CEREBRAL TOXOPLASMOSIS
SGD A02
NURMI 1802511018
PUTU WINNA DEYANTI PUTRI 1802511022
GUSTI AYU PUTU MELISA SINTA MELENIA D 1802511046
NI PUTU CHANDRA BHAHASTANASARI 1802511069
NI LUH SURAS AMOURA CAWIS 1802511102
RICHARD 1802511141
FENI CORNELIA 1802511181
I DEWA AYU WIDYA PURNAMA SARI 1802511199
MADE HERY JAYADI NATHA 1802511201
FIAZ DAFFA CHAIDAR ALAM 1802511219
EKA ADITYA PRADNYA SUWARYA 1802511237
NI LUH PUTU PRITHA DEWI KARUNIKA 1802511246
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan student project yang
berjudul “CEREBRAL TOXOPLASMOSIS” tepat pada waktunya.
Dalam proses penyusunan student project ini, penulis banyak mendapat
bimbingan, arahan, dukungan, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. I Made Susila Utama, SpPD-KPTI selaku ketua blok Infection
and Infectious Disorder
2. Dr. I Made Susila Utama, SpPD-KPTI sebagai evaluator Group A-02
dalam student project ini.
3. Dr.dr. A.A Ngurah Subawa., M.Si selaku fasilitator Small Group
Discussion (SGD) A-02.
4. Serta dosen, teman-teman, dan semua pihak yang membantu dalam
menyelesaikan student project ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Jika dalam penyampaian penulis terdapat hal yang kurang berkenan dalam
student project ini, penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Dengan segala
kerendahan hati, penulis menyadari bahwa student project ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun tetap
penulis harapkan untuk menyempurnakan student project ini. Semoga student
project ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum :
1.3.1.1 Untuk mengetahui mengenai penyakit Cerebral toxoplasmosis
1.3.1.2 Untuk mengetahui penatalaksanaan Cerebral toxoplasmosis
1.3.2 Tujuan Khusus :
3
2.1 Definisi
Cerebral toxoplasmosis adalah lesi fokal otak yang paling umum penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien yang terinfeksi HIV,
terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Kejadian ini lebih sering
terjadi pada pasien dengan jumlah CD4 + T-Cell rendah. Hal ini secara
langsung berkaitan dengan prevalensi antibodi anti-Toxoplasma gondii. Oleh
karena itu, penting untuk mengevaluasi tes diagnostik yang sensitif, kurang
invasif, dan cepat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Colombo
ditemukan menunjukkan nilai klinis dari penggunaan PCR dan titer tinggi
anti-Toxoplasma gondii antibodi IgG untuk diagnosis cerebral toxoplasmosis.
(Colombo et al., 2005)
Toxoplasma gondii adalah patogen parasite yang menjadi penyebab
terkena cerebral toxoplasmosis. Parasit menyerang hingga kronis di dalam
sistem saraf pusat (CNS) dari host yang terinfeksi. Persistensi penyakit ini
serta penyebarannya erat berkaitan dengan respon imun. Secara mandiri,
Splendore (1908) mendeskripsikan parasit tersebut dalam sebuah kelinci. Host
definitif dari Toxoplasma gondii adalah felidae, misalnya kucing domestik dan
kucing lain di mana parasit ini obligat secara intraseluler apicomplexan
meniru usus mereka. Manusia dan banyak vertebrata berdarah hangat lainnya,
misalnya tikus dan burung, berfungsi sebagai intermediate host untuk parasit
dan dapat menjadi terinfeksi oleh konsumsi oral oocysts ditularkan oleh
kucing atau dengan kista jaringan yang bertahan di otot dan sistem saraf
intermediate host.(Schlüter and Barragan, 2019)
2.2 Epidemiologi
Toxoplasmosis adalah salah satu infeksi paling umum pada manusia dengan
distribusi di seluruh dunia, dan diperkirakan sekitar sepertiga populasi global
terinfeksi dengan toxoplasmosis laten. Prevalensi terinfeksi toxoplasma gondii
pada pasien HIV menunjukkan variabilitas geografis dan biasanya mengikuti
4
5
2.3 Etiologi
Penyebab dari toksoplasmosis adalah Toxoplasma Gondii, organisme
bersel satu yang hidup sebagai parasit. Toxoplasma Gondii pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1908 oleh Nicolle dan Manceaux di Afrika Utara pada
hewan pengerat dan oleh Splendore pada kelinci di Brazil. Parasit ini telah dikenal
sebagai infeksi umum pada banyak hewan berdarah panas, termasuk manusia.
Hewan dan manusia secara umum dapat terinfeksi toksoplasmosis dengan dua
cara, yaitu secara konginetal dan perolehan. Toksoplasmosis konginetal terjadi
saat janin di dalam rahim tertular dari ibu atau induknya melalui plasenta,
sedangkan toksoplasmosis perolehan terjadi saat inang menelan ookista
toxoplasma gandii atau kista jaringan dimakan secara tidak sengaja (Louis M dan
Sandra, 2014).
Penularan melalui mulut juga dapat terjadi melalui menelan daging
mentah atau setengah matang, terutama daging babi, domba, atau daging rusa
yang mengandung kista toxoplasma, menelan buah atau sayuran yang tidak dicuci
yang telah kontak dengan tanah yang terkontaminasi kotoran kucing yang
terinfeksi. Tertelan nya kotoran kucing yang mengandung ookista seperti kontak
tangan ke mulut setelah berkebun dan membersihkan kotak kotoran kucing,
6
konsumsi makanan laut mentah dan menelan air yang tidak diolah atau untuk
perisapan makanan (Pereira et al, 2010).
Kucing juga termasuk hewan yang berperan dalam penyebaran
toksoplasmosis karena mereka merupakan inang definitif yang menyebarkan
ookista ke lingkungan. Akan tetapi, kucing yang telah menderita toksoplasmosis
pada umumnya tidak menunjukkan tanda yang spesifik. Kucing mengeluarkan
patogen dalam kotorannya selama beberapa minggu setelah tertular penyakit,
umumnya dengan memakan inang perantara yang terinfeksi yang dapat mencakup
mamalia (seperti tikus) atau burung. Pelepasan Oocyst biasanya dimulai dari hari
ketiga setelah konsumsi host perantara yang terinfeksi, dan dapat berlanjut selama
berminggu-minggu. Ookista tidak infektif ketika diekskresikan. Setelah sekitar
satu hari, ookista mengalami proses yang disebut sporulasi dan menjadi
berpotensi pathogen (Louis M dan Kimi, 2007).
2.4 Patogenesis
Secara garis besar, siklus hidup dari Toxoplasma gondii terbagi menjadi
dua siklus, yakni siklus hidup seksual (schizogoni) dan aseksual (gametogoni).
Siklus hidup T. gondii secara seksual terjadi di dalam usus hospes primer
(definitif) yaitu golongan FelidaeI: kucing, harimau dan siklus hidup aseksual
terjadi dalam tubuh hospes perantara (mamalia dan burung) (Dharmana, 2007).
Siklus hidup seksual dimulai dari ookista maupun kista jaringan yang
menginvasi sel mukosa usus kecil kucing sehingga terbentuk schizont yang akan
berkembang menjadi gametosit. Setelah terjadi fusi antara gamet jantan dan betina
maka terbentuklah ookista yang kemudian keluar dari sel hospes menuju lumen
usus kucing dan dikeluarkan melalui feses kucing yang selanjutnya dapat
menginfeksi hospes perantara (Montoya, 2008; Schwartzman, 2001). Masing-
masing ookista mengandung 2 sporokista dan setelah 48 jam akan terbentuk 4
sporozoit dari masing-masing sporokista. Ookista dengan 8 sporozoit didalamnya
jika tertelan kucing akan mengulangi siklus hidup seksual dalam tubuh kucing
(Brown, 1983).
7
Siklus hidup aseksual dimulai apabila ookista atau kista jaringan tertelan
oleh hospes intermediate: tikus, babi, kambing, burung, manusia. Ookista terbuka
mengeluarkan 8 sporozoitnya di dalam duodenum manusia atau hospes
intermediate lainnya, kemuadian akan menembus dinding usus dan mengikuti
sirkulasi darah. T. gondii yang masuk ke dalam tubuh kemudian akan difagosit
atau secara aktif masuk ke dalam makrogaf untuk berkembang biak
memperbanyak diri melalui proses pembelahan diri di dalam fagosom. T. gondii
dalam pada fase ini disebut takhizoit atau endozoit. Sebagian parasit akan mati
namun sebagian akan tetap bertahan hidup karena mempunyai kemampuan untuk
menghambat fusi fagosom dan lisosom sehingga terhindar dari enzim-enzim yang
dapat membunuh parasit. Makrofag yang penuh dengan parasit (pseudokista)
kemudian akan pecah dan takhizoit yang bebas dapat menginvasi makrofag atau
sel lainnya untuk mengulang proses pembelahan diri dan apabila hospes memiliki
imunitas yang baik, takhizoit akan dapat dihancurkan. Akan tetapi sebagian
parasit akan berusaha tetap hidup dengan menginvasi sel-sel lain seperti sel otot,
neuron atau jaringan lainnya serta akan membentu kista jaringan yang berdinding
kuat untuk melindungi diri(Simanjuntak et al, 1998).
dalam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan cerebrospinal dan ventrikel. Dengan
cara pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam spesimen ini. Isolasi
parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi hal ini memerlukan
waktu yang lama. Isolasi parasit dari cairan tubuh menunjukkan adanya infeksi
akut, tetapi isolasi dari jaringan hanya menunjukkan adanya kista dan tidak
memastikan adanya infeksi akut (Baratioo A et al, 2015).
Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat
dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat
antifluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgM dan
IgG. Ig G anti toxoplasmosis meningkat setelah 1-2 minggu infeksi dan
meningkat mencapai puncaknya setelah 8- 8 minggu. Ini akan menurun secara
perlahan dalam 1- 2 tahun, namun dalam beberapa kasus akan menetap seumur
hidup. Titer Ig G anti toxoplasma yang tinggi dengan aviditas yang positif
menandakan infeksi akut atau reaktivasi dari infeksi laten atau kronik toxoplasma
(Basavaraju A, 2016)
Pemeriksaan Brain CT Scan pada pasien dengan ET menunjukkan
gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 70-80% kasus. Pada pasien
dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan gambaran
cincin yang multipel pada CT scan 85% merupakan ET. Lesi tersebut terutama
berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction (Basavaraju A, 2016)
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan prosedur diagnostik yang
lebih baik daripada CT scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak
terdeteksi dengan CT scan. Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku jika
memungkinkan terutama bila CT scan menunjukkan gambaran lesi tunggal (Naqi,
Azeemuddin, Ahsan, 2010)
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis toxoplasmosis dibuat berdasarkan temuan klinis, laboratoris,
dan juga radioimaging. Pemeriksaan penunjang laboratorium toxoplasmosis akut
dibuat berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan juga PCR. Pemeriksaan
laboratorium tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan
juga peningkatan transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada
10
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Cerebral Toxoplasmosis dilakukan dengan cara
memberian terapi kombinasi antara pirimetamin, klindamisin, steroid dan obat
anti retroviral pada pasien untuk memperbaiki kondisi klinisnya. Pirimetamin
merupakan obat yang spesifik untuk toxoplasma stadium takizoit dan dapat
menembus parenkim otak. Pirimetamin memiliki efek sinergis jika
dikombinasikan dengan Clindamycin dan Sulfadiazine. Kombinasi ini
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk toksoplasmosis cerebri pada
11
pasien HIV. (Hodgson et al., 2019) Pada penelitian yang dilakukan oleh Madi et
al bahwa Cerebral Toxoplasmosis bisa diobati dengan Clindamycin tanpa
dikombinasikan dengan Pyrimethamin pada pasien yang tidak mentoleransi obat
Sulfadiazine. Namun, potensi penggunaan Clindamycin sebagai agen tunggal
belum ditetapkan dalam Randomized Clinical Trial. (Madi et al., 2012)
2.10 Prognosis
Pada 19 kasus pasien AIDS yang terdiagnosis menderita cerebral
toxoplasmosis yang terjadi di Edinburgh, semua pasien menunjukkan peningkatan
ketika diberikan pengobatan dan tidak ada korelasi antara fitur klinis atau
radiologis dengan kelangsungan hidup pasien. Pasien-pasien yang tidak dapat
mentoleransi terapi anti-toksoplasma pilihan pertama memiliki prognosis yang
secara signifikan lebih buruk daripada yang lain. Delapan belas pasien telah
meninggal pada saat penelitian dan kelangsungan hidup rata-rata setelah diagnosis
toksoplasmosis serebral adalah 10 bulan. Kelangsungan hidup dari AIDS atau
jumlah CD4 = 50 sel/mm3 tidak berbeda secara signifikan antara mereka yang
diobati dengan CTOX dan kelompok kontrol yang tidak memiliki infeksi
toksoplasma, menunjukkan bahwa pengobatan ini cukup efektif.(Frcp and
Mrcpath, 1996)
Sebuah penelitian lain terhadap 55 kasus yang pada pasien dengan HIV
yang juga menderita cerebral toxoplasmosis di Brazil dilakukan untuk
menggambarkan karakteristik klinis dan untuk mengidentifikasi faktor prediktif
untuk respons klinis terhadap pengobatan anti-Toxoplasma. Pada 6 minggu
perawatan, 23 (42%) pasien memiliki respon klinis lengkap, 25 (46%) respon
parsial, dan 7 (13%) meninggal. Semua pasien memakai ART dalam 4 minggu
pertama diagnosis toksoplasmosis serebral. Satu tahun setelah diagnosis, semua
pasien yang tersedia memakai ART dan profilaksis toksoplasmosis, dan hanya 2
pasien yang mengalami kekambuhan toksoplasmosis serebral. Pada pasien Brasil
dengan AIDS, toksoplasmosis serebral terutama terjadi sebagai penyakit
terdefinisi AIDS, dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Tanda-tanda penurunan neurologis memprediksi respons yang tidak
menguntungkan terhadap pengobatan. Mulai ART dini tampaknya mempengaruhi
12
kelangsungan hidup yang lebih baik dan kemungkinan relaps akan berkurang.
(Vidal et al., 2005)
3.1 Simpulan
Cerebral toxoplasmosis adalah lesi fokal otak yang paling umum penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien yang terinfeksi HIV,
terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyebab dari
toksoplasmosis adalah Toxoplasma Gondii, organisme bersel satu yang hidup
sebagai parasit. Secara garis besar, siklus hidup dari Toxoplasma gondii
terbagi menjadi dua siklus, yakni siklus hidup seksual (schizogoni) dan
aseksual (gametogoni). Gejala klinis dari cerebral toxoplasmosis tergantung
pada lokasi lesi dengan onset akut atau tidak dalam beberapa hari. Infeksi akut
pada manusia yang memiliki imun yang baik biasanya tidak memiliki gejala.
Sedangkan pada manusia yang sudah terinfeksi dalam jangka waktu yang
lama dan memiliki gangguan imunitas berisiko untuk mengalami infeksi laten.
CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) kepala dan deteksi antibodi
imunoglobulin (Ig) adalah cara mendiagnosis cerebral toxoplasmosis.
Penatalaksanaan Cerebral Toxoplasmosis dilakukan dengan cara memberian
terapi kombinasi antara pirimetamin, klindamisin, steroid dan obat anti
retroviral pada pasien untuk memperbaiki kondisi klinisnya.
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
15
16
Vidal, J., Hernandez, A., De Oliveira, A., Dauar, R., Barbosa, S. and Focaccia, R.
(2005). Cerebral Toxoplasmosis in HIV-Positive Patients in Brazil: Clinical
17
Yostila D & Armen A. (2018) .Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS, Jurnal
Kesehatan Andalas, 7(4): 96-99