Anda di halaman 1dari 6

I.

Pendahuluan
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit opportunistic yang biasanya menyerang
pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap
abses serebral pada pasien-pasien ini. Toksoplama gondii juga dapat
menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, dan
selaput otak.1,2,3 Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan kucing.
Penyakit ini disebabkan oleh parasite Toxplasma gondii, yang merupakan
penyakit parasite pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasite ini
merupakan golongan protozoa yang menginfeksi Sebagian besar populasi dunia
dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada pasien
dengan HIV-AIDS.1,2,3 Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan
dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan
HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis
akut karena proses reaktivasi organisme apabila jumlah CD4 T sel kurang
dibawah 100sel/µL tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau
malignansi.2,3 Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS
umumnya akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan
jiwa jika di diagnose dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit di diagnose
dan diterapi, terutama di negara berakembang dimana jumlah pasien HIV sangat
tinggi. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus
ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.
II. Epidemiologi
Insiden penyakit ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat yang lain, hal ini
bergantung pada keberadaan parasite toksoplasma sebagai penyebabnya dan juga
bergantung pada kebersihan daerah tersebut. Di Amerika Serikat dan eropa angka
prevalensi meningkat sesuai dengan usia dan kontak yang ada. Di Amerika Serikat
prevalensi pada usia 10-19 tahun berkisar 5-30% dan pada usia diatas 50 tahun
berkisar 10-67% dan diperkirakan prevalensi ini akan meningkat sekitar 1% setiap
tahunnya.
III. Etiologi
Disebabkan oleh parasite Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing
dan kadang pada daging atau sayur mentah. Apabila parasite masuk ke dalam
system kekebalan, ia akan menetap didalam tubuh, tetapi system ekebalan, ia
menetap di dalam tubuh, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat
melawan parasit tersebut hingga tuntas dan dapat mencegah penyakit.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung kista. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat
terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi
organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.
IV. PATOFISIOLOGI
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikutioleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites
secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites, organisme ini
menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini
berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada
otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Pada manusia dengan imunitas
tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue
cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive trofozoit takizoit. Takizoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan
berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV
mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T yang mempunyai reseptor CD4.
Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah sel monosit, sel
makrofag, sel folikular, dendritic, sel retina, sel leher Rahim, dan sel langerhans.
Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel
reseptor CD4 yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat
apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh,
infeksi HIV juga berdampak  pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan
pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh
pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV
menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini
meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma;
kegagalan aktifitas limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-2 dan IFN-gamma secara invitro dan
penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii.

V. GAMBARAN KLINIS
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk
dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV
akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.
Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri
otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis
posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang,
dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis,
miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan
kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk
ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan,
lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah
penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian.
Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan
nyeri kepala dan rasa bingung karna adanya pembentukan abses akibat dari
terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem imunnya menurun, gejala-
gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami
kejang dan penurunan kesadaran.
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala
fokal nerologik. Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai
kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering
ditemui sebagai gejala klinis awal.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan
mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah
atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan
sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.
VI. PENATALAKSANAAN
Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6
minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan fase perawatan.
Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk
mengatasi edema, akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi karena adanya
infeksi opportunistik, maka harus dipertimbangkan pemberian kortikosteroid
ini. Pada kasus ini sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar
tidak mengurangi immunitas penderita.
Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan
CD4 yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan
seropositif dari Toxoplasma. Terapi fase akut dapat diberikan
pyrimethamine dengan dosis awal 200mg peroral yang kemudian dilanjutkan
dengan dosis 75-100mg/hari ditambah dengan sulfadiazine 1-1,5 gram yang
diberikan setiap 6 jam atau 100mg/kg/hari (maksimum dosis 8 gr/hari) dan
ditambah pula dengan asam folat 10-20 mg/hari. Pada penderita yang
mempunyai alergi terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan
klindamisin dengan dosis 600-1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain
ini dapat pula diberikan preparat lain sebagai alternatif, yaitu trimetoprim
sulfametoksazol 5mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15-20mg/kg/hari),
azitromycin (900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan per oral
setiap 12 jam atau atovaquone 1,5mg per oral setiap 12 jam,
minocyclin 150-200 mg diberikan setiap 12 jam atau doksisiklin diberikan 300-
400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimetamin dengan sulfadiazin dibandingkan
kombinasi pyrimetamin dengan klindamisin tidak memberikan hasil yang
berbeda.
Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimetamin 25-50 mg/hari ditambah
dengan sulfadiazin 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak empat kali perhari dan
juga diberikan asam folat bersama-sama. Apabila pasien tidak tahan atau alergi
terhadap sulfadiazin dapat diganti dengan klindamisin 1200 mg diberikan 3 kali
perhari. Pada penderita yang mendapat terapi HAART (Highly Active Anti-
Retroviral Therapy) terapi perawatan dapat diberikan apabila kadar CD4 lebih
200/dl selama 3 bulan pada pencegahan primer dan selama 6 bulan pada
pencegahan sekunder.

VII. PENCEGAHAN
Non Farmakologi
Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik
mungkin pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat
faktor-faktor resiko terjadinya toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil
laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang apabila jumlah CD4 T sel
menurun di bawah 100/mm3 untuk melihat apakah telah terjadi serokonversi.
Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai
cara
menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan. Jadi
makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak (pada suhu
74-77 derajat celcius).
Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan.
Buah-buahan dan sayur-sayuran harus dicuci bersih. Hindari menyentuh barang
yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran kucing. Jika ada kotoran
kucing, maka harus dibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel telur
toxoplasma gondii. Sewaktu berkebun, harus memakai sarung tangan untuk
menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.

Farmakologi
Pencegahan primer diberikan pada penderita HIV dengan seropositif
toxoplasma gondii dan kadar CD4 < 100/mm 3. Untuk pencegahan primer ini dapat
diberikan pyrimetamin dengan sulfadiazin dan apabila penderita mengalami alergi
terhadap sulfadiazin, maka dapat digunakan pyrimetamin dengan klindamisin.
Pilihan kedua dapat menggunakan trimethoprim sulfametoksazol atau dapat juga
menggunakan pyrimetamin dengan dapson, pilihan yang lain adalah pyrimetamin
dengan atovaquone.
Profilaksis monoterapi dengan menggunakan pyrimetamin atau dapson
atau azitromicin tidak dianjurkan karena penggunaan profilaksis monoterapi
tidak memberikan hasil yang memadai untuk pencegahannya. Pencegahan primer
dihentikan apabila penderita telah memberikan respon terhadap antiretroviral dan
kadar CD4 > 200/mm3 selama 3 bulan.
Pencegahan sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak
menampakkan gejala dan kadar CD4 > 200/mm 3 selama 6 bulan setelah
pemberian antiretroviral.

Anda mungkin juga menyukai