BAB I
PENDAHULUAN
komorbid yang serius pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. Oleh karena
itu keadaan ini penting untuk diketahui, terutama oleh neurologis, agar diagnosis
dan terapi dapat diberikan secara cepat dan tepat sehingga menghasilkan keluaran
yang lebih baik.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Epidemiologi
T. gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu: ookista, takizoit, dan kista.
Hasil dari proses ini adalah infeksi organ yang memberikan gambaran
sitopatologi khas. Kebanyakan takizoid dieleminasi oleh respon imun pejamu.
Kista jaringan yang mengandung banyak bradizoit berkembang 7-10 hari setelah
infeksi sistemik oleh takizoit. Kista jaringan terdapat diberbagai organ, namun
menetap terutama di sistem saraf pusat (SSP) dan otot. Infeksi aktif pada pejamu
imunokompromais biasanya diakibatkan oleh pembebasan spontan parasit di
dalam kista yang kemudian bertransformasi secara cepat menjadi takizoid di SSP.
2.5 Patogenesis
Infeksi dapat dapat terjadi apabila penderita makan daging mentah atau
kurang matang yang mengandung Toxoplasma gondii bentuk kista. Bila tertelan
oleh manusia, ookista akan menjadi takizoit yang kemudian akan mengalami
replikasi. Takizoit kemudian akan melakukan penetrasi ke inti sel dan membentuk
vakuola. Hal ini akan menyebabkan kematian sel, di mana kematian sel akan
menginisiasi respon inflamasi. Pada hospes imunokompeten, imunitas yang
dimediasi sel akan menjaga agar infeksi tersebut tidak terus berlangsung dan
menjaga T. gondii berada dalam keadaan laten pada tubuh manusia.
Proses pembentukan kista berawal dari takizoit yang ada di darah akan
mengaktivasi sel T untuk menghasilkan CD154 atau disebut juga CD40, CD154
kemudian merangsang sel dendritik dan makrofag untuk mensekresikan
interleukin (IL-12). Sel T akan menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) sebagai
respon dari adanya interleukin di dalam darah. Interferon gamma inilah yang
kemudian berperan penting dalam mengontrol pertumbuhan T. gondii dalam
tubuh manusia melalui stimulasi makrofag dan sel-sel nonfagositik lainnya. Pada
individu yang imunokompeten, respon tersebut akan terjadi dengan baik dan
membuat takizoit berubah menjadi bradizoit yang secara morfologi serupa dengan
takizoit namun memiliki kecepatan replikasi yang lebih rendah. Bradizoit
kemudian berubah menjadi kista yang akan tersimpan di otak, otot jantung, atau
otot-otot skeletal dalam tubuh manusia. Kista akan tersimpan seumur hidup dan
terjadilah fase infeksi kronik dari T. gondii.
Toxoplasma cerebri biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan kadar CD4 T sel <100/mL, yang ditandai dengan onset subakut.
(1898) Individu dengan HIV/AIDS umumnya terinfeksi oleh HIV tipe 1. Infeksi
6
limfosit CD4 oleh HIV-1 dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat
apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh,
infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan
struktural dan fungsional pada neuron dan sel-sel pendukungnya.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah, terutama pada pasien
HIV, dapat terjadi reaktivasi dari infeksi T. gondii yang awalnya bersifat laten.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2 dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas limfosit T sitokin. Sel-sel dari
pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-
gamma secara in vitro. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Sebagaimana
diketahui, pada individu pengidap HIV terjadi gangguan CD4 T cells, di mana
pada penderita HIV jumlahnya akan berkurang secara signifikan. Sebagai
akibatnya, CD154 akan berkurang dan hal tersebut berkorelasi dengan
berkurangnya interleukin serta interferon. Berkurangnya respon hospes terhadap
T. gondii inilah yang memungkinkan terjadinya reaktivasi infeksi yang pada
awalnya bersifat laten. Kista jaringan menjadi ruptur dan melepaskan tropozoit
yang bersifat invasif (takizoit). Takizoit akan menghancurkan sel dan
menyebabkan fokus nekrosis.(6)
mungkin subakut. Keluhan pada pasien adalah perubahan status mental (62%),
sakit kepala (59%), dan demam (41%) yang dihubungakn dengan defisit
neurologis fokal. Perjalanan dari infeksi ini dapat dengan mudah menjadi
kebingungan, keadaan mengantuk, kejang, hemiparesis, hemianopsia, afasia,
ataxia dan kelumpuhan saraf kranial. Kelemahan motorik dan gangguan berbicara
yang terlihat secara cepat. Jika tidak diterapi dengan segera, pasien akan
mengalami koma dalam hitungan hari sampai minggu.(4)
2.7 Diagnosis
2.8 Penatalaksanaan
Regimen Terapi
Regimen Terapi dan Dosis
Pilihan Sulfadiazin oral 1000-1500mg+ pirimetamin oral (200mg,
pertama kemudian 50-75mg PO+ asam folinat IV atau IM, 10-12 mg
Klindamisin oral atau IV 600 mg+ pirimetamin oral 200mg,
kemudian 50-75 mg) +asam folinat oral IV, IM, 10-20 mg
Alternatif Pirimetamin+ asam folinat + salah satu dibawah ini:
Atovaquone oral 100 mg
Klaritromisin oral 500 mg
Asitromisin oral 900-1200 mg
Dapson oral 100 mg
Cotrimoxasol oral atau IV 5 mg/kg
2.9 Pencegahan
2.10 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
2. Pohan HT. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Setiawati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Jakarta
Pusat: Interna Publishing; 2014.