Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

TOXOPLASMA ENSEPHALITIS

Oleh:
Fedora Jolie
112018166

Pembimbing:
dr. Nadia Husein, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 14 SEPTEMBER 2020 – 17 OKTOBER 2020
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Toxoplasma encephalitis merupakan penyebab proses patologis fokal pada otak


(lesi massa intrakranial) yang bisa berakibat pada kematian. Toksoplasmosis serebral juga
disebut sebagai penyakit infeksi opportunistik yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang
biasanya menyerang pasien dengan HIV-AIDS. Toxoplasmosis Serebral sering dijumpai pada
pasien yang memiliki kadar CD4 dan sel T yang rendah. Toxoplasma gondii selain dapat
menyebabkan kerusakan otak juga dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah
bening, jantung, paru dan mata. Penyebaran Toxoplasma gondii ini dapat ditularkan melalui
kontak dengan kucing melalui feses atau daging mentah yang kurang matang / mentah yang
mengandung ookista dalam feses binatang tersebut. 1
Pada pejamu imunokompeten, umumnya asimptomatik. Sering kali, seseorang
diketahui telah terinfeksi T. gondii hanya dari pemeriksaan serologi darah dan bukan akibat
gejala klinis yang ditimbulkannya. Kadar IgM akan meningkat pada awal infeksi, dan akan
menurun setelah 1-6 bulan kemudian. Kadar IgG biasanya akan terdeteksi setelah 1-3 minggu
dari awal peningkatan kadar IgM, kemudian akan menetap selama 2 hingga 3 bulan,
selanjutnya menurun namun tidak pernah negatif, dan menetap seumur hidup.1,2

Diagnosis pasti ET adalah dengan menemukan T. gondii di jaringan otak melalui


biopsi. Akan tetapi, biopsi otak bukanlah suatu prosedur rutin karena bersifat invasif dan
cukup berisiko. Akibatnya, diagnosis ET ditegakkan hanya berdasarkan asumsi dari gejala
klinis, gambaran radiologi, dan respons terhadap terapi yang diberikan. Pemeriksaan
radiologi seperti computerized tomography (CT-scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI) dapat mendeteksi lesi di otak yang mungkin merupakan ET.13 Selain biaya
pemeriksaannya cukup mahal, pemeriksaan radiologi jenis ini juga menampilkan hasil yang
hampir mirip dengan jenis kelainan pada otak lainnya, sehingga menyulitkan penegakan
diagnosis.3

Pengambilan cairan serebro spinal (CSS) dengan teknik punksi lumbal umumnya
dilakukan untuk mengambil sampel cairan otak. Hal itu bertujuan sebagai bahan pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien AIDS dengan defisit neurologis, punksi lumbal
dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya infeksi, misalnya meningitis
tuberkulosis atau kriptokokosis. Akan tetapi, punksi lumbal pada ET jarang dilakukan karena
berdasarkan asumsi bahwa infeksi terjadi pada otak dan tidak berhubungan dengan cairan
otak, serta kekhawatiran akan terjadi proses desak-ruang akibat tindakan tersebut. 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Toxoplasmosis Ensefalitis

Toxoplasma enchephalitis  merupakan suatu penyakit terjadi pada pasien AIDS


sebagai akibat reaktivasi infeksi otak laten yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma
gondii. Toksoplasma gondii merupakan parasit intraselular yang tersebar di seluruh dunia dan
menginfeksi sepertiga populasi manusia. Toxoplasma gondii juga dapat menimbulkan radang
pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum
dapat didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau
yang kurang masak. 1
Berdasarkan genotipenya, terutama di benua Eropa dan Amerika,
memiliki 3 tipe (tipe I, II, dan III) yang dilaporkan dapat menginfeksi manusia dan hewan. 2
Tipe III merupakan yang paling umum menginfeksi hewan, dimana tipe I dan II paling umum
pada manusia. Tipe II juga dapat sering dikaitkan dengan penurunan virulensi pada hewan
dan kurang agresif dibandingkan pada manusia, sebaliknya tipe I dan III virulensi pada
hewan lebih sering dan lebih agresif pada manusia dan hewan.3
Bentuk infeksius dari T.gondii yaitu takizoit, bradizoit, dan ookista yang mengandung
sporozoit. Host definitive parasite ini adalah keluarga feline (seperti kucing), sedangkan
manusia dan hewan lainnya merupakan host penengah. Manusia dapat terinfeksi oleh parasite
ini melalui oral (mengonsumsi air atau makanan yang mengandung jaringan kista dan
ookista), transmisi vertical (takizoit yang terdapat pada ibu menginfeksi janin melalui
plasenta), transplantasi organ (jaringan kista terdapat di allograf pendonor yang terinfeksi),
atau kecelakaan pada laboratorium (saat melakukan eksperimental yang melibatkan takizoit,
jaringan kista, dan ookista parasite ini).4
Penyakit ini bisa diobati dan sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan
berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini
merupakan golongan protozoa yang menginfeksi sebagian besar populasi dunia dan
merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada pasien dengan HIV-
AIDS.1,2,3 Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan dormant asimptomatik pada
individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV
lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses reaktivasi organisme ini apabila
jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/µL atau apabila jumlah CD4 T sel di
bawah 200 sel/µL tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau malignansi. 2,3 Reaktivasi
toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya akan menyebabkan
toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan terapi tidak tepat.
Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara berkembang di
mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal,
menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.5

Epidemiologi
Toxoplasma enchephalitis dapat terjadi pada 30-40% pasien yang tidak mendapat
profilaksis toxoplasmosis pada HIV. Studi di negara barat melaporkan komplikasi pada sistim
saraf terjadi pada 30-70% penderita HIV, bahkan terdapat laporan neuropatologik yang
mendapat kelainan pada 90% spesimen post mortem dari penderita HIV yang di periksa.6

Diperkirakan sekitar 10-50% pasien AIDS yang menderita toksoplasmosis akan


berlanjut menjadi ET.7 Hal itu bergantung dari jumlah kasus toksoplasmosis di daerah
tersebut.10 Mengingat angka seropositif T. gondii yang cukup banyak di Indonesia, khususnya
di Jakarta, maka kemungkinan penderita AIDS yang akan mengalami ET akan semakin
tinggi. Di RSCM, Jakarta, kasus ET mencapai 35% dari seluruh kasus sehubungan infeksi
SSP pada penderita AIDS.

Pada pasien HIV dengan CD4 >200 sel/μL, kejadian TE cukup jarang sedangkan bila
CD4 <50 sel/μL, maka ditemukan insiden TE yang paling besar. Infeksi primer T.
gondii terjadi melalui kontaminasi makanan oleh kista atau oosit dari parasit. Adapun sumber
kista dan oosit atau telur parasit ini adalah sebagian besar dari kotoran kucing. Makanan yang
terkontaminasi biasanya adalah daging yang kurang matang termasuk kerang-kerangan.
Memerlukan waktu 24 jam proses kontaminasi makanan dari lingkungan yang tercemar.7

Manifestasi Klinis
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan
dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis
dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak
khas seperti demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe
servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang,
dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis,
ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada
umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis
didapat. Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk
ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo,
afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan
sistem imunnya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita
mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Toksoplasmosis serebral sering
muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat
juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan
percakapan sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak bisa
menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan mempamerkan disfungsi serebral seperti
disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma. Pengobatan medulla spinalis akan
menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung
kemih atau kesakitan fokal.

Reaktivasi pada Pasien Immunosupresif


Sistem SSP sering dikaitkan sebagai tempat tersering dan hanya pada pasien dengan
reaktivasi toksoplasmosis pada pasien immunocompromised. Daerah multiple pada otak
selalu dipengaruhi, namun ada pilihan ditemukan gray matter pada pemeriksaan histologi
atau pada ganglia basalis pada pemeriksaan radiologi. ET secara luas memperlihatkan
manifestasi klinis seperti gangguan status mental, kejang, kelemahan motoric, abnormalitas
sensorik, disfungsi cerebellum, meningismus, gangguan gerak, dan manifestasi pada
neuropsikiatri. Persentase pada onset subakut abnormalitas fokal terlihat dalam 58-89%
pasien. Faktanya, gangguan status mental, letargi, pikiran delusional, psikosis, gangguan
kognitif global, anomia, atau koma dapat terlihat pada 60% pasien. Kejang merupakan alasan
utama diperlukannya bantuan medis pada pasien ET dengan AIDS. Defisit neurologi fokal
merupakan bukti pada pemeriksaan neurologi pada 60% pasien. Hemiparesis merupakan
gejala yang sering ditemukan.8
Defisit neurologi fokal yang juga dapat ditemukan antara lain: hilangnya kemampuan
lapang pandang, nervus kranialis palsy, afasia, ataxia, dismetria, hemikhorea-hemiballismus,
tremor, parkinsonism, akathisia, atau dystonia fokal. Sebagai tambahan, keterlibatan saraf
spinalis yang terinfeksi T.gondii mengakibatkan transversal myelitis, conus medullaris
syndrome. Diantara pasien dengan toksoplasmosis ekstracerebral, dapat melibatkan mata
(50% pasien), paru (26%), daerah visceral (11,5%), aliran darah perifer (sindroma febris akut
dengan parasitemia) (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%), kandung kemih (1%), dan
daerah lainnya seperti rinofaring, kulit, liver, nodus limfatikus, conus medullaris, dan
pericardium.9

Etiologi dan Siklus Hidup

Toxoplasmosis Serebral disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit ini ditemukan


oleh Nicolle dan Manceaux pada tahun 1908 berasal dari hati dan limpa sejenis binatang
pengerat Ctenodactylus Gundi di Afrika Utara.

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga


bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi
sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain
agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel,
satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan
badan golgi. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia
termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut
dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang berinti. Takizoit
berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki
inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi
kronis takizoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit.10

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa
bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris.
Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel
otot. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung
dan susunan syaraf pusat.10

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai


dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan
selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing
sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu.
Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, berkembang biak secara
seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian. 10
Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces
kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus
seksual atau gametogenidan sporogoni yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama
feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh pejamu perantara seperti manusia,
sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan pejamu perantara akan dibentuk
kelompok-kelompok tachyzoit yang membelah secara aktif. Pada pejamu perantara tidak
dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan
tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus
kucing tersebut.10

(A) (B) (C)

Gambar 1. Takizoit (A), Kista (B), dan Ookista (C)10

Siklus Hidup

Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang mengandung


bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit diproduksi
selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T
gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia). Dimulai
dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh
bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi
tachyzoites, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak
dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma.  Siklus
seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi
infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir
selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan
terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3
hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun
(Gambar 2).11
            Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak
langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi
darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari
infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di
otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takizoit ini
akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.11

Gambar 2. Siklus Hidup Toxoplasma Gondii11

Definitif host dari T. gondii ialah kucing. Unsporulated oocysts dikeluarkan di kotoran
kucing.  Walaupun oocysts biasanya dikeluarkan hanya selama 1-3 minggu, namun jumlah
yang di keluarkan banyak. Oocysts memerlukan waktu 1-5 hari untuk sporulate dalam
lingkungan sebelum menjadi infektif. Host di lingkungan (termasuk burung dan tikus)
menjadi terinfeksi setelah menelan tanah, air atau tumbuh-tumbuhan yang terkontaminasi
oleh oocysts.  Oocysts berubah menjadi tachyzoites setelah tertelan.  Tachyzoites ini melekat
pada jaringan neural dan otot dan menjadi tissue cyst bradyzoites.  Kucing menjadi terinfeksi
setelah menelan intermediate host yang membawa tissue cysts.  Kucing juga dapat terinfeksi
secara langsung dengan menelan sporulated oocysts.  Binatang yang dipelihara untuk
konsumsi manusia dan untuk permainan juga dapat terinfeksi oleh tissue cysts setelah
menelan sporulated oocysts dalam lingkungan.  Manusia dapat terinfeksi oleh berbagai cara:

 Memakan daging binatang yang membawa tissue cysts dan dimasak kurang matang.
 Memakan makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran kucing atau oleh
sample kontaminasi lingkungan (seperti tanah yang terkontaminasi kotoran atau
menukar kotak kotoran kucing peliharaan).
 Transfusi darah atau transplantasi organ tubuh.
 Secara transplacental dari ibu ke janin.

Dalam host manusia, parasit dari tissue cysts, terutama dalam otot rangka,
miocardium, otak, dan mata, cysts ini menetap seumur hidup di host tersebut. Diagnosis
biasanya dapat ditegakkan oleh serologi, walaupun tissue cysts dapat ditemukan dalam
spesimen biopsi yang diwarnai.  Diagnosis dari infeksi kongenital dapat ditegakkan dengan
deteksi DNA T. gondii dalam air ketuban melalui cara PCR.11

Patofisiologi

Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti
oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut.
Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat
peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu
mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan
berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.12

Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi
laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive trofozoit (takizoit). Takizoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.12
Ookista (Daging
mentah)

Tachyzoit (usus)
Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak,
skeletal, myocard,
retina)

Immunocompromized
→reaktivasi

Diagram 1. Patogenesis Toxoplasmosis

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas
fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit
T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular, dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel
langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada
sel yang terinfeksi. 12

Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem
saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang
sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV
menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi
dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas
Limfosit T sitokin. 12
Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan
IFN-gamma secara invitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T
gondii.12
Takizoit
Respon Imun

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan


makrofag

IL-12

Sel T→INF-y

Respon
antitoxoplasmik

Diagram 2. Respon Imun

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Identifikasi dan Isolasi Parasit


Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada spesimen.
Walaupun jarang, pada pasien dengan meningoensefalitis yang disebabkan T. Gondii, parasit
tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS. Parasit dapat juga diisolasi dari kultur darah pasien,
walaupun dengan atau tanpa bukti adanya ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi
T. Gondii yang didapatkan dari specimen klinis memerlukan perlakuan intensif dan hasil
yang didapat setelah 6 minggu kemudian. Metode diagnostik lainnya yang sedang diteliti
adalah amplikasi selektif dengan PCR dari produksi khusus DNA specimen klinik T. Gondii.
Karena keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang sangat senditif ini untuk
mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi yang predominan ensefalitis dibandingkan
meningitis) pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan. Diagnosis toksoplasmosis dibuat
berdasarkan temuan klinis, laboratoris, dan radioimaging. Pemeriksaan penunjang
laboratorium toksoplasmosis akut dibuat berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan PCR.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan
peningkatan transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada meningoensefalitis
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis mononuklear (10-50 sel/ml),
peningkatan kadar protein.13
Test Serologis
Tes terhadap IgM digunakan untuk menentukan apakah suatu pasien telah terkena
infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh karena ada kemungkinan dalam salah
menafsir hasil positif IgM dari hasil percobaan, pengujian untuk konfirmasi harus
dilakukan.13
a. Toxoplasma Serological Profile (TSP)
TSP telah secara klinis sangat menolong dalam mendiagnosis toxoplasmik limfadenitis,
myocarditis, polyomiositis, chorioretinitis dan selama kehamilan. Karena pemeriksaan
TSP dengan hasil positif pada IgG dan IgM dapat membedakan antara
infeksi/peradangan kronis atau infeksi yang didapat dan lebih baik daripada pemeriksaan
serologi tunggal manapun.
b. Dye test
Antibodi IgG diukur terutama menggunakan sabin-fieldman dye test (DT). Pemeriksaan
ini merupakan tes netralisasi sensitif dan sangat spesifik, dimana organisme dilisiskan
kemudian dipresentasikan dengan komplemen dan IgG antibodi spesifik T. Gondii. IgG
biasanya timbul dalam 1-2 minggu infeksi, puncaknya dalam 1-2 bulan kemudian turun
dengan rata-rata penurunan bervariasi dan biasanya tetap ada selama hidup. Tingginya
titer tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.
Dye test positif menyatakan bahwa pasien pernah terpapar oleh parasit, sebaliknya DT
yang negatif mempunyai arti penting dalam mengesampingkan kemungkinan terpapar
T.gondii. Pada sebagian kecil pasien antibodi IgG mungkin saja tidak terdeteksi dalam 2-
3 minggu setelah awal paparan terhadap parasit.
c. Test differential aglutination (AC/HS)
Test differential aglutination menggunakan dua preparat antigen yang dapat
menggambarkan antigen penentu yang ditemukan pada awal infeksi akut (antigen AC)
atau antigen pada tahap akhir infeksi (HS). Rasio titer menggunakan antigen AC
dibandingkan antigen HS dapat menginterpretasikan sebagai akut.
d. Avidity
Test avidity digunakan sebagai test konfirmasi diagnostik tambahan pada TSP untuk
pasien dengan IgM positif atau equivocal atau hasil tes AC/HS yang akut atau equivocal.
Hasil antibody avidity IgG rendah atau equivocal jangan diinterpretasikan sebagai
diagnostik infeksi yang didapat sekarang.
e. Antibody IgM
Antibodi IgM diukur dengan menggunakan metode double sandwich atau immune
capture IgM-ELISA. Metode ini menghindari kesalahan false positive.
Pada pasien dengan infeksi didapat saat ini, antibodi IgM T.gondii dideteksi pada awal
penyakit dan titer ini akan negatif dalam beberapa bulan. IgM yang tetap persisten tidak
menggambarkan relevansi klinis dan pada pasiennya harus dipertimbangkan infeksi
kronis.
f. Antibody IgA
Antibodi IgA mungkin dapat ditemukan pada infeksi akut dalam serum penderita dewasa
dan infan yang terinfeksi secara kongenital menggunakan ELISA atau metode ISAGA.
Antibodi IgA dapat tetap ada untuk beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun.
Berdasarakan hal ini, pemeriksaan antibodi ini mempunyai peranan yang sedikit untuk
menegakkan infeksi akut pada orang dewasa, hal ini kontras dibandingkan apabila ada
peningkatan sensitifitas dengan hasil pemeriksaan IgA yang melebihi IgM untuk
mendiagnosis toxoplasmosis kongenital.
g. Antibody IgE
Antibodi IgE dideteksi dengan menggunakan ELISA pada serum penderita dewasa
dengan infeksi akut, neonatus yang terinfeksi secara kongenital, anak-anak dengan
chorioretinitis toxoplasmosis kongenital. Durasi seropositif IgE kurang dibandingkan
antibodi IgM atay IgA.

Neuroimaging
1. Foto Polos Konvensional
Foto polos konvensional adalah merupakan pengambilan image / gambar dari suatu
obyek dengan menggunakan sinar-X. Obyek yang akan diamati disinari dengan sinar-X ini,
dan dibelakangnya diletakkan film untuk menangkap image / gambar yang dihasilkan. Maka
image / gambar yang dihasilkan merupakan penampang mendatar dari suatu obyek yang
diamati.
Foto polos konvensional memiliki peranan yang terbatas dan tidak menjadi sebuah
standar dalam mendiagnosis toksplasmosis yang didapat namun dapat digunakan dalam
mendiagnosis toksoplasmosis kongenital atau bawaan. Hal ini dikarenakan pada foto polos
konvensional tidak dapat melihat gambaran jaringan lunak secara terperinci.13
2. Ultrasonografi (USG)

Kalsifikasi pada Toksoplasmosis Kongenital

Pemeriksaan toxoplasmosis cerebri menggunakan USG biasanya dilakukan pada fatus


yang dicurigai terkena kongenital fetal toxoplasmosis cerebri yang ditransmisikan secara
vertikal dari ibu, dan biasanya dilakukan prenatal atau dalam kandungan dengan tujuan untuk
early detection toxoplasmosis cerebri sehingga menjadi salah satu point pertimbangan dalam
terminasi kehamilan.14

Gambaran toxoplasmosis cerebri yang sering ditemukan pada pemeriksaan USG pada
usia gestasi lanjut, tampak ventrikulomegali bilateral berat atau dilatasi ventrikel dengan area
yang hiperechoigenic di regio periventrikular, kalsifikasi periventrikular, cardiomegali, efusi
pleura, hepatosplenomegali dengan hiperechoigenik intrahepatik dan polihidramnion. 15
Kadang juga tampak gambaran plasenta yang tebal dan echoigenik, hydrops, hidrosefalus,
mikrosefali, gangguan tumbuh kembang fetus, dan asietes. Temuan abnormalitas intrakranial
mengindikasikan infeksi fetus yang berat dan prognosis yang buruk.16
Gambar USG pada toksoplasmosis serebri transventrikular view dari kepala fetus
menggambarkan dilatasi berat dari ventrikel lateral dengan penebalan dinding korteks cerebri
dan kalsifikasi periventrikular. Gambar USG pada toksoplasmosis serebri cross-sectional
view dari abdomen fetus yang menggambarkan pembesaran hepar dengan kalsifikasi
intrahepatik yang difus.

USG kepala yang memperlihatkan ventrikular dilatasi bilateral dan simetris.


USG kepala yang menunjukkan mulai terjadinya dilatasi ventrikel pada regio oksipital

3. Computed Tomography Scan (CT Scan)


CT scan merupakan teknik pencitraan yang menggunakan sinar x untuk membentuk
potongan-potongan gambar dari tubuh. Pada CT scan tanpa pemberian kontras,
toksoplasmosis serebral tampak sebagai lesi hipodense multipel yang terutama terdapat pada
ganglia basalis (75%). Pada gambaran CT-scan di otak pada toksoplasmosis serebral
menunjukkan gambaran lesi noduler tunggal (30%) atau multipel (70%). Setelah pemberian
kontras, gambaran yang muncul pada CT scan ialah ring enhancement yang tipis dan
berdinding reguler.17
Tanda lain dari toxoplasma di SSP adalah target yang asimetris yang dapat dideteksi
baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif dibandingkan CT-
scan. Target asimetris yang timbul berupa abses ring enhancement yang mengandung nodul
eksentris pada kavitas absesnya.17
Gambaran non kontras CT pada toksoplasmosis serebral
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah pemeriksaan menggunakan gelombang magnet yang noninvasif. MRI
sangat baik dalam menilai atau memberikan gambaran jaringan lunak. Otak adalah salah satu
organ dengan jaringan lunak sehingga MRI merupakan pilihan yang sangat tepat dalam
mendiagnosis toksoplasmosis serebri. Keuntungan menggunakan MRI lainnya adalah MRI
tidak memberikan radiasi sama sekali pada pasien, namun biaya yang dibutuhkan untuk MRI
cukup mahal dan tidak semuanya bisa ditanggung oleh BPJS.
Pemeriksaan neuroimaging berupa MRI kepala dengan kontras diindikasikan pada
penderita HIV dengan CD4 rendah yang memperlihatkan gejala klinis berupa defisit
neurologis fokal. MRI sendiri merupakan pemeriksaan neuroimaging yang lebih disarankan
dalam kasus suspek toksoplasma serebri, karena pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan
dengan CT scan kepala. Pada pemeriksaan MRI T1-weighted imaging, lesi toksoplasma
biasanya nampak isointens atau hipointens dibandingkan dengan jaringan sekitar. Sementara
pada pemeriksaan MRI T2-weighted imaging, lesi memberikan gambaran hiperintens.17

Gambar 1. Gambaran MRI pada pasien Toksoplasmosis Serebri.4


Gambaran neuroimaging post kontras mungkin akan memperlihatkan adanya nodul
kecil yang berlokasi di tepi daerah yang cincin yang menyengat kontras. Gambaran tersebut
dikenal dengan istilah “eccentric target sign”.11 Ditemukannya gambaran tersebut akan
semakin meningkatkan kecurigaan terhadap lesi akibat T. gondii (patognomonis dengan
spesifisitas 95%), namun hanya ditemukan pada sekitar 30% pasien sehingga sensitivitasnya
rendah (sensitivitas 25%), dan lebih sulit ditemukan pada CT scan dibandingkan MRI.
Eccentric target sign terdiri atas 3 zona, yaitu inti lesi yang menyengat kontras, daerah inti ini
berada di daerah perifer atau bersifat eksentrik, zona kedua adalah daerah hipointens, dan
zona terakhir adalah cincin yang menyengat kontras. Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa
gambaran ini terjadi sebagai akibat adanya pembuluh darah yang melebar dan berkelok-kelok
sebagai respon inflamasi yang menembus sulkus dikelilingi wilayah nekrosis dengan dinding
berisi histiosit dan pembuluh darah.17

Potongan koronal pada MRI T1-weighted imaging post kontras. Tanda panah


putih menunjukkan lesi “eccentric nodule target sign”.
5. Positron Emission Tomography Scan (PET) Scan
PET scan merupakan salah satu jenis teknik pencitraan yang menggunakan
radioaktivitas in vivo. Pada teknik pencitraan ini, pasien akan diinjeksikan radiofarmaka yang
akan memancarkan positron secara intravena dan setelah radiofarmaka terdistribusi secara
sistemik tubuh pasien akan dipindai untuk melihat akumulasi dari radiofarmaka pada tubuh.
Seperti toksoplamosis, limfoma pada sistem saraf sentral sama-sama mempunyai
predileksi tempat kejadian pada basal ganglia. Pada gambaran CT scan keduanya
menunjukan gambaran enhancement, edema, dan sedikit peningkatan sinyal pada T2-
weighted pada MRI.
Thallium single-photon emission computed tomography (SPECT) dan positron
emission tomography (PET) dapat membedakan kedua kondisi ini. Dibandingkan dengan
toksoplasmosis serebral, limfoma pada sistem saraf sentral menunjukan uptake thallium pada
gambaran SPECT. Tetapi, kegunaan SPECT untuk membedakan kedua kondisi ini dibatasi
oleh ukuran dari lesi yang ada. Ukuran yang berguna untuk mendiagnosis adalah untuk lesi
yang berukuran lebih dari 2 cm.
PET scan dengan menggunakan fluorodeoxyglucose bisa digunakan untuk
membedakan infeksi dan proses keganasan di otak, walaupun studi mengenai efektivitas
terhadap pemeriksaan ini masih terus dilakukan.17
Diagnosis Banding
Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous system
lesion (PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase, tuberkuloma, abses
otak.
Toxoplasmosis PCNSL
Lokasi Basal ganglia, perbatasan Periventricular
white matter-gray matter
Jumlah lesi Banyak (multipel) Tunggal > multipel
Gambaran enhancement Cincin Heterogen atau
homogen
Edema Sedang sampai berat Bervariasi
T2 weighted image Hiperintense Isontense sampai
(lesion relatif to white hipointense
matter) pada MRI
Diffusion weighted Biasanya hipointense Seringkali hiperintense
image
MR perfusion Menurun Meningkat
MR spectroscopy Kadar laktat meningkat Kadar choline
meningkat
Lain-lain Antibodi IgG EBV DNA amplified
Toxoplasma positif (90% by PCR in CSF (hampir
penderita) seluruh penderita)

Penatalaksanaan

Saat ini obat yang direkomendasikan dalam pengobatan toksoplasmosis bertindak


terutama terhadap bentuk tachyzoite dari T gondii. Pirimetamin adalah agen yang paling
efektif dan termasuk dalam kebanyakan regimen obat. Leucovorin (asam folinic) harus
diberikan bersamaan untuk mencegah penekanan sumsum tulang.
Terapi lini pertama untuk toxoplasmosis akut pada pasien HIV adalah pirimetamin
dan sulfadiazin (Tabel 2). Karena kombinasi ini dapat menyebabkan inhibisi enzim dalam
sintesis asam folat, leucovorin harus ditambahkan untuk menghindari komplikasi hematologi.
Pengobatan untuk wanita hamil yang terinfeksi T. gondii sama dengan orang dewasa yang
tidak hamil, namun ibu harus mengetahui bahwa sulfadiazin dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia dan kernikterus pada bayi. Ada rejimen pengobatan alternatif untuk pasien
yang tidak dapat mentolerir sulfadiazin atau pirimetamin (Tabel 2). Ruam kulit, salah satu
efek samping yang sering terjadi akibat pemberian sulfadiazine sehingga menyebabkan
penghentian terapi, dapat diatasi dengan pemberian antihistamin secara simultan.
Sulfadiazine juga dapat menyebabkan nefropati yang diinduksi oleh pembetukan kristal. Pada
pasien kritis yang tidak dapat minum obat secara oral, trimetoprim intravena (TMP) 10 mg/kg
sekali sehari ditambah sulfamethoxazole (SMX) 50 mg/kg sekali sehari dapat
dipertimbangkan.

Tabel 2. Regimen Pengobatan untuk Toxoplasmosis Akut pada Pasien Dewasa dengan HIV

Preferred Therapy and Duration Alternative Regiments

Pyrimethamine (200-mg oral loading dose, Pyrimethamine (200-mg oral loading dose,
followed by 50–75 mg/day orally), followed by 50–75 mg/day orally) and
sulfadiazine (1000–1500 mg 4 times daily), clindamycin (600 mg intravenously [IV] or
and leucovorin (10–20 mg/day) for up to 6 orally 4 times daily)
weeks
TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV or
orally twice daily

Atovaquone* (1500 mg orally twice daily)


plus pyrimethamine (50–75 mg/day) and
leucovorin (10–20 mg/day)

Atovaquone* (1500 mg orally twice daily)


plus sulfadiazine (1000–1500 mg 4 times
daily)

Atovaquone* (1500 mg orally twice


daily)

Pyrimethamine (50–75 mg/day) and


leucovorin (10–20 mg/day) plus
azithromycin (900–1200 mg/day orally)

For severely ill patients who cannot tolerate


oral medications, TMP (10 mg/kg/day) and
SMX (50 mg/kg/day) IV

Diadaptasi dari Benson CA, Kaplan JE, Masur H, dkk. Treating opportunistic infections
among HIV-infected adults and adolescents: recommendations from CDC, the National
Institutes of Health, and the HIV Medicine Association/Infectious Diseases Society of
America.

TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

* Atovaquone harus dikonsumsi dengan makanan atau dukungan nutrisi.

 Total durasi terapi akut


o Setidaknya selama 6 minggu, durasi lebih lama jika secara klinis atau radiologis
terdapat infeksi yang ekstensif atau respon tidak lengkap setelah 6 minggu
o Setelah pemberian terapi akut, harus dilanjutkan terapi rumatan kronik
 Terapi rumatan untuk TE
o Terapi pilihan: pirimetamin 25-50 mg + sulfadiazine 2000-4000 mg (dalam 2-4 dosis
terbagi) + leucovorin 10-25 mg per hari
o Alternatif:
 Klindamisin 600 mg PO + (piriemtamin 25-50 mg + leucovorin 10-25 mg) per
hari dengan ditambah terapi profilaksis PCP
 Kotrimosazol 2 x 960 mg
 Kotrimosazol 1 x 960 mg
 Atovaquone 750 – 1500 mg PO bid + (pirimetamin 25 mg + leucovorin 10 mg)
per hari
 Atovaquone 750 – 1500 mg PO bid + sulfadiazine 2000-4000 mg per hari (dalam
dosis terbagi 2-4)
 Atovaquone 750 – 1500 mg PO bid
 Penghentian terapi rumatan
o Setelah keberhasilan terapi inisial, tetap asimtomatik dari tanda dan gejala TE dan
CD4 >200 sel/μL selama >6 bulan sebagai respon terhadap ARV
 Kriteria mulai kembali profilaksis sekunder
o CD4 <200 sel/μL
 Pertimbangan lainnya

Terapi kortikosteroid harus dipertimbangkan pada pasien dengan perburukan kondisi


klinis dalam 48 jam pertama terapi atau yang memiliki bukti pergeseran garis tengah atau
tanda peningkatan tekanan intrakranial secara radiologis. Dexamethasone (4 mg setiap 6 jam)
adalah agen yang paling sering diberikan, dan dosisnya diturunkan secara bertahap (tapering
off) beberapa hari kemudian. Steroid harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
infeksi HIV, karena obat ini dapat menyamarkan infeksi oportunistik lainnya. Antikonvulsan
harus segera diberikan untuk pasien yang mengalami kejang namun tidak dianjurkan untuk
memberikannya secara rutin.
Terapi pada penderita toksoplasmosis ensefalitis

Tidak ada pedoman yang jelas mengenai kapan obat antiretroviral harus dimulai atau
diulang pada pasien HIV dengan toksoplasmosis akut. Konsensus yang disepakati bersama
adalah bahwa obat antiretroviral dapat dimulai kembali (restart) berdasarkan pertimbangan
dokter setelah toksoplasmosis akut diobati dan setelah didiskusikan dengan pasien.

Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 350-500 sel/mL, dengan gejala (AIDS). Atau individu yang
memiliki HIV dan TB aktif, chronic liver disease, atau orang-orang terdekat yang berpotensi
untuk terjangkit penyakit.First line ART harus memiliki 2 NRTI (nucleoside reverse
transcriptase inhibitor) dan 1 NNRTI (Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor)
contoh yang direkomedasikan tenofovir, lamivudine atau emticitabine, dan efapirenz.12
Tindak lanjut CT scan / MRI harus dilakukan sekitar 21 hari setelah mulai pengobatan
untuk memastikan respon pengobatan, dilakukan setiap 4-6 minggu sampai terdapat
penyelesaian massa lesi. Pasien dengan tanda-tanda klinis dan gambaran pemeriksaan
penunjang menunjukan diagnosis toksoplasmosis jarang gagal pengobatan anti-
toksoplasmosis klasik. Jika memang terjadi kegagalan, penggunaan terapi pengganti,
misalnya azitromisin, klaritromisin, atovaquone, trimetreksat, doksisiklin. Harus diingat
bahwa pasien yang gagal merespon pengobatan anti-toksoplasmosis mungkin memiliki
patologi lain atau bersamaan, misalnya limfoma, tuberkuloma, atau progresif multi-fokal
leucoencephalopathy. Biopsi otak dapat membantu untuk memperoleh diagnosis dan
memudahkan pengobatan.12

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa kejang, deficit neurologis fokal, dan
penurunan kesadaran. Pada penderita yang menderita toksoplasmosis okuler dapat timbul
kebutaan total atau sebagian. Pada toksoplasmosis kongenital dapat terjadi banyak
komplikasi, antara lain retardasi mental, kejang, tuli, dan kebutaan.12

Pencegahan
Non farmakologi

Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara menjaga
makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan. Jadi makanan yang
dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak (pada suhu 74-77 derajat celcius).
Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-
sayuran harus dicuci bersih. Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi
dengan kotoran kucing. Jika ada kotoran kucing, maka harus dibersihkan untuk menghindari
maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu berkebun, harus memakai sarung tangan
untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.19

Farmakologi

Pencegahan primer diberikan pada penderita HIV dengan seropositif toxoplasma


gondii dan kadar CD4 < 100/mm3. Untuk pencegahan primer ini dapat diberikan pyrimetamin
dengan sulfadiazin dan apabila penderita mengalami alergi terhadap sulfadiazin, maka dapat
digunakan pyrimetamin dengan klindamisin. Pilihan kedua dapat menggunakan trimetoprim
sulfametoksazol atau dapat juga menggunakan pyrimetamin dengan dapson, pilihan yang lain
adalah pyrimetamin dengan atovaquone. Profilaksis monoterapi dengan menggunakan
pyrimetamin atau dapson atau azitromicin tidak dianjurkan karena penggunaan profilaksis
monoterapi tidak memberikan hasil yang memadai untuk pencegahannya. Pencegahan primer
dihentikan apabila penderita telah memberikan respon terhadap antiretroviral dan kadar CD4
> 200/mm3 selama 3 bulan. Pencegahan sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak
menampakkan gejala dan kadar CD4 > 200/mm3 selama 6 bulan setelah pemberian
antiretroviral.19

Prognosis
Pada umumnya ensefalitis toksoplasmosis dapat diterapi dengan baik, sehingga
prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang mendapatkan
penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun, terdapat kemungkinan
terjadnya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis dihentikan.19

Daftar Pustaka
1. Montoya JG, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. Lancet. 2004;363(9425):
1965–1976.
2. Sibley LD, Boothroyd JC. Virulent strains of Toxoplasma gondii comprise
a single clonal lineage. Nature. 1992;359:82–85
3. Elbez-Rubinstein A, Ajzenberg D, Darde ML, et al. Congenital toxoplasmosis and
reinfection during pregnancy: case report, strain characterization,
experimental model of reinfection, and review. J Infect Dis. 2009;199(2):
280–285
4. McLeod R, Boyer KM, Lee D, et al. Prematurity and severity are associated
with Toxoplasma gondii alleles (NCCCTS, 1981–2009). Clin Infect Dis.
2012;54(11):1595–1605

5. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of


Cerebral Toxoplasmosis: A Case Report. Oman Med J. 2012;27(5):411-2.
6. Baratioo A, Hashemi B, Rouhipour A, Haroutunian P, Mahdlou M. Review of
toxoplasmic encephalitis in HIV infection; a case study. Archives of Neuroscience.
2015; 2(2):1-5.
7. Ben-Harari RR, Goodwin E, Casoy J. Adverse event profile of pyrimethamine-based
therapy in toxoplasmosis: a systematic review. Drugs R D. 2017;17(4):523–44.
8. Suzuki Y, Wong SY, Grumet FC, et al. Evidence for genetic regulation of
susceptibility to toxoplasmic encephalitis in AIDS patients. J Infect Dis.
1996;173:265–268
9. Rabaud C, May T, Amiel C, et al. Extracerebral toxoplasmosis in patients
infected with HIV. Medicine. 1994;73(6):306–314

10. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J


Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70.
11. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral
Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort
Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6.
12. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of
Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2018.
13. Kumar GG, Mahadeva A, Guruprasad AS, Kovoor JM, et al. Eccentric Target Sign in
CerebralToxoplasmosis– Neuropathological Correlate To The Imaging Feature. J
Magn ResonImaging. 2010; 31(6): 1469-72
14. P. Hohlfeld, J. MacAleese. Fetal toxoplasmosis:USG signs. Ultrasound Obstet.
Gynecol. 1 (1991) 241-4
15. Caroline P, Mark H. Toxoplasmosis in prgnancy: prevention, screening and treatment.
SOGC clinica practise guideline. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(1 eSuppl A):S1–S7
16. Chusana P, Thitina S. Prenatal diagnosis and in utero treatment of severe congenital
toxoplasmosis: a case report. Asian Biomedicine Vol. 10 No. 4 August 2016; 387-91
17. Naqi R, Azeemuddin M, ahsan H. Cerebral Toxoplasmosis in a patient with AIDS. J
Pak Med Assoc;2010;60;316-18
18. Hodgson HA, Taeyong S, Gonzalez H, Aziz M, Rhee Y, Lewis PO, et al. Successful
treatment of cerebral toxoplasmosis using pyrimethamine oral solution compounded
from inexpensive bulk powder. Open Forum Infect Dis. 2018;5(4):1-3.
19. Jayawardena et al. 2008. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV
Infection. Hospital Physician-July 2008. p.17-24.

Anda mungkin juga menyukai