Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

Toxoplasma cerebri merupakan suatu infeksi yang mengenai jaringan


otak. Infeksi ini disebabkan oleh protozoa yaitu toxoplasma gondi. Toxoplasma
gondi ini mempunyai host definitif pada kucing. Penularan kepada manusia dapat
melalui kontak langung dengan feaces kucing atau kista yang tertelan bersama
makanan yang tidak dimasak dengan baik. Sering kali infeksi toxoplasma ini
disebabkan oleh reaktivasi dari penyakit yang telah ada sebelumnya.(1)

Pada pasien dengan keadaan imunokompromais seperti pada pasien


HIV/AIDS, terjadi suatu defisiensi imun akibat defisiensi secara kuantitatif
maupun kualitatif yang progresif dari sel T Helper. Indeksi oportunistik seperti
Toxoplasma gondii mudah menyerang penderita HIV/AIDS yang tidak mendapat
terapi antiretroviral yang efektif.(2)

Di Amerika Serikat didapatkan sekitar sekitar 3-70% orang dewasa sehat


telah terinfeksi dengan Toxoplasma gondii. Pada pasien dengan HIV positif
didapatkan angka sekitar 45% telah terinfeksi Toxoplasma gondii. Prevalensi
Toxoplasma gondii di Eropa Barat dan Afrika mencapai 50-78%.

Pasien imunokompromais mempunyai resiko tinggi untuk mengidap


penyakit toksoplasmosis yang berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun
reaktifitas. Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi mempunyai prognosis
yang buruk. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah limfosit T sehingga
mekanisme pertahanan tubuh pada pasien HIV/AIDS menurun terhadap
Toxoplasma gondii.(2) Lebih dari 50% penderita yang terinfeksi HIV akan
berkembang menjadi kelainan neurologis. Infeksi oportunistik SSP yang paling
sering pada penderita HIV/AIDS adalah toxoplasma serebri. Toksoplasmosis
serebri adalah infeksi yang dapat ditangani melalui pemberian terapi antiparasit
yang tepat, namun keberadaannya dapat membahayakan jiwa dan menjadi faktor
2

komorbid yang serius pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. Oleh karena
itu keadaan ini penting untuk diketahui, terutama oleh neurologis, agar diagnosis
dan terapi dapat diberikan secara cepat dan tepat sehingga menghasilkan keluaran
yang lebih baik.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Toxoplasma Serebri


Toxoplasma Serebri adalah suatu penyakit infeksi oportunistik, yang
disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, dimana sering menyerang pasien
HIV/AIDS dan sering menyebabkan abses serebral pada pasien ini. (3) Selain itu,
termasuk patogen obligat intraseluler yang menginfeksi sebagian besar penduduk
didunia dan dikenal menyebabkan angka kesakitan seseorang dengan AIDS. Ciri-
ciri infeksi T. gondii adalah laten dan tanpa gejala pada seseorang yang
imunokompeten dan seseorang yang terinfeksi HIV.
Seseorang dengan HIV beresiko mendapat toxoplasmosis akut yang
berkaitan dengan reaktivasi parasit tersebut jika jumlah CD4+ menurun dibawah
100 sel/µL atau jika jumlahnya menurun dibawah 200 sel/ µL pada saat
bersamaan munculnya infeksi oportunistik atau keganasan. Reaktivasi dari infeksi
T. gondii yang laten pada seseorang dengan AIDS bermanifestasi khas sebagai
toxoplasmosis serebri, dimana dapat mengancam hidup jika tidak terdiagnosis dan
diterapi secara cepat.(4)

2.2 Epidemiologi

Prevalensi anti T. gondii yang positif di Indonesia berkisar antara 2% dan


63%. Sedangkan pada orang eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvador,
Amerika Tengah 90%. Prevalensi anti T. gondii pada binatang di Indonesia adalah
sebagai berikut: pada kucing 25-73%, pada babi 11-36%, pada kambing 11-61%,
pada anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Di Amerika Serikat
didapatkan sekitar 3-70% orang dewasa sehat telah terinfeksi dengan Toxoplasma
gondii. Pada pasien dengan HIV positif didapatkan angka sekitar 45% telah
terinfeksi Toxoplasma gondii. Di Eropa Barat dan Afrika prevalensi toksoplasma
gondii pada penderita HIV/AIDS sekitar 50-78%.(2)
4

2.3 Etiologi Toxoplasma Cerebri

T. gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu: ookista, takizoit, dan kista.

2.4 Daur Hidup Toxoplasma Gondii

Toxoplasma gondii adalah parasit intraselular yang menginfeksi burung dan


manusia. Tahap utama dalam hidup parasit adalah pada kucing (pejamu definitif).
Dalam sel epitel usus kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur
seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan
bersama tinja. Ookista yang bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5 mikron
menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing menghasilkan 4 sporozoit. Bila
ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes perantara), maka pada
berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk kelompok-kelompok trofozoit
yang membelah secara aktif dan disebut takizoid. Takizoit dapat menginfeksi dan
bereplikasi pada seluruh sel mamalia kecuali sel darah merah. Kecepatan takizoid
toksoplasma membelah berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista yang
mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan). Masa ini merupakan
masa infeksi klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten.

Hasil dari proses ini adalah infeksi organ yang memberikan gambaran
sitopatologi khas. Kebanyakan takizoid dieleminasi oleh respon imun pejamu.
Kista jaringan yang mengandung banyak bradizoit berkembang 7-10 hari setelah
infeksi sistemik oleh takizoit. Kista jaringan terdapat diberbagai organ, namun
menetap terutama di sistem saraf pusat (SSP) dan otot. Infeksi aktif pada pejamu
imunokompromais biasanya diakibatkan oleh pembebasan spontan parasit di
dalam kista yang kemudian bertransformasi secara cepat menjadi takizoid di SSP.

Bila kucing sebagai hospes definitif memakan hospes perantara yang


terinfeksi, maka terbentuk lagi berbagai stadium seksual di dalam sel epitel
ususnya. Bila ookista tertelan oleh kucing, maka masa prapaten (sampai
dikeluarkan ookista) adalah 20-24 hari.
5

Diberbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan trofozoit dan kista


jaringan. Pada manusia takizoitditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki
tiap sel yang berinti. Bentuk takizoid menyerupai bulan sabit dengan satu ujung
runcing dan ujung lain yang membulat. Panjangnya 4-8 mikron dan memiliki satu
inti ditengah.(5)

2.5 Patogenesis

Infeksi dapat dapat terjadi apabila penderita makan daging mentah atau
kurang matang yang mengandung Toxoplasma gondii bentuk kista. Bila tertelan
oleh manusia, ookista akan menjadi takizoit yang kemudian akan mengalami
replikasi. Takizoit kemudian akan melakukan penetrasi ke inti sel dan membentuk
vakuola. Hal ini akan menyebabkan kematian sel, di mana kematian sel akan
menginisiasi respon inflamasi. Pada hospes imunokompeten, imunitas yang
dimediasi sel akan menjaga agar infeksi tersebut tidak terus berlangsung dan
menjaga T. gondii berada dalam keadaan laten pada tubuh manusia.
Proses pembentukan kista berawal dari takizoit yang ada di darah akan
mengaktivasi sel T untuk menghasilkan CD154 atau disebut juga CD40, CD154
kemudian merangsang sel dendritik dan makrofag untuk mensekresikan
interleukin (IL-12). Sel T akan menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) sebagai
respon dari adanya interleukin di dalam darah. Interferon gamma inilah yang
kemudian berperan penting dalam mengontrol pertumbuhan T. gondii dalam
tubuh manusia melalui stimulasi makrofag dan sel-sel nonfagositik lainnya. Pada
individu yang imunokompeten, respon tersebut akan terjadi dengan baik dan
membuat takizoit berubah menjadi bradizoit yang secara morfologi serupa dengan
takizoit namun memiliki kecepatan replikasi yang lebih rendah. Bradizoit
kemudian berubah menjadi kista yang akan tersimpan di otak, otot jantung, atau
otot-otot skeletal dalam tubuh manusia. Kista akan tersimpan seumur hidup dan
terjadilah fase infeksi kronik dari T. gondii.
Toxoplasma cerebri biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan kadar CD4 T sel <100/mL, yang ditandai dengan onset subakut.
(1898) Individu dengan HIV/AIDS umumnya terinfeksi oleh HIV tipe 1. Infeksi
6

limfosit CD4 oleh HIV-1 dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat
apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh,
infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan
struktural dan fungsional pada neuron dan sel-sel pendukungnya.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah, terutama pada pasien
HIV, dapat terjadi reaktivasi dari infeksi T. gondii yang awalnya bersifat laten.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2 dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas limfosit T sitokin. Sel-sel dari
pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-
gamma secara in vitro. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Sebagaimana
diketahui, pada individu pengidap HIV terjadi gangguan CD4 T cells, di mana
pada penderita HIV jumlahnya akan berkurang secara signifikan. Sebagai
akibatnya, CD154 akan berkurang dan hal tersebut berkorelasi dengan
berkurangnya interleukin serta interferon. Berkurangnya respon hospes terhadap
T. gondii inilah yang memungkinkan terjadinya reaktivasi infeksi yang pada
awalnya bersifat laten. Kista jaringan menjadi ruptur dan melepaskan tropozoit
yang bersifat invasif (takizoit). Takizoit akan menghancurkan sel dan
menyebabkan fokus nekrosis.(6)

2.6 Gambaran Klinis

Pada orang dewasa, hanya 10-20% yang menunjukan gejala, sisanya


asimptomatik. Gejala awal tersering adalah limfadenopati leher tetapi bisa juga
didapatkan pembesaran kelenjar getah bening mulut. Gejala dan tanda yang
berikutnya yang mungkin muncul adalah demam, malaise, keringat malam, nyeri
otot, sakit tenggorokan, eritema makulopopular, hepatomegali dan splenomegali.
Secara khas, toxoplasmosis pada pasien yang terinfeksi HIV muncul sebagai
reaktivasi dari infeksi kronik dan selalu muncul sebagai toxoplasma encephalitis.
Pada mula munculnya toxoplasma encephalitis pada pasien dengan AIDS yang
7

mungkin subakut. Keluhan pada pasien adalah perubahan status mental (62%),
sakit kepala (59%), dan demam (41%) yang dihubungakn dengan defisit
neurologis fokal. Perjalanan dari infeksi ini dapat dengan mudah menjadi
kebingungan, keadaan mengantuk, kejang, hemiparesis, hemianopsia, afasia,
ataxia dan kelumpuhan saraf kranial. Kelemahan motorik dan gangguan berbicara
yang terlihat secara cepat. Jika tidak diterapi dengan segera, pasien akan
mengalami koma dalam hitungan hari sampai minggu.(4)

2.7 Diagnosis

Diagnosis toksoplasmosis serebri dibuat dengan melihat gejala klinik dan


pemeriksaan penunjang. Toksoplasmosis serebri ditandai dengan onset yang
subakut hingga kronik. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit
neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang
(29%). Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan
perubahan status mental pada 75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70%
kasus, nyeri kepala pada 50% kasus, demam pada 45% kasus, dan kejang pada
30% kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat gangguan nervus kranialis, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement
disorders dan manifestasi neuropsikiatri. Gejala defisit fokal dari toksoplasmosis
biasanya cepat sekali berkembang dan perburukan kondisi dapat terjadi dengan
cepat.
Dalam menegakkan diagnosis toksoplasma cerebri diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan serologi, neuroimaging, PCR, dan
penentuan diagnosis definitif dengan pemeriksaan histopatologi melalui biopsi
jaringan. Tes serologi yang biasa dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-
Feldman dye test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung. Tes Sabin Feldman
didasarkan oleh rupturnya Toxoplasma gondii yang hidup dengan antibody
spesifik dan komplemen di dalam serum yang diperiksa. Hasil pemeriksaan ini
menjadi positif dalam 2 minggu setelah infeksi dan menurun setelah 1-2 tahun.
8

Toxoplasma gondii dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologi antibodi


antitoksoplasma (IgM dan IgG). IgM positif atau meningkat dapat
diinterpretasikan sebagai adanya infeksi yang bersifat akut. IgM biasanya menjadi
negatif atau menurun kadarnya beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah
infeksi primer. IgM biasanya negatif pada proses reaktivasi, oleh karena itu
pemeriksaan IgM biasanya tidak berguna pada kasus dugaan toksoplasmosis
serebri yang secara patogenesis diakibatkan oleh proses reaktivasi Toxoplasma
gondii.
Berbeda dengan IgM, pemeriksaan IgG dilakukan untuk mengetahui adanya
infeksi Toxoplasma gondii yang bersifat laten. Serum IgG mulai muncul saat
infeksi primer Toxoplasma gondii terjadi, kemudian meningkat kadarnya hingga
mencapat puncak pada bulan pertama hingga kedua, setelah itu kadarnya
kemudian menurun namun akan tetap positif dan dapat dideteksi seumur hidup.
Penelitian menunjukkan bahwa IgG ditemukan positif pada 100% pasien yang
terbukti mengalami toksoplasmosis pada sistem saraf pusat. Selain melalui
pemeriksaan IgM dan IgG, pemeriksaan serologis untuk Toxoplasma gondii juga
dapat dilakukan dengan Indirect Fluorescent Antibody Test(IFA), tes aglutinasi,
atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).2 Namun demikian,
pemeriksaan ELISA diketahui kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan IgG
dalam mendiagnosis toksoplasmosis serebri.
Pemeriksaan neuroimaging berupa CT scan kepala atau MRI kepala dengan
kontras diindikasikan pada penderita HIV dengan CD4 rendah yang
memperlihatkan gejala klinis berupa defisit neurologis fokal. Sebuah penelitian
dilakukan pada tahun 1992 yang melibatkan 115 individu dengan diagnosis
toksoplasmosis serebri. Gambaran CT scan kepala dengan kontras pada pasien
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lesi bersifat multipel, berbentuk
cincin hipodens dengan penyengatan homogen pada pemeriksaan dengan kontras,
dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal (27%) atau tanpa lesi (3%).
9

Gambar 1. Gambaran CT Scan kepala postkontras pada pasien toksoplasmosis


serebri

Gambar 2. Gambaran MRI pada pasien toksoplasmosis serebri

Diagnosis toxoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoid


dalam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan cerebrospinal dan ventrikel. Isolasi
parasit dilakukan dengan cara inokulasi pada mencit. Isolasi parasit dari cairan
tubuh menunjukan adanya infeksi akut.(2)(7)
10

2.8 Penatalaksanaan

Terapi toxoplasmosis serebri(7):

Regimen Terapi
Regimen Terapi dan Dosis
Pilihan Sulfadiazin oral 1000-1500mg+ pirimetamin oral (200mg,
pertama kemudian 50-75mg PO+ asam folinat IV atau IM, 10-12 mg
Klindamisin oral atau IV 600 mg+ pirimetamin oral 200mg,
kemudian 50-75 mg) +asam folinat oral IV, IM, 10-20 mg
Alternatif Pirimetamin+ asam folinat + salah satu dibawah ini:
Atovaquone oral 100 mg
Klaritromisin oral 500 mg
Asitromisin oral 900-1200 mg
Dapson oral 100 mg
Cotrimoxasol oral atau IV 5 mg/kg

2.9 Pencegahan

Toksoplasmosis dapat dicegah di tiga tingkatan yang berbeda(2):

1. Pencegahan infeksi primer


2. Pencegahan transmisi vertikal dalam penyakit kongenital
3. Pencegahan penyakit pada individu yang imunokompromais

2.10 Prognosis

Toksoplasmosis akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis


yang baik. Sedangkan toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi seperti pada
penderita HIV/AIDS mempunyai prognosis yang buruk.(2)
11

BAB III

KESIMPULAN

Toxoplasma serebri merupakan suatu infeksi yang mengenai jaringan otak.


Infeksi ini disebabkan oleh protozoa yaitu toxoplasma gondi. Penularan kepada
manusia dapat melalui kontak langung dengan feaces kucing atau kista yang
tertelan brsama makanan yang tidak dimasak dengan baik. Sering kali infeksi
toxoplasma ini disebabkan oleh reaktiasi dari penyakit yang telah ada sebelumnya
Infeksi ini pada umumnya jarang mengenai orang yang sehat. Biasanya orang
yang terinfeksi penyakit ini adalah penderita dengan penurunan kekebalan tubuh,
contohnya pada penderita HIV/AIDS. Dengan makin meningkatnya jumlah
penderita HIV/AIDS, maka jumlah kasus toxoplasma serebri akan meningkat.

Diagnosis toksoplasmosis serebri dibuat dengan melihat gejala klinik dan


pemeriksaan penunjang. Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
mendiagnosis toxoplasma cerebri adalah pemeriksaan serologi, neuroimaging,
PCR, dan penentuan diagnosis definitif dengan pemeriksaan histopatologi melalui
biopsi jaringan.

Toxoplasma serebri berkembang dan memburuk dengan cepat sehingga


terapi yang cepat dan tepat akan memberikan hasil yang baik. Pada pasien dengan
penurunan sistem imunitas seperti pada pasien HIV/AIDS, maka terapi
toxoplasma cerebri akan di bantu dengan pemberian terapi atniretroviral. terapi
antiretroviral baru dapat diberikan 2-3 minggu setelah terapi toksoplasma,
bergantung dari penilaian klinis. Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri
adalah kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui
sawar-darah otak dengan baik walaupun tidak ditemui inflamasi. Toxoplasmosis
pada pasien dengan imunodefisiensi seperti pada penderita HIV/AIDS memiliki
prognosis yang buruk.
12

DAFTAR PUSTAKA

1. H MM, Hamdan M, Machin A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya:


Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga; 2011.

2. Pohan HT. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Setiawati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Jakarta
Pusat: Interna Publishing; 2014.

3. Johnson RT, Griffin J, McArthur J. Current Therapy in Neurologic Disease.


Mosby Inc; 2005.

4. Suriya J, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in


Adult Patients with HIV Infection. 2008;(July):17–24.

5. Gandahusada S. Toxoplasma Gondii. 3rd ed. Gandahusada S, Ilahude H,


Pribadi W, editors. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2006.

6. J. Frenkel. Pathophysiology of Toxoplasmosis. Am J Trop Med Hyg.


1975;439–43.

7. Basavaraju A. Toxoplasmosis in HIV infection : An overview. 2016;129–


35.

Anda mungkin juga menyukai