Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KELOMPOK PBL

“MODUL BATUK”
BLOK RESPIRASI

Disusun oleh :
KELOMPOK 13
Pembimbing : dr.Arni Isnaini
H.Ahmad Farenrengi Rusdi 110 213 0025
M.Luthfi syahadatin Irwan 110 213 0026
Devi Indah Permatasari 110 213 0055
Nurfadillah Aziz 110 213 0056
Rida Wahyuni D. 110 213 0085
Andi Fikrah Muliani 110 213 0086
Fadhillah Rufaidah 110 213 0116
A.Nur Qalby T.S.M 110 213 0117
Annisa Maharani 110 213 0146
Nabila Alamoedi 110 213 0147
Fitra Nurul Hudaya 110 213 0152

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
A. SKENARIO
Seorang ibu usia 34 tahun ke puskesmas karena batuk yang dialaminya
yang tidak kunjung berhenti walaupun sudah minum berbagai macam obat
batuk. Selain itu mengeluh sering sesak dan sudah hampir satu minggu ini
demam. Ia juga mengeluh sakit pada seluruh badannya terutama dada,
sakit kepala serta kurang nafsu makan.

1
B. KLARIFIKASI KATA SULIT
Demam ialah peningkatan temperatur tubuh diatas normal ( dr. diana,
kamus kedokteran lengkap. hal 256).
Sesak ialah kesulitan bernapas atau dalam medis disebut sebagai dispneu
(kamus kesehatan.co.id)

C. KATA KUNCI
1. Ibu usia 34 tahun
2. Batuk yang tak kunjung sembuh meskipun sudah minum obat batuk
3. Sesak dan sudah 1 minggu demam
4. sakit bagian dada dan kepala disertai kurang nafsu makan

D. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Jelaskan Anatomi, histologi dan fisiologi sistem pernapasan !
2. Jelaskan patomekanisme dari batuk, sesak, demam dan sakit kepala ?
3. Bagaimana hubungan dari tiap tiap gejala ?
4. Mengapa tidak terjadi remisi meskipun telah mengkomsumsi obat?
5. Jelaskan diagnosis banding dari skenario tersebut, sertakan
penatalaksanaannya!

E. ANALISIS MASALAH
1. Jelaskan Anatomi,histologi dan fisiologi sistem pernapasan !
Anatomi

2
Secara umum saluran udara pernapasan adalah sebagai berikut : dari
nares anterior menuju ke cavitas nasalis, choanae, nasopharynx, larynx,
trachea, bronchus primarius, bronchus secundus, bronchus tertius,
bronchiolus, bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus
alveolaris, atrium alveolaris, sacculus alveolaris, kemudian berakhir
pada alveolus tempat terjadinya pertukaran udara.[1]

Tractus respiratorius dibagi menjadi 2 bagian : (1) zona konduksi, dari


lubang hidung sampai bronciolus terminalis, (2) zona respiratorik,
mulai dari bronciolus respiratorius sampai alveolus. Zona konduksi
berfungsi sebagai penghangat, pelembab, dan penyaring udara
pernapasan. Zona respiratorik untuk pertukaran gas.[2]

Histologi
Secara histologis, saluran napas tersusun dari epitel, sel goblet, kelanjar,
kartilago, otot polos, dan elastin. Epitel dari fossa nasalis sampai
bronchus adalah bertingkat toraks bersilia, sedang setelahnya adalah
selapis kubis bersilia. Sel goblet banyak terdapat di fossa nasalis sampai
bronchus besar, sedang setelahnya sedikit sampai tidak ada. Kartilago
pada trakea berbentuk tapal kuda, pada bronkiolus tidak ditemukan dan
banyak terdapat elastin.[3]

Gambar 1. Hidung Gambar 2. Trakea

3
Gambar 3. Trakea Gambar 4. Bronchus

Gambar 5. Bronchiolus Gambar 6. Alveolus

Fisiologi
Fungsi utama respirasi adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel
tubuh dan untuk mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel.

Pertukaran gas memerlukan empat proses yang mempunyai


ketergantungan satu sama lain:
1. Udara secara bergantian dimasukkan ke dan dikeluarkan dari
paru sehingga udara dapat dipertukarkan antara atmosfer
(lingkungan eksternal) dan kantung udara (alveolus) paru.
2. Oksigen dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan
darah melalui proses difusi.
3. Darah mengankut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan.
4. Oksigen dan CO2 dipertukarkan antara jaringan dan darah
melalui proses difusi menembus kapiler sistemik (jaringan)
VENTILASI

4
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfer dan alveoluss akibat kerja mekanik otot-otot.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot
sternocleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan otot serratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks
membesar ke tiga arah: anteropsterior, lateral, dan vertikal. Penurunan
tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg(relatif terhadap tekanan
atmosfer menjadi sekitar -8 mmHg bila perlu mengembang pada waktu
inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menyebabkan
udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir
inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan
paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun
dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam ronggaa toraks,
menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini
meningkatkan dan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai 1 sampai 2
mmHg diatas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan napas dan
atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru
sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.

DIFUSI
Oksigen dan CO2 berpindah dan menembus membran melalui difusi
pasif mengikuti penurunan gradien tekanan parsial. Tekanan parsial
suatu gas dalam udara adalah bagian dari tekanan atmosfer total yang
disumbangkan oleh gas tersebut, yang berbanding lurus dengan
persentase gas ini dalam udara. Tekanan parsial suatu gas dalam darah
bergantung pada jumlah gas tersebutyang larut dalam darah.

TRANSPOR GAS

5
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, maka keduanya
harus diangkut terutama melalui mekanisme di luar pelarut fisik biasa.
Hanya 1,5% O2 yang secara fisik larut dalam dalam darah, dan 98,5%
lainnya secara kimiawi dengan hemoglobin (Hb). Karbon dioksida yang
diambil di kapiler sistemik diangkut dalam darah melalui tiga cara:
1. 10% larut secara fisik,
2. 30% berikatan dengan Hb,
3. 60% mengambil bentuk bikarbonat (HCO3-)

KONTROL PERNAPASAN
Kontrol saraf atas respirasi melibatkan tiga komponen berbeda:
1. Faktor yang menghasilkan irama inspirasi/ekspirasi bergantian
2. Faktor yangatur besar ventilasi (yaitu, kecepatan dan kedalaman
bernapas) untuk memenuhi kebutuhan tubuh, dan
3. Faktor yang memodifikasi aktivitas pernapasan untuk tujuan lain.
Tiga faktor kimiawi berperan dalam menentukan tingkat ventilasi:
PCO2, PO2, dan konsentrasi H+ dalam arteri. Faktor dominan dalam
regulasi ventilasi dari menit ke menit adalah PCO 2 arteri. Peningkatan
PCO2 arteri adalah rangsangan kimiawi paling kuat untuk
meningkatkan ventilasi. Perubahan PO2 arteri mengubah
ventilasiterutama denganmenimbulkan perubahan serta konsentrasi H+
CES otak,, yang kemoreseptor sentral sangat peka terhadappnya.
Kemoreseptor perifer responsif terhadap peningkatan konsentrasi H+
arteri yang juga secara refleks menyebabkan peningkatan ventilasii.
Kemoreseptor perifer juga refleks merangsang pusat respirasi sebagai
respon terhadappenurunan mencolok PO2 arteri (<60 mmHg). Respon
ini berfungsi sebagai mekanisme darurat untuk meningkatkan respirasi
ketika kadar PO2 arteri turun dibawah kisaran aman.[4]

2. Jelaskan patomekanisme dari batuk, sesak, demam dan sakit


kepala dan kurang nafsu makan ?

Sesak Napas

6
Sesak napas merupakan gejala nyata adanya gangguan trakobronkhial,
parenkim paru, dan rongga pleura.

Sesak napas atau dispnea terjadi bila kerja pernapasan berlebihan.


Peningkatan generasi tekanan diperlukan otot pernapasan untuk
menimbulkan perubahan volume yang diberikan jika dinding dada atau
paru kurang lentur atau jika resistensi terhadap aliran udara
ditingkatkan. Peningkatan kerja pernapasan juga terjadi bila ventilasi
berlebihan untuk tingkat aktivitas. Meskipun seseorang lebih mudah
menjadi dispnetik bila kerja pernapasan ditingkatkan, teori kerja tidak
menerangkan perbedaan persepsi antara napas dalam dengan beban
mekanis normal dan napas dalam batas normal dengan peningkatan
beban mekanis. Kerja mungkin merupakan hal yang sama dengan kedua
pernapasan, tetapi yang normal adalah dengan peningkatan beban akan
disertai dengan rasa tidak nyaman.

Sebenarnya, dengan beban respirasi, seperti penambahan resistensi pada


mulut, terdapat peningkatan haluaran pusat pernapasan, yang diukur
dengan indeks terbaru, yang tidak sesuai terhadap peningkatan kera
pernapasan. Setiap saat tekanan yang ditimbulkan otot selama
pernapasan mendekati beberapa fraksi kemampuan yang menimbulkan
tekanan maksimalnya, yang dapat bervariasi di antara individu, dispnea
terjadi karena transduksi mekanis terhadap rangsangan saraf. Sangat
mungkin, dalam keadaan ini, sinyal dari paru dan atau jalan udara
beredar melalui saraf vagus ke sistem saraf pusat untuk menimbulkan
sensasi.

Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu. Alergen seperti serbuk,


jamur atau zat kimia mengakibatkan terjadinya bronkhospasme dengan
bentuk keluhan sesak. Anamnesis harus mencakup riwayat terpapar
penyebab aergi. Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi
jalan napas berakibat terjadninya bronkospasme pada pasien yang

7
sensitif. Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya
penyakit ini. Obat-obatan yag dimakan atau injeksi dapat menyebabkan
reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak. Pemeriksaan dahak
dibutuhkan untuk membuktikan adanya radang saluran napas bawah
dan penentuan jebis gram patogen.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan sesak napas :

1. Faktor psikis
Sesak napas yang berhubungan dengan periode emosi, terjadi
melalui mekanisme hiperventilasi. Alsagaff (1996) mnyebutkan,
dalam oenelitian Dudley ditemukan bahwa klien yang berada di
bawah pengaruh emosi- depresi dan kecemasan- dapat mengalami
sensasi sesak napas melalui mekanisme hipoventilasi. Kedua
mekanisme tersebut secara psikis dapat menampilkan sensasi seak
napas.
2. Faktor peningkatan kerja pernapasan
Jika kemampuan dinding thoraks atau paru untuk mengambang
mengalami penurunan sedangkan tahanan saluran pernapasan
meningkat, maka otot pernapasn memerlukan tenaga guna
memberikan perubahan volume serta tambahan tenaga yang
diperlukan untuk kerja pernapasan.
 Peningkatan ventilasi : latihan jasmani, hiperkapnia, hipoksia
hipoksik, asidosis metabolik
 Sifat fisik yang berubah
 Tahanan elastisitas paru yang meningkat
 Tahanan elastisitas dinding torak yang meningkat
 Peningkatan tahanan bronkial selain dari tahanan elastis
Hal tersebut di atas menyebabkan kemampuan mengembang
dinding toraks atau paru menurun sedangkan tahanan salursn
pernapasan meningkat sehingga tenaga yang diperlukan untuk
bernapas meningkat yang menyebabkan kebutuhan akan oksigen

8
meningkat namun paru tidak mampu memenuhi kebutuhan
sehingga timbullah sesak napas.

3. Otot pernapasan yang abnormal


 Penyakit otot: kelemahan otot, kelumpuhan otot atau otot yang
mengalami distrofi
 Fungsi mekanis otot yang berkurang baik pada saat inspirasi
maupun pada saat ekspirasi.
Keabnormalan otot pernapasan menyebabkan cepatnya timbul
kelelahan otot. Otot yang lelah tidak mampu memenuhi
kebutuhan ventilasi dalam jangka waktu panjang sehingga
menyebabkan sesak napas.

Patofisiologi sesak napas:

1. Oksigenasi jaringan menurun

2. Kebutuhan oksigen meningkat, misalnya pada infeksi akut. Infeksi


akut menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat karena adanya
peningkatan metabolisme dan juga terjadi peningkatan suhu tubuh
yang meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga terjadi sesak napas.

3. Kerja pernapasan meningkat, pada penyakit paru yang menurun


elastisitasnya dan pada saluran pernapasan yang menyempit
menyebabkan ventilasi paru menurun sehingga otot pernapasan
dipaksa untuk bekerja lebih keras. Hal ini menyebabkan
metabolisme meningkat yang juga meningkatkan metabolit dalam
darah seperti asam laktat dan asam piruvat yang kemudian akan
merangsang sistem saraf pusat untuk menimbulkan sesak.

4. Rangsangan pada sistem saraf pusat, misalnya pada penyakit yang


merangsang sistem saraf pusat dapat menimbulkan sesak napas
secara tiba-tiba.

5. penyakit neuromuskuler.[5]

9
Batuk

Gejala penyakit paru yang paling sering ditemukan adalah batuk.


Refleks batuk adalah suatu mekanisme pertahanan normal paru-paru
yang berfungsi melindungi paru-paru dari benda asing dan sekresi
berlebihan. Infeksi saluran pernapasan atas berkaitan dengan batuk
yang biasanya membaik dalam 2-3 minggu.

Batuk adalah suatu ekspirasi paksa yang terkoordinasi, diselingi dengan


penutupan glotis secara berulang-ulang. Otot-otot ekspirasi berkontraksi
melawan glotis yang tertutup sebagian, sehingga menimbulkan tekanan
tinggi di dalam paru-paru. Kalau glotis tiba-tiba membuka, ada arus
udara eksplosif yang membersihkan saluran pernapasan.

Mekanisme batuk dapat dicetuskan secara volunter atau refleksif.


Sebagai refleks defensive, batuk mempunyai jaras aferen dan eferen.
Jaras aferen termasuk reseptor di dalam serabut sensorik saraf
trigeminus, glosofaringeus, laringeus superius dan vagus. Jaras eferen
termasuk sarag laringeus rekuren (yang menyebabkan penutupan
glottis) dan saraf spinalis yang menyebabkan kontraksi otot-otot
abdominal dan toraks). Uruta batuk terdiri dari stimulus yang memulai
inspirasi dalam. Keadaan ini diikuti oleh penutupan glottis, relaksasi
diafragma, dan kontraksi otot melawan glottis yang tertutup sehingga
volume paru besar, efisiensi mekanis lebih baik membuat regangan otot
ekspirasi meningkatkan elastisitas paru dan aktivasi “slow adapting
pulmonary stretch receptor” sehingga terjadi peningkatan usaha
ekspirasi. Hal tersebut menghasilkan tekanan dalam jalan napas dan
intraroraks positif maksimal. Tekanan intratoraks positif ini
menyebabkan penyempitan trakea, yang dihasilkan oleh lipatan ke
dalam membrane posterior yang lebih luntur. Begitu glottis terbuka,
kombinasi perbedaan tekanan yang besar antara jalan napas dan
atmosfer yang disertai penyempitan trakea menyebabkan laju aliran
melalui trakea mendekati kecepatan suara.[6]

10
Demam

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari


infeksi atau peradangan. Sebagai respons terhadap invasi mikroba, sel-
sel darah putih tertentu mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal
sebagai pirogen endogen, yang memiliki banyak efek untuk melawan
infeksi. Pirogen endogen meningktakan titik patokan termostat
hipotalamus dengan memicu pengeluaran prostaglandin, yaitu zat
perantara kimiawi yang bekerja langsung di hipotalamus. Peningkatan
suhu tubuh ke titik patokan yang baru inilah demam.

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-
hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus (Dinarello & Gelfand , 2005 ). Suhu tubuh normal berkisar
antara 36,5 -37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah
rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau
axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve , 2010). Istilah lain
yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia
adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi
pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan system saraf pusat

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non


infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri,
virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya

11
menimbulkan demam pada anak- anak antara lain pneum onia,
bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,
bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan d emam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus - virus umum seperti
H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara
lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain -lain. Infeksi parasit
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria,
toksoplasmosis, dan helmintiasis

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang
terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis,
systemic lupus erythematosus , vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit
Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat -
obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak -
anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari
pemberian imunisasi selama ±1 - 10 hari. Hal lain yang juga berperan
sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem
saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya.[7]

Nyeri dada

Nyeri dada dapat disebabkan oleh penyakit jantung, paru atau nyeri alih
dari abdomen. Ada dua jenis nyeri dada karena penyakit paru: pleuritik
dan trakeobronkhial.

Nyeri pleuritik. Berupa nyeri tajam, menusus, biasanya terlokalisir ke suatu


titik di toraks dan makin memburuk dengan bernapas dalam ataupun batuk.
Penyebab nyeri dada dirangkum dalam tabel di bawah

Gangguan Neoplasma paru Gangguan Penyakit

12
mekanis peradangan otoimun

Pneumotoraks Primer Infeksi SLE, AR

Hemotoraks Metastasis Infark Paru Skleroderma

Nyeri pleuritik yang tiba-tiba terutama setelah batuk atau bersin


menandakan kemungkinan terjadi pneumotoraks. Kejadian ini sering
disertai sesak. Demam dan batuk produktif yang mendahului nyeri dada
menandai terjadinya infeksi parenkim dan pleura. Hemoptisis yang
terjadi tiba-tiba dicurigai adanya emboli paru, sedangkan nyeri semakin
meningkat pasca hemoptisis lebih cenderung kepada kanker paru.
Penyakit autoimun yang dikaitkan dengan radang pleura non-spesifik
yang mengarah ke pleuritis.

Nyeri trakeobronkitis adalah sensai terbakar di daerah substernal yang


makin memburuk denga batuk. Hal ini disebabkan oleh radang akut
pada cabang trakeobronkial.[8]

Nafsu makan dan berat badan menurun

Mekanisme berubahnya perasaan lapar dan selera makan pada berbagai


penyakit belum dipahami dengan baik. Asupan makanan diatur lewat
dua buah pusat di hipotalamus ”pusat makan” di bagian lateral dan
”pusat rasa kenyang” di bagian ventromedial. Pusat yang disebutkan
terakhir ini menghambat pusat makan setelah seseorang memakan
makanannya hingga timbul perasaan kenyang.

Neurotransmiter yang penting dan memiliki peran dalam asupan


makanan adalah niitric oxide. Serotonin, dopamin, dan neuropeptida Y
memodulasi formusi NO di dalam otak. TNF mengubah metabolisme
norepinfrin dan konsentrasi serotonin dan dopamin di dalam
hipotalamus. Inflamasi dapat menjadi refleks dari meninngktanya
konsentrasi sitokin pro-infamasi di dalam otak, khususnya di dalam

13
hipotalamus. Sitokin-sitokin ini dapat menyebabkan kematian sel
neuronal. Kematian neuron-neuron yang mengendalikan pusat-pusat
nafsu makan.

Peningkatan leptin serum juga akan menekan nafsu makan. Leptin


adalah hormon yang dihasilkan oleh sel jaringan adiposa. Kadar leptin
meningkat sebanding dengan banyaknya simpanan lemak trigliserida di
jaringan lemak. Semakin banyak cadangan lemak semakin banyak
leptin yang disekresi, keberadaan leptin ini akan menyebabkan
penekanan keinginan untuk makan. Semakin banyak kadar leptin maka
keinginan makan semakin berkurang, sebaliknya semakin sedikit kadar
leptin maka keinginan makan semakin besar.

Nafsu makan turun menyebabkan asupan makanan rendah, metabolisme


meningkat adanya ketidakseimbangan menyebabkan penurunan berat
badan. Lipoprotein lipase, yaitu enzim yang memindahkan lemak dalam
serum ke dalam sel-sel lemak sehingga lemak dapat disintesis dan dan
disimpan, adanya TNF, cadangan lemak dalam jaringan semakin
menipis sehingga menyebabkan kurus.[9]

Sakit Kepala

Nyeri merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap saat


bila ada jaringan manapun yang mengalami kerusakan.dan melalui
nyeri inilah, seorang individu akan bereaksi dengan cara menjauhi
stimulus nyeri tersebut.

Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri


oleh stimulus nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik,
termal maupun kimia.

Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan


neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari
kulit dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat

14
serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai
refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminalsentral. lnervasi
sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari
ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung
neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar
adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh
SP (substance P), NKA (Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E
(PGEJ) bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP),
mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri
kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi pelepasan
VIP (vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya
gejala nasal congestion dan rhinorrhea.Marker pain sensing nerves lain
yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory
neuron-specific sodium channel (Na), purinergic reseptors (P2X),
isolectin (IB) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor (GFR-∝3
= GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-∝3).
Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam
transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak
memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa
impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi
transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya
periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan
reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons
otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks
somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur
sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga
sebagai generator dan modulator sefalgi. Stimuli elektrode, atau
deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey (PAG)
matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti
migren (migraine like headache). Pada penelitian MRI (Magnetic

15
Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita
migren, CDH (Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non
sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada
penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol.Patofisiologi
CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru yang paling
berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor
NMDA (N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan
menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama.
Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan
kenaikan kadar cGMP (cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di
likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak meninggi pada
likuor pasien CDH. Reseptor opioid di down regulated oleh
penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap
harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem
opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overusedmaka
terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren
menjadi CDH. Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai
dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag
melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF∝ (Tumor
Necrotizing Factor ∝) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell
melepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan
arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel
saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa
reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2) dan peptides
(CGRP, SP).[10]

3. Bagaimana hubungan dari tiap tiap gejala?


Hubungan beberapa gejala gejala seperti iritasi pada saluran pernapasan
yang menimbulkan refleks batuk. Awalnya batuk pada skenario itu yaitu
batuk tidak produktif (tidak berdahak). Semakin lama keadaan ini
menyebabkan infeksi sehinga timbul demam yang menyebabkan pasien
mengalami keringat malam lalu batuk pasien menjadi produktf atau

16
batuk berdahak yang memberat. Refleks batuk juga menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal. Keaadaan ini akan menyebabkan
pasien mengalami gastric refluks yang akan merusak epitel sehingga
nafsu makan menurun lalu pasien akan kehilangan selera makan dan
terjadi penurunan berat badan.[11]
4. Mengapa tidak terjadi remisi meskipun telah mengkomsumsi obat?

Antitusif adalah obat yang bekerja menekan reflex batuk baik secara
sentral maupun perifer pada reaeptor batuk, contohnya dekstrometordan
hidrobromid (non narcotic antitussive) dan kodein fosfat (narcotic
antitussive). Antitusif merupakan obat suportif lain yang diberikan pada
batuk kronik. Pemberian antitusif akan membuat sputum tidak dapat
keluar karena menekan reflex batuk yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan sputum. Selain itu pun, antitusif juga dapat menurunkan
kerja silia. Oleh karena itu, antitusif digunakan pada batuk non
produktif (batuk kering) atau tidak boleh digunakan pada batuk
supuratif dan hipersekresi lendir Antitusif perlu dipertimbangkan pada
kasus pertusis yang dapat terjadi apnea akibat batuk yang berat
sehingga tidak dapat inspirasi karena batuknya. Pada keadaan tersebut,
antitusif dapat diberikan, tetapi secara umum pemberian antitusif
sedapat muingkin dihindarkan. Pada asma, pemberian antitusif
merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadaan asmanya.
dan juga pemberian obat sebaiknya didasarkan pada mikroorganisme
yang menyebabkan penyakit, hal ini bertujuan agar penyakit pasien
dapat sembuh dan mencegah resisten dari mikroorganisme.[12]

5. Jelaskan diagnosis banding dari skenario tersebut, sertakan


penatalaksanaannya!

TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup

17
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga
mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrane selnya
sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan
pertumbuhan dari umannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini
tidak tahan terhadap ultraviolet, Karena itu penularannya terutama
terjadi pada malam hari.

Dibeberapa Negara berkembang, 10-15% dari morbiditas berbagai


penyakit anak dibawah umur 6 tahun adalah penyakit tuberculosis paru.
Faktor resiko tertinggi dari tuberculosis paru adalah :

 Berasal dari Negara berkembang


 Anak anak dibawah umur 5 tahun atau orang tua
 Pecandu alcohol atau narkotik
 Infeksi HIV
 Diabetes mellitus
 Penghuni rumah beramai-ramai
 Imunosupresi
 Hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum
positive
 Kemiskinan atau malnutrisi
Patogenesis
Penularan kuman terjadi melalui udara dan diperlukan hubungan yang
intim untuk penularannya. Selain itu jumlah kuman yang terdapat pada
saat batuk adalah lebih banyak pada tuberculosis laring disbanding dengan
tuberculosis pada organ lainnya. Tuberkulosis yang mempunyai kaverna
dan tuberculosis yang belum mendapat pengobatan mempunyai angka
penularan yang tinggi.

Berdasarkan penularannya maka tuberculosis dapat dibagi menjadi 3


bentuk, yakni :

Tuberkulosis primer

18
Terdapat pada anak-anak. Setelah tertular 6-8 minggu kemudian mulai
dibentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga tes tuberculin
menjadi positif. Didalam alveoli yang kemasukan kuman terjdi
penghancuran (lisis) bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan
terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer,
maka mulailah terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai pulai
dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses
infeksi yang terjadi dibawah lobus paru disertai dengan pembesaran dari
kelenjar limfe hilus. Kuman tuberculosis akan mengalami penyebaran
secara hematogen ke apeks paru yang kaya dengan oksigen dan kemudian
berdiam diri (dorman) untuk menunggu reaksi yang lebih lanjut.

Reaktifasi dari tuberculosis primer

10% dari infeksi tuberculosis primer akan mengalami reaktifasi, terutama


setelah 2 tahun dari infeksi primer. Reaktifitas ini disebut juga dengan
tuberculosis postprimer. Kuman akan disebabkan melalui hematogen ke
bagian segmen apical posterior. Reaktifitas dapat juga terjadi melalui
metastasis hematogen ke berbagai jaringan tubuh.

Tipe reinfeksi

Infeksi yang baru terjadi setelah infeksi primer adalah jarang terjadi.
Mungkin dapat terjadi apabila terdapat penurunan dari imunitas tubuh
akan terjadi penularan secara terus menerus oleh kuman tersebut dalam
satu keluarga.

Klinis

Tanda-tanda klinis dari tuberculosis adalah terdapatnya keluhan-keluahan


berupa :

 Batuk
 Sputum mukoid atau purulen
 Nyeri dada

19
 Hemoptisis
 Dispne
 Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari
 Berat badan berkurang
 Anoreksia
 Malaise
 Ronki basah di apeks paru
 Wheezing (mengi) yang terlokalosir

Gejala klinis yang tampak tergantung daro tipe infeksinya. Pda tipe infeksi
yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa
gejala neunomia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala tuberculosis,
primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau
dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak
napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat menyembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya berkisar sekitar 50%.
Pada tuberculosis postprimer terdapat gejala penurunan berat badan,
keringat dingin pada malam hari, temparatur subfebris, batuk berdahak
lebuh dari dua minggu, sesak napas, hemoptasis akibat dari terlukanya
pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak
darah pada sputum, sampai kebatuk darah yang massif. Tuberkulosis
postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan
gejala-gejala seperti meningitis, tuberculosis miliar, peritonitis dengan
fenomena papan catur, tuberculosis ginjal, sendi, dan tuberculosis pada
kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.

Diagnosis
Batuk yang lebih dari 2 minggu setelah dicurigai berkontak dengan pasien
tuberculosis dapat di duga sebagai tuberklosis. Pemeriksaan dilanjutkan
dengan pemeriksaan foto toraks, tes kulit, dan pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) yang terdapat di sputum atau bilasan lambung pada anak –
anak.

 Radiologi
- Infiltrat atau nodular, terutama pada lapangan atas paru
- Kavitas

20
- Kalsifikasi
- Efek Ghon
- Atelektasis
- Miliar
- Tuberkuloma (bayangan seperti coin lesion)
Dalam mendiagnosis tuberculosis bukan hanya berdasarkan pada
pemeriksaan radiologi saja akan tetapi juga berdasarkan pada pemeriksaan
bakteriologi. Pada tuberculosis primer tampak gambaran radiologi berupa
infiltrate pada paru-paru unilateral yang disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe dibagian infiltrate berada. Di amerika gambaran radiologi
ini terdapat 95% dari gambaran radiologi tuberculosis. Dinegara
berkembang didapatkan gambaran radiolohi yang beraneka ragam, yakni
infiltrate di bagian apeks paru samapi ke saluran paru, kaverna, infiltrate
pada hamper kedua lapang paru dan efusi pleura dimana merupakan suatu
gambaran yang umum dari radiologi paru. Gambaran radiologi pada paru
yang telah menyembuh adalah berupa fibrosis dan atelektasis.
Tuberculosis sering memberikan gambaran
yang aneh-aneh, terutama gambaran
radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis
is the greatest imitator.

Lokasi lesi umumnya di daerah apeks paru


(segmen apical lobus atausegmen apical
lobus bawah) tetapi dapat juga mengenai
lobus bawah atau di daerah inferior.

Pada awal penyakit saat lesi masih merupkan sarang-sarang pneumonia,


gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas-
batas yang tidak jelas. Bila lesi ini sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal
sebagai tuberkuloma.Gambaran radiologis lain yang sering menyertai
tuberculosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis).

 Mikrobiologi

21
Bahan untuk pemeriksaan radiologi adalah sputum pada pagi hari, bilasan
lambung, dan cairan pleura, serta biakan dari cairan bronkoskopi. Kultur
digunakan untuk diagnosis dan tes resistensi. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan atas adanya BTA (basil tahan asam) pada pengecatan.
Pengecatan secara langsung maupun kultur dari kuman merupakan
diagnosis pasti. Tes resistensi dikerjakan sebagai bahan pertimbangan
dalam penanganan tuberculosis. Pada anak-anak dapat dilakukan
pemeriksaan dari cairan lambung. Cairan plura, cairan bilasan brokoskopi,
srebrospinal, urin, dan cairan sendi dapat digunakan sebagai bahan untuk
pemeriksaan. Bila pasien tidak dapat mengeluarkan sputum maka dapat
diberikan aerosol, terutama larutan garam, yakni dengan cara aerasi. Pada
prinsipnya diperluakan waktu selama 3-8 minggu untuk menumbuhakan
kuman tuberculosis pada pembiakan dan waktu yang lebih lama untuk
menilai tes resistensi. Apabila klinis dan radiologi menunjukkan
kecurigaan pada tuberculosis dan ditambah dengan hasil pemeriksaan dari
basil tahan asam yang positif maka pengobatan harus segera diberikan
tanpa menunggu hasil dari biakkan kuman dan terresistensi.

gambar BTA +
 Tes Tuberkulosis
- Tes mantoux diberikan dengan menyuntikkan 0,1 cc PPD secara
intradermal. Kemudian diameter indurasi yang timbul dibaca 48-72
jam setelah tes. Dikatakan positif bila diameter indurasi lebih besar
dari 10mm
- Tes Heaf dipakai secara luas untuk survey. Satu tetes dari 100.000 IU
tuberculin/cc melalui 6 jarum, difungsikan ke kulit. Hasilnya dibaca
setelah 3-7 hari maka didapat gradasi tes sebagai berikut :
Gradasi I : 1-6 indurasi papula yang halus

22
Gradasi II : adanya cincin indurasi yang dibentuk oleh
sekelompok papula
Gradasi III : indurasi dengan diameter 5-10 mm
Gradasi IV : indurasi dengan lebar lebih dari 10 mm
Hasilnya adalah :
 Gradasi II IV tanpa BCG menunjukkan adanya infeksi atau
gradasi III
 IV dengan vaksinasi BCG menunjukkan adanya infeksi
tuberculosis
 Vakasi BCG sebelumnya hanya akan menghasilkan gradasi I-II
 Anergi terjadi pada sarkoidosis, infeksi HIV, immunosupresi,
atau beberapa minggu setelah kena campak.
 Tuberkulosis miliar atau tuberculosis usia tua menunjukkan
reaksi yang lemah atau mungkin sama sekali tidak terjadi
reaksi.
Pada prinsipnya saat kuman tuberculosis dihancurkan oleh makrofag
maka pada saat itu reaksi imunologi dari tubuh telah dapat dinilai. Cara
lain untuk menentukan reaksi tuberculin ini adalah dengan tes
Mantoux yang positif setelah 2-6 minggu sejak masuknya kuman ke
dalam tubuh. Tes dilakukan dengan 5 TU, reaksi ini diniali positif
setelah 48-72 jam.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi :
 Tes positif jika ditemukan indurasi dan bukan eritema dengan
ukuran lebih dari 10 mm
 Tes dengan indurasi yang kurang dari 10 mm masih dapat
mempunyai kemungkinan terkena tuberculosis, yakni pada
keadaan :
a. Dalam keadaan umum yang buruk
b. Tuberkulosis miliar (50% tes negative)
c. Tuberkulosis pleura (lebih dari 33% tes negative)
d. Tuberkulosis dengan HIV positif (diameter indurasi
berukuran antara 5-10 mm)
e. Kasus tuberculosis yang baru (lebih dari 20% negative)
Selain dari tes dengan 5 TU masih terdapat tes dengan 250 TU dan 1
TU, akan tetapi bukan merupakan suatu standar klinis.
 Biopsi jaringan

23
Biopsi dilakukan terutama pada tuberculosis kelenjar leher dan
bagian lainnya, akan tetapi dapat juga dilakukan biopsy paru.
Terdapatnya gambaran perkejuan dengan sel langhans buanlah
merupakan suatu diagnosis dari tuberculosis oleh karena dasar
dari diagnosis yang positif adalah ditemukannya kuman
Mycobacterium tuberculosis.
 Bronkoskopi
Bilasan transbronkial dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis tuberculosis, baik melalui pemeriksaan
langsung maupun melalui biakan. Hasil dari biopsy pleura
dapat memperlihatkan suau gambaran tuberculosis dan dapat
digunakan untuk bahan pemeriksaan BTA (basil tahan asam)
Terapi
Pertimbangan untuk dilakukannya perawatan adalah hanya terbatas
pada suatau keadaan yang darurat saja, aeperti misalnya batuk darah
atau sesak napas yang berat. Pertimbangan yang lainnya adalah
pertimbangan epidemiologi dimana pasien harus dirawat selama BTA
(basil tahan asam) masih ditemukan di dalam biakan atau sputum.
Berdasarkan pengalaman klinis terapi yang tepat dapat menyebabkan
konversi sputum dari positif ke negative dalam waktu 2 minggu setelah
pengobatan. Tuberkulosis ekstrapulmonal tidak memerlukan perawatan,
kecuali atas dasar pertimbangan kegawatan seperti misalnya pada
meningitis tuberculosis.

Beberapa regimen pengobatan yang dianjurkan antara lain :


 Alternatif yang pertama adalah setiap hari diberikan :
- INH 300 mg
- Rifampisin 600 mg
- Pirazinamid 25-30 mg/kg BB, diberikan berturut-turut selama 2
bulan dan kemudian dengan pemberian INH 300 mg dan
Rifampisin 600 mg selama 4 bulan
 Alternatif yang kedua adalah :
- INH 300 mg
- Rifampisin 600 mg
Diberikan selama 9 bulan
 Alternatif yang ketiga adalah :

24
- INH 900 mg
- Rifampisin 600 mg
Diberikan selama sebulan dan kemudian dilanjutkan dengan 2 kali
seminggu selama 8 bulan
 Alternatif yang keempat adalah :
- Bila terdapat resistensi terhadap INH (Isoniazid), maka dapat
diberikan etambutol dengan dosis 15-25 mg/kg BB.

Pengobatan Tuberkulosis dan Efek Sampingnya

Nama Obat Dosis Efek samping

Isoniazid Dewasa 300 mg/hari Reaksi sensitif,

Anak-anak 10-20 mg/kg Neuropati,


BB/hari hepatitis

Rifampisin Dewasa Hepatitis,


antagonis dengan
< 55kg: 450 mg/hari
obat KB, optik
>55kg : 600 mg/hari

Anak-anak:

10-20 mg/kgBB/hari

Para amino salisilik Dewasa 12gr/hari dibagi Intoleransi traktus


(PAS), seperti dalam 2 dosis digestivus, reaksi
misalnya sodium hipersensitif
Anak-anak 200
amino-salisilat
mg/kgBB/hari

Isoniazid dengan Dewasa (tua/lemah) 3x


Rifampisin sehari

Total dosis perharinya:

Isoniazid 300 mg dan


Rifampisin 450 mg

25
Dewasa biasa 2x sehari

Total dosis perharinya:

Isoniazid 300 mg dan

Rifampisin 600 mg

Isoniazid dengan Hanya untuk dewasa Reaksi sensitive


Etambutol dosis etambutol yang kerusakan
bervariasi diperlukan vestibular dan
untuk pengobatan koklear
isoniazid 300 mg/hari dan
PAS 12 gr/hari

Streptomisin 0,75-1,0 gr/hari Hepatitis


intramuskular

Pirazinamid Hanya untuk dewasa 20-


35 mg/kg/hari dibagi 3
dosis, maksimum 3
gr/hari

Cara mengatasi reaksi yang tidak dikehendaki (Adverse Reaction) pada pengobatan
tuberculosis:

Nama obat Reaksi yang tidak di Cara mengatasi


kehendaki terjadinya reaksi
tersebut

Rifampisin Nausea, anoreksia, nyeri Obat diberikan


lambung, diare sesudah makan

Tingginya serum Berikan


transaminase 2-8 minggu rifampisin dengan
pertama dari pengobatan hati-hati selama

26
hepatitis fase hepatitis

Kemerahan pada kulit Yakinkan


kepala dan gatal-gatal penderita dan
teruskan
pengobatan

Purpura trombositopenik, Rifampisin


anemia hemolitik dan dihentikan dan
kegagalan akut (sangat tidak boleh
jarang) digantikan dengan
preparat yang
lainnya.

Demam menggigil Beri dosis


sesudah makan obat yang intermiten 2 kali
terjadi setelah 3-6 bulan seminggu. Obat
sesudah pengobatan yang berdosis
tinggi tidak
dikurangi dan
berikan dengan
dosis 3 kali
seminggu

Isoniazid Parastesia, rasa terbakar Berikan


pada tangan dan kaki, piridoksin dengan
neuropati perifer isoniazid, bila
dosis isoniazid
melebihi 14
mg/kg BB

27
Etambutol Kebutaan dan buta warna Usahakan dosis
biru. Neuritis retrobulbar dibawah 15
mg/kg BB/hari
dan pasien harus
menceritakan apa
yang terjadi
dengan
penglihatannya.
Bila terdapat
keluhan, maka
obat dihentikan
dan dimulai lagi
dengan dosis yang
rendah.

Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai efek samping. Efek


samping pada hati didapat pada pemberian isoniazid, rifampisin,
pyrazinamide, etionamide, dan PAS dan yang mempunyai efek samping
neuritis adalah isoniazid, streptomisin (nervus vertibularis), dan
etambutol (nervus optikus) bahkan sikloserin mempunyai efek psikosis
sampai ke konvulsi. Oleh karena itu pengawasan terhadap adanya efek
samping pada setiap pengobatan tuberculosis perlu dilakukan.

Pencegahan

Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur kurang dari 15


tahun sampai 80%, akan tetapi dapat mengurangi makna dari
pemeriksaan tes tuberculin.

Indikasi dari vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) adalah:

28
 Pada Negara maju vaksinasi BCG ditujukan pada orang dengan tes
tuberculin yang negatif dan pada orang-orang yang mempunyai
risiko tinggi. Misalnya perawat atau pekerja sukarela.
 Pada Negara berkembang maka vaksinasi BCG hanya efektif
diberikan pada neonatus.

Ada beberapa catatan yang perlu diketahui:

 Pada anak-anak harus dilakukan tes tuberculin. Selain neonatus


maka anak yang dengan tes tuberculin negatif perlu juga
divaksinasi BCG.
 Tidak diberikan pada pasien yang mempunyai
immunocompromised, termasuk kehamilan dan dermatitis yang
luas.
 Bila kemungkinan mempunyai risiko tuberculosis yang tinggi maka
semua neonatus harus diberikan vaksinasi.
 Pada Negara dimana angka prevalensi tuberkulosisnya rendah
maka vaksinasi BCG dapat dijadikan program, akan tetapi tidak
boleh diberikan pada penderita dengan HIV positif.

Indikasi pencegahan:

 Kasus dengan sputum positif harus diobati secara efektif agar tidak
menularkan orang lain.
 Untuk orang yang telah kontak dengan pasien tuberculosis (contact
tracing) maka harus dibuktikan bahwa ia telah terkena tuberculosis,
yakni dengan tes tuberculin dan foto toraks.

Dilakukan pemeriksaan dan pengawasan pada pasien yang dicurigai


menderita tuberculosis,yakni:

a. pada etnis kulit putih dan bangsa Asia dengan tes Heaf positif dan
pernah berkontak dengan pasien yang mempunyai sputum positif
harus diawasi.

29
b. walaupun pemeriksaan BTA langsung negatif, namun tes Heafnya
positif dan pernah berkontak dengan pasien penyakit paru.

c. yang belum pernah mendapat kemoterapi dan mempunyai


kemungkinan terkena.

d. bila tes tuberculin negative maka harus dilakukan tes ulang setelah
8 minggu dan bila tetap negative maka dilakukan vaksinasi BCG.
Apabila tuberculin sudah mengalami konversi, maka pengobatan
harus diberikan. Sputum BTA adalah cara praktis untuk
mendapatkan kasus tuberculosis.

Kemoprofilaksis

 Kemoprofilaksis primer
Kemoprofilaksis primer diberikan untuk membunuh kuman
sebelum kuman mempunyai kemampuan bermultiplikasi dan
menimbulkan penyakit. Diberikan kepada ibu dengan BTA positif,
yakni dengan dosis 5 mg/kg BB yang dapat diberikan selama 3
bulan sampai BTA pada dahak ibu tidak ditemukan lagi dan pada
bayi dilanjutkan dengan vaksinasi BCG.
 Kemoprofilaksis sekunder
Kemoprofikaksis sekunder bertujuan untuk mencegah progresifitas
dari penyakit (pasien denga tes tuberculin positif dan vaksinasi
BCG belum pernah diberikan).

Tuberkulosis dan AIDS

Pada pasien AIDS terdapat penurunan dari daya tahan tubuh sehingga
menyebabkan mudahnya terjadi tuberculosis primer atau teraktifasi dari
tuberculosis primer. Pada pasien AIDS angka tuberculosis meningkat
8% per tahun. Tetapi tuberculosis pada HIV adalah dengan INH 300
mg, rifampisin 600 mg dan pyrazinamide 25-30 mg/kg BB setiap hari
selama 2 bulan. Setelah itu dilanjutkan dengan INH 300 mg dan
rifampisin 600 mg setiap hari selama 6 atau 7 bulan setelah dibiakan

30
kuman tuberculosis negatif. Sebagai tindakan pencegahan maka dapat
diberikan INH 300 mg pada semua kasus atau bila reaksi indurasi pada
tes tuberculin dengan PPD lebih dari 5 mm.[13]

Bronchitis kronik

Bronchitis kronik didefinisikan sebagai adanya sekresi mucus yang


berlebihan pada saluran pernapasan secara terus-menerus dengan
disertai batuk. Pengertian terus-menerus (kronik) adalah terjadi
sepanjang hari selama tidak kurang dari tiga bulan dalam setahun dan
berlangsung selama dua tahun berturut-turut. Batasan ini tidak
mencakup sekresi mucus berlebihan yang disebabkan oleh kanker paru,
tuberculosis dan penyakit gagal jantung kongestif. Batasan yang
digunakan adalah tiga bulan dalam setahun karena yang menyusun
batasan ini adalah para ahli yang menangani pasien di daerah 4 musim.
Diagnosis bronchitis kronik merupakan diagnostic klinis.

Patologi

Bronchitis adalah sebuah penyakit yang mempunyai gambaran


histology berupa hipertrofi kelenjar mukosa bronchial dan peradangan
peribronkial yang menyebabkan kerusakan lumen bronkus berupa
metaplasia skuamosa, silia menjadi abnormal, hyperplasia otot polos
saluran pernapasan, peradangan dan penebalan mukosa bronkus. Sel
neutrofil banyak ditemukan pada lumen bronkus dan infiltrate neutrofil
pada submukosa. Pada bronkiolus respiratorik terjadi peradangan,
banyak ditemukan sel mononuclear, banyak sumbatan mucus,
metaplasia sel goblet, dan hyperplasia otot polos. Seluruh kelainan ini
akan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan.

Manifestasi klinik

Batuk terus-menerus yang disertai dahak dalam jumlah banyak, dan


batuk terbanyak terjadi pada pagi hari. Sebagian besar penderita

31
bronchitis kronik tidak mengenal obstruksi aliran pernapasan, namun
10-15% perokok merupakan golongan yang mengalami penurunan
aliran pernapasan. Penderita batuk produktif kronik yang mempunyai
aliran napas normal disebut penderita bronchitis kronik simplex.
Sedangkan yang disertai penurunan aliran napas yang progresif disebut
penderita bronchitis kronik obstruktif.

Pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk bronchitis kronik yang ringan


sampai sedang, tetapi pada penderita yang mengalami obstruksi napas,
gejalanya tidak nampak pada saat inspeksi, yaitu digunakannya otot
pernapasan tambahan.

Gejala klinis

1. Batuk pada pagi hari pada perokok. Sputum kental dan mungkin
juga purulen, terutama bila terinfeksi oleh Haemophilus influenza.
Pada tingkat permulaan didapatkan adanya dispne yang sesaat.
2. Dispne makin lama makin berat dan sehari penuh, terutama pada
musim dimana udara dingin dan berkabut. Selanjutnya sesak napas
terjadi bila bergerak sedikit saja dan lama-kelamaan dapat terjadi
sesak napas yang berat, sekalipun dalam keadaan istirahat.
3. Pada sebagian pasien sesak justru datangnya pada malam hari,
terutama pada pasien yang berusia tua sehingga menyebabkan tidur
pasien menjadi terganggu. Keadaan ini sama seperti pada gambaran
dekompensasi kordis kiri. Tanda yang paling dominan pada usia
lanjut adalah sesak napas pada waktu bekerja ringan dan sesak
napas ini bersifat progresif.
4. Pink puffer atau blue blotter. Pada pink buffer, ditandai dengan
sesak yang sangat beratdan terdapatnya hiperinflasi paru dan
sianosis, sehingga muka pasienterlihat berwarna merah biru (Pink)
dan bengkak (puffer). Hiperinflasinparu ini dapat menyebabkan
terjadinya gejala-gejala dekompensasi jantung kanan, yakni berupa

32
edema dan asites, tekanan vena jugularis yang meningkat dan
berdilatasi.
Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan faal paru, FEV1 kurang dari 75%. Dalam keadaan


kronik bukan saja FEV1 yang berkurang, akan tetapi VC juga.
Pemeriksaan paru-paru dengan MBBB menunjukkan terdapatnya
penurunan faal paru. Pada keadaan yang kronik keadaan ini sulis
dibedakan dengan asma.
2. Pemeriksaan darah rutin. Dapat ditemukan adanya peninggian
hematokrit dan eritema, serta hipoksemia kronik.
3. Bronkoskopi. Tampak warna mukosa yang merah dan hipersekresi.
4. Pemeriksaan radiologi. Adanya penambahan bronkovaskular dan
pelebaran arteri pulmonalis, disamping ukuran jantung juga
mengalami pembesaran.
Penatalaksanaan

1. Menghidari faktor pencetus.


2. Istirahat yang cukup.
3. Secara farmakologi: - bronkodilator: beta-2 agonis dan
antikolinergik

Antibiotik

Kortikosteroid [14]

33
Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri.virus,jamur,protozoa)
Insidensi
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan
dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia
komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit (pneumonia nosokomial/PN).
Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di
parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%.
Meskipun penyakit ini lebih banyak ditemukan pada daerah
berkembang akan tetapi di negara maju dapat ditemukan kasus yang
cukup signifikan. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa
saja. Meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Pada berbagai
usia penyebabnya cenderung berbeda-beda, dan dapat menjadi pedoman
dalam memberikan terapi.

Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas
yang terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian
hampir di seluruh dunia. Pneumonia dapat terjadi pada orang tanpa
kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa
yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit
dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensi relative terhadap
mikroorganisme patogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika
infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan masyarakat, panti
perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu faktor iklim dan letak
geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini.

Etiologi

34
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian
besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia
bakterialis adalah bakteri positif-gram, Streptococcus pneumonia yang
menyebabkan pneumonia streptokokus. Bakteri staphylococcus aureus
dan streptococcus aeruginosa. Pneumonia lainnya disebabkan oleh
virus, misalnya influenza.
Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan akut yang berat
yang disebabkan oleh pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa
hanya satu lobus paru yang terkena. Ada bermacam-macam pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri lain, misalnya bronkopneumonia yang
penyebabnya sering haemophylus influenza dan pneumococcus.

Bakteri penyebab pneumonia dapat diduga dari lingkungan/tempat


mendapat infeksi
Tempat infeksi Penyebab

Pneumonia yang didapat di Str.pneumonia,H.influenzae,


masyarakat M.catarrhahalis,St.aureus,G
NB (gram negative enteric
bacilli), Atypical agents
(mycoplasma, chlamydia,
legionella)

Pneumonia yang didapat di Str.pneumoniae, GNB, St.aureus,


panti werdha H.influenzae, anaerob, atypical
agents.

Pneumonia yang didapat di rumah GNB (seperti klebsiella


sakit. pneumoniae, pseudomonas
aeruginosa), St.aureus,
polimikrobial..

Patofisiologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja,
dari bayi sampai usia lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca operasi,

35
orang-orang dengan gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi
virus atau menurun kekebalan tubuhnya, adalah yang paling beresiko.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya
karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan
dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium kongesti (4 – 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)

36
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli
dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan
batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah
sampai pulih mencapai keadaan normal.
Klasifikasi
A. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
1. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP)
2. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP)
3. Pneumonia pada penderita immunocompromised Host
4. Pneumonia aspirasi

B. Berdasarkan lokasi infeksi


1. Pneumonia lobaris
Sering disebabkan aspirasi benda asing atau oleh infeksi bakteri
(Staphylococcus), jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan. Pada gambaran radiologis, terlihat
gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu
segmen/lobus atau bercak yang mengikutsertakan alveoli yang
tersebar. Air bronchogram adalah udara yang terdapat pada
percabangan bronchus, yang dikelilingi oleh bayangan opak rongga
udara. Ketika terlihat adanya bronchogram, hal ini bersifat
diagnostik untuk pneumonia lobaris/

2. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)


Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan.

37
Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran
nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan
sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah,
Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer.

3. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus
dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan
mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada
alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata

Diagnosis
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui:
Gambaran Klinis
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-
gejala meliputi:
Gejala Mayor: 1.batuk
2. sputum produktif
3. demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40º C, sakit
tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum
mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas , pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial
yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang
tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan

38
keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh, dan
inkontinensia akut

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.
Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:
 Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus
atau segment paru secara anatomis.
 Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
 Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti
pada atelektasis.
 Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi
paru ; batas lesi dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut
berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan.
 Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
 Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis
yang paling akhir terkena.
 Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
 Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign
(terperangkapnya udara pada bronkus karena tiadanya
pertukaran udara pada alveolus).
Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya penyebab pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering

39
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa
lobus
1.Pneumonia Lobaris

Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu


segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.
2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)
Foto Thorax

Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang


dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus. Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak
homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.

40
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun


tidak menjalar sampai perifer.
3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial


prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih
terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.

CT Scan

41
Gambaran CT Scan pneumonia interstitial pada seorang pria berusia
19 tahun.
(A) Menunjukkan area konsolidasi di prcabangan
peribronkovaskuler yang irreguler.
(B) CT Scan pada hasil follow upselama 2 tahun menunjukkan
area komsolidasi yang irreguler tersebut berkembang
menjadi bronkiektasis atau bronkiolektasis (tanda panah).
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan
pada sputum disertai PMN yang kemungkinan penyebab infeksi.

Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat
dirawat dirumah.
Penderita yang tidak dirawat di RS
 Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres
 Minum banyak
 Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran
 Antibiotika
Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :
Penatalaksanaan Umum
 Pemberian Oksigen
 Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
 Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan
jalan nafas
 Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C,
takikardi atau kelainan jantung.
 Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.

42
Pengobatan Kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia
sebaiknya berdasarkan MO (Mikroorganisme) dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan:
 Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan
nyawa dipertimbangkan pemberian antibiotika walaupun
kuman belum dapat diisolasi.
 Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab sakit, oleh karena itu diputuskan pemberian
antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram sebaiknya
dilakukan.
 Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotic, yang cukup manjur
mengatasi pneumonia oleh bakteri., mikroplasma, dan beberapa kasus
ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di rumah. Selain
antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa
pengaturan pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah
oksigen dalam darah. Pada pasien yang berusia pertengahan,
diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan kondisi
tubuh. Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia
mikroplasma akan letih lesu dalam waktu yang panjang.

Kategori Keterangan Kuman Obat Pilihan I Obat Pilihan


Penyebab II
Kategori - Usia -S.pneumonia -Klaritromisin -
1 penderita -M.pneumonia 2x250 mg Siprofloksasin
< 65 tahun -C.pneumonia 2x500mg atau
- -H.influenzae -Azitromisin Ofloksasin
Peny.Penyerta -Legionale sp 1x500mg 2x400mg
-S.aureus -Rositromisin
(-) -Levofloksasin
-
- Dapat 2x150 mg atau 1x500mg atau
M,tuberculosis
berobat jalan 1x300 mg Moxifloxacin
-Batang Gram
(-) 1x400mg
-Doksisiklin
2x100mg
Kategori - Usia - S.pneumonia - Sepalosporin
- Virus generasi 2 - Makrolid

43
2 penderita - H.influenzae -
> 65 tahun - Batang gram - Trimetroprim Levofloksa
- (-) +Kotrimoksazol sin
Peny.Peny - Aerob - Gatifloksasin
erta (+) - S.aures - Betalaktam -
- Dapat - M.catarrhalis Moxyfloksasin
berobat jalan - Legionalle sp
Kategori - Pneumonia - - Sefalosporin - Piperasilin +
3 berat. S.pneumoniae Generasi 2 atau Tazobaktam
-Perlu dirawat - H.influenzae
di RS, tapi - Polimikroba - Betalaktam + - Sulferason
tidak perlu di termasuk Penghambat
Aerob Betalaktamase +
ICU
- Batang Gram makrolid
(-)
- Legionalla sp
- S.aureus
- Virus
-
C.pneumoniae
-
M.pneumoniae
Kategori - Pneumonia - S.pneumonia - Sefalosporin - Carbapenem/
4 berat - Legionella sp Generasi 3 meropenem
- Perlu - Batang Gram (antipseudomonas) - Vankomicin
dirawat di (-) + makrolid - Linesolid
aerob - Teikoplanin
ICU
- - Sefalosporin
M.pneumonia generasi 4
- Virus
- H.influenzae - Sefalosporin
- Generasi 3 +
M.tuberculosis kuinolon
Jamur endemic

Penyebab tersering pada usia muda : Streptococcus pneumonia


Penyebab tersering pada Lansia : Streptococcus pneumoniae, H.
influenzae, Stafphylococcus aureus,basil Gram negative[15]

Asma Bronkial

44
Asma bronkial adalah penyakit kronik saluran napas
yang ditandai inflamasi kronik yang melibatkan berbagai
sel inflamasi

Etiologi

1. kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi


penyempitan jalan napas
2. Pembengkakan membran bronkus
3. Bronkus terisi mukus

Klasifikasi
1. Asma Intermitten
Gejala kurang dari 2 kali seminggu
Paru-paru normal
2. Asma Persisten Ringan
Gejala lebih dari 2 kali seminggu
Mengganggu tidur
3. Asma Persisten Sedang
Gejala bersifat harian
Serangan malam lebih dari 2 kali seminggu
4. Asma persisten berat
Serangan bersifat terus-menerus
Aktivitas terbatas
Gejala berdasarkan anamnesis:
1. Sesak dan weezhing

Gejala dari pemfis, terlihat pergerakan otot bantu


pernapasan napas pendek

Pemeriksaaan lab sputum Terlihat dahak putih dan


lengket

Pemeriksaan lab darah, terdapat LED tinggi

Pengobatan dengan pemberian β 2 agonis pada saat


serangan[16]

DAFTAR PUSTAKA

45
1. Budiyanto, dkk, 2005
2. Guyton, 1997
3. Carlos Junqueira, dkk, 1998
4. Lauralee Sherwood, hal:498
5. Setiati Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. Halaman 1583 dan Muttaqin Arif. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika. Halaman 36-38.
6. Isselbacher Kurt J, et all. Harrison prinsip-prinsip penyakit dalam, Vol 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. Halaman 199
7. Sherwood lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001. Halaman 604
8. Setiati Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. Halaman 1588-1589
9. Sherwood lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001. Halaman 593.dan
10. Mekanisme terjadinya nyeri kepala primer dan prospek
pengobatannya.oleh dr hasan syahrir. Fk usu .ac id.di ambil tgl 28/10/2014
pukul 22.00.
11. Sherwood lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001. Halaman 593 dan Limana david, Prijanti A Retno. Hantaran
sinyal leptin dan obesitas.. Jakarta: FK UI; Vol 1 no 2 Agustus 2013 dan
Uripi V. Menu untuk penderita Kanker. Jakarta: Puspa Aswara; 2002.
Halaman 28.
12. Bambang supryatno,dep.ilmu kesehatan anak FKUI
Rs.ciptomangunkusumo.jak.maj.kedokteran indonesia.vol.60.nomor 6.juni
2010.
13. Ilmu penyakit paru.Prof.Dr.H.Tabrani Rab.hal: 160-161.penerbit :
CV.TIM)
14. dr. R. Darmanto Djojodibroto, sp.P, FCCP. Respirologi. Jakarta: EGC. Hal.
115-116
15. Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi. Jakarta: EGC halaman 139 –
143
16. Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi. Jakarta: EGC halaman 139 –
143

46
47

Anda mungkin juga menyukai