TOXOPLASMA ENSEPHALITIS
Oleh:
Fedora Jolie
112018166
Pembimbing:
dr. Nadia Husein, Sp. S
Latar Belakang
Pengambilan cairan serebro spinal (CSS) dengan teknik punksi lumbal umumnya
dilakukan untuk mengambil sampel cairan otak. Hal itu bertujuan sebagai bahan pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien AIDS dengan defisit neurologis, punksi lumbal
dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya infeksi, misalnya meningitis
tuberkulosis atau kriptokokosis. Akan tetapi, punksi lumbal pada ET jarang dilakukan karena
berdasarkan asumsi bahwa infeksi terjadi pada otak dan tidak berhubungan dengan cairan
otak, serta kekhawatiran akan terjadi proses desak-ruang akibat tindakan tersebut. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Toxoplasmosis Ensefalitis
Epidemiologi
Toxoplasma enchephalitis dapat terjadi pada 30-40% pasien yang tidak mendapat
profilaksis toxoplasmosis pada HIV. Studi di negara barat melaporkan komplikasi pada sistim
saraf terjadi pada 30-70% penderita HIV, bahkan terdapat laporan neuropatologik yang
mendapat kelainan pada 90% spesimen post mortem dari penderita HIV yang di periksa.6
Pada pasien HIV dengan CD4 >200 sel/μL, kejadian TE cukup jarang sedangkan bila
CD4 <50 sel/μL, maka ditemukan insiden TE yang paling besar. Infeksi primer T.
gondii terjadi melalui kontaminasi makanan oleh kista atau oosit dari parasit. Adapun sumber
kista dan oosit atau telur parasit ini adalah sebagian besar dari kotoran kucing. Makanan yang
terkontaminasi biasanya adalah daging yang kurang matang termasuk kerang-kerangan.
Memerlukan waktu 24 jam proses kontaminasi makanan dari lingkungan yang tercemar.7
Manifestasi Klinis
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan
dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis
dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak
khas seperti demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe
servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang,
dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis,
ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada
umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis
didapat. Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk
ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo,
afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan
sistem imunnya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita
mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Toksoplasmosis serebral sering
muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat
juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan
percakapan sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak bisa
menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan mempamerkan disfungsi serebral seperti
disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma. Pengobatan medulla spinalis akan
menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung
kemih atau kesakitan fokal.
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa
bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris.
Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel
otot. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung
dan susunan syaraf pusat.10
Siklus Hidup
Definitif host dari T. gondii ialah kucing. Unsporulated oocysts dikeluarkan di kotoran
kucing. Walaupun oocysts biasanya dikeluarkan hanya selama 1-3 minggu, namun jumlah
yang di keluarkan banyak. Oocysts memerlukan waktu 1-5 hari untuk sporulate dalam
lingkungan sebelum menjadi infektif. Host di lingkungan (termasuk burung dan tikus)
menjadi terinfeksi setelah menelan tanah, air atau tumbuh-tumbuhan yang terkontaminasi
oleh oocysts. Oocysts berubah menjadi tachyzoites setelah tertelan. Tachyzoites ini melekat
pada jaringan neural dan otot dan menjadi tissue cyst bradyzoites. Kucing menjadi terinfeksi
setelah menelan intermediate host yang membawa tissue cysts. Kucing juga dapat terinfeksi
secara langsung dengan menelan sporulated oocysts. Binatang yang dipelihara untuk
konsumsi manusia dan untuk permainan juga dapat terinfeksi oleh tissue cysts setelah
menelan sporulated oocysts dalam lingkungan. Manusia dapat terinfeksi oleh berbagai cara:
Memakan daging binatang yang membawa tissue cysts dan dimasak kurang matang.
Memakan makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran kucing atau oleh
sample kontaminasi lingkungan (seperti tanah yang terkontaminasi kotoran atau
menukar kotak kotoran kucing peliharaan).
Transfusi darah atau transplantasi organ tubuh.
Secara transplacental dari ibu ke janin.
Dalam host manusia, parasit dari tissue cysts, terutama dalam otot rangka,
miocardium, otak, dan mata, cysts ini menetap seumur hidup di host tersebut. Diagnosis
biasanya dapat ditegakkan oleh serologi, walaupun tissue cysts dapat ditemukan dalam
spesimen biopsi yang diwarnai. Diagnosis dari infeksi kongenital dapat ditegakkan dengan
deteksi DNA T. gondii dalam air ketuban melalui cara PCR.11
Patofisiologi
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti
oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut.
Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat
peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu
mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan
berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.12
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi
laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive trofozoit (takizoit). Takizoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.12
Ookista (Daging
mentah)
Tachyzoit (usus)
Darah & Limfe
Imune Respon
Bradyzoit (otak,
skeletal, myocard,
retina)
Immunocompromized
→reaktivasi
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas
fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit
T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular, dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel
langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada
sel yang terinfeksi. 12
Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem
saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang
sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV
menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi
dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas
Limfosit T sitokin. 12
Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan
IFN-gamma secara invitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T
gondii.12
Takizoit
Respon Imun
ekspresi CD154
IL-12
Sel T→INF-y
Respon
antitoxoplasmik
Neuroimaging
1. Foto Polos Konvensional
Foto polos konvensional adalah merupakan pengambilan image / gambar dari suatu
obyek dengan menggunakan sinar-X. Obyek yang akan diamati disinari dengan sinar-X ini,
dan dibelakangnya diletakkan film untuk menangkap image / gambar yang dihasilkan. Maka
image / gambar yang dihasilkan merupakan penampang mendatar dari suatu obyek yang
diamati.
Foto polos konvensional memiliki peranan yang terbatas dan tidak menjadi sebuah
standar dalam mendiagnosis toksplasmosis yang didapat namun dapat digunakan dalam
mendiagnosis toksoplasmosis kongenital atau bawaan. Hal ini dikarenakan pada foto polos
konvensional tidak dapat melihat gambaran jaringan lunak secara terperinci.13
2. Ultrasonografi (USG)
Gambaran toxoplasmosis cerebri yang sering ditemukan pada pemeriksaan USG pada
usia gestasi lanjut, tampak ventrikulomegali bilateral berat atau dilatasi ventrikel dengan area
yang hiperechoigenic di regio periventrikular, kalsifikasi periventrikular, cardiomegali, efusi
pleura, hepatosplenomegali dengan hiperechoigenik intrahepatik dan polihidramnion. 15
Kadang juga tampak gambaran plasenta yang tebal dan echoigenik, hydrops, hidrosefalus,
mikrosefali, gangguan tumbuh kembang fetus, dan asietes. Temuan abnormalitas intrakranial
mengindikasikan infeksi fetus yang berat dan prognosis yang buruk.16
Gambar USG pada toksoplasmosis serebri transventrikular view dari kepala fetus
menggambarkan dilatasi berat dari ventrikel lateral dengan penebalan dinding korteks cerebri
dan kalsifikasi periventrikular. Gambar USG pada toksoplasmosis serebri cross-sectional
view dari abdomen fetus yang menggambarkan pembesaran hepar dengan kalsifikasi
intrahepatik yang difus.
Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Pengobatan untuk Toxoplasmosis Akut pada Pasien Dewasa dengan HIV
Pyrimethamine (200-mg oral loading dose, Pyrimethamine (200-mg oral loading dose,
followed by 50–75 mg/day orally), followed by 50–75 mg/day orally) and
sulfadiazine (1000–1500 mg 4 times daily), clindamycin (600 mg intravenously [IV] or
and leucovorin (10–20 mg/day) for up to 6 orally 4 times daily)
weeks
TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV or
orally twice daily
Diadaptasi dari Benson CA, Kaplan JE, Masur H, dkk. Treating opportunistic infections
among HIV-infected adults and adolescents: recommendations from CDC, the National
Institutes of Health, and the HIV Medicine Association/Infectious Diseases Society of
America.
Tidak ada pedoman yang jelas mengenai kapan obat antiretroviral harus dimulai atau
diulang pada pasien HIV dengan toksoplasmosis akut. Konsensus yang disepakati bersama
adalah bahwa obat antiretroviral dapat dimulai kembali (restart) berdasarkan pertimbangan
dokter setelah toksoplasmosis akut diobati dan setelah didiskusikan dengan pasien.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 350-500 sel/mL, dengan gejala (AIDS). Atau individu yang
memiliki HIV dan TB aktif, chronic liver disease, atau orang-orang terdekat yang berpotensi
untuk terjangkit penyakit.First line ART harus memiliki 2 NRTI (nucleoside reverse
transcriptase inhibitor) dan 1 NNRTI (Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor)
contoh yang direkomedasikan tenofovir, lamivudine atau emticitabine, dan efapirenz.12
Tindak lanjut CT scan / MRI harus dilakukan sekitar 21 hari setelah mulai pengobatan
untuk memastikan respon pengobatan, dilakukan setiap 4-6 minggu sampai terdapat
penyelesaian massa lesi. Pasien dengan tanda-tanda klinis dan gambaran pemeriksaan
penunjang menunjukan diagnosis toksoplasmosis jarang gagal pengobatan anti-
toksoplasmosis klasik. Jika memang terjadi kegagalan, penggunaan terapi pengganti,
misalnya azitromisin, klaritromisin, atovaquone, trimetreksat, doksisiklin. Harus diingat
bahwa pasien yang gagal merespon pengobatan anti-toksoplasmosis mungkin memiliki
patologi lain atau bersamaan, misalnya limfoma, tuberkuloma, atau progresif multi-fokal
leucoencephalopathy. Biopsi otak dapat membantu untuk memperoleh diagnosis dan
memudahkan pengobatan.12
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa kejang, deficit neurologis fokal, dan
penurunan kesadaran. Pada penderita yang menderita toksoplasmosis okuler dapat timbul
kebutaan total atau sebagian. Pada toksoplasmosis kongenital dapat terjadi banyak
komplikasi, antara lain retardasi mental, kejang, tuli, dan kebutaan.12
Pencegahan
Non farmakologi
Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara menjaga
makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan. Jadi makanan yang
dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak (pada suhu 74-77 derajat celcius).
Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-
sayuran harus dicuci bersih. Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi
dengan kotoran kucing. Jika ada kotoran kucing, maka harus dibersihkan untuk menghindari
maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu berkebun, harus memakai sarung tangan
untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.19
Farmakologi
Prognosis
Pada umumnya ensefalitis toksoplasmosis dapat diterapi dengan baik, sehingga
prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang mendapatkan
penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun, terdapat kemungkinan
terjadnya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis dihentikan.19
Daftar Pustaka
1. Montoya JG, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. Lancet. 2004;363(9425):
1965–1976.
2. Sibley LD, Boothroyd JC. Virulent strains of Toxoplasma gondii comprise
a single clonal lineage. Nature. 1992;359:82–85
3. Elbez-Rubinstein A, Ajzenberg D, Darde ML, et al. Congenital toxoplasmosis and
reinfection during pregnancy: case report, strain characterization,
experimental model of reinfection, and review. J Infect Dis. 2009;199(2):
280–285
4. McLeod R, Boyer KM, Lee D, et al. Prematurity and severity are associated
with Toxoplasma gondii alleles (NCCCTS, 1981–2009). Clin Infect Dis.
2012;54(11):1595–1605