“MODUL BATUK”
BLOK RESPIRASI
Disusun oleh :
KELOMPOK 13
Pembimbing : dr.Arni Isnaini
H.Ahmad Farenrengi Rusdi 110 213 0025
M.Luthfi syahadatin Irwan 110 213 0026
Devi Indah Permatasari 110 213 0055
Nurfadillah Aziz 110 213 0056
Rida Wahyuni D. 110 213 0085
Andi Fikrah Muliani 110 213 0086
Fadhillah Rufaidah 110 213 0116
A.Nur Qalby T.S.M 110 213 0117
Annisa Maharani 110 213 0146
Nabila Alamoedi 110 213 0147
Fitra Nurul Hudaya 110 213 0152
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
A. SKENARIO
Seorang ibu usia 34 tahun ke puskesmas karena batuk yang dialaminya
yang tidak kunjung berhenti walaupun sudah minum berbagai macam obat
batuk. Selain itu mengeluh sering sesak dan sudah hampir satu minggu ini
demam. Ia juga mengeluh sakit pada seluruh badannya terutama dada,
sakit kepala serta kurang nafsu makan.
1
B. KLARIFIKASI KATA SULIT
Demam ialah peningkatan temperatur tubuh diatas normal ( dr. diana,
kamus kedokteran lengkap. hal 256).
Sesak ialah kesulitan bernapas atau dalam medis disebut sebagai dispneu
(kamus kesehatan.co.id)
C. KATA KUNCI
1. Ibu usia 34 tahun
2. Batuk yang tak kunjung sembuh meskipun sudah minum obat batuk
3. Sesak dan sudah 1 minggu demam
4. sakit bagian dada dan kepala disertai kurang nafsu makan
D. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Jelaskan Anatomi, histologi dan fisiologi sistem pernapasan !
2. Jelaskan patomekanisme dari batuk, sesak, demam dan sakit kepala ?
3. Bagaimana hubungan dari tiap tiap gejala ?
4. Mengapa tidak terjadi remisi meskipun telah mengkomsumsi obat?
5. Jelaskan diagnosis banding dari skenario tersebut, sertakan
penatalaksanaannya!
E. ANALISIS MASALAH
1. Jelaskan Anatomi,histologi dan fisiologi sistem pernapasan !
Anatomi
2
Secara umum saluran udara pernapasan adalah sebagai berikut : dari
nares anterior menuju ke cavitas nasalis, choanae, nasopharynx, larynx,
trachea, bronchus primarius, bronchus secundus, bronchus tertius,
bronchiolus, bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus
alveolaris, atrium alveolaris, sacculus alveolaris, kemudian berakhir
pada alveolus tempat terjadinya pertukaran udara.[1]
Histologi
Secara histologis, saluran napas tersusun dari epitel, sel goblet, kelanjar,
kartilago, otot polos, dan elastin. Epitel dari fossa nasalis sampai
bronchus adalah bertingkat toraks bersilia, sedang setelahnya adalah
selapis kubis bersilia. Sel goblet banyak terdapat di fossa nasalis sampai
bronchus besar, sedang setelahnya sedikit sampai tidak ada. Kartilago
pada trakea berbentuk tapal kuda, pada bronkiolus tidak ditemukan dan
banyak terdapat elastin.[3]
3
Gambar 3. Trakea Gambar 4. Bronchus
Fisiologi
Fungsi utama respirasi adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel
tubuh dan untuk mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel.
4
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfer dan alveoluss akibat kerja mekanik otot-otot.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot
sternocleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan otot serratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks
membesar ke tiga arah: anteropsterior, lateral, dan vertikal. Penurunan
tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg(relatif terhadap tekanan
atmosfer menjadi sekitar -8 mmHg bila perlu mengembang pada waktu
inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menyebabkan
udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir
inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan
paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun
dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam ronggaa toraks,
menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini
meningkatkan dan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai 1 sampai 2
mmHg diatas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan napas dan
atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru
sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.
DIFUSI
Oksigen dan CO2 berpindah dan menembus membran melalui difusi
pasif mengikuti penurunan gradien tekanan parsial. Tekanan parsial
suatu gas dalam udara adalah bagian dari tekanan atmosfer total yang
disumbangkan oleh gas tersebut, yang berbanding lurus dengan
persentase gas ini dalam udara. Tekanan parsial suatu gas dalam darah
bergantung pada jumlah gas tersebutyang larut dalam darah.
TRANSPOR GAS
5
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, maka keduanya
harus diangkut terutama melalui mekanisme di luar pelarut fisik biasa.
Hanya 1,5% O2 yang secara fisik larut dalam dalam darah, dan 98,5%
lainnya secara kimiawi dengan hemoglobin (Hb). Karbon dioksida yang
diambil di kapiler sistemik diangkut dalam darah melalui tiga cara:
1. 10% larut secara fisik,
2. 30% berikatan dengan Hb,
3. 60% mengambil bentuk bikarbonat (HCO3-)
KONTROL PERNAPASAN
Kontrol saraf atas respirasi melibatkan tiga komponen berbeda:
1. Faktor yang menghasilkan irama inspirasi/ekspirasi bergantian
2. Faktor yangatur besar ventilasi (yaitu, kecepatan dan kedalaman
bernapas) untuk memenuhi kebutuhan tubuh, dan
3. Faktor yang memodifikasi aktivitas pernapasan untuk tujuan lain.
Tiga faktor kimiawi berperan dalam menentukan tingkat ventilasi:
PCO2, PO2, dan konsentrasi H+ dalam arteri. Faktor dominan dalam
regulasi ventilasi dari menit ke menit adalah PCO 2 arteri. Peningkatan
PCO2 arteri adalah rangsangan kimiawi paling kuat untuk
meningkatkan ventilasi. Perubahan PO2 arteri mengubah
ventilasiterutama denganmenimbulkan perubahan serta konsentrasi H+
CES otak,, yang kemoreseptor sentral sangat peka terhadappnya.
Kemoreseptor perifer responsif terhadap peningkatan konsentrasi H+
arteri yang juga secara refleks menyebabkan peningkatan ventilasii.
Kemoreseptor perifer juga refleks merangsang pusat respirasi sebagai
respon terhadappenurunan mencolok PO2 arteri (<60 mmHg). Respon
ini berfungsi sebagai mekanisme darurat untuk meningkatkan respirasi
ketika kadar PO2 arteri turun dibawah kisaran aman.[4]
Sesak Napas
6
Sesak napas merupakan gejala nyata adanya gangguan trakobronkhial,
parenkim paru, dan rongga pleura.
7
sensitif. Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya
penyakit ini. Obat-obatan yag dimakan atau injeksi dapat menyebabkan
reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak. Pemeriksaan dahak
dibutuhkan untuk membuktikan adanya radang saluran napas bawah
dan penentuan jebis gram patogen.
1. Faktor psikis
Sesak napas yang berhubungan dengan periode emosi, terjadi
melalui mekanisme hiperventilasi. Alsagaff (1996) mnyebutkan,
dalam oenelitian Dudley ditemukan bahwa klien yang berada di
bawah pengaruh emosi- depresi dan kecemasan- dapat mengalami
sensasi sesak napas melalui mekanisme hipoventilasi. Kedua
mekanisme tersebut secara psikis dapat menampilkan sensasi seak
napas.
2. Faktor peningkatan kerja pernapasan
Jika kemampuan dinding thoraks atau paru untuk mengambang
mengalami penurunan sedangkan tahanan saluran pernapasan
meningkat, maka otot pernapasn memerlukan tenaga guna
memberikan perubahan volume serta tambahan tenaga yang
diperlukan untuk kerja pernapasan.
Peningkatan ventilasi : latihan jasmani, hiperkapnia, hipoksia
hipoksik, asidosis metabolik
Sifat fisik yang berubah
Tahanan elastisitas paru yang meningkat
Tahanan elastisitas dinding torak yang meningkat
Peningkatan tahanan bronkial selain dari tahanan elastis
Hal tersebut di atas menyebabkan kemampuan mengembang
dinding toraks atau paru menurun sedangkan tahanan salursn
pernapasan meningkat sehingga tenaga yang diperlukan untuk
bernapas meningkat yang menyebabkan kebutuhan akan oksigen
8
meningkat namun paru tidak mampu memenuhi kebutuhan
sehingga timbullah sesak napas.
5. penyakit neuromuskuler.[5]
9
Batuk
10
Demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-
hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus (Dinarello & Gelfand , 2005 ). Suhu tubuh normal berkisar
antara 36,5 -37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah
rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau
axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve , 2010). Istilah lain
yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia
adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi
pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan system saraf pusat
11
menimbulkan demam pada anak- anak antara lain pneum onia,
bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,
bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan d emam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus - virus umum seperti
H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara
lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain -lain. Infeksi parasit
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria,
toksoplasmosis, dan helmintiasis
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang
terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis,
systemic lupus erythematosus , vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit
Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat -
obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak -
anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari
pemberian imunisasi selama ±1 - 10 hari. Hal lain yang juga berperan
sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem
saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya.[7]
Nyeri dada
Nyeri dada dapat disebabkan oleh penyakit jantung, paru atau nyeri alih
dari abdomen. Ada dua jenis nyeri dada karena penyakit paru: pleuritik
dan trakeobronkhial.
12
mekanis peradangan otoimun
13
hipotalamus. Sitokin-sitokin ini dapat menyebabkan kematian sel
neuronal. Kematian neuron-neuron yang mengendalikan pusat-pusat
nafsu makan.
Sakit Kepala
14
serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai
refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminalsentral. lnervasi
sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari
ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung
neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar
adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh
SP (substance P), NKA (Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E
(PGEJ) bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP),
mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri
kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi pelepasan
VIP (vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya
gejala nasal congestion dan rhinorrhea.Marker pain sensing nerves lain
yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory
neuron-specific sodium channel (Na), purinergic reseptors (P2X),
isolectin (IB) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor (GFR-∝3
= GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-∝3).
Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam
transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak
memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa
impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi
transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya
periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan
reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons
otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks
somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur
sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga
sebagai generator dan modulator sefalgi. Stimuli elektrode, atau
deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey (PAG)
matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti
migren (migraine like headache). Pada penelitian MRI (Magnetic
15
Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita
migren, CDH (Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non
sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada
penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol.Patofisiologi
CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru yang paling
berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor
NMDA (N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan
menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama.
Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan
kenaikan kadar cGMP (cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di
likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak meninggi pada
likuor pasien CDH. Reseptor opioid di down regulated oleh
penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap
harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem
opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overusedmaka
terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren
menjadi CDH. Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai
dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag
melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF∝ (Tumor
Necrotizing Factor ∝) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell
melepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan
arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel
saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa
reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2) dan peptides
(CGRP, SP).[10]
16
batuk berdahak yang memberat. Refleks batuk juga menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal. Keaadaan ini akan menyebabkan
pasien mengalami gastric refluks yang akan merusak epitel sehingga
nafsu makan menurun lalu pasien akan kehilangan selera makan dan
terjadi penurunan berat badan.[11]
4. Mengapa tidak terjadi remisi meskipun telah mengkomsumsi obat?
Antitusif adalah obat yang bekerja menekan reflex batuk baik secara
sentral maupun perifer pada reaeptor batuk, contohnya dekstrometordan
hidrobromid (non narcotic antitussive) dan kodein fosfat (narcotic
antitussive). Antitusif merupakan obat suportif lain yang diberikan pada
batuk kronik. Pemberian antitusif akan membuat sputum tidak dapat
keluar karena menekan reflex batuk yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan sputum. Selain itu pun, antitusif juga dapat menurunkan
kerja silia. Oleh karena itu, antitusif digunakan pada batuk non
produktif (batuk kering) atau tidak boleh digunakan pada batuk
supuratif dan hipersekresi lendir Antitusif perlu dipertimbangkan pada
kasus pertusis yang dapat terjadi apnea akibat batuk yang berat
sehingga tidak dapat inspirasi karena batuknya. Pada keadaan tersebut,
antitusif dapat diberikan, tetapi secara umum pemberian antitusif
sedapat muingkin dihindarkan. Pada asma, pemberian antitusif
merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadaan asmanya.
dan juga pemberian obat sebaiknya didasarkan pada mikroorganisme
yang menyebabkan penyakit, hal ini bertujuan agar penyakit pasien
dapat sembuh dan mencegah resisten dari mikroorganisme.[12]
TUBERKULOSIS PARU
17
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga
mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrane selnya
sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan
pertumbuhan dari umannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini
tidak tahan terhadap ultraviolet, Karena itu penularannya terutama
terjadi pada malam hari.
Tuberkulosis primer
18
Terdapat pada anak-anak. Setelah tertular 6-8 minggu kemudian mulai
dibentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga tes tuberculin
menjadi positif. Didalam alveoli yang kemasukan kuman terjdi
penghancuran (lisis) bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan
terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer,
maka mulailah terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai pulai
dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses
infeksi yang terjadi dibawah lobus paru disertai dengan pembesaran dari
kelenjar limfe hilus. Kuman tuberculosis akan mengalami penyebaran
secara hematogen ke apeks paru yang kaya dengan oksigen dan kemudian
berdiam diri (dorman) untuk menunggu reaksi yang lebih lanjut.
Tipe reinfeksi
Infeksi yang baru terjadi setelah infeksi primer adalah jarang terjadi.
Mungkin dapat terjadi apabila terdapat penurunan dari imunitas tubuh
akan terjadi penularan secara terus menerus oleh kuman tersebut dalam
satu keluarga.
Klinis
Batuk
Sputum mukoid atau purulen
Nyeri dada
19
Hemoptisis
Dispne
Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari
Berat badan berkurang
Anoreksia
Malaise
Ronki basah di apeks paru
Wheezing (mengi) yang terlokalosir
Gejala klinis yang tampak tergantung daro tipe infeksinya. Pda tipe infeksi
yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa
gejala neunomia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala tuberculosis,
primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau
dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak
napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat menyembuh dengan
sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya berkisar sekitar 50%.
Pada tuberculosis postprimer terdapat gejala penurunan berat badan,
keringat dingin pada malam hari, temparatur subfebris, batuk berdahak
lebuh dari dua minggu, sesak napas, hemoptasis akibat dari terlukanya
pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak
darah pada sputum, sampai kebatuk darah yang massif. Tuberkulosis
postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan
gejala-gejala seperti meningitis, tuberculosis miliar, peritonitis dengan
fenomena papan catur, tuberculosis ginjal, sendi, dan tuberculosis pada
kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.
Diagnosis
Batuk yang lebih dari 2 minggu setelah dicurigai berkontak dengan pasien
tuberculosis dapat di duga sebagai tuberklosis. Pemeriksaan dilanjutkan
dengan pemeriksaan foto toraks, tes kulit, dan pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) yang terdapat di sputum atau bilasan lambung pada anak –
anak.
Radiologi
- Infiltrat atau nodular, terutama pada lapangan atas paru
- Kavitas
20
- Kalsifikasi
- Efek Ghon
- Atelektasis
- Miliar
- Tuberkuloma (bayangan seperti coin lesion)
Dalam mendiagnosis tuberculosis bukan hanya berdasarkan pada
pemeriksaan radiologi saja akan tetapi juga berdasarkan pada pemeriksaan
bakteriologi. Pada tuberculosis primer tampak gambaran radiologi berupa
infiltrate pada paru-paru unilateral yang disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe dibagian infiltrate berada. Di amerika gambaran radiologi
ini terdapat 95% dari gambaran radiologi tuberculosis. Dinegara
berkembang didapatkan gambaran radiolohi yang beraneka ragam, yakni
infiltrate di bagian apeks paru samapi ke saluran paru, kaverna, infiltrate
pada hamper kedua lapang paru dan efusi pleura dimana merupakan suatu
gambaran yang umum dari radiologi paru. Gambaran radiologi pada paru
yang telah menyembuh adalah berupa fibrosis dan atelektasis.
Tuberculosis sering memberikan gambaran
yang aneh-aneh, terutama gambaran
radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis
is the greatest imitator.
Mikrobiologi
21
Bahan untuk pemeriksaan radiologi adalah sputum pada pagi hari, bilasan
lambung, dan cairan pleura, serta biakan dari cairan bronkoskopi. Kultur
digunakan untuk diagnosis dan tes resistensi. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan atas adanya BTA (basil tahan asam) pada pengecatan.
Pengecatan secara langsung maupun kultur dari kuman merupakan
diagnosis pasti. Tes resistensi dikerjakan sebagai bahan pertimbangan
dalam penanganan tuberculosis. Pada anak-anak dapat dilakukan
pemeriksaan dari cairan lambung. Cairan plura, cairan bilasan brokoskopi,
srebrospinal, urin, dan cairan sendi dapat digunakan sebagai bahan untuk
pemeriksaan. Bila pasien tidak dapat mengeluarkan sputum maka dapat
diberikan aerosol, terutama larutan garam, yakni dengan cara aerasi. Pada
prinsipnya diperluakan waktu selama 3-8 minggu untuk menumbuhakan
kuman tuberculosis pada pembiakan dan waktu yang lebih lama untuk
menilai tes resistensi. Apabila klinis dan radiologi menunjukkan
kecurigaan pada tuberculosis dan ditambah dengan hasil pemeriksaan dari
basil tahan asam yang positif maka pengobatan harus segera diberikan
tanpa menunggu hasil dari biakkan kuman dan terresistensi.
gambar BTA +
Tes Tuberkulosis
- Tes mantoux diberikan dengan menyuntikkan 0,1 cc PPD secara
intradermal. Kemudian diameter indurasi yang timbul dibaca 48-72
jam setelah tes. Dikatakan positif bila diameter indurasi lebih besar
dari 10mm
- Tes Heaf dipakai secara luas untuk survey. Satu tetes dari 100.000 IU
tuberculin/cc melalui 6 jarum, difungsikan ke kulit. Hasilnya dibaca
setelah 3-7 hari maka didapat gradasi tes sebagai berikut :
Gradasi I : 1-6 indurasi papula yang halus
22
Gradasi II : adanya cincin indurasi yang dibentuk oleh
sekelompok papula
Gradasi III : indurasi dengan diameter 5-10 mm
Gradasi IV : indurasi dengan lebar lebih dari 10 mm
Hasilnya adalah :
Gradasi II IV tanpa BCG menunjukkan adanya infeksi atau
gradasi III
IV dengan vaksinasi BCG menunjukkan adanya infeksi
tuberculosis
Vakasi BCG sebelumnya hanya akan menghasilkan gradasi I-II
Anergi terjadi pada sarkoidosis, infeksi HIV, immunosupresi,
atau beberapa minggu setelah kena campak.
Tuberkulosis miliar atau tuberculosis usia tua menunjukkan
reaksi yang lemah atau mungkin sama sekali tidak terjadi
reaksi.
Pada prinsipnya saat kuman tuberculosis dihancurkan oleh makrofag
maka pada saat itu reaksi imunologi dari tubuh telah dapat dinilai. Cara
lain untuk menentukan reaksi tuberculin ini adalah dengan tes
Mantoux yang positif setelah 2-6 minggu sejak masuknya kuman ke
dalam tubuh. Tes dilakukan dengan 5 TU, reaksi ini diniali positif
setelah 48-72 jam.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi :
Tes positif jika ditemukan indurasi dan bukan eritema dengan
ukuran lebih dari 10 mm
Tes dengan indurasi yang kurang dari 10 mm masih dapat
mempunyai kemungkinan terkena tuberculosis, yakni pada
keadaan :
a. Dalam keadaan umum yang buruk
b. Tuberkulosis miliar (50% tes negative)
c. Tuberkulosis pleura (lebih dari 33% tes negative)
d. Tuberkulosis dengan HIV positif (diameter indurasi
berukuran antara 5-10 mm)
e. Kasus tuberculosis yang baru (lebih dari 20% negative)
Selain dari tes dengan 5 TU masih terdapat tes dengan 250 TU dan 1
TU, akan tetapi bukan merupakan suatu standar klinis.
Biopsi jaringan
23
Biopsi dilakukan terutama pada tuberculosis kelenjar leher dan
bagian lainnya, akan tetapi dapat juga dilakukan biopsy paru.
Terdapatnya gambaran perkejuan dengan sel langhans buanlah
merupakan suatu diagnosis dari tuberculosis oleh karena dasar
dari diagnosis yang positif adalah ditemukannya kuman
Mycobacterium tuberculosis.
Bronkoskopi
Bilasan transbronkial dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis tuberculosis, baik melalui pemeriksaan
langsung maupun melalui biakan. Hasil dari biopsy pleura
dapat memperlihatkan suau gambaran tuberculosis dan dapat
digunakan untuk bahan pemeriksaan BTA (basil tahan asam)
Terapi
Pertimbangan untuk dilakukannya perawatan adalah hanya terbatas
pada suatau keadaan yang darurat saja, aeperti misalnya batuk darah
atau sesak napas yang berat. Pertimbangan yang lainnya adalah
pertimbangan epidemiologi dimana pasien harus dirawat selama BTA
(basil tahan asam) masih ditemukan di dalam biakan atau sputum.
Berdasarkan pengalaman klinis terapi yang tepat dapat menyebabkan
konversi sputum dari positif ke negative dalam waktu 2 minggu setelah
pengobatan. Tuberkulosis ekstrapulmonal tidak memerlukan perawatan,
kecuali atas dasar pertimbangan kegawatan seperti misalnya pada
meningitis tuberculosis.
24
- INH 900 mg
- Rifampisin 600 mg
Diberikan selama sebulan dan kemudian dilanjutkan dengan 2 kali
seminggu selama 8 bulan
Alternatif yang keempat adalah :
- Bila terdapat resistensi terhadap INH (Isoniazid), maka dapat
diberikan etambutol dengan dosis 15-25 mg/kg BB.
Anak-anak:
10-20 mg/kgBB/hari
25
Dewasa biasa 2x sehari
Rifampisin 600 mg
Cara mengatasi reaksi yang tidak dikehendaki (Adverse Reaction) pada pengobatan
tuberculosis:
26
hepatitis fase hepatitis
27
Etambutol Kebutaan dan buta warna Usahakan dosis
biru. Neuritis retrobulbar dibawah 15
mg/kg BB/hari
dan pasien harus
menceritakan apa
yang terjadi
dengan
penglihatannya.
Bila terdapat
keluhan, maka
obat dihentikan
dan dimulai lagi
dengan dosis yang
rendah.
Pencegahan
28
Pada Negara maju vaksinasi BCG ditujukan pada orang dengan tes
tuberculin yang negatif dan pada orang-orang yang mempunyai
risiko tinggi. Misalnya perawat atau pekerja sukarela.
Pada Negara berkembang maka vaksinasi BCG hanya efektif
diberikan pada neonatus.
Indikasi pencegahan:
Kasus dengan sputum positif harus diobati secara efektif agar tidak
menularkan orang lain.
Untuk orang yang telah kontak dengan pasien tuberculosis (contact
tracing) maka harus dibuktikan bahwa ia telah terkena tuberculosis,
yakni dengan tes tuberculin dan foto toraks.
a. pada etnis kulit putih dan bangsa Asia dengan tes Heaf positif dan
pernah berkontak dengan pasien yang mempunyai sputum positif
harus diawasi.
29
b. walaupun pemeriksaan BTA langsung negatif, namun tes Heafnya
positif dan pernah berkontak dengan pasien penyakit paru.
d. bila tes tuberculin negative maka harus dilakukan tes ulang setelah
8 minggu dan bila tetap negative maka dilakukan vaksinasi BCG.
Apabila tuberculin sudah mengalami konversi, maka pengobatan
harus diberikan. Sputum BTA adalah cara praktis untuk
mendapatkan kasus tuberculosis.
Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis primer
Kemoprofilaksis primer diberikan untuk membunuh kuman
sebelum kuman mempunyai kemampuan bermultiplikasi dan
menimbulkan penyakit. Diberikan kepada ibu dengan BTA positif,
yakni dengan dosis 5 mg/kg BB yang dapat diberikan selama 3
bulan sampai BTA pada dahak ibu tidak ditemukan lagi dan pada
bayi dilanjutkan dengan vaksinasi BCG.
Kemoprofilaksis sekunder
Kemoprofikaksis sekunder bertujuan untuk mencegah progresifitas
dari penyakit (pasien denga tes tuberculin positif dan vaksinasi
BCG belum pernah diberikan).
Pada pasien AIDS terdapat penurunan dari daya tahan tubuh sehingga
menyebabkan mudahnya terjadi tuberculosis primer atau teraktifasi dari
tuberculosis primer. Pada pasien AIDS angka tuberculosis meningkat
8% per tahun. Tetapi tuberculosis pada HIV adalah dengan INH 300
mg, rifampisin 600 mg dan pyrazinamide 25-30 mg/kg BB setiap hari
selama 2 bulan. Setelah itu dilanjutkan dengan INH 300 mg dan
rifampisin 600 mg setiap hari selama 6 atau 7 bulan setelah dibiakan
30
kuman tuberculosis negatif. Sebagai tindakan pencegahan maka dapat
diberikan INH 300 mg pada semua kasus atau bila reaksi indurasi pada
tes tuberculin dengan PPD lebih dari 5 mm.[13]
Bronchitis kronik
Patologi
Manifestasi klinik
31
bronchitis kronik tidak mengenal obstruksi aliran pernapasan, namun
10-15% perokok merupakan golongan yang mengalami penurunan
aliran pernapasan. Penderita batuk produktif kronik yang mempunyai
aliran napas normal disebut penderita bronchitis kronik simplex.
Sedangkan yang disertai penurunan aliran napas yang progresif disebut
penderita bronchitis kronik obstruktif.
Gejala klinis
1. Batuk pada pagi hari pada perokok. Sputum kental dan mungkin
juga purulen, terutama bila terinfeksi oleh Haemophilus influenza.
Pada tingkat permulaan didapatkan adanya dispne yang sesaat.
2. Dispne makin lama makin berat dan sehari penuh, terutama pada
musim dimana udara dingin dan berkabut. Selanjutnya sesak napas
terjadi bila bergerak sedikit saja dan lama-kelamaan dapat terjadi
sesak napas yang berat, sekalipun dalam keadaan istirahat.
3. Pada sebagian pasien sesak justru datangnya pada malam hari,
terutama pada pasien yang berusia tua sehingga menyebabkan tidur
pasien menjadi terganggu. Keadaan ini sama seperti pada gambaran
dekompensasi kordis kiri. Tanda yang paling dominan pada usia
lanjut adalah sesak napas pada waktu bekerja ringan dan sesak
napas ini bersifat progresif.
4. Pink puffer atau blue blotter. Pada pink buffer, ditandai dengan
sesak yang sangat beratdan terdapatnya hiperinflasi paru dan
sianosis, sehingga muka pasienterlihat berwarna merah biru (Pink)
dan bengkak (puffer). Hiperinflasinparu ini dapat menyebabkan
terjadinya gejala-gejala dekompensasi jantung kanan, yakni berupa
32
edema dan asites, tekanan vena jugularis yang meningkat dan
berdilatasi.
Pemeriksaan penunjang
33
Pneumonia
Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas
yang terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian
hampir di seluruh dunia. Pneumonia dapat terjadi pada orang tanpa
kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa
yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit
dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensi relative terhadap
mikroorganisme patogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika
infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan masyarakat, panti
perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu faktor iklim dan letak
geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini.
Etiologi
34
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian
besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia
bakterialis adalah bakteri positif-gram, Streptococcus pneumonia yang
menyebabkan pneumonia streptokokus. Bakteri staphylococcus aureus
dan streptococcus aeruginosa. Pneumonia lainnya disebabkan oleh
virus, misalnya influenza.
Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan akut yang berat
yang disebabkan oleh pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa
hanya satu lobus paru yang terkena. Ada bermacam-macam pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri lain, misalnya bronkopneumonia yang
penyebabnya sering haemophylus influenza dan pneumococcus.
Patofisiologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja,
dari bayi sampai usia lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca operasi,
35
orang-orang dengan gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi
virus atau menurun kekebalan tubuhnya, adalah yang paling beresiko.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya
karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan
dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium kongesti (4 – 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)
36
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli
dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan
batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah
sampai pulih mencapai keadaan normal.
Klasifikasi
A. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
1. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP)
2. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP)
3. Pneumonia pada penderita immunocompromised Host
4. Pneumonia aspirasi
37
Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran
nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan
sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah,
Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer.
3. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus
dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan
mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada
alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata
Diagnosis
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui:
Gambaran Klinis
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-
gejala meliputi:
Gejala Mayor: 1.batuk
2. sputum produktif
3. demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40º C, sakit
tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum
mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas , pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial
yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang
tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan
38
keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh, dan
inkontinensia akut
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.
Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:
Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus
atau segment paru secara anatomis.
Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti
pada atelektasis.
Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi
paru ; batas lesi dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut
berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan.
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis
yang paling akhir terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign
(terperangkapnya udara pada bronkus karena tiadanya
pertukaran udara pada alveolus).
Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya penyebab pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
39
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa
lobus
1.Pneumonia Lobaris
40
CT Scan
CT Scan
41
Gambaran CT Scan pneumonia interstitial pada seorang pria berusia
19 tahun.
(A) Menunjukkan area konsolidasi di prcabangan
peribronkovaskuler yang irreguler.
(B) CT Scan pada hasil follow upselama 2 tahun menunjukkan
area komsolidasi yang irreguler tersebut berkembang
menjadi bronkiektasis atau bronkiolektasis (tanda panah).
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan
pada sputum disertai PMN yang kemungkinan penyebab infeksi.
Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat
dirawat dirumah.
Penderita yang tidak dirawat di RS
Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres
Minum banyak
Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran
Antibiotika
Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :
Penatalaksanaan Umum
Pemberian Oksigen
Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan
jalan nafas
Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C,
takikardi atau kelainan jantung.
Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.
42
Pengobatan Kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia
sebaiknya berdasarkan MO (Mikroorganisme) dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan:
Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan
nyawa dipertimbangkan pemberian antibiotika walaupun
kuman belum dapat diisolasi.
Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab sakit, oleh karena itu diputuskan pemberian
antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram sebaiknya
dilakukan.
Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotic, yang cukup manjur
mengatasi pneumonia oleh bakteri., mikroplasma, dan beberapa kasus
ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di rumah. Selain
antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa
pengaturan pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah
oksigen dalam darah. Pada pasien yang berusia pertengahan,
diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan kondisi
tubuh. Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia
mikroplasma akan letih lesu dalam waktu yang panjang.
43
2 penderita - H.influenzae -
> 65 tahun - Batang gram - Trimetroprim Levofloksa
- (-) +Kotrimoksazol sin
Peny.Peny - Aerob - Gatifloksasin
erta (+) - S.aures - Betalaktam -
- Dapat - M.catarrhalis Moxyfloksasin
berobat jalan - Legionalle sp
Kategori - Pneumonia - - Sefalosporin - Piperasilin +
3 berat. S.pneumoniae Generasi 2 atau Tazobaktam
-Perlu dirawat - H.influenzae
di RS, tapi - Polimikroba - Betalaktam + - Sulferason
tidak perlu di termasuk Penghambat
Aerob Betalaktamase +
ICU
- Batang Gram makrolid
(-)
- Legionalla sp
- S.aureus
- Virus
-
C.pneumoniae
-
M.pneumoniae
Kategori - Pneumonia - S.pneumonia - Sefalosporin - Carbapenem/
4 berat - Legionella sp Generasi 3 meropenem
- Perlu - Batang Gram (antipseudomonas) - Vankomicin
dirawat di (-) + makrolid - Linesolid
aerob - Teikoplanin
ICU
- - Sefalosporin
M.pneumonia generasi 4
- Virus
- H.influenzae - Sefalosporin
- Generasi 3 +
M.tuberculosis kuinolon
Jamur endemic
Asma Bronkial
44
Asma bronkial adalah penyakit kronik saluran napas
yang ditandai inflamasi kronik yang melibatkan berbagai
sel inflamasi
Etiologi
Klasifikasi
1. Asma Intermitten
Gejala kurang dari 2 kali seminggu
Paru-paru normal
2. Asma Persisten Ringan
Gejala lebih dari 2 kali seminggu
Mengganggu tidur
3. Asma Persisten Sedang
Gejala bersifat harian
Serangan malam lebih dari 2 kali seminggu
4. Asma persisten berat
Serangan bersifat terus-menerus
Aktivitas terbatas
Gejala berdasarkan anamnesis:
1. Sesak dan weezhing
DAFTAR PUSTAKA
45
1. Budiyanto, dkk, 2005
2. Guyton, 1997
3. Carlos Junqueira, dkk, 1998
4. Lauralee Sherwood, hal:498
5. Setiati Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. Halaman 1583 dan Muttaqin Arif. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika. Halaman 36-38.
6. Isselbacher Kurt J, et all. Harrison prinsip-prinsip penyakit dalam, Vol 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. Halaman 199
7. Sherwood lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001. Halaman 604
8. Setiati Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. Halaman 1588-1589
9. Sherwood lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001. Halaman 593.dan
10. Mekanisme terjadinya nyeri kepala primer dan prospek
pengobatannya.oleh dr hasan syahrir. Fk usu .ac id.di ambil tgl 28/10/2014
pukul 22.00.
11. Sherwood lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2001. Halaman 593 dan Limana david, Prijanti A Retno. Hantaran
sinyal leptin dan obesitas.. Jakarta: FK UI; Vol 1 no 2 Agustus 2013 dan
Uripi V. Menu untuk penderita Kanker. Jakarta: Puspa Aswara; 2002.
Halaman 28.
12. Bambang supryatno,dep.ilmu kesehatan anak FKUI
Rs.ciptomangunkusumo.jak.maj.kedokteran indonesia.vol.60.nomor 6.juni
2010.
13. Ilmu penyakit paru.Prof.Dr.H.Tabrani Rab.hal: 160-161.penerbit :
CV.TIM)
14. dr. R. Darmanto Djojodibroto, sp.P, FCCP. Respirologi. Jakarta: EGC. Hal.
115-116
15. Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi. Jakarta: EGC halaman 139 –
143
16. Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi. Jakarta: EGC halaman 139 –
143
46
47