
menembus dinding usus dan eliminasi first-pass oleh hati.

4
1.Tingkat Penyerapan
Tabel 3.3.

Setelah pemberian per oral, suatu obat mungkin tidak secara sempurna
diserap,m i s a l n y a hanya 70% dari dosis digoksin yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal
ini terutama karena kurangnya penyerapan di usus. Obat lain mungkin terlalu hidrofilik
(mis., atenolol) atau terlalu lipofilik (mis., asiklovir) untuk dapat diserap dengan mudah,
dan ketersediaan hayati mereka yang rendah juga disebabkan karena absorpsi inkomplit.
Jika terlalu hidrofilik, obat tidak dapat menembus membran sel lemak; jika terlalu
lipofilik, obat tidak cukup larut untuk menembus lapisan air di dekat sel. Obat mungkin
tidak diserap karena adanya pengangkut terbalik (reverse transporter) yang berkaitan
dengan glikoprotein P. Pengangkut ini memompa secara aktif obat keluar sel dinding
usus kembali ke lumen usus. Inhibisi glikoprotein P dan metabolisme dinding usus, mis.
oleh jus grapefruit (jeruk bali), dapat secara substansial meningkatkan penyerapan obat.

5
2. Eliminasi First-Pass
• Setelah diserap menembus dinding usus, obat akan disalurkan oleh darah porta ke
hati sebelum masuk ke sirkulasi sistemik.
• Suatu obat dapat dimetabolisasi di dinding usus (mis., oleh sistem enzim CYP3A4)
atau bahkan di darah porta, tetapi umumnya hati lah yang bertanggung jawab dalam
metabolisme sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik.
• Selain itu, hati dapat mengekskresikan obat ke dalam empedu. Semua tempat ini
dapat menyebabkan penurunan ketersediaan hayati, dan proses keseluruhannya
dikenal sebagai eliminasi first-pass. Efek eliminasi first-pass di hati pada
ketersediaan hayati dinyatakan sebagai rasio ekstraksi (extraction ratio, ER):

Keterangan:Q adalah aliran darah hati, normalnya sekitar 90 L/jam pada orang dengan
berat 70 kg.
Ketersediaan hayati sistemik obat (F) dapat diperkirakan dari tingkat absorpsi (f) dan
rasio ekstraksi (ER):
6
Suatu obat, misalnya morfin, hampir diserap secara sempurna (f=1) sehingga
kehilangan melalui usus nyaris dapat diabaikan. Namun, rasio ekstraksi hati untuk
morfin adalah klirens morfin (60 L/j/70 kg) dibagi oleh aliran darah hati (90 L/J/70
kg) atau 0,67 sehingga (1-ER) adalah 0,33. Karenanya, ketersediaan hayati morfin
diperkirakan sekitar 33%, yang mendekati nilai yang teramati.

3. Laju Penyerapan
Perbedaan antara laju dan tingkat absorpsi diperlihatkan di Gambar 3-4. Laju absorpsi
ditentukan oleh tempat pemberian dan formulasi obat. Baik laju absorpsi maupun
tingkat asupan dapat memengaruhi efektivitas klinis suatu obat. Untuk tiga dosis
berlainan yang diperlihatkan di Gambar 3-4, akan terdapat perbedaan bermakna dalam
intensitas efek klinis. Obat bentuk B akan memerlukan dosis dua kali untuk memperoleh
konsentrasi darah yang ekivalen dengan yang dihasilkan oleh obat bentuk A.
• Perbedaan laju penyerapan dapat menjadi penting untuk obat yang diberikan
sebagai dosis tunggal, misalnya obat hipnotik yang digunakan untuk
menginduksi tidur.
• Dalam hal ini, obat dalam bentuk A akan mencapai konsentrasi sasarannya lebih
dini daripada obat dalam bentuk C; konsentrasi pada A juga akan mencapai
kadar yang lebih tinggi dan tetap di atas konsentrasi sasaran untuk waktu yang
lebih lama.
• Pada cara pemberian, obat yang berulang, obat A dan C akan menghasilkan
konsentrasi darah rerata yang sama, meskipun bentuk A akan menunjukkan
konsentrasi maksimal yang agak lebih tinggi dan konsentrasi minimal yang
agak lebih rendah.
Mekanisme penyerapan obat dikatakan bersifat ordonol jika laju tidak bergantung
pada jumlah obat yang tersisa di usus, mis. jika ditentukan oleh laju pengosongan
lambung atau oleh formulasi obat lepas terkontrol. Sebaliknya jika obat larut dalam
cairan saluran cerna, laju penyerapan biasanya setara dengan konsentrasi
gastrointestinal dan dikatakan berisfat ordo-pertama.

Mekanisme Absorbsi

Permeasi (perembesan) obat berlangsung melalui beberapa mekanisme. Difusi pasif dalam
medium air (aqueous medium) atau lemak sering terjadi, tetapi proses aktif juga berperan dalam
perpindahan banyak obat, terutama obat yang molekulnya terlalu besar untuk berdifusi

1. Difusi dalam air

7
Difusi dalam air terjadi di dalam komparte-men-kompartemen air tubuh (ruang
interstisium, sitosol, dsb.) dan menembus taut kedap (tight junction) membran epitel serta
lapisan endotel pembuluh darah melalui pori berair yang di sebagian jaringan
memungkinkan lewatnya molekul hingga sebesar BM 20.000-30.000.
Difusi molekul obat melalui medium air biasanya terjadi karena gradien konsentrasi obat
yang bersangkutan, suatu perpindahan menurun seperti dijelaskan oleh hukum Fick (lihat
bawah). Molekul obat yang terikat ke protein plasma besar (mis., albumin) tidak dapat
melewati sebagian besar pori vaskular. Jika obat bermuatan, fluksnya juga dipengaruhi oleh
medan listrik (mis., potensial membran dan—di bagian-bagian tertentu nefronpotensial
trans-tubulus).

2. Difusi lemak
Difusi lemak adalah faktor pembatas terpentingperembesan obat karena banyaknya sawar
lemak yang memisahkan kompartemen-kompartemen tubuh. Karena sawar-sawar lemak
ini memisahkan kompartemen air, koefisien partisi lemak air (lipid:aqueous partition
coefficient) suatu obat menentukan seberapa cepat molekul berpindah antara medium air
dan lemak. Pada kasus asam lemah dan basa lemah (yang memperoleh atau kehilangan
proton bermuatan listrik, konsentrasi tinggi. Karena itu, jaringan-jaringan ini merupakan
tempat yang terlindung atau"tempat suci" dari banyak obat dalam darah. bergantung pada
pH), kemampuan untuk berpindah dari air ke lemak atau sebaliknya berbeda-beda sesuai
pH medium, karena molekul bermuatan menarik molekul air. Rasio bentuk larut-lemak
terhadap bentuk larut-air untuk suatu asam lemah atau basa lemah diekspresikan oleh
persamaan Henderson-Hasselbach.

3. Pembawa khusus
Terdapat molekul-molekul pembawa khusus untuk banyak bahan yang penting bagi
fungsi sel dan terlalu besar atau terlalu tak-larut dalam lemak untuk dapat berdifusi secara
pasif menembus membran, mis. peptida, asam amino, dan glukosa. Pembawa ini
memindahkan molekul obat melalui transport aktif atau difusi terfasilitasi dan, tidak
seperti difusi pasif, bersifat selektif, dapat jenuh, dan dapat dihambat. Karena banyak
obat adalah atau mirip dengan peptida, asam amino, atau gula alami, obat-obat tersebut
dapat menggunakan pembawa tersebut untuk melintasi membran.Banyak sel juga
mengandung pembawa membran yang kurang selektif dan mengkhususkan diri
untuk mengeluarkan molekul asing. Salah satu famili besar dari pengangkut itu berikatan
dengan adenosin trifosfat (ATP) dan disebut famili ABC (ATP- binding cassette). Famili
ini mencakup P-glycoprotein (glikoprotein P) atau multidrug resistance type I (MDR1)
transporter yang terdapat di otak, testis, dan jaringan lain, dan pada sebagian dari sel
neoplastic resisten obat, Tabel 1-2. Molekul pengangkut serupa dari family ABC,
pengangkut multidrug resistance-associated protein (MRP), berperan penting dalam
ekskresi sebagian obat dan metabolit-metabolitnya ke dalam urin dan empedu serta dalam
resistensi sebagian tumor terhadap obat kemoterapeutik. Telah berhasil ditemukan beberapa
8
famili pengangkut lainnya yang tidak mengikat ATP tetapi menggunakan gradien ion
untuk memindahkan bahan. Sebagian dari pengangkut ini lapisan endotel pembuluh
darah melalui pori berair yang di sebagian jaringan memungkinkan lewatnya molekul
hingga sebesar BM 20.000-30.000.
Difusi molekul obat melalui medium air biasanya terjadi karena gradien konsentrasi obat
yang bersangkutan, suatu perpindahan menurun seperti dijelaskan oleh hukum Fick (lihat
bawah). Molekul obat yang terikat ke protein plasma besar (mis., albumin) tidak dapat
melewati sebagian besar pori vaskular. Jika obat bermuatan, fluksnya juga dipengaruhi oleh
medan listrik (mis., potensial membran dan di bagian-bagian tertentu nefronpotensial trans-
tubulus).

2. Difusi lemak
Difusi lemak adalah faktor pembatas terpentingperembesan obat karena banyaknya sawar
lemak yang memisahkan kompartemen-kompartemen tubuh. Karena sawar-sawar lemak
ini memisahkan kompartemen air, koefisien partisi lemak air (lipid:aqueous partition
coefficient) suatu obat menentukan seberapa cepat molekul berpindah antara medium air
dan lemak. Pada kasus asam lemah dan basa lemah (yang memperoleh atau kehilangan
proton bermuatan listrik, konsentrasi tinggi. Karena itu, jaringan-jaringan ini merupakan
tempat yang terlindung atau"tempat suci" dari banyak obat dalam darah. bergantung pada
pH), kemampuan untuk berpindah dari air ke lemak atau sebaliknya berbeda-beda sesuai
pH medium, karena molekul bermuatan menarik molekul air. Rasio bentuk larut-lemak
terhadap bentuk larut-air untuk suatu asam lemah atau basa lemah diekspresikan oleh
persamaan Henderson-Hasselbach.

3. Pembawa khusus
Terdapat molekul-molekul pembawa khusus untuk banyak bahan yang penting bagi
fungsi sel dan terlalu besar atau terlalu tak-larut dalam lemak untuk dapat berdifusi secara
pasif menembus membran, mis. peptida, asam amino, dan glukosa. Pembawa ini
memindahkan molekul obat melalui transport aktif atau difusi terfasilitasi dan, tidak
seperti difusi pasif, bersifat selektif, dapat jenuh, dan dapat dihambat. Karena banyak
obat adalah atau mirip dengan peptida, asam amino, atau gula alami, obat-obat tersebut
dapat menggunakan pembawa tersebut untuk melintasi membran.
Banyak sel juga mengandung pembawa membran yang kurang selektif dan
mengkhususkan diri untuk mengeluarkan molekul asing. Salah satu famili besar dari
pengangkut itu berikatan dengan adenosin trifosfat (ATP) dan disebut famili ABC (ATP-
binding cassette). Famili ini mencakup P-glycoprotein (glikoprotein P) atau multidrug
resistance type I (MDR1) transporter yang terdapat di otak, testis, dan jaringan lain, dan
9
pada sebagian dari sel neoplastic resisten obat, Tabel 1-2. Molekul pengangkut serupa
dari family ABC, pengangkut multidrug resistance-associated protein (MRP), berperan
penting dalam ekskresi sebagian obat dan metabolit-metabolitnya ke dalam urin dan
empedu serta dalam resistensi sebagian tumor terhadap obat kemoterapeutik. Telah berhasil
ditemukan beberapa famili pengangkut lainnya yang tidak mengikat ATP tetapi
menggunakan gradien ion untuk memindahkan bahan. Sebagian dari pengangkut ini
(solute carrier [SLC] family) terutama penting dalam penyerapan neurotransmiter
menembus membrane sel saraf.

4. Endositosise dan eksositosis


Beberapa bahan sedemikian besar atau sulit merembes sehingga dapat masuk sel hanya
dengan endositosis, proses bahan diikat ke reseptor permukaan sel, dan dibawa ke
dalam sel melalui proses pemutusan (pinch off) vesikel yang baru terbentuk di
sisi dalam membran. Bahan kemudian dibebaskan di dalam sitosol melalui penguraian
membran vesikel, Gambar 1-5D. Proses ini berperan dalam transpor vitamin
B12, yang berkompleks dengan suatu protein pengikat (faktor intrinsik), menembus
dinding usus untuk masuk ke dalam darah. Demikian juga, besi diangkut ke dalam
prekursor sel darah merah pembentuk hemoglobin dalam ikatan dengan protein
transferin. Harus terdapat reseptor spesifik untuk protein pengangkut agar proses ini
dapat berjalan.Proses yang sebaliknya (eksositosis) berperan untuk sekresi banyak
bahan dari sel.

10
Sebagai contoh, banyak bahan neurotransmiter disimpan dalam vesikel berlapis
membran di ujung saraf untuk melindungi mereka dari perusakan metabolik di
sitoplasma. Pengaktifan ujung saraf menyebabkan bersatunya vesikel penyimpan
dengan membran sel serta dikeluarkannya isi vesikel itu ke dalam ruang ekstrasel

2.2 Mekanisme transport aktif

1. Transpor aktif
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut
harus melalui membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeable.Sebelum
diabsorpsi, obat tersebut harus larut dalam cairan biologis.
Pada transpor aktif, terjadi perpindahan obat melawan gradient konsentrasi dan
proses ini memerlukan energi. Biasanya, absorpsi obat secara transpor aktif lebih
cepat dari pada transpor pasif.
Untuk obat yang terabsorpsi secara transpor aktif memerlukan teransporter
membran untk dapat melintasi membran untk dapat di absorpsi dari saluran cerna
maupun direabsorpsi di tubulus ginjal.
Ada 2 jenis transporter :
a. Transporter untk efflux atau eksport obat
Disebut dengan ABC (ATP –Binding Cassette) transporter. Ada 2 jenis :
- P-glikoprotein : mrupakan produk gen human multidrug resistance 1
(MDR 1), untuk kation organic dan zat netral yang hidrofobik dengan
BM 200-1800 dalton.
- Multidrugs Resistance Proteins ( MRP) : untk anion organic yang
hidrofobik dan konjugat.
- Eksport obat ini memerlukan ATP.

Transpor aktif membutuhkan bantuan dari beberapa protein. Transport aktif


terbagi atas transport aktif primer dan sekunder.
➢ Transport aktif sekunder juga terdiri atas co-transport dan counter
transport (exchange).

11
➢ Transport aktif primer memakai energi langsung dari ATP, misalnya
pada Na-K pump dan Ca pump. Pada Na-K pump, 3 Na akan dipompa
keluar sel sedang 2 K akan dipompa kedalam sel. Pada Ca pump, ca akan
dipompa keluar sel agar konsentrasi Ca dalam sel rendah
Kriteria obat apabila dikatakan sebagai transpor aktif :
I. Molekul ditranspor dari daerah yang mempunyai perbedaan potensial
kimia yang rendah menuju yang tinggi.
II. Hasil metabolisme senyawa akan mengganggu transpor
III. Kecepatan transpor akan mengalami penjenuhan apabila konsentrasi dari
senyawa meningkat
IV. Sistem transpor umumnya memperlihatkan struktur kimia spesifik
V. Senyawa kimia dengan struktur yang sama akan bekerja sebagai
kompetitif inhibitor

Mekanisme Transpor Aktif Obat

• Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan suatu
bagian dari membran, berupa enzim atau senyawa protein dengan molekul yang
dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut
melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya,
lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi dalam
arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa).
• Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah
digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya
suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab
itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada
pembawa tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat
menghambat kompetisi transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.

2. Transpor pasif
Transport Pasif merupakan mekanisme perpindahan molekul atau zat yang tidak
melewati selaput membran semipermeable dan tidak membutuhkan

12
energy.Transpor pasif bersifat spontan. Transpor pasif dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
➢ Difusi sederhana (simple diffusion)
➢ Difusi dipermudah atau difasilitasi (facilitated diffusion)
perpindahan obat menggunakan suatu media pembawa pada sistem
transpor. Contoh : flukonazol, flourourasil, transport glukosa.
➢ Osmosis.

2.3 Faktor yang mempengaruhi absorbsi obat

1) Sifat Fisik Obat


• Obat mungkin berbentuk padat pada suhu kamar (mis., aspirin, atropin), cairan (mis.,
nikotin, etanol), atau gas (mis., nitrat oksida). Faktor-faktor ini sering menentukan
rute pemberian terbaik. Rute pemberian tersering dijelaskan di Tabel 3-3.
• Berbagai kelas senyawa organik karbohidrat, protein, lemak, dan konstituen-
konstituen mereka semua direpresentasikan dalam farmakologi. Seperti disinggung
di atas, oligonukleotida, dalam bentuk segmen kecil RNA, telah masuk ke dalam uji
klinis dan berada dalam ambang introduksi ke dalam ranah terapi.
• Sejumlah obat yang berguna atau berbahaya adalah unsur inorganik, mis. litium,
besi, dan logam berat. Banyak obat organik adalah asam atau basa lemah.
• Kenyataan ini memiliki dampak penting terhadap cara obat ditangani oleh tubuh,
karena perbedaan pH di berbagai komponen tubuh dapat mengubah derajat ionisasi
obat-obat tersebut (lihat teks selanjut- nya).
2) Ukuran Obat
• Ukuran molekular obat berbeda dari sangat kecil (ion litium, BM 7) hingga sangat
besar (mis., alteplase [t-PA], suatu protein dengan BM 59.050).
• Namun, sebagian besar obat memiliki berat molekul antara 100 dan 1000. Batas
bawah dari kisaran sempit ini mungkin ditentukan oleh kebutuhan akan spesifisitas
kerja.
• Agar benar-benar "pas" ke salah satu tipe reseptor, molekul obat harus memiliki
bentuk, muatan, dan sifat lain yang unik, untuk mencegahnya berikatan dengan
reseptor lain. Untuk mencapai pengikatan yang selektif tersebut, tampaknya suatu
molekul umumnya harus memiliki ukuran paling sedikit 10 satuan BM. Batas atas
13
berat molekul terutama ditentukan oleh kebutuhan bahwa obat harus mampu
berpindah di dalam tubuh (mis., dari tempat pemberian ke tempat kerja).
• Obat yang jauh lebih besar dari 1000 BM tidak mudah berdifusi antara
kompartemen-kompartemen tubuh (lihat Permeasin dalam teks selan jutnya). Karena
itu, obat yang sangat besar (biasanya protein) sering harus diberikan secara langsung
ke dalam kompartemen tempat mereka berefek. Pada kasus alteplase, suatu enzim
pelarut bekuan, obat diberikan secara langsung ke dalam kompartemen vaskular
melalui infus intra-arteri atau intravena.
3) Reaktivitas Obat dan Ikatan Obat-Reseptor
• Obat berinteraksi dengan reseptornya melalui gaya atau ikatan kimia.
• Ikatan ini terdiri dari tiga tipe utama: kovalen, elektrostatik, dan hidrofobik.
• Ikatan kovalen sangat kuat dan pada banyak kasus tidak dapat dilepaskan pada
kondisi biologik. Karena itu, ikatan kovalen yang terbentuk antara gugus asetil asam
asetilsalisilat (aspirin) dan siklooksigenase, enzim sasarannya di trombosit, tidak
mudah dilepaskan. Efek aspirin yang menghambat agregasi trombosit bertahan lama
setelah asam asetilsalisilat bebas telah lenyap dari aliran darah (sekitar 15 menit)
dan dikembalikan hanya oleh sintesis enzim baru di trombosit baru, suatu proses
yang memerlukan waktu beberapa hari.
• Contoh lain obat pembentuk ikatan kovalen yang sangat reaktif adalah obat pengalkil
DNA yang digunakan dalam kemoterapi kanker untuk menghambat pembelahan sel
tumor.
• Dalam interaksi obat-reseptor, ikatan elektrostatik jauh lebih sering terjadi daripada
ikatan kovalen. Ikatan elektrostatik bervariasi dari ikatan kuat antara molekul-
molekul ionik yang bermuatan permanen hingga ikatan hidrogen yang lebih lemah
dan interaksi dipol yang sangat lemah, misalnya gaya van der Waals dan fenomena-
fenomena serupa. Ikatan elektrostatik lebih lemah daripada ikatan kovalen.
• Ikatan hidrofobik biasanya cukup lemah dan mungkin penting dalam interaksi
obat-obat yang sangat larut lemak dengan lemak membran sel dan mungkin dalam
interaksi obat dengan dinding internal "kantung" reseptor.
• Sifat spesifik suatu ikatan obat-reseptor relatif kurang penting dibandingkan dengan
kenyataan bahwa obat yang berikatan melalui ikatan lemah ke reseptornya umumnya

14
lebih selektif daripada obat yang berikatan melalui ikatan yang sangat kuat. Hal ini
karena ikatan lemah memerlukan derajat kecocokan obat yang tinggi dengan
reseptornya agar dapat terjadi interaksi. Mungkin hanya sedikit terdapat tipe reseptor
yang sangat pas dengan struktur obat tertentu. Karena itu, jika kita ingin merancang
suatu obat yang sangat selektif dan bekerja singkat untuk reseptor tertentu, kita perlu
menghindari molekul sangat reaktif yang membentuk ikatan kovalen dan memilih
molekul yang membentuk ikatan jauh lebih lemah.
• Beberapa bahan yang hampir sama sekali inert secara kimiawi bagaimanapun
memiliki efek farmakologik signifikan. Sebagai contoh, xenon, suatu gas "inert",
memiliki efek anestetik pada tekanan tinggi.
4) Bentuk Obat
• Bentuk molekul suatu obat harus sedemikian sehingga memungkinkannya
berikatan dengan reseptornya melalui ikatan yang dijelaskan di atas. Secara optimal,
bentuk obat bersifat komplementer dengan bentuk reseptor seperti kunci dengan
gemboknya. Selain itu, fenomena chirality (stereoisomerisme) sedemikian sering
terjadi dalam biologi sehingga lebih dari separuh obat yang bermanfaat adalah
molekul chiral; yaitu, mereka dapat berada sebagai pasangan enantiomerik. Obat
dengan dua pusat asimetrik memiliki empat diastereomer, mis. efedrin, suatu obat
simpatomimetik.
• Pada sebagian besar kasus, salah satu dari enantiomer ini jauh lebih poten daripada
enantiomer bayangan cerminnya, yang mencerminkan tingkat kecocokan molekul
lebih tinggi. Jika seseorang membayangkan reseptor sebagai sarung tangan tempat
molekul obat harus masuk pas agar menimbulkan efeknya, menjadi jelas mengapa
obat "kidal (berorientasi kiri)" lebih efektif berikatan dengan reseptor tangan kiri
daripada enantiomer "berorientasi kanan" nya.
• Enantiomer yang lebih aktif di suatu jenis reseptor mungkin tidak lebih aktif
di jenis reseptor yang lain, mis. jenis yang mungkin berperan menimbulkan efek
lain. Sebagai contoh, karvedilol, suatu obat yang berinteraksi dengan adrenoseptor,
memiliki satu pusat chiral dan karenanya dua enantiomer (Gambar 1-2, Tabel 1-1).
Salah satu enantiomer ini, isomer (S)(-), adalah penghambat reseptor β yang kuat.
Ketamin adalah suatu anestetik intravena.
15
• Enantiomer (+) adalah anestetik yang lebih poten dan kurang toksik
dibandingkan dengan enantiomer (-). Sayangnya, obat ini masih digunakan
sebagai campuran rasemik.
• Terakhir, karena enzim biasanya stereoselektif, satu enantiomer obat sering lebih
rentan daripada yang lain terhadap enzim-enzim yang memetabolisasi obat.
Akibatnya, lama kerja salah satu enantiomer mungkin cukup berbeda dari kerja
enantiomer yang lain. Demikian juga, pengangkut obat dapat bersifat stereoselektif.

5) Desain Obat Rasional


• Desain rasional obat mengisyaratkan kemampuan untuk memperkirakan struktur
molekul yang sesuai dari suatu obat berdasarkan informasi tentang reseptor
biologiknya. Sampai akhir-akhir ini, belum ada reseptor yang diketahui sedemikian
rinci sehingga dapat dilakukan desain obat seperti di atas.
• Obat biasanya dikembangkan melalui percobaan acak bahan-bahan kimia atau
modifikasi obat yang telah diketahui memiliki suatu efek. Namun, keberhasilan
mengetahui karakteristik banyak reseptor selama tiga dekade terakhir telah
mengubah gambaran ini.
16
• Beberapa obat yang kini digunakan dikembangkan melalui desain molekular yang
didasarkan pada pengetahuan tentang struktur tiga dimensi reseptor. Kini tersedia
program komputer yang dapat mengoptimalkan struktur obat agar pas dengan
reseptor yang telah diketahui. Dengan semakin banyaknya pengetahuan tentang
struktur reseptor, desain obat rasional akan menjadi lebih umum.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Absorbsi obat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk rute pemberian obat, sifat
fisik obat, ukuran obat, reaktivitas obat, ikatan obat-reseptor, dan bentuk obat. Terdapat
dua rute pemberian obat utama, yaitu enteral dan parenteral, dengan variasi seperti oral,
sublingual, rektal, intravena, intramuskular, dan lainnya. Faktor-faktor seperti sifat fisik
obat, ukuran obat, dan bentuk obat juga memainkan peran penting dalam absorbsi obat.
Selain itu, mekanisme transport aktif dan pasif juga berkontribusi terhadap absorbsi obat,
dengan adanya transporter khusus dan berbagai mekanisme difusi. Mekanisme transpor
aktif memerlukan energi dan dapat melibatkan transporter primer dan sekunder.

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat juga mencakup ketersediaan hayati,


tingkat penyerapan, eliminasi first-pass, dan laju penyerapan. Pengetahuan tentang sifat
fisik obat, interaksi obat-reseptor, dan bentuk obat menjadi kunci dalam merancang obat
yang efektif dan selektif.Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa respons obat
dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk karakteristik individu pasien,
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan, dan laju penyerapan obat. Hal ini memberikan
gambaran holistik mengenai kompleksitas proses absorbsi obat dalam tubuh manusia.

3.2 Saran
1. Pemahaman Rute Pemberian Obat:
- Penting untuk memahami rute pemberian obat, baik enteral (melalui saluran cerna)
maupun parenteral (melalui cara selain saluran cerna).
2. Pemilihan Rute Pemberian Obat:
- Pemilihan rute pemberian obat harus mempertimbangkan karakteristik obat dan tujuan
pengobatan.
3.Faktor-faktor Absorpsi Obat:
- Faktor-faktor seperti sifat fisik obat, ukuran molekular, reaktivitas, ikatan obat-reseptor,
dan bentuk obat memengaruhi proses absorpsi obat.

18
4. Variabilitas Absorpsi:
- Ketersediaan hayati obat dapat bervariasi, tergantung pada kepatuhan pasien, laju
penyerapan, dan eliminasi first-pass di hati.
5. Pentingnya Kepatuhan Pasien:
- Jumlah obat yang masuk ke tubuh dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap rejimen
yang diresepkan.
6. Mekanisme Absorpsi Obat:
- Mekanisme transport aktif dan pasif memainkan peran dalam proses absorpsi obat, dan
pemahaman ini membantu merancang formulasi obat yang efektif.
7. Pentingnya Sifat Kimia Obat:
- Sifat kimiawi obat, seperti ikatan kovalen, elektrostatik, dan hidrofobik, dapat
mempengaruhi interaksi obat-reseptor.
8. Pentingnya Pemahaman Biofarmasetika:
- Pemahaman konsep biofarmasetika, termasuk laju penyerapan, eliminasi first-pass, dan
ketersediaan hayati, penting dalam merancang formulasi obat yang efektif.
9. Perhatian terhadap Bentuk Obat:
- Bentuk molekuler obat harus cocok dengan reseptornya, dan fenomena chirality dalam
molekul obat perlu diperhatikan.
10. Rancang Ulang Obat:
- Jika perlu, rancang ulang obat untuk meningkatkan selektivitas dan efektivitas dengan
memperhatikan sifat fisik, kimia, dan mekanisme absorpsi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. MD, PhD. 2011. Farmakologi Dasar & Klinik, Edisi 12. Amerika Serikat:
McGraw Hill

20

Anda mungkin juga menyukai