Anda di halaman 1dari 71

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Stroke

II.1.1 Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh

iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak

memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark

fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat

adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat

iskemia, berdasarkan :

Patologi, imaging atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral,

medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu.

Atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau

retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥24 jam atau meninggal dan

etiologis lainnya telah di eksklusikan (Sacco dkk, 2013).

Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang

dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak atau sistem

ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).

Universitas Sumatera Utara


II.1.2 Epidemiologi

Insiden stroke bervariasi di berbagai Negara di Eropa, diperkirakan

terdapat 100–200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun. Insiden

stroke pada pria lebih tinggi daripada wanita, pada usia muda, namun tidak

pada usia tua. Rasio insiden pria dan wanita adalah 1,25 pada kelompok usia

55–64 tahun, 1,50 pada kelompok usia 65–74 tahun, 1,07 pada kelompok usia

75–84 tahun dan 0,76 pada kelompok usia diatas 85 tahun. Negara Amerika

diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang

menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4,8 juta

penderita stroke yang bertahan hidup (Goldstein dkk, 2006).

II.1.3 Faktor Resiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor–

faktor yang dipertimbangankan sebagai resiko yang kuat terhadap timbulnya

stroke. Faktor resiko timbulnya stroke (Sjahrir, 2003)

1. Non modifiable risk factors

a. Usia

b. Jenis Kelamin

c. Keturunan / genetik

2. Modifiable risk factors

a. Behavioral risk factors

 Merokok

 Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah

 Alkoholik

Universitas Sumatera Utara


 Obat–obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat

kontrasepsi

 Aktifitas yang rendah

b. Physiological risk factors

 Penyakit hipertensi

 Penyakit jantung

 Diabetes mellitus

 Infeksi/ lues, arthritis, traumatic, AIDS, lupus

 Gangguan ginjal

 Kegemukan (obesitas)

 Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

 Kelainan anatomi pembuluh darah

 Stenosis karotis asimtomatik

II.1.4 Klasifikasi Stroke/subtipe stroke

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis

stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang

berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 1999)

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

a. Stroke Iskemik

 Transient Ischemic Attack (TIA)

 Thrombosis serebri

 Emboli serebri

b. Stroke Hemoragik

 Perdarahan intraserebral
Universitas Sumatera Utara
 Perdarahan subarachnoid

II.Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Stroke in evolution

c. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

a. Sistem Karotis

b. Sistem vetebrobasiler

IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu

a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)

c. Lacunar Infarct (LACI)

d. Posterior Circulation Infarct (POCI)

V. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan krteria kelompok peneliti TOAST

(Sjahrir, 2003)

a. Aterosklerosis Arteri Besar

Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau

oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses

aterosklerosis. Gambaran computed tomography (CT) sken kepala MRI

menunjukkan adanya infrak di kortikal, serebellum, batang otak, atau

subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari

aterosklerosis arteri besar.

b. Kardioembolisme

Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari

jantung terdiri dari :


Universitas Sumatera Utara
1. Resiko tinggi

Prostetik katub mekanik

Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi

Fibrilasi atrial

Atrial kiri / atrial appendage thrombus

Sick sinus syndrome

Miokard infark baru (< 4 minggu)

Thrombus ventrikel kiri

Kardiomiopati dilatasi

Segmen ventricular kiri akinetik

Atrial myxoma

Infeksi endokarditis

2. Resiko sedang

Prolaps katub mitral

Kalsifikasi annulus mitral

Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial

Turbulensi atrial kiri

Aneurisma septal atrial

Paten foramen ovale

Atrial flutter

Lone atrial fibrillation

Katub kardiak bioprostetik

Trombotik endokarditis non bacterial

Gagal jantung kongestif

Segmen ventrikuler kiri hipokinetik


Universitas Sumatera Utara
Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan)

c. Oklusi Arteri Kecil

Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu

gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi

kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT sken/ MRI kepala

normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di daerah batang otak

atau subkortikal.

d. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Menentukan

1. Non – Aterosklerosis Vaskulopati

Non inflamasi

Inflamasi non infeksi

Infeksi

2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat Ditentukan

II.1.5 Patofisiologi

Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan

hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang

berakhir dengan kematian sel–sel otak dan unsur–unsur pendukungnya

(Misbach, 2007).

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh

emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga

disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap

proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu


Universitas Sumatera Utara
kaskade iskemik, yang mengakibatkan kematian sel – sel otak dan infrak otak

(Becker JU, dkk, 2010).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti

(core) dengan tingkat iskemik terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini

akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Diluar

daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan

jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi –

fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin

ke perifer makin ringan. Daerah panumbra iskemik, diluarnya dapat dikelilingi

oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury

perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi

stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel–sel otak berfungsi

kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi

reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur – angsur mengalami kematian

(Misbach, 2007).

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara

bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003)

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

Tahap 2 :
Universitas Sumatera Utara
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah

infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan

di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997)

menunjukkan stroke perdarahan 26,0%, terdiri dari lobus 10,0%, ganglionik

9,0%, serebellar 1,0%, batang otak 2,0% dan subrakhnoid 4,0% (Misbach,

2011).

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas

perdarahan intraserebral dan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan

penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan

intraserebral primer dan sekunder. (Misbach 2011).

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma

(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di

daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik

menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100–400 mikrometer

mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa

lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard.

Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba

menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari

pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh

kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini

mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).


Universitas Sumatera Utara
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik

akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah

yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul

karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis

(Caplan, 2000).

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di

dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid,

pembuluh yang pecah terdapat diruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus

arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan

dinding arteri (arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma

(Misbach, 2011).

II.2. Anatomi Vaskular dan Karakteristik Klinis

Otak dialiri oleh arteri karotis dan arteri vertebralis yang dimulai arteri

ekstrakranial yaitu aorta atau pembuluh darah besar yang berjalan melalui

leher dan dasar tengkorak untuk mencapai rongga intrakranial. Sistem karotis

dikenal sebagai sirkulasi anterior dan vertebrobasiler dikenal sebagai sirkulasi

posterior. Sistem karotis kanan berasal dari bifurkasio arteri innominata dan

kiri berasal dari arkus aorta, batang arteri karotis internal dari sistem karotis

pada bagian atas kartilago tiroid, pada vertebra servical IV, tidak memberi

percabangan pada leher dan wajah, memasuki kranium melalui kanalis

karotikus. Akhir karotis interna dibagi menjadi arteri serebri anterior dan

serebri media (Gofir, 2009).

Pada setiap sistem vaskularisasi otak terdapat tiga komponen yaitu :

arteri–arteri ekstrakranial, arteri–arteri intrakranial berdiameter besar dan


Universitas Sumatera Utara
arteri–arteri perforantes berdiameter kecil, komponen–komponen arteri ini

mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda pada gambar 1.

1. Pembuluh darah ekstrakranial misal. a. karotis kommunis mempunyai struktur

trilaminar (tunika intima, media dan adventisia) dan berperan sebagai

pembuluh darah kapasitan. Pada pembuluh darah ini mempunyai anastomosis

yang terbatas.

2. Arteri–arteri intrakranial yang besar (misalnya a.serebri media) secara

bermakna mempunyai hubungan anastomosis dipermukaan piameter otak

dan basis kranium melalui sirkulus Willisi dan sirkulasi koroid. Tunika

adventisia pembuluh darah ini lebih tipis daripada pembuluh darah

ekstrakranial dan mengandung jaringan elastik yang lebih sedikit, selain itu

dengan diameter yang sama pembuluh darah intrakranial ini lebih kaku dari

pembuluh darah ekstrakranial.

3. Arteri–arteri perforantes yang berdiameter kecil yang terletak superfisial

maupun profunda, secara dominan merupakan end-artery dengan

anastomosis yang sangat terbatas, merupakan pembuluh darah yang resisten

(Gofir, 2009).

II.2.1 Anatomi Sistem Anterior/sistem Karotis

Arteri karotis kommunis kiri dipercabangkan langsung dari arkus aorta

sebelah kiri, sedangkan a. Karotis kommunis dipercabangkan dari

a.innnominata (brachiocephalica). Dileher setinggi kartilago thyroid arteri

karotis kommunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan arteri karotis

eksterna dengan arteri karotis interna lebih posterior dibanding dengan arteri

Karotis eksterna. Percabangan dari kedua arteri ini sering disebut bifurcatio.
Universitas Sumatera Utara
Karotis mengandung carotid body yang berespon terhadap kenaikan tekanan

partial oksigen arterial (PAO2), aliran darah, PH, arterial dan penurunan

PaCO2 serta suhu tubuh(Gofir, 2009).

Arteri karotis kommunis berdekatan dengan serabut saraf simpatis

ascenden, oleh karena itu pada lesi arteri karotis kommunis misal. Akibat

trauma, diseksi arteri atau oklusi trombus dapat menyebabkan paralisis okulo

simpatik ipsilateral (sindrom horner’s) yang juga melibatkan serabut-serabut

sudomotor dengan wajah (Gofir, 2009).

Arteri karotis interna bercabang menjadi dua bagian yakni bagian

ekstrakranial dan intrakranial. Bagian ekstrakranial a. Karotis interna setelah

dipercabangkan didaerah bifurcatio akan melalui kanalis karotikus untuk

memvaskularisasi kavum timpani dan akan beranastomosis dengan arteri

maksilari interna salah satu cabang arteri karotis eksterna (Gofir, 2009).

Arteri karotis interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis

karotikus berjalan dalam sinus kavernosus mempercabangkan arteri

opthalmika untuk n.optikus dan retina, kemudian akhirnya bercabang menjadi

a.serebri anterior dan a. serebri media, keduanya bertanggung jawab

memvaskularisasi lobus frontalis, parietal dan sebagian temporal (Gofir, 2009).

II.2.1.1. Anterior Cerebral Artery

Anterior cerebral arteri berasal dari arteri karotid interna, dibagi atas 3

segmen pada gambar.2 yaitu :

1. A1 berasal dari arteri karotid interna ke arteri communicating anterior


Universitas Sumatera Utara
2. A2 dari arteri communicating anterior ke arteri kallosalmarginal

3. A3 berasal bagian distal arteri kallosum marginal

Arteri serebri anterior mensuplai tiga perempat permukaan medial lobus

frontalis, termasuk permukaan orbita media, frontal, bagian atas permukaan

lateral hemisper serebri dan 4/5 korpus kallosum. Percabangan bagian dalam

berasal dekat sirkulus willisi yaitu proksimal atau distal pada arteri

communicating anterior, nukleus kaudatus bagian anterior dan globus pallidus

anterior. Oleh karena itu arteri serebri anterior dibagi tiga cabang besar yaitu

lentikulostriata media, percabangan perikallosal ke korpus kallosum dan

percabangan ke hemisper serebri (Gofir, 2009).

Arteri lentikulostriata termasuk arteri Heubner dan percabangan basal

dari arteri serebri anterior, arteri Heubner memperdarahi bagian anterior

putamen dan nukleus kaudatus yaitu anteroinferior kapsula interna. Bagian

basal memperdarahi bagian dorsal dan hipotalamus (Adam and victor’s 2009).

Karakteristik klinis pada infark didaerah arteri serebri anterior meliputi :

defisit motorik, dan sensorik kontralateral dimana bagian lengan lebih ringan

dibanding tungkai, deviasi mata dan kepala kearah lesi, afasia motorik

transkortikal, gangguan perilaku, disartria.(Adam and victor’s 2005)


Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 : arteri di otak

Dikutip dari :Atri A, Miligan T, Maas MB, Safdies JE.Stroke Iskemik :


Pathofisiology,and Principles of Location. Journal Neurology.2009;13:1-16.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2: Territori Anterior Cerebral Artery

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles
th
of Neurology 8 ed. McGraw – Hill.New York

Tabel 1 : Karakteristik Klinis penderita stroke Anterior Cerebral Artery

Universitas Sumatera Utara


Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles
th
of Neurology 8 ed. McGraw – Hill.New York

II.2.1.2. Arteri Serebri Media

Arteri serebri media setelah dipercabangkan oleh arteri karotis interna

akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan berjalan ke

lateral diantara atap lobus medial dan lantai lobus frontalis hingga mencapai

fissura lateralis Sylvian, arteri–arteri lentrikulstriata dipercabangkan dari

bagian proksimal ini. Arteri lentikulostriata merupakan arteri–arteri perforasi

profunda yang merupakan cabang dari arteri serebri media, arteri ini

berjumlah antara 6–12 arteri yang berfungsi memvaskularisasi nukleus

Universitas Sumatera Utara


lentiiformis, nukleus kaudatus bagian caput lateral, globus pallidus dan

kapsula interna bagian bawah. Oklusi salah satu arteri lentikulostriata

menimbulkan infark lakunar (Gofir, 2009).

Didaerah fisura lateralis, bagian kedua a. serebri media akan

bercabang menjadi devisi superior dan inferior, devisi superior akan

memberikan suplai ke lobus frontalis dan lobus parietal, sedangkan devisi

inferior akan mensuplai ke lobus temporalis dan pada akhir dari arteri serebri

media atau arteri–arteri perforantes medularis akan dipercabangkan

dipermukaan hemisfer serebri yang akan memvaskularisasi substansia alba

(Gofir, 2009).

Arteri serebri media terbagi atas 4 segmen yaitu :

1. M1 dari asal ke bifurkasio yaitu arteri – arteri penetrating lentrikulostriata

medialis, lateralis, arteri temporal anterior, arteri temporal polar dan arteri

uncal

2. M2 dari bifurkasio ke percabangan korteks

3. M3 percabangan operkular

4. M4 penggabungan cabang – cabang fissura sylvian pada permukaan hemisfer

lateral dari hemisfer serebri

Middle cerebral artery mensuplai sebagian besar permukaan lateral hemisfer

yaitu bagian superior lobus parietalis dan bagian inferior lobus temporalis dan

lobus oksipitalis, sebagai tambahan juga mensuplai kapsula interna dan basal

ganglia (Adam and victor’s,2009).

Karakteristik klinis yang didapati pada infark didaerah arteri serebri

media meliputi : hemiplegia kontralateral, hemianestesi dan hemianopsia


Universitas Sumatera Utara
homonim, deviasi kepala dan mata ke arah lesi, afasia global (Adam and

Victor’s,2005).

II.2.1.3. Arteri Serebri Posterior

Arteri serebri posterior merupakan cabang akhir dari a.basilaris. Bagian

proksimal arteri serebri posterior atau bagian prekomunikan (sebelum a.

Communicans posterior) akan bercabang menjadi a.Mesensepali paramedian

dan a.Thalamik-sub talamik yang akan memvaskularisasikan thalamus.

Setelah a. kommunikan posterior, a. serebri posterior akan mempercabangkan

a. Thalamogenikulatum dan a. koroid posterior, yang mana akan

memvaskularisasikan talamus, arteri serebri posterior ini setelah berjalan

kebelakang didaerah tentorium serebelli akan bercabang menjadi devisi

anterior yang memvaskularisasi bagian medial lobus temporalis dan devisi

posterior yang memvaskularisasi fissura kalkarina dan daerah parieto-

ocipitalis) pada gambar 4.

Posterior cerebral artery adalah cabang terminal arteri basilaris dan

mensuplai lobus oksipitalis, dan lobus temporalis poteromedial.

Posterior cerebral arteri dibagi atas 4 segmen :

1. P1 dari akhir arteri basilaris ke artery communicating posterior dalam

interpeduncularis sisterna.

2. P2 berawal dari artery communicating posterior dibagi atas dua segmen yaitu

anterior dan posterior.

3. P3 segmen quardri terminal P1

4. P4 segmen korteks
Universitas Sumatera Utara
Segmen P1 dikenal sebagai percabangan interpeduncularis yang

berasal dari bifurkasio basilaris yang memperdarahi red nukleus, substansia

nigra bilateral, pedunkulus serebri media, saraf okulomotorius dan troklearis,

substansia retikular diatas brainstem, fasikulus longitudinal medial dan

lemniskus medialis. Pada segmen P2 dikenal sebagai percabangan talamo

perforata memperdarahi talamus bagian inferior, medial, dan anterior.

Percabangan medialnya memperdarahi pedunkulus serebral, lateral

tegmentum, korpora quadrigemina dan glandula pinealis. Bagian percabangan

terminalnya memperdarahi lobus temporal dan lobus oksipitalis medial (Adam

and Victor’s, 2009).

Karakteristik klinis yang bisa didapati pada infark didaerah arteri

serebri posterior meliputi : sindrom Weber, sindroma beneikta, dan sindroma


Universitas Sumatera Utara
Claude, gangguan pergerakan ekstrapiramidalis.(Adam and Victor’s,2009)

Gambar 3: Territori Middle Cerebral Artery

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles
th
of Neurology 8 ed. McGraw – Hill.New York

Tabel 2 : Karakteristik Klinis penderita stroke Middle Cerebral Artery


Universitas Sumatera Utara
Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles
th
of Neurology 8 ed. McGraw – Hill.New York

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4: Territori posterior Cerebral Artery

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles
th
of Neurology 8 ed. McGraw – Hill.New York

Tabel 3 : Karakteristik Klinis Penderita Stroke Posterior Cerebral Artery

Universitas Sumatera Utara


Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles
th
of Neurology 8 ed. McGraw – Hill.New York

Tabel 4: Segmen dan Cabang Arteri pada Sirkulasi Serebral

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Dikutip dari :Atri A, Miligan T, Maas MB, Safdies JE.Stroke Iskemik :
Pathofisiology,and Principles of Location. Journal Neurology.2009;13:1-16.

II.2.2. Brainstem
Karakteristik klinis yang didapati pada stroke didaerah brainstem
adalah hemiparese, disartria, ataksia, diplopia, disfagia, ataksia. Banyak dari
gangguan ini diklasifikasikan beberapa sindroma seperti sindroma Wallenberg
(Adam and Victor’s,2009).

II.2.3. Serebellum
Serebelli disuplai oleh pembuluh darah arteri yaitu arteri serebelli
superior yaitu percabangan dari bagian distal arteri basilaris, arteri serebelli
inferior anterior yaitu percabangan proksimal arteri basilaris, arteri serebelli
inferior posterior yaitu percabangan distal arteri vertebralis. Karakteristik klinis
pasien dengan infark di serebelli terdiri dari penurunan kesadaran sampai
koma, vertigo, ataksia, disartria, disfagia, dan inkoordinasi (Adam and
Victor’s,2009).

II.3. Disfagia

Universitas Sumatera Utara


II.3.1. Definisi

Disfagia didefinisikan adalah suatu kesulitan menelan, makanan

tertahan di mulut, batuk setelah menelan dan merupakan komplikasi stroke

yang sering. Disfagia yang dijumpai pada pasien stroke dihubungkan dengan

meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas seperti malnutrisi, dehidrasi

dan infeksi paru (Steinhagen V dkk, 2008).

II.3.2. Epidemiologi

Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15,0% -45%

perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5,0%-10% diobati di ICU.

Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut.

Mortalitas 5,0% -12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25,0% - 50%

pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini

mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat

jalan kurang dari 1,0%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah

sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14,0% (Alberta Medical Association, 2002).

Di negara berkembang sekitar 10,0%-20,0% pasien yang memerlukan

perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih

tinggi, yaitu sekitar 30,0%-40,0% (Sajinadiyasa, 2011).

II.3.3. Fisiologi proses menelan

Keberhasilan dalam proses menelan membutuhkan proses dan

dinamik yang kompleks, yang melibatkan 5 pasang saraf dan 26 pasang otot-

otot yang mengkordinasi dalam proses menelan. Kontrol menelan adalah multi

dimensional, terdiri dari tiga level yakni: pada level pertama adalah
Universitas Sumatera Utara
brainstem merupakan pusat generator untuk kontrol menelan, pada level

kedua adalah kontrol struktur dari subcortikal yaitu basal ganglia, hipotalamus,

amygdala, dan mid brain, pada level ketiga adalah kontrol pusat menelan di

kortikal suprabulbar.

Tahapan menelan secara normal terbagi atas 4 fase yaitu:

1.Fase persiapan oral

Untuk mengetahui petunjuk makanan, menelan, lingkungan, visual dan

penciuman. Saat makanan masuk ke mulut, bibir dan lidah dapat merasakan

dan rasa makanan tersebut di transmisikan ke brainstem.

2.Fase oral

Makanan yang dikunyah bersatu dengan air liur bergerak pada rahang

berkordinasi dengan pergerakan lidah dan pipi dan palatum, tulang hyoid,

makanan disiapkan bentuk yang dapat dimasukan dengan mudah untuk

proses menelan, lidah berfungsi mendorong makanan ke faring. Kesulitan

atau kelemahan pada fase oral dapat terjadi akibat kelemahan otot atau

gangguan saraf, gangguan pada fase oral ini bisa juga disebabkan penyakit

gigi, penggunaan gigi palsu yang kurang tepat, gigi molar yang sudah copot,

dan bisa juga disebabkan kelemahan lidah atau rahang, yang berkontribusi

terhadap gangguan pada fase oral.

3.Fase faringeal

Faring terdiri dari nasofaring dan orofaring. Fase ini mempunyai dua tujuan

yakni berfungsi sebagai penghantar udara dan membawa makanan atau


Universitas Sumatera Utara
cairan dari mulut ke oseofagus. Faring terdiri dari otot otot konstriktor faring

terdiri bagian superior, medial, dan anterior. Otot menelan faring didukung

oleh nervus trigeminalis (v), nervus fasialis (VII), nervus glossofaringeal (IX),

nervus vagus (X), nervus accesorius (XI), nervus hypoglosus (XII)

4.Fase esofagal

Setelah makanan memasuki oseofagus, peristaltik usus akan bergerak

menurunkan makanan ke dalam perut yang melalui spingter bawah

esofagus.(Langdon C,2010)

Gambar 5: Tahapan Menelan


Dikutip dari : Langdon C. Dysphagia and infection respiratory in acute
ischemic stroke. 2012. Sir Charles Gairdner Hospital and Curtin University of
Technology Australia. Available from www.intechopen .com.

II.3.4. Hubungan Disfagia dengan Distribusi Lokasi Anatomi


Universitas Sumatera Utara
Stroke dapat menyebabkan injury pada otak yang berpengaruh

terhadap fungsi menelan, juga ada kerusakan pada saraf kranialis atau

terdapat gangguan pada interkoneksi jaringan neural pada regulasi proses

menelan. Pada pasien stroke dengan penurunan kesadaran berarti tidak

mampu untuk menjaga jalan napas dengan baik (Langdon C, 2012)

II.3.4.1.Lesi pada Kortek

Gambaran anatomi menelan ditunjukan dengan pemeriksaan fMRI

yang melibatkan gyrus presentral dan poscentral, cyngulasi gyrus bagian

anterior dan insula. Stroke yang melibatkan pusat menelan yang dominan

maka disfagia jelas akan tampak, stroke di daerah kortek berpengaruh

terhadap pergerakan dari fungsi menelan. Pada stroke dengan lesi yang luas

akan melibatkan traktus di otak, penetrasi di daerah kapsula interna, disfagia

lebih tampak signifikan pada TACI (Langdon C, 2012).

Stroke dengan lesi pada kortek yang unilateral berpengaruh terhadap

disfagia yang bersifat transient atau sementara dimana perbaikan terjadi

dengan cepat dapat menelan makanan kembali dengan normal. Pada pasien

stroke dengan gangguan pada kortek bilateral mempunyai gangguan menelan

yang lebih berat dan disfagia akan lebih lama terjadi. Stroke pada daerah

kortek dapat menggambarkan disfagia dan beberapa hal dibawah berikut :

1. Kelemahan wajah

2. Kesulitan mengeluarkan/sekresi air liur

3. Disartria

4. Disfasia

5. Disfonia
Universitas Sumatera Utara
6.Gangguan kesadaran.

II.3.4.2. Lesi pada Brainstem

Pada daerah brainstem terdapat motor nuclei yang berespon sebagai

Central Pattern Generators (CPG) dari menelan, motor nuclei yang terlibat

didalam menelan adalah hypoglossal motor nukleus, dan nukleus ambygus,

bagian ini merupakan terdiri dari motor neuron yang menginervasi otot-otot

instrinsik dan ekstrinsik lidah seperti genioglossus, genihyoid, styloglossus dan

hyoglosus, dan faring, laring dan esofagus (Langdon C,2012).

Area yang terlibat dengan fungsi menelan pada brainstem adalah :

1. Dorsal medula (Nukleusi Traktus Solitarius/NTS), dan sepanjang formasio

retikularis

2. Venterolateral medula, hanya bagian superior dari nukleus ambigus.

Secara anatomi, neuron untuk menelan berada pada lokasi yang sama

dengan neuron Central Pattern Generators yang melibatkan respirasi dan

regulasi kardiovaskular, kedua neuron untuk respirasi dan menelan dengan

interneurons yang sama, dengan demikian dapat dijelaskan adanya

hubungan yang erat antara respirasi dengan menelan, sehingga pada pasien

stroke didaerah brainstem sangat erat dengan terjadi aspirasi dan disfagia

(Langdon C ,2010).

Karakteristik stroke pada brainstem dapat dilihat gambaran klinis sebagai

berikut :

1. Disartria

2. Vertigo, nystagmus, nausea, dan vomiting yang melibatkan sistem vestibularis


Universitas Sumatera Utara
3. Gangguan pengelihatan atau defisit visiospatial yang melibatkan bagian

occipital.

Sering dijumpai pasien dengan stroke vertebrobasilar akan melibatkan

gangguan kesadaran, hemiparesis, pupil yang tidak normal, dan ada tanda

okulomotor, dan manisfestasi dari bulbar seperti kelemahan pada wajah,

disfonia, disartria, dan disfagia dapat terjadi pada 40 % pasien (Langdon

C,2012).

II.4 Pneumonia

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme

yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar

mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia

(Jeremy, 2007).

Tabel 5. Daftar Mikroorganisme yang Menyebabkan Pneumonia


Infeks Infeksi Atipikal Infeksi Jamur
Bakteri

Streptococc Mycoplasma Aspergillus


us pneumoniae
pneumoniae

Haemophillu Legionella Histoplasmosis


s influenza pneumophillia

Klebsiella Coxiella burnetii Candida


pneumoniae

Pseudomon Chlamydia psittaci Nocardia


as
Universitas Sumatera Utara
aeruginosa

Gram-negatif (E. Coli)


Infeksi Infeksi Protozoa Penyebab Lain
Virus

Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi


Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid
Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis
Sinsitial respiratori Fibrosis kistik

Dikutip dari Jeremy, P.T. 2007. At Glance Sistem Respirasi.


Edisi Kedua.Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-7.

II.4.1. Patogenesis

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan

paru. Bakteri ada di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya

tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme

dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit (Supandi, 1992)

Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui

berbagai cara:

a. Inhalasi langsung dari udara

b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring

c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).

Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu

(Supandi, 1992)

a. Mekanisme pertahanan paru


Universitas Sumatera Utara
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang

terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di

dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis

saluran napas, refleks batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang

dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yang

mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi

yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga

pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius. Infeksi saluran napas

berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak

bekerja dengan baik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

b. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan

Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri. Bila jumlah mereka

semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini

kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan

mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai

penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa

saluran napas akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama

mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003)

c. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius

Saluran napas bawah dan paru berulang kali dimasuki oleh berbagai

mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit,

ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien

sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka


Universitas Sumatera Utara
bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-

bahan berbahaya dan infeksius berupa refleks batuk, penyempitan saluran

napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral. (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia,2003)

II.4.2 Klasifikasi

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial

pneumonia)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita Immunocompromis (PDPI, 2003)

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal

Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi

menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,

Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal,

Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris.
Universitas Sumatera Utara
Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua.

Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder

disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau

proses keganasan

b. Bronkopneumonia.

Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat

disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.

Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstisial (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

II.4.3. Faktor Resiko

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko

pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik

(misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-

obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi, penyakit virus yang baru

terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, pasca operasi, lingkungan, pekerjaan

(Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008).

II.4.4. Diagnosis

II.4.4.1 Gambaran klinis

a. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu

tubuh meningkat dapat melebihi 40ºC, batuk dengan dahak mukoid atau
Universitas Sumatera Utara
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

b. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada

inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa

palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi

terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai

ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium

resolusi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

II.4.4.2. Pemeriksaan penunjang

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama

untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat

sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan

interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas

menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah

diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering

disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan

Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus

atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2003)

b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada


Universitas Sumatera Utara
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan

LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,

kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20,0% - 25%

penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan

hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003)

II.4.5. Pneumonia Pada Stroke

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering

pada penderita stroke dan sebagai penyebab demam yang paling sering

dalam 48 jam setelah seragan stroke. Pneumonia akan meningkatkan resiko

kematian tiga kali lipat pada penderita stroke (Kumar S,2010 ).

Kebanyakan pneumonia tersebut disebabkan sebagai akibat aspirasi

yaitu terinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di faring ataupun gingival (

Kumar S, 2010 ).

Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan hospital acquired/ nasocomial

pneumonia yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen infeksius

dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan tersebut

didapat lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit ( Rotstein C, dkk, 2008 ).

Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada orang dewasa

meliputi:

- Enterobacteriaceae

- S. Aureus

- S. Pneumoniae

- H. influenza ( Marrie TJ, 2005 )


Universitas Sumatera Utara
Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke akut dapat

dilakukan sebagai berikut :

- Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat hubungannya

dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka tes refleks batuk perlu

dilakukan untuk mengidentifikasi resiko pneumonia.

- Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) diajurkan pada pasien

gangguan menelan

- Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan :

Elevasi kepala 30 - 45º

Menghindari sedasi berlebihan

Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat pada pasien dengan

intubasi dan trakeostomi

Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara

enteral.

Menghindari pipa nasogastrik yang lama

Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia

Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur

Rehabilitasi fungsi menelan (PERDOSSI, 2011).

Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi :

- Pemberian antibiotik sesuai indikasi, antara lain :

Tanpa komorbiditas : Macrolide (azitromisin, klaritromisin atau eritromisin) atau

dosisiklin.

Disertai penyakit lain seperti diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan,

penyakit jantung serta imunosupresi : fluorokuinolon (moksifloksasin,


Universitas Sumatera Utara
gemifloksasin atau levofloksasin) atau beta-laktam dengan macrolide.

Alternatif lainnya ceftriakson dan dosisiklin sebagai pengganti macrolide.

- Fisioterapi (chest therapy) dengan spirometri, inhalasi ritmik dan menepuk –

nepuk dada (PERDOSSI, 2011 ).

II.4.5.1. Faktor Yang Mempengaruhi Pneumonia Pada Penderita Stroke.

Chumber, dkk, 2010 melakukan penelitian dan menghasilkan tiga level

sistem skor untuk memprediksi terjadinya pneumonia pada stroke akut.

Faktor–faktor yang dapat memprediksi terjadinya pneumonia pada

penelitiannya meliputi adanya riwayat menderita pneumonia (nilai 4), disfagia

(nilai 4), nilai NIHSS yang tinggi pada saat masuk (NHISS ≥ 2 nilai 3),

penurunan kesadaran (nilai 3) dan usia lebih dari 70 tahun (nilai 2). Kemudian

membagi menjadi 3 level, yaitu : nilai 0 memiliki resiko rendah terjadinya

pneumonia pada fase akut (2,1%), nilai 1-3 memilki resiko sedang (4,2%) dan

nilai ≥ 3 resiko tinggi (22,9%) (Chumbler HC, dkk, 2010)

Penelitian Sellars, dkk, 2007 menghasilkan bahwa faktor – faktor berikut : usia

> 65 tahun, disartria atau tidak dapat berbicara karena afasia, skor modified

Rankin Scale ≥ 4, skor Abbreviated Mental Test <8 dan ketidak mampuan

melakukan tes menelan air, jika ditemukan 2 atau lebih akan mendapatkan

pneumonia dengan sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 75,6% (Sellars, dkk,

2007)

Penelitian Martino, dkk, 2005 menyatakan bahwa disfagia juga merupakan

prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita

yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga resiko terjadinya

pneumonia semakin besar (Martino, dkk, 2005)


Universitas Sumatera Utara
II.5. Screening Test Untuk Disfagia

Disfagia sering terjadi pada penderita stroke, yang akan meningkatkan resiko

aspirasi dan pneumonia. Screening menelan merupakan langkah awal untuk

mengidentifikasi resiko disfagia dan aspirasi. Deteksi awal dari disfagia

memungkinkan tindakan yang segera dalam penatalaksanaan, sehingga

menurunkan morbiditas, masa rawatan dan biaya perawatan pasien (Daniels

SK, 2012 )

Tes menelan air sebaiknya digunakan sebagai screening resiko terjadinya

aspirasi pada penderita stroke. Cara melakukannya sebagai berikut :

- Penderita stroke yang akan dilakukan tes screening menelan harus bisa

duduk tegak dan sadar setidaknya selama 15 menit. Jika tidak maka tes tidak

dapat dilakukan dan penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut.

- Periksa apakah rongga mulut penderita bersih atau tidak. Jika kotor, maka

segera bersihkan.

- Dudukkan penderita dan berikan satu sendok air sebanyak 3 kali. Letakkan

jari di garis tengah dibawah laring dan rasakan saat penderita menelan.

Kemudian perhatikan apakah ada tanda – tanda ketidak mampuan menelan,

batuk, tersedak atau perubahan kualitas suara ( suruh penderita menyebut

“aah” ). Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan

makan / minum dari mulut.

- Selanjutnya penderita disuruh minum segelas air dan diamati tanda – tanda

seperti sebelumnya. Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak

diperbolehkan makan /minum dari mulut.

- Jika hal tersebut dapat dilakukan penderita stroke maka makanan / minuman

dapat diberikan melalui mulut (Daniels SK, 2012).`


Universitas Sumatera Utara
I.6 Kerangka Teori

II.7 Kerangka Konsep


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai