Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PBL

BLOK KEDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI

MODUL GAGAL NAPAS

TUTOR: dr. Sri Julyani, M.Kes, Sp.PK


KELOMPOK 9

Arafah 110 2014 0008


Fifi Alfiah 110 2014 0020
Nadrah Zuhriah Amri 110 2014 0030
Rahmifah Putri Pratiwi 110 2014 0040
Muh. Isyraqi 110 2014 0054
Muh. Reza Raka Putra 110 2014 0064
Khusnul Yaqien 110 2014 0081
Ade Novita Sam 110 2014 0093
Fenny Putriana Salim 110 2014 0106
Nurul Maulidiyani 110 2014 0116
Try Adi As’ad 110 2014 0122

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017

1
I. SKENARIO
Seorang Laki-laki usia 50 tahun dibawah ke Unit Gawat Darurat RS dengan keluhan
batuk dan sesak napas dialami sejak 3 hari lalu. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 110 x/menit, pernapasan 25x/menit, temperature
39oC disertai dengan sputum coklat tua. Setelah 2 hari perawatan di RS, pasien
memburuk dengan sesak napas hebat hingga sianosis.
II. KLARIFIKASI KATA SULIT
Tidak ditemukan kata sulit
III. KATA/KALIMAT KUNCI
a. Seorang Laki-laki usia 50 tahun dibawah ke Unit Gawat Darurat RS
b. Batuk dan sesak napas dialami sejak 3 hari lalu
c. Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 110 x/menit,
pernapasan 25x/menit, temperature 39oC disertai dengan sputum coklat tua.
d. Setelah 2 hari perawatan di RS, pasien memburuk dengan sesak napas hebat hingga
sianosis.
IV. PERTANYAAN PENTING
1. Bagaimana patomekanisme gagal napas pada skenario?
2. Jelaskan pembagian keadaan yang menyebabkan gagal napas !
3. Bagaimana cara dan teknik tindakan pertama pada pasien gagal naps?
4. Bagaimana tindakan lanjutan pada scenario apabila terjadi kegagalan pada tindakan
awal?
5. Bagaimana cara penggunaan obat-obat darurat ?
6. Jelaskan komplikasi yang bisa terjadi pada saat tindakan pertama!
7. Bagaimana syarat melakukan transportasi dan rujukan?

V. JAWABAN PERTANYAAN
1. Bagaimana patomekanisme gagal napas pada scenario?
Jawab:
Gagal napas dapat disebabkan baik oleh trauma maupun non-trauma. Pada
scenario, pasien mengalami gagal napas akibat non-trauma. Gagal napas non-trauma
dapat disebabkan oleh penyakit infeksi, gangguan pulmonal, dan gangguan

2
cardiovascular. Dikatakan dalam skenario, bahwa pasien mengalami sesak napas
disertai batuk, sputum berwarna coklat, dan demam. Hal tersebut dapat mengarah
kepada penyakit infeksi pada saluran pernapasan seperti pneumonia.1,2
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikoorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya
bakteri di paru merupakan akibat ketidak seimbangann antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak..
Ketika masuk ke dalam alveoli, bakteri melakukan perjalanan diantara ruang antar
sel dan juga diantara alveoli. Dengan adanya hal tersebut, sistem imun melakukan
respon dengan cara mengirim sel darah putih untuk melindungi paru-paru. Sel darah
putih (neutrofil) kemudian menelan dan membunuh organisme tersebut serta
mengeluarkan sitokin yang merupakan hasil dari aktivitas sistem imun itu.1,2
Adanya infeksi bakteri menyebabkan berkurangnya alveoli fungsional, sehingga
menurunkan difusi O2 di paru dan di jaringan yang pada akhirnya akan menurunkan
pula difusi O2 di otak. Hal tersebut memicu aktifasi dari kemoreseptor central dan
diteruskan ke pusat pernafasan yang ada di batang otak. Sebagai bentuk kompensasi,
tubuh akan meningkatkan respiratory rate yang akan dihasilkan sebagai sesak napas
dan apabila tidak teratasi dapat menyebabkan gagal napas.1,2

2. Jelaskan pembagian keadaan yang menyebabkan gagal napas!


Jawab:
Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas O2 dan
CO2 serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Secara praktis,
gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 < 60 mmHg atau PaCO2 > 50 mmHg. Gagal
napas akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal napas akut hipoksemia (gagal
napas tipe I) dan gagal napas akut hiperkapnia (gagal napas tipe II).3,4
1) Gagal Napas Tipe I (kegagalan oksigenasi, hipoksemia arteri)
Tekanaan parsial O2 dalam arteri mencerminkan : a) tekanan aprsial O2, b)
ventilasi semenit, c) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler
paru, d) saturasi O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru
(dipengaruhi metabolism jaringan dan cardiac output), e) difusi melalui
membrane alveola, dan f) ventilation-perfusion matching. 3,4

3
Gagal napas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal
rendah. Mungkin hal ini disebbakan oleh setiap kelainan yang menyebabkan
rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang
ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mmHg saat
menghirup udara ruanagan), peningkatan perbedaan PaO2- PaO2 , venous
admixture dan Vd/VT.
Penyebab gagal napas tipe 1 (kegagalan oksigenase):3,4
 Adult Respiratory Distrees Syndrom (ARDS)
 Asthma
 Edem Paru
 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
 Fibrosis intertisisal
 Pneumonia
 Emboli Paru
 Pneumotoraks
 Hipertensi Pulmonal
2) Gagal Napas Tipe II (kegagalan ventilasi: arterial hiperkapnea)3,4
Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efisisensi mekanisme ventilasi yang
membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal napas
tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan Central Respiratory
drive, mempengaruhi transmisi sinyal dari CNS , atau hambatan kemampuan otot-
otot respirasi untuk menegmbangkan paru dan dingding dada. Gagal napas Tipe II
ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46
mmHg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PaO2 - PaO2 masih tetap tidka
berubah.
Penyebab gagal napas tipe II: 3,4
a) Kelainan yang mengenai Central Ventilatory Drive, yang merupakan sebuah
control pernapasan atau penggerak pernapasan yang terletak di medulla batang
otak.
 Infark atau perdarahan otak

4
 Penekanan masa supratentorial pada batang otak
 Overdosis obat, narkotik,Benzodiazepine, agen anestesi, dll.
b) Kelainan yang mengenai transmisi sinyal ke otot-otot respirasi
 Myastania Gravis
 Amytropic lateral sclerosis
 Guillain Barre Syndrom
 Spinal Cord Injury
 Multiple Sclerosis
 Paralisis residual (pelumpuh otot)
c) Kelainan pada otot-otot pernapasan dan dingding dada
 Muscualr dystrophy
 Polymyositis
 Flail Chest
Gagal napas juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya trauma atau non
trauma.
a) Gagal napas akibat trauma, antara lain:
 Pneumotoraks, Hemotoraks, Hidropneumotoraks, Obtruksi benda asing, Flail
chest, infark atau perdarahan otak, penekanan masa supratentorial pada batang
otak
b) Gagal napas akibat non trauma, antara lain:
 Efusi, Asma, Pneumonia, Penyakit vascular, myastania gravis,Guillain
barre syndrome, muscular dystrophy, polymyositis, dan lain-lain.3,4

3. Bagaimana cara dan teknik tindakan pertama pada pasien gagal napas?
Jawab:
Primary survey
a. Airway
Pada pasien dengan gagal napas hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat
jalan napas apa terdapat sumbatan (benda asing) atau tidak. Beberapa kematian
karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway

5
yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur
posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Tehnik yang digunakan
dalam menilai jalan napas yaitu dengan tehnik look (lihat pergerakan dada), listen
(mendengar dari bunyi pernapasan), dan feel (merasakan ada pernapasan atau
tidak).5,6
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya gangguan jalan nafas., selain mengecek adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga
menutupi aliran udara kedalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi
bahaya yang mengancam airway.
Setelah menilai kesadaran, maka penolong harus dengan segera dapat menilai
fungsi jalan napas. Pada korban yang sadar dan dapat bersuara, jalan napas biasas
dikatakan bebas atau tidak ada gangguan. Pada korban yang tidak mengeluarkan
suara atau tidak sadar, maka penilaian jalan napas dapat dilakukan dengan : 5,6
 Look (lihat)
Melihat langsung ke rongga mulut ada atau tidaknyanya sumbatan pada jalan
napas.
 Listen (dengar)
Mendengarkan suara napas korban. Misalnya terdapat snoring atau gurgling.
 Feel (rasakan)
Merasakan dengan pipi atau punggung tangan adanya hembusan napas dari
korban.
 Sumbatan jalan napas
 Obstruksi total
Pada obstruksi total mungkin ditemukan penderita masih sadar atau dalam
keadaan tidak sadar. Pada obstruksi total yang akut, biasanya disebabkan
tertelannya benda asing yang lalu tersangkut dan menyumbat dipangkal laring
(tersedak). Bila obstruksi total timbul perlahan maka akan berawal dari
obstruksi parsial yang kemudian menjadi total.
 Bila penderita sadar

6
Penderita akan memegang leher dalam keadaan sangat gelisah. Sianosis
mungkin ditemukan dan mungkin ada kesan masih bernapas (walaupun tidak
ada ventilasi)
 Bila penderita tidak sadar
Tidak ada gejala apa-apa mungkin hanya sianosis saja. Pada saat melakukan
pernapasan buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan) terhadapa ventilasi.
Dalam keadaan ini harus ditentkan dengan cepat adanya obstruksi total dengan
sapuan jari ke dalam faring sampai di belakang epiglottis. 5,6
 Obstruksi parsial
Obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya penderitanya masih
bisa bernapas sehngga timbul berbagai macam suara, tergantung penyebabnya :
 Cairan (darah, secret, aspirasi lambung)
Timbul suara “gurgling”, suara bernapas bercampu suara cairan. Dalam keadaan
ini harus dilakukan pengisapan.
 Lidah jatuh kebelakang
Keadaan ini bisa terjadi karena tidak sadar atau patahnya rahang bilateral.
Timbul suara mengorok (Snoring) yang harus diatasi dengan perbaikan Airway,
secara manual atau dengan alat.
 Penyempitan di laring atau trakea
Dapat disebabkan udema karena berbagai hal ( luka bakar, radang, dsb) atapun
desakan neoplasma. Timbul suara “crowing” atau stridor respiratori. Keadaan ini
hanya dapat diatasi dengan perbaikan airway distal dari sumbatan, misalnya
dengan Trakeostomi. 5,6
 Penanganan jalan napas
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan membebaskan jalan
napas adalah sebagai berikut :
 Tanpa menggunakan alat
 Head tilt
Dengan menekan kepala (dahi) ke bawah maka jalan napas akan berada dalam
posisi yang lurus dan terbuka. Tindakan ini tidak dianjurkan lagi karena
besarnya pergerakan yang ditimbulkan pada servikal.

7
 Chin lift
Mengangkat dagu menggunakan jari dengan maksud lidah yang menyumbat
jalan napas dapat terangkat sehingga jalan napas terbuka. Jika dilakukan dengan
bener cara ini tidaka akan banyak menimbulkan gerakan pada servikal.
 Jaw thrust
Mendorong mandibulan (rahang) korban kea rah depan dengan maksud ynag
sama dengan chin lift. Mandibula diangkat ke atas oleh jari tengah di sudut
rahang (angulus mandibula), dorongan di dagu dilakukan dengan menggunakan
ibu jari, dan jari telunjuk sebagai penyeimbang di ramus mandibula. 5,6
 Dengan menggunakan alat
 Oropharyngeal airway
Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas dari sumbatan.
Oropharygeal Airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang
lidah.
 Finger swab
Teknik sapuan jari biasanya dilakukan pada penderita yang tidak sadar. Pada
tindakan ini, penolong menggunakan jarinya untuk membuang benda padat atau
cairan yang mengganggu jalan napas. Telebih dahulu mulut koban dibuka
dengan menggunakan maneuver chin lift atau jaw thrust, atau dapat pula
menggunakan finger cross-menyilangkan telunjuk dan ibu jari untuk membuka
mulut korban untuk mengeluarkan cairan, dapat dibantu dengan menggunakan
bahan yang mudah menyerap cairan. Jangan memasukkan jari terlampau dalam
karena bisa menimbulkan rangsangan muntah.
 Suction
Dapat dilakukan dengan kateter suction atau alat suction khusus seperti yang
dipakai di kamar operasi. Untuk cairan (darah, secret, dsb) dapat dipakai soft tip
tetapi unutk materi yang kental sebaiknya memakai tipe yang rigid. Di
lapangan, dapat dibuat suction sederhana menggunakan spuit 10cc atau lebih
besar dan selang kecil.
 Recovery position

8
Posisi ini dapat digunakan untuk membuang cairan dari rongga mulut atau jalan
napas. Jika cairan sulit keluar maka dapat dibantu dengan finger sweap.
Tindakan ini tidak dapat dilakukana pada korban dengan tanda adanya cedera
pada leher, tulang belakang, atau cedera lain yang dapat bertambah parah akibat
posisi ini. 5,6
b. Breathing
Setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali
terjadi pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat
pernafasan atau bisa juga penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera
kepala justru membuat pusat pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas.
Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan kematian. Sehingga kemampuan
dalm memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas kedua. 5,6

1. penilaian
- buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatkan kontrol
servical in line immobilisasi
- tentukan laju dalam pernapasan
- inspeksi dan palpasi leher dan thorak untuk kemungkinan defisiasi trakea,
kesimetrisan torak, pemakaian otot-otot tambahan dan cedera lain
- perkusi torak untuk menentukan redup atau hopersonor
- auskultasi toral bilateral
2. pengelolaan
- memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
- ventilasi dengan bag valve mask
- Menghilangkan tension pneumo thorak
- memasang pulse owymeter
3. evaluasi
c. Circulation
Jika ditemukan adanya perdarahan, segera lakukan upaya mengontrol
perdarahan itu dengan memberikan bebat tekan pada daerah luka. Pemberian

9
cairan melalui oral mungkin dapat dilakukan untuk mengganti hilangnya cairan
dari tubuh jika pasien dalam keadaan sadar. Perlu dipahami dalam tahap ini
adalah mengenal tanda-tanda kehilangan cairan sehingga antisipasi terhadap
kemungkinan terjadinya syock.
Setelah melakukan penangan pada system pernapasan, system sirkulasi dapat
segera dinilai dengan cara :
 Memeriksa denyut nadi ( radialis atau carotis )
Pada orang dewasa dan anak-anak, denyut nadi diraba padaarteri radialis dan
arteri caritis (medial dari M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi,
meraba denyut nadi adalah pada A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan
atas. Frekuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100 kali/menit.
Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100 kali/menit
disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit yang terlatih.
Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada
anak-anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi
merupakan tanda diagnostic yang buruk.
 Menilai warna kulit
 Meraba suhu akral dan kapilari refill
 Periksa perdarahan

Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian


terhadap adanya masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi oksigen
ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Pemeriksaan
sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan napas dan system
pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas, nadi radialis maupun nadi
carotis dapat pula teraba. Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan
bebat tekan. Cegah bertambahnya jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap
terjadinya shock. Penangana luka secara baik dilakukan setelah korban stabil. Jika
ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas
satu atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita akan ditemukan
dalam keadaan tidak sadar. Pada perabaan nadi tidak ditemukan arteri yang tidak

10
berdenyut, maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian
resusitasi jantung paru. 5,6

Terapi cairan dan elektrolit


Terapi cairan harus dikontrol dan dimonitor dan pemberian yang
berlebihan karena kebanyakan kasus gagal nafas selalu diikuti oleh edema paru
dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer
laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa
diberikan 2-3 L dalam 10 menit. 

Medikamentosa

 Stimulasi pernapasan dengan oksapram IV (1-4) mg/menit diberi untuk


memperbaiki cardiac output dan memperbaiki tekanan syok
 Bronkodilator (contohnya : theophylline kompoun), agen sympathomimetic
(albuterol, metaproterenol, isoproterenol), anticholinergic dan kortikosteroid
bila ada obtruksi jalan napas disebabkan oleh bronkokonstriksi dan disebabkan
oleh peningkatan inflamasi.
 Antibiotik untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi (sepsis) seperti
pneoumonia
 Medikasi lain
 Morphine (2,5-10 mg by mouth or 1-2 mg IV/subcutaneous every 1-4 hours) :
untuk mengurangi sensasi nafas pendek
Lorazepam (0,5-1,0) Sublingually untuk mengurangi kepenatasn ketika sesak
nafas.25

d. Disability
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran , serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
adalah metode AVPU.
A: Alert (sadar)
V: Verbal/Vokal. Respons terhadap rangsangan vokal

11
P: Pain. Respons terhadap rangsangan nyeri
U: Unresponsive. Tidak bada respons.
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem scoring yang sederhana dan dapat
meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai
pengganti AVPU. Bila belum dilakukan pada survei primer, harus dilakukan pada
secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau penurunan perfusi otak, ataupun
disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut
dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.
Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia ataupun
hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap
sebagai penyebab penurunan kesadaran, dan bukan alkoholisme, sampai terbukti
sebaliknya. 5,6
e. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka,
penting agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat,
ruangan yang cukup hangat, dan diberikan cairan intra vena yang sudah
dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh penderita, bukan rasa nyaman
petugas kesehatan. 5,6

4. Bagaimana tindakan lanjutan pada scenario apabila terjadi kegagalan pada tindakan
awal?
Jawab:
A. AIRWAY
Airway Definitif
Pada airway definitif maka ada pipa didalam trakea dengan balpn (cuff)
yang dikembangkan pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernapasan diperkaya dengan oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plaster. Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu: pipa

12
orottrakheal, pipa nasotrakheal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau
trakheostomi) penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-
penemuan klinis antara lain:
a. Adanya apneu
b. Ketidakmampuan mempertahankan airway dengan cara yang lain
c. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
d. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut
cedera inhalasi, patah tulang wajah, hematoma retrofaringeal atau kejang-
kejang yang berkepanjangan.
e. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS < 8)
dan
f. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
B. BREATHING
PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS:
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
A. Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Penatalaksanaan Gagal Nafas secara suportif/nonspesifik 9

1. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen


2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi
a.        Perbaiki jalan nafas
b.        Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag
c.         Ventilasi Mekanik
3. Fisioterapi dada

13
1) Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang
terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.9
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen
yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.8
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan
dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan
kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam
waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus.8
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi (Tabel 2). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan
sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara
0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dantranstracheal
cathethers, dan dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih
efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask menggunakan
prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk

14
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien
dengan PPOK dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi
resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih
nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan
dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40
L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan
respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan
ventilasi abnormal.8

Tabel 2. Cara pemberian Oksigen 8

Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang
terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.
a) Terapi Oksigen jangka pendek

15
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan
dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan
kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam
waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping.12
Indikasi lain menurut the American College of Chest Physicians dan The
National Heart, Lung and Blood Institute adalah jika:
 Hipoksemia akut (PaO2 < 60mmHg; SaO2 < 90%)
 Henti jantung dan henti napas
 Hipotensi (Tekanan darah sistolik < 100mmHg)
 Curah jantung yang rendah & asidosis metabolic (bikarbonat < 18 mmol/L)
 Respiratory distress (frekuensi napas > 24x/menit)
b) Terapi Oksigen Jangka Panjang
Terapi oksigen jangka panjang adalah terapi untuk pasien dengan hipoksia
kronis. Contohnya, PPOK dan kor pulmonal. Oksigen diberikan secara kontinyu,
biasanya selama 4-8 minggu. Awalnya oksigen diberikan harus dalam konsentrasi
rendah (FiO2 24-28%), lalu kemudian dapat ditingkatkan secara bertahap
berdasarkan hasil pemeriksaan AGD agar hipoksemia dapat dikoreksi dan
menghindari penurunan pH di bawah 7,26.
Secara rinci, indikasi terapi jangka panjang antara lain:
1. PaO2 istirahat < 55mmHg / SaO2 < 88%
2. PaO2 istirahat 56-59mmHg atau SaO2 89% pada salah satu keadaan berikut:
- Edema akibat CHF
- P Pulmonal pada EKG (gelombang P > 3mm pada lead II, III, aVF)
- Hematokrit > 56% (eritrositemia)
- PaO2 < 59 mmHg / SaO2 < 89% 12
METODE PEMBERIAN OKSIGEN

16
2) Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan
dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan
napas artifisial sepertiendotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko
jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami.8
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar,
resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan
napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi rute
pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan
PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi.8
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen,
obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup
adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan
ventilasi mekanik adalah seperti pada tabel 3 berikut ini:
3) Tabel 3. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik2

Secara Fisiologis:
a.       Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

17
b.      PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c.       Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular
 Secara Klinis:
a.       Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan napas
b.      Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c.       Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d.      Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea
                                                                                                      
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di
atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih
berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan
fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi
tekanan positif non invasif).8
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut
atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face
mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke
dalam paru.9
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini
akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada
bagian dengan imbalan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba
selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi
kronik (PaCO2>46 mmHg)  biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena
kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH < 7.25) dan
masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana pemulihan awal
diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face
mask merupakan alternatif yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada
keadaan pemulihan yang lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi
mode assist-control  atausynchronized intermittent ventilation dengan
setting rate sesuai dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan
kenyamanan pasien.7

18
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera
teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia
yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya
adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen
dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat
mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator
harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang
terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar
dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik
angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan jumlah
organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan pasien
kanker kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari
50 %. Sebagian penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini
adalah akibat komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive
pressure. Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien
sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah
efek samping akibat tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil,
portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus
untuk istirahat.8
Terapi suportif lainnya
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan
tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi.
Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada,

19
punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.9
Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik). Obat-obat
ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan
secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek
samping sacara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara
inhalasi. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-
adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali
dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi,
aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan
disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel
sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.8
Antikolinergik/parasimpatolitik.  Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini
kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien
dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu
dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida tersedia
dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.8
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis
beta adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi
reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi

20
takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia,
hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.8
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel
inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan
air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning.8
Ekspektoran dan nukleonik. Cairan peroral atau parenteral dapat
memperbaiki volume atau karateristik sputum pada pasien yang kekurangan
cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan
menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein
dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk.
Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien
dengan ETT. Sedikit (3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium
bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan
bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak.8
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas) atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera
teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia
yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya
adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen
dengan tekanan tinggi.13
B. Penatalaksanaan Kausatif/ Spesifik

21
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab
gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal
nafas di UGD sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut
terutama masalah penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan
guidiles penanganan pasien gagal nafas di ICU pada tahap berikutnya.12
C. CIRCULATION
Adapun penanganan yang dilakukan yaitu Resusitasi Jantung-Paru.Supaya
RJP yang dilakukan efektif dan mencegah cedera yang serius pada korban maka
kompresi dada eksternal harusdilakukan pada titik kompresi RJP. Yang harus
diperhatikan adalah :11
1. Menentukan titik kompresi
2. Posisikan diri anda  berlutut disamping korban
3. Gunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan anda untuk menentukan batas
bawah dari  sangkar costa
4. Jika sudah anda dapatkan, gerakkan jari anda menelusuri  lengkung costa
sampai ke takik pada ujung sternum (proc. Xiphoideus)
5. Letakkan jari tengah anda di atas atau pada takik dan jari telunjuk di sebelah
atasnya
6. Letakkan tumit tangan  anda yang lain (tangan yang dekat dengan kepala
korban) di atas sternum, di sebelah atas jari telunjuk
7. Angkat jari-jari Anda dari takik dan letakkan tangan tersebut di atas tangan
yang lain pada dada

22
Gambar 1. Posisi tangan saat RJP2

a) RJP pada orang dewasa


Langkah melakukan RJP :10
1. Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan ini berulang
selama 2 menit
2. Setelah 2 menit (7-8 siklus) raba nadi leher 30 : 2
3. Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 x pijat jantung dan 2 x
nafas buatan. Ini merupakan satu siklus
4. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada denyut jantung.
Bila belum ada, ulangi kembali siklus sampai datang bantuan atau ambulans

Gambar 2. RJP pada orang dewasa dengan 1 penolong

Cara memberi nafas buatan:10


1. Pertahankan posisi kepala tetap tengadah
2. Jepit hidung dengan tangan yang mempertahankan kepala tetap tengadah
3. Buka mulut penolong lebar-lebar sambil menarik nafas panjang
4. Tempelkan mulut penolong diatas mulut korban dengan rapat. Hembuskan udara
kemulut 0korban sampai terlihat dada terangkat/ bergerak naik
5. Lepaskan mulut penolong, biarkan udara keluar dari mulut korban, dada korban
tampak bergerak turun
6. Berikan hembusan nafas kedua dengan cara yang sama

23
5. Bagaimana cara penggunaan obat-obat darurat pada skenario?
Jawab:
Cara penggunaan obat:
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau

24
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.13
b. Antibiotika
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi
pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris
dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri
pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum
sempit sesuai patogen
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per injeksi
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi.13

25
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan /
memburuk selama 24 - 72 jam maka pengobatan disesuaikan dengan
bakteri penyebab dan uji sensitivitas serta harus meninjau kernbali
diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan
bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar.17

26
Gambar 4 – Evaluasi pengobatan empirik pada pasien pneumonia

Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara


sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi
yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih
antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan
karenahasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas.
Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan
makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru (8,9). Namun untuk
dewasa muda yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih
dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical yang mungkin
menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap
penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat fluoroquinolon
terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung
pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida yang dapat dipilih
mulai dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan
agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin
ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5
hari, memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan
alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan eritromisin, namun harus
diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan
pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih
luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya
terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab
pneumonia.17

27
1. TINJAUAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
a. Golongan Betalaktam
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan
sefalosporin.
1) Kelompok Penisilin
Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat
menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi
fatal.
2) Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat,
dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan
antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup
enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase,
tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin.
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua
golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena
diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan
parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena
menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga
misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar
tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan
meningitis purulenta. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke
urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh
karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (5).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan

28
zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan
aminoglikosida.18
b. Golongan Makrolid
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida
diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi
metabolit inaktif. Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi
lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang
terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung.
Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua
makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-
nilai enzim tertentu dalam serum.18
c. Golongan aminoglikosida
Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus
dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi
(RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum
kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin,
kanamisin, neomisin, dan paramomisin.18
d. Golongan Quinolon
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh
yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat
berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin.
Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran
kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin,
enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan
spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired
maupun infeksi nosokomial. Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum
adalah dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum
meliputi, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, srtaphylococci, enterococci,
streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak

29
dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon seperti
levofloksasin,gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B.
fragilis, anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat.17
e. Golongan Florokuinolon
1) Kloramfenikol
Berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman gram-positif dan
sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia trachomatis dan
Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae.
Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman.
Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan
dengan protein plasma lebih kurang 50% , t½ nya rata-rata 3 jam. Dalam hati
90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal,
terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek
samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer,
radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya adalah depresi
sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia.18
2) Vankomisin
Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob
termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya
berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai
antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh
lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin.
Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris.
Vankomisin mempunyai t½ nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80%
melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama
pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit,
mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko
nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200
ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu
minimal 2 jam.18
3) Doksisiklin

30
Derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang resisten
terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap.
Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin,
namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana
bismuth). Doksisiklin mempunyai t½ yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100
mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek samping dapat
mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau
dengan terlampau sedikit air.18

2. TINJAUAN TERAPI SUPORTIF


a. Analgesik – Antipiretik
Obat ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise,
demam terkait infeksi pernapasan.19
b. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mukus yang
kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Perannya sebagai terapi tambahan
pada pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi dengan mukolitik hanya
berdampak kecil terhadap reduksi dari eksaserbasi akut, namun berdampak
reduksi yang signifikan terhadap jumlah hari sakit pasien.
Agen yang banyak dipakai adalah Acetylcystein yang dapat diberikan
melalui nebulisasi maupun oral. Mekanisme kerja adalah dengan cara
membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga menurunkan
viskositas mukus. 19
Sianosis
Sianosis merupakan perubahan warna kulit dan membran mukosa menjadi
kebiruan. Pada sebagian besar orang yang berkulit cerah warna biru pada dasar kuku
dan bibir dapat terdeteksi dengan mudah. Sianosis perifer merupakan keadaan
pelambataan aliran darah pada jari-jari tangan dan kaki, yang paling jelas terlihat jika
kita memeriksa daerah dasar kuku.20
Kewaspadaan Klinis: Pada pasien berkulit hitam atau gelap, sianosis tidak terlihat
pada daerah bibir atau dasar kuku. Indikator yang paling baik bagi pasien-pasien ini

31
adalah hasil pemeriksaan membran mukosa mulut (membran mukosa pipi) dan
konjungtiva mata.20
Sianosis dapat terjadi karena desaturasi oksigen dalam hemoglobin atau
penurunan kadar hemoglobin. Kalau terdapat 5 gram hemoglobin yang mengalami
desaturasi maka sianosis akan terjadi sekalipun jumlah oksigen cukup ataupun
kurang. Keadaan yang mengakibatkan sianosis meliputi penurunan oksigenasi darah
arteri (yang ditunjukkan oleh PaO2 yang rendah), shunt paru atau jantung dari kanan
ke kiri, penurunan curah jantung, rasa cemas dan lingkungan yang bersuhu dingin. 20
Seseorang yang tidak menunjukkan gejala sianosis belum tentu memiliki
oksigenasi yang adekuat. Oksigenasi jaringan yang tidak adekuat dapat terjadi pada
anemia berat dengan kadar hemoglobin tidak memadai. Keadaan ini juga terjadi pada
keracunan karbon monoksida dengan hemoglobin mengikat karbon monoksida dengan
hemoglobin mengikat karbon monoksida sebagai pengganti oksigen. Walaupun pada
pemeriksaan tidak ditemukan gejala sianosis, namun oksigenasi tidak adekuat. 20
Pasien lain mungkin tampak sianosis meskipun oksigenasi adekuat, seperti
polisitemia, yaitu peningkatan jumlah sel darah merah secara abnormal. Karena kadar
hemoglobin meningkat dan oksigenasi terjadi dengan kecepatan normal, pasien masih
bisa ditemukan dengan gejala sianosis.20
Sianosis merupakan keadaan yang ditemukan pada pemeriksaan pasien dan harus
diinterpretasi dalam kaitannya dengan patofisiologi yang mendasari. Diagnosis
oksigenasi yang tidak adekuat dapat dipastikan melalui pemeriksaan analisis gas darah
arteri dan pengukuran PaO2. 20
Istilah sianosis berarti kebiruan pada kulit, dan penyebabnya adalah hemoglobin
yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam pembuluh darah kulit,
terutama dalam kapiler. Hemoglobin yang tidak mengandung oksigen memiliki warna
biru gelap keunguan yang terlihat melalui kulit. 21
Pada umumnya, sianosis muncul apabila darah arteri mengandung lebih dari 5 gram
hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam setiap 100 mililiter darah. Pasien
anemia hampir tidak pernah mengalami sianosis karena tidak terdapat cukup banyak
hemoglobin untuk dideoksigenasi sebanyak 5 gram dalam 100 mililiter darah arteri.
Sebaliknya, pada pasien yang mengalami kelebihan sel darah merah, seperti yang

32
terjadi pada polisitemia vera, hemoglobin yang jumlahnya banyak itu dapat
dideoksigenasi sehingga seringkali menyebabkan sianosis, bahkan dalam keadaan
normal.21
Sianosis sentral, kebiruan pada batang tubuh dan membran mukosa, disebabkan
>3-5 g/dL hemoglobin terdeoksigenasi dalam sirkulasi arteri. Sianosis sentral dapat
disebabkan oleh penyakit pulmonal berat, dan pintas intrapulmonal kanan ke kiri
(malformasi arteriovenosa, AVM) atau pintas ekstrapulmonal kanan ke kiri. Ini
merupakan karakteristik dari transposisi pembuluh besar dan tetralogi Fallot.22
 Algoritma Penatalaksanaan Sianosis Sentral23

33
Gambar 2: Algoritma penatalaksanaan sianosis sentral. ABCs, airway breathing, circulation;
ABG, arterial blood gas; AV,arteriovenosus; CHF, congestive heart failure; CN, cyanide;CO,
carbon monoxide; CTPA, computed tomography pulmonary angiography; CRX, chest
radiograph; Echo, echocardiogram; G6PD, glucose-6-phospate dehydrogenase; Hct,
hematocrit: ICU, intensive care unit; IV, intravenous; LMWH, low-molecular-weight,
heparin’ MetHgb, methemoglobin; PaO2, tekananparsial O2 padaarteri; PE, pulmonary
embolus; SaO2, saturasi oxygen arterial; SulfHg, sulfhemoglobin; V/Q, ventilation-perfusion
scan.V/Q dapatdilakukanjikakontraindikasiatautidaktersediaCTPA.

 Algoritma Penatalaksanaan Sianois Perifer24

34
Gambar 3: Algoritma penatalaksanaan sianosis perifer. 9

6. Jelaskan komplikasi yang bisa terjadi pada saat tindakan pertama?


Jawab:
Komplikasi Pada Saat Tindakan
1. Keracunan Oksigen
Sebagian besar (90%) oksigen digunakan oleh rantai transport elektron. 
Secara struktural, oksigen memiliki dua elektron yang tidak berpasangan
dengan keadaan putaran paralel.  Konsekuensinya, O2 memiliki
kecenderungan membentuk spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species/
ROS) berupa superoksida (O2–), radikal bebas hidroksil (OH+), dan hidrogen
peroksida (H2O2).  Radikal hidroksil adalah ROS yang paling poten dan
diduga sebagai pencetus reaksi peroksida lemak dan radikal organik. 
Selanjutnya, hidrogen peroksida  meski bukan radikal,adalah pengoksidasi
yang menghasilkan  hidroksil melalui reaksi Fenton.  Sama halnya dengan
hidrogen peroksida, superoksida dapat juga membentuk hidroksil dan
hidroperoksi yang lebih reaktif melalui reaksi Haber-Weiss.  Asam
hipoklorit (HOCl) dalam tubuh manusia dibentuk dari hidrogen peroksida
oleh neutrofil dan sel granulamatosa yang betujuan menghancurkan benda
asing, yang disebut pula ledakan pernapasan (respiratory burst).14
Pajanan oksigen bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa menyebabkan
perubahan jaringan menjadi patologis. Derajad cedera berhubungan denga
lamanya pajanan dan tekanan oksigen yang dihirup, bukan PaO2. Secara
umum, FiO2 > 0,5, jangka waktu 16030 jam menyebabkan keracunan. Tanda
pertama keracunan oksigen adalah akibat efek iritasi oksigen dan refleks
trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam bernapas dengan oksigen 100%,
fungsi mukosiliar akan tertekan dan terjadi gangguan pembersihan mukus.
Dalam 6 jam pemberian oksigen 100%, bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri
substernal, dan hidung tersumbat. Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia,
dan nyeri kepala. Keluhan tersebut akan hilang setelah terapi oksigen
dihentikan.15

35
Fungsi makrofag alveolar juga mengalami tekanan, menjadikan pasien
lebih rentan terhadap infeksi. Cedera jaringan paru akibat hipoksemia
merupakan penyebab produksi radikal bebas oksigen yang menekan
pertahanan antioksidan tubuh. Penghentian pajanan oksigen dosis toksis akan
memberi kesempatan sel memulai perbaikan, perbaikan bisa juga berakibat
terbentuknya fibrosis paru dalam berbagai derajad kelainan
Pencegahan jangan memberi oksigen konsentrasi >50% lebih dari 24 jam
dan setiap pemberian oksigen konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.15
2. Hipoventilasi
Hipoventilasi akibat pemberian oksigen bisa terjadi akibat supresi pada
hipoxic respiratory drive. Pada keadaan normal, karbondioksida merupakan
pengendali stimulan utama sistem respirasi. Namun, pada pasien dengan
hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), respons terhadap peningkatan kadar
CO2 menjadi tumpul dan hipoksemia menjadi stimulan utama sistem
ventilasi. Pemberian gas yang kaya oksigen pada pasien seperti ini bisa
menyebabkan hipoventilasi, hiperkapnia dan apnea.
Pada keadaan demikian, oksigen sebaiknya diberikan pada kadar rendah
(< 30%) dan pasien dipantau terhadap tanda-tanda depresi nafas. Jika
oksigenasi ternyata tidak adekuat dan terjadi depresi nafas, segera dipasang
ventilasi mekanis.15
3. Atelektasis absorbs
Atelektasis absorbsi terjadi ketika alveoli kolaps akibat gas dalam alveoli
diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Nitrogen, gas yang relatif tidak
mudah larut, pada keadaan normal mempertahankan volume residu dalam
alveoli. Selama pernapasan dengan kadar oksigen yang tinggi, nitrogen bisa
tersingkir atau "tercuci" dari alveoli. Ketika oksigen dalam alveoli kemudian
diabsorbsi ke dalam kapiler pulmonal, akan terjadi kolaps total pada sebagian
alveoli.
Atelektasis absorbsi lebih mudah terjadi pada area dengan penurunan
ventilasi, seperti pada saluran napas sebelah distal dari obstruksi parsial,

36
karena oksigen diabsorbsi ke dalam darah dengan kecepatan lebih tinggi dari
pada oksigen pengganti.15
4. Occular damage
Retinopathy of Prematurity (ROP), yaitu terlepasnya retina dari tempatnya
di dalam bagian belakang mata.Retina sendiri fungsinya menerima gambaran
penglihatan, jadi jika retina tidak pada tempatnya, makagambaran penglihatan
tidak bisa masuk untuk diterima otak. Diduga terjadi karena terpapar oksigen
berlebihan menimbulkan celah di antara sel spindel mesenkimal mata. Celah
ini mengganggu pembentukan pembuluh darah mata yang normal.
Cedera yang terjadi berhubungan dengan PaO2, maka dianjurkan PaO2
dijaga pada kisaran 60 - 90 mmHg pada neonatus.15

7. Bagaimana syarat melakukan transport dan rujukan?


Jawab
Transport Pasien

A. ABC harus stabil


I. Airway & Breathing
 Jalan napas aman / terintubasi
 Tracheal tube terfiksasi baik, posisi diyakini benar dengan chest X-ray
 Sedasi, paralisis. Ventilasi
 Cek AGD untuk menilai ventilasi dan oksigenasi adekuat
II. Circulation
 Laju nadi dan tekanan darah stabil
 Adekuat perfusi jaringan dan organ
 Perdarahan terkontrol
 Resusitasi cairan adekuat 16

B. Jangan memindahkan pasien sendirian dan lakukan dengan hati-hati


I. Mengangkat Penderita
 Kenali kemampuan diri dan kemampuan team work

37
 Nilai beban yang diangkat,jika tidak mampu jangan dipaksa
 Selalu komunikasi, depan komando
 Ke-dua kaki berjarak sebahu, satu kaki sedikit kedepan
 Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
 Tangan yang memegang menghadap ke depan (jarak +30 cm)
 Tubuh sedekat mungkin ke beban (+ 50 cm)
 Jangan memutar tubuh saat mengangkat
 Panduan tersebut juga berlaku saat menarik/mendorong16
C. Pemindahan Emergency :
 tarikan baju
 tarikan selimut
 tarikan lengan
 ekstrikasi cepat
(perhatikan kemungkinan terdapat fraktur servical)16
D. Mengangkat Dan Mengangkut Korban Dengan Satu atau Dua Penolong :
1) Penderita Sadar dengan cara :
- “ Human Crutch ” – satu / dua penolong, Yaitu dengan cara dipapah
dengan dirangkul dari samping
2) Penderita sadar tidak mampu berjalan
a) Untuk satu penolong dengan cara :
- “ Piggy Back “ Yaitu di gendong, dan
- “ Cradel “ Yaitu di bopong, serta
- “ Drag “ Yaitu diseret
b) Untuk dua penolong dengan cara :
- “ Two hended seat “ Yaitu ditandu dengan kedua lengan penolong, atau
- “ Fore and aft carry “ Yaitu berjongkok di belakang penderita.
3) Penderita tidak sadar
a) Untuk satu penolong dengan cara :
- “ Cradel “ atau “ Drag “
b) Untuk dua penolong dengan cara :

38
- “ Fore and aft carry “
Sediakan bidai, Long spine board dan neck collar jika dibutuhkan
Sediakan Infus, NGT dan Kateterisasi
E. Dokter/ tim medis ikut selama proses transport untuk monitoring tanda vital16
Rujuk Pasien
1. Jelaskan pada pasien alas an dilakukannya rujukan untuk mendapatkan
penatalaksanaan yang spesifik.
2. Siapkan mental pasien dan finansialnya terutama pasien yang dirujuk untuk
operasi
3. Coba sesuaikan keterampilan dan keahlian spesialis untuk kondisi pasien dan
kemampuan finansialnya
4. Jangan merujuk pasien ke teman dekat tanpa alasan yang tepat
5. Buatlah/ tulislah surat rujukan yang baik benar dan tepat.16

39
REFERENSI

1. Lyrawati, Diana dkk. Sistem Pernafasan: Assesment, Patofisiologi, dan Terapi


Gangguan Pernafasan. Buku Ajar PSF-FKUB Universitas Brawijaya. 2012
2. Alcon A. Pathophysiology of Pneumonia. Diakses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15802164
3. Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of
Anaesthesia,47(5):360-6
4. Deliana, Anna dkk. 2013. Indikasi Perawatan Pasien dengan Masalah
Respirasi di Instalasi Perawatan Intensif. J Respir Indo Vol. 33, No. 4.
5. Saint clair st. ATLS. Edisi ketujuh. Penerbit American Collage of Surgeons,
Jakarta, 2004, Hal; 15-16.
6. Ariwibowo, Haryo et all, 2008. Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta.
7. Neema PK. 2003. Respratory Failure. Insian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-
6.
8. Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care
Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89
9. Muhardi, OET. 1989. Penatalaksanaan di Intensive Care Unit, Bagian
Anastesi dan Terapi Intensif FK UI, Penerbit FK UI, Jakarta, Hal 1-9

40
10. American College of Surgeons Committee On Trauma. Editor. Advanced
Trauma Life Support for Doctors. United States of America: American
College of Surgeons Committee On Trauma; 2008. h. 1-16
11. Literature ReviewPractical use of the Glasgow Coma Scale; acomprehensive
narrative review of GCS methodologyPaul M. Middleton, RGN, MBBS, MD,
MMed (ClinEpi), DipIMCRCS (Ed), FRCS (Eng),FCEM, FACEMa,b,c,NSW
Institute of Trauma and Injury Management, Australia
12. Uyainah AZN. 2010. Terapi Oksigen. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi VI. Hal: 4063. Jakarta: Interna Publishing.
13. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia
14. Marks DB, Marks AD, Smith CM.  Biokimia kedokteran dasar: metabolisme
oksigen dan toksisitas oksigen .  Jakarta: EGC; 2000, hlm. 321-31.
15. Bambang Pujo Semedi, Hardiono. 2012. Pemantauan Oksigenasi. Majalah
Kedokteran Terapi Intensif. Volume 2 Nomor 2.
16. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life
Support Untuk Dokter. United States of America: Komisi ATLS Pusat; 2006.
314-319
17. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DirJen BINFAR.
Pharmaceutical Care pada Penyakit infeksi Pernapasan. 2005. Jakarta:
DepKes RI
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoam
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia . 2013. Jakarta.
19. Misnadirly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak
Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 55-
58.
20. Kowalak, P. Jennifer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Hal 222-223. Jakarta:
EGC
21. Guyton and Hall. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Kesebelas. Hal
557. Jakarta: EGC
22. Aaronson Philip I. dan Ward Jeremy P.T. 2007. At a Glance Sistem
Kardiovaskular Edisi Ketiga. Hal 116. Jakarta: Erlangga

41
23. Cleveland,R.H,2012.Imaging in Pediatric Pulmonology.Springer Science &
Business media
24. Mark, J.A Robert S.H and Ron M.W. 2014.Rosen`s emergency medicine:
concepts and clinical 8th ed.Elsevier
25. Ajmal Gilani, MD; Albert Hinn, MD; Peter Lars Jacobson, MD, End-of-Life
Physician Education Resource Center ALS: Magement of Respiratory Failure

42

Anda mungkin juga menyukai