Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Toxoplasma Gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang tersebar luas di

seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi zat anti T gondii positif pada manusia berkisar

antara 2 % dan 63%. Pada pasien HIV positif didapatkan sekitar 45% telah terinfeksi

T. gondii. Pada pasien dengan infeksi HIV, T. Gondii menyebabkan infeksi

oportunistik yang berat sehingga diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan sesegera

mungkin. Pada individu sehat (immunokompeten) parasit ini menyebabkan infeksi

kronik persisten yang asimptomatik, namun pada immunocompromised akan terjadi

reaktivasi sehingga menimbulkan gejala klinis1.

Penularan terhadap manusia terutama terjadi apabila tertelan daging babi atau

domba yang mengandung kista jaringan atau apabila menelan sayuran yang

terkontaminasi dan dimasak tidak matang. Jika kista jaringan yang mengandung

bradizoit atau ookista tertelan pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista dalam

proses pencernaan. Bradizoit ini resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi

traktus gastrointestinal pejamu. Dalam eritrosit parasit mengalami transformasi

morfologi, akibatnya jumlah takizoit invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan

respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal, kemudian parasit

menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limf atik, otot lurik, miokardium,

1
retina, plasenta dan sistem saraf pusat (SSP). Di tempat-tempat tersebut, parasit

menginfeksi sel pejamu, bereplikasi, dan menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah

proses yang khas yakni kematian sel dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon

inflamasi akut2.

Pada pasien immunocompromise seperti pada pasien HIV/AIDS, terjadi suatu

keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi kuantitatif dan

kualitatif yang progresif dari limfosit T (T helper). Subset sel T ini digambarkan secara

fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai reseptor

primer terhadap HIV. Pada pasien HIV terjadi penurunan CD4 di bawah level kritis

(CD4), sehingga virus HIV/AIDS dapat menyerang ke berbagai organ, salah satunya

otak. Toksoplasmosis cerebri merupakan salah satu kasus emergensi neurologi pada

HIV, oleh karena itu memerlukan penatalaksanaan yang serius3.

2
BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

A. Definisi

Toxoplasmosis cerebri merupakan infeksi oportunistik pada system saraf pusat

yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Infeksi ini terjadi akibat terjadinya

reaktivasi T. gondii pada kondisi immunocompromised4.

Gambar 2.1. Toxoplasma Gondii pada jaringan otak

B. Epidemiologi

Toxoplasmosis cerebral terjadi sebanyak 3-15 % di Amerika Serikat. Beberapa lesi

klinis yang muncul diketahui setelah dilakukan autopsi. Toxoplasmosis cerebral terjadi

sebanyak 50-70% di Eropa dan Afrika. Baru-baru ini dalam sebuah studi epidemiologi

di kota Meksiko dengan 320 pasien pasien AIDS, kondisi utama terkait dengan HIV /

3
AIDS adalah toksoplasmosis otak (42%), kriptokokosis otak (28%), meningitis TB

(8,7%), limfoma (non-Hodgkin) (3,75%), infeksi HIV akut (3,4%), dan kompleks

demensia AIDS (3%). Indonesia mengalami peningkatan epidemi Human

Immunodeficiency Virus (HIV) tertinggi di Asia, dengan estimasi angka prevalensi HIV

pada populasi dewasa adalah 0,2% dari 190.000-400.000 penderita HIV / Acquired

Immune Deficiency Syndrome (AIDS)5.

C. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab Toxoplasma Cerebri adalah infeksi dari paraite intraselular yaitu

toxoplasma gondii. Infeksi parasite ini selalu disebabkan reaktivasi lesi system saraf

pusat yang sudah lama atau penyebaran hematogen dari infeksi yang didapat

sebelumnya, kadang-kadang disebabkan oleh infeksi primer6.

Pathogenesis dari toxoplamosis cerebri adalah berasal dari penyebaran

toksoplasma yang berasal dari hewan, yaitu kucing, tikus, dan kera. Toksoplasmosis

dapat menjadi akut atau kronis. Infeksi akut dikaitkan dengan bentuk proliferatif

(tachyzoite), sedangkan infeksi kronis berhubungan dengan kista jaringan. Selama

proses akut, tachyzoite menyerang semua sel dalam tubuh kecuali sel inang berinti

seperti sel darah merah. Tachyzoite memasuki sel inang melalui penetrasi aktif ke

dalam plasmalemma inang atau dengan fagositosis. Parasit mematuhi mikronema dapat

mengenali dan menargetkan sel, menghasilkan enzim untuk menghasilkan roptries

parasitophorus vakuola. Replikasi in vitro tachyzoite intraseluler terjadi setiap 6-9 jam.

Setelah mengumpulkan 64-128 parasit di setiap sel parasit akan keluar untuk

4
menginfeksi sel tetangga. Dengan sistem imun inang, bisa berubah menjadi

subpopulasi tachyzoite bradyzoite. Makrofag, sel NK, fibroblas, sel epitel dan sel

endotel menjadi diaktifkan oleh T.gondii yang teriinfeksi pada tubuh inang, sehingga

bisa dihambat proliferasi parasit. Respon imun non-spesifik tergantung pada

kemampuan IL - 12 yang diproduksi oleh makrofag dan sel dendritik untuk

merangsang sel NK menghasilkan IFN - γ. TNF - α juga meningkatkan kemampuan IL

- 12 untuk menginduksi sel NK untuk menghasilkan IFN - γ. IFN -γ menghambat

replikasi parasit karena menginduksi makrofag untuk melepaskan nitrat oksida (NO),

yang membunuh parasit. IFN -γ juga meningkat aktivitas indoleamin 2,3 dioksigenase

yang menghancurkan triptofan yang merupakan zat yang diperlukan untuk

pertumbuhan dari parasit. Parasit ini akan menginduksi imunitas 4 jenis sel T, yaitu

respon imun yang dimediasi sel seperti T.gondii parasit intraseluler IL - 12 diproduksi

oleh makrofag juga memperkuat kerja sel CD4 + yang memproduksi IFN - γ in. Sel

CD8 + juga menginduksi pelepasan IFN - γ, interferon γ (IFN - γ) berperan dalam

pembentukan kista oleh menghambat replikasi pada tikus makrofag tachyzoite dan

menginduksi antigen spesifik untuk bradyzoite. Humoral sistem kekebalan tubuh

memiliki peran kecil dalam perang melawan tetapi sangat penting dalam diagnosis

toksoplasmosis pada manusia. Antibodi diproduksi oleh sistem kekebalan humoral

mampu membunuh ekstraseluler T.gondii dalam dan melalui aktivitas pelengkapnya

dapat menghambat multiplikasi parasit. Patogenesis toxoplasmosis pada pasien dengan

immunocompromised seperti HIV-AIDS dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain

penurunan jumlah sel CD4+, kegagalan produksi IL-12, IL-2, dan IFN-ϒ, dan

5
penolakan aktivitas sitotoksik T-limfosit. Sel yang terinfeksi virus HIV menghambat

pembentukan IL-12 dan IFN-ϒ, yang membuat mereka rentan terhadap infeksi

toksoplasmosis6. Sehingga denga berkurangnya system imun dalam tubuh kita maka

akan menyebabkan penyebaran dari toxoplasma akan mudah menyerang organ lain,

khususnya otak.

D. Manifestasi Klinis

Lebih dari 50% manifestasi klinis toksoplasmosis melibatkan kelainan

intraserebral. Kelainan ditandai lesi non fokal hingga disfungsi fokal. Kelaianan pada

system saraf pusat termasuk ensefalopati, meningoensefalitis, dan lesi massa di otak.

Kelaian klinis yang sering terdapat adalah gangguan status mental (75%), demam (10-

72%), kejang (33%), sakit kepala (56%), gangguan neurologis fokal (60%). Gangguan

neurologis fokal termasuk deficit motoric, kelumpuhan saraf otak, gangguan gerak,

dismetria, penurunan visus dan afasia. Kondisi ini bukan saja akibat ensefalitis

necrotizing akibat invasi langsung toksoplasma tetapi juga akibat dampak sekunder

akibat vasculitis, edema, dan perdarahan4. Toxoplasmosis cerebri menyebabkan lesi

unifokal, jarang lesi yang difus. Gejala klinis tergantung pada lokasi dan jumlah lesi.

Gejala yang paling sering dikeluhkan meliputi: sakit kepala (49-63%), demam (41-

68%), deficit fokal (22-80%), kejang (19-29%), kebingungan (15-52%), ataxia (15-

25%), letargi (12- 44%), kelemahan saraf kranial (12-19%), dan gangguan penglihatan

(8-15%). Manifestasi lainnya dapat juga berupa disartria, gangguan kognitif,

peningkatan tekanan intrakranial, dan gerakan involunter7.

6
E. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis hal penting yang diperlu ditanyakan adalah

riwayat penggunaan narkoba suntik. Selan itu pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan

perubahan mental dan status, selain itu kejang, hemiparase, hemianopia, aphasia,

ataxia, dan kelumpuhan saraf kranial dapat diamati. Pemeriksaan penunjang yang

dilakukan untuk menunjang diagnosis adalah serology test dan polymerase chain

reaction. Serology test yang sering diperlukan untuk mendiagnosis biasanya berupa

kombinasi. Panel tes serologi atau toxoplasma profile serologis termasuk sabin-

Fieldman dye test (Gold standard), double sandwich IgM yang dihubungkan dengan

immunosorbent assay (ELISA), IgE ELISA, dan agglutination test (AC/HS test). PCR

bisa mendeteksi DNA T.gondii di jaringan otak, cairan serebrospinal, cairan ketuban,

humor aqueous dan cairan vitreous dan Bronchoalveolar Lavage (BAL) Di pasien

dengan sensitivitas ensefalitis toksoplasma PCR dalam CSF sekitar 50-60%,

spesifisitas sekitar 100%. PCR pada sampel darah rendah kepekaan8. Berikut

interpretasi hasil pemeriksaaan serologis toksoplasmosis.

Hasil IgG Hasil IgM Relevansi Klinik


Negatif Negatif Belum pernah terinfeksi T.Gondii.
Positif Negatif Infeksi telah terjadi lebih dari 1 tahun yang lalu
Negatif Positif/ekuifokal Awal infeksi akut atau awal infeksi palsu. Ulangi
pada lab (Sabin Feldman dye test)
Positif Positif/ekuifokal Infeksi akut atau kronis, periksa IgG Avidity

7
Selain itu juga hasil CT-Scan yang sering muncul pada toxoplasma cerebri pada

pasien HIV-AIDS adalah abses cerebri. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari

suatu infeksi toksoplasmosis serebri pada CT scan kepala tersebut hendaknya

dilakukan dengan memakai kontras, karena dengan kontras pencitraan dapat

menunjukkan gambaran ring enhancement4. Berikut adalah gambar CT-Scan dengan

kontras pada toxoplasma cerebri:

Gambar 2.2 CT-Scan kepala dengan kontras

8
Gambar 2.3 (A) CT-Scan dengan massa irregular border dan perifocal edema
(B) MRI menunjukan multiple mass dan ring enhancement pada ganglia basalis
dextra dan area subcortical lobus temporal kanan.

F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang dapat muncul dari kasus ini adalah lymphoma cerebri

dengan HIV, meningitis TB, Cytomegalovirus encephalitis pada HIV.

G. Penatalaksanaan

Terapi antimikroba empiris harus komprehensif dan harus mencakup semua

kemungkinan patogen dalam konteks pengaturan klinis. Kombinasi antibiotik biasanya

direkomendasikan untuk menghindari resistensi dari subpopulasi bakteri (yang

mungkin resisten terhadap salah satu komponen antibiotik) dan untuk memberikan efek

aditif atau sinergis. Terapi standar terdiri dari kombinasi pirimetamin, sulfadiazin, dan

asam foliat. Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMZ) dapat digunakan sebagai

rejimen alternatif. Dosis untuk sulfadiazine adalah 1000mg, diberikan 4kali perhari

pada pasien dengan BB <60 kg atau 1500 mg untuk pasien dengan BB >60kg.

9
Pirimetamin diberikan dengan dosis 200 mg untuk loading dose, kemudian dilanjutkan

dengan 50 mg perhari untuk BB <60 kg atau 75 mg perhari untuk pasien dengan BB

>60kg

H. Komplikasi

Kompikasi yang dapat ditimbulkan dari toxoplasmosis adalah kebutaan,

kondisi ini terjadi pada pnderita toksoplasmosis yang mengalami infeksi matayang

tidak diobati sempurna. Encephalitis, infeksi otak serius dapat terjadi pada penderita

toksoplasmosis dengan system imunitas karena penyakit HIV AIDS.

G. Prognosis

Kematian terkait cerebral toxoplasma pada pasien HIV hampir 100% apabila

terdapat keterlambatan terapi. Apabila tidak tersedia pilihan terapi lini pertama ini,

pemberian terapi trimethoprim-sulfametoksazol direkomendasikan sebagai terapi

alternative.

10
BAB III

KESIMPULAN

Toxoplasmosis cerebri merupakan infeksi oportunistik pada system saraf pusat

yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Infeksi ini terjadi akibat terjadinya

reaktivasi T. gondii pada kondisi immunocompromised. Gejala klinis yang ditimbulkan

tergantung lesi dan lokasi dari toxoplasma,gejala yang paling sering dikeluhkan

meliputi: sakit kepala (49-63%), demam (41- 68%), deficit fokal (22-80%), kejang (19-

29%), kebingungan (15-52%), ataxia (15-25%), letargi (12- 44%), kelemahan saraf

kranial (12-19%), dan gangguan penglihatan (8-15%). Diagnosis dilakukan dengan

anamesis, pemeiksaan fisik dan penunjang. Penunjang yang dilakukan adalah serology

test, PCR dan CT-Scan. Penatalaksaan untuk toxoplasma cerebri adalah dengan

memberikan kombinasi pirimetrin dan sulfadiazine.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Neki N. Cerebral Toxoplasmosis in HIV/AIDS Patient- A Case Report.


Bangladesh Journal Medicine. 2014 June; 25;76-7

2. Soleimani A, Bairami A. Cerebral Toxoplasmosis in A Patient Leads to


Diagnosis of AIDS. Asian Pacific Journal of Tropical Disease. 2015 July;
5(8):667-8

3. Ronaldo A. Steroids in neuroinfection. Arq. NeuroPsiquiatr. 2013; 71(9B):


717-21.

4. Yostilla D, Armen A. Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS. Jurnal


Kesehatan Andalas. 2018; 7(4)96-97

5. Kementerian Kesehatah RI. Data statistik HIV di Indonesia 2014. Jakarta:


Ditjen Penceahan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan, Kementerian
Kesehatan RI;2014. 1–3.

6. Yellita (2004). Mekanisme interaksi Toxoplasma gondii dengan sel host.


Pengantar falsafah sains Institut Pertanian Bogor, hal 1–12

7. Naqi, Azeemuddin, Ahsan. Cerebral toxoplasmosis in a patient with acquired


immunodeficiency syndrome. J. Pak Med Association. 2010; 60(4): 316-8.

8. Irma Y, Narroudin. Pathogenesis, Diagnostic, and Management


Toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infection Disease. 2015.
5(4).

9. Dedicoat M, Livesley N. Management of toxoplasmic enchepalitis in HIV-


infected adults. Cocharne database syst rev. 2006. 3

12

Anda mungkin juga menyukai