Anda di halaman 1dari 37

DISKUSI TOPIK

GAGAL NAFAS

OLEH :
M. ARIF TRI HAPSORO I4061172002
JEFRY ALFARIZY I4061172071

PEMBIMBING :
dr. Ranti Waluyan

KEPANITERAAN KLINIK ILMU EMERGENSI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNTAN
RSUD DOKTER ABDUL AZIS
SINGKAWANG
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Diskusi Topik dengan judul:


GAGAL NAFAS

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Emergensi

Pembimbing

dr. Ranti Waluyan

Singkawang, Juni 2019


Disusun oleh:
M. Arif Tri Hapsoro Jefry Alfarizy

NIM. I 4061172002 NIM. I 4061172071

BAB I
PENDAHULUAN

Sesak napas merupakan gejala yang sering muncul dan ditemukan pada
kasus gawat darurat. Pada tahun 2007, United States National Hospital
Ambulatory Medical Care Survey menunjukkan bahwa sesak napas atau yang
disebut juga dyspnea merupakan bagian dari sepuluh besar datangnya pasien ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan total sekitar 3,2% pada tahun tersebut.
Sedangkan perkiraan terbaru dari survey yang dilakukan pada tahun 2013,
didapatkan bahwa kasus sesak napas mencapai 3,0% kasus yang muncul di IGD.
Sumber lainnya menyatakan bahwa, perkiraan prevalensi sesak napas sebagai
keluhan utama berada pada rentang 2,7% sampai 9% bergantung pada sistem
pengukuran yang digunakan beserta populasinya.1-3
Sesak napas merupakan kumpulan gejala, bukan merupakan suatu tanda
disebabkan pasien merasakan keluhan tersebut secara subjektif. Sesak napas akan
bervariasi pada setiap indivdiu bahkan jika terpapar atau dipicu oleh stimulus atau
dasar patologi yang sama. Perbedaan yang dialami pada setiap orang tersebut
dapat berhubungan dengan interaksi dari banyak faktor meliputi fisiologis,
patologis, sosial dan lingkungan yang menginduksi respons fisiologis dan
kebiasaan yang berbeda. Adanya sesak napas yang merupakan prediktor dari
mortalitas, biasanya melampaui kadar fisiologis dalam memprediksi keadaan
klinis pasien. Ketidaknyamanan pernapasan dapat muncul dari manifestasi klinis
dengan ruang lingkup yang luas, namun bisa juga merupakan manifestasi dari
daya tahan kardiovaskular yang buruk dalam hal peningkatan populasi sedenter.
Sesak napas sebagai salah satu alasan utama pasien datang ke IGD membutuhkan
diagnsosis cepat dan perencanaan tatalaksana berdasarkan informasi klinis yang
tepat. Diagnosa serta manajemen yang cepat dan akurat merupakan hal penting
yang dapat menyelamatkan pasien yang datang dengan sesak bahkan dengan
gagal napas.4-6
Gagal napas akut atau yang dikenal dengan Acute Respiratory Failure
(ARF) merupakan kondisi perburukan pada pasien yang merupakan akibat dari
terganggunya fungsi dari pompa otot respirasi ataupun disfungsi dari paru. Gagal
napas merupakan hal yang menantang karena memiliki kumpulan gejala
heterogen berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di rumah
sakit, sehingga membutuhkan keputusan yang tepat dalam memberikan
penanganan kegawatdaruratan.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sesak napas atau yang dikenal dengan dyspnea merupakan
pengalaman ‘subjektif’ dari ketidaknnyamanan saat bernapas yang terdiri
dari sesnsasi kualitiatif yang berbeda dan bervariasi dalam intensitasnya
serta dapat bersifat akut maupun kronik. Sensasi yang berbeda tersebut juga
sering dilaporkan pasien sebagai peningkatan kerja atau usaha dalam
bernapas, dada yang terasa terik, atau lapar udara (air hunger) yang berarti
perasaan tidak cukup udara saat melakukan inspirasi. Air hunger
berhubungan dengan stimulasi kemoreseptor yang mana sensasi dari ‘rasa
tidak nyaman saat bernapas’ merupakan perintah dari pusat pengaturan
respirasi utama meskipun perbedaan antar sensasi dari deskripsi verbal
masih belum jelas. Berikut deskripsi dari air hunger yang sering dikeluhkan
oleh pasien.6,8

Gambar 2.1 Deskripsi air hunger yang sering dikeluhkan pasien6


Saat terdapat keluhan dyspnea harus diperiksa intensitas dari sensasi
sesak, derajat kesulitan saat bernapas dan efek terhadap aktivitas kehidupan
sehari-hari. Dyspnea harus dipisahkan dari sesak napas pada subjek normal,
misalnya yang dipicu oleh olahraga, meskipun masih belum jelas apakah
dyspnea mengarah pada beberapa sensasi yang berbeda atau satu sensasi
yang diekspresikan berbeda. Dyspnea merupakan ‘gejala’ (persepsi dari
abnormalitas atau keadaan distress internal), dan harus dibedakan dari
‘tanda’ yaitu yang biasanya ditemukan sebagai bukti adanya distress
pernapasan seperti takipnea, penggunaan otot aksesorius dan retraksi
interkostal.8
Gagal napas akut atau Acute Respiratory Failure (ARF) didefinisikan
sebagai ketidakmampuan sistem respirasi untuk melakukan sistem
pertukaran gas dan untuk oksigenisasi darah secara adekuat. Hal ini dapat
disebabkan karena gangguan fungsi dari pompa otot respirasi atau dari
disfungsi pada paru.7
2.2 Patofisiologi
Sesak napas merupakan gejala kompleks yang dapat menjadi
peringatan terhadap ancaman kritis terhadap homeostasis dan biasanya
mengarah pada respons adaptif. Biasanya sesak napas dimulai dengan
gangguan fisiologis yang menyebabkan stimulasi dari reseptor aferen
pulmonal dan ekstrapulmonal, serta transmisi dari informasi aferen dari
korteks serebri, yaitu sensasi yang diterima berupa rasa tidak nyaman atau
tidak menyenangkan. Beberapa input aferen dapat menyebabkan sensasi
berbeda yang dialami oleh pasien. Berikut sumber aferen yang dapat
menyebabkan sensasi respirasi tertentu.6

Gambar 2. Sumber aferen yang memungkinkan untuk menyebabkan


sensasi respirasi6
1. Reseptor perifer
a. Mekanoreseptor
Serabut otot dan tendon pada otot respirasi bekerja sebagai
mekanoreseptor. Kumpulan otot dan tendon tersebut menerima rangsangan
dari tegangan dan kontraksi otot serta diinervasi melalui sel tanduk anterior
dari neuron motorik spinal, kemudian memproyeksikannya menuju korteks
somatosensory. Diafragma merupakan organ yang kaya akan tendon namun
memiliki sel spindle yang sedikit, serta diinervasi oleh saraf phrenikus.
Peran dari dinding dada dan diafragma sebagai mekanoresptor pada sesak
terdapat pada beberapa bagian dari medulla spinalis. Misalnya pada T1 yang
berpera dalam mendeteksi kadar CO, tahanan pernapasan dan kemampuan
mendeteksi muatan oksigen. Pada C1-C2 berperan dalam mendeteksi
perubahan volume paru. Peran mekanoreseptor lainnya terlihat melalui
getaran dinding dada. Pada fase masuk (in-phase) getaran dinding dada
(misalnya getaran pada otot inspiratorik saat inspirasi dan otot ekspiratorik)
saat ekspirasi akan menghasilkan penurunan sesak yang diinduksi
hiperkapnia dan muatan resistif (pada orang normal dan pasien dengan
PPOK), sedangkan fase keluar (out-of-phase) getaran dinding dada akan
meningkatkan sesak. Hal ini menunjukkan bahwa mekanoreseptor dinding
dada memiliki peran penting dalam memodifikasi efek pada sesak
sedangkan aktivitas otot respirasi tidak begitu esensial terhadap persepsi
dari sesak.8
b. Kemoreseptor
Pada pasien normal, induksi terjadinya hiperkapnia atau hipoksemia
berat dapat mengakibatkan sesak. Adapun hiperkapnia dikatakan dapat
menginduksi terjadinta sesak akibat dari adanya denervasi pada C1.
Kemungkinan lainnya yaitu dapat berasal dari serat C vagal
bronkopulmonal yang mengandung kanal ion peka asam. Pada hewan, CO 2
menstimulasi vagal bronkopulmonal pada aferen serat C saat terjadi proses
inflamasi, kemudian stimulasi tersebut meningkatkan sinyal untuk
terjadinya sesak. Selama hipoksia berat, intensitas dari sesak yang diinduksi
oleh aktivitas berhubungan utama dengan pernapasan terstimulasi refleks.
Tetapi pada pasien dengan obstruksi aliran udara kronik, masih tidak jelas
apakah sesak tersebut diinduksi oleh aktivitas dapat diperbaiki dengan
suplemen oksigen.8
c. Reseptor paru
Informasi sensorik dari paru ditransmisikan oleh saraf vagus menuju
batang otak. Saraf ini terdiri dari serat bermyelin dan serat tanpa myelin dan
mengkonduksi >75% dari jalur saraf aferen pada saraf vagus. Reseptor
sensorik pada paru terdiri dari reseptor adaptasi cepat, reseptor adaptasi
lambat, serat polimodal Aδ pada jalur napas besar (terutama pada laring dan
trakea), serta semua serat vagus yang terinervasi oleh serat myelin dan serat
C vagal tanpa myelin yang terdapat pada seluruh traktus respirasi. Serat C
tanpa myelin telah dikatakan sebagai sumber yang memungkinan untuk
terjadi sesak napas. Sensasi sesak napas menurun akibat blockade vagal,
menunjukan saraf vagal berperan dalam sensasi ini. Efek zat bervariasi
diketahui dapat mempengaruhi serat C pada jalur napas, misalnya adenosine
yang secara spesifik dyspneogenik. Serat C muncul dari ganglion jugular
(krista neuralis) yang secara umum berhubungan dengan jalur napas besar
(jalur ekstrapulmonal dan bronkus intrapulmonal besar), adapun serat C
lebih dalam pada paru (misalnya serat C pulmonal atau reseptor J) yang
lebih banyak pada nodose ganglia. Nodose serat C distimulasi oleh
adenosine dan agonis purinergik misalnya ATP, yang mana serat C jugular
tidak dipengaruhi oleh stimulus ini.8
2. Reseptor sentral
Deteksi muatan respirasi tambahan terjadi saat otot inspiratorik
memaksa sekitar 10% hingga 20% dari kekuatan otot yang diperlukan untuk
inspirasi. Sesak napas secara signifikan memelukan kekuatan
neuromuscular inspiratorik sentral dibandingkan dengan pasien tanpa sesak.
Respons ventilasi untuk kadar pusat pengatur secara signifikan lebih rendah
pada pasien dengan sesak napas, mengindikasikan bahwa gangguan antara
pusat pengatur neuromuscular dan respons respirasi berhubungan dengan
sesak napas.8
Serat C vagal membawa informasi aferen dari sensor perifer menuju
nucleus traktus solitaries (NTS) dalam medulla. Area kemoreseptif sentral
putatif memproyeksikan jalur kedua dari sel saraf menuju NTS. Sinyal
diproses pada sinaps di NTS yang berhubungan denan aktivitas di sirkuit
local dan naik ke atas pada sinyal eferen, menentukan output dari informasi
sensorik dari paru dan jalur udara menuju sinpas ke bawah dalam jalur
refleks.8
Area yang bervariasi pada korteks distimulasi oleh stimulus respirasi
yang berbeda: muatan inspirasi dipengaruhi oleh girus inferior frontal
sinistra dan hiperkapnia mengaktivasi girus frontal tengah. Namun hal ini
tidak begitu spesifik pada sesak napas. Sesak napas berhubungan dengan
aktivasi neuronal pada insula anterior kanan dan amigdala kanan, serta
perspesi dari sesak dan nyeri akan tumpul jika terjadi lesi neurologic pada
area ini. Sensasi muncul pada dua sensor perifer utama yaitu kemoreseptor
dan serat C vagal. Kemoreseptor melingkupi aorta dan badan karotis
dan/atau serat C vagal. Informasi aferen lainnya dipengaruhi oleh
mekanoreseptor dinding dada dan reseptor vagal. Sesak akan terjadi jika
terdapart peningkatan di atas kadar normal dari informasi refleks eferen
yang ditangkap oleh sensor perifer dan kemudian diproses di insula dan
jaringan korteks serta mengaktifkan output neural menuju sistem respirasi.
Timbal balik dari output neural ini ditunjukkan dengan perubahan volume,
aliran udara dan ventilasi pulmonal. Hal ini didukung oleh regangan paru
dan reseptor lainnya yang menginervasi saraf vagus dan mekanoreseptor
dinding dada. Apabila output sentral tidak memproduksi hasil yang
diinginkan baik dalam aliran udara maupun proses ventilasi, (disebabkan
oleh paralisis otot atau mekanisme abnormal paru pada PPOK, asma atau
penyakit paru restriktif) maka sensasi sesak akan muncul.8
Berdasarkan hal tersebut, terdapat tiga komponen utama terjadinya
sesak napas antara lain: sinyal aferen, sinyal eferen, dan proses informasi
sentral. Proses sentral pada otak akan membandingkan sinyal aferen dan
eferen serta terjadinya sesak saat terjadi ketidakcocokn antara dua
diantaranya, misalnya saat terjadi kebutuhan untuk bernapas (sinyal aferen)
yang tidak sesuai dengan pernapasan secara fisik (sinyal eferen). Reseptor
aferen menyebabkan otak menentukan apakah eferen atau pusat motorik
mampu memerintahkan otot pernapasan secara efektif, memenuhi
kebutuhan terhadap tekanan aliran udara, dan/atau pergerakan paru. Saat
terjadi ketidaksesuaian respons, intensitas sesak meningkat. Korteks
sensorik secara simultan akan teraktivasi saat sinyal motoric dikirim ke
dinding dada sehingga menyebabkan sensasi dari usaha otot dan
menyebabkan sesak napas. Meskipun terkadang terdapat komponen
fisiologis kuat terhadap sesak napas yaitu pada beberapa orang yang
memiliki kekhawatiran terhadap pernapasanya pada keadaan tertentu namun
tidak mengalami gangguan secara fisik.4

Gambar 3. Skema jalur aferen dari otot respiratorik (mekanoreseptor)


menuju sistem saraf pusat; DRG: Dorsal Respiratory Group; VRG:
Ventral Respiratory Group.8
Gambar 4. Skema menunjukkan jalur aferen dari sesak napas dari
reseptor vagal dan kemoreseptor perifer menuju sistem saraf pusat;
RAR: Rapidly Adapting Receptor; SAR: Slowly Adapting Receptor.8
Dua mekanisme dasar terjadinya gagal napas:
2.2.1 Kegagalan ventilasi pulmonal
Kegagalan ventilasi pulmonal dapat didasari karena penyakit
neuromuscular, deformitas dinding dada, penyakit paru obstruktif.9

Gambar 5. Etiologi kegagalan ventilasi pulmonal9

2.2.2 Kegagalan pertukaran udara


Mekanisme kedua yaitu kegagalan pertukaran gas dalam darrah
dapat diakibatkan oleh:9
a. Sindrom distress pernapasan akut dewasa (Adult acute
respiratory distress syndrome);
b. Sindrom distress pernapasan neonates;
c. Oedema pulmonal kardiogenik akut;
d. Status asmatikus berat;
e. Pneumonia;
f. Atelektasis;
g. Emboli pulmonal.
Manifestasi klinis dan gejala pada pasien dengan gagal napas akut
ditunjukkan dengan dua manifestasi utama dari penyakit pulmonal yaitu
hiperkapnia arterial dan hipoksemia. Manifestasi dari hiperkapnia antara
lain mengantuk, kebingungan, sakit kepala, kejang, aritmia, miosis,
papilledema, vasodilatasi perifer, hipotensi dan koma. Sedangkan
manifestasi dari hipoksemia antara lain sesak, takikardia, kebingungan,
perubahan kepribadian, kelelahan, sianosis, hiper atau hipotensi, aritimia
dan palpitasi.9
Patofisiologi hiperkapnia didasari mekanisme utama antara lain
peningkatan produksi CO2 (sebagai contoh yaitu dosis tinggi karbohidrat
melalui parenteral, suhu tubuh tinggi, dan lain-lain); perburukan pertukaran
gas yaitu dengan peningkaran ventilasi pada alveolar death space
(contohnya yaitu Penyakit Paru Obstruktif Kronis atau PPOK) dikarenakan
kegagalan pertukaran udara pada ventilasi atau perfusi dan pada emboli
pulmonal); perburukan pertukaran udara meningkarkan perburukan
mekanisme respirasi yang memerlukan usaha besar akan meningkatkan
kerja inspirasi dan perkembangan dari pernapasan yang dangkal akan
meningkatkan CO2; dan terakhir yaitu perubahan kontrol dari ventilasi
(contohnya yaitu hiperkapnia kronik, yaitu terjadi penurunan dorongan
ventilasi dengan peningkatan ambang toleransi terhadap CO2, atau pada
alkalosis metabolik). Adapun hipoksemia terjadi akibat mekanisme
patofisologi seperti:9
a. Hipoventilasi
b. Gangguan pada difusi udara
c. Kegagalan pertukaran udara
d. Shunt pulmonal

2.3 Etiologi

Gambar 6. Beberapa kemungkinan defek yang berkontribusi terhadap


kegagalan respirasi. Sinyal pernapasan berasal dari pusat respirasi dan
dikirim oleh sel saraf melalui myoneural junction oleh otot respirasi
(misalnya pada diafragma). Fungsi respirasi juga bergantung pada
integritas jalur napas, struktur paru, dan pembuluh darah pada paru.10
Sesak napas secara primer dapat berasal dari sistem respirasi dengan hamper
90% kasus disebabkan akibat asma, gagal jantung, iskemia miokard, penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia dan gangguan psikogenik. Berikut
etiologi yang mungkin dari sesak napas.10
Gambar 7. Etiologi Sesak Napas Berdasarkan Kasus yang Sering Dijumpai10
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa sesak napas juga dapat
disebabkan oleh beberapa sebab fisiologis sebagai berikut.

Gambar 8. Contoh kondisi dan penyebab sesak akibat mekanisme fisiologis.6


Adapun gagal napas merupakan kondisi yang disebabkan kegagalan
oksigenasi, pembuangan karbon dioksida atau keduanya. Gagal napas terjadi bila
tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbon
dioksida (PaCO2)> 50mmHg. Gagal napas merupakan suatu sindrom dimana
sistem respirasi gagal untuk melakukan pertukaran gas yaitu oksigenasi dan
pengeluaran karbondioksida. Gagal napas dapat terjadi secara akut atau kronis.
Gagal napas akut adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa dimana analisa gas
darah arterial dan status asam basa berada dalam batas yang membahayakan.
Gagal napas kronik terjadi secara perlahan dan gejalanya kurang jelas.12
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan
komponen sistem pernapasan yaitu:13
1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP)
Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP
dapat mendepresi dorongan untuk bernapas. Hal ini dapat menyebabkan
gagal napas hipoksemi atau hiperkapni yang akut maupun kronis.
Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak, overdosis
narkotik atau sedatif, gangguan metabolik seperti miksedema atau alkalosis
metabolik kronis.13
2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada
Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga
tingkat ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO 2. Dapat meyebabkan
hipoksemi dan hiperkapni. Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot,
miastenia gravis, kiposkoliosis berat dan obesitas.13
3. Abnormalitas jalan napas
Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum hiperkapni
akut dan kronis. Contohnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit
paru obstruktif kronis, asma dan kistik fibrosis.13
4. Abnormalitas alveoli
Penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi
hiperkapni dapat terjadi. Contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik
dan nonkardiogenik, pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang masif.
Gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan peningkatan
kerja pernapasan.13
5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi)13
a. Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)

b. Pneumonia

c. Edema pulmoner
d. Asma

e. Pneumothorak

f. Emboli paru

g. Hipertensi arteri pulmoner

h. Pneumokoniosis

i. Penyakit paru granuloma

j. Penyakit jantung kongenital sianosis

k. Bronkiekstasi

l. Sindrom distres pernapasan akut

m. Sindrom emboli lemak

n. Kiposkoliosis

o. Obesitas
6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni)13
a. Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)
b. Asma yang berat
c. Overdosis obat
d. Keracunan
e. Miastenia gravis
f. Polineuropati
g. Kelainan otot primer
h. Porphiria
i. Kordotomi servikal
j. Trauma kepala dan servikal
k. Hipoventilasi alveolar primer
l. Sindrom hipoventilasi pada obesitas
m. Edema pulmoner
n. Sindrom distres pernapasan akut
o. Miksedema
p. Tetanus
Gagal napas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun
ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran napas
bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar.
Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat napas, neuromuskular,
pleura maupun saluran napas atas.13

Gambar 9. Beberapa penyebab gagal napas14


2.4 Manajemen Kegawatdaruratan
2.4.1 Primary Survey
Pasien datang dengan gawat darurat respirasi akan datang dengan
gagal napas dan distress pernapasan. Pasien dengan distress napas masih
memiliki kemampuan unruk mengkompensasi efek dari penyakitnya dan
tatalaksana secara cepat dapat mencegah untuk terjadinya perburukan.
Tanda dan gejala yang muncul mengindikasikan peningkatan usaha
pernapasan namun hasil temuan yang menunjukkan efek sistemik dari
hipoksia atau hiperkapnia akan terbatas atau tidak ada. Pada pasien dengan
gagal napas memiliki bukti adanya keterbatasan dalam usaha pernapasan
sehingga menjadi kelelahan untuk dikompensasi. Efek sistemik berupa
hipoksia dan hiperkapnia akan ditemukan dan tatalaksana segera sangat
diperlukan untuk mencegah henti jantung.11
Gambar 10. Pengenalan primary survey positif pada pasien sesak11

Gambar 11. Kriteria diagnosis primary survey negatif pada pasien yang
memerlukan perawatan rumah sakit11

2.4.2 Secondary Survey


Sistem yang dilakukan untuk pendekatan dalam survey sekunder
yaitu melalui sistem SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Planning).
Pada pasien dengan primary survey positif, maka secondary survey bisa
tidak dipenuhi pada fase sebelum rumah sakit dikarenakan fokus utama
yaitu menangani masalah yang mengancam jiwa. Untuk pasien dengan
primary survey negative, maka memerlukan secondary survey yang dapat
dilakukan selama transportasi pasien.11

Gambar 12. Survey sekunder pada pasien sesak11


a. Subjective
Pasien akan datang dengan keluhan utama berupa sesak, bias juga
merupakan gejala pada kondisi dari sistem yang mengalami gangguan selain
gangguan pada dada, misalnya akibat hypovolemia berhubungan dengan
perdarahan. Perlu diperhatikan gejala yang berhubungan dengan keadaan
sesak, misalnya nyeri dada, batuk, produksi sputum, berdebar, demam,
malaise, bengkak pada kaki. Dapat ditanyakan mengenai gejala sesak ini
termasuk masalah baru (akut) atau perburukan dari kondisi kronis, serta
mengenai hal yang dapat memicu atau memperparah sesak. Untuk riwayat
penyakit sebelumnya dapat ditanyakan apakah pasien pernah dirawat dengan
kondisi serupa atau dengan riwayat pengobatan terdahulu, serta riwayat
keluarga yang memiliki gangguan sesak seperti yang dialami. Mengenai
faktor risiko dapat ditanyakan pula mengenai riwayat merokok,
penyalahgunaan obat-obatan atau minuman beralkohol.11

b. Objective
Tanda Vital

Gambar 13. Pemeriksaan tanda vital pada pasien sesak11


Status Generalis
Pada pemeriksaan sistem respirasi, secara umum perhatikan produksi
sputum pasien. Apabila berwarna kuning, hijau atau coklat menandakan
adanya infeksi pada paru. Sputum putih atau biasa bercampur dengan warna
merah muda juga dapat dicurigai adanya edema pulmonal.11
Saat inspeksi, perlu diperhatikan warna kulit pasien; tanda dari
peningkatan tekanan vena jugular; cara pasien bernapas, misalnya dengan
cara bibir mencucu (pursed lips breathing) atau dengan menggunakan otot
aksesorius; tanda dari retensi CO2 (tangan tremor, wajah kemerahan,
penurunan tingkat kesadaran); ekspansi dada misalnya sama antara kiri dan
kanan, atau terdapat hiperinflasi; terdapatnya bekas luka dari operasi; atau
deformitas dari dinding dada.11
Palpasi dada dapat dilakukan untuk melihat kesamaan saat gerakan,
serta memeriksa krepitasi pada dinding dada atau emfisema. Saat dilakukan
palpasi juga harus diperhatikan adanya nyeri, baik itu dipengaruhi oleh
posisi atau diperburuk dengan inspirasi. Palpasi juga dapat digunakan untuk
memeriksa fremitus taktil.11
Perkusi dilakukan pada dada anterior maupun posterior secara
bilateral pada bagian atas, tengah dan bawah. Diperhatikan apakah perkusi
dalam batas normal, tumpul atau hiper-resonan. Auskultasi dilakukan pada
lokasi yang sama dan diperhatikan pernapasan bronkial, wheezing atau
rhonki.11
Gambar 14. Penemuan bermakna pada pemeriksaan fisik pasien
sesak11

2.5 Tatalaksana
Jika tidak memungkinkan untuk mempertahankan jalur napas, dan apabila
kondisi pasien menurun secara cepat, atau pasien menunjukkan tanda kegagalan
napas yang signifikan (ditandai dengan kegagalan mempertahankan SpO 2 dengan
konsentrasi oksigen tinggi).11
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan
yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan
nonspesifik adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki
pertukaran gas paru, sedangkan pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi
penyebabnya. 15

Pengobatan non spesifik diantaranya dengan terapi oksigen, yaitu


memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran pernafasan
dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. Terapi oksigen adalah pemberian
oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari yang ditemukan dalam atmosfir
lingkungan. Pada ketinggian air laut konsentrasi oksigen dalam ruangan adalah 21
%,9 Sejalan dengan hal tersebut diatas menurut Titin, 2007, Terapi oksigen adalah
suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada inspirasi, yang
dapat dilakukan dengan cara16
a. Meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2 (Orthobarik ).
b. Meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik).
Berikut ini jenis alat alat terapi oksigen beserta fraksi oksigen inspirasi dan
aliran oksigen yang dapat diberikan. 16
Gambar 15. Alat terapi oksigen beserta kecepatan aliran dan persentase
oksigen yang diberikan.16
Sedangkan untuk memilih alat yang digunakan berdasarkan nilai oksimetri
adalah dengan panduan sebagai berikut. 16

Gambar 16. Nilai oksimetri dan pilihan alat suplementasi yang diberikan. 16
Berikut ini macam macam ke unrungan dan kerugian penggunaan alat
pemberian oksigen. 16
a. Sistem aliran rendah
Sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan,
bekerja dengan memberikan oksigen pada frekuensi aliran kurang dari
volume inspirasi pasien, sisa volume ditarik dari udara ruangan. Karena
oksigen ini bercampur dengan udara ruangan, maka FiO2 aktual yang
diberikan pada pasien tidak diketahui, menghasilkan FiO2 yang bervariasi
tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal klien. Alat
oksigen aliran rendah cocok untuk pasien stabil dengan pola nafas, frekuensi
dan volume ventilasi normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml
dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit. 16
1) Low Flow Low Concentration
a) Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan
oksigen secara kontinyu dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan
konsentrasi 24% - 44%. Prosedur pemasangan kateter ini meliputi
insersi kateter oksigen ke dalam hidung sampai naso faring.
Persentase oksigen yang mencapai paru-paru beragam sesuai
kedalaman dan frekuensi pernafasan, terutama jika mukosa nasal
membengkak16
Keuntungannnya yaitu pemberian oksigen stabil, klien bebas
bergerak, makan dan berbicara, dan membersihkan mulut, murah dan
nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Dapat
digunakan dalam jangka waktu yang lama.16
Kerugiannya yaitu tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen
yang lebih dari 44%, tehnik memasukan kateter nasal lebih sulit dari
pada kanula nasal, nyeri saat kateter melewati nasofaring, dan mukosa
nasal akan mengalami trauma, fiksasi kateter akan memberi tekanan
pada nostril, maka kateter harus diganti tiap 8 jam dan diinsersi
kedalam nostril lain, dapat terjadi distensi lambung, terjadi iritasi
selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 liter/mnt dapat
menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, serta
kateter mudah tersumbat dan tertekuk. 16
b) Kanul Nasal/ Kanul Binasal/ Nasal Prong
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan
oksigen kontinyu dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan konsentrasi
oksigen sama dengan kateter nasal yaitu 24 % - 44 %. Persentase O2
pasti tergantung ventilasi per menit pasien. Pada pemberian oksigen
dengan nasal kanula jalan nafas harus paten, dapat digunakan pada
pasien dengan pernafasan mulut. 16
Keuntungan nasal kanul yaitu pemberian oksigen stabil dengan
volume tidal dan laju pernafasan teratur, pemasangannya mudah
dibandingkan kateter nasal, murah, disposibel, klien bebas makan,
minum, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan terasa
nyaman. Dapat digunakan pada pasien dengan pernafasan mulut, bila
pasien bernapas melalui mulut, menyebabkan udara masuk pada
waktu inhalasi dan akan mempunyai efek venturi pada bagian
belakang faring sehingga menyebabkan oksigen yang diberikan
melalui kanula hidung terhirup melalui hidung. 16
Kerugian nasal kanul antara lain tidak dapat memberikan
konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai oksigen berkurang bila
klien bernafas melalui mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul
hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada pasien dengan obstruksi
nasal. Kecepatan aliran lebih dari 4 liter/menit jarang digunakan,
sebab pemberian flow rate yang lebih dari 4 liter tidak akan
menambah FiO2, bahkan hanya pemborosan oksigen dan
menyebabkan mukosa kering dan mengiritasi selaput lendir. Dapat
menyebabkan kerusakan kulit diatas telinga dan di hidung akibat
pemasangan yang terlalu ketat. 16
2) Low Flow High Concentration
a) Sungkup Muka Sederhana
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai sedang.
Merupakan alat pemberian oksigen jangka pendek, kontinyu atau
selang seling. Aliran 5 – 8 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen 40 –
60%. Masker ini kontra indikasi pada pasien dengan retensi
karbondioksida karena akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak
boleh kurang dari 5 liter/menit untuk mendorong CO2 keluar dari
masker. 16
Keuntungan sungkup muka sederhana yaitu konsentrasi oksigen
yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang
besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol. 16
Kerugian sungkup muka sederhana yaitu tidak dapat
memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila
pasien mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan
kulit dapat menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang
dapat disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan
kenyamanan. 16
b) Sungkup Muka dengan Kantong Rebreathing
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu
35 – 60% dengan aliran 6 – 15 liter/mnt , serta dapat meningkatkan
nilai PaCO2. Udara ekspirasi sebagian tercampur dengan udara
inspirasi, sesuai dengan aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi
dan hampir menguncup waktu inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien
isi O2 ke dalam kantong dengan cara menutup lubang antara kantong
dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir. Memasang
kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali pengikat
untuk mencegah iritasi kulit. 16
Keuntungan sungkup muka kantong rebreathing yaitu
onsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir. Kerugian sungkup muka kantong
rebreathing yaitu tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah,
kantong oksigen bisa terlipat atau terputar atau mengempes, apabila
ini terjadi dan aliran yang rendah dapat menyebabkan pasien akan
menghirup sejumlah besar karbondioksida. Pasien tidak
memungkinkan makan minum atau batuk dan menyekap, bisa terjadi
aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel pengikat. 16
c) Sungkup Muka dengan Kantong Non Rebreathing
Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen yang
tinggi mencapai 90 % dengan aliran 6 – 15 liter/mnt. Pada prinsipnya
udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi, udara
ekspirasi dikeluarkan langsung ke atmosfer melalui satu atau lebih
katup, sehingga dalam kantong konsentrasi oksigen menjadi tinggi.
Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara
menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian
kantong reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan
sungkup dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit. Kantong tidak
akan pernah kempes dengan total. Perawat harus menjaga agar semua
diafragma karet harus pada tempatnya. 12
Keuntungan sungkup muka kantong non rebreathing yaitu
konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapi 90%, tidak
mengeringkan selaput lendir. Kerugian sungkup muka kantong non
rebreathing yaitu tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah.
Kantong oksigen bisa terlipat atau terputar, menyekap, perlu segel
pengikat, dan tidak memungkinkan makan, minum atau batuk, bisa
terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama pada pasien tidak sadar
dan anak-anak. 16
b. Sistem aliran tinggi
Memberikan aliran dengan frekuensi cukup tinggi untuk
memberikan 2 atau 3 kali volume inspirasi pasien. Alat ini cocok untuk
pasien dengan pola nafas pendek dan pasien dengan PPOK yang
mengalami hipoksia karena ventilator. Suatu teknik pemberian oksigen
dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan,
sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi oksigen
yang lebih tepat dan teratur. 16
1) Sungkup Muka Dengan Venturi / Masker
Venturi (High Flow Low Concentration).
Merupakan metode yang paling akurat dan dapat diandalkan
untuk konsentrasi yang tepat melalui cara non invasif. Masker dibuat
sedemikian rupa sehingga memungkinkan aliran udara ruangan
bercampur dengan aliran oksigen yang telah ditetapkan. Masker
venturi menerapkan prinsip entrainmen udara (menjebak udara seperti
vakum), yang memberikan aliran udara yang tinggi dengan pengayaan
oksigen terkontrol. Kelebihan gas keluar masker melalui cuff
perforasi, membawa gas tersebut bersama karbondioksida yang
dihembuskan. Metode ini memungkinkan konsentrasi oksigen yang
konstan untuk dihirup yang tidak tergantung pada kedalaman dan
kecepatan pernafasan.Diberikan pada pasien hyperkarbia kronik
( CO2 yang tinggi ) seperti PPOK yang terutama tergantung pada
kendali hipoksia untuk bernafas, dan pada pasien hypoksemia sedang
sampai berat. 16
FiO2 estimation pada venturi mask merk Hudson berdasarkan
warna dan flows ( liter/menit ) FiO2 ( % ) antara lain:
a) Biru : 2 : 24
b) Putih : 4 : 28
c) Orange : 6 : 31
d) Kuning : 8 : 35
e) Merah : 10 : 40
f) Hijau : 15 : 60
Adapun berikut keuntungan venturi mask:16
a) Konsentrasi oksigen yang diberikan konstan / tepat sesuai
dengan petunjuk pada alat.
b) FiO2 tidak dipengaruhi oleh pola ventilasi, serta dapat diukur
dengan O2 analiser.
c) Temperatur dan kelembaban gas dapat dikontrol.
d) Tidak terjadi penumpukan CO2.
Adapun berikut kerugian dari venturi mask16
a) Harus diikat dengan kencang untuk mencegah oksigen mengalir
kedalam mata.
b) Tidak memungkinkan makan atau batuk, masker harus
dilepaskan bila pasien makan, minum, atau minum obat.
c) Bila humidifikasi ditambahkan gunakan udara tekan sehingga
tidak mengganggu konsentrasi O2.
2) Bag and Mask / resuscitator manual16
Digunakan pada pasien :
a) Cardiac arrest
b) Respiratory failure
c) Sebelum, selama dan sesudah suction Gas flows 12 – 15 liter,
selama resusitasi buatan, hiperinflasi / bagging, kantong resusitasi
dengan reservoir harus digunakan untuk memberikan konsentrasi
oksigen 74 % - 100 %. Dianjurkan selang yang bengkok tidak
digunakan sebagai reservoir untuk kantong ventilasi. Kantong 2.5
liter dengan kecepatan 15 liter/menit telah ditunjukkan untuk
pemberian oksigen yang konsisten dengan konsentrasi 95 % - 100
%. Penggunaan kantong reservoar 2.5 liter juga memberikan
jaminan visual bahwa aliran oksigen utuh dan kantong menerima
oksigen tambahan. Pengetahuan tentang kantong dan
keterampilan penggunaan adalah vital :
d) Kekuatan pemijatan menentukan volume tidal ( VT ).
e) Jumlah pijatan permenit menentukan frekuensi
f) Kekuatan dan frekuensi menentukan aliran puncak.
Hal – hal yang harus diperhatikan antara lain:
a) Observasi dada pasien untuk menentukan kantong bekerja dengan
baik dan apakah terjadi distensi abdomen.
b) Kemudahan / tahanan saat pemompaan mengindikasikan
komplain paru.Risiko terjadinya peningkatan sekresi,
pneumothorak, hemothorak, atau spasme bronkus yang
memburuk.
Syarat – syarat resusitator manual16 :
a) Kemampuan kantong untuk memberikan oksigen 100 % pada
kondisi akut.
b) Masker bila dibutuhkan harus transparan untuk memudahkan
observasi terhadap muntah / darah yang dapat mengakibatkan
aspirasi.
c) Sistem katup yang berfungsi tanpa gangguan pada kondisi akut.
d) Pembersihan dan pendauran ketahanan kantong.
Salah satu resiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen. Hal
ini dapat terjadi bila oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50%
terus-menerus selama 1-2 hari. Kerusakan jaringan paru terjadi akibat
terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel PMN dan H 2O2
melepaskan enzim proteolotikdan enzim lisosom yang dapat merusak
alveoli. Sedangkan resiko yang lain seperti retensi gas karbondioksida
dan atelektasis. 16
Oksigen 100% menimbulkan efek toksik, tidak saja pada hewan,
namun juga pada bakteri, jamur, biakan sel hewam dan tanaman.
Apabila O2 80-100% diberikan kepada manusia selama 8 jam atau
lebih, saluran pernafasan akan teriritasi, menimbulkan distres
substernal, kongesti hidung, nyeri tenggorokan dan batuk. Pemajanan
selama 24-48 jam mengakibatkan kerusakan jaringan paru. 16
Sejumlah bayi dengan sindroma gawat nafas yang diterapi
dengan O2, selanjutnya mengalami gangguan menahun yang ditandai
dengan kista dan pemadatan jaringan paru (displasia
bronkopulmonal). Komplikasi lain pada bayi-bayi ini adalah retinopti
prematuritas (fibroplkasia retrolental), yaitu pembentukan jaringan
vaskuler opak pada mata yang dapat mengakibatkan kelainan
penglihatan berat. Pemberian O2 100% pada tekanan yang lebih tinggi
berakibat tidak hanya iritasi trakeobronkial, tetapi juga kedutan otot,
bunyi berdering dalam telinga, rasa pening, kejang dan koma. Pajanan
terhadap O2 tekanan tinggi (oksigenasi hiperbarik) dapat menghasilkan
peningkatan jumlah O2 terlarut dalam darah. Oksigen bukan zat
pembakar tetapi dapat memudahkan terjadinya kebakaran, oleh karena
itu klein dengan terapi pemberian oksigen harus menghindari :
Merokok, membuka alat listrik dalam area sumber oksigen,
menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”. 16

Selain pemberian terapi oksigen, perlu diperhatikan pula dalam


pemeliharaan jalur napas, misalnya pada keadaan yang terganggu maka dapat
dilakukan pembukaan jalur napas baik dengan cara manual maupun dengan alat
bantu.16
1. Pembukaan jalan napas secara manual
Teknik dasar pembukaan jalan napas atas adalah dengan mengangkat
kepala dan mendorong rahang bawah ke depan atau disebut angkat kepala-
angkat dagu (head tilt-chin lift). Teknik dasar ini akan efektif bila obstruksi
jalan napas disebabkan oleh lidah atau relaksasiotot pada jalan napas atas. 16
Bila pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera leher,
dilakukan penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Karena mengelola
jalan napas yang terbuka dan memberikan ventilasi merupakan prioritas,
maka gunakan dorong kepala tarik dagu bila penarikan rahang saja tidak
membuka jalan napas. 16

Gambar 17. Pembukaan jalan napas manual16


2. Pembukaan jalan napas dengan alat bantu
a. Alat bantu jalan napas
orofaring (OPA)
Alat bantu jalan napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak
sadar bila angkat kepala-angkat dagu tidak berhasil mempertahankan jalan
napas atas terbuka. AIat ini tidak boleh digunakan pada pasien sadar atau
setengah sadar karena dapat menyebabkan batuk dan muntah. Sehingga
dapat menstimulasiterjadinya muntah dan laringospasme. 16
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA:
a) Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
b) Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
c) Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya
trauma jaringan lunak pada bibir dan lidah.

Gambar 18. Oropharyngeal airway16

b. Alat bantu jalan napas


nasofaring (NPA)
Alat bantu jalan napas nasofaring dapat digunakan pada pasien yang
sadar atau setengah sadar, jadi pasien yang masih mempunyai refleks batuk
dan muntah. Alat ini berbentuk pipa dari plastik yang lembut dan tidak
berbalon yang berfungsi sebagai jalan aliran udara antara lubang hidung dan
faring. Indikasi lain penggunaan NPA adalah bila ditemui kesulitan pada
penggunaan OPA seperti adanya trauma di sekitar mulut atau trismus. 16
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemasangan NPA: 16
a) Usahakan memasukkan NPA dengan lembut untuk menghindari
terjadinya komplikasi. NPA dapat mengiritasi mukosa atau
merobek jaringan adenoid dan menyebabkan pendarahan,
dengan kemungkinan terjadinya aspirasi gumpalan ke trakea.
Penyedotan dapat dilakukan untuk mengeluarkan darah dan
sekret.
b) NPA dengan ukuran yang tidak tepat dapat masuk ke dalam
esofagus. Sehingga bila dilakukan ventilasi tekanan positif dapat
menyebabkan terjadinya pengembangan lambung dan
kemungkinan hipoventilasi.
c) NPA dapat menyebabkan laringospasme dan muntah, walaupun
secara umum NPAdapat ditoleransi oleh pasien dalam keadaan
setengah sadar.
d) NPA tidak boleh dipasang pada pasien yang mengalami trauma
wajah karena adanya risiko tefladinya penempatan yang salah ke
dalam rongga tengkorak melalui lapisan cribiformis yang
mengalami fraktur.

Gambar 19. Nasopharyngeal airway (NPA)16

3. Pemberian ventilasi manual

Gambar 20. Pemberian ventilasi manual16


Alat ventilasi kantong napas-sungkup muka terdiri dari sebuah
kantong ventilasi (yang selalu mengembang) yang di dalamnya berisi udara
kamar atau Oz melekat pada sebuah sungkup muka wajah dan katup satu
arah (non-rebreathing). Selain dengan sungkup muka, kantong ventilasi bisa
dihubungkan dengan alat bantu jalan napas seperti pipa endotrakea, sungkup
laring, dan pipa esofagotrakea. Peralatan initelah menjadisuatu peralatan
utama selama beberapa dekade yang digunakan untuk ventilasi tekanan
positif dalam keadaan darurat. 16
Indikasi penggunaan arat ventirasi kantong napas-sungkup muka
adalah: 16
a) Henti napas .
b) Napas spontan tidak adekuat
c) Mengurangi kerja napas dengan membantu memberikan tekanan
positif pada saat inspirasipasien
4. Pemberian Ventilasi Dengan Alat Bantu Jalan Napas Tingkat Lanjut
a. lntubasi endotrakea
lntubasi endotrakea adalah proses memasukkan pipa endotrakea ke
dalam trakea pasien. Bila pipa dimasukkan melalui mulut disebut intubasi
orotrakea, bila melalui hidung disebut intubasi nasotrakea. Intubasi di dalam
trakea ini termasuk dalam tata laksana jalan napas tingkat lanjut. Tenaga
kesehatan terlatih yang boleh melakukan intubasi endotrakea. 16
Berikut merupakan indikasi intubasi endotrakea: 16
a) Ventilasi tekanan postif dengan kantong napas-sungkup muka yang
tidak memungkinkan atau tidak efektif pada hentijantung.
b) Pasien gagal napas, hipoksia hipoksemia yang memerlukan oksigen
aliran tinggi yang gagal dengan alat alat ventilasi yang tidak invasif.
c) Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas sendiri misalnya
pasien koma.

b. Penekanan krikoid (Perasat Sellick)


Maksud dari penekanan tulang rawan krikoid adalah untuk mencegah
aspirasi regurgitasi isi lambung ke dalam paru dan membantu visualisasi
orifisium trakea. Penekanan dilakukan sampai pipa endotrakea masuk, balon
pipa dikembangkan dan posisi pipa dipastikan tepat. 16
BAB III
KESIMPULAN

Sesak napas atau yang dikenal dengan dyspnea merupakan pengalaman


‘subjektif’ dari ketidaknnyamanan saat bernapas yang terdiri dari sesnsasi
kualitiatif yang berbeda dan bervariasi dalam intensitasnya serta dapat bersifat
akut maupun kronik. Sesak napas dapat disebabkan oleh gangguan yang berasal
dari jantung, paru atau sistem organ lainnya, atau oleh karena sebab fisiologis.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui penyebab dari gejala sesak
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menegakkan
diagnosis. Apalabila sesak tidak ditangani dengan sesuai dapat memicu terjadinya
gagal napas.
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan
menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Penatalaksanaan
pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan penyakit
yang mendasari gagal nafas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Niska R, Bhuiya F, Xu J. National hospital ambulatory medical care survey:


2007 emergency department summary. Natl Health Stat Report.
2010;26(26):1–31.
2. Langlo NM, Orvik AB, Dale J, Uleberg O, Bjørnsen LP. The acute sick and
injured patients: an overview of the emergency department patient
population at a Norwegian University Hospital Emergency Department. Eur
J Emerg Med. 2014;21(3):175–80.
3. Kelly AM, Keijzers G, Klim S, Graham CA, Craig S, Kuan WS, et al. An
Observational Study of Dyspnoea in Emergency Departments: The Asia,
Australia, and New Zealand Dyspnoea in Emergency Departments Study.
Acad Emerg Med. 2017;24(3):328-336.
4. Coccia CBI, Palkowski GH, Schweitzer B, Motsohi T, Ntsui NAB.
Dyspnoea: Patophysiology and A Clinical Approach. SAMJ. 2016; 1(106):
32-6.
5. Guttikonda SNR, Vadapalli K. Approach to Undifferentiated Dyspnea in
Emergency Department: Aids in Rapid Clinical Decision-Making.
International Journal of Emergency Medicine. 2018; 11: 21.
6. Parshall, et al. An Official American Thoracic Society Statement: Update on
the Mechanisms, Assessment, and Management of Dyspnea. American
Journal of Respiratoory and Critical Care Medicine. 2012; 185: 435-50.
7. Scala R, Heunks L. Highlights in Acute Respiratory Failure. Eur Respir
Rev. 2018; 27: 180008.
8. Burki NK. Mechanism of Dyspnea. CHEST 2010; 138(5):1196–1201
9. Forte P, et al. Approach to Respiratory Failure in Emergency Department.
European Review for Medical and Pharmacological Sciences Journal. 2006;
10:135-51.
10. Mason R, Broaddus V, Murray J, Nadel J, eds. Murray & Nadel’s Textbook
of Respiratory Medicine. 4th edition. Amsterdam, The Netherlands: Elsevier
Health Sciences; 2005. Chapters 85 and 86.
11. Woollard M, Greaves I. 4 Shortness of Breath. Emergency Med J. 2004; 21:
341-350.
12. Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2009.
13. Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine. 2012;40(6):293–7.
14. Nee PA, Al-Jubouri MA, Gray AJ, O’Donnell C, Strong D. Critical Care in
The Emergency Department: Acute Respiratory Failure. Emerg Med J.
2011; 28: 94-7.
15. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and pathophysiologic
aspects of respiratory failure. Principles of pulmonary medicine. 6 ed.
Piladelphia: Elsevier; 2014.
16. Kosasih A, Sugiman T. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular lndonesia ( PERKI ); 2016.

Anda mungkin juga menyukai