Anda di halaman 1dari 23

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“SCHISTOSOMIASIS”

Oleh:

NAMA : VANI REZA

NPM : 18.12.064

MATA KULIAH : EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

DOSEN PENGAMPU : BAHTERA BINDAVID PURBA, SKM, M.Kes

INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELI TUA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM


SARJANA

T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran ALLAH SWT. Atas limpaha rahmat dan anugrah
daru-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “SCHISTOSOMIASIS”
dengan baik dan benar tanpa ada halangan yang berarti.

Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerja sama dari
beberapa pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada
segenap pihak yang telah membantu dan berkontribusi secara maksimal dalam
penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa


masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat maupaun isi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, saya
selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dan
pembaca.

Dengan karya ini saya berharap dapat membantu pemerintah untuk


mencerdaskan kehidupan bangsa melalui makalah ini.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat


menambah wawasan, ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk
masyarakat luas.

Deli tua, 22 januari 2020

Vani reza
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2


DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 6
2.1 CASE DEFINITION ................................................................................... 6
2.1.1 Defenisi Penyakit Schistosomiasis ...................................................... 6
2.1.2 Etiologi................................................................................................. 7
2.2 EPIDEMIOLOGI SCHISTOSOMIASIS .................................................... 8
2.2.1 Distribusi.............................................................................................. 8
2.2.2 Frekuensi ............................................................................................. 11
2.2.3 Faktor Determinan .............................................................................. 12
2.3. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT ...................................................... 14
2.3.1 SPEKTRUM SCHISTOSOMIASIS ................................................... 14
2.3.2 MASA PREPATOGANESA DAN PATOGANESA ........................ 14
2.3.2 MASA INKUBASI DAN DIAGNOSIS ............................................ 15
2.4 MODE OF TRANSMISION ..................................................................... 16
2.5 JENIS-JENIS KASUS ............................................................................... 17
2.6 STATUS EPIDEMIK ................................................................................ 18
2.7 INTERVENSI DAN PENCEGAHAN ...................................................... 19
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 21
4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 21
4.2 Saran ......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diagnosis Molekuler Schistosomiasis, Pada Sampel Feses Penduduk Desa
Dodolo Kecamatan Lore Utara, Lembah Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah,
Indonesia Latar Belakang : Schistosomiasis disebabkan oleh cacing Schistosoma.
Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum,
yang merupakan penyakit endemik, dan hanya ditemukan Sulawesi Tengah yaitu
di daerah dataran tinggi Lembah Napu, Lindu, dan Bada. Prevalensi
Schistosomiasis di Sulawesi Tengah pada tahun 2001-2010 mengalami fluktuasi
prevalensi terendah pada tahun 2003 yaitu 0,70%, dan prevalensi tertinggi pada
tahun 2010 yaitu 5,68 %. Pada tahun 2012 proporsi kasus schistosomiasis di Napu
sebesar 1,44 %. Dari 15 Desa yang diperiksa di Dataran Tinggi Napu, terdapat 12
desa yang memiliki prevalensi di atas standar WHO yaitu 1%. Pemeriksaan rutin
yang dilakukan oleh Dinkes Prov. Sulteng yaitu pemeriksaan mikroskopis dengan
metode Kato-Katz. Tujuan : Untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukan
secara molekuler dengan metode PCR dan membandingkan hasil pemeriksaan
yang dilakukan secara mikroskopis dengan metode Kato-Katz. Metode :
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional, untuk mengetahui
hasil pemeriksaan molekuler metode PCR, menggunakan primer (forward 5'-TCT
AAT GCT ATT GGT TTG AGT-3') dan (reverse 5'-TTC CTT ATT TTC ACA
AGG TGA-3') dengan target DNA yaitu SjR2, pada band 230 bp. Sampel yang
digunakan merupakan sampel feses awetan dengan etanol 96% dari desa Dodolo,
yang sebelumnya telah diperiksa menggunakan mikroskop dengan metode Kato-
Katz terhadap Schistosoma japonicum. Hasil : Berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis yang dilakukan dengan metode Kato-katz dari 70 sampel, 19 sampel
dinyatakan positif terinfeksi oleh cacing Schistosoma japonicum, dan 51 sampel
dinyatakan negatif. Pemeriksaan lanjutan secara molekuler dengan metode PCR,
menunjukkan 40 sampel positif terinfeksi oleh cacing Schistosoma japonicum
ditandai dengan adanya band yang muncul pada band target 230 bp, dan 30
sampel lainnya negatif. Pemeriksaan molekuler dengan metode PCR 2 kali lebih
sensitif dalam mendeteksi schistosomiasis jika dibandingkan dengan pemeriksaan
mikroskopis dengan metode Kato-Katz. Kesimpulan : Hasil pemeriksaan
molekuler dengan metode PCR terdapat 40 dari 70 sampel dinyatakan positif
schistosomiasis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemeriksaan molekuler,
dengan metode PCR 2 kali lebih sensitif jika dibandingkan dengan hasil
pemeriksaan mikroskop dengan metode Kato-Katz yaitu hanya 19 orang yang
dinyatakan positif schistosomiasis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 CASE DEFINITION
2.1.1 Defenisi Penyakit Schistosomiasis
Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit
parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus
Schistosoma. (Miyazaki, 1991)
Schistosomiasis (bilharziasis) adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing pipih
(cacing pita). Ini seringkali menyebabkan ruam, demam, panas-dingin, dan nyeri
otot dan kadangkala menyebabkan nyeri perut dan diare atau nyeri berkemih dan
pendarahan.
Schistosomiasis mempengaruhi lebih dari 200 juta orang di daerah tropis dan
subtropis di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Lima jenis schistosoma yang
paling menyebabkan kasus pada schistosomiasis pada orang:
 Schistosoma hematobium menginfeksi saluran kemih (termasuk kantung
kemih)
 Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi, dan
Schistosoma intercalatum menginfeksi usus dan hati. Schistosoma
mansoni menyebar luas di Afrika dan satu-satunya schistosome di daerah
barat.
Di Indonesia, schistosomiasis disebabkan oleh Schistosoma japonicum ditemukan
endemik di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu dan
Dataran Tinggi Napu. Secara keseluruhan penduduk yang berisiko tertular
schistosomiasis (population of risk) sebanyak 15.000 orang.
Penelitian schistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940 yaitu
sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di Tomado, Dataran Tinggi Lindu,
Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1935.
Pada tahun 1940 Sandground dan Bonne mendapatkan 53% dari 176 penduduk
yang diperiksa tinjanya positif ditemukan telur cacing Schistosoma.
2.1.2 Etiologi
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma,
yaitu sejenis parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus
atau kandung empedu orang yang dijangkiti.
Schistosomiasis diperoleh dari berenang, menyeberangi, atau mandi di air bersih
yang terkontaminasi dengan parasit yang bebas berenang. Schistosomes
berkembang biak di dalam keong jenis khusus yang menetap di air, dimana
mereka dilepaskan untuk berenang bebas di dalam air. Jika mereka mengenai kulit
seseorang, mereka masuk ke dalam dan bergerak melalui aliran darah menuju
paru-paru, dimana mereka menjadi dewasa menjadi cacing pita dewasa. Cacing
pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat terakhir di dalam
pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dimana mereka tinggal untuk
beberapa tahun. Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah
besar pada dinding kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan
jaringan setempat rusak dan meradang, yang menyebabkan borok, pendarahan,
dan pembentukan jaringan luka parut. Beberapa telur masuk ke dalam
kotoran(tinja)atau kemih. Jika kemih atau kotoran pada orang yang terinfeksi
memasuki air bersih, telur-telur tersebut menetas, dan parasit memasuki keong
untuk mulai siklusnya kembali.
Schistosoma mansoni dan schistosoma japonicum biasanya menetap di dalam
pembuluh darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari sana melalui aliran
darah menuju ke hati. Akibatnya peradangan hati bisa menyebabkan luka parut
dan meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah yang membawa darah antara
saluran usus dan hati (pembuluh darah portal). Tekanan darah tinggi di dalam
pembuluh darah portal (hipertensi portal) bisa menyebabkan pembesaran pada
limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di dalam kerongkongan.
Telur-telur pada schistosoma hematobium biasanya menetap di dalam kantung
kemih, kadangkala menyebabkan borok, ada darah dalam urin, dan luka parut.
Infeksi schistosoma hematobium kronis meningkatkan resiko kanker kantung
kemih.
Semua jenis schistosomiasis bisa mempengaruhi organ-organ lain (seperti paru-
paru, tulang belakang, dan otak). Telur-telur yang mencapai paru-paru bisa
mengakibatkan peradangan dan peningkatan tekanan darah di dalam arteri pada
paru-paru (hipertensi pulmonari).

 Kasus Probable : pada kasus ini merupakan hasil yang belum pasti tentang
diagnosa suatu penyakit karena belum dilakukan uji dilaboratorium.
Ketika cacing pipih ini sudah berada di dalam tubuh manusia, penderita
akan mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan
sehingga kurus yang berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang
bisa diakhiri dengan kematian. Tidak seperti proses cacingan pada
umumnya, cacing ini masuk ke tubuh manusia bukan dari mulut, tapi
langsung menembus pori-pori kulit menuju aliran darah dan bergerak
menuju jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati.
 Kasus Suspect : adapun gejala yang dapat ditemukan pada penderita
schistosomiasis adalah Sistem pencernaan dapat menyebabkan anemia,
sakit dan bengkak pada perut, diare dan darah pada feses Sistem urinasi
dapat menyebabkan infeksi pada kandung kemih (cystitis), sakit saat
buang air kecil, sering merasa ingin buang air kecil dan darah pada urin
Jantung dan paru-paru dapat menyebabkan batuk yang tidak kunjung
hilang, napas berbunyi, sesak napas, dan batuk darah Sistem saraf atau
otak dapat menyebabkan kejang, sakit kepala, kelemahan dan mati rasa
pada kaki dan pusing.
 Kasus Confirmed : Diagnosis terhadap kolesterol dilakukan berdasarkan
hasil pemeriksaan darah dan pemeriksaan fisik dari gejala yang dialami
oleh pengidap.

2.2 EPIDEMIOLOGI SCHISTOSOMIASIS


2.2.1 Distribusi
Di Indonesia, schistosomiasis disebabkan oleh Schistosoma japonicum ditemukan
endemic di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu diDataran Tinggi Lindu dan
Dataran Tinggi Napu.Secara keseluruhan penduduk yang berisikotertular
schistosomiasis (population of risk)sebanyak 15.000 orang.
Penelitian schistosomiasis di Indonesiatelah dimulai pada tahun 1940 yaitu
sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di Tomado, Dataran Tinggi Lindu,
Kecamatan Kulawi,Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah padatahun 1935. Pada
tahun 1940 Sandground dan Bonne mendapatkan 53% dari 176 penduduk yang
diperiksa tinjanya positif ditemukan telur cacing Schistosoma.
Penyakit schistosomiasis menyerang cina sejak pertengahan 1950.
Distribusi Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Tinja di Kecamatan
Lore Barat Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah
2.2.2 Frekuensi
Di Dataran Tinggi Napu, prevalensi schistosomiasis pada manusia selama 5 tahun
terakhir (2003-2007) yaitu berturut-turut 0,63%, 0,52%, 0,64%, 1,21%, 1,14%. di
Dataran TinggiNapu juga pada tahun 2008 yaitu 2,4%, tetapi masihlebih rendah
dibandingkan di Cina pada tahun2003 yaitu 92,74% dan di Propinsi Jiangxi,
Chinapada tahun 2005 yaitu 18,08%. Fluktuasi inidisebabkan antara lain karena
cakupan pemeriksaantinja yang bervariasi. Pada tahun 2004,persentase cakupan
survei tinja di Desa Dodoloyaitu 99% dan di Desa Mekarsari yaitu 92%.
Padatahun 2005, cakupan survei tinja menurun di duadesa tersebut yaitu 87% di
Desa Dodolo dan 80% di Desa Mekarsari. Pada tahun 2006, cakupansurvei tinja
di Desa Dodolo turun menjadi 86%sedangkan di Desa Mekarsari menurun
drastis,hanya mencapai 33%, yaitu dari 893 pendudukhanya 297 penduduk yang
mengumpulkantinjanya untuk diperiksa.Selain ditemukan kasus, juga masih
ditemukan adanya hospes perantara yaitu keong O. hupensis lindoensis yang
positif cercaria dan tikus yang positif mengandung cacing Schistosoma.
Berdasarkan laporan dari Laboratorium Schistosomiasis yang ada di Dataran
Tinggi Napu, terdapat fokus keong O. hupensis lindoensis sebanyak 380 fokus,
sebanyak 291 fokus (76,58%) adalah positif cercaria dan sisanya (23,42%)
negative. Hasil survei tikus di Dataran Tinggi Napu pada tahun 2005-2006
menunjukkan prevalensi S. japonicum pada tikus yaitu di Sulawesi Tengah,3,8%
dan 4%. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah
pengobatan.
2.2.3 Faktor Determinan
Agent Vector

host environment

a. Host (manusia)
Penyakit schistosomiasis menyerang segala umur dan tidak memandang
jenis kelamin.
b. Agent (penyakit)
Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan
penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong
dalam genus Schistosoma.
Schistosomiasis (bilharziasis) adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing
pipih (cacing pita). Ini seringkali menyebabkan ruam, demam, panas-
dingin, dan nyeri otot dan kadangkala menyebabkan nyeri perut dan diare
atau nyeri berkemih dan pendarahan.
c. Environment (lingkungan)
Schistosomiasis mempengaruhi lebih dari 200 juta orang di daerah
tropis dan subtropics. Pada umumnya orang yang dijangkiti
schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak
terpisah dari air, baik dalam rangka bekerja sebagai petani di sawah
ataupun melakukan kegiatan sehari-hari seperti mencuci pakaian/alat-alat
rumah tangga, buang air serta mandi di sungai atau perairan yang
terinfeksi parasit schistosoma. Selain itu adalah mereka yang sering
menyusuri sungai untuk berburu binatang di hutan-hutan atau mencari
ikan sepanjang daerah yang telah terinfeksi parasit schistosoma; atau
tempat-tempat perindukan alamiah parasit itu.
Pemberantasan dapat dilakukan dengan molluscicides, berupa bahan
kimia yang yang disemprotkan didalam air habitatnya. Sedangkan hospes
perantara S. japonicum adalah siput amfibius yang tidak selalu berada
didalam air. Pemberantasan dapat dilakukan dengan melakukan berbagai
cara, mulai menggunakan moluscicide, penimbunan, pemarasan,
pembakaran dan merubah habitat siput menjadi lahan pertanian atau
bahkan lapangan golf. Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit
zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia
saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi.

d. Vector
Skistosomiasis adalah penyakit parasit urutan ketiga terbanyak di
dunia, dan berdasarkan dampaknya pada manusia, skistosomiasis
tergolong penyakit tropis nomor dua setelah malaria. Cacing penyebab
skistosomiasis dapat berenang dengan bebas di air tawar seperti di kolam,
sungai, danau, parit, dan waduk. Parasit Schistosoma ini, dapat masuk ke
tubuh manusia melalui kontak langsung, meski pada awalnya tidak
menyebabkan gejala.
Schistosoma akan menetap di dalam kulit dan mematangkan dirinya,
menuju tahap dewasa. Kemudian akan bergerak menuju ke sejumlah
bagian tubuh seperti paru-paru, hati, kandung kemih, usus, anus, limpa
dan pembuluh darah yang mengalirkan darah dari usus ke hati, sehingga
akan berkembang hingga menjadi bentuk cacing dewasa.
Penderita selanjutnya dapat menyebarkan skistosomiasis ketika urine
atau tinja yang mengandung telur cacing mengkontaminasi air tawar.

2.3. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


2.3.1 SPEKTRUM SCHISTOSOMIASIS

Mula-mula schistosomiasis menjangkiti orang gila melalui kulit dalam


bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit
tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan
berubah menjadi cacing.
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh
darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam
hati manusia yang dijangkiti, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam
bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah
tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk
selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama
pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang
merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus
tempat bertelur.
Saat ini prosentase prevalensi penyakit cacingan di dataran tinggi lindu juga sudah
mulai menurun hingga dibawah 1%, berkat upaya aktif dari pemerintah yang
secara rutin melakukan pemantauan.

2.3.2 MASA PREPATOGANESA DAN PATOGANESA


a. Masa Prepatoganesa
Daur Hidup Schistosoma japonicum, dimulai ketika terjadi proses
infeksi pada manusia. Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif
(cercaria) menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang
mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cercaria akan berubah
bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran
darah, masuk ke dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri
dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan menjadi dewasa di dalam
hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus dan
kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat
menembus keluar pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya
masuk ke dalam lumen usus untuk kemudian ditemukan di dalam tinja.
Telur menetas dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium.
Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong O.h. lindoensis dan
berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian
menghasilkan cercaria (Hadidjaja, 2000).

b. masa patogenesis
Menurut Hadidjaja (2000), patogenesis Schistosoma japonicum, akan
menyebabkan perubahan-perubahan karena infeksi tiga stadium cacing
Schistosoma japonicum yaitu cercaria, cacing dewasa dan telur. Pada saat
cercaria menembus kulit terjadi perubahan pada kulit berupa eritema dan
papula. Perubahan tersebut disertai rasa gatal dan panas. Bila cercaria
yang masuk ke dalam kulit dengan jumlah yang banyak, maka akan
terjadi dermatitis. Gejala paru timbul ketika schistosomula mencapai paru
yaitu dengan timbulnya batuk dan terkadang disertai dahak. Pada
beberapa kasus, terkadang batuk bercampur dengan sedikit darah. Gejala
paru tersebut dapat menjadi berat sehingga timbul serangan asma.
Manifestasi toksik mulai timbul antara minggu ke-2 sampai minggu ke-6
setelah terjadi infeksi. Pada stadium ini timbul gejala seperti lemah,
malaise, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh dan
diare. Beratnya gej ala tergantung dari banyak atau sedikitnya cercaria
yang masuk. Pada infeksi yang cukup berat dapat timbul demam tinggi.
Sedangkan stadium akut dimulai sejak cacing betina bertelur. Gej ala
berat yang timbul adalah hepatomegali dan splenomegali yang timbul 6 8
bulan setelah cercaria masuk.

2.3.2 MASA INKUBASI DAN DIAGNOSIS


a. Masa Inkubasi
Ketika schistosomes pertama kali memasuki kulit, ruam yang gatal bisa terjadi
(gatal perenang). Sekitar 4 sampai 8 minggu kemudian (ketika cacing pita dewasa
mulai meletakkan telur), demam, panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak
nyaman yang samar (malaise), mual, dan nyeri perut bisa terjadi. Batang getah
bening bisa membesar untuk sementara waktu, kemudian kembali normal.
kelompok gejala-gejala terakhir ini disebut demam katayama.
Gejala-gejala lain bergantung pada organ-organ yang terkena:
1. Jika pembuluh darah pada usus terinfeksi secara kronis : perut tidak
nyaman, nyeri, dan pendarahan (terlihat pada kotoran), yang bisa
mengakibatkan anemia.
2. Jika hati terkena dan tekanan pada pembuluh darah adalah tinggi :
pembesaran hati dan limpa atau muntah darah dalam jumlah banyak.
3. Jika kandung kemih terinfeksi secara kronis : sangat nyeri, sering
berkemih, kemih berdarah, dan meningkatnya resiko kanker kandung
kemih.
4. Jika saluran kemih terinfeksi dengan kronis : peradangan dan akhirnya
luka parut yang bisa menyumbat saluran kencing.
5. Jika otak atau tulang belakang terinfeksi secara kronis (jarang terjadi) :
Kejang atau kelemahan otot.

b. Diagnosis
Wisatawan dan imigran dari daerah-daerah dimana schistosomiasis adalah sering
terjadi harus ditanyakan apakah mereka telah berenang atau menyeberangi air
alam. Dokter bisa memastikan diagnosa dengan meneliti contoh kotoran atau urin
untuk telur-telur. Biasanya, beberapa contoh diperlukan, tes darah bisa dilakukan
untuk memastikan apakah seseorang telah terinfeksi dengan schistosoma mansoni
atau spesies lain, tetapi tes tersebut tidak dapat mengindikasikan seberapa berat
infeksi atau seberapa lama orang tersebut telah memilikinya. Untrasonografi bisa
digunakan untuk mengukur seberapa berat schistosomiasis pada saluran kemih
atau hati.

2.4 MODE OF TRANSMISION


Mula-mula schistosomiasis menjangkiti orang gila melalui kulit dalam
bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit
tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan
berubah menjadi cacing.
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh
darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam
hati manusia yang dijangkiti, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam
bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah
tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk
selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama
pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang
merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus
tempat bertelur.
Saat ini prosentase prevalensi penyakit cacingan di dataran tinggi lindu juga sudah
mulai menurun hingga dibawah 1%, berkat upaya aktif dari pemerintah yang
secara rutin melakukan pemantauan.

2.5 JENIS-JENIS KASUS


a. Kasus Lama
Jauh sebelum ditemukan di Lore Lindu, penyakit ini diketahui pernah mewabah di
Mesir dan China pada masa lalu. Tahun 1500 sebelum Masehi (SM), Ebers
Papyrus dari Mesir mencatat resep untuk membunuh cacing dalam tubuh yang
mengakibatkan pendarahan pada urine. Lembaran papirus ini diyakini salinan dari
dokumen asli yang dibuat tahun 3400 SM.
Dalam penelitian yang dilakukan pionir paleopatologi, Marc Armand Ruffer
(1859-1917), tahun 1910, menemukan telur Schistosoma haematobium pada
ginjal dua mumi dari Dinasti Firaun ke-20 Mesir (1250 SM-1000 SM). Temuan
ini membuka mata dunia bahwa schistosomiasis telah ada di Lembah Sungai Nil
sejak dulu.
Adanya schistosomiasis pada mumi juga ditemukan di China dalam penggalian
situs prasejarah antara tahun 1971 dan 1974. Ditemukan telur Schistosoma
japonicum di usus mumi yang berusia 2100 tahun.
Dokumen kuno China yang mencatat penyakit ini terlacak sejak 400 SM. Ge
Hong dalam catatan medisnya, Zhouhou Beijifang, menggambarkan adanya
”racun air yang menyerang manusia seperti shegong (serangga beracun), tetapi tak
terlihat”. Hingga kini diketahui, daerah sekitar Sungai Mekong merupakan daerah
endemis penyebaran penyakit schistosomiasis.
Bahkan, kata Triwibowo, ada juga yang meyakini, negara-negara Asia yang
memiliki penyebaran Schistosoma japonicum, seperti Indonesia, memiliki sejarah
masa lalu yang terhubung dengan Sungai Mekong di China. ”Spekulasi peneliti,
dataran yang kini memiliki schistosoma di Asia pada masa lalu pernah terhubung
dengan lempeng Asia, terutama dari Sungai Mekong,” ujar Triwibowo. George
Davis, dalam bukunya, Origin and Evolution of the Gastropod Family
Pomatomidae (2007), memaparkan, asal-usul keong dari genus Oncomelania di
Asia berasal dari Sungai Mekong ketika famili Pomatiopsidae menyebar ke
sejumlah penjuru dunia oleh aktivitas tumbukan lempeng India dengan lempeng
Benua Asia.
Ia juga menjelaskan, subspesies keong di Sulawesi memiliki jalur migrasi yang
berasal dari aliran sungai di China, kemudian ke Jepang, Filipina, dan terakhir
Sulawesi. Penyebaran keong Oncomelania hupensis juga dipicu aktivitas tektonik
di Jepang pada era Miosen.
Karena proses isolasi yang panjang, akhirnya terbentuk subspesies tersendiri,
seperti ditemukan di China, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Sulawesi. Semua
subspesies di negara-negara itu mirip karena berasal dari nenek moyang yang
sama, yaitu Sungai Mekong dan Sungai Yangtze. Spesies ini berbeda dengan yang
ada di Mesir.

2.6 STATUS EPIDEMIK


Penyakit schistosomiasis adalah penyakit yang endemis karena sudah ada
sejak tahun 1982. Daerah yang memiliki jumlah penyakit schistosomiasis terbesar
di indonesia adalah provinsi sulawesi tengah.
Di Sulawesi tengah penyakit ini ditemukan di 28 desa di 6 kecamatan di dua
Kabupaten, yakni Sigi dan Poso. "Cacing Schistosoma menginfeksi manusia,
keong dan mamalia. Pada manusia angka kejadian Schisosomiasis berada di
angka 0,65 sampai 0,97 persen. Untuk keong perantara sebesar 1,22 sampai 10,53
persen dan pada hewan ternak 5,56 sampai 40 persen," lanjut Menkes.
Vensya menuturkan bahwa dalam 30 tahun terdapat lima orang yang meninggal
akibat penyakit ini. Pengobatan yang dilakukan dengan obat cacing Praziquantel
yang diminumkan selama dua kali dengan jarak empat sampai enam jam.
Tentunya dibawah pengawasan tenaga medis dan paramedis kesehatan. Namun
selama ini penderita yang sudah sembuh akan kembali terinfeksi sehingga
dibutuhkan penanganan lebih lanjut untuk pemutusan rantai penularan
schistosomiasis.

2.7 INTERVENSI DAN PENCEGAHAN


a. Intervensi
Pemberantasan schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan berbagai
metoda yaitu pengobatan penderita dengan Niridazole dan pemberantasan siput
penular (O. hupensis lindoensis) dengan molusisida dan agroengineering.
Pemberantasan yang dilakukan dengan metodatersebut dapat menurunkan
prevalensi dengansangat signifikan seperti di Desa Anca dari 74% turun menjadi
25%.
Kegiatan pemberantasan schistosomiasis secara intensif dimulai pada tahun 1982.
Pemberantasan pada awalnya dititikberatkan pada kegiatan penanganan terhadap
manusianya yaitu pengobatan penduduk secara masal yang ditunjang dengan
kegiatan penyuluhan, pengadaan sarana kesehatan lingkungan, pemeriksaan tinja
penduduk, pemeriksaan keong penular dan tikus secara berkala dan rutin. Hasil
pemberantasan tersebut mampu menurunkan prevalensi schistosomiasis.`
Masalah schistosomiasis cukup komplekskarena untuk melakukan pemberantasan
harusmelibatkan banyak faktor, dengan demikian pengobatan massal tanpa diikuti
oleh pemberantasan hospes perantara tidak akan mungkin menghilangkan
penyakit tersebut untuk waktu yang lama. Selain itu schistosomiasis di Indonesia
merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada
penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui penularan schistosomiasis di Desa Dodolo dan
Mekarsari.
b. Pencegahan
Belum ada vaksin atau obat yang dapat mencegah terjadinya penyakit
schistosomiasis. Jika sedang bepergian ke daerah dengan kasus schistosomiasis
yang tinggi, sebaiknya menghindari mendayung, mencuci, atau berenang di air
tawar. Kamu juga dapat menggunakan sepatu boots anti air jika harus melewati
aliran air tawar atau sungai. Apabila air minum berasal dari sumber air yang
mungkin terkontaminasi, jangan lupa untuk merebus dan menyaring air tersebut
sebelum dikonsumsi.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penduduk Napu dan Lindu sebagian besar masih bekerja di sector pertanian
sebagai petani. Hal ini akan tetap menjadi masalah dalam upaya pemberantasan
schistosomiasis, karena pada umumnya penduduk sewaktu mengolah sawah tidak
mengenakan sepatu dan sarung tangan untuk mencegah terinfeksi cacing
schistosoma, padahal air yang digunakan untuk mengairi sawah bersumber dari
daerah-daerah focus keong penular schistosomiasis.

4.2 Saran
1. Agar masyarakat menggunakan sepatu dan sarung tangan apabila
masyarakat sedang mengolah sawah
2. Agar masyarakat bisa merubah sikap dan perilaku seperti tidak buang air
lagi di sungai dan disawah
DAFTAR PUSTAKA

Miyazaki, I. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis. International Medical


Foundation of Japan, Tokyo. 1991.
Sudomo, M. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan. Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Badan Litbang
Kesehatan. Jakarta. 2008.
Subdin Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Situasi
Schistosomiasis Di Sulawesi Tengah Tahun 1984 – 2007. Dinas
Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah. 2008.
Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah. Data Surveilans Schsitosomiasis Tahun 2006.
Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah. 2006.
Jastal, T.A. Garjito, S. Chadijah, Hayani, Mujiyanto. Laporan Survei di Dataran
Tinggi Napu. Loka Litbang P2B2 Donggala. Sulawesi Tengah. 2008.
Zhou X.N., Wang T.P., Wang L.Y., Guo J.G., et. al. 2004. The Current Status of
Schistosomiasis Epidemic In China. http://www.pubmed.gov. 2004.
Diakses tanggal 4 Maret 2009.
Fei Hu., Dan-dan Lin, Yin Liu, Yue-ming Liu, et. al. Studies On Relationship
Between Spatial Distribution of People’s Behavior and Infection of
Schistoma japonicum In Poyang Lake Region. Proceedings of The 1th
International Symposium On Geospatial Health, September 8-10,
2007,Yunnan China. 2007.
Sudomo, M. & Pretty, M.D.S. Pemberantasan Schistosomiasis Di Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35 No. 1 pp. 36-45. 2007.
Wang R.B., Wang T.P., Wang L.Y., Guo J.G., et. al. Study On The Re-Emerging
Situation of Schistoshomiasis Epidemic In Areas Already Under
Control and Interuption. http://www.pubmed.gov. 2004. Diakses tanggal
4 Maret 2009.
Watts, S. The Social Determinants of Schistosomiasis. Report of The Scientific
Working Group on Schistosomiasis, November 14-16, 2005. Geneva,
Switzerland. http://www.who.int. 2005. Diakses tanggal 24 Mei 2008.
Hadidjaja, P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah Indonesia. Balai Penerbitan
FKUI, Jakarta. 1985.
Barodji, M. Sudomo, J. Putrali, M.A. Joesoef. Percobaan Pemberantasan Hospes
Perantara Schistosomiasis (Oncomelania hupensis lindoensis) Dengan
Bayluscide dan Kombinasi Pengeringan Di Dataran Lindu Sulawesi
Tengah 1976. Buletin Penelitian Kesehatan XI (2) pp. 27-30. 1983.
Kasnodiharjo, M. Sudomo, I. Ilyas & Mudjiharto. Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Penduduk dalam Hubungannya dengan Schistosomiasis
Setelah Dilakukan Pemberantasan di Daerah Lindu dan Napu, Sulawesi
Tengah. Cermin Dunia Kedokteran 60 pp. 37-39. 1990.

Anda mungkin juga menyukai