Anda di halaman 1dari 16

UJIAN REFERAT

TOKSOPLASMOSIS ENCEFALITIS

Disusun oleh :

Albert Edo Rahmadi Sinoor (406172051)

Penguji :

dr. Riri Gusnita Sari, Sp.S

ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 27 JANUARI 2020 – 1 MARET 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RUMAH SAKIT DAERAH K.R.M.T WONGSONEGORO
KOTA SEMARANG
PENDAHULUAN

Penyakit Toxoplasmosis serebral sering merupakan penyebab proses patologis


fokal pada otak (lesi massa intrakranial) yang bisa berakibat pada kematian.
Toksoplasmosis serebral merupakan penyakit infeksi opportunistik yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS.
Toxoplasmosis Serebral sering dijumpai pada pasien yang memiliki kadar CD4 dan sel T
yang rendah. Toxoplasma gondii selain dapat menyebabkan kerusakan otak juga dapat
menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru dan mata.
Penyebaran Toxoplasma gondiin ini dapat ditularkan melalui kontak dengan kucing-
kucing melalui feses atau daging mentah yang kurang masak yang terkandung ookista
dalam feses binatang tersebut. Kebanyakan penderita toxoplasmosis datang dengan gejala
ringan atau asimptomatik, tetapi dapat menimbulkan peningkatan gejala yang signifikan
dan tidak jarang menyebabkan kematian
Pada umumnya kejadian toksoplasmosis meningkat sesuai dengan umur, tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi
dari makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing.
Di Indonesia, prevalensi T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
 kucing 35-73 %,
 babi 11-36 %,
 kambing 11-61 %
 anjing 75 %
 ternak lain kurang dari 10 %
Pada individu imunokompeten, toksoplasmosis menyebabkan infeksi subklinis atau tanpa
gejala. Pada individu immunocompromised (misalnya pasien AIDS), toksoplasmosis
adalah penyebab paling umum dari ensefalitis

2
A. Pengertian
Toksoplasma gondii merupakan parasit intraselular yang tersebar di
seluruh dunia dan menginfeksi sepertiga populasi manusia.1 Berdasarkan
genotipenya, terutama di benua Eropa dan Amerika, memiliki 3 tipe (tipe I, II, dan
III) yang dilaporkan dapat menginfeksi manusia dan hewan.2 Tipe III merupakan
yang paling umum menginfeksi hewan, dimana tipe I dan II paling umum pada
manusia. Tipe II juga dapat sering dikaitkan dengan penurunan virulensi pada
hewan dan kurang agresif dibandingkan pada manusia, sebaliknya tipe I dan III
virulensi pada hewan lebih sering dan lebih agresif pada manusia dan hewan.3
Bentuk infeksius dari T.
gondii yaitu takizoit, bradizoit, dan ookista yang mengandung sporozoit.
Host definitive parasite ini adalah keluarga feline (seperti kucing), sedangkan
manusia dan hewan lainnya merupakan host penengah. Manusia dapat terinfeksi
oleh parasite ini melalui oral (mengonsumsi air atau makanan yang mengandung
jaringan kista dan ookista), transmisi vertical (takizoit yang terdapat pada ibu
menginfeksi janin melalui plasenta), transplantasi organ (jaringan kista terdapat
di allograf pendonor yang terinfeksi), atau kecelakaan pada laboratorium (saat
melakukan eksperimental yang melibatkan takizoit, jaringan kista, dan ookista
parasite ini).4

B. Epidemiologi dan Patofisiologis


Selama infeksi akut pada respon imun yang baik dapat membentuk infeksi
primer menjadi sebuah infeksi kronik/ fase laten hingga di akhir hayat penderita.
Infeksi kronik T.gondii pada individu yang immunokompeten bersifat
asimptomatik. Namun beberapa peneliti beranggapan bahwa infeksi kronik dapat
mempengaruhi perubahan pola hidup penderita, menyebabkan kecelakaan lalu
lintas, bunuh diri, skizofrenia, atau gangguan bipolar.5 Penderita dengan
Immunodefisiensi Sel-T seperti pada penderita AIDS, transplantasi organ, dan
yang menerima obat-obatan imunosupresif dapat menyebabkan reaktivasi dari
parasite yang telah menginvasi sistem saraf pusat, mata, paru, aliran darah perifer,
jantung, dan otot skeletal jika penderita tersebut juga termasuk dalam infeksi
kronis.6

3
Proses pembentukan ensefalitis toksoplasmosis (ET) pada penderita
immunocompromised dipengaruhi oleh prevalensi infeksi pada populasi pada
umumnya, derajat immunosupresif, dan genetic host dan parasite. Pasien yang
menerima stem sel hematopoetik, sumsum tulang, atau, stem sel tali pusar, dengan
AIDS atau mereka yang menerima obat-obatan imunosupresan mempengaruhi
imunitas sel sehingga terbentuk ET dengan cara reaktivasi infeksi laten mereka.
Faktanya tidak semua penderita HIV dengan seropositive T.gondii ditemukan
terbentuk ET dengan anggapan adanya kemungkinan terkait factor genetic yang
berperan penting terhadap kerentanan imunitas pada pasien immunosupresif yang
terbentuk toksoplasmosis SSP.7
Gen HLA-DQ3 berperan signifikan dalam pembentukan ET pada ras
Kaukasia Amerika Utara yang menderita AIDS, sebaliknya HLA-DQ1 memiliki
efek protektif. Jarang ditemukan pasien HIV dengan ET dengan CD4+ lebih dari
200 cell/mm3. Sistem SSP adalah salah satu lokasi infeksi yang dominan pada
bayi dengan infeksi T.gondii kongenital. Parasit data menyebabkan ET berat
(hidrosefalus, lesi parenkim cerebri, dan kalsifikasi) dan korioretinitis pada bayi
yang terinfeksi.8

C. Manifestasi Klinis
Reaktivasi pada Pasien Immunosupresif
Sistem SSP sering dikaitkan sebagai tempat tersering dan hanya pada
pasien dengan reaktivasi toksoplasmosis pada pasien immunocompromised.
Daerah multiple pada otak selalu dipengaruhi, namun ada pilihan ditemukan gray
matter pada pemeriksaan histologi atau pada ganglia basalis pada pemeriksaan
radiologi. ET secara luas memperlihatkan manifestasi klinis seperti gangguan
status mental, kejang, kelemahan motoric, abnormalitas sensorik, disfungsi
cerebellum, meningismus, gangguan gerak, dan manifestasi pada neuropsikiatri.
Persentase pada onset subakut abnormalitas fokal terlihat dalam 58-89% pasien.
Faktanya, gangguan status mental, letargi, pikiran delusional, psikosis, gangguan
kognitif global, anomia, atau koma dapat terlihat pada 60% pasien. Kejang
merupakan alasan utama diperlukannya bantuan medis pada pasien ET dengan

4
AIDS. Defisit neurologi fokal merupakan bukti pada pemeriksaan neurologi pada
60% pasien. Hemiparesis merupakan gejala yang sering ditemukan.8
Defisit neurologi fokal yang juga dapat ditemukan antara lain: hilangnya
kemampuan lapang pandang, nervus kranialis palsy, afasia, ataxia, dismetria,
hemikhorea-hemiballismus, tremor, parkinsonism, akathisia, atau dystonia fokal.
Sebagai tambahan, keterlibatan saraf spinalis yang terinfeksi T.gondii
mengakibatkan transversal myelitis, conus medullaris syndrome. Diantara pasien
dengan toksoplasmosis ekstracerebral, dapat melibatkan mata (50% pasien), paru
(26%), daerah visceral (11,5%), aliran darah perifer (sindroma febris akut dengan
parasitemia) (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%), kandung kemih (1%), dan
daerah lainnya seperti rinofaring, kulit, liver, nodus limfatikus, conus medullaris,
dan pericardium.9

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada
spesimen. Walaupun jarang, pada pasien dengan meningoensefalitis yang
disebabkan T. gondii, parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS. Parasit
dapat juga diisolasi dari kultur darah pasien, walaupun dengan atau tanpa bukti
adanya ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi T. gondii yang
didapatkan dari spesimen klinis memerlukan perlakuan intensif dan hasil yang
didapat setelah 6 minggu kemudian. Metode diagnostik lainnya yang sedang
diteliti adalah amplikasi selektif dengan PCR dari produksi khusus DNA
specimen klinik T. Gondii. Keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang
sangat sensitif ini adalah dapat mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi
yang predominan ensefalitis dibandingkan meningitis).10

Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Konvensional
Foto polos konvensional adalah merupakan pengambilan image / gambar
dari suatu obyek dengan menggunakan sinar-X. Obyek yang akan diamati disinari
dengan sinar-X ini, dan dibelakangnya diletakkan film untuk menangkap image /

5
gambar yang dihasilkan. Maka image / gambar yang dihasilkan merupakan
penampang mendatar dari suatu obyek yang diamati.
Foto polos konvensional memiliki peranan yang terbatas dan tidak
menjadi sebuah standar dalam mendiagnosis toksplasmosis yang didapat namun
dapat digunakan dalam mendiagnosis toksoplasmosis kongenital atau bawaan.
Hal ini dikarenakan pada foto polos konvensional tidak dapat melihat gambaran
jaringan lunak secara terperinci.11

Kalsifikasi pada Toksoplasmosis Kongenital

2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan toxoplasmosis cerebri menggunakan USG biasanya
dilakukan pada fatus yang dicurigai terkena kongenital fetal toxoplasmosis cerebri
yang ditransmisikan secara vertikal dari ibu, dan biasanya dilakukan prenatal atau
dalam kandungan dengan tujuan untuk early detection toxoplasmosis cerebri
sehingga menjadi salah satu point pertimbangan dalam terminasi kehamilan.12
Gambaran toxoplasmosis cerebri yang sering ditemukan pada pemeriksaan
USG pada usia gestasi lanjut, tampak ventrikulomegali bilateral berat atau dilatasi
ventrikel dengan area yang hiperechoigenic di regio periventrikular, kalsifikasi
periventrikular, cardiomegali, efusi pleura, hepatosplenomegali dengan
hiperechoigenik intrahepatik dan polihidramnion.13 Kadang juga tampak
gambaran plasenta yang tebal dan echoigenik, hydrops, hidrosefalus, mikrosefali,
gangguan tumbuh kembang fetus, dan asietes. Temuan abnormalitas intrakranial
mengindikasikan infeksi fetus yang berat dan prognosis yang buruk.14

6
Gambar USG pada toksoplasmosis serebri transventrikular view dari kepala fetus
menggambarkan dilatasi berat dari ventrikel lateral dengan penebalan dinding
korteks cerebri dan kalsifikasi periventrikular. Gambar USG pada toksoplasmosis
serebri cross-sectional view dari abdomen fetus yang menggambarkan
pembesaran hepar dengan kalsifikasi intrahepatik yang difus.

USG kepala yang memperlihatkan ventrikular dilatasi bilateral dan simetris.


USG kepala yang menunjukkan mulai terjadinya dilatasi ventrikel pada regio
oksipital

3. Computed Tomography Scan (CT Scan)


CT scan merupakan teknik pencitraan yang menggunakan sinar x untuk
membentuk potongan-potongan gambar dari tubuh. Pada CT scan tanpa
pemberian kontras, toksoplasmosis serebral tampak sebagai lesi hipodense
multipel yang terutama terdapat pada ganglia basalis (75%). Pada gambaran CT-

7
scan di otak pada toksoplasmosis serebral menunjukkan gambaran lesi noduler
tunggal (30%) atau multipel (70%). Setelah pemberian kontras, gambaran yang
muncul pada CT scan ialah ring enhancement yang tipis dan berdinding reguler.15
Tanda lain dari toxoplasma di SSP adalah target yang asimetris yang dapat
dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif
dibandingkan CT-scan. Target asimetris yang timbul berupa abses ring
enhancement yang mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya.15

Gambaran non kontras CT pada toksoplasmosis serebral

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI adalah pemeriksaan menggunakan gelombang magnet yang
noninvasif. MRI sangat baik dalam menilai atau memberikan gambaran jaringan
lunak. Otak adalah salah satu organ dengan jaringan lunak sehingga MRI
merupakan pilihan yang sangat tepat dalam mendiagnosis toksoplasmosis serebri.
Keuntungan menggunakan MRI lainnya adalah MRI tidak memberikan radiasi
sama sekali pada pasien, namun biaya yang dibutuhkan untuk MRI cukup mahal
dan tidak semuanya bisa ditanggung oleh BPJS.
Pemeriksaan neuroimaging berupa MRI kepala dengan kontras
diindikasikan pada penderita HIV dengan CD4 rendah yang memperlihatkan
gejala klinis berupa defisit neurologis fokal. MRI sendiri merupakan pemeriksaan

8
neuroimaging yang lebih disarankan dalam kasus suspek toksoplasma serebri,
karena pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan kepala. Pada
pemeriksaan MRI T1-weighted imaging, lesi toksoplasma biasanya nampak
isointens atau hipointens dibandingkan dengan jaringan sekitar. Sementara pada
pemeriksaan MRI T2-weighted imaging, lesi memberikan gambaran
hiperintens.15

Gambar 2.10 Gambaran MRI pada pasien Toksoplasmosis Serebri.4

Gambaran neuroimaging post kontras mungkin akan memperlihatkan adanya


nodul kecil yang berlokasi di tepi daerah yang cincin yang menyengat kontras.
Gambaran tersebut dikenal dengan istilah “eccentric target sign”.11 Ditemukannya
gambaran tersebut akan semakin meningkatkan kecurigaan terhadap lesi akibat T.
gondii (patognomonis dengan spesifisitas 95%), namun hanya ditemukan pada
sekitar 30% pasien sehingga sensitivitasnya rendah (sensitivitas 25%), dan lebih
sulit ditemukan pada CT scan dibandingkan MRI. Eccentric target sign terdiri atas
3 zona, yaitu inti lesi yang menyengat kontras, daerah inti ini berada di daerah
perifer atau bersifat eksentrik, zona kedua adalah daerah hipointens, dan zona
terakhir adalah cincin yang menyengat kontras. Sebuah hipotesis menyebutkan
bahwa gambaran ini terjadi sebagai akibat adanya pembuluh darah yang melebar
dan berkelok-kelok sebagai respon inflamasi yang menembus sulkus dikelilingi
wilayah nekrosis dengan dinding berisi histiosit dan pembuluh darah.15

9
Potongan koronal pada MRI T1-weighted imaging post kontras. Tanda panah
putih menunjukkan lesi “eccentric nodule target sign”.

5. Positron Emission Tomography Scan (PET) Scan


PET scan merupakan salah satu jenis teknik pencitraan yang menggunakan
radioaktivitas in vivo. Pada teknik pencitraan ini, pasien akan diinjeksikan
radiofarmaka yang akan memancarkan positron secara intravena dan setelah
radiofarmaka terdistribusi secara sistemik tubuh pasien akan dipindai untuk
melihat akumulasi dari radiofarmaka pada tubuh.
Seperti toksoplamosis, limfoma pada sistem saraf sentral sama-sama
mempunyai predileksi tempat kejadian pada basal ganglia. Pada gambaran CT
scan keduanya menunjukan gambaran enhancement, edema, dan sedikit
peningkatan sinyal pada T2-weighted pada MRI.
Thallium single-photon emission computed tomography (SPECT) dan
positron emission tomography (PET) dapat membedakan kedua kondisi ini.
Dibandingkan dengan toksoplasmosis serebral, limfoma pada sistem saraf sentral
menunjukan uptake thallium pada gambaran SPECT. Tetapi, kegunaan SPECT
untuk membedakan kedua kondisi ini dibatasi oleh ukuran dari lesi yang ada.
Ukuran yang berguna untuk mendiagnosis adalah untuk lesi yang berukuran lebih
dari 2 cm.

10
PET scan dengan menggunakan fluorodeoxyglucose bisa digunakan untuk
membedakan infeksi dan proses keganasan di otak, walaupun studi mengenai
efektivitas terhadap pemeriksaan ini masih terus dilakukan.15

E. Diagnosis Banding
Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous
system lesion (PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase,
tuberkuloma, abses otak.
Toxoplasmosis PCNSL
Lokasi Basal ganglia, perbatasan Periventricular
white matter-gray matter
Jumlah lesi Banyak (multipel) Tunggal > multipel
Gambaran enhancement Cincin Heterogen atau
homogen
Edema Sedang sampai berat Bervariasi
T2 weighted image Hiperintense Isontense sampai
(lesion relatif to white hipointense
matter)
Diffusion weighted Biasanya hipointense Seringkali hiperintense
image
MR perfusion Menurun Meningkat
MR spectroscopy Kadar laktat meningkat Kadar choline
meningkat
Lain-lain Antibodi IgG EBV DNA amplified
Toxoplasma positif (90% by PCR in CSF (hampir
penderita) seluruh penderita)

F. Penatalaksanaan

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan


penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma
selama 2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan
secara klinis maupun radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat
ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien menunjukkan
perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14
hari.Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan
biopsi otak.16

11
Saat ini obat yang direkomendasikan dalam pengobatan toksoplasmosis
bertindak terutama terhadap bentuk tachyzoite dari T gondii. Pirimetamin adalah
agen yang paling efektif dan termasuk dalam kebanyakan regimen
obat.Leucovorin (asam folinic) harus diberikan bersamaan untuk mencegah
penekanan sumsum tulang.
Kombinasi pirimetamin 50-75 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-1,5 g tiap 6 jam. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan
kombinasi pirimetamin 50-75 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6
jam.Penelitian Yapar et al. hanya menggunakan klindamisin 3x600 mg intravena
tanpa pirimetamin untuk mengobati toksoplasmosis serebral dan membutuhkan
10 bulan untuk melihat hilangnya lesi pada monitoring radiologi. Sementara
Roemer et al. menggunakan klindamisin untuk mengobati pasien dengan
toksoplasmosis otak tetapi pasien meninggal.Potensi penggunaan klindamisin
sebagai agen tunggal belum ditetapkan di uji klinis acak. Madi et al. menunjukkan
adanya perbaikan klinis dalam waktu 48 jam dan lesi diselesaikan sepenuhnya
dalam waktu 3 minggu. Terlihat sebuah respon positif terhadap pengobatan baik
secara klinis dan radiologis. Toksoplasmosis otak dapat diobati dengan
klindamisin tanpa pyrimethamine dalam pengaturan sumber daya miskin negara
dan pada pasien yang tidak mentolerir obat sulfa.16
Pasien alergi terhadap sulfa dan klindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone
750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah
perbaikan gejala klinis.

12
Terapi pada penderita toksoplasmosis ensefalitis

Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi


efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian.Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusul 2 minggu tanpa obat.Demikian berselang seling sampai
sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan
terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi
HIV dengan CD4 kurang dari 350-500 sel/mL, dengan gejala (AIDS). Atau
individu yang memiliki HIV dan TB aktif, chronic liver disease, atau orang-orang
terdekat yang berpotensi untuk terjangkit penyakit.First line ART harus memiliki
2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) dan 1 NNRTI (Non

13
nucleoside reverse transcriptase inhibitor) contoh yang direkomedasikan
tenofovir, lamivudine atau emticitabine, dan efapirenz.16
Tindak lanjut CT scan / MRI harus dilakukan sekitar 21 hari setelah mulai
pengobatan untuk memastikan respon pengobatan, dilakukan setiap 4-6 minggu
sampai terdapat penyelesaian massa lesi. Pasien dengan tanda-tanda klinis dan
gambaran pemeriksaan penunjang menunjukan diagnosis toksoplasmosis jarang
gagal pengobatan anti-toksoplasmosis klasik.Jika memang terjadi kegagalan,
penggunaan terapi pengganti, misalnya azitromisin, klaritromisin, atovaquone,
trimetreksat, doksisiklin. Harus diingat bahwa pasien yang gagal merespon
pengobatan anti-toksoplasmosis mungkin memiliki patologi lain atau bersamaan,
misalnya limfoma, tuberkuloma, atau progresif multi-fokal leucoencephalopathy.
Biopsi otak dapat membantu untuk memperoleh diagnosis dan memudahkan
pengobatan.16

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa kejang, deficit neurologis
fokal, dan penurunan kesadaran. Pada penderita yang menderita toksoplasmosis
okuler dapat timbul kebutaan total atau sebagian. Pada toksoplasmosis kongenital
dapat terjadi banyak komplikasi, antara lain retardasi mental, kejang, tuli, dan
kebutaan

H. Prognosis
Pada umumnya ensefalitis toksoplasmosis dapat diterapi dengan baik,
sehingga prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang
mendapatkan penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun,
terdapat kemungkinan terjadnya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis
dihentikan.

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Montoya JG, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. Lancet. 2004;363(9425):
1965–1976.
2. Sibley LD, Boothroyd JC. Virulent strains of Toxoplasma gondii comprise
a single clonal lineage. Nature. 1992;359:82–85
3. Elbez-Rubinstein A, Ajzenberg D, Darde ML, et al. Congenital toxoplasmosis and
reinfection during pregnancy: case report, strain characterization,
experimental model of reinfection, and review. J Infect Dis. 2009;199(2):
280–285
4. McLeod R, Boyer KM, Lee D, et al. Prematurity and severity are associated
with Toxoplasma gondii alleles (NCCCTS, 1981–2009). Clin Infect Dis.
2012;54(11):1595–1605
5. Yolken RH, Dickerson FB, Fuller Torrey E. Toxoplasma and schizophrenia.
Parasite Immunol. 2009;31(11):706–715.
6. Derouin F, Pelloux H. Prevention of toxoplasmosis in transplant patients.
Clin Microbiol Infect. 2008;14(12):1089–1101
7. Safa G, Darrieux L. Cerebral toxoplasmosis after rituximab therapy. JAMA
Intern Med. 2013;173(10):924–926
8. Suzuki Y, Wong SY, Grumet FC, et al. Evidence for genetic regulation of
susceptibility to toxoplasmic encephalitis in AIDS patients. J Infect Dis.
1996;173:265–268
9. Rabaud C, May T, Amiel C, et al. Extracerebral toxoplasmosis in patients
infected with HIV. Medicine. 1994;73(6):306–314
10. Lucet JC, Bailly MP, Bedos JP, et al. Septic shock due to toxoplasmosis in patients
infected with the human immunodeficiency virus. Chest.
1993;104:1054–1058
11. Kumar GG, Mahadeva A, Guruprasad AS, Kovoor JM, et al. Eccentric Target
Sign in CerebralToxoplasmosis– Neuropathological Correlate To The Imaging
Feature. J Magn ResonImaging. 2010; 31(6): 1469-72
12. P. Hohlfeld, J. MacAleese. Fetal toxoplasmosis:USG signs. Ultrasound Obstet.
Gynecol. 1 (1991) 241-4

15
13. Caroline P, Mark H. Toxoplasmosis in prgnancy: prevention, screening and
treatment. SOGC clinica practise guideline. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(1
eSuppl A):S1–S7
14. Chusana P, Thitina S. Prenatal diagnosis and in utero treatment of severe
congenital toxoplasmosis: a case report. Asian Biomedicine Vol. 10 No. 4 August
2016; 387-91
15. Naqi R, Azeemuddin M, ahsan H. Cerebral Toxoplasmosis in a patient with AIDS.
J Pak Med Assoc;2010;60;316-18
16. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department
of Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2015.

16

Anda mungkin juga menyukai