Anda di halaman 1dari 19

STUDENT PROJECT

CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

SGD A02

NURMI 1802511018
PUTU WINNA DEYANTI PUTRI 1802511022
GUSTI AYU PUTU MELISA SINTA MELENIA D 1802511046
NI PUTU CHANDRA BHAHASTANASARI 1802511069
NI LUH SURAS AMOURA CAWIS 1802511102
RICHARD 1802511141
FENI CORNELIA 1802511181
I DEWA AYU WIDYA PURNAMA SARI 1802511199
MADE HERY JAYADI NATHA 1802511201
FIAZ DAFFA CHAIDAR ALAM 1802511219
EKA ADITYA PRADNYA SUWARYA 1802511237
NI LUH PUTU PRITHA DEWI KARUNIKA 1802511246

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan student project yang
berjudul “CEREBRAL TOXOPLASMOSIS” tepat pada waktunya.
Dalam proses penyusunan student project ini, penulis banyak mendapat
bimbingan, arahan, dukungan, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. I Made Susila Utama, SpPD-KPTI selaku ketua blok Infection
and Infectious Disorder
2. Dr. I Made Susila Utama, SpPD-KPTI sebagai evaluator Group A-02
dalam student project ini.
3. Dr.dr. A.A Ngurah Subawa., M.Si selaku fasilitator Small Group
Discussion (SGD) A-02.
4. Serta dosen, teman-teman, dan semua pihak yang membantu dalam
menyelesaikan student project ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Jika dalam penyampaian penulis terdapat hal yang kurang berkenan dalam
student project ini, penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Dengan segala
kerendahan hati, penulis menyadari bahwa student project ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun tetap
penulis harapkan untuk menyempurnakan student project ini. Semoga student
project ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 06 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 3
1.4 Manfaat ................................................................................................................ 3
BAB 2 ISI ....................................................................................................................... 4
2.1 Definisi ............................................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi ....................................................................................................... 4
2.3 Etiologi ............................................................................................................... 5
2.4 Patogenesis ........................................................................................................ 6
2.5 Gejala Klinis ....................................................................................................... 7
2.6 Faktor Risiko ...................................................................................................... 8
2.7 Diagnosis ............................................................................................................ 9
2.8 Diagnosis Banding .............................................................................................. 10
2.9 Penatalaksanaan .................................................................................................. 12
2.10 Prognosis ........................................................................................................... 14
BAB 3 PENUTUP.......................................................................................................... . 15
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 15
3.2 Saran ................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... . 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toxoplasmosis merupakan salah satu infeksi parasit terbanyak. Hampir
sepertiga manusia di seluruh dunia pernah terpapar oleh parasit ini. Toxoplasmosis
atau infeksi toxoplasma adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh parasit
protozoa (organisme bersel satu) Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii
menempati urutan ke-4 di antara 24 parasit bawaan makanan global paling
signifikan yang terdaftar oleh World Health Organization/United Nations Food
and Agriculture Organization. Toxoplasma gondii ini memiliki kemampuan untuk
menginfeksi hewan berdarah panas, walaupun infeksi tidak menyebabkan
penyakit klinis pada sebagian besar spesies hewan. Pada beberapa infeksi, infeksi
akibat toxoplasma gondii dapat mengancam jiwa. Hospes definitif dari
toxoplasma gondii adalah kucing dan binatang sejenisnya (felidae). Kemudian
hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung. Pada manusia
toxoplasma gondii dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening,
jantung, paru-paru, mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum didapatkan dari
kontak dengan kucing maupun feses mereka, daging mentah, sayur dan buah-
buahan mentah yang terkontaminasi, transfusi darah, transplantasi organ, serta
berjalan tanpa alas kaki di permukaan tanah yang tercemar oleh parasit tersebut.

Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa intraseluler obligat yang


muncul sebagai infeksi zoonosis yang tersebar luas di seluruh dunia. Toxoplasma
gondii pertama kali ditemukan pada limpa dan hati binatang pengerat
(Cytenodactylus gundi) oleh Nicolle dan Manceaux di Tunisia, kemudian
ditemukan juga pada seekor kelinci di Brazil oleh Splendore pada tahun 1908.
(Astuti, 2010). Toxoplasma gondii termasuk Genus Toxoplasma; Subfamili
Toxoplasmatinae; Famili Sarcocystidae; Subkelas Coccidia; Kelas Sporozoa;
Filum Apicomplexa. Toxoplasma gondii terdapat dalam tiga bentuk, yaitu
tachyzoites, kemudian bradyzoites, dan oocyst yang berisi sporozoites. Pada
orang HIV-positif, toxoplasma gondii dapat menyebabkan infeksi oportunistik
yang parah dimana penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan masyarakat

1
2

utama karena mengakibatkan cacat fisik dan psikologis. Pada individu


immunocompetent yang sehat toxoplasma gondii menyebabkan infeksi persisten
kronis tanpa gejala, tetapi pada individu yang immunocompromisedse perti pada
pasien HIV/AIDS, terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan
oleh defisiensi kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari limfosit T (T helper)
sehingga akan ada reaktivasi parasit jika jumlah CD4 turun di bawah 200 sel/μl
dan pasien menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunistik. (Basavaraju,
2016)
Cerebral toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oportunisik yang berkaitan
dengan sistem saraf pusat yang biasanya menyerang pasien-pasien dengan
Acquired Immunidefficiency Virus (AIDS) dan merupakan penyebab paling sering
terjadinya abses serebral pada pasen-pasien ini. Di Indonesia prevalensi zat anti
toxoplasma gondii positif pada manusia berkisar antara 2 % dan 63%. Pada pasien
HIV positif didapatkan sekitar 45% telah terinfeksi toxoplasma gondii.
Manifestasi tersering pada HIV adalah encephalitis. Encephalitis terjadi pada
sekitar 80% kasus. Selain otak, lokasi yang paling sering terkena adalah mata
(50%), paru-paru (26%), darah tepi (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%), dan
kandung kemih (1%). Toxoplasmosis cerebral merupakan salah satu kasus darurat
neurologi pada HIV, oleh karena itu penyakit ini perlu penatalaksanaan yang
serius. Terapi meliputi penatalaksanaan infeksi aktif diikuti dengan terapi
maintanance untuk mencegah rekuren pada pasien dengan CD4 <200 sel/ μl.
(Yostila & Armen, 2018)

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Cerebral toxoplasmosis?
1.2.2 Bagaimana penatalaksanaan Cerebral toxoplasmosis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum :
1.3.1.1 Untuk mengetahui mengenai penyakit Cerebral toxoplasmosis
1.3.1.2 Untuk mengetahui penatalaksanaan Cerebral toxoplasmosis
1.3.2 Tujuan Khusus :
3

1.3.2.1 Untuk mengetahui definisi dari Cerebral toxoplasmosis


1.3.2.2 Untuk mengetahui epidemiologi Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.3 Untuk mengetahui etiologi Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.4 Untuk mengetahui patogenesis Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.5 Untuk mengetahui gejala klinis Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.6 Untuk mengetahui faktor risiko Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.7 Untuk mengetahui diagnosis Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.8 Untuk mengetahui diagnosis banding Cerebral toxoplasmosis
1.3.2.9 Untuk mengetahui prognosis Cerebral toxoplasmosis
1.4 Manfaat
1.4.1 Dapat memahami dan mengetahui manfaat yang didapat melalui
pembelajaran Cerebral toxoplasmosis
1.4.2 Menambah wawasan dan kemampuan berpikir terkait Cerebral
toxoplasmosis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Cerebral toxoplasmosis adalah lesi fokal otak yang paling umum penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien yang terinfeksi HIV,
terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Kejadian ini lebih sering
terjadi pada pasien dengan jumlah CD4 + T-Cell rendah. Hal ini secara
langsung berkaitan dengan prevalensi antibodi anti-Toxoplasma gondii. Oleh
karena itu, penting untuk mengevaluasi tes diagnostik yang sensitif, kurang
invasif, dan cepat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Colombo
ditemukan menunjukkan nilai klinis dari penggunaan PCR dan titer tinggi
anti-Toxoplasma gondii antibodi IgG untuk diagnosis cerebral toxoplasmosis.
(Colombo et al., 2005)
Toxoplasma gondii adalah patogen parasite yang menjadi penyebab
terkena cerebral toxoplasmosis. Parasit menyerang hingga kronis di dalam
sistem saraf pusat (CNS) dari host yang terinfeksi. Persistensi penyakit ini
serta penyebarannya erat berkaitan dengan respon imun. Secara mandiri,
Splendore (1908) mendeskripsikan parasit tersebut dalam sebuah kelinci. Host
definitif dari Toxoplasma gondii adalah felidae, misalnya kucing domestik dan
kucing lain di mana parasit ini obligat secara intraseluler apicomplexan
meniru usus mereka. Manusia dan banyak vertebrata berdarah hangat lainnya,
misalnya tikus dan burung, berfungsi sebagai intermediate host untuk parasit
dan dapat menjadi terinfeksi oleh konsumsi oral oocysts ditularkan oleh
kucing atau dengan kista jaringan yang bertahan di otot dan sistem saraf
intermediate host.(Schlüter and Barragan, 2019)

2.2 Epidemiologi

Toxoplasmosis adalah salah satu infeksi paling umum pada manusia dengan
distribusi di seluruh dunia, dan diperkirakan sekitar sepertiga populasi global
terinfeksi dengan toxoplasmosis laten. Prevalensi terinfeksi toxoplasma gondii
pada pasien HIV menunjukkan variabilitas geografis dan biasanya mengikuti

4
5

prevalensi toxoplasma gondii pada populasi umum. Prevalensi koinfeksi di


negara-negara berpenghasilan rendah sekitar 55%, negara-negara berpenghasilan
menengah sekitar 34%, dan negara-negara berpenghasilan tinggi sekitar 26%.
Toxoplasmosis dengan prevalensi tinggi terdapat di Amerika Latin, sebagian
Eropa Timur / Tengah, Timur Tengah, bagian dari Asia Tenggara, dan Afrika
(Vidal, 2019).
Di Indonesia prevalensi zat anti toxoplasma gondii positif pada manusia
berkisar antara 2 % dan 63%. Pada pasien HIV positif didapatkan sekitar 45%
telah terinfeksi toxoplasma gondii. Saat ini, cerebral toxoplasmosis terkait HIV
terus menjadi penyebab paling umum dari lesi otak fokal dan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV di beberapa negara berpenghasilan
rendah dan menengah (Yostila & Armen, 2018).

2.3 Etiologi
Penyebab dari toksoplasmosis adalah Toxoplasma Gondii, organisme
bersel satu yang hidup sebagai parasit. Toxoplasma Gondii pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1908 oleh Nicolle dan Manceaux di Afrika Utara pada
hewan pengerat dan oleh Splendore pada kelinci di Brazil. Parasit ini telah dikenal
sebagai infeksi umum pada banyak hewan berdarah panas, termasuk manusia.
Hewan dan manusia secara umum dapat terinfeksi toksoplasmosis dengan dua
cara, yaitu secara konginetal dan perolehan. Toksoplasmosis konginetal terjadi
saat janin di dalam rahim tertular dari ibu atau induknya melalui plasenta,
sedangkan toksoplasmosis perolehan terjadi saat inang menelan ookista
toxoplasma gandii atau kista jaringan dimakan secara tidak sengaja (Louis M dan
Sandra, 2014).
Penularan melalui mulut juga dapat terjadi melalui menelan daging
mentah atau setengah matang, terutama daging babi, domba, atau daging rusa
yang mengandung kista toxoplasma, menelan buah atau sayuran yang tidak dicuci
yang telah kontak dengan tanah yang terkontaminasi kotoran kucing yang
terinfeksi. Tertelan nya kotoran kucing yang mengandung ookista seperti kontak
tangan ke mulut setelah berkebun dan membersihkan kotak kotoran kucing,
6

konsumsi makanan laut mentah dan menelan air yang tidak diolah atau untuk
perisapan makanan (Pereira et al, 2010).
Kucing juga termasuk hewan yang berperan dalam penyebaran
toksoplasmosis karena mereka merupakan inang definitif yang menyebarkan
ookista ke lingkungan. Akan tetapi, kucing yang telah menderita toksoplasmosis
pada umumnya tidak menunjukkan tanda yang spesifik. Kucing mengeluarkan
patogen dalam kotorannya selama beberapa minggu setelah tertular penyakit,
umumnya dengan memakan inang perantara yang terinfeksi yang dapat mencakup
mamalia (seperti tikus) atau burung. Pelepasan Oocyst biasanya dimulai dari hari
ketiga setelah konsumsi host perantara yang terinfeksi, dan dapat berlanjut selama
berminggu-minggu. Ookista tidak infektif ketika diekskresikan. Setelah sekitar
satu hari, ookista mengalami proses yang disebut sporulasi dan menjadi
berpotensi pathogen (Louis M dan Kimi, 2007).

2.4 Patogenesis
Secara garis besar, siklus hidup dari Toxoplasma gondii terbagi menjadi
dua siklus, yakni siklus hidup seksual (schizogoni) dan aseksual (gametogoni).
Siklus hidup T. gondii secara seksual terjadi di dalam usus hospes primer
(definitif) yaitu golongan FelidaeI: kucing, harimau dan siklus hidup aseksual
terjadi dalam tubuh hospes perantara (mamalia dan burung) (Dharmana, 2007).

Siklus hidup seksual dimulai dari ookista maupun kista jaringan yang
menginvasi sel mukosa usus kecil kucing sehingga terbentuk schizont yang akan
berkembang menjadi gametosit. Setelah terjadi fusi antara gamet jantan dan betina
maka terbentuklah ookista yang kemudian keluar dari sel hospes menuju lumen
usus kucing dan dikeluarkan melalui feses kucing yang selanjutnya dapat
menginfeksi hospes perantara (Montoya, 2008; Schwartzman, 2001). Masing-
masing ookista mengandung 2 sporokista dan setelah 48 jam akan terbentuk 4
sporozoit dari masing-masing sporokista. Ookista dengan 8 sporozoit didalamnya
jika tertelan kucing akan mengulangi siklus hidup seksual dalam tubuh kucing
(Brown, 1983).
7

Siklus hidup aseksual dimulai apabila ookista atau kista jaringan tertelan
oleh hospes intermediate: tikus, babi, kambing, burung, manusia. Ookista terbuka
mengeluarkan 8 sporozoitnya di dalam duodenum manusia atau hospes
intermediate lainnya, kemuadian akan menembus dinding usus dan mengikuti
sirkulasi darah. T. gondii yang masuk ke dalam tubuh kemudian akan difagosit
atau secara aktif masuk ke dalam makrogaf untuk berkembang biak
memperbanyak diri melalui proses pembelahan diri di dalam fagosom. T. gondii
dalam pada fase ini disebut takhizoit atau endozoit. Sebagian parasit akan mati
namun sebagian akan tetap bertahan hidup karena mempunyai kemampuan untuk
menghambat fusi fagosom dan lisosom sehingga terhindar dari enzim-enzim yang
dapat membunuh parasit. Makrofag yang penuh dengan parasit (pseudokista)
kemudian akan pecah dan takhizoit yang bebas dapat menginvasi makrofag atau
sel lainnya untuk mengulang proses pembelahan diri dan apabila hospes memiliki
imunitas yang baik, takhizoit akan dapat dihancurkan. Akan tetapi sebagian
parasit akan berusaha tetap hidup dengan menginvasi sel-sel lain seperti sel otot,
neuron atau jaringan lainnya serta akan membentu kista jaringan yang berdinding
kuat untuk melindungi diri(Simanjuntak et al, 1998).

Gambar 2.1 Daur hidup Toxoplasma gondii (Hunter dan Sibley,


2012)
8

2.5 Gejala Klinis


Gejala klinis dari cerebral toxoplasmosis tergantung pada lokasi lesi
dengan onset akut atau tidak dalam beberapa hari. Infeksi akut pada manusia yang
memiliki imun yang baik biasanya tidak memiliki gejala. Sedangkan pada
manusia yang sudah terinfeksi dalam jangka waktu yang lama dan memiliki
gangguan imunitas berisiko untuk mengalami infeksi laten. Tanda - tanda yang
umum dari cerebral toxoplasmosis adalah defisit fokal neurologi seperti paresis,
masalah dalam berbicara, gangguan sensoris, sakit kepala disertai dengan demam,
dan perubahan status mental. Infeksi yang lebih lanjut dapat menimbulkan gejala
lain selain gejala diatas. Gejala lain yang dapat dirasakan adalah kebingungan,
mengantuk, kejang - kejang, hemiparesis, hemianopsia, aphasia, ataxia, cranial
nerve palsy, dan kelemahan motoric (Ramachandran R., dkk., 2014)

2.6 Faktor risiko

Toxoplasmosis cerebri merupakan infeksi oportunistik pada system saraf


pusat yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Infeksi ini terjadi akibat
terjadinya reaktivasi Toxoplasmosis gondii pada kondisi immunocompromised.
Factor risiko terjadinya cerebral toxoplasmosis biasanya karena nilai CD4+ yang
kecil yang kecil dari 50 sel/mm3 sehingga dapat menimbulkan reaktivasi kembali
dari kista jaringan laten yang mengandung parasit toxoplasma yang sebagai akibat
dari defiensi sistem imun yang berperan dalam timbulnya infeksi Toxoplasmosis
gondii (Yolista D,2018).

2.7 Diagnosis (manifestasi klinis)


Diagnosis toksoplasmosis dibuat berdasarkan temuan klinis, laboratoris,
dan radioimaging. Pemeriksaan penunjang laboratorium toksoplasmosis akut
dibuat berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan PCR. Pemeriksaan
laboratorium tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan
peningkatan transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada
meningoensefalitis menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis
mononuklear (10-50 sel/ml), peningkatan kadar protein (Nasronudin, 2011).
Diagnosis toxoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit
9

dalam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan cerebrospinal dan ventrikel. Dengan
cara pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam spesimen ini. Isolasi
parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi hal ini memerlukan
waktu yang lama. Isolasi parasit dari cairan tubuh menunjukkan adanya infeksi
akut, tetapi isolasi dari jaringan hanya menunjukkan adanya kista dan tidak
memastikan adanya infeksi akut (Baratioo A et al, 2015).
Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat
dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat
antifluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgM dan
IgG. Ig G anti toxoplasmosis meningkat setelah 1-2 minggu infeksi dan
meningkat mencapai puncaknya setelah 8- 8 minggu. Ini akan menurun secara
perlahan dalam 1- 2 tahun, namun dalam beberapa kasus akan menetap seumur
hidup. Titer Ig G anti toxoplasma yang tinggi dengan aviditas yang positif
menandakan infeksi akut atau reaktivasi dari infeksi laten atau kronik toxoplasma
(Basavaraju A, 2016)
Pemeriksaan Brain CT Scan pada pasien dengan ET menunjukkan
gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 70-80% kasus. Pada pasien
dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan gambaran
cincin yang multipel pada CT scan 85% merupakan ET. Lesi tersebut terutama
berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction (Basavaraju A, 2016)
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan prosedur diagnostik yang
lebih baik daripada CT scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak
terdeteksi dengan CT scan. Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku jika
memungkinkan terutama bila CT scan menunjukkan gambaran lesi tunggal (Naqi,
Azeemuddin, Ahsan, 2010)
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis toxoplasmosis dibuat berdasarkan temuan klinis, laboratoris,
dan juga radioimaging. Pemeriksaan penunjang laboratorium toxoplasmosis akut
dibuat berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan juga PCR. Pemeriksaan
laboratorium tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan
juga peningkatan transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada
10

meningoensefalitis menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis


mononuklear (10-50 sel/ml), dan juga peningkatan kadar protein. (Nasronudin,
2011)

Diagnosis Klinis Toxoplasma yaitu penegakan diagnosis Toxoplasma oleh


dokter neurologi, sebagai diagnosis banding dalam cerebral toxoplasmosis.
Diagnosis toxoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam
biopsi otak ataupun sumsum tulang, cairan cerebrospinal dan juga ventrikel.
Dengan cara pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam spesimen ini.
Isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi hal ini
memerlukan waktu yang cukup lama. Isolasi parasit dari cairan tubuh
menunjukkan adanya infeksi yang akut, tetapi isolasi dari jaringan hanya
menunjukkan adanya kista dan tidak memastikan adanya infeksi akut tersebut.
(Baratioo A, 2015)
Tes serologi dapat menunjang diagnosis toxoplasmosis. Tes yang dapat
dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan juga tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat
antifluoresen tidak langsung (IFA), dan juga tes ELISA untuk deteksi antibodi
IgM dan IgG. IgG anti toxoplasmosis meningkat setelah 1 sampai 2 minggu
infeksi dan meningkat mencapai puncaknya setelah 8 minggu. Ini akan menurun
secara perlahan dalam 1 sampai 2 tahun, namun dalam beberapa kasus akan
menetap seumur hidup. Titer IgG anti toxoplasma yang tinggi dengan aviditas
yang positif menandakan infeksi akut ataupun reaktivasi dari infeksi laten atau
kronik toxoplasma. (Basavaraju A, 2016)

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Cerebral Toxoplasmosis dilakukan dengan cara
memberian terapi kombinasi antara pirimetamin, klindamisin, steroid dan obat
anti retroviral pada pasien untuk memperbaiki kondisi klinisnya. Pirimetamin
merupakan obat yang spesifik untuk toxoplasma stadium takizoit dan dapat
menembus parenkim otak. Pirimetamin memiliki efek sinergis jika
dikombinasikan dengan Clindamycin dan Sulfadiazine. Kombinasi ini
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk toksoplasmosis cerebri pada
11

pasien HIV. (Hodgson et al., 2019) Pada penelitian yang dilakukan oleh Madi et
al bahwa Cerebral Toxoplasmosis bisa diobati dengan Clindamycin tanpa
dikombinasikan dengan Pyrimethamin pada pasien yang tidak mentoleransi obat
Sulfadiazine. Namun, potensi penggunaan Clindamycin sebagai agen tunggal
belum ditetapkan dalam Randomized Clinical Trial. (Madi et al., 2012)
2.10 Prognosis
Pada 19 kasus pasien AIDS yang terdiagnosis menderita cerebral
toxoplasmosis yang terjadi di Edinburgh, semua pasien menunjukkan peningkatan
ketika diberikan pengobatan dan tidak ada korelasi antara fitur klinis atau
radiologis dengan kelangsungan hidup pasien. Pasien-pasien yang tidak dapat
mentoleransi terapi anti-toksoplasma pilihan pertama memiliki prognosis yang
secara signifikan lebih buruk daripada yang lain. Delapan belas pasien telah
meninggal pada saat penelitian dan kelangsungan hidup rata-rata setelah diagnosis
toksoplasmosis serebral adalah 10 bulan. Kelangsungan hidup dari AIDS atau
jumlah CD4 = 50 sel/mm3 tidak berbeda secara signifikan antara mereka yang
diobati dengan CTOX dan kelompok kontrol yang tidak memiliki infeksi
toksoplasma, menunjukkan bahwa pengobatan ini cukup efektif.(Frcp and
Mrcpath, 1996)

Sebuah penelitian lain terhadap 55 kasus yang pada pasien dengan HIV
yang juga menderita cerebral toxoplasmosis di Brazil dilakukan untuk
menggambarkan karakteristik klinis dan untuk mengidentifikasi faktor prediktif
untuk respons klinis terhadap pengobatan anti-Toxoplasma. Pada 6 minggu
perawatan, 23 (42%) pasien memiliki respon klinis lengkap, 25 (46%) respon
parsial, dan 7 (13%) meninggal. Semua pasien memakai ART dalam 4 minggu
pertama diagnosis toksoplasmosis serebral. Satu tahun setelah diagnosis, semua
pasien yang tersedia memakai ART dan profilaksis toksoplasmosis, dan hanya 2
pasien yang mengalami kekambuhan toksoplasmosis serebral. Pada pasien Brasil
dengan AIDS, toksoplasmosis serebral terutama terjadi sebagai penyakit
terdefinisi AIDS, dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Tanda-tanda penurunan neurologis memprediksi respons yang tidak
menguntungkan terhadap pengobatan. Mulai ART dini tampaknya mempengaruhi
12

kelangsungan hidup yang lebih baik dan kemungkinan relaps akan berkurang.
(Vidal et al., 2005)

Pemberian terapi kombinasi pirimetamin, klindamisin, steroid dan obat


anti retroviral pada pasien HIV disertai cerebral toxoplasmosis dapat memperbaiki
kondisi klinis. Pirimetamin adalah obat spesifik untuk toxoplasma stadium
takizoit dan dapat menembus parenkim otak. Pirimetamin memiliki efek sinergis
jika dikombinasikan dengan klindamisin dan sulfadiazine. Kombinasi ini
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk toksoplasmosis cerebri pada
pasien HIV. Terapi presumtif dengan pirimetamin dan klindamisin hasilnya cukup
baik. Pada lebih dari 50% kasus dalam 3 hari sudah terlihat perbaikan. Bila terapi
diberikan 7 hari persentase yang membaik menjadi lebih tinggi (90%). Kematian
dapat terjadi pada pasien HIV apabila terdapat keterlambatan terapi.(Yostila and
Armen, 2018)
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Cerebral toxoplasmosis adalah lesi fokal otak yang paling umum penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien yang terinfeksi HIV,
terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyebab dari
toksoplasmosis adalah Toxoplasma Gondii, organisme bersel satu yang hidup
sebagai parasit. Secara garis besar, siklus hidup dari Toxoplasma gondii
terbagi menjadi dua siklus, yakni siklus hidup seksual (schizogoni) dan
aseksual (gametogoni). Gejala klinis dari cerebral toxoplasmosis tergantung
pada lokasi lesi dengan onset akut atau tidak dalam beberapa hari. Infeksi akut
pada manusia yang memiliki imun yang baik biasanya tidak memiliki gejala.
Sedangkan pada manusia yang sudah terinfeksi dalam jangka waktu yang
lama dan memiliki gangguan imunitas berisiko untuk mengalami infeksi laten.
CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) kepala dan deteksi antibodi
imunoglobulin (Ig) adalah cara mendiagnosis cerebral toxoplasmosis.
Penatalaksanaan Cerebral Toxoplasmosis dilakukan dengan cara memberian
terapi kombinasi antara pirimetamin, klindamisin, steroid dan obat anti
retroviral pada pasien untuk memperbaiki kondisi klinisnya.

3.2 Saran

Pengetahuan mengenai cerebral toxoplasma penting untuk disebarluaskan


agar pemahaman masyarakat semakin bertambah. Selain itu masyarakat dapat
menghindari faktor risiko ataupun faktor - faktor lain yang dapat memicu
terserangnya penyakit ini. Untuk orang - orang yang merasa atau bahkan
didiagnosis penyakit ini sebaiknya segera untuk diobati agar penyakit ini tidak
semakin parah, serta pengobatan yang berkesinambungan juga diperlukan agar
prognosisnya baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, NT. (2010). Toxoplasma Gondii, Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit


Bersumber Binatang Banjarnegara, 6(1): 24-25

Basavaraju, A. (2016). Toxoplasmosis in HIV infection: An overview, Tropical


Medicine and Parasitology Journal, 6(2): 129–135. doi: 10.4103/2229-
5070.190817

Brown HW. 1983. Toxoplasmosis. Dasar Parasitologi Klinis. Terjemahan Bintari


Rukmono, Hoedojo, Nani S Djakarta. Jakarta: Gramedia:110-116

Baratioo A, Hashemi B, Rouhipour A, Haroutunian P, Mahdlou M. (2015)


Review of Toxoplasmic Encephalitis in HIV Infection; a Case Study.
Archives of Neuroscience. l; 2(2):1-5

Basavaraju A. (2016) Toxoplasmosis in HIV Infection: An Overview. Tropical


Parasitology. 6(2):129-135

Colombo, F. A. et al. (2005) ‘Diagnosis of cerebral toxoplasmosis in AIDS


patients in Brazil: importance of molecular and immunological methods
using peripheral blood samples’, Journal of clinical microbiology. Am Soc
Microbiol, 43(10), pp. 5044–5047.

Dharmana, E. 2007. Toxoplasma gondii Musuh Dalam Selimut. Semarang :


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: 7-12

Frcp, C. L. S. L. and Mrcpath, S. M. B. (1996) ‘Clinical features , outcome and


survival from cerebral toxoplasmosis in Edinburgh AIDS patients’, pp. 258–
264.

Halonen, S. K., & Weiss, L. M. (2013). Toxoplasmosis. Handbook of clinical


neurology, 114, 125–145. doi:10.1016/B978-0-444-53490-3.00008-X

Hodgson, H. A. et al. (2019) ‘Successful Treatment of Cerebral Toxoplasmosis


Using Pyrimethamine Oral Solution Compounded From Inexpensive Bulk
Powder’, pp. 1–3.

15
16

Montoya, J.G and Remington, J.S. 2008. Management of Toxoplasma gondii


Infection during Pregnancy. Clinical Practice CID. 47(15): 554-566.

Madi, D. et al. (2012) ‘Successful Treatment of Cerebral Toxoplasmosis with


Clindamycin: A Case Report’, 27(5), pp. 411–412.

Nasronudin. Toksoplasmosis. (2011) In N, Hadi U, Vitanata M, Triyoni EA, B, S,


et al., editors. Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan mendatang.
Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan UNAIR;494-500

Naqi, Azeemuddin, Ahsan. Cerebral toxoplasmosis in a patient with acquired


immunodeficiency syndrome. J. Pak Med Association. 2010; 60(4): 316-8.
Ramachandran R, Radhan P, Anand R, Subramanian I, Santosham R, Sai V.
(2014) CNS toxoplasmosis in an immunocompetent individual. Radiology
Case Reports; 9(1):908.

Signori Pereira, Karen; Franco, Regina; Leal, Diego (2010). "Transmission of


Toxoplasmosis (Toxoplasma gondii) by Foods". Advances in Food Nutrition
and Research. 60: 1–19.

Schlüter, D. and Barragan, A. (2019) ‘Advances and Challenges in Understanding


Cerebral Toxoplasmosis’, Frontiers in immunology. Frontiers Media SA,
10.

Schwartzman, J.D., 2001. Toxoplasmosis. In:S.H, Gillipsie., R.D, Pearson (Ed.):


Principle and practice of clinical parasitology. P:113-129.John Willey and
Sons,Ltd.Chichester

Simanjuntuk GM, Margono SM, Iskandar T dkk.1998. Survei antibodi


Toxoplasma gondii pada manusia di beberapa daerah di Sumatera Utara.
Maj. Parasitol.Ind. 11(1): 19-32

Vidal, JE. (2019). HIV-Related Cerebral Toxoplasmosis Revisited: Current


Concepts and Controversies of an Old Disease. Journal of the International
Association of Providers of AIDS Care, 18: 1-20.

Vidal, J., Hernandez, A., De Oliveira, A., Dauar, R., Barbosa, S. and Focaccia, R.
(2005). Cerebral Toxoplasmosis in HIV-Positive Patients in Brazil: Clinical
17

Features and Predictors of Treatment Response in the HAART Era. AIDS


Patient Care and STDs, 19(10), pp.626-634.

Weiss, L. and Kim, K. (2014). Toxoplasma gondii. London: Academic Press.

Yostila D & Armen A. (2018) .Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS, Jurnal
Kesehatan Andalas, 7(4): 96-99

Yostila, D. and Armen, A. (2018) ‘Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS’,


7(Supplement 4), pp. 96–99.

Anda mungkin juga menyukai