Anda di halaman 1dari 16

Cerebral Toxoplasmosis in HIV infection: Diagnosis and Management

Kiking Ritarwan
Neurology Department Faculty of Medicine
Sumatera Utara University
ABSTRACT
Cerebral toxoplasmosis is a major cause of morbidity and mortality among HIVinfected patients, particularly from developing countries. Toxoplasma gondii is an
important intracellular protozoal pathogen of human and animals. T. gondii was the
most often cause opportunistic infections in the brain people with HIV/ AIDS (Human
Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome). Patients with AIDS
may develop CNS Toxoplasmosis at some stage. The mechanism in HIV Patients was
depletion of CD 4 T Cells. Greatest incidence when CD4 < 100 cells/mL . Cerebral
toxoplasmosis has typically findings on brain imaging, such as a multiple ring-enhancing
lesions. The majority with seropositive anti-toxoplasmosis IgG antibodies, peaks within
1-2 months after infection. Anti-toxoplasmosis Ig M antibody positive only in the early
phase of infection, decreased / disappeared until the third month in the acute phase.
The antiparasitic drug combination employed is key for effective treatment.
However, the recommended drugs act primarily against the tachyzoites, but do not
eradicate the bradyzoites.
Cerebral toxoplasmosis therapy in AIDS patients includes acute treatment,
secondary prophylaxis (treatment maintenance) and primary prophylaxis. Targeted
therapy to eradicate the parasite and anti-retroviral drugs (ARVs) is intended to correct
immune dysfunction in patients with HIV / AIDS.
Key words: Cerebral Toxoplasmosis, HIV/ AIDS patients, diagnosis, effective treatment

1. PENDAHULUAN
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia oleh organisme protozoa
Toxoplasmosis gondii (T.gondii).1 Hampir keseluruhan infeksi pada toksoplasmosis
ringan atau asimptomatik, walaupun patogen ini dapat menyebabkan kecacatan atau
kematian pada manusia dan hewan. 2 Toksoplasma ini mempunyai hospes definitif pada
kucing, penularan ke manusia dapat melalui kontak langsung dengan tinja kucing atau
kista yang tertelan bersama makanan yang tidak dimasak dengan baik. Seringkali
infeksi toksoplasma disebabkan oleh reaktivasi dari penyakit yang telah ada
sebelumnya. Pada umumnya menyerang penderita dengan gangguan sistem imun
yang menurun. Dengan makin meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, maka jumlah
kasus ensefalitis toksoplasma inu juga makin meningkat. 3

Saat ini ensefalitis toksoplasma ini merupakan penyebab tersering dari infeksi
pada sistem saraf pusat yang memberikan gambaran lesi massa pada penderita HIV.
Sekitar 3-40% dari penderita AIDS menderita toksoplasma, hal ini bergantung pada
daerah masing-masing. Infeksi ini sering kali merupakan komplikasi pada penderita HIV
stadium lanjut dan biasanya terjadi pada saat kadar CD4 kurang dari 100/cmm, akan
tetapi dapat juga terjadi pada saat kadar CD4 sebanyak 200/cmm. 3
Secara khas, Ensefalitis Toksoplasmosis (ET) memiliki onset subakut dengan
kelainan neurologis fokal.4,5,6 Diagnosa pasti adalah dengan ditemukannya Toxoplasma
gondii dalam darah, jaringan atau cairan tubuh. Pemeriksaan antibodi terhadap
keberadaan protozoa ini adalah pemeriksaan IgM.

Pemeriksaan radiologis yang

dianjurkan adalah CT Scan dengan kontras atau MRI. Pemeriksaan dengan MRI
memberikan hasil yang lebih baik dan lebih sensitif dibandingkan dengan CT Scan. 4,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan
antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi yang
menunjang.4,6
Toksoplasmosis adalah suatu penyakit yang disebabkan parasit berupa protozoa
obligat intraselluler yang bernama Toxoplasma gondii. Terminologi diambil dari bentuk
parasit yang berbentuk cresent shape (bulan sabit) atau tokson yang dalam bahasa
Yunani berarti busur/setengah lingkaran, sedangkan gondii berasal dari kata yang
diambil dari sejenis tikus yang hidup di Afrika Utara.7,8
2. DEFINISI
Ensefalitis Toksoplasma merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dan mengenai jaringan otak.3,9,10
3. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat yang lain, hal ini
bergantung pada keberadaan parasit Toxoplasma sebagai penyebabnya
bergantung pada kebersihan daerah tersebut. 3

dan

Di Amerika Serikat dijumpai 3-675 penderita memiliki seropositif terhadap antibodi


T.gondii. Studi awal menunjukkan bahwa 24-47 % penderita AIDS dengan seropositif
T.gondii akhirnya mengalami Ensefalitis Toksoplasmosis. Di Austria, 47% penderita
AIDS dengan seropositif T.gondii dijumpai Ensefalitis Toksoplasmosis. Di Eropa dan
Afrika, diperkirakan 25-50% penderita AIDS dengan seropositif akan mengalami
Ensefalitis Toksoplasmosis. 3
4. ETIOLOGI
Toxoplasma gondii termasuk parasit coccidian dalam famili sarcocystidae. Parasit
ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1908 oleh Nicole dan Manceaux di Afrika Utara
dan secara terpisah oleh Splendore di Brazil. 2 toksoplasma berukuran kecil (sekitar 2x3
um), bentuk oval, pyriformis, bundar, atau massa protoplasmik memanjang dengan
nukleus sentral.11
Toxoplasma gondii merupakan protozoa interaselluler obligate pada distribusi
seluruh dunia. T.gondii salah satu penyebab tersering infeksi kronik dengan organisme
intraselluler pada manusia.
Gambar 1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii.

Terdapat dua macam siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini, yaitu siklus seksual
yang terjadi pada pada hospes definitif (kucing) dan siklus aseksual yang terjadi pada

hospes sekunder (mamalia yang lain, termasuk manusia dan pada beberapa jenis
burung) dan terjadi ekstraintestinal.3
Siklus seksual terjadi di dalam traktus gastrointestinal kucing, yaitu dengan
termakannya ookis oleh kucing yang kemudian akan berkembang dan mengeluarkan
sporozoit di dalam usus halus. Sporozoit ini akan berkembang menjadi tachyzoite yang
selanjutnya akan berkembang lebih lanjut dan intinya akan membelah (skizon)
sehingga terbentuk merozoit, sebagian dari tachyzoite ini akan menyebar masuk ke
jaringan dan menjadi bradyzoit yang merupakan bentuk yang berada di jaringan. Bila
skizon ini matang dan pecah, maka merozoit akan memasuki sel lain dan tumbuh
menjadi tropozoit dan mulai lagi proses (skizogoni) ini sampai beberapa kali. Beberapa
merozoit yang berada dalam usus halus akan berkembang menjadi makrogametosit
dan mikrogametosit. Setelah makrogamet dibuahi oleh mikrogamet akan terbentuk
zigot. Zigot ini akan terbungkus dengan kapsul yang kaku dan membentuk ookis yang
akan diekskresi lewat faeses. Ookis ini sangat kuat dan dapat bertahan serta masih
infeksius sampai sekitar 1 tahun pada kondisi ruangan yang sangat lembab. 3,12
Pada kondisi yang menguntungkan, misalnya panas dan lembab, maka terjadilah
sporogoni didalam ookis. Ookis yang mengalami sporulasi bersifat menular dan bila
termakanoleh rodensia (hewan pengerat), akan mengeluarkan sporozoit didalam usus
halus, sporozoit ini akan berpenetrasi di dinding usus melakukan replikasi dan
menyebar secara hematogen pada hampir semua jaringan. Sekali berada didalam sel,
maka sporozoit ini akan membelah sampai sel inangnya robek dan melepaskan
sporozoit yang akan menginfeksi sel-sel disekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu
kista jaringan akan membelah sangat perlahan. Kista di jaringan ini sangat tidak reaktif
dan bisa bertahan bertahun-tahun tanpa menimbulkan respon inflamasi. Reaktivasi
kista terjadi bila imunitas penderita turun, seperti pada penderita kanker, transplantasi
organ, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, dan penderita HIV/AIDS. 3,13,14
III.5. PATOGENESIS
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraselluler. Toxoplasma gondii masuk ke
dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasitinja kucing yang terinfeksi atau

melalui ookis yang mengkontaminasi makanan karena terbawa oleh kecoa atau lalat
atau dapat pula disebabkan karena memakan daging (sapi,kambing atau babi) yang
kurang masak.
Sering juga terjadi penularan melalui plasenta. Sangat jarang terjadi penularan
melalui transplantasi organ atau transfusi darah. Setelah memasuki usus, maka dinding
kista akan dirusak oleh enzim pencernaan dan akan dilepaskan sporozoit yang
bentuknya lonjong dan kecil. Sporozoit ini akan membentuk tachyzoit dan bradyzoit
(terdapat dalam jaringan dan berkembang lambat). Tachzoit ini akan menginduksi
pembentukan IgA yang spesifik terhadap adanya parasit (parasite spesific secretory IgA
response). Dari dalam usus parasit ini akan menyebar ke berbagai organ, terutama ke
jaringan limfe, otot skelet, myokard, retina, plasenta dan sistem saraf pusat. Parasit
akan menginfeksi sel dan bereplikasi yang akan mengakibatkan kematian dari sel, serta
terjadinya nekrosis fokal yang dikelilingi dengan inflamasi disekitarnya. 3,4,15
Pada penderita yang immunokompeten baik sistem imun seluler maupun humoral
akan mengontrol infeksi yang terjadi. Infeksi Toxoplasma gondii ini akan merangsang
dengan kuat pada Th-1 untuk memproduksi sitokin proinflamasi yaitu IL-12, interferon ,
TNF-. Sitokin proinflamasi ini dan mekanisme imunologi yang lain akan menghambat
replikasi tachyzoite dan perubahan patologi yang lain. Setelah masuk ke dalam
enterosit Toxoplasma gondii akan menginfeksi APC (antigen Presenting Cell) lamina
propria usus dan menginduksi terjadinya respon lokal Th-1. 16
T limfosit CD4+ dan CD8+ yang tersensitasi bersifat sitotoksik terhadap sel yang
telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dan akan menghancurkan parasit yang berada
ekstraselluler, serta yang terinfeksi. Setelah fase akut ini lewat, maka akan terdapat
bradizoit dalam jaringan, terutama di sistem saraf pusat dan retina. Belum diketahui
mekanisme bagaimana Toxoplasma gondii dapat bertahan hidup dalam makrofag
jaringan.16
Kerusakan pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
memberikan gambaran khas, yaitu lesi yang banyak/multipel dengan nekrosis luas dan
nodul mikroglia. Pada bayi (infant) adanya gambaran nekrosis dan vaskulitis pada

daerah periventrikuler dan periaquaductus merupakan ciri khas infeksi ini. Area nekrotik
ini dapat mengalami kalsifikasi dan memberikan gambaran radiologis yang nyata, tetapi
tidak khas untuk infeksi Toxoplasma gondii. Apabila terjadi penyumbatan pada
aquaductus sylvii atau foramen Monroe dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus.
6. GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis infeksi Toxoplasma bergantung pada sistem imun penderita. Delapan
puluh persen kasus primer tanpa gejala (asimptomatis). Masa inkubasi periode ini
berlangsung sekitar 1-2 minggu, yang selanjutnya baik yang timbul gejala maupun yang
tanpa gejala akan berlanjut menjadi fase kronis. Biasanya gejala klinis yang timbul tidak
khas, gejala klinis yang paling sering adalah limfadenopati servikal, kadang didapatkan
sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri otot, nyeri telan, sakit kepala, urtika, kemerahan
pada kulit dan hepatosplenomegali sehingga memerlukan pemeriksaan lebih cermat.
Gejala klinis dari ensefalitis toksoplasma dapat berupa gangguan status mental,
panas badan yang dapat terus-menerus atau hilang timbul, sakit kepala, defisit
neurologis fokal, gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, kadang didapatkan
kejang, gangguan penglihatan, selain itu dapat pula didapatkan tanda iritasi selaput
otak. Terjadinya defisit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi massa intrakranial,
kadang juga didapatkan adanya gerakan involunter. Pada beberapa penderita dapat
timbul pneumonia dan miokarditis.
Secara umum manifestasi neurologis pada toksoplasmosis dapat berupa salah
satu bentuk berikut:
1)gambaran ensefalopati subakut-kronik dengan kesadaran delirium, kesadaran
berkabut dan koma, kadang-kadang diikuti oleh kejang,
2)meningoensefalitis akut dengan nyeri kepala, kaku kuduk, seizure fokal atau
umum, dapat menjadi status epileptikus dan koma,
3) tanda-tanda fokal disebabkan oleh lesi massa tunggal atau multipel, ini
kemungkinan yang paling sering dijumpai dan cenderung bersifat kronik

7. PROSEDUR DIAGNOSTIK
7.1. Identifikasi dan Isolasi Parasit
Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada specimen.
Walaupun jarang pada pasien dengan meningoensefalitis yang disebabkan T.gondii,
parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS (Liquor Cerebro Spinal). Parasit
dapat juga diisolasi dari kultur darah pasien, walaupun dengan atau tanpa bukti
adanya ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi T.gondii yang didapatkan
dari specimen klinis memerlukan perlakuan intensif dan hasil yang didapat setelah 6
minggu kemudian. Metode diagnostik lainnya yang sedang diteliti adalah amplifikasi
selektif dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) dari produksi khusus DNA
specimen klinik T.gondii. Karena keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang
sangat sensitif

ini untuk mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi yang

predominan ensefalitis dibandingkan meningitis) pemeriksaan ini tetap perlu


dilakukan.13
7.2. Test Serologis
Test terhadap IgM digunakan untuk menetukan apakah suatu pasien telah terkena
infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh karena ada kemungkinan dalam
salah menafsir hasil positif IgM dari hasil percobaan, pengujian untuk konfirmasi
harus dilakukan.
a. Toxoplasma Serological Profile (TSP)
Toxoplasma Serological Profile telah secara klinis sangat menolong dalam
mendiagnosis

toxoplasmik

lymphadenitis,

myocarditis,

polyomiositis,

chorioretinitis dan selama kehamilan. Karena pemeriksaan TSP dengan hasil


positif pada IgG dan IgM dapat membedakan antara infeksi/peradangan kronis
atau infeksi yang didapat dan lebih baik daripada pemeriksaan serological
tunggal manapun.14
b. Dye test
Antibodi IgG diukur terutama menggunakan sabin-feldman dye test(DT)
pemeriksaan ini merupakan tes netralisasi sensitif dan sangat spesifik, dimana
organisme dilisiskan kemudian dipresentasikan dengan komplemen dan IgG

antibody spesifik T.gondii. IgG biasanya timbul dalam 1-2 minggu infeksi,
puncaknya dalam 1-2 bulan kemudian turun dengan rata-rata penurunan
bervariasi dan biasanya tetap ada selama hidup. Tingginya titer tidak berkorelasi
dengan keparahan penyakit.14
Dye test positif menyatakan bahwa pasien pernah terpapar oleh parasit,
sebaliknya

DT

yang

yang

negatif

mempunyai

arti

penting

dalam

mengesampingkan kemungkinan terpapar T.gondii. Pada sebagian kecil pasien


antibody IgG mungkin saja tidak terdeteksi dalam 2-3 minggu setelah awal
paparan terhadap parasit.
c. Test Differential aglutination (AC/HS)
Test differential aglutination menggunakan dua preparat antigen yang dapat
menggambarkan antigen penentu yang ditemukan pada awal infeksi akut
(antigen AC) atau antigen pada tahap akhir infeksi (HS). Rasio titer
menggunakan antigen AC dibandingkan antigen HS dapat menginterpretasikan
sebagai akut.
d. Avidity
Test avidity digunakan sebagai test konfirmasi diagnostik tambahan pada TSP
untuk pasien dengan IgM positif atau equivocal atau hasil tes AC/HS yang akut
atau equivocal. Hasil antibody avidity IgG rendah atau equivocal jangan
diinterpretasikan sebagai diagnostik infeksi yang didapat sekarang.
e. Antibody IgM
Antibody IgM diukur dengan menggunakan metode double sandwich atau
immune capture IgM-ELLISA. Metode ini menghindari kesalahan false positif.
Pada pasien dengan infeksi didapat saat ini, antibodi IgM T.gondii dideteksi pada
awal penyakit dan titer ini akan negatif dalam beberapa bulan. IgM yang tetap
persisten tidak menggambarkan relevansi klinis dan pada pasiennya harus
dipertimbangkan infeksi kronis.
f. Antibody IgA
Antibodi IgA mungkin dapat ditemukan pada infeksi akut dalam serum penderita
dewasa dan infan yang terinfeksi secara kongenital menggunakan ELLISA atau
metode ISAGA. Antibodi IgA dapat tetap ada untuk beberapa bulan sampai lebih
dari satu tahun. Berdasarkan hal ini, pemeriksaan antibodi ini mempunyai
peranan yang sedikit untuk menegakkan infeksi akut pada orang dewasa, hal ini
kontras dibandingkan apabila ada peningkatan sensitifitas dengan hasil

pemeriksaan IgA yang melebihi IgM untuk mendiagnosis toxoplasmosis


kongenital. 13
g. Antibodi IgE
Antibodi IgE dideteksi dengan menggunakan ELISA pada serum penderita
dewasa dengan infeksi akut, neonatus yang terinfeksi secara kongenital, anakanak dengan chorioretinitis toxoplasmosis kongenital. Durasi seropositif IgE
kurang dibandingkan antibodi IgM atau IgA. 13
8. NEUROIMAGING
Pada gambaran CT-scan di otak menunjukkan gambaran lesi noduler tunggal
(30%) atau multipel. Lebih sering gambaran CT-scan menunjukkan lesi kavitasi dengan
dinding yang tipis dan diikuti adanya ring enhancement setelah pemberian kontras.
Gambaran edema disekeliling white matter juga sering didapatkan. 15
Sekitar 75% nodul-nodul berlokasi di basal ganglia, tetapi dapat juga tersebar
sampai ke bagian serebral lain pada gray matter-white matter. Toxoplasmosis
mempunyai kecendrungan untuk melibatkan basal ganglia, lesi juga dapat timbul di
sepanjang serebellum, batang otak dan medulla spinalis. Perdarahan dan kalsifikasi
dapat timbul selama pengobatan dan dikatakan kalsifikasi berupa cincin tergambar
pada awal dilakukan CT-scan sebagai diagnosis pertama, walaupun dikatakan bahwa
kalsifikasi berupa cincin jarang terjadi pada penyakit yang didapat dibandingkan dengan
kelainan kongenital.15
Tanda karakteristik dari Toxoplasmosis di SSP adalah target yang asimetris yang
dapat dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif
dibandingkan CT-scan. Target asimetri yang timbul berupa abses ring enhancement
yang mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya. Tanda target asimetris ini
sebenarnya patognomonik untuk Toxoplasmosis SSP tetapi hanya terlihat pada 30%
penderita.16
MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan pada awal infeksi. MRI dapat
mendeteksi lesi pada penderita Toxoplasmosis aktif yang pada CT-scan didapatkan
hasil yang normal. Dengan demikian MRI direkomendasikan pada penderita yang

dijumpai gejala neurologis dan antibodi toxoplasma dengan gambaran CT-scan normal.
Tooplasmosis memperlihatkan area hipointens ringan pada T1W1 dan hiperintense
T2W1. Kadang lesi dapat menunjukkkan sedikit isointense sampai hipointense pada
T2W1, dikelilingi oleh edema dengan intensitas lebih tinggi. Pada CECT dan CEMR,
ring-like dan nodular ehancement dikelilingi edema white matter dengan berbagai
tingkatan. Nodul atau ring enhancement fokal dijumpai sekitar 70% pendera setelah
pemberian gadolinium.16
Gambar 2. Gambaran MRI Toksoplasmosis Cerebri

Axial T1W MR image post contrast shows a ring enhancing mass with "target
appearance" in the left lentiform nucleus with marked surrounding edema, resulting in
midline shift in an AIDS patient.

T1-weighted axial brain magnetic resonance image at the level of the basal ganglia in a
24-year-old man with human immunodeficiency virus infection. The image shows
hypointense lesions in the region of the thalami (arrows) caused by toxoplasmosis.
Dikutip dari : Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV. HIV InSite Knowledge Base
Chapter. Maret 2006. Available from : www.hivinsite.org/Insite?page=kb-05-04

9. Diagnosa
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan antibodi IgG
terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi yang menunjang,
selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon klinis pengobatan
terhadap Toxoplasma.3,6,8
10. Diagnosa Banding
Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous system
(PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase, tuberkuloma, abses
otak.3

Tabel 1. Diagnosa Banding ensefalitis toksoplasma dengan PCNSL 3

Lokasi

Toksoplasmosis
PCNSL
Basal ganglia, perbatasan Periventricular

Jumlah lesi
Gambaran enhancement
Edema
T2 weighted image (lesion

white matte-gray matter


Banyak (multipel)
Cincin
Sedang sampai berat
Hiperintense

relatif to white matter)


Diffusion weighted image
MR perfusion
MR spectroscopy
Lain-lain

hipointense
Biasanya hipointense
Seringkali hiperintense
Menurun
Meningkat
Kadar laktat meningkat
Kadar choline meningkat
Antibodi IgG Toxoplasma EBV
DNA amplified by
positif (90% penderita)

Tunggal > multipel


Heterogen atau homogen
Bervariasi
Isointense
sampai

PCR

in

CSF

(hampir

seluruh penderita)
Dikutip dari : Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis Pada Sistem Saraf Pusat, dalam:
Infeksi Pada Sistem saraf Pusat, Editor: Sudewi, Sugianto, Ritarwan K. Kelompok Studi
Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011

11. PENATALAKSANAAN
Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6 minggu, yang
kemudian dilanjutkan dengan fase perawatan. 3
Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi
edema , akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi karena adanya infeksi
oppurtunistik, maka harus dipertimbangkan pemberian kortikosteroid ini. Pada kasus ini
sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi immunitas
penderita.3
Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan CD4
yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan seropositif
dari Toxoplasma.3

Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal 200 mg
peroral yang kemudian dilanjutan dengan dosis 75-100 mg/hari ditambaha dengan
sulfadiazin 1-1,5 gr yang diberikan setiap 6 jam atau 100 mg/kg/hari (maksimum dosis 8
gr/hari) dan ditambah pula dengan asam folat 10-20 mg/hari. Pada penderita yang
mempunyai allergi terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan
clindamycin dengan dosis 600-1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini
dapat

pula

diberikan

preparat

lain

sebagai

alternatif,

yaitu

trimethoprim

sulfamethoxazole 5mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15 20 mg/kg/hari), azithromycin


(900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan per oral setiap 12 jam atau
atovaquone 1,5 mg per oral setiap 12 jam, minocyclin 150 200 mg diberikan setiap 12
jam atau doksisiklin diberikan 300-400 mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimethamin
dengan sulfadiazin dibandingkan kombinasi pyrimethamine dengan clindamycin tidak
memberikan hasil yang berbeda.3
Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimethamine 25-50 mg/hari ditambah
dengan sulfadiazine 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak empat kali perhari dan juga
diberikan asam folat bersama-sama. Apabila pasien tidak tahan atau alergi terhadap
sufadiazin dapat diganti dengan clindamycin 1200 mg diberikan 3 kali perhari. Pada
penderita yang mendapat terapi HAART

terapi perawatan dapat diberikan apabila

kadar CD4 lebih dari 200 /dl selama 3 bulan pada pencegahan primer dan selama 6
bulan pada pencegahan sekunder.3
12. PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan cara menghindari makanan yang tidak dimasak
atau memakan daging yang kurang masak (untuk daging kambing, sapi dan babi)
sebaiknya dimasak pada suhu 165 170 oF (74-77oC), mencuci sayuran dan buahbuahan yang akan dimakan. Bila memiliki kucing di rumah, maka tempat kotoran untuk
kucing harus dicuci dan dibersihkan setiap hari dan harus mencuci tangan setelah
membersihkannya.3
Pencegahan

primer

diberikan

pada

penderita

HIV

dengan

seropositif

toksoplasma gondii dan kadar CD4+<100/dl. Untuk pencegahan primer ini dapat

diberikan pyrimethamine dengan sulfadiazine dan apabila penderita mengalami alergi


terhadap sulfadiazine, maka dapat digunakan pyrimethamine dengan clindamycin.
Pilihan kedua dapat menggunakan trimethoprim sulfamethoxazole atau dapat juga
menggunakan pyrimethamine dengan dapsone, pilihan yang lain adalah pyrimethamine
dengan atovaquone.3
Profilaksis monoterapi dengan menggunakan pyrimethamine atau dapsone atau
azithromycin tidak dianjurkan karena penggunaan profilaksis monoterapi tidak akan
memberikan hasil ya g memadai untuk pencegahannya. 3
Pencegahan primer dihentikan apabila penderita telah memberikan respon
terhadap antiretroviral dan kadar CD4+ > 200/dl selama 3 bulan. Pencegahan sekunder
dihentikan apabila penderita sudah tidak menampakkan gejala dan kadar CD4+ >
200/dl selama 6 bulan setelah pemberian antiretroviral. 3
13. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kejang, defisit neurologis fokal dan
penurunan kesadaran. Penderita yang menderita toksoplasmosis okuler dapat timbul
kebutaan total atau sebagian. Pada toksoplasmosis kongenital dapat terjadi banyak
komplikasi, antara lain retardasi mental, kejang, tuli dan kebutaan. 3
14. PROGNOSA
Pada umumnya ensefalitis toksoplasma dapat diterapi dengan baik, sehingga
prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang mendapat
penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun, terdapat
kemungkinan terjadinya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis dihentikan. 3,7,16

Gambar. 2. Algoritma tata laksana lesi massa intrakranial pada penderita HIV/AIDS

Dikutip dari : Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis Pada Sistem Saraf Pusat, dalam:
Infeksi Pada Sistem saraf Pusat, Editor: Sudewi, Sugianto, Ritarwan K. Kelompok Studi
Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jubelt B. Miller JR. Parasitic Infections. In : Rowland LP, editor. Merrits


Neurology.10th ed. Philadelphia : Lippincot William & wilkins; 2000.p.192-202.
2. Luft BJ, Sidavas R. Toxoplasmosis. In : Scheldt WM, Whitley RJ, Marra CM,
editors. Infections of the Nervous System 3rd ed. Philadelphia: Lippincot William &
Wilkins; 2004.p.755-756
3. Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis Pada Sistem Saraf Pusat, dalam: Infeksi
Pada Sistem saraf Pusat, Editor: Sudewi, Sugianto, Ritarwan K. Kelompok Studi
Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011.
4. Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV. HIV InSite Knowledge Base Chapter.
Maret 2006. Available from : www.hivinsite.org/Insite?page=kb-05-04
5. Yunihastuti E, djauzi s, Djoerban Z. Infeksi Oppurtunistik pada AIDS. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2005.
6. Cardona N, Basto N, Parra B. Detection of Toxoplasma DNA in the Peripheral
blood of HIV-Positive Patients with Neuro-opportunistics Infections by a Real Time
PCR Assay. Journal of Neuroparasitology. 20011; 2; 1-6.
7. Gilroy J.Infectious Diseases.Basic Neurology.3 rded. New York: Mc-Graw Hill;
2005. p. 447-49
8. Trucksis M.Toxoplasmosis CNS. In : Shakir RA, Newman PK, Poser CM, editors.
Tropical Neurology. London. WB Saunders Company Ltd; 1996. p 183-93
9. Victor M, Ropper AH. Adams and Victors Principles of Neurology. 7 th edition. New
York : McGraw-Hill.2006. p.1271-73
10. Jayawerdana S, Singh S, Burzyyantseva. Cerebral toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV infection. Journal Hospital Physician;2008;7;17-24.
11. Colebunderes R. Evaluation of serological marker for the Immunodiagnosis of
Acute Acquired Toxoplasmosis. J Med Microbiol 2007;50:62-70
12. Billicer S. HIV-1 Associated Oppurtunistic Infections:CNS Toxoplasmosis. 2007:
Available : : http://www.emedicine.com/neuro/topic452.htm
13. Hahn BM, Schrell V, Sauer R, Fahlbusch R. Laboratory test for the Diagnosis of
Toxoplasmosis : results of a pilot study. J Micro 2005 ; 74 : 157 65.
14. Loven D, Hardoff R, Sever ZB, Steinmetz AP. Treatment of Toxoplasmosis the HIV
patient. J Neuro-Oncology 2004 ; 1 : 221 225.
15. Naqi R, Azeemuddin M, ahsan H. Cerebral Toxoplasmosis in a patient with AIDS.
J Pak Med Assoc;2010;60;316-18.
16. Ministry of Health & Family Welfare Government of India.Guidelines and
Management of Common Opportunistics Infections of Malignancies among HIV
infected Adult and Adolescent. 2007.

Anda mungkin juga menyukai