Anda di halaman 1dari 69

Text Book Reading

Metode Klinis & Teknik Khusus Diagnosis Neurologi


Adams & Victor's Principles Of Neurology 7th edition (December 19, 2000): by Maurice Victor, Allan H.

Ropper, Raymond D. Adams By McGraw-Hill Professional

Oleh :

Nieke Indrawati H

Moderator :

dr. Trianggoro Budisulistyo, Sp.S(K)

BAGIAN / SMF NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO


RSUP DR. KARIADI SEMARANG

2017

Pendahuluan

Neurologi dianggap oleh kebanyakan orang sebagai spesialisasi medis

yang paling sulit dan menuntut pemahaman lebih lanjut untuk menguasainya.

Setelah mempelajari secara singkat ilmu neuroanatomi, neurofisiologi, dan

neuropatologi, mahasiswa tampaknya telah sedikit terintimidasi oleh kompleksitas

dari sistem saraf, dan banyaknya tes khusus yang digunakan dan bagaimana

caranya menafsirkan hasil tes tersebut. Penulis buku Adams & Victor's Principles

Of Neurology 7th edition (December 19, 2000) yaitu Maurice Victor, Allan H.

Ropper, Raymond D. Adams percaya bahwa banyaknya kesulitan dalam

memahami ilmu neurologi dapat diatasi dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar

kedokteran klinis.
BAB 1

METODE KLINIS NEUROLOGI

Neurologi dianggap oleh kebanyakan orang sebagai spesialisasi medis yang paling

sulit dan menuntut pemahaman lebih lanjut untuk menguasainya. Mahasiswa dan

residen yang mendapat tugas di bangsal neurologi atau klinik untuk pertama

kalinya akan sangat gampang mengalami putus asa dengan apa yang mereka lihat

disana. Setelah mempelajari secara singkat ilmu neuroanatomi, neurofisiologi, dan

neuropatologi, mereka tampaknya telah sedikit terintimidasi oleh kompleksitas

dari sistem saraf. Kebiasaan yang mereka lihat berupa menempatkan pasien

melalui serangkaian manuver yang dirancang untuk membangkitkan tanda-tanda

misterius tertentu, dan nama-nama yang sulit untuk diucapkan, hampir membuat

mereka tidak yakin untuk dapat mempelajarinya.; pada kenyataannya, prosedur

tersebut sering membantu untuk menemukan proses sangat intelektual yang

tersembunyi dimana diagnosis neurologis dapat ditegakkan. Selain itu, mahasiswa

memiliki pengalaman sedikit hingga tidak ada mengenai banyaknya tes khusus
yang digunakan dalam diagnosis neurologis -seperti pungsi lumbal dan

elektroensefalografi, angiografi, dan prosedur imaging dan apakah mereka tahu

bagaimana caranya menafsirkan hasil tes tersebut. Buku belajar neurologi hanya

dapat mengkonfirmasi ketakutan mereka dimana mereka membaca keterangan

secara rinci dari banyak penyakit langka pada sistem saraf.

Penulis percaya bahwa banyaknya kesulitan dalam memahami ilmu neurologi

dapat diatasi dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar kedokteran klinis. Hal

pertama dan terpenting,adalah perlunya untuk belajar dan memperoleh fasilitas

dalam penggunaan metode klinis. Tanpa adanya apresiasi penuh akan metode ini,

siswa hampir seperti tidak berdaya dalam menghadapi masalah klinis baru sebagai

seorang ahli botani atau ahli kimia yang akan melakukan penelitian masalah tanpa

memahami langkah-langkah dalam metode ilmiah.

Pentingnya metode klinis ditemukankan lebih jelas menonjol dalam penelitian

penyakit neurologis daripada di bidang medis lain. Dalam kebanyakan kasus,

metode klinis akan terbukti terdiri dari serangkaian langkah, sebagai berikut:

1. Tanda dan gejala dipertegas dengan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.

2.Gejala dan tanda-tanda fisik yang dianggap relevan dengan masalah yang

dihadapi diinterpretasikan dalam hal fisiologi dan anatomi-yaitu, mengidentifikasi

gangguan fungsi dan struktur anatomi yang terlibat dengan gangguan. Seringkali

seseorang menyadari terdapat pengelompokan karakteristik gejala dan tanda-

tanda, yang merupakan suatu sindrom. Perumusan gejala dan tanda-tanda dalam
kaitannya dengan sindrom sangat membantu dalam memastikan lokus dan sifat

penyakit tersebut. Langkah ini dapat disebut diagnosis sindrom.

3. Korelasi ini memungkinkan dokter untuk melokalisasi proses suatu penyakit,

yaitu, nama bagian atau banyak bagian dari sistem saraf yang terlibat. Langkah ini

disebut diagnosis anatomi atau topografi.

4. Dari diagnosis anatomi dan data medis lain-terutama modus dari onset, evolusi,

danperjalanan penyakit, keterlibatan dari sistem organ non-neurologik, riwayat

kesehatan masa lalu dan sejarah yang relevan,dan temuan hasil

laboratorium,seseorang dapat menyimpulkan diagnosis patologis dan, ketika

mekanisme dan penyebab penyakit dapatditentukan maka disebut diagnosis

etiologi.

5. Akhirnya, dokter harus menilai tingkat disabilitas dan menentukan apakah

disabilitas bersifat sementara atau permanen (diagnosis fungsional). Hal ini

penting dalam mengelola penyakit pasien dan menilai potensi untuk terjadi

pemulihan fungsi, yaitu, prognosis.

Pendekatan tersebut di atas terhadap diagnosis penyakit neurologis diringkas

dalam gambar. 1-1, sebuah diagram prosedural dimana masalah klinis

diselesaikan dalam serangkaian langkah berurutan yang terbatas. Pendekatan

sistematis ini, memungkinkan ditemukan lokalisasi dan diagnosis penyakit yang

sering tepat terjadi, adalah merupakan salah satu atraksi intelektual dari neurologi.
Gambar 1-1. Langkah dalam diagnosis penyakit neurologi

Tentu saja, solusi untuk masalah klinis tidak selalu harus dibuat secara skematis

seperti cara ini. Metode klinis menawarkan pilihan yang jauh lebih luas dalam

rangka urutan dan cara bekerja mengenai bagaimana informasi dikumpulkan dan

diinterpretasikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, kepatuhan terhadap urutan

skematis yang formal tidak diperlukan sama sekali. Gambaran klinis dari

penyakit Parkinson, misalnya, biasanya sangat karakteristik sehingga sifat

penyakit ini juga tampak dengan jelas. Dalam kasus lain tidak perlu melakukan

analisis klinis melampaui tahapan diagnosis anatomi, yang dengan sendirinya

dapat menegakkan penyebab dari penyakit. Sebagai contoh, ketika sindrom

Horner unilateral, ataksia serebelar, kelumpuhan dari pita suara, dan analgesia

wajah dengan onset akut digabungkan dengan hilangnya rasa sakit dan sensasi

suhu di lengan yang berlawanan, badan, dan kaki, kemungkinan besar

penyebabnya adalah sumbatan pada arteri vertebralis, karena semua struktur yang

terlibat dapat dilokasikan ke medula lateral, berada dalam wilayah arteri ini.

Dengan demikian, diagnosis anatomi dapat menentukan dan membatasi

kemungkinan diagnosis dari penyakit. Jika tanda-tanda yang ada menunjukkan

adanya penyakit saraf perifer, biasanya tidak perlu untuk mempertimbangkan

penyebab penyakit bersumber dari sumsum tulang belakang. Beberapa tanda-

tanda yang ada hampir bersifat spesifik, misalnya, opsoklonus untuk degenerasi

serebral paraneoplastik, dan pupil Argyll Robertson untuk neurosifilitik atau

neuropati diabetes okulomotor.


Terlepas dari proses intelektual dimana seseorang memanfaatkan dalam hal

memecahkan suatu masalah klinis tertentu, langkah-langkah mendasar dalam

diagnosis selalu melibatkan elisitasi yang akurat dari gejala dan tanda-tanda dan

interpretasi yang benar dalam hal terganggunya fungsi dari sistem saraf. Paling

sering terjadi ketika ada ketidakpastian atau ketidaksepakatan mengenai

penegakkan diagnosis, maka akan ditemukan kemudian bahwa gejala dari

gangguan pada fungsi salah diinterpretasikan saat pertama kali. Dengan demikian,

jika keluhan dari pusing diidentifikasi sebagai vertigo bukan sebagai pusing

ringan atau jika epilepsi parsial yang terus menerus keliru diintrepretasikan

sebagai gangguan gerakan ekstrapiramidal seperti koreo-athetosis, maka metode

klinis yang ada akan kacau dari awal. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan

untuk menetapkan temuan klinis mendasar yang tepat dan untuk memastikan

perjalanan dari suatu penyakit. Oleh karena itu benar sekali anggapan yang

mengatakan dimana pemeriksaan kedua adalah tes diagnostik yang paling

bermanfaat dalam menegakkan kasus penyakit neurologis yang sulit.

Proses penyakit yang berbeda dapat menyebabkan gejala yang sama, yang dapat

dimengerti mengingat fakta bahwa bagian-bagian yang sama dari sistem saraf

mungkin dapat terpengaruh oleh salah satu dari beberapa penyakit. Misalnya,

paraplegia spastik mungkin merupakan akibat dari tumor saraf tulang belakang,

cacat genetik, atau multipel sklerosis. Sebaliknya, salah satu penyakit mungkin

dapat ditemukan dengan berbagai kelompok gejala dan tanda-tanda. Namun,


meskipun terdapat banyak kemungkinan dari kombinasi gejala dan tanda-tanda di

penyakit tertentu, beberapa kombinasi terjadi dengan frekuensi yang lebih besar

daripada yang lain dan dapat dianggap sebagai karakteristik khusus dari penyakit

itu. Dokter yang berpengalaman memiliki kebiasaan untuk mencoba

mengkategorikan setiap kasus dalam hal kompleks gejala karakteristik, atau

sindrom. Kita harus selalu mengingat bahwa sindrom bukanlah entitas penyakit

melainkan abstraksi yang dibentuk oleh dokter dalam rangka memfasilitasi

penegakkan diagnosis penyakit. Misalnya, kompleks gejala dari kebingungan

membedakan kanan dan kiri dan ketidakmampuan untuk menulis, menghitung,

dan mengidentifikasi jari secara individu disebut sebagai sindrom Gerstmann,

menjadi pengenalan untuk menentukan lokus anatomi penyakit (Wilayah gyrus

angular kiri) dan pada saat yang sama mempersempit berbagai kemungkinan

faktor etiologi.

Dalam analisis awal dari gangguan neurologis, diagnosis anatomi lebih

diutamakan daripada diagnosis etiologi. Untuk mencari penyebab penyakit pada

sistem saraf tanpa mengetahui lebih dulu bagian-bagian atau struktur yang

terpengaruh serupa dengan dalam bidang penyakit dalam untuk mencoba mencari

diagnosis etiologi tanpa mengetahui apakah penyakit itu melibatkan paru-paru,

perut, atau ginjal. Membedakan dari penyebab sindrom klinis (diagnosis etiologi)

membutuhkan pengetahuan mengenai urutan yang berbeda. Dalam hal ini dokter

harus terbiasa dengan rincian klinis, termasuk modus onset, perjalanan penyakit,

dan riwayat penyakit dari banyaknya entitas penyakit. Banyak fakta-fakta ini
sudah diketahui dan tidak sulit untuk menguasainya; mereka akan dijelaskan di

substansi bab-bab berikutnya.

Mengetahui riwayat kesehatan

Dalam bidang neurologi lebih dari bidang medis khusus lainnya, dokter

tergantung pada kerjasama dari pasien untuk riwayat kesehatan terpercaya,

terutama untuk deskripsi dari gejala yang tidak menyertai tanda-tanda yang dapat

diamati dari suatu penyakit. Dan jika gejala dalam lingkup sensorik, hanya pasien

saja yang dapat memberitahu apa yang dia lihat, dengar, atau rasakan. Langkah

pertama dalam pertemuan klinis adalah untuk meminta kepercayaan dan

kerjasama pasien dan membuatnya menyadari pentingnya prosedur pemeriksaan

yang dilakukan.

Poin berikut ini adalah tentang mendapatkan riwayat pasien tentang gejala

neurologis yang layak untuk diperiksa lebih lanjut:

1. Perhatian khusus harus dilakukan untuk menghindari dokter mengarahkan

kepada pasien mengenai gejala yang sedang ia cari. Wawancara klinis adalah

keterlibatan bipersonal, dan perilaku pemeriksa memiliki pengaruh yang besar

pada pasien. Pengulangan fakta ini mungkin tampak membosankan, tetapi jelas

bahwa riwayat pasien yang bertentangan seringkali dapat ditelusuri menjadi

pertanyaan menjurus yang baik mengenai gejala yang disarankan kepada pasien

atau menyebabkan distorsi dari cerita kesehatan pasien. Kesalahan dan

inkonsistensi dalam catatan riwayat kesehatan seringkali merupakan kesalahan

dokter dan juga pasien. Sebagai akibat yang wajar, pasien harus dipastikan tidak
mengarahkan gejala yang dialami mengarah pada diagnosis yang mungkin pernah

pasien dengar, tetapi harus didesak untuk memberikan deskripsi secara akurat dari

gejala sedapat mungkin, misalnya, untuk memilih satu kata yang terbaik untuk

menggambarkan kualitas rasa sakitnya.

2. Praktek membuat catatan kecil di samping tempat tidur pasien atau di ruang

praktek sangat dianjurkan. Pasien yang memberikan keterangan yang berputar-

putar dan bertele-tele dapat diarahkan pada subjek penyakitnya dengan pertanyaan

diskrit yang dapat menarik keluar poin yang penting. Perekaman langsung dari

riwayat kesehatan menjamin keandalan yang maksimal. Tentu saja, tidak peduli

seberapa tepatnya riwayat kesehatan yang didapat, verifikasi pasien oleh informan

yang berpengetahuan dan objektif selalu bermanfaat.

3. Kondisi di mana penyakit terjadi, modus onset dan evolusi, dan perjalanan

penyakit merupakan info yang sangat penting. Kita harus mencoba untuk belajar

secara tepat bagaimana setiap gejala muncul dan berkembang. Seringkali sifat dari

proses penyakit dapat ditegakkan dari data ini saja. Jika informasi tersebut tidak

dapat disediakan oleh pasien atau keluarganya, mungkin perlu untuk menilai

perjalanan penyakit dengan apa saja yang pasien mampu lakukan pada waktu

yang berbeda (misalnya, seberapa jauh ia bisa berjalan, ketika ia tidak bisa lagi

menaiki tangga atau melaksanakan pekerjaan yang biasa dilakukan) atau oleh

perubahan dalam temuan klinis diantara pemeriksaan berturut-turut, asalkan

dokter telah mencatat temuan akurat dan kuantitatif dengan beberapa cara.

4. Dikarenakan penyakit neurologis sering mengganggu fungsi mental, sangat

diperlukan pada setiap pasien yang mungkin memiliki penyakit otak, bagi dokter
untuk memutuskan,dengan penilaian awal dari status mental dan keadaan di mana

gejala terjadi, apakah pasien kompeten untuk menceritakan riwayat penyakitnya.

Jika kemampuan pasien mengenai perhatian, memori, dan koherensi pemikiran

tidak memadai, riwayat kesehatan harus diperoleh dari kerabat, teman, atau rekan

kerja. Juga, penyakit yang ditandai dengan kejang atau bentuk lain dari

kebingungan episodik yang dapat menghapusatau mengurangi memori pasien dari

peristiwa yang terjadi selama ini. Secara umum, mahasiswa (dan beberapa dokter

juga) cenderung ceroboh dalam memperkirakan kapasitas mental pasien

mereka.Upaya kadang-kadang dibuat untuk mengetahui riwayat dari pasien yang

kebingungan dimana mereka tidak tahu mengapa mereka berada di tempat praktek

dokter atau rumah sakit, atau dari pasien yang karena alasan lain tidak menyadari

rincian dari penyakit mereka.

Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis dimulai dengan pengamatan pasien sementara riwayat

kesehatan sedang diperoleh. Cara bagaimana pasien bercerita tentang penyakitnya

mungkin menunjukkan kebingungan atau inkoherensi dalam berpikir, penurunan

memori atau penilaian, atau kesulitan dalam memahami atau mengekspresikan

ide-idenya. Pengamatan hal-hal tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

pemeriksaan dan memberikan informasi mengenai kemampuan fungsi otak.

Dokter harus belajar untuk memperoleh informasi jenis ini tanpa rasa malu kepada

pasien. Kesalahan yang umum dilakukan adalah mengabaikan inkonsistensi

riwayat kesehatan pasien dan ketidakakuratan tentang waktu dan gejala, hanya
untuk menemukan dikemudian hari bahwa gangguan dalam memori ini adalah

fitur penting dari penyakit. Meminta pasien untuk memberikan interpretasi sendiri

tentang makna dari kemungkinan gejala mungkin kadang-kadang mengekspos

keprihatinan yang tidak wajar, kecemasan, kecurigaan, atau bahkan pikiran yang

delusional.

Sisa dari pemeriksaan neurologis harus dilakukan sebagai bagian terakhir dari

pemeriksaan fisik secara umum, melanjutkan dari pemeriksaan saraf kranial saraf,

leher, dan badan untuk pengujian fungsi motorrik, refleks, dan sensorik pada

tungkai atas dan bawah. Hal ini diikuti dengan penilaian fungsi otot sfingter dan

sistem saraf otonom dan kelenturan leher dan tulang belakang (iritasi meningeal).

Cara berjalan dan station (posisi berdiri) harus diamati sebelum atau setelah

dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan neurologis selalu dilakukan dan direkam

secara berurutan dan seragam untuk menghindari kelalaian dan untuk

memfasilitasi analisis berikutnya dari catatan kasus. Selain itu, sering

diinstruksikan untuk mengamati pasien selama kegiatan alami yang dia lakukan,

seperti berjalan atau berpakaian; temuan ini dapat mengungkapkan kelainan

adanya kelainan cara berjalan dan gerakan minimal yang mungkin tidak jelas

didapatkan dalam pengujian formal.

Ketelitian pemeriksaan neurologis diatur oleh jenis masalah klinis yang

ditampilkan oleh pasien. Untuk menghabiskan waktu selama setengah jam atau

lebih dalam pengujian fungsi serebral, serebelum, saraf kranial, dan fungsi

sensorimotor pada pasien yang mencari perawatan untuk palsi akibat kompresi
sederhana dari sebuah saraf ulnaris adalah hal yang sia-sia dan tidak ekonomis.

Pemeriksaan juga harus diubah sesuai dengan kondisi pasien. Jelas banyak sekali

bagian dari pemeriksaan tidak dapat dilakukan pada pasien koma; juga, bayi dan

anak-anak kecil serta penderita penyakit kejiwaan perlu diperiksa dengan cara

khusus. Komentar tersebut berlaku untuk prosedur pemeriksaan dalam keadaan ini

dan lainnya dari suatu gejala klinis tertentu.

Pasien yang memiliki gejala dari penyakit sistem saraf

Banyak panduan untuk pemeriksaan sistem saraf yang tersedia. Untuk laporan

lengkap dari metode, pembaca diberikan monograf dari DeMyer, Ross, Mancall,

Bickerstaff dan Spillane, Glick, dan anggota staf dari Mayo Clinic, dimana

masing-masing melakukan pendekatan subjek dari sudut pandang yang agak

berbeda. Monografi dari DeMyer sangat dianjurkan untuk mahasiswa. Banyak tes

fungsi neurologis yang telah dirancang, dan tidak diusulkan untuk meninjau

semua dari mereka di sini. Beberapa akan dijelaskan dalam bab-bab berikutnya

berhubungan dengan gangguan pola pikir, saraf kranial, dan fungsi motorik,

sensorik, dan otonom. Banyak tes memiliki hasil yang meragukan dan tidak boleh

diajarkan kepada mahasiswa mengenai neurologi. Hanya untuk melakukan semua

panduan ini pada satu pasien akan membutuhkan waktu beberapa jam dan

mungkin, dalam kebanyakan kasus, tidak akan membuat pemeriksaatakan

memperoleh informasi yang berguna. Bahaya dalam semua uji klinis adalah

menganggap uji klinis merupakan indikator tidak terbantahkan dari penyakit

bukan sebagai cara untuk mengungkap fungsi yang terganggu dari sistem saraf.
Tes berikut ini relatif sederhana dan memberikan yang informasi yang paling

berguna.
Tes Fungsi kortikal yang lebih tinggi

Fungsi-fungsi ini diuji secara detail jika riwayat pasien atau perilaku selama

pemeriksaan umum telah memberikan alasan yang cukup untuk mencurigai

terdapat beberapa cacat kognitif. Pertanyaan kemudian harus diarahkan seperti

menentukan orientasi pasien dalam hal waktu (hari dan tanggal) dan tempat dan

wawasan mengenai masalah medis pasien saat ini. Perhatian, kecepatan respon,

kemampuan untuk memberikan jawaban yang relevan dengan pertanyaan

sederhana, dan kapasitas untuk mempertahankan usaha mental,semua mengarah

kepada pengamatan kedepan. Tes berguna di samping tempat tidur pasien

mengenai perhatian, konsentrasi, memori, dan kejelasan pemikiran termasuk

pengulangan dari serangkaian tujuh angka kedepan dan lima angka dengan urutan

terbalik, pengurangan berkelanjutan sebanyak 3 dan 7 dari angka 100, mengingat

tiga jenis informasi atau cerita pendek setelah selang waktu 3 menit, dan memberi

tahu lima nama presiden terakhir atau perdana menteri. Cerita pasien mengenai

penyakitnya baru-baru ini, konsultasi medis, tanggal rawat inap, dan ingatan

sehari-hari mengenai prosedur medis , makanan, dan insiden lainnya di rumah

sakit adalah tes yang sangat baik untuk memeriksa memori; narasi tentang

bagaimana tes ini dilakukan dan pilihan kata-kata pasien (Kosakata) memberikan

informasi tentang kecerdasan dan koherensi pemikirannya. Banyak tes lainnya

dapat dirancang untuk tujuan yang sama. Seringkali pemeriksa dapat

mendapatkan ide yang lebih baik dari kejelasan sensorium pasien dan kesehatan

intelek pasien dengan menggunakan beberapa tes ini dan mencatat cara di mana
pemeriksa berurusan dengan pasien daripada mengandalkan hasil skor tes

kecerdasan formal.

Jika ada saran mengenai gangguan cara bicara atau bahasa, sifat pembicaraan

spontan pasien harus dicatat. Selain itu, kemampuan pasien dalam membaca,

menulis, dan mengeja; menjalankan perintah yang diucapkan; mengulangi kata-

kata dan frase yang diucapkan oleh pemeriksa; nama benda dan bagian dari objek;

dan memecahkan masalah aritmatika sederhana harus dinilai. Membagi dua garis,

menggambar jam atau denah rumah seseorang atau peta negara, dan menyalin

gambar merupakan tes yang berguna untuk memeriksa persepsi visuospatial

dalam kasus yang diduga terdapat penyakit otak. Pengujian bahasa, kognisi, dan

aspek lain dari fungsi otak yang lebih tinggi akan diterangkan di Bab 21, Bab. 22,

dan Bab. 23.

Tes Saraf kranial

Fungsi saraf kranial harus diselidiki lebih lengkap pada pasien yang memiliki

gejalan neurologis dibandingkan mereka yang tidak. Jika seseorang curiga

terdapat lesi di fossa anterior, indera penciuman harus diuji di setiap lubang

hidung, dan kemudian harus ditentukan apakah bau dapat dibedakan. bidang

visual harus ditentukan oleh pengujian konfrontasi, dalam beberapa kasus dengan

menguji setiap mata secara terpisah; jika diduga terdapat kelainan apapun,mata

harus diperiksa dengan perimeter dan scotomas dicari pada layar bersinggungan

atau, lebih akurat, oleh computed perimetry. ukuran pupil dan reaktivitas terhadap
cahaya dan akomodasi (selama konvergensi), jangkauan dan kecepatan gerak

mata, dan ada tidaknya nistagmus harus diamati. Rincian dari prosedur pengujian

ini dan interpretasi mereka dijelaskan di Bab. 12,Bab. 13, dan Bab. 14.

Sensasi pada wajah diuji dengan jarum dan gumpalan kapas; juga, ada atau tidak

adanya refleks kornea harus ditentukan juga. Gerakan wajah harus diamati saat

pasien berbicara dan tersenyum, untuk kelemahan minimal mungkin lebih jelas

terlihat dalam keadaan ini dari pada pengamatan dengan gerakan yang

diperintahkan. Meatus auditorik dan membran timpani harus diperiksa dengan

otoskop. Garpu tala dengan getaran 256 hz diletakkan di samping telinga dan di

mastoid untuk mengungkapkan gangguan pendengaran telinga tengah (konduktif)

dan membedakan dari ketulian akibat gangguan pada saraf. Pita suara harus

diperiksa dengan alat khusus dalam kasus yang dicurigai terdapat penyakit pada

medula atau saraf vagus, terutama ketika terdapat suara serak. Refleks faring

dikatakan bermakna jika ada perbedaan pada kedua sisi; tidak adanya refleks

bilateral ini jarang memberikan hasil signifikan. Pemeriksaan lidah, ketika

dijulurkan dan beristirahat, sangat membantu; atrofi dan fasikulasi dapat dilihat

dan kelemahan juga dapat terdeteksi. Deviasi minimal saat lidah dalam kondisi

protrusi sebagai temuan satu-satunya biasanya dapat diabaikan. Segala kelainan

dalam pengucapan harus dicatat. Rahang dan dagu, pipi, dan refleks mengisap

harus dicari, terutama jika ada gangguan disfagia, disarthria, atau disfonia.
Tes Fungsi Motorik

Dalam penilaian fungsi motorik, harus diingat bahwa pengamatan dari kecepatan

dan kekuatan dari gerakan dan besar otot, tonus, dan koordinasi biasanya lebih

informatif daripada refleks tendon. Sangat penting untuk memeriksa dalam

kondisi anggota badan tampak sepenuhnya dan untuk memeriksa adakah atrofi

dan fasikulasi serta memperhatikan pasien mempertahankan lengan dalam posisi

terentang di posisi telungkup dan terlentang; melakukan tugas-tugas sederhana,

seperti secara bergantian menyentuh hidungnya dan jari pemeriksa; membuat

gerakan bolak-balik yang cepat, gerakan terutama yang memerlukan percepatan

mendadak dan perlambatan dan perubahan arah; secara cepat menyentuhan

jempol pada setiap ujung jari dan melakukan pronasi serta supinasi lengan bawah;

dan menyelesaikan tugas-tugas sederhana seperti mengancingkan baju, membuka

peniti, atau penanganan alat umum.

Perkiraan kekuatan otot kaki dengan pasien di tempat tidur sering tidak dapat

diandalkan; mungkin akan tampak sedikit atau tidak ada kelemahan meski pasien

tidak bisa melangkah di atas tumpuan tanpa bantuan atau berdiri dari posisi

berlutut. Menggerakkan tumit di bagian depan tulang kering dan secara berirama

menekan tumit pada tulang kering adalah satu-satunya tes koordinasi yang perlu

dilakukan di tempat tidur. Mempertahankan lengan dalam kondisi supinasi dan

pronasi melawan gravitasi adalah tes yang berguna; otot yang lemah, akan lelah

paling pertama, dan akan segera mulai jatuh, atau, dalam kasus lesi

kortikospinalis, akan berubah menjadi posisi pronasi yang lebih alami. Kekuatan
kaki bisa sama diuji, baik dengan pasien terlentang dan kaki tertekuk di pinggul

dan lutut, atau dengan pasien telungkup dan lutut ditekuk. Juga, kelainan gerakan

dan postur dan tremor dapat terlihat. (lihat Bab. 4 dan Bab. 6).

Tes Fungsi Reflex

Pengujian refleks bisep, trisep, supinator (radial-periosteum), patella, Achilles,

dan refleks kulit perut dan plantar memungkinkan sampling yang memadai dari

aktivitas refleks sumsum tulang belakang. Elisitasi dari refleks tendon

memerlukan otot yang terlibat dalam kondisi rileks. Kurang aktif atau refleks

minimal dapat difasilitasi oleh kontraksi volunter otot-otot lain (manuver

Jendrassik). Interpretasi respon plantar menunjukkan kesulitan khusus karena

beberapa tanggapan refleks yang berbeda dapat ditimbulkan dengan merangsang

telapak kaki di sepanjang perbatasan luar dari tumit ke jari kaki. Ini adalah (1)

respon yang cepat,dan respon tahap tinggi untuk menjauh dari rangsang; (2)

respon lebih lambat, refleks fleksor tulang belakang noci-fensor (fleksi lutut dan

pinggul dan dorsofleksi dari jari kaki dan kaki); dorsofleksi dari jari pertama kaki

sebagai bagian dari refleks ini dikenal sebagai tanda Babinski; dan (3) plantar

grasp refleks. Respon menghindari dan menarik kaki mengganggu interpretasi

dari tanda Babinski dan hal ini kadang-kadang dapat diatasi dengan

memanfaatkan beberapa rangsangan alternatif yang diketahui dapat mendapatkan

respon yang mirip dengan tanda Babinski (meremas betis atau tendon Achilles,

menjentikkan jari kaki keempat, menggores tulang kering dari atas ke bawah,

mengangkat kaki dlaam kondisi lurus, dll). Tidak adanya refleks kulit perut
superfisial, cremasterik, dan otot lainnya adalah tes tambahan yang berguna untuk

mendeteksi lesi kortikospinalis.

Tes Fungsi Sensorik

Tes ini tidak diragukan lagi merupakan bagian yang paling sulit dari pemeriksaan

neurologis. Biasanya pengujian sensorik dipersiapkan untuk akhir pemeriksaan

dan, jika temuan ini hasilnya dapat diandalkan, tes ini tidak boleh berkepanjangan

selama lebih dari beberapa menit. Setiap pengujian harus dijelaskan secara

singkat; terlalu banyak diskusi tentang tes ini pada pasien yang teliti, dan

introspektif dapat menyebabkan pelaporan variasi kecil yang tidak berguna dari

intensitas stimulus.

Tidak perlu untuk memeriksa semua bidang permukaan kulit. Sebuah survei cepat

dari wajah, leher, tangan, batang, dan kaki dengan jarum hanya membutuhkan

beberapa detik. Biasanya kita mencari perbedaan antara dua sisi tubuh (lebih

bagus untuk bertanya apakah rangsangan di sisi berlawanan dari tubuh merasakan

hal yang sama bukan untuk menanyakan apakah mereka merasa ada yang

berbeda), tingkat dibawah dimana pasien merasakan sensasi yang hilang, atau

daerah anestesi relatif atau absolut. Daerah defisit sensorik kemudian dapat diuji

dengan lebih hati-hati dan dipetakan. Memindahkan stimulus dari daerah dengan

sensasi yang berkurang menuju daerah yang normal meningkatkan persepsi

perbedaan.
Temuan dari daerah dengan sensasi yang tinggi ( "hiperesthesia") mungkin

menunjukkan terdapat gangguan sensasi superfisial. Variasi dalam temuan

sensorik dari satu pemeriksaan dengan pemeriksaan lain paling sering

mencerminkan perbedaan dalam teknik pemeriksaan serta inkonsistensi dalam

respon pasien. Pengujian sensorik akan dibahas secara lebih rinci dalam Bab. 9.

Tes posisi tubuh dan gaya jalan

Tidak ada pemeriksaan yang lengkap tanpa menonton pasien berdiri dan berjalan.

Kelainan dari sikap tubuh dan gaya berjalan mungkin mrupakan tampilan yang

paling menonjol atau satu-satunya kelainan neurologis yang didapat, seperti

dalam kasus-kasus tertentu dari gangguan lobus serebelum atau frontal. Juga,

sebuah gangguan dari postur dan gerakan adaptif sangat otomatis saat berjalan

mungkin memberikan petunjuk diagnostik yang paling pasti dalam tahap awal

penegakan penyakit Parkinson dan palsi supranuklear progresif (Bab. 7). Berjalan

adalah cara yang paling efektif untuk memperlihatkan postur distonik di tangan,

kaki, dan badan. Dan menyuruh pasien berjalan secara tandem atau di sisi telapak

dapat mengungkapkan terdapat kurangnya keseimbangan. Melompat atau berdiri

dengan satu kaki juga dapat menunjukkan kurangnya keseimbangan atau terdapat

kelemahan, dan berdiri dengan kaki bersama-sama dengan kondisi mata tertutup

akan menunjukkan ketidakseimbangan yang disebabkan gangguan fungsi labirin-

vestibular atau hilangnya sensasi dalam (uji Romberg).


Pasien bedah atau medis tanpa gejala neurologik

Dalam situasi ini, singkatnya diinginkan, tetapi setiap tes yang dilakukan harus

dilakukan secara hati-hati dan dicatat secara akurat dan terbaca. Orientasi pasien,

wawasan, dan penilaian dan integritas dari fungsi bicara dan bahasa sangat mudah

dinilai dalam saat menjalani anamnesis untuk mengetahui riwayat kesehatan

pasien. Sehubungan dengan saraf kranial, ukuran dari pupil dan reaksi pupil

terhadap cahaya, gerakan mata, ketajaman visual dan pendengaran (dengan

mempertanyakan), dan gerakan wajah, langit-langit, dan lidah harus diuji.

Mengamati lengan yang terentang untuk menilai adanya atrofi, kelemahan

(kondisi pronasi melayang), tremor, atau gerakan abnormal; memeriksa kekuatan

genggaman tangan dan dorsofleksi pergelangan tangan; menanyakan tentang

gangguan sensorik; dan memunculkan refleks supinator, bisep, trisep dan

biasanya sudah cukup lengkap sebagai pemeriksaan tungkai atas.

Pemeriksaan kaki seperti kaki, jari kaki, dan lutut adalah dalam kondisi secara

aktif tertekuk dan direntangkan; elisitasi dari refleks patela, Achilles, dan plantar;

pengujian sensasi getaran dan posisi di jari tangan dan kaki; dan penilaian

koordinasi dengan menyuruh pasien secara bergantian menyentuh hidungnya dan

jari pemeriksa dan menggerakkantumit ke atas dan di bagian depan kaki yang

berlawanan menyelesaikan bagian penting dari pemeriksaan neurologis. Seluruh

prosedur ini tidak menambahkan lebih dari 3 atau 4 menit dari waktu pemeriksaan

fisik. Pemeriksaan rutin dari beberapa tes sederhana ini dapat memberikan

petunjuk adanya penyakit yang pasien mungkin tidak sadari. Sebagai contoh,

temuan refleks Achilles yang menghilang dan sensasi getaran yang berkurang di
kaki dan telapak kaki merupakan peringatan bagi dokter untuk kemungkinan

terdapat neuropati diabetes atau neuropati alkohol-nutrisi bahkan ketika pasien

tidak memiliki gejala yang merujuk pada gangguan ini.

Rekaman akurat dari data negatif mungkin berguna dalam kaitannya dengan

beberapa penyakit di masa depan yang membutuhkan pemeriksaan.

Pasien dengan kondisi koma

Meskipun subjek memiliki keterbatasan yang jelas, pemeriksaan yang cermat

terhadap pasien stupor atau koma memberikan informasi yang cukup mengenai

fungsi sistem saraf. Demonstrasi dari tanda-tanda penyakit fokal otak atau batang

otak atau iritasi meningeal sangat berguna dalam diagnosis diferensial dari

penyakit yang menyebabkan stupor dan koma. Adaptasi dari pemeriksaan

neurologis pada pasien koma akan dijelaskan dalam Bab. 17.

Pasien psikiatri

Kita dipaksa kondisi dimana pemeriksaan pada pasien psikiatri kurang dapat

mengandalkan kerjasama pasien dan ucapan serta pernyataannya menjadi hal yang

tidak begitu berarti. Pasien depresi, misalnya, mungkin mengklaim memiliki

gangguan memori atau kelemahan ketika benar-benar tidak ditemukan kondisi

amnesia atau penurunan daya otot, atau sosiopat atau pasien histeris mungkin

berpura-pura lumpuh. sebaliknya kadang-kadang benar-dimana pasien psikotik


mungkin melakukan pengamatan akurat mengenai gejala yang dialaminya sendiri,

hanya untuk kemudian diabaikan oleh mereka karena kondisi mentalnya.

Jika pasien akan berbicara dan bekerja sama bahkan untuk dalam tahapan kecil,

banyak hal yang dapat dipelajari tentang integritas fungsional dari berbagai bagian

sistem saraf. Afasia bisa diketahui di hampir setiap contoh dengan cara di mana

pasien mengekspresikan ide-ide, membaca dan menulis, dan merespon permintaan

lisan atau tertulis. Seringnya memungkinkan untuk menentukan apakah ada

halusinasi atau delusi, gangguan memori, atau gejala lain yang dikenali

merupakan bagian dari penyakit pada otak hanya dengan mengamati dan

mendengarkan pasien. Gerakan okular dan bidang visual dapat diuji dengan

akurasi yang tepat dengan mengamati respon pasien terhadap stimulus bergerak

atau ancaman di semua empat kuadran dari lapangan pandang. Fungsi saraf

kranial, motorik, dan refleks diuji dengan cara biasa, tetapi harus diingat bahwa

pemeriksaan neurologis tidak akan lengkap kecuali pasien mau berbicara dan

bekerja sama dalam pengujian. Pada suatu kesempatan, pasien bisu dan resistif

yang dinilai sebagai pasien skizofrenia terbukti memiliki beberapa penyakit

cerebral yang luas seperti hipoksia atau ensefalopati hipoglikemik, tumor otak,

lesi vaskular, atau lesi demielinatif luas.


Bayi dan anak kecil

Pembaca diberi referensi metode pemeriksaan yang dijelaskan oleh Gesell dan

Amatruda, Dubowitz dkk, dan buku pelajaran neurologi pediatrik (e. g., Berg),

yang tercantum dalam referensi dan dijelaskan dalam Bab. 28.

Pemeriksaan medis secara general

Jangan pernah diabaikan dalam penilaian masalah neurologis adalah temuan pada

pemeriksaan medis general. Seringkali temuan tersebut mengungkapkan bukti

adanya penyakit sistemik mendasari yang secara sekunder mempengaruhi sistem

saraf. Bahkan, banyak masalah neurologis yang paling serius adalah dari jenis

kasus ini. Beberapa contoh umum akan cukup untuk membuktikannya: temuan

adenopati atau infiltrat pada paru berimplikasi suatu neoplasia atau sarkoidosis

sebagai penyebab kelumpuhan saraf kranial multipel; adanya demam ringan,

anemia, murmur jantung, dan splenomegali dalam kasus stroke yang tidak dapat

dijelaskan merupakan poin untuk adanya diagnosis endokarditis bakteri subakut

dengan oklusi emboli dari arteri otak. Tentu saja tidak ada pemeriksaan dari

pasien stroke yang lengkap tanpa mencari dan memeriksa kondisi hipertensi, bruit

karotis, murmur jantung, atau nadi tidak teratur.

Pentingnya pengetahuan cara kerja neuroanatomi, neurofisiologi, dan

neuropatologi

Setelah teknik untuk memperoleh data klinis terpercaya telah dikuasai, mahasiswa

dan residen mungkin menemukan diri mereka terbatas dalam hal interpretasi hasil
temuan oleh karena kurangnya pengetahuan tentang neuroanatomi dan

neurofisiologi. Untuk alasan ini, masing-masing dari bab-bab selanjutnya akan

berurusan dengan sistem motorik, sensasi, indera khusus, kesadaran, bahasa, dll,

diperkenalkan oleh ringkasan dari fakta anatomi dan fisiologis yang diperlukan

untuk memahami gangguan klinis mereka.

Minimal, dokter harus tahu anatomi dari traktus kortikospinalis; unit motorik

(anterior horn cell, saraf, dan otot); ganglionik basal dan koneksi motorik

serebelum; jalur sensorik; saraf kranial; hipotalamus dan hipofisis; formasi

reticular dari batang otak dan thalamus; sistem limbik; daerah fungsional dari

korteks serebral dan koneksi utama mereka; visual, pendengaran, dan sistem

otonom; dan jalur cairan serebrospinal. Pengetahuan tentang cara kerja

neurofisiologi harus mencakup pemahaman tentang impuls saraf, transmisi

neuromuskuler, dan proses kontraksi otot; aktivitas refleks tulang belakang;

neurotransmisi pusat; proses eksitasi neuronal, inhibisi, dan rilis; dan aktivasi

kortikal dan produksi kejang.

Dari sudut pandang diagnostik praktis dan terapeutik, dokter saraf paling dibantu

oleh pengetahuan akan neuropatologi-misalnya, perubahan yang dihasilkan oleh

proses penyakit seperti infark, perdarahan, demielinasi, trauma fisik, kompresi,

peradangan, neoplasma, dan infeksi, hingga kondisi yang lebih umum.

Pengalaman dengan penampilan makroskopik dan mikroskopik dari proses

penyakit ini sangat meningkatkan kemampuan seseorang untuk menjelaskan


perilaku klinis mereka. Kemampuan untuk memvisualisasikan efek dari penyakit

pada saraf dan otot, otak dan sumsum tulang belakang, meningeal, dan pembuluh

darah memberikan gambaran yang kuat dari fitur klinis dimana kita harapkan

merupakan bagian dari penyakit tertentu dan fitur yang tidak dapat dipertahankan

atau tidak konsisten dengan diagnosis tertentu. Keuntungan tambahan dari

mempelajari neuropatologi, tentu saja, adalah bahwa dokter lebih mampu

mengevaluasi perubahan patologis dan melaporkan bahan yang diperoleh dengan

biopsi.

Diagnosis dengan hasil laboratorium

Dari uraian di atas mengenai metode klinis dan penerapannya, jelas bahwa

penggunaan alat bantu laboratorium dalam diagnosis suatu penyakit pada sistem

saraf selalu didahului dengan pemeriksaan klinis yang ketat. Penelitian

laboratorium dapat direncanakan secara cerdas hanya atas dasar informasi klinis.

Bila kita membalik proses ini maka kita akan membuang dengan percuma sumber

daya medis yang ada. Namun, dalam bidang neurologi, tujuan utamanya adalah

pencegahan penyakit, karena perubahan otak yang disebabkan oleh banyak

penyakit neurologis bersifat ireversibel. Dalam pencegahan penyakit neurologis,

metode klinis dalam hal dirinya sendiri tidak memadai, dan memerlukan

kebutuhan satu hingga dua metode lainnya, yaitu, penggunaan informasi genetik

dan tes skrining laboratorium. Informasi genetik memungkinkan dokter saraf

untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengembangkan penyakit tertentu

dan meminta pemeriksaan dari penanda biologis sebelum munculnya gejala atau
tanda-tanda. Tes skrining biokimia berlaku untuk seluruh populasi dan

memungkinkan untuk dilakukan identifikasi penyakit neurologis pada individu

yang belum menunjukkan gejala pertama mereka; dalam beberapa penyakit

seperti itu, pengobatan dapat diberikan sebelum sistem saraf telah mengalami

kerusakan. Dalam bidang neurologi preventif, oleh karena itu, metodologi

laboratorium dapat didahulukan dari metodologi klinis.

Metode laboratorium yang tersedia untuk diagnosis neurologis dibahas dalam bab

berikutnya dan di bab.45, pada elektrofisiologi klinis. Prinsip-prinsip yang relevan

dari metode skrining genetik dan laboratorium yang saat ini tersedia untuk

prediksi penyakit akan disajikan dalam pembahasan penyakit dimana metode

tersebut dapat digunakan.

Kelemahan metode klinis

Jika seseorang mematuhi secara ketat dengan metode klinis yang dijelaskan di

sini, diagnosis neurologis akan sangat sederhana. Dalam kebanyakan kasus,

seseorang dapat mencapai diagnosis anatomi. Penyebab penyakit mungkin

terbukti lebih sulit untuk dipahami dan biasanya memerlukan kecerdasan dan

penempatan selektif dari sejumlah prosedur laboratorium yang akan dijelaskan

dalam bab selanjutnya.

Namun, bahkan setelah diterapkan aplikasi yang paling sesuai dari metode klinis

dan prosedur laboratorium, terdapat banyak pasien dimana penyakit mereka tidak
terdiagnosis. Dalam keadaan seperti itu kita sering dibantu oleh aturan praktis

berikut: (1) Analisis klinis yang berfokus pada gejala pokok dan tanda-tanda dan

menghindari terganggu oleh tanda-tanda kecil dan data klinis yang tidak pasti.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketika tanda utama telah keliru

diinterpretasikan-misal mengatakan tremor sebagai ataksia, atau kelelahan sebagai

kelemahan, metode klinis akan tidak sesuai lagi sejak awal. (2) Menghindari

penegakkan awal diagnosis. Seringkali ini adalah hasil dari fiksasi dini pada

beberapa temuan dalam riwayat kesehatan atau pemeriksaan, menutup pikiran

untuk pertimbangan adanya diagnostik alternatif. Formulasi diagnostik pertama

harus dianggap sebagai hanya hipotesis untuk diuji, serta merupakan sujek untuk

dilakukan modifikasi ketika didapatkan temuan atau informasi baru. Ketika

penyakit berada dalam tahap transisi, waktu akan memungkinkan untuk

didapatkan gambaran penuh untuk muncul dan diagnosis dapat diklarifikasi. (3)

Ketika beberapa fitur utama dari penyakit dalam pertimbangan didapatkan kurang

bermakna, diagnosis alternatif harus selalu diperhatikan. Secara umum,

bagaimanapun, seseorang mungkin untuk menjumpai manifestasi langka dari

penyakit umum daripada manifestasi khas untuk penyakit langka ( parafrase dari

teorema Bayes '). (4) Adalah lebih baik untuk menegakkan diagnosis berdasarkan

pengalaman seseorang dengan gejala dominan dan tanda-tanda dan bukan pada

analisis statistik dari frekuensi fenomena klinis. Untuk sebagian besar, metode

dari analisis keputusan berbasis probabilitas telah terbukti memberikan hasil yang

mengecewakan dalam kaitannya dengan penyakit neurologis karena

ketidakmungkinan untuk menimbang pentingnya setiap fakta klinis. (5) Setiap


kali dalam kondisi wajar dan aman, usahakan untuk mendapatkan jaringan untuk

dilakukan pemeriksaan, hal ini untuk menambahkan dimensi histopatologi pada

penelitian klinis.

Seperti yang telah ditunjukkan oleh Chimowitz, mahasiswa cenderung untuk

berbuat salah dan gagal untuk mengenali penyakit yang mereka belum pernah

temui sebelumnya, dan dokter yang berpengalaman mungkin gagal untuk

mengenali varian langka dari suatu penyakit yang umum. Tidak ada keraguan

bahwa terdapat beberapa dokter yang lebih ahli daripada yang lain dalam hal

memecahkan masalah klinis yang sulit. Bakat mereka tidak intuitif, karena

kadang-kadang adalah merupakan dugaan, tapi bisa terjadi karena mereka

memiliki perhatian yang detail sesuai dengan pengalaman mereka dengan

banyaknya penyakit dan memiliki katalog mereka untuk referensi di masa

mendatang.

Kasus yang tidak biasa dicatat dalam ingatan dan dapat dibangkitkan ketika

menemui aksus yang serupa dikemudian hari. Pengalaman panjang juga

mengajarkan seseorang untuk tidak segera menerima penjelasan yang jelas.

Tujuan dari metode klinis neurologi

Diagnosis akurat memiliki empat tujuan utama: (1) memungkinkan dokter untuk

menentukan pengobatan yang tepat dari pasien; (2) akan sangat membantu dalam

prognosis, yaitu, dalam memprediksi hasil dari penyakit; (3) jika penyakit yang

ditemukan merupakan penyakit herediter, akan sangat memungkinkan untuk


dilakukan konseling genetik; dan (4) itu adalah langkah awal yang penting dalam

penelitian ilmiah tentang fenomena klinis dan penyakit. Profesi medis terutama

berkaitan dengan pencegahan dan penyembuhan penyakit, dan semua

pengetahuan kita diterapkan untuk didefinisikan dengan baik pada akhirnya.

Sebuah tujuan utama dari dokter saraf, oleh karena itu, tidak mengabaikan suatu

penyakit yang terdapat pengobatan yang efektif. Setiap penyebab yang dapat

diobati dari sindrom harus dipertimbangkan dengan cermat dan dikeluarkan

dengan metode klinis dan laboratorium. Misalnya, dalam penelitian pasien dengan

penyakit sumsum tulang belakang, kita harus berhati-hati untuk dapat

menyingkirkan adanya tumor, degenerasi kombinasi subakut (defisiensi vitamin

B12), sifilis tulang belakang, abses epidural atau hematoma, hernia pada diskus,

dan spondilosis servikal, dimana semua kondisi ini dapat diobati. Dalam hal ini,

kegagalan untuk mengenali sklerosis amiotropik lateral adalah kesalahan yang

kurang serius.

Terapetik di bidang neurologi

Di antara spesialisasi medis, neurologi secara tradisional menempati posisi yang

terkesan anomali dimana menjadi pemikiran bagi banyak orang dimana neurologi

dipandang sedikit lebih banyak merupakan sebuah latihan intelektual yang

difokuskan untuk membuat diagnosa penyakit yang tidak dapat diobati.

Pandangan menghina kepada profesi kami tidak lagi berlaku.Terdapat semakin

banyak penyakit, beberapa medis dan lainnya kondisi bedah, yang membutuhkan

terapi khusus sekarang tersedia, dan-melalui kemajuan dalam ilmu saraf- jumlah
mereka terus meningkat. Hal yang berkaitan dengan terapi ini dan untuk dosis,

waktu, dan cara pemberian obat tertentu dibahas di bab berikutnya, sehubungan

dengan deskripsi penyakit individu.

Di samping itu, banyak penyakit di mana fungsi neurologis dapat dikembalikan ke

tingkat tertentu dengan tindakan rehabilitasi yang sesuai atau dengan penggunaan

bijaksana dari agen terapi yang belum sepenuhnya divalidasi. Klaim untuk

efektivitas terapi tertentu, berdasarkan analisis statistik dari penelitian klinis skala

besar , harus diperlakukan dengan cermat. Apakah penelitian itu mudah dipahami,

adakah kepatuhan yang kaku mengenai kriteria untuk pengacakan dan admisi dari

kasus kedalam penelitian, apakah metode statistik yang dilakukan sesuai standar,

apakah kontrol yang diuji benar-benar sebanding? Dan yang paling penting,

adalah apakah pasien dalam penelitian tertentu secara ketat dibandingkan untuk

masalah klinis yang ada? Juga, telah merupakan pengalaman kami, berdasarkan

partisipasi sejumlah uji coba multicenter tersebut, bahwa klaim asli harus diterima

dengan hati-hati. Karena agen terapi baru yang diusulkan sering kali berisiko dan

mahal, sering kali merupakan hal yang bijaksana untuk menunggu sampai

dilakukan penelitian lebih lanjut yang menegakkan manfaat yang telah diklaim

untuk obat tersebut atau mengekspos kelemahan dalam desain atau asumsi

mendasar dari penelitian asli.

Bahkan ketika tidak ada pengobatan yang mungkin dilakukan, diagnosis

neurologis jauh lebih dari sekedar hobi intelektual. Langkah pertama dalam
penelitian ilmiah dari proses penyakit adalah identifikasi pada pasien hidup.

Sampai hal ini dicapai, adalah merupakan hal yang mustahil untuk menerapkan

secara memadai "metode master dari eksperimen terkontrol." Dengan demikian

metode klinis neurologi berfungsi baik untuk dokter di hal-hal praktis seperti

diagnosis, prognosis, dan pengobatan dan ilmuwan klinis dalam mencari

mekanisme dan penyebab penyakit.


BAB 2

TEKNIK KHUSUS UNTUK DIAGNOSIS NEUROLOGI

Analisis dan interpretasi data yang didapatkan dari anamnesa dan

pemeriksaan mungkin terbukti cukup untuk sebuah diagnosis. Pemeriksaan

laboratorium khusus kemudian tidak lebih dari hanya menguatkan kesan klinis.

Namun, sering terjadi bahwa sifat penyakit ini tidak bisa diketahui hanya dari

"studi kasus" saja; kemungkinan diagnostik dapat dikurangi menjadi dua atau tiga,

tapi yang benar masih belum pasti. Dalam keadaan ini, biasanya perlu

menggunakan pemeriksaan tambahan. Tujuan dari dokter spesialis syaraf adalah

untuk sampai pada diagnosis akhir dengan analisis dari data klinis yang dibantu

oleh sedikit jumlah prosedur laboratorium. Selain itu, strategi studi laboratorium

penyakit harus murni berdasarkan pertimbangan terapi dan prognosis, bukan pada

rasa ingin tahu dokter atau dianggap sebuah urgensi medikolegal.

Beberapa dekade yang lalu, satu-satunya prosedur laboratorium tersedia untuk

ahli syaraf adalah pungsi lumbal dan pemeriksaan sampel cairan cerebrospinal,
radiologi dari tengkorak dan tulang belakang, myelography dengan kontras,

pneumoencephalography, dan electroencephalography. Sekarang, melalui

kemajuan tangguh dalam teknologi ilmiah, alat bantu dokter telah diperluas untuk

mencakup beragam alat, seperti neuroimaging, biokimia, dan metode genetik.

Beberapa metode baru ini begitu mengesankan hingga ada pemikiran untuk

mengganti anamnesis mendetil dan pemeriksaan fisik. Penggunaan laboratorium

dengan cara ini harus dihindari; tentu tidak menjamin diagnosis. Bahkan, pada

seri 86 pasien neurologis yang berturut-turut dirawat di rumah sakit, temuan

laboratorium [termasuk magnetic resonance imaging (MRI)] mengklarifikasi

diagnosis klinis pada 40 pasien tetapi gagal untuk melakukannya dalam 46 pasien

yang tersisa (Chimowitz, dkk). Dokter harus selalu mengingat keutamaan metode

klinis dan menilai relevansi dan signifikansi dari setiap datum laboratorium hanya

dalam konteks temuan klinis. Oleh karena itu dokter spesialis syaraf harus paham

dengan semua prosedur laboratorium yang relevan dengan penyakit neurologis,

kehandalan, dan bahaya mereka.

Berikut adalah penjelasan dari prosedur laboratorium yang memiliki aplikasi

untuk keragaman penyakit neurologis. Prosedur yang berkaitan dengan gejala

kompleks tertentu atau kategori penyakit-mis, audiogram (tuli).;

electronystagmogram, atau ENG (vertigo); electromyogram (EMG) dan studi

konduksi syaraf (penyakit neuromuskular) -Akan dijelaskan dalam bab-bab yang

ditujukan untuk gangguan-gangguan tersebut.


PUNGSI LUMBAL DAN PEMERIKSAAN CAIRAN CEREBROSPINAL

Informasi yang dihasilkanolehpemeriksaancairan cerebrospinal (CSF)

seringnyamerupakanhal yang pentingdalam diagnosis penyakitneurologis.

IndikasiuntukPungsiLumbal (LP)

1. Untukmendapatkanpengukurantekanandanmendapatkansampel CSF

untukpemeriksaanseluler, sitologi, kimia, danbakteriologis.

2. Untukmembantuterapidenganpemberiananestesi spinal dankadang-

kadangantibioticatauagen antitumor, ataudenganpenurunantekanan CSF.

3. Untukmenyuntikkanzatradioopaque, sepertipadamyelography,

atauagenradioaktif, sepertidalamcisternographyscintigraphic.

LP membawa risiko tertentu jika tekanan CSF sangat tinggi (dibuktikan dengan

sakit kepala dan edema papil), karena dapat meningkatkan kemungkinan herniasi

cerebellum atau transtentorial fatal.

Risiko ini cukup besar ketika papill edema disebabkan oleh massa intrakranial,

tetapi jauh lebih rendah pada pasien dengan perdarahan subarachnoid atau

pseudotumor cerebri, kondisi dimana pungsi lumbal yang diulang benar-benar

telah digunakan sebagai ukuran terapeutik. Pada pasien dengan meningitis

purulen, ada juga risiko kecil terjadi herniasi, tapi ini jauh sebanding dengan

kebutuhan untuk diagnosis definitive dan pemberian pengobatan yang tepat.

Oleh sebab itu dengan pengecualian ini, pungsi lumbal harus didahului dengan

computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) setiap kali

dicurigai adanya peninggian tekanan intrakranial. Jika prosedur yang terakhir

tidak mengungkapkan lesi massa yang menyebabkan perpindahan jaringan


menuju pembukaan tentorium atau ke foramen magnum (adanya massa saja

kurang diperhatikan) dan itu dianggap penting untuk memiliki informasi yang

dihasilkan oleh pemeriksaan CSF, LP harus dilakukan dengan tindakan tertentu.

Fine-bore needle (no. 22 atau 24) harus digunakan, dan jika tekanan terbukti

sangat tinggi lebih dari 400 mmH2O- perlu untuk mendapatkan sampel cairan

yang diperlukan dan kemudian, sesuai dengan penyakit yang dicurigai dan kondisi

pasien , memberikan urea atau mannitol dan memperhatikan manometer sampai

tekanan turun.

Dexamethasone atau kortikosteroid yang setara kemudian harus diberikan dalam

dosis intravena awal 10mg, diikuti oleh dosis 4-6 mg setiap 6 jam untuk

menghasilkan pengurangan tekanan intrakranial yang berkelanjutan.

Pungsi cisternal dan pungsi subarachnoid cervical, meskipun aman di tangan

seorang ahli, terlalu berbahaya untuk mempercayakannya kepada mereka yang

tidak berpengalaman. Pungsi lumbal lebih disukai kecuali dalam kasus yang jelas

terjadi blok spinal yang membutuhkan sampel cairan cisternal atau myelography

atas lesi.

TeknikPungsiLumbal

Pengalaman mengajarkan pentingnya teknik yang teliti. LP harus selalu dilakukan

di bawah kondisi steril. Anestesi lokal disuntikkan di dalam dan di bawah kulit,

yang seharusnya membuat prosedurnya tidak menyakitkan. Penghangatan

analgesik dengan menggelindingkan botol diantara telapak tangan tampaknya


mengurangi sensasi terbakar yang menyertai infiltrasi kulit. Pasien diposisikan di

sisinya, sebaiknya di sisi kiri untuk dokter tangan kanan, dengan pinggul dan lutut

tertekuk dan kepala sedekat mungkin dengan lutut senyaman mungkin. Punggung

pasien harus sejajar dekat dengan tepi tempat tidur dan bantal kecil ditempatkan di

bawah telinga. trochar harus diangkat secara perlahan dari jarum untuk

menghindari mengisap akar kecil syaraf ke lumen dan menyebabkan nyeri

radikuler. Jika tidak, nyeri sciatik selama prosedur menunjukkan bahwa jarum

ditempatkan terlalu jauh secara lateral. Jika aliran LCS melambat, kepala bisa

dielevasi perlahan-lahan. Ketika tetes LCS mengalami kontak dengan tepi tabung

pengumpul, aksi kapiler juga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat aliran.

Kadang-kadang, bisa juga dilakukan aspirasi lembut dengan jarum suntik kecil

untuk melawan resistensi LCS yang kental dan penuh protein. Pungsi paling

mudah dilakukan di sela L3-L4, yang sesuai dengan bidang aksial dari puncak

iliaca, atau di bagian atas atau bawah ruang. Pada bayi dan anak-anak, dimana

medulla spinalis dapat meluas ke tingkat sela L3-L4, ruang yang lebih rendah

harus digunakan. Kegagalan untuk memasuki ruang subarachnoid lumbar setelah

dua atau tiga percobaan biasanya dapat diatasi dengan melakukan pungsi dengan

pasien dalam posisi duduk dan kemudian membantu dia untuk berbaring di satu

sisi untuk pengukuran tekanan dan pengangkatan cairan. "Dry tap" lebih sering

disebabkan oleh penempatan jarum yang tidak benar daripada obliterasi ruang

subarachnoid oleh lesi kompresi dari cauda equina atau arachnoiditis adhesi

kronis.
Ada beberapa komplikasi serius dari pungsi lumbal di luar risiko menginduksi

herniasi otak. Yang paling umum adalah sakit kepala, hasil dari penurunan

tekanan LCS dan tertariknya pembuluh cerebral dan dural sebagai pasien

mengasumsikan postur tegak. Sindrom tekanan CSF rendah dan komplikasi lain

dari pungsi lumbal dipertimbangkan lebih lanjut dalam Bab. 30. Perdarahan ke

dalam ruang meningeal spinalis dapat terjadi pada pasien yang mendapat

antikoagulan [waktu protrombin> 13,5 atau International Normalized Ratio

(INR)> 1,3], memiliki jumlah trombosit yang rendah (<30.000 sampai 50.000 /

mm3), atau memiliki gangguan fungsi trombosit (alkoholisme, uremia). Infeksi

meningitis purulen dan ruang disc diketahui mempersulit pungsi lumbal, hasil dari

teknik steril yang tidak sempurna; dan pengenalan materi partikel (misalnya,

bedak) dapat menyebabkan meningitis steril. Diplopia, paresis fasial, dan tinnitus

atau tuli dilaporkan memperumit pungsi lumbal pada kesempatan yang sangat

langka.

ProsedurPemeriksaan

Setelah memasuki ruang subarachnoid, tekanan dan pada kasus khusus

"dinamika" dari CSF dapat ditetapkan (lihat di bawah) dan sampel cairan yang

diperoleh. Penampilan lengkap cairan dicatat, setelah kemudian LCS dalam

tabung yang terpisah, diperiksa untuk (1) jumlah dan jenis sel dan adanya mikro-

organisme; (2) protein dan kadar glukosa; (3) sel tumor, menggunakan Millipore

filter atau teknik yang sama; (4) isi gamma globulin dan fraksi protein lain dan

adanya band oligoclonal; (5) pigmen, laktat, NH3, pH, CO2, enzim, dan zat yang
diuraikan oleh tumor; dan (6) bakteri dan jamur (oleh kultur), antigen

cryptococcal, DNA dari mycobacteria, virus herpes dan cytomegalovirus (oleh

polymerase chain reaction), dan isolasi virus.

Tekanan dan Dinamika

Dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral, tekanan LCS diukur dengan

manometer melekat jarum dalam ruang subarachnoid. Pada orang dewasa normal,

tekanan pembukaan bervariasi antara 100 hingga 180 mmH2O, atau 8 sampai 14

mmHg. Pada anak-anak, tekanan dengan rentang 30 sampai 60 mmH2O. Sebuah

tekanan di atas 200 mmH2O dengan pasien rileks dan kaki diluruskan

mencerminkan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada orang dewasa,

tekanan 50 mmH2O atau di bawahnya menunjukkan hipotensi intrakranial,

umumnya karena kebocoran cairan spinal atau dehidrasi sistemik. Ketika diukur

dengan jarum di kantung lumbar dan pasien dalam posisi duduk, cairan dalam

manometer naik ke tingkat cisterna magna (tekanan kira-kira sekitar dua kali lipat

dari tekanan yang diperoleh dari posisi telentang). Gagal untuk mencapai tingkat

ventrikel karena yang terakhir berada dalam sistem tertutup di bawah tekanan

yang sedikit negatif, sedangkan cairan dalam manometer dipengaruhi oleh

tekanan atmosfer. Biasanya, dengan jarum ditempatkan dengan benar di ruang

subarachnoid, cairan dalam manometer berosilasi melalui beberapa milimeter

sesuai responnya dengan nadi dan respirasi dan segera naik dengan batuk,

mengejan, atau kompresi perut.


Adanya blok subarachnoid spinal dapat dikonfirmasi oleh kompresi jugularis.

Pertama satu sisi leher dikompresi, kemudian yang lain, dan kemudian kedua

belah pihak secara bersamaan, dengan tekanan yang cukup untuk memampatkan

pembuluh darah tetapi bukan arteri carotid (uji Queckenstedt). Dengan tidak

adanya blok subarachnoid, ada peningkatan pesat dalam tekanan 100 sampai 200

mmH2O dan kembali ke level aslinya dalam waktu 10 detik setelah dilepas.

Kegagalan peningkatan tekanan dengan manuver ini biasanya berarti bahwa jarum

tidak ditempatkan dengan benar. Kenaikan tekanan dalam menanggapi kompresi

abdomen (atau batuk atau mengejan) tetapi tidak untuk kompresi jugularis

menunjukkan blok subarachnoid spinalis. Kegagalan meningkatnya tekanan

dengan kompresi satu vena jugularis tapi bukan (uji Tobey-Ayer) lainnya

mungkin menunjukkan trombosis sinus lateral. Tes ini sekarang jarang digunakan,

yang telah digantikan oleh teknik pencitraan yang lebih tepat dan lebih aman,

tetapi mereka tetap berguna dalam kondisi yang tepat. Kompresi jugularis tidak

boleh dilakukan ketika ada atau dicurigai adanya tumor intrakranial atau lesi

massa lainnya.

TampilanLengkapdanPigmen

Biasanya LCS jelas dan tidak berwarna, seperti air. Derajat minor perubahan

warna yang terbaik terdeteksi dengan membandingkan tabung dari LCS dan air

dengan latar belakang putih (siang hari bukannya pencahayaan fluorescent) atau

dengan melihat ke dalam tabung dari atas. Kehadiran sel-sel darah merah

menyebabkan penampilan kabur atau "ground-glass"; sedikitnya 200 sel darah


merah (RBC) per milimeter kubik (mm3) harus terdapat dalam tabung untuk

mendeteksi perubahan ini. Kehadiran 1000-6000 RBC per milimeter kubik

membuat warna merah muda hingga warna merah yang kabur, tergantung pada

jumlah darah; sentrifugasi atau menegakkan cairan pada posisi berdiri

menyebabkan sedimentasi dari RBC. Beberapa ratus atau lebih sel darah putih

pada cairan (pleositosis) dapat menyebabkan kekaburan sedikit yang sedikit opaq.

Tap traumatis (di mana darah dari plexus vena epidural masuk ke dalam cairan

spinal) dapat membingungkan diagnosis jika salah ditafsirkan untuk menunjukkan

perdarahan subarachnoid yang sebelumnya ada. Untuk membedakan antara dua

jenis "tap berdarah," dua atau tiga sampel seri cairan harus diambil pada saat LP.

Dengan tap traumatik, biasanya ada penurunan jumlah RBC dalam tabung kedua

dan ketiga. Juga dengan tap traumatik, tekanan LCS biasanya normal, dan jika

sejumlah besar darah bercampur dengan cairan, itu akan menggumpal atau

membentuk jaring fibrinous. Ini tidak terlihat dengan perdarahan yang

sebelumnya ada karena darah telah sangat diencerkan dengan LCS dan mengalami

defibrinasi. Dengan perdarahan subarachnoid, RBC mulai mengalami hemolisasi

dalam beberapa jam, memberikan perubahan warna merah muda ke merah

(erythrochromia) ke dalam cairan supernatan; didiamkan selama satu hari atau

lebih, cairan menjadi kuning-coklat (xanthocromia). Sentrifugasi cairan berdarah

dengan segera dari tap traumatis akan menghasilkan supernatan yang tidak

berwarna; hanya dengan jumlah besar darah (RBC lebih dari 100.000 / mm 3)
cairan supernatant menjadi samar-samar berwarna xanthochromic karena

kontaminasi dengan bilirubin serum dan lipokrom.

Cairan dari tap traumatis harus berisi satu atau dua sel darah putih (WBC) per

1000 RBC dengan asumsi bahwa hematokrit normal, tetapi dalam kenyataannya

rasio ini bervariasi. Dengan perdarahan subarachnoid, proporsi WBC meningkat

seiring dengan hemolisasi RBC, kadang mencapai tingkat beberapa ratus per

milimeter kubik; tapi tingkah reaksi ini adalah sedemikian rupa sehingga, juga,

tidak dapat diandalkan untuk membedakan traumatis dari perdarahan pra-ada. Hal

yang sama dapat dikatakan untuk krenasi dari RBC, yang terjadi pada kedua jenis

pendarahan.

Alasan bahwa sel-sel merah mengalami hemolisis cepat dalam LCS tidak jelas.

Hal ini tentu bukan karena perbedaan osmotik, sejauh osmolaritas plasma dan

LCS pada dasarnya sama. Fishman menunjukkan bahwa kandungan protein LCS

rendah menyebabkan gangguan equilibrasi membran sel darah merah dalam

beberapa cara. Penjelasan untuk fagositosis RBC cepat dalam LCS, yang dimulai

dalam waktu 48 jam, juga tidak jelas.

Pigmen yang mengubah warna LCS setelah perdarahan subarachnoid adalah

oksihemoglobin, bilirubin, dan methemoglobin; dalam bentuk murni, pigmen ini

berwarna merah (oranye hingga oranye-kuning dengan pengenceran), kuning

kenari, dan coklat. Campuran dari pigmen ini menghasilkan kombinasi warna-
warna ini. Oksihemoglobin muncul pertama kali, dalam beberapa jam dari

perdarahan, menjadi maksimal dalam sekitar 36 jam, dan jika tidak ada

perdarahan lebih lanjut, berkurang selama periode 7 hingga 9 hari. Bilirubin mulai

muncul dalam 2 sampai 3 hari dan meningkat seiring menurunnya

oksihemoglobin. Setelah perdarahan tunggal yang cepat, bilirubin tetap dalam

LCS selama 2 sampai 3 minggu, durasi yang bervariasi dengan jumlah RBC yang

awalnya hadir. Methemoglobin muncul ketika darah terlokulasi atau mengalami

enkistasi dan terisolasi dari aliran CSF. teknik spektrofotometri dapat digunakan

untuk membedakan berbagai produk pecahan hemoglobin dan dengan demikian

menentukan perkiraan waktu perdarahan.

Tidak semua xanthochromia dari CSF adalah karena hemolisis RBC. Dengan

penyakit kuning yang parah, bilirubin reaksi direct dan indirect akan berdifusi ke

LCS. Kuantitas bilirubin adalah dari sepersepuluh untuk seperseratus yang berada

dalam serum. Elevasi protein LCS dari hasil apapun dalam opasitas samar dan

xanthochromia, lebih atau kurang sebanding dengan fraksi bilirubin yang terikat

albumin. Hanya pada tingkat lebih dari 150 mg / 100 mL terjadi pewarnaan

karena protein terlihat dengan mata telanjang. Hypercarotenemia dan

hemoglobinemia (melalui produk pecahan hemoglobin, terutama

oksihemoglobin) juga menyebabkan warna kuning untuk LCS, seperti bekuan

darah di ruang subdural atau epidural dari tengkorak atau tulang belakang.

Mioglobin tidak masuk LCS, mungkin karena ambang ginjal rendah untuk

pigmen ini memungkinkan pembuangan cepat dari darah..


Selularitas

Selama bulan pertama kehidupan, LCS mungkin berisi sejumlah kecil sel

mononuklear. Di luar periode ini, LCS biasanya tidak mengandung sel atau paling

sampai lima limfosit atau sel mononuklear lainnya per milimeter kubik.

Ketinggian WBC di LCS selalu menandakan proses reaktif untuk bakteri atau

agen infeksi lainnya, darah, zat kimia, atau neoplasma atau vaskulitis. WBC dapat

dihitung dalam ruang penghitungan biasa, tetapi identifikasi mereka

membutuhkan sentrifugasi cairan dan sedimen pewarnaan Wright atau

penggunaan Millipore filter, fiksasi sel, dan pewarnaan. Dengan hal tersebut

kemudian dapat mengenali dan menghitung leukosit yang berbeda-beda seperti

neutrofilik dan eosinofilik (yang terakhir menjadi menonjol dalam penyakit

Hodgkin, infeksi parasit, emboli kolesterol), limfosit, sel plasma, sel

mononuklear, sel-sel lapisan arachnoidal, makrofag, dan sel-sel tumor. Bakteri,

jamur, dan fragmen echinococci dan cysticerci juga dapat dilihat pada preparat

pewarnaan sel atau pewarnaan Gram. Preparat tinta India berguna dalam

membedakan antara limfosit dan cryptococci atau Candida. Kadang-kadang, basil

tahan asam akan ditemukan dalam sampel dengan pewarnaan yang tepat.

Monograf dari Dufresne dan den Hartog-Jager dan artikel dari Bigner adalah

referensi yang sangat baik pada sitologi LCS. Teknik immunostaining khusus

diterapkan untuk sel-sel LCS berguna untuk pengenalan marker sel limfoma,

protein fibrillary glial, dan Carcinoembryonic dan antigen lainnya. Mikroskop

elektron berguna untuk identifikasi sel-sel tumor tertentu dengan lebih jelas dan
mungkin menunjukkan zat seperti fragmen myelin yang terfagosit (misalnya,

dalam multiple sclerosis). Dan metode khusus lainnya untuk pemeriksaan sel-sel

dalam LCS disebutkan dalam bab-bab yang sesuai.

Protein-Protein

Berbeda dengan kandungan protein tinggi dalam darah (5500-8000 mg / dL),

bahwa dari cairan spinal lumbal adalah 45 mg / dL atau kurang pada orang

dewasa. Kandungan protein LCS dari cisterna basal adalah 10 sampai 25 mg / dL

dan bahwa dari ventrikel adalah 5 sampai 15 mg / dL, mencerminkan gradien

ventrikel-lumbal dalam permeabilitas sel endotel kapiler untuk protein (dinding

darah-LCS) dan tingkat yang lebih rendah dari sirkulasi di daerah lumbosakral.

Pada anak-anak, konsentrasi protein agak lebih rendah pada setiap tingkat (kurang

dari 20 mg / dL dalam ruang subarachnoid lumbal). Jumlah yang lebih tinggi dari

normal menunjukkan proses patologis dalam atau dekat ependyma atau

meningeal-baik dalam otak, medulla spinalis, atau akar syaraf - walau penyebab

sedikit meningkatnya protein LCS seringnya tetap tidak jelas.

Sebagai salah diharapkan, perdarahan ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid

menyebabkan masuknya tidak hanya RBC tetapi juga protein serum. Jika

konsentrasi protein serum normal, protein LCS harus meningkat sekitar 1 mg per

1000 RBC asalkan tabung LCS yang sama digunakan dalam menentukan jumlah

sel dan protein. Karena efek iritasi dari hemolisasi RBC pada lepto meningeal,

protein LCS dapat meningkat berkali-kali lipat dari rasio ini.


Kandungan protein CSF di meningitis bakterial, di mana perfusi koroid dan

meningeal meningkat, sering mencapai 500 mg / dL atau lebih. Infeksi virus

menyebabkan reaksi yang kurang kuat dan terutama terjadi pada reaksi limfositik

dan protein yang sedikit meningkat-biasanya 50 sampai 100 mg, tetapi kadang-

kadang sampai 200 mg / dL; dalam beberapa kasus kandungan protein masih

normal. Tumor paraventricular, dengan mengurangi dinding darah-LCS, sering

menaikkan protein total hingga lebih dari 100 mg / dL. Nilai protein setinggi 500

mg / dL atau lebih tinggi ditemukan dalam kasus yang jarang yaitu sindrom

Guillain-Barré dan demielinasi polineuropati inflamasi kronis. Nilai 1000 mg / dL

atau lebih biasanya menunjukkan lokulasi LCS lumbal (blok LCS); cairan ini

kemudian sangat kuning dan mudah menggumpal karena adanya fibrinogen.

Kombinasi kelainan LCS disebut sindrom Froin. Blok Parsial LCS dengan ruptur

disc atau tumor dapat meningkatkan protein hingga 100 sampai 200 mg / dL. Nilai

protein LCS yang rendah kadang-kadang ditemukan di meningismus (penyakit

demam dengan tanda-tanda iritasi meningeal namun LCS normal), dalam kondisi

yang dikenal sebagai hidrops meningeal (Chap. 30), pada hipertiroidisme, atau

setelah pungsi lumbal baru-baru ini.

Partisi kuantitatif protein LCS dengan metode elektroforesis dan immunokimia

menunjukkan adanya sebagian besar protein serum dengan berat molekul kurang

dari 150.000 hingga 200.000. Fraksi protein yang telah diidentifikasi dengan

elektroforesis adalah prealbumin dan albumin serta alpha 1, alpha2, beta1, beta2,
dan fraksi gamma globulin, yang terakhir ini merupakan bagian imunoglobulin

(imunoglobulin utama dalam LCS normal adalah IgG). Nilai-nilai kuantitatif dari

fraksi yang berbeda diberikan dalam Tabel 2-1. Metode Immunoelektroforesis

juga telah menunjukkan adanya glikoprotein, haptoprotein, ceruloplasmin,

transferin, dan hemopexin. molekul besar-seperti fibrinogen, IgM, dan

lipoprotein-sebagian besar dikeluarkan dari LCS.

Ada perbedaan penting lainnya antara fraksi protein LCS dan plasma. LCS selalu

berisi fraksi prealbumin dan plasma tidak. Meskipun berasal dari plasma, fraksi

ini, untuk alasan yang tidak diketahui, berkonsentrasi di LCS, dan jumlahnya

lebih besar dalam ventrikel daripada di dalam LCS lumbal (mungkin karena

konsentrasi sel koroid). Selain itu, CSF beta 2 atau fraksi tau (transferrin)

proporsinya lebih besar daripada di dalam plasma dan lebih tinggi pada ventrikel

daripada dalam cairan spinal. Fraksi gamma globulin dalam LCS adalah sekitar 70

persen dari yang berada dalam serum.

Saat ini hanya beberapa dari protein ini diketahui terkait dengan penyakit tertentu

dari sistem syaraf. Yang paling penting adalah IgG, yang dapat melebihi 12

persen dari total protein LCS pada penyakit seperti multiple sclerosis, neurosifilis,

sclerosing panencephalitis subakut, dan meningoencephalitides viral kronis

lainnya. Serum IgG tidak seiring-iring meningkat, yang berarti bahwa globulin

imun ini berasal dari sistem syaraf. Namun, ketinggian serum gamma globulin-

seperti yang terjadi pada sirosis, sarkoidosis, myxedema, dan multiple myeloma-
akan disertai dengan kenaikan globulin LCS. Oleh karena itu, pada pasien dengan

gamma globulin LCS yang tinggi, maka perlu untuk menentukan pola

elektroforesis protein serum juga. Perubahan kualitatif tertentu dalam pola

immunoglobulin LCS, terutama demonstrasi beberapa band (oligoclonal) dengan

ciri-ciri khusus, penting sebagai diagnostik khusus pada multiple sclerosis.

Fraksi albumin dari kenaikan LCS dalam berbagai macam sistem syaraf pusat

(SSP) dan penyakit akar syaraf craniospinal yang meningkatkan permeabilitas

dinding darah-LCS, tetapi tidak ada korelasi klinis spesifik yang dapat ditarik.

Enzim tertentu yang berasal di otak, terutama fraksi creatine kinase yang

diturunkan dari otak (CK-BB) tetapi juga dari enolase dan neopterin, ditemukan

dalam LCS setelah stroke atau trauma dan telah digunakan sebagai marker

kerusakan dalam karya eksperimental.

Glukosa

Glukosa Biasanya konsentrasi glukosa LCS adalah dalam rentang 45 sampai 80

mg / dL, yaitu, sekitar dua-pertiga dari yang berada dalam darah (0,6-0,7

konsentrasi serum). Tingkat lebih tinggi sesuai dengan glukosa darah; tetapi

dengan hiperglikemia yang ditandai, rasio glukosa LCS : darah berkurang (0,5-

0,6). Dengan glukosa serum sangat rendah, rasio menjadi lebih tinggi, mendekati

0,85. Secara umum, nilai-nilai LCS di bawah 40 mg / dL termasuk abnormal.

Setelah injeksi intravena glukosa, 2 sampai 4 jam diperlukan untuk mencapai

keseimbangan dengan LCS; penundaan serupa mengikuti penurunan glukosa


darah. Untuk alasan ini, sampel LCS dan darah untuk penentuan glukosa idealnya

harus dilakukan secara bersamaan dalam keadaan puasa. Nilai-nilai glukosa LCS

yang rendah pada pleositosis biasanya menunjukkan meningitis piogenik,

tuberkulosis, atau fungal, meskipun nilai-nilai yang rendah dapat diamati pada

beberapa pasien dengan infiltrasi neoplastik luas pada meningeal dan kadang-

kadang dengan sarkoidosis dan perdarahan subarachnoid (biasanya pada minggu

pertama).

Kenaikan laktat LCS hampir tidak berubah-ubah pada meningitis purulen

mungkin berarti bahwa beberapa glukosa sedang mengalami glikolisis anaerobik

oleh leukosit polimorfonuklear dan sel-sel dari meningeal dan jaringan otak

sekitarnya. Untuk waktu yang lama diasumsikan bahwa meningitis bakterial

menurunkan glukosa LCS oleh metabolisme aktif mereka, tetapi fakta bahwa

glukosa tetap pada tingkat subnormal selama 1 sampai 2 minggu setelah

pengobatan yang efektif dari meningitis menunjukkan bahwa mekanisme lainnya

mungkin operatif dalam produksi hypoglycorrhachia ini. Setidaknya secara

teoritis, penghambatan masuknya glukosa ke dalam LCS, karena adanya

gangguan dari sistem transfer membran, dapat terlibat. Sebagai aturan, infeksi

virus pada meningeal dan otak tidak menurunkan glukosa LCS atau menaikkan

tingkat laktat, meskipun nilai-nilai glukosa yang rendah telah dilaporkan pada

sejumlah kecil pasien dengan meningoencephalitis mumps dan jarang pada infeksi

herpes simpleks dan zoster.


Pemeriksaan serologi dan virologis

Hal ini telah menjadi praktek rutin untuk menguji LCS untuk antigen permukaan

cryptococcal sebagai metode cepat untuk mendeteksi infeksi jamur ini. Kadang-

kadang, reaksi positif palsu diperoleh dengan adanya tingginya faktor titer atau

antibodi antitreponemal rheumatoid, tetapi sebaliknya pemeriksaan ini secara

diagnosa lebih diandalkan dari preparat tinta India konvensional (halaman 772).

Pemeriksaan antibodi nontreponemal darah- pemeriksaan flokulasi slide Venereal

Disease Research Laboratories (VDRL) dan tes agglutinasi rapid plasma reagin

(RPR)-juga dapat dilakukan pada LCS. Ketika positif, tes ini berguna untuk

diagnosis neurosifilis, tetapi reaksi positif palsu dapat terjadi dengan penyakit

kolagen, malaria, dan frambusia atau dengan kontaminasi dari LCS oleh darah

seropositif.Tes yang bergantung pada penggunaan antigen treponema, termasuk

uji imobilisasi Treponema pallidum dan uji fluoresensi antibodi treponema, lebih

spesifik dan membantu dalam interpretasi reaksi positif palsu. Nilai pemeriksaan

LCS dalam diagnosis dan pengobatan neurosifilis dibahas di Bab. 32, namun

pengujian rutin LCS untuk antibodi treponema tidak lagi dipraktekkan.

Kegunaan tes serologi serum untuk virus dibatasi oleh waktu yang dibutuhkan

untuk mendapatkan hasil, tetapi mereka berguna dalam menentukan secara

retrospektif sumber meningitis atau ensefalitis. Banyak tes cepat yang

memanfaatkan polymerase chain reaction (PCR) pada LCS, yang menguatkan

fragmen DNA virus, sekarang tersedia secara luas untuk diagnosis, terutama

untuk virus herpes dan cytomegalovirus. Tes ini paling berguna dalam minggu
pertama infeksi, ketika virus sedang direproduksi dan bahan genom paling banyak

ditemukan; setelah minggu itu, teknik serologi untuk infeksi virus hasilnya lebih

sensitif. Amplifikasi DNA dengan PCR sangat berguna dalam deteksi basil

tuberkulosis dalam LCS yang lebih cepat, kultur konvensional yang

membutuhkan waktu paling bagus beberapa minggu. Tes baru untuk mendeteksi

protein prion dalam cairan spinal tersedia dan dapat membantu dalam diagnosis

dari ensefalopati spongiform.

Tabel 2-1 Nilai rata-rata untukkonstituensi LCS dan serum normal

Pemeriksaan Radiografi Kepala Dan Tulang Belakang

Dalam jangka waktu yang lama, foto kranium termasuk dalam pemeriksaan rutin

terhadap pasien neurologi, tetapi sekarang terbukti bahwa kegunaan dari

pemeriksaan foto kranium relativ sedikit. Bahkan pada pasien dengan cidera

kepala, dimana pemeriksaan xray kepala sepertinya merupakan metode yang

optimal, hanya ditemukan gambaran fraktur 1 dari 16 kasus, dimana

membutuhkan dana ribuan dolar per temuan fraktur dan adanya resiko radiasi.

Bagaimanapun juga foto kranium tetap berguna dalam menggambarkan fraktur,

perubahan kontur kepala, erosi tulang dan hperostoses, infeksi sinus paranasal dan

mastoid, dan perubahan dalam foramina basalis. Foto spinal dapat

menggambarkan lesi vertebra, fraktur-dislokasi dan Paget disease.

Perbaikan teknik seperti pneumoencephalography, carotid dan arteriografi

vertebra, dan tomografi, telah banyak meningkatkan cakupan informasi pada


kasus-kasus spesial, tetapi teknologi yang paling penting dalam pemeriksaan

neororadiologi terkini adalah computed tomografi (CT Scan), dan magnetic

resonance imaging (MRI). Keduanya menunjukkan peningkatan yang signifikan

untuk pemeriksaan dan untuk menggambarkan kelainan neurologis.

Computed Tomography

pada prosedur ini, xray konvensional dilemahkan saat menembus tengkorak, CSF,

white and gray matter dan pembuluh darah. Intensitas dari radiasi yang keluar

ditangkap dan diukur, kemudian data tersebut digbungkan, dan kemudian

komputer akan mengkonstruksi gambar dari data tersebut. Kemajuan besar dalam

bidang metodollogi matematika ini, memungkinkan praktisi untuk melihat

gambaran kepala beserta isinya dari berbagai sisi dan potongan. Lebih dari tiga

puluh ribu 2 sampai 4mm gelombang xray diarahkan pada beberapa sisi

horizontal kepala. Perbedaan intensitas tulang, CSF, darah, dan gray-white matter

dapat dibedakan dan menghasilkan gambar. Praktisi dapat melihat hemoragik,

perlunakan dan edema otak, abses, dan jaringan tumor dan juga ukuran beserta

posisinya yang tepat dari ventrikel dan struktur midlne. Paparan radiasi xray tidak

lebih besar dari foto kranium polos.

Generasi terbaru dari CT scan, memungkinkangambaran yang sangat jelas dari

otak, tulang belakang, dan orbita. Seperti digambarkan pada Fig. 2-1, pada

potongan transversal dari otak, kita dapat melihat nukleus kaudatus dan

lentikularis dan juga kapsula interna dan thalamus. Posisi dan lebar dari sulkus

dapat diukur, dan nervus optikus dan ootot rektus medial dan lateral terlihat jelas
pada bagian posterior dari orbita. Batang otak, serebelum, dan nervus spinal dapat

terlihat dengan mudah pada level potongan yang sesuai. CT scan juga berguna

untuk melihat bagian tubuh yang mengelilingi nervus perifer dan plexus, sehingga

dapat menggambarkan lesi inflamasi, hematoma yang berhubungan dengan saraf

tersebut. Pada pencitraan kepala, CT scan mempunyai lebih banyak keunggulan

dibandingkan MRI, yang paling penting adalah keamanan bagi pasien jika

terdapat logam pada tubuh dan kejelasan pencitraan dari pembuluh darah sejak

saat pembuluh darah tersebut robek. Keuntungan lainnya adalah biayanya yang

lebih rendah, ketersediaan yang lebih mudah, waktu pemeriksaan yang lebih

cepat, dan visualisasi kalsium yang lebih baik, lemak, tulang, dan terutama basal

tengkorak dan vertebrae. Dan juga, jika monitoring konstan dan penggunaan alat

penunjang hidup dibutuhkan saat proses pencitraan, keadaan ini dapat lebih

mudah dilakukan dengan CT scan dibandingkan MRI. Perkembangan terkini

dalam teknologi CT (spinal atau helical CT) telah secara signifikan meningkatkan

kecepatan pemeriksaan dan memungkinkan visualisasi dan kejelasaan dari

vaskularisasi otak (CT angiografi).

Magnetic Resonance Imaging

Magnetic resonance imaging, sebelumnya disebut nuclear magnetic resonance,

juga menghasilkan gambar “slice” dari otak dalari berbagai sisi, tetapi MRI

mempunyai keunggulan dari CT scan karna menggunakan energi nonionizing dan


resolusi yang lebih baik dari struktur otak yang berbeda dan organ lainnya. Untuk

visualisasi dari kebanyakan penyakit neorologis, MRI adalah prosedur pilihan.

MRI dilakukan dengan cara menempatkan pasien dalam medan magnet yang kuat,

yang menyebabkan isotop endogen dari jaringan dan CSF tersusun pada bagian

longitudinal medan magnet. Aplikasi gelombang radiofrequensi singkat pada

medan tersebut mengubah aksis susunan atom dari sisi longitudinal sampai

transversal. Saat gelombang radiofrekuensi dimatikan, atom-atom tersebut

kembali ke susunan atom asalnya. Energi radiofrekuensi diserap kemudian

dipancarkan yang menghasilkan sinyal magnetik yang terdeteksi oleh receiver koil

elektromagnetik. Untuk menghasilkan pencitraan kontras jaringan dari sinyal

tersebut, gelombang radiofrekuensi harus diulang beberapa kali, sinyal-sinyal

tersebut diukur setelah aplikasi setiap gelombang. Pemindai menyimpan sinyal

sebagai data matriks, dimana data tersebut dianalisis computer dan dari analisis

tersebut, gambaran MRI terbentuk.

Nuclear magnetic resonance dapat dilakukan dengan beberapa isotop saja, tetapi

teknologi terkini menggunakan sinyal yang dihasilkan atom hidrogen (1H), karena

hidrogen adalah isotop yang paling paling banyak dan menghasilkan sinyal

magnetik yang paling kuat. Gambar yang dihasilkan tersebut didapat dari

pemetaan hidrogen yang ada dalam jaringan, dan dipengaruhi juga oleh

lingkungan fisik dan kimia dari atom hidrogen tersebut. Jaringan yang berbeda

mempunyai kadar relaksasi proton yang berbeda, memberikan intensitas yang

berbeda dan menghasilkan kontras jaringan. Terminologi T1 dan T2

menggambarkan konstanta waktu dari relaksasi proton; hal ini dapat diubah untuk
menekankan gambaran jaringan yang ingin lebih difokuskan. Pada gambaran T1,

CSF terlihat gelap dan batas korteks-white matter junction terdefinisikan dengan

baik, seperti pada gambaran CT, dimana pada gambaran T2 terlihat putih.

Gambaran T2 menekankan perubahan pada white matter seperti infark,

demyelinasi, dan edema. Seperti yang sering disebut gambaran FLAIR (fluid-

attenuated inversion recovery) adalah teknik yang memberikan sinyal kuat untuk

lesi parenkim dan sinyal yang lemah untuk CSF. Teknik tersebut sensitif untuk

kalsium dan logam dalam jaringan otak, yang menunjukkan tahap awal dari

infark, dan menekankan lesi inflamasi demyelinasi.

Gambaran yang dihasilkan mesin MRI terbaru sangat bagus. Hal ini

dikarenakantingginya derajad kontras antara white dan gray matter, praktisi dapat

mengidentifikasi semua struktur nuklear dan lesi didalam white dan gray matter.

Lesi dalam di dalam lobus temporal dan struktur dalam fossa posterior dan pada

cervicomedullary junction terlihat lebih jelas dibandingkan pada CT scan; struktur

ini dapat diperlihatkan dalam 3 bidang dan dirusak oleh sinyal dari struktur tulang

disekitarnya. Lesi demyelinasi terlihat dengan lebih jelas dan infark dapat dilihat

pada terlihat pada tahap yang lebih awal dibandingkan CT. Setiap produk

pembongkaran sel darah merah—methemoglobin, hemosiderin, dan ferritin—

dapat dikenali, dan membuat praktisi menentukan tahap hemoragik dan untuk

mengikuti resolusi hemoragik tersebut. Seperti juga hemoragik, CSF, lemak,

kalsium, dan logam mempunyai karakteristik urutan sinyal yang berbeda pada

pencitraan.
Pencitraan MRI spinal menghasilkan gambar yang jelas untuk corpus vertebra,

diskus intervertebral, korda spinalis, dan kauda ekuina (Fig. 2-2D, Fig. 2-2E dan

Fig. 2-2F), dan dari syringomyelia dan lesi lainnya ( herniasi diskus, tumor,

epidural atau hemoragik subdural dan abses). MRI telah menggantikan myelografi

kontras kecuali pada beberapa keadaan dimana gambar akar saraf dan korda

spinali yang resolusinya tinggi dibutuhkan.

Pemberian gadolinium, yang dikenal sebagai agen paramagnetik yang

meningkatkan proses relaksasi selama tahap T1 dari MRI, yang menghasilkan

resolusi yang lebih tajam lagi dan menekankan daerah sekitar dari lesi dimana

sawar darah otak terganggu.

Derajat ke-kooperatif-an yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan MRI

mempunyai keterbatassan terutama pada anak kecil dan pada yang

keterbelakangan mental. Memeriksa pasien yang menggunakan ventilator sulit

tapi dapat dilakukan dengan menggunakan ventilator manual atau ventilator

nonferromagnetik. Bahaya terbesar dari penggunaan MRI adalah torsi atau

lepasnya klip metal pada pembuluh darah, atau alat gigi, dan benda feromagnetik

lainnya, dan fragmen metal kecil di sekitar mata biasanya lepas dari perhatian

operator. Untuk alasan tersebut, alangkah bijaksanna, pada pasien yang sesuai,

untuk dilakukan pemeriksaan foto polos kranium untuk mendeteksi adanya metal

pada daerah berbahaya tersebut. Adanya pacemaker adalah kontaindikasi absolut

penggunaan MRI, karena medan magnet yang dihasilkan akan merusak

pacemaker tersebut.
Karena ada pembentukan katarak pada janin binatang yang terekspos MRI,

muncul keraguan untuk melakukan MRI pada pasien hamil, tertama pada

trimester pertama. Walaupun begitu, data terkini menindikasikan bahwa MRI

dapat dilakukan pada pasien hamil, dengan catatan pemeriksaan MRI tersebut

memang merupakan sebuah indikasi medis. Pada penelitian dari 1000 teknisi MRI

yang seddang hamil yang terpapar medan magnet RI secara sering, tidak terdapat

efek samping pada janin yang perlu dikhawatirkan (Kanal et al). Penggunaan MRI

juga dinilai aman pada pasien dengan prostesis pinggang, jahitan logam (stitch),

dan beberapa tipe katup jantung seperti juga klip aneurisma cerebral yang terbuat

dari titanium (Shelock et al). Pemeriksaan ini dinilai tidak aman pada klip yang

terbuat dari stainless-steel.

Pada waktu yang lalu, sering terjadi kejadian dimana dokter terburu-buru

mengirimkan pasien ke ruang MRI untuk mendiagnosis pasien akut dengan cepat,

namun hal ini mengakibatkan benda metal yang ada pada pakaian pasien melukai

pasien. Ada banyak jenis artefak MRI telah diketahui, kebanyakan berkaitan

dengan malfungsi dari komonen elektronik dari medan magnet atu gangguan

mekanisme pada proses pencitraan (untuk lebih detil, lihat monograph Huk et al).

Dari berbagai masalah yang paling sering terjadi adalah artefak aliran CSF pada

korda spinalis level toraks yang memberikan kesan adanya massa intradural;

distorsi dari struktur pada dasar otak akibat benda feromagnetik pada implan gigi;

dan juga garis pada gambar yang dihasilkan akibat aliran darah atau pergerakkan

pasien.
Mesin MRI tergolong mahal dan memerlukan penanganan khusus dan sistem

pendingin untuk mengatasi medan magnet yang kuat. Walau bagaimanapun, speti

pada CT scan; MRI telah banyak berkembang dan teknik-teknik MRI telah

menjadi alat diagnostik MRI yang pening. Pada banyak situasi klinis, adalah suatu

keunggulan apabila dapat melakukan pemeriksaan MRI setelah menegakan

analisis klinis.

Teknologi MRI berkembang secara berkelanjutan. Visualisasi pembuluh darah

pada otak (MR angiografi), pada tumor, lesi kompresif, diskontinuitas nervus

perifer, dan perkembangan defek SSP adalah tahap selanjutnya perkembangan

teknik MRI. Diffusion Weighted Imaging (DWI) adalah proseddur pencitraan baru

yang memakan waktu hanya dalam hitungan menit dan dapat mendeteksi infark

dalam waktu 2 jam setelah onset stroke; DWI juga berguna dalam membedakan

metastasis otak dan abses. Setiap beberapa bulan muncul perbaikan dalam

interpretasi karakteristik sinyal dan perubahan morfologi seperti halnya

penggunaan MRI untuk mempelajari metabolisme otak dan peredaran darah otak

(fungsional MR atau fMRI). Gambaran fungsional ini diambil pada pasien normal

sembari melakukan aktivitas motorik dan kognitif, dan pada pasien dengan

penyakit neurologis dan penyakit psikiatrik memaparkan pola tertentu pada

aktivitas otak dan mengubah konsep tradisional dari fungi korteks dan lokalisasi.

Kemampuan MRI untuk mengkuantifikasi volum dari striktur anatomis

menawarkan prospek untuk pencitraan atrofi neoronal. Ahli fisiologi dan

psikologis menggunakan MRI untuk mempelajari perubahan aliran daran saat

adanya aktivitas saraf dan mental.


Penggunaan CT Scan dan MRI dalam diagnosis dari kelainan neurologis tertentu

dibahas dalam bab yang membahas penyakit tersebut (lihat juga Gilman).

Angiografi

Teknik ini telah berevousi selama 50 tahun terakhir sampai pada titik dimana

teknik ini tergolong aman dan penting untuk mendiagnosis aneurisma, malformasi

pembuluh darah, penyempitan atau penyumbatan arteri dan vena, diseksi arteri,

dan angitis. Sejak sebelum CT dan MRI, penggunaan angiografi dibatasi sampai

hanya untuk penegakan diagnosis dari kelainan tersebut, dan peningkatan pada

teknik (MR angiografi dan spiral/helikal CT scan) dapat mengeliminasi

penggunaan xray angiografi konvensional. Setelah dilakukan anestesi lokal,

sebuah jarum dimasukkan ke arteri femoral atau brakial; sebuah kanul kemudian

dimasukan menyelusuri aorta dan cabang arteri untuk divisualisasikan. Dengan

cara ini, medium kontras dapat dimasukan untuk memvisualisasikan arkus aorta,

muara karotid dan sistem vertebra, dan sistem organ lainnya pada leher dan kepala

sampai otak. Angiografer yang berpengalaman dapat memvisualisasikan arteri

otak dan korda spinalis sampai pada yang berukuran diameter lumen 0,1 mm dan

juga vena dengan ukuran yang sama.

Angiografi memiliki resiko. Konsentrasi medium kontras yang terlalu tinggi dapat

mengakibatkan spasme pembuluh darah dan oklusi, dan dapat terbentuk klot pada

kateter tip dan membuat emboli. Secara keseluruhan, angka morbidita dari

prosedur angiografi adalah sebanyak 2,5%, kebanyakan berupa perburukan dari


lesi vaskular yang sudah ada atau dari komplikasi puncture site arteri. Kadang-

kadang lesi iskemik dapat terjadi, yang mengakibatkan pasien menjadi

hemiplegia, quadriplegia atau kebutaan; atas dasar alasan tersebut, angiografi

tidak dilakukan kecuali benar-benar dibutuhkan. Myelopathy cervival adalah

komplikasi berbahaya yang jarang terjadi, akibat pemberian zat pewarna arteri

vertebral; masalah ini diketahui dari rasa nyeri pada leher bagian belakang segera

setelah proses injeksi. Iskemia corda progresif dari proses patologi vaskular dapat

timbul setelah beberapa jam. Komplikasi yang sama dapat timbul pada level corda

yang lain.

Perkembangan teknik radiologi—digital subtraction angiography—menggunakan

komputer digital untuk memproses data radiologi unuk menghasilkan gambar dari

arteri cervikal dan intrakranial. Keuntungan yang besar dari prosedur ini adalah

pembuluh darah dapat divisualisasikan dengan zat pewarna yang relatif lebh

sedikit dan hal ini dapat dilakukan dengan kateter yang lebih kecil dibandingkan

angiografi standar. Rute arterial lebih dipilih untuk pengadministrasian zat

pewarna dibandingkan rute vena.

Magnetic Resonance and Computed Tomographic (Spiral, Helical)

Angiography

Teknik noninvasiv ini adalah perkembangan terkini dalam pencitraan arteri

intrakranial dan dapat diandalkan untuk mendeteksi lesi vaskular intrakranial dan

stenosis arteri karotid. Teknik ini mendekati resolusi dari dari angiografi invasif
untuk pembuluh distal dan untuk lesi oklusiv, tetapi teknik ini sangat berguna

dalam mengukur patensi dari pembuluh cervikal dan basal (Fig. 2-2G, Fig. 2-2H

dan Fig. 2-2I). Tidak seperti MR angiografi, teknik CT membutuhkan kontras

intravena, tatapi memberikan keuntungan dalam memvisualisasikan pembuluh

darah dan anomalinya di sekitar otak dan tulang. Penggunaan metode ini dan

lainnya (doppler ultrasound, dll) untuk investigasi arteri karotid dan kelainannya

dibahas lebih lanjut dalam chapter 34, kelainan pembuluh darah otak.

Positron Emission Tomography

Teknik ini, yang sering disebut PET, mengukur konsentrasi pelacak radioaktif di

otak sebelumnya yang diberikan secara sistemik. Isotop positron-emitting

(biasanya C,
11 F,
18 N, dan
13 O) diproduksi dalam akselerator linear dan
15

digabungkan dengan senyawa aktif yang sudah ada dalam tubuh. Konsentrasi dari

pelacak radioaktif di berbagai daerah di otak ditentukan secara noninvasiv, dengan

detektor diluar tubuh, dan gambar tomografi dihasilkan dengan teknik yang mirip

digunakan pada CT dan MRI.

Pola peredaran darah otak, uptake oksigen dan utilisasi glukosa dapat diukur

dengan PET scan, dan prosedur ini terbukti penting dalam melakukan grading

tumor otak, membedakan jaringan tumor dari nekrosis radiasi, menentukan fokus

epileptik, dan membedakan tipe demensia. Kemampuan PET untuk

mengkuantisasi neurotransmiter dan reseptornya memungkinkan penelitian yang

lebih lanjut untuk mempelajari Parkinson dan penyakit degeneratif lainnya.

Teknologi ini dapat dijumpai di pusat medis yang terkini, dan pengoperasiannya
membutuhkan biaya yang mahal, karena alasan ini PET jarang digunakan untuk

diagnosis rutin.

Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Teknik ini, yang merupakan perkembangan dari PET, menggunakan isotop yang

tidak memerlukan siklotron dalam pembentukannya. Dalam teknik ini

radioligands (biasanya mengandung iodine) dikombinasikan menjadi senyawa

biologis aktif dimana, saat meluruh, memancarkan gelombang photon tunggal.

Dengan prosedur ini, memungkinkan untuk mengetahui peredaran darah otak

pada keadaan iskemia otak atau pada metabolisme jaringan yang tinggi. Resolusi

anatomis yang terbatas pada SPECT membatasi kegunaan klinisnya, namun

ketersediaaanya yang lebih baik. Hal ini dimanfaatkan untuk membedakan

demensia Alzheimer dan sejumlah fokal atrofi otak dan lokalisasi fokus epilepsi

pada pasien kandidat reseksi korteks. Saat diinjeksikan, isotop terlokalisasi secara

langsung pada otak, dengan proporsi penyerapan sesuai dengan keadaan aliran

darah, dan isotop ini stabil dalam jangka waktu kurang lebih 1 jam. Hal ini

memungkinkan untuk menginjeksikan isotop pada saat onset kejang berlangsung,

sementara pasien menjalani monitoring video dan EEG, dan untuk memindai

pasien setelahnya. Seperti pada PET, potensi klinis dari teknik ini belum banyak

dipergunakan.

Ultrasound Scanning

Dalam beberapa tahun terakhir, teknik ini telah berkembang sampai pada titik

dimana teknik ini menjadi metodologi terpenting pada studi klinis pada janin dan
neonatus. Instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan ini terdiri dari transduser

yang dapat mengubah energi elektrik menjadi gelombang ultrasonik pada

frekuensi antara 5 sampai 20 kHz. Gelombang ini dipancarkan melalui tengkorak

ke otak. Jaringan yang berbeda mempunyai impedansi akustik yang berbeda dan

mengirim gema balik ke transduser, dimana memperlihatkan gelombang tersebut

sebagai cahaya dengan intensitas yang berbeda di layar mesin. Dengan cara ini,

praktisi dapat mendapatkan gambar pleksus khoroid, ventrikel, dan massa cntral

nuklear. Biasanya beberapa potongan koronal dan parasagittal dapat digunakan.

Hemoragik intraserebral dan subdural, lesi massa, dan defek kongenital dapat

langsung dilihat.

Instrumen serupa digunakan untuk meresonansi pembuluh basal dari sirkulus

Willis, arteri servikal karotid dan vertebra, dan arteri temporal untuk mempelajari

penyakit serebrovaskular. Kegunaan terbesar metode ini mengestimasi derajad

stenosis dari arteri karotid interna.

Metodologi ini mempunyai beberapa keunggulan, yang utama adalah non invasiv,

tidak berbahaya (sehingga bisa dilakukan berulang-ulang), praktis karena bersifat

portabel, tergolong murah. Aplikasi yang lebih spesifik dari eknik ini didiskusikan

pada chapter 38, pada developmental isorder of the nervous system dan pada

chapter 34, stroke.

Contrast Myelography
Dengan menginjeksikan 5 sampai 25 ml kontras radioopak—iopamidol (Isovue)

—melalui punksi lumbal dan selanjutnya memposisikan pasien miring pada meja

periksa, seluruh ruang subaraknoid spinal dapat divisualisasikan. Prosedur ini

hampir sama tidak berbahayanya dengan punksi lumbar biasa kecuali pada kasus

blok spinal total, dimana konsentrasi tinggi dari kontras didekat situs blok dapat

mengakibatkan nyeri dan myoklonus regional sesuai dermatomnya. Ruptur dari

diskus lumbal dan servikal, spondilosis servikal, dan spur yang menekan korda

spinalis dan tumor korda spinalis dapat didiagnosis secara akurat. Iophendylate

(Pantopaque), sebuah kontras yang larut lemak, sekarang masih disetujui FDA

tetapi hanya digunakan pada situasi tertentu (visualisasi lesi bagian atas kanalis

spinalis yang benar-benar menghalangi aliran dari kontras di bawahnya). Jika

iopendylate tertinggal pada ruang subaraknoid, khususnya pada keadaan adanya

darah atau ada eksudat inflamasi, dapat menyebabkan araknoiditis berat pada

korda spinalis dan otak.

CT scan badan juga memberikan hasil gambar yang baik dari kanalis spinalis dan

foramen intervertebral dalam tiga bidang, membuat kombinasi kontras larut air

dan CT scan adalah cara yang berguna untuk visualisasi lesi spinal dan fossa

posterior (Fig. 2-2E dan Fig. 2-2F). Myelografi kontras berguna untuk visualisasi

area kecil dalam kanalis spinalis, seperti recess lateral dan radix spinal. MRI

memberikan gambar yang bahkan lebih tajam untuk kanalis spinalis dan isinya

seperti vertebrae dan diskus intervertebral. Hal ini menggantikan myelografi

kontras karena tidak menggunakan pungsi lumbal dan menghasilkan gambar dari

lesi di dalam korda spinalis dalam 3 bidang dengan lebih jelas.


Electroenchephalography

Pemeriksaan EEG, sejak lama pemeriksaan standart untuk semua bentuk penyakit

serebral, diperiksa menggunakan CT dan MRI. Tetapi, EEG tetap menjadi bagian

esensial untuk pemeriksaan pasien dengan kejang dan yang diduga kejang. EEG

juga digunakan untuk evaluasi efek cerebral dari banyakpenyakit metabolik

sistemik, dalam pemeriksaan tidur, dan dalam ruang operasi untuk memonitor

aktivitas serebral pada pasien yang dianestesi. Untuk beberapa penyakit, seperti

ensefalopati spongiform subakut (hal. 815), EEG dapat digunakan sebagai alat

diagnostik yan pasti. EEG merekam secara spontan aktivitas listrik yang

dihasilkan korteks cerebri. Aktivitas ini menggambarkan aliran listrik yang

mengalir pada ruang ekstraseluler dari otak, dan gelombang ini mencerminkan

gabungan efek dari banyaknya potensial eksitatorik dan inhibitorik sinaps pada

neuron korteks. Aktivitas spontan dari neuron korteks banyak dipengaruhi struktur

subkortikal, khususnya thalamus dan retikular batang otak. Impuls aferen dari

struktur tersbut kemungkinan menjadi penyebab neuron korteks menyebabkan

pola gelombang otak yang khas, seperti irama alpha dan “sleep spindles”.

Elektroda, yang biasanya terbuat dari perak, berdiameter 0,5, diletakkan di kulit

kepala dengan perekat seperti collodion dan pasta konduktif. EEG mempunyai 8-

24 atau lebih unit amplifikasi yang dapat merekam banyak area pada kepala dalam

waktu yang bersamaan. Irama otak yang sudah teramplifikasi menjadi cukup kuat

untuk menggerakkan pen, yang mencetak gelombang dari aktivitas otak dalam

frekuensi antara 0,5 sampai 30 Hz (siklus per detik) pada kertas yang bergerak

pada kecepatan standart 3 cm/s. Resultan dari EEG, prinsipnya adalah voltase vs
waktu, direkam sebagai sejumlah garis bergelombang yang paralel, atau

“Channel”. Setiap channel merepresentasikan potensial listrik antara dua elektroda

(elektroda biasa atau elektroda tanah dapat digunakan sebagai tempat perekaman,

tetapi channel tetap merepresentasikan rekaman bipolar). Channel-channel yang

ada disusun untuk melihat gabungan standar yang umumnya membandingkan

aktivitas dari satu area korteks serebri ke area yang berlawanan. EEG tinta

konvensional mulai digantikan dengan EEG digital, dimana gelombang digital

dapat dilihat pada layar komputer. EEG digital tidak selalu memberikan kualitas

kejelasan gambar seperti EEG digital, tetapi mempunyai keunggulan besar berupa

dapat memperlihatkan channel yang lebih banyak dan lebih praktis.

Pasien biasanya diperiksa dengan mata tertutup dan ditempatkan secara santai di

kursi yang nyaman atau kasur. EEG biasa,yang mana merepresentasikan aktivitas

elektrik otak yang direkam dibawah keadaan tertentu, biasanya selama keadaan

terjaga, dari beberapa bagian konveksitas otak hampir selama segmen

“infinitesimal” dari kehidupan pasien.

Sebagai tambahan untuk rekaman istirahat, sejumlah prosedur aktivasi dilakukan.

1. Pasien diminta untuk menghirup nafas selama 20 kali dalam 1 menit selama 3

menit. Hipervventilasi, yang mekanismenya belum diketahui dapat

mengaktivasi pola kejang yang khas atau kelainan lainnya.

2. Lampu flash yang kuat ditempatkan kira-kira 15 inci di depan mata pasien dan

ditembakkan pada frekuensi dari 1 sampai 20 kali per detik dengan mata pasien

yang tertutup. Lead EEG occipital kemudian dapat memperlihatkan gelombang


yang berkaitan dengan setiap tembakan lampu flash (photic driving, Fig.2-3B)

atau gelombang abnormal (Fig. 2-3C)

3. EEG direkam selepah pasien tidur secarra alami ataupun dengan menggunakan

obat sedatif. Keadaan tidur sangat membantu dalam memunculkan

abnormalitas, khususnya saat epilepsi lobus temporal dan kejang lain dicurigai.

Melalui EEG sedang ataupun panjanh, banyak abnormalitas yang berhubungan

dengan tidur dapat dilihat dan aktivitas EEG dapat disinkronisasi dengan

aktivitas kejang yang direkam dalam video. Yang juga penting dalam klinis

adalah EEG direkam oleh tape recorder kecil ataupun telemetri dari pasien

ambulatori yang dicurigai mengalami kejang. Teknik ini didiskusikan lebih

dalam pada chapter 16

EEG terdiri dari 150 sampai 300 atau lebih halaman, tiap halaman mencerminkan

10 detik. Hasil ini didapat dari teknisi yang bertanggung jawab pasa seluruh

prosedur, termasuk menyadari pergerakan atau kejadian lainnya yang

menyebabkan artefak. Perhatian khusus harus diberikan jika praktisi

menginginkan hasil EEG yang berkualitas. Sebaiknya pasien tidak disedasi dan

sebaiknya tidak dalam keadaan tanpa makanan dalam jangka waktu yang lama,

karena obat sedatif dan keadaan hipoglikemi dapat mempengaruhi pola EEG

normal. Keadaan yang sama dapat dipicu juga oleh keadaan mental, seperti

kekhawatiran atau panik, yang dapat mensupresi irama alpha yang normal dan

dapat meningkatkan artefak otot atau lainnya. Ketika menghadapi pasien yang
dicurigai mengalami epilepsi dan yang sedang diobati karena epilepsi,

kebanyakan praktisi lebih memilih untuk melakukan EEG dalam keadaan pasien

tetap mengkonsumsi anti-konvulsan. Dibawah keadaan khusus obat ini dapat

dihentikan 1-2 hari guna meningkatkan kesempatan untuk merekam gelombang

kejang. Interpretasi EEG yang baik meliputi mengenali karakteristik dari pola

normal dan abnormal dan irama latar belakang (dalam hubungannya dengan umur

pasien), deteksi dari asimetri dan perubahan periodik irama, dan membedakan

artefak dari gelombang yang memang abnormal.

Anda mungkin juga menyukai