Anda di halaman 1dari 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/366465696

SCHISTOSOMIASIS

Book · December 2022

CITATIONS READS

0 2,925

3 authors:

Wulan Pingkan Julia Kaunang Meysye Mendila


Sam Ratulangi University Sam Ratulangi University
110 PUBLICATIONS 24 CITATIONS 3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Trisha Triyono
Sam Ratulangi University
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Meysye Mendila on 21 December 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KATA PENGATAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas atas berkat dan tuntunanNya
sehingga kami boleh menyelesaikan penyusunan mini skripsi ini dengan tepat
waktu. Penyusunan mini skripsi dengan materi yang berjudul “Schistosomiasis”
yang disusun untuk pemenuhan mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular.

Dalam penyusunan mini skripsi ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada
pihak yang telah terlibat dan mendukung bahkan membimbing dalam penyusunan
ini, yaitu :

1. dr. Wulan P. J. Kaunang, Grad. Dip, M.Kes., DK , sebagai dosen


pengampu dari mata kulih terkait yang telah memberikan tugas sekaligus
mengarahkan.
2. Para senior (kaka tingkat), sebagai pembimbing dalam penyusunan mini
skripsi.
3. Para sahabat, sebagai support system dalam penyusunan mini skripsi ini.

Dengan kerendahan hati kami sebagai penyusun mini skripsi ini ingin
berterimakasih dan memohon maaf kepada para pembaca jika ada kesalahan dalam
proses penyusunan mini skripsi ini.

Kami sebagai penulis juga sangat berharap dan terbuka pada kritik maupun saran
sebagai bagian dari revisi mini skripsi mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular.

Manado, 09 November 2022

Penulis,

Meysye Sulle Mendila


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Shistomiasis

2.2 Etiologi dan Agen Penyebab

2.3 Epidemiologi

2.4 Cara Penularan

2.5 Gejala Klinis

2.6 Pengobatan dan Pengendalian

BAB III METODE PEMBAHASAN

3.1 Sumber data

3.2 Jenis data

3.3 Teknik pengumpulan data

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Schistosomiasis adalah masalah kesehatan zoonosis dan masyarakat yang


disebabkan oleh parasit yang termasuk dalam keluarga schistosomiasis yang hidup
di pembuluh darah di sekitar usus atau kandung kemih. Schistosomiasis biasanya
terjadi di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, schistosomiasis yang
disebabkan oleh bakteri Schistosoma japonicum mewabah di tiga wilayah Sulawesi
Tengah, yaitu dataran tinggi Lindu, Napu dan Bada. Masalah schistosomiasis relatif
kompleks dan pemberantasannya harus melibatkan banyak faktor. Perawatan skala
besar tanpa pemberantasan inang perantara tidak dapat mencapai pemberantasan
jangka panjang. Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis,
sehingga sumber penularannya bukan hanya manusia, tetapi beberapa mamalia
terbukti rentan terhadap penyakit ini (Sudomo dan Sasono, 2007).

Cacing Trematoda membutuhkan siput sebagai hospes perantara utama


mereka, O.h. lindoensis untuk menyelesaikan siklus hidup perkembangannya.
Kehadiran siput rentan penting untuk perkembangan infeksi parasit trematoda.
Penularan keong trematoda ke manusia juga bergantung pada beberapa faktor lain,
seperti: B. faktor lingkungan, iklim, ketersediaan pakan, kebersihan dan populasi.

Secara epidemiologis, penyebaran schistosomiasis tidak lepas dari perilaku


manusia. Umumnya, penderita schistosomiasis adalah orang yang cenderung tidak
terpisahkan dari air. Kontak berulang atau jatuh ke dalam air yang terinfeksi parasit
schistosomiasis menyebabkan peningkatan schistosomiasis di masyarakat
(Kasnodiharjo, 1994).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Scistosomiasis?
2. Bagaimana epidemiologi penyakit Schistosomiasis ?
3. Mengapa manusia bisa terjangkit penyakit Schistosomiasis?
4. Dimana tempat penyakit scistosomiasis bersarang?
5. Bagaimana cara penularan penyakit Schistosomiasis?
6. Bagaimana gejala klinis penyakit Schistosomiasis?
7. Kapan harus melakukan pengobatan dan pencegahan jika
tejangkit penyakit Schistosomiasis?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Scistosomiasis?


2. Untuk mengetahui penyakit Schistosomiasis?
3. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Schistosomiasis ?
4. Untuk mengetahui cara penularan penyakit Schistosomiasis?
5. Untuk mengetahui gejala klinis penyakit Schistosomiasis?
6. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pencegahan penyakit
Schistosomiasis?

1.4 Manfaat Penelitian


Penyusunan mini skripsi dapat bermanfaat bagi para pembaca bahkan
penulis sendiri untuk manambah pengetahuan dan juga sebagai bahan
referensi untuk penyusunan dan pengembangan materi selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Schistomiasis


Schistosomiasis, juga dikenal sebagai demam siput, bilharzia, dan
demam Katayama, adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing pipih
parasit yang disebut skistosom. Saluran kemih atau usus dapat terinfeksi.
Gejalanya termasuk sakit perut, diare, tinja berdarah, atau darah dalam urin.
Orang yang terinfeksi jangka panjang dapat mengalami kerusakan hati,
gagal ginjal, infertilitas atau kanker kandung kemih. Anak-anak mungkin
mengalami pertumbuhan yang terhambat dan kesulitan belajar.

Penyakit ini ditularkan melalui kontak dengan air tawar yang


terkontaminasi parasit. Parasit ini dilepaskan dari siput air tawar yang
terinfeksi. Penyakit ini sangat umum terjadi pada anak-anak di negara
berkembang karena mereka lebih sering bermain di air yang tercemar.
Kelompok risiko lainnya adalah petani, nelayan, dan masyarakat yang
menggunakan air kotor dalam kehidupan sehari-hari. Diagnosis dibuat
dengan mencari telur parasit dalam urin atau feses seseorang. Ini juga dapat
dikonfirmasi dengan mendeteksi antibodi penyakit dalam darah.

2.2 Epidemiologi

Schistosomiasis di Indonesia baru dikenal pada tahun 1937, ketika


Brug dan Tesch menemukan kasus pertama di mana trematoda ditemukan
di jaringan paru dan hati selama pemeriksaan histologis. Awalnya bernama
Paragonimus ovo atau Schistosoma japonica sp. Brug mengisolasi telur dari
jaringan untuk memastikan bahwa telur tersebut adalah telur dari
Schistosoma japonicum Sp (Veridiana dan Chadijah, 2010).

Diketahui bahwa ada dua suku geografis yaitu suku Thai, suku
Malaysia dan suku Sulawesi. Terdapat perbedaan antara strain-strain
tersebut, yaitu pada inang keong yang sesuai. Di Indonesia, di pulau
Sulawesi keadaan endemisitas tinggi berada di kawasan Danau Lindu. Pada
tahun 1971, analisis tinja mengungkapkan infeksi Schistosoma japonicum
Sp pada 53% dari 126 penduduk berusia 7-70 tahun, dan di Lembah Napu,
infeksi dilaporkan pada 8-12% pada tikus liar, Rattus exulans. Pada tahun
1972, hasil survei Departemen Kesehatan Subbagian Schistosomiasis di
beberapa desa sekitar Danau Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa di
Propinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa prevalensi Schistosoma
japonicum Sp 1, -67 adalah %. Setelah menjalani program pemberantasan
terpadu di sekitar Lindujärvi dan lembah Napu, ternyata prevalensi turun
menjadi 1,9% di Lindujärvi dan 1,5% di lembah Napu (Sandjaja dan
Bernardus, 2007).

Penyakit ini erat hubungannya dengan pertanian yang mendapat air


irigasi. Fokus bekicot sebagai hospes perantara sebagian besar di sektor
pertanian. Seiring meluasnya area pertanian dan irigasi, inang perantara dan
penyakit dapat menyebar. Infeksi biasanya terjadi pada saat kerja lapangan
(FKUI, 2011, Dosen Parasitologi). Baik laki-laki maupun perempuan
memiliki kerentanan yang sama terhadap infeksi, namun dipengaruhi oleh
perbedaan lokasi, budaya kerja dan lingkungan kerja sehingga membuat
mereka lebih terpapar (Soegijanto, 2005). Semua kelompok umur berisiko
terinfeksi bila terpapar air tawar di daerah endemik. Berenang, mengarungi
dan mengarungi, atau berenang di air tawar yang terkontaminasi dapat
menyebabkan penularan. Schistosomiasis pada manusia tidak menular
melalui kontak dengan air asin (laut). Penyebaran schistosomiasis sangat
ditentukan oleh siput stadium menengah, sanitasi yang tidak memadai, dan
orang yang terinfeksi. Penyebaran geografis schistosomiasis dimungkinkan
melalui wisatawan dan migrasi, dan hingga saat ini pengendalian penyakit
terutama difokuskan pada perawatan massal yang diberikan setiap 6 bulan.
Jika prevalensi telah turun di bawah 1%, terapi selektif dapat diberikan.
Namun, pemberantasan hospes perantara, peningkatan kesehatan
lingkungan dan pendidikan kesehatan harus dilaksanakan sedapat mungkin
(Balai Litbang B2P2 Donggala, 2013).
2.3 Penyebab Schistomiasis

a. Agent
Schistosomiasis adalah zoonosis yang disebabkan oleh infeksi cacing
dari kelas Trematoda, genus Schistosoma. Ada tiga jenis schistosom
yang menyebabkan gangguan kesehatan (bilharzia) pada manusia, yaitu:
Schistosoma japonicum Sp., Schistosoma haematobium Sp.,
Schistosoma mansoni Sp., Schistosoma mekongi Sp. dan Schistosoma
intercalatum Sp. Lima spesies termasuk golongan trematoda darah
Schistosoma hematobium yang menginfeksi saluran kemih, sedangkan
Schistosoma mansoni Sp., Schistosoma japonicum Sp. mekongi Sp dan
Schistosoma intercalatum Sp menginfeksi usus dan hati (Soedarto,
2008). Di Indonesia, Schistosoma japonicum endemik di dua daerah
Sulawesi Tengah, yaitu Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu.
Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma membutuhkan siput sebagai
hospes perantara. Schistosoma ditularkan oleh inang yang
mengembangkan serkaria yang menyerang kulit manusia dalam air.
Schistosomiasis disebabkan oleh respon imunologi terhadap telur
cacing yang terperangkap dalam jaringan (Irianto, 2014).

b. Host
Host Schistosoma terbagi menjadi dua yaitu host perantara
(intermediate) dan host tetap (definitive), yang mejadi host perantara
adalah keong, yang tiap jenis cacing Schistosoma mempunyai host
tersendiri.
• Host perantara
Cacing Schistosoma haematobium Sp membutuhkan keong
Burlinus, cacing Schistosoma mansoni Sp membutuhkan keong
Biomphalaria, dan cacing Schistosoma japonicum Sp membutuhkan
keong Oncomelania hupensis lindoensis (Kurniasih et al, 2002).
Setiap spesies cacing Schistosoma memerlukan siput khusus yang
cocok untuk perkembangan larva cacing Schistosoma. Schistosoma
japonicum membutuhkan keong Oncomelania hupensis lindoensis
yang merupakan keong kodok karena dapat hidup di darat dan di air.
Spesies siput Oncomelania hupensis lindoensis ini pertama kali
ditemukan di Sulawesi Tengah pada tahun 1971 dan pada tahun
1973 Davis dan Carney mengidentifikasi spesies tersebut dan
menamakannya Oncomelania hupensis lindoensis (Hadidjaja,
1985).
• Host tetap
Hospes definitif Schistosoma japonicum Sp di Indonesia tidak
hanya menginfeksi manusia tetapi juga mamalia. Tiga belas
mamalia dapat terinfeksi schistosomiasis, antara lain sapi, kerbau,
kuda, anjing, babi, musang, rusa, dan berbagai jenis tikus antara lain
Rattus exulans, Rattus marmosurus, Rattus norvegicus, dan Rattus
pallelae (Barodji et al., 1983).

c. Lingkungan
Lingkungan Biologi
Habitat bekicot terbagi menjadi dua jenis, yaitu habitat alami atau
habitat primer, yaitu habitat asli yang belum tersentuh oleh
penghuninya. Habitat ini terdapat di tepi hutan, di dalam hutan atau di
tepi dedaunan, dimana tempat-tempat ini hampir selalu terlindung dari
sinar matahari dengan adanya pohon-pohon besar dan kecil, serta
selalu basah oleh aliran air yang konstan dari mata air. Habitat lainnya
meliputi habitat yang dirusak oleh manusia (habitat sekunder) berupa
bekas sawah yang terbengkalai atau tidak digarap, padang rumput
yang sebelumnya digarap oleh penduduk setempat, tepi saluran
irigasi, dan pemukiman penduduk lainnya. Pada umumnya fokus
bekicot lebih banyak tersebar di persawahan, bekas sawah, areal
perkebunan, parit, mata air dan hutan. Ada juga koloni yang tersebar
di pemukiman, meskipun biasanya sedikit. Ciri-ciri tempat berlumpur,
kasar, berkerikil, aliran air lambat Kondisi iklim dan geografis daerah
asal umumnya cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan bekicot
Oncomelania hupensis lindoensis yang berperan penting dalam
epidemiologi schistosomiasis.
Pada bekicot, perkembangannya berlangsung dari tahap larva, mulai
dari miracidium sampai bentuk cercaria. Iklim yang baik juga
mendukung perkembangan klorofit dan diatom (Hadidjaja, 1985).
Lahan garapan berupa bekas sawah yang terbengkalai, lama tidak
digarap mengarah pada pertanian untuk ditumbuhi rumput dan semak
belukar, tepi saluran irigasi (irigasi) di daerah ini lebih disukai oleh
keong Oncomelania hupensis linduensis sebagai perantaranya.
Schistosomiasis japonicum, bekicot dapat menempel pada rerumputan
atau dedaunan, ketika air surut bekicot tenggelam ke tanah. Agar
bekicot tidak memiliki tempat untuk bereproduksi, Anda harus terus
menggarap lahan pertanian minimal dua kali setahun, atau 5 kali
dalam dua tahun. Areal budidaya dapat diperluas sehingga tidak ada
areal perkembangbiakan keong Oncomelania hupensis linduensis
(Sudomo, 2008).
Habitat bekicot merupakan sumber penularan penyakit ke manusia
melalui keong yang terinfeksi dan larva serkaria yang disebut koloni.
Kondisi luar ruangan yang disukai siput adalah rerumputan, yang
berguna sebagai perlindungan dari sinar matahari yang kuat. Kondisi
air yang konstan merupakan tempat berkembang biak bagi
perkembangan bekicot muda dan konservasi kelembaban, tanah
berlumpur merupakan tempat berkembang biak alami bagi
perkembangan alga sebagai makanan bagi bekicot. Kondisi ini
biasanya terjadi pada lahan sawah yang terbengkalai atau tidak
diusahakan secara intensif (Hadidjaja, 1985).

Lingkungan Fisik dan Lingkungan Kimia

Penelitian Lumeno tahun 1990 menunjukkan bahwa iklim Napu dan


Lindu dengan kelembaban 70-99%, curah hujan 70-900 mm/tahun,
dan suhu 230-32,80 °C, sangat membantu persarangan inang. Iklim
yang baik juga mendukung nutrisi siput Oncomelania hupensis
lindoensis selama perkembangan chlorophyceae dan ganggang mati
seumur hidupnya. Habitat siput Oncomelania hupensis lindoensis
terdapat di tepi hutan, hutan atau di tepi danau, dimana tempat ini
hampir selalu terlindung dari sinar matahari dengan adanya pohon-
pohon besar dan kecil serta selalu basah. karena air terus mengalir dari
mata air. Selain mempelajari ekologi inang perantara, survei habitat
bekicot dilakukan pada tahun 1973, yang meliputi analisis sifat tanah
dan air, pH dan mineral pada 7 habitat terpilih. Sampel tanah diperiksa
di Balai Penelitian Tanah di Bogor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanahnya berpasir lempung


dan mengandung mineral potasium, sodium, kalsium, magnesium dan
besi. Air di habitat bekicot memiliki pH 8,5 dan mengandung kalium,
kalsium, magnesium, natrium, besi, dan tembaga. Karena perairan
tersebut banyak mengandung mineral, maka bekicot dapat
memperoleh makanan yang cukup agar reproduksinya cukup baik
(Hadidjaja, 1985).

2.4 Cara penularan

Schistosomiasis ditularkan ketika larva serkaria menemukan inang


definitif di dalam air, yaitu Penularan schistosomiasis ke manusia terjadi ketika
manusia berada di lingkungan perairan yang sudah mengandung larva
Schistosoma cercariae. Schistosomiasis adalah penyakit yang ditularkan
melalui air (waterborne disease) yang biasanya didapat dengan berenang di air
yang memiliki inang, termasuk siput.

Berbagai siput, masing-masing disesuaikan dengan populasi parasit


lokal, berfungsi sebagai hospes perantara. Siput Bulinus sp. merupakan hospes
perantara bagi S. haematobium, siput air yang tumbuh subur di badan air yang
tidak membawa terlalu banyak air, seperti kolam atau saluran irigasi. Siput
Biomphalaria sp. hospes perantara S. Manson, terdapat di perairan serupa tetapi
juga dapat tumbuh subur di danau dan aliran air.

Siput Oncomelania sp. Ada tuan rumah antara S. japonicum, yang


termasuk amfibi, oleh karena itu sering ditemukan di tepi saluran irigasi,
saluran drainase atau dataran sungai. Sumber utama infeksi S. haematobium
adalah anak kecil yang terinfeksi buang air kecil di air, sedangkan S. mansoni
dan S. japonicum merupakan sumber utama kontaminasi dari kotoran
hewan/manusia di air. Telur Schistosoma ditumpahkan dalam kotoran manusia
(S. mansoni dan S. japonicum) atau urin (S. haematobium). Dari telur yang
menetas di air, terbentuk larva yang disebut Miracidium, yang menginfeksi
siput sebagai inang perantara, berkembang di tubuh siput dan disekresikan
sebagai serkaria. Larva ini dapat berenang dan menembus lapisan kulit hospes
definitif. Setelah menembus kulit. Cercaria terbentuk dan bermigrasi ke hati.
Kemudian perjalanan kembali melalui pembuluh darah ke usus besar (S.
mansoni dan S. japonicum) atau vesica urinaria (S. haematobium) tempat
cacing tumbuh, kawin dan bertelur.

Faktor penting yang terkait dengan penyebaran penyakit adalah proyek


yang terkait dengan perluasan dan pengembangan saluran air, pembuatan danau
buatan, dan sistem irigasi. Faktor-faktor tersebut memicu pertumbuhan
populasi bekicot sebagai hospes perantara. Pergerakan manusia juga dapat
menyebarkan penyakit. Contohnya adalah urbanisasi desa menjadi kota.
migrasi dan pergerakan wisatawan. Karena penyakit ini ditularkan oleh bekicot
yang lebih menyukai daerah yang kaya air sebagai hospes perantara, maka
penyakit ini sering terjadi di daerah dengan curah hujan yang cukup atau di
daerah yang memiliki danau atau tambak dengan populasi ternak yang tinggi.

Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia cenderung mandi, mencuci,


mengambil air dari sungai dan membuangnya ke sungai, selokan atau sawah.
Karena kebiasaan berenang di sungai, mencuci, dan minum air, ada risiko tinggi
tertular S. japonicum. Mereka terinfeksi S. japonicum dengan memaparkan
larva serkaria ke air yang terkontaminasi selama aktivitas sehari-hari ini. Selain
aktivitas tersebut, infeksi S japonicum juga terkait dengan pekerjaan. Bertani,
menangkap ikan, dan berburu di hutan adalah pekerjaan yang risiko S-nya
sangat tinggi. japonicum.
2.5 Gejala klinis

Kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan gatal dan ruam yang
sering disebut dengan swimmer's itch. Tanda klinis muncul setelah 23 minggu,
tetapi sebagian besar tidak memiliki tanda klinis (asimtomatik). Schistosoma
hematoblum. S.mansoni dan S. masa inkubasi japonicum adalah 8-12 minggu
sejak larva masuk ke dalam tubuh sampai cacing mencapai feses/urin penderita.

Infeksi schistosoma dapat menyebabkan gejala umum seperti gejala


keracunan, demam, disentri, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan,
gejala saraf, penurunan berat badan dan pertumbuhan yang lambat pada anak-
anak. Namun, pasien yang sudah kronis dapat mengalami pembengkakan hati
dan limpa serta sirosis hati, yang biasanya berakhir fatal.

Tanda-tanda klinis fase akut (dikenal sebagai demam Katayama) adalah


demam, malaise, urtikaria, dan eosinofilia. Gejala lain mungkin termasuk
batuk, demam, lesu, diare, penurunan berat badan, hematuria, sakit kepala,
nyeri sendi dan otot, eosinofilia, splenomegali, dan hepatomegali. Infeksi
Schistosoma hematobium menyebabkan demam disertai batuk kering, diikuti
nyeri perut ringan, nyeri tekan hati, dan eosinofilia. Dengan infeksi jangka
panjang, S. japonicum dapat menyebabkan granuloma lambung dan karsinoma
lambung.

Infeksi kronis dengan S. Manson dan S. japonicum menyebabkan fibrosis


periportal hati dan hipertensi portal menyebabkan asites dan varises esofagus.
Infeksi jangka panjang S. haematoblum menyebabkan kerusakan kandung
kemih, obstruksi ginjal, infeksi saluran kemih kronis, dan akhirnya kanker
kandung kemih.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan deteksi telur Schistosoma pada


pemeriksaan mikroskopis feses dan urin. Biopsi langsung juga dapat dilakukan
untuk menemukan telur cacing atau tes serologis untuk menemukan antibodi
atau antigen schistosom.
2.6 Pengobatan dan Pengendalian

Penyebaran schistosomiasis di suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa


faktor yang saling terkait. Kehadiran hospes definitif yang peka, yaitu manusia
dan mamalia, merupakan faktor penting. Luasnya hospes definitif yang dapat
terinfeksi merupakan kendala dalam pengendalian schistosomiasis.
Praziquantel adalah terapi yang tepat untuk schistosomiasis. Dosis praziquantel
yang dapat diberikan adalah 20 mg/kg Hewan dapat menerima praziquantel
dengan dosis 25 mg/kg dan diulang setelah 35 minggu. Pada manusia, dapat
diobati dengan metrifonate, oxamnikin, atau praziquantel.

Di wilayah adat, schistosomiasis menjadi penyakit masyarakat yang dapat


menyerang orang di bawah usia 15 tahun. Pengendalian yang efektif dapat
dicapai dengan meningkatkan pendidikan masyarakat (kesadaran masyarakat)
dan sanitasi agar feses tidak mencemari air bersih, atau dengan memperbaiki
prosedur penyediaan air bersih. air untuk kebutuhan sehari-hari. Terapi massal
untuk S. haematoblum adalah nidazole, sedangkan S. haematoblum adalah
mansoni dan S. japonicum adalah hycanthone ( metabolit dari lucanthone) dan
potassium antimony dimercaptosuccinate.

Untuk memerangi schistosomiasis pada manusia, tentunya pengendalian


hewan juga harus diterapkan. Tanpa pengendalian hewan, infeksi pada manusia
akan terus terjadi karena sumber infeksi kerang terus ada. Mamalia, sebagai
inang reservoir, memainkan peran yang sangat penting dalam penularan
schistosomiasis. Sumber infeksi selalu tersedia melalui kontaminasi
lingkungan telur schistosom dari hewan seperti anjing, kucing, ruminansia,
babi dan mamalia lainnya.

Populasi bekicot sebagai hospes perantara juga dikendalikan dengan


mengubah lingkungan fisik dengan mengeringkan badan air yang dicurigai. Ini
juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan tembaga sulfat atau natrium
pentaklorofenat. Moluskisida yang dapat digunakan antara lain Fresco dan
Baylucide. Pengendalian hayati dengan predator, parasit. dan pesaing alami
seperti siput pemangsa, ikan, katak, burung, dll
Perjuangan melawan schistosomiasis di Sulawesi Tengah dimulai pada
tahun 1974 dengan pengobatan mereka yang terkena dampak, pemusnahan
siput sebagai inang perantara dengan bantuan moluska dan penggunaan
teknologi pertanian. Program pengawasan dilanjutkan sejak tahun 1982 dengan
dua program pengawasan intensif yang melibatkan berbagai institusi. Program
itu mengurangi tingkat infeksi di Lembah Naput dan Lembah Lindu dari 2,2
persen pada tahun 1994 menjadi 3,5 persen. Tingkat infeksi sebelum program
kontrol adalah 15,8 ± 35,8% di lembah Lindu dan Napu. Angka infeksi kembali
menurun dua tahun kemudian, yaitu 1,4% di lembah Naputal, sedangkan di
lembah Lindu menjadi 1,1 D44. Saat ini belum ada vaksin untuk melawan
schistosomiasis, namun tahap awal pengembangan vaksin untuk melawan
penyakit ini telah selesai. Infeksi ulang dapat diobati dengan praziquantel untuk
mengurangi gejala klinis yang ditimbulkan

Wisatawan disarankan untuk tidak berenang atau menyelam di sungai atau


danau di daerah endemik schistosomiasis. Obat nyamuk topikal dapat
digunakan sebelum kontak dengan air. Air yang diklorinasi dapat membunuh
larva cacing. Cercaria dibunuh dalam air yang dipanaskan hingga 50 °C selama
5 menit. Penyaringan air juga dapat membantu menghilangkan schistosomiasis.
BAB III
METODE PEMBAHASAN

3.1 Sumber data


Data sekunder yang diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai sumber
digunakan sebagai sumber data, dimana teknik survey didasarkan pada sumber
data tertulis berupa jurnal, buku dan bahan lain yang berhubungan dengan topik
penelitian.

3.2 Jenis data


Informasi yang akan dianalisis meliputi informasi faktor kesehatan, seperti:
B. Kebersihan lingkungan, menjaga kemurnian makanan yang dapat dimakan,
mencuci tangan sebelum menyentuh makanan. Data ini menggunakan metode
analisis faktor untuk menentukan variabel bebas dengan variabel terikat.

3.3 Teknik pengumpulan data


Teknik pengumpulan data yang digunakan didasarkan pada studi literatur.
Dimana dalam hal ini analisis terhadap subjek masalah yang diteliti dilakukan
melalui analisis dokumen yang digunakan melalui pembacaan yang cermat dan
konsentrasi.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Schistosomiasis adalah masalah zoonosis dan kesehatan masyarakat.
Penyakit ini kronis dan menyebabkan penderitaan bertahun-tahun,
mengurangi kapasitas kerja dan bisa berakibat fatal. Saat ini dikenal 6
spesies yaitu Schistosoma hematoblum, S. mansoni, S. intercalatum, S.
japonicum, S. bovis, dan S. mathel Schistosoma hematobium, S. mansoni,
dan S. intercalatum. Schistosomiasis sangat tersebar luas di daerah tropis
dan subtropis. Pengobatan dapat dilakukan pada manusia, pengendalian
dilakukan baik pada hewan tertular sebagai reservoir maupun pada bekicot
sebagai hospes perantara dan air sebagai sumber pencemar.

4.2 Saran
Atas dasar itu disarankan perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat
akan bahaya schistosomiasis dan diharapkan seluruh tenaga kesehatan dapat
terus bekerja sama dengan baik untuk mengalahkan dan menanggulangi
penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

Nurwidayati, A. (2015) ‘Variasi Genus Keong di Daerah Fokus Keong Perantara


Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu, Sulawesi Tengah Snail Genera
Variation in Focus Area Of Schistosomiasis Intermediate Snail in Lindu
Plateau, Central Sulawesi’, Balaba, 11(2), pp. 59–66.

Pawakkangi, S. et al. (2018) ‘Kondisi Fokus Keong Perantara Schistosomiasis


Oncomelania hupensis lindoensis di Empat Desa Daerah Integrasi Program
Lintas Sektor, Sulawesi Tengah’, Balaba: Jurnal Litbang Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, pp. 117–126. doi:
10.22435/blb.v14i2.273.

Peralta-argomeda, J. et al. (2016) ‘BAB 2 TINJAUAN TEORITIS’, Ucv, I(02), pp.


0–116. Available at:
http://dspace.unitru.edu.pe/bitstream/handle/UNITRU/10947/Miñano
Guevara%2C Karen
Anali.pdf?sequence=1&isAllowed=y%0Ahttps://repository.upb.edu.co/bit
stream/handle/20.500.11912/3346/DIVERSIDAD DE
MACROINVERTEBRADOS ACUÁTICOS Y
SU.pdf?sequence=1&isAllowed=y.

Rosmini, R., Jastal, J. and Ningsi, N. (2016) ‘Faktor Risiko Kejadian


Schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah’,
Vektora : Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit, 8(1), pp. 1–6. doi:
10.22435/vk.v8i1.5085.1-6.

Transmission, T. H. E. et al. (2010) ‘Penularan schistosomiasis didesa dodolo dan


mekarsaridataran tingginapu sulawesi tengah’, XX, pp. 113–117.

Wicaksana, A. (2016) ‘SCHISTOSOMIASIS PADA MASYARAKAT


DATARAN TINGGI LINDU DI KABUPATEN SIGI, PROPINSI
SULAWESI TENGAH’, Https://Medium.Com/. Available at:
https://medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-a7e576e1b6bf.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai