Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN HASIL TUTORIAL BLOK 3.

5
GANGGUAN NEUROMUSKULOSKELETAL
MODUL 1 : KELAINAN KONGENITAL SISTEM
MUSKULOSKELETAL
SKENARIO
NIKMAT MEMBAWA SENGSARA?
Oleh : Kelompok 8-B
Anelia Tiara Suci
Ardho Mahamada
Chika Asdiana
Ferihartinda Adilla
Ilham Ari Seja
Siqbal karta Asmana
Suci Rulliansari
Vadhana Trunakarasu
Virissa Calista Harbaindo
Tutor : dr. Rima Semiarty, MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


PADANG 2014

NIKMAT MEMBAWA SENGSARA


Syamila, ibu muda yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Ditolong oleh bidan
dipuskesmas dengan persalinan normal, perempuan dengan BB 2,5 kg. Namun informasi dari

bidan mengatakan bahwa ada kelainan pada kaki kanan anaknya. Syamila dan suami sangat
kaget dan memang terlihat kaki anaknya bengkok kedalam. Atas anjuran dokter puskesmas
sebaiknya anak tersebut dibawa ke RS untuk dilakukan tindakan selanjutnya. Ketika di RS,
Dokter menanyakan apakah ada dari keluarga yang memilki kelainan seperti anaknya, Syamila
mengatakan tidak ada keluarga dari orang tuanya maupun dari keluarga suaminya mengalami
kelainan seperi anaknya. Dari pemeriksaan screening yang dilakukan dokter ditemukan
kelainan pada pergelangan kaki kanan anaknya berupa inversi, adduksi dan equinus. Tidak ada
kelainan spina bifida. Ortolani dan Barlow test negatif, dan Galeazzi sign, suatu penanda leg
length discrepancy juga negatif. Dokter menerangkan akan dilakuakn pemasangan gips serial
secara Ponseti method segera dan diharapkan kaki anak Syamila akan kembali normal.
Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada anak Syamila?
TERMINOLOGI
1. Inversi : Gerak memiringkan telapak kaki kedalam tubuh.
2. Adduksi : Gerakan mendekati tubuh/garis tengah
3. Equinus : Kondisi pergelangan kaki kurangklentur kearah atas, jadi arah kaki cenderung
kebawah.
4. Spina bifida : Suatu celah pada tulang belakang ( vertebrae ) yang terjadi karenabagian
satu atau beberapa vertebra gagal menutup
5. Tes Barlow : suatu manuver yang bertujuan untuk menguji DDH dengan usaha
mengeluarkan kaput femur dari acetabulum dengan melakukan adduksi kaki bayi
dan ibu jari pemeriksa diletakkan dilipatan paha.
6. Tes Ortolani : suatu manuver uji DDH dengan memasukkan kaput femur ke
acetabulum dengan melakukan abduksi pada kaki bayi (gerakkan ke lateral).
7.

Galeazzi sign : Fleksikan femur, dekatkan antara kiri dan kanan, lihat apakah lututnya
sama panjang atau tidak.

8. Leg length discrepancy : perbedaan panjang tungkai bawah


9. Ponseti method : metode non surgical yang terdiri atas pemasangan gips secara serial

RUMUSAN MASALAH
1.Apakah ada hubungan cara persalinan, BB dengan kondisi anak Ny Syamila yang sekarang?

2. Apa kemungkinan penyakit yang berhubungan dengan kaki bengkok dalam skenario dan
pemeriksaan?
3. Mengapa kaki kanan Syamila bengkok kedalam?
4. Mengapa dokter menanyakan riwayat keluarga yang mengalami kondisi yang sama pada
Syamila?
5. Apa interpretasi dari pemerikasaan screening?
6. Bagaimana pemasangan gips serial secara Ponseti method?
7. Apa terapi yang lain yang dapat dilakukan untuk anak Syamila?
8. Bagaimana prognosis anak Ny. Syamila?

ANALISIS MASALAH
1. Cara persalinan persalinan tidak berhubungan dengan adanya kelainan kongenital yang
didapat oleh anak Ny. Syamila
BB : berhubungan dengan nutrisi
Dalam kelainan kongenital ini ( CTEV) : laki2 lebih sering daripda perempuan
2. CTEV : merupakan kelainan pada kaki, dimana kaki belakang
equinus (mengarah ke bawah), varus (mengarah ke dalam/
medial), dan kaki depan adduktus (mendekati tubuh).
3. Etiologi : masih belum diketahui
faktor resiko :
Faktor mekanik penekanan pada janin
Resistent dinding perut.
Gangguan posisi in utero.
Cairan amnion sedikit. oligohydramnion
Kelainan anatomi dan histologi
Fibrosis pada tendon dan otot
Kelainan talus

4. Karena diduga ada faktor genetik


5. CTEV
Inversi (mengarah ke medial) tumit.
Adduksi dan supinasi kaki depan pada sendi mid dorsal
Equinus kaki belakang pada sendi ankle
Test Barlow : Positif bila saat mengeluarkan kaput femur, teraba kaputnya oleh ibu
jari pemeriksa & ada bunyi klik (
Test Ortolani : Positif bila ada bunyi klik saat trokanter mayor ditekan ke dalam dan
terasa caput yang tadi keluar saat tes Barlow kembali masuk ke acetbulum.
Bunyi klik pada barlow dan ortolani tidak
semua orang yang bisa mendengar
Galeazzi sign (-) : kaki sama panjang
karena (-) : DDH
Tidak ada kelainan spina bifida : kelainan pada tulang vertebrae (-)
6.

1. Gips
2.bidaips equinovalus
3. Sepatu bidai
4. Sepatu terbalik : sampai 3 tahun

7. Apa terapi yang lain yang dapat dilakukan untuk anak Syamila?
tindakan operatif
Indikasi
Gagal koreksi dengan gips, biasanya type rigid
Neglegted atau umur tua
Type rigid
8. 90 % baik dengan metode ponseti
Tergantung jenis kelainan (rigid atau fleksibel) dan tergantung usia saat ditatalaksana.
Semakin Fleksibel dan semakin muda ditatalaksana, maka prognosis akan semakin baik.

SKEMA

Learning Objective
Berdasarkan skenario dan masalah yang ditemukan, maka mahasiswa diharapkan mampu
mengetahui, memahami, dan menjelaskan tentang :
Epidemiologi, etiologi dan faktor resiko, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan dan
diagnosis, tatalaksana , prognosis, dan komplikasi dari berbagai penyakit kongenital pada
sistem muskuloskeletal. Penyakit yang dibahas adalah yang memiliki angka kejadian paling
sering, yakni :
1. Skoliosis
2. Osteogenesis imperfekta
3. Sindrom Marfan
4. Achondroplasia
5. Duchenne Muscular Dystrophy
6. Congenital Talipes Equino Varus (CTEV)

I.

Gathering Information
1. SKOLIOSIS
a. Definisi
Scoliosis adalah suatu keabnormalan tulang belakang yang dapat terjadi di regio
toraks, lumbal, maupun sakral, dimana adanya deformitas tulang belakang serta adanya rotasi
dan bentukan kurva.
b. Epidemiologi
Lebih sering terjadi pada wanita dengan 80 % kasus merupakan idiopatik
Pada anak, dapat terjadi malformasi system urogenital dalam 20 % kasus
scoliosis kongenital, dan 10-15 % untuk penyakit jantung bawaan
c. Etiologi dan Klasifikasi
Skoliosis idiopatik :
o Infantile (0-3 tahun)
o Juvenile (4-10 tahun)
o Adolescent (11 tahun ke atas)
Scoliosis congenital :
o Kegagalan formasi vertebrae, seperti adanya hemivertebrae

Kegagalan pembentukan segmen vertebrae


Scoliosis neuromuskuler :
o Penyakit neuropatik :
Lesi UMN : serebral palsy, ataksia Friedreich, tumor dan
trauma medulla spinalis
Lesi LMN : poliomyelitis dan spinal muscular atrophy
o Penyakit myopatik :
Duchenne muscular dystrophy
Lain-lain :
o Sindrom seperti pada kasus neurofibromatosis dan Marfan
o Panjang kaki yang tidak sama scoliosis postural
d. Patofisiologi dan Patogenesis
Untuk scoliosis idiopatik karena tidak jelas penyebabnya maka biasanya
progresivitas penyakitlah yang dapat dijelaskan, bergantung umur dan onset
munculnya penyakit. Deformitas akan semakin berat apabila terkena pada usia
yang lebih muda.
Untuk scoliosis congenital duduga karena adanya defek embriologis dari
penyatuan sklerotom pembentuk segmen vertebrae, sehingga dapat terjadi
kondisi hemivertebrae dan lainnya yang menyebabkan terganggunya rotasi
dan deformitas tulang belakang.
e. Manifestasi Klinis
Skoliosis idiopatik :
o Asimetri dari dinding dada posterior dan anterior
o Asimetri tinggi bahu dan punggung
o Ketidaksimetrisan panjang ekstremitas
o Pada juvenile onset dapat juga ditemukan pola kurva atipik, bintik caf au
lait, asimetris ukuran sepatu, deformitas kaki, dan riwayat nyeri punggung
sebagai komplikasi
Skoliosis neuromuskuler
o Selain gejala seperti skoliosis idiopatik, dapat juga ditemukan adanya
gangguan keseimbangan dan gejala-gejala paralisis otot yang berat, seperti
penurunan kerja otot-otot pernapasan
o Ada tanda-tanda atrofi otot
Skoliosis kongenital
o Disertai dengan gejala penyakit congenital lainnya, seperti gangguan
fungsi miksi, gangguan kerja jantung, dan defek dari medulla spinalis
f. Pemeriksaan dan Diagnosis

Anamnesis, meliputi riwayat pasien dan keluhan umum, riwayat


keluarga, kelainan selama kehamilan atau persalinan, dan kejadian penting
dalam awal perkembangan pasien
o

Pemeriksaan fisik : melihat seluruh badan dari belakang, depan, dan


samping, ada atau tidak pigmentasi kulit, kelainan congenital lain, pengukuran
panjang kaki, pemeriksaan umum

Pemeriksaan penunjang :
Penilaian fungsi kardiopulmoner
Pemeriksaan radiologi dengan pengukuran kurva (metode Cobb)
CT scan, mielografi, dan MRI
g. Tatalaksana

Tujuan :
o
o

Mencegah memberatnya deformitas ringan


Memperbaiki deformitas yang tidak dapat diterima oleh pasien
o Jenis tata laksana :
Latihan untuk mempertahankan tonus otot
Bila kurva antara 20-30 derajat dengan progresi, dapat dipasang
penyangga Milwaukee atau Boston, dan dapat dipakai selama 23-24 jam
Terapi operasi untuk kurva > 30 derajat yang secara kosmetik sangat
mengganggu, terutama pada anak-anak prapubertas, dan untuk deformitas
lebih ringan yang memburuk dengan cepat meskipun telah diberi terapi
konservatif
h. Prognosis
Semakin muda pasiennya dan makin tinggi kurvanya, maka makin buruk
prognosisnya

2. OSTEOGENESIS IMPERFEKTA
a. Definisi

Suatu penyakit genetik yang mengenai jaringan ikat secara general, dimana tulang
pasien mudah mengalami fraktur
b. Epidemiologi
OI dalah suatu penyakit autosomal dominan yang dapat terjadi pada semua ras dan
etnis. Insiden yang terdeteksi adalah 1 di antara 20.000 kelahiran.
c. Etiologi
Semua tipe OI terjadi karena defek struktural atau kuantitatif dari kolagen tipe I, suatu
komponen primer dari matriks ekstraseluler tulang dan kulit. Kolagen tipe I menjadi
abnormal dan digantikan oleh kolagen tipe III dan V sehingga tulang menjadi lebih
rapuh.
d. Patogenesis
Pada 85 % kasus terjadi mutasi titik yang menyebabkan penggantian gugus pengkode
asam amino glisin pada kolagen tipe I menjadi asam amino lain. 12 % dikarenakan
adanya defek kehilangan satu ekson, sehingga alel pengkode kolagen tipe I menjadi
tidak berfungsi.

e. Manifestasi Klinis

Secara umum, OI terdiri dari 3 gejala utama, yakni tulang yang mudah patah, sklera
biri, dan tuli pada usia dini. Secara klinis dan radiologis, OI dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
OI TIPE I (RINGAN)
Pasien dengan OI tipe ini memiliki sklera biru, fraktur rekuren pada masa kanakkanak, dan kehilangan pendengaran di usia presenile (30-60%). Fraktur terjadi ringan
hingga sedang dan menurun pasca pubertas.
OI TIPE II (LETAL PERINATAL)
Pasien OI tipe II biasanya lahir dalam keadaan meninggal, atau hanya berusia 1
tahun. Ada kerapuhan ekstrim pada skeletal dan jaringan penyambung lain, disertai
dengan fraktur intrauterin yang multipel. Tengkorak besar untuk ukuran tubuhnya,
dengan pembesaran fontanela anterior dan posterior, serta sklera berwarna biru-abuabu.
OI TIPE III (PROGRESIF)
Merupakan OI nonletal yang paling berat dimana terjadi disabilitas fisik dengan
fraktur inuterin. Ada disorganisasi matriks tulang yang menyebabkan gambaran
seperti popcorn pada metafisis. Pasien mengalami skoliosis dan kompresi vertebra,
perawakan pendek yang ekstrim, dengan warna sklera berkisar dari putih hingga
kebiruan.
OI TIPE IV (SEDANG-BERAT)
Pasien dengan OI tipe ini mengalami fraktur in utero serat pembengkokan tulang
panjang, disertai fraktur rekuren pasca ambulasi. Anak dengan OI tipe IV ini
memerlukan reahbilitasi medik dan ortopedi. Secara radiologis, tulang mengalami
osteoporosis dan kompresi vertebra, dengan perawakan pendek yang menengah.
OI TIPE V (KALUS HIPERPLASTIK)
Pasien memiliki suatu kalus yang hiperplastik, yakni kalsifikasi dari membran
interosseus pada lengan atas dengan gambaran histologi yang khas pada lamelanya.
f. Pemeriksaan dan Diagnosis
Diagnosis OI dikonfirmasi dengan studi biokimia dari kultur fibroblas berdasarkan
biopsi. Dapat juga dilakukan elektroforesis protein abnormal dan pemeriksaan DNA
leukosit.
Secara prenatal, sudah dapat dideteksi dengan USG pada usia 16 minggu kehamilan,
atau biopsi vili korialis.
g. Tatalaksana
Tidak ada obat untuk OI. Untuk tipe nonletal berat, biasanya diperlukan rehabilitasi
medik dini pada anak. Untuk tipe III dan IV, dapat digunakan penyangga dan alat
bantu berjalan serta terapi suportif lainnya.
Obat-obat bifosfonat dapat diberikan untuk meningkatkan mobilitas dan menurunkan
gejala. Pamidronat intravena dapat meningkatkan mineralisasi tulang, sehingga
kepadatan dan panjang tulang juga meningkat

h. Prognosis dan Komplikasi

Terjadi pembatasan fungsi fisik pasien. OI tipe III dapat mengalami komplikasi
pulmoner di usia dini, remaja, dan 40an. OI tipe I dan IV biasanya masa hidupnya
normal. Komplikasi berupa pneumonia rekuren, kor pulmonal, dan gagal jantung
transien. Komplikasi neurologik berupa invaginasi basiler, kompresi batang otak,
hidrosefalus, dan siringohidromielia.
3. SINDROM MARFAN
a. Definisi

Sindrom Marfan adalah suatu kelainan kongenital yang diturunkan secara autosomal
dominan dan terjadi perawakan tinggi pada anak dengan gangguan skeletal, okuler,
dan kardiovaskular
b. Epidemiologi
Insidennya 1 / 5000-10000 kelahiran, dimana hampir 30 % anak yang terkena
mengalami mutasi sporadik
c. Etiologi
Adanya abnormalitas dari fibrilin-1 yang merupakan glikoprotein utama yang
berfungsi sebagai pengikat elastik pada jaringan adeventisia aorta dan ligamen
suspensorium dari bola mata.
d. Patogenesis
Secara genetik dan studi kromosom, diketahui bahwa lebih dari 100 mutasi terjadi
pada lengan panjang kromosom 15 (15q21) sebagai lokus dari FBN 1, sehingga
terjadi abnormalitas fibrilin-1.
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada sindrom Marfan tergantung pada usia dan maturasi penderita.
Tampilan kognitif normal, kehilangan lemak subkutan menunjukkan adanya
kegagalan pertumbuhan pada usia dini. Pada neonatus, sindrom Marfan lebih berat
daripada anak-anak dengan usia yang lebih tua, dengan tampilan hipotonia,
arakhnodaktili, hiperlaksitas sendi dan dislokasi, serta kontraktur saat fleksi.
Pada mata dapat ditemukan megalokornea, irododonesis, dan dislokasi lensa mata.
Pada jantung dapat ditemukan murmur akibat prolaps katup mitral atau regurgitasi
aorta. Pasien juga dapat mengalami pectus excavatum atau pectus carinatum akibat
variasi abnormal dari sternum.
f. Pemeriksaan dan Diagnosis
Diagnosis dari sindrom Marfan dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Dapat
ditemukan perawakan tinggi abnormal yang mencolok pada pasien.
Hasil pemeriksaan penunjang :
- Ekokardiografi atau MRI menunjukkan adanya prolaps katup mitral,
regurgitasi mitral, atau regurgitasi aorta.

Hasil evaluasi laboratorium dapat menyingkirkan diagnosis banding berupa


homosistinuria (defisiensi cystathione synthase) dimana uji urin terhadap zat
nitroprusida sianid negatif.
Diagnosis banding lainnya :
- Regurgitasi katup mitral idiopatik
- Aneurisma familial
- Congenital contractural arachnodactily (CCA)
- Arthro-ophtalmopathy herediter (Stickler disease)
- Pseudoxanthoma elasticum
Sindrom Shprintzen-Goldberg
g. Tata laksana
Fokus terapi mengacu pada pencegahan komplikasi dan konseling genetik, mencakup
:
- Terapi fisik untuk meningkatkan kekuatan otot
- Aktivitas fisik minimal untuk mengurangi kerja jantung
- Profilaksis untuk endokarditis sebelum dilakukannya prosedur invasif, seperti
pencabutan gigi
- Pemberian beta-bloker dapat memperlambat dilatasi aorta dan mengurangi
risiko komplikasi jantung yang lebih berat
- Penggunaan obat-obatan juga harus dimonitoring, terutama efek sampingnya
yang dapat memperberat anomali kongenital yang sudah ada
h. Prognosis
Pada sindrom Marfan, prognosis tergantung komplikasi dari perjalanan penyakitnya.
Dilatasi aorta dapat menyebabkan aneurisma dan diseksi. Komplikasi kardiovaskuler
merupakan penyebab prognosis yang buruk pada pasien, selain adanya perawakan
tinggi dan gangguan pertumbuhan.
-

4. ACHONDROPLASIA
a. Definisi

Akhondroplasia merupakan suatu kelompok gangguan penulangan dimana terjadi


kegagalan atau gangguan pembentukan tulang rawan, sehingga pasien tampil dengan
perawakan pendek.
b. Epidemiologi
Kasus akhondroplasia terjadi pada 1 dari 15000 - 45000 kelahiran dengan berbagai
bentuk abnormalitas tulang rawan yang lainnya.
c. Etiologi
Secara genetik, terjadi mutasi pada gen FGFR3 kodon 380, dan terjadi secara
autosomal dominan.
d. Patogenesis dan Patofisiologi

Karena adanya mutasi genetik pada FGFR3, terjadi gangguan stabilitas reseptor
dimer tulang rawan yang berfungsi untuk meningkatkan sinyal dari reseptor
pertumbuhannya, sehingga pertumbuhan tulang rawan terganggu.
e. Manifestasi Klinis
Saat lahir, pasien tampil dengan perawakan pendek, kepala lebih besar dan
disproporsional, trident hand, sendi yang hiperekstensibel, kadang ditemukan gibus
torakolumbal.
Untuk tumbuh kembang dapat ditemukan :
Sulit berjalan pada usia 18 24 bulan
Hipotonia dan gangguan mekanik
Kepala berukuran lebih besar dan ekstremitas lebih pendek
Tinggi badan untuk pria antara 118 145 cm, dan wanita 112 136 cm
Rata-rata ada komplikasi neurologis dari yang ringan, sampai yang
menimbulkan kematian, seperti gangguan pernapasan
f. Pemeriksaan dan Diagnosis
Pemeriksaan mencakup kumpulan gejala klinis dan tambahan pemeriksaan
penunjang. Yang paling penting adalah pemeriksaan radiologi skeletal, dimana dapat
ditemukan :
Tulang wajah dan dasar tengkorak mengecil
Pedikel vertebra dan diskus intervertebra memendek
Tulang iliaka memendek dan agak membulat, asetabulum lebih mendatar
Terjadi posisi fibula dan tibia yang disproporsional
g. Tatalaksana
Tatalaksana mencakup penanganan komplikasi dari yang ringan sampai yang berat,
mencakup :
Preventif berupa konseling genetik untuk pasangan yang menderita
akhondroplasia
Penanganan komplikasi neurologik, mulai dari yang ringan sampai yang berat
Follow-up berkala secara radiologis untuk melihat pertumbuhan tulang pasien
Koreksi bedah untuk komplikasi tulang belakang yang berat
h. Prognosis dan Komplikasi
Umumnya penderita akhondroplasia dapat bertahan hidup seperti manusia normal
dan memiliki keturunan. Komplikasi neurologis dapat berupa :
Stenosis kanalis spinalis
Kompresi medula spinalis
Hipotonia, kuadriparesis, kegagalan pertumbuhan, obstruksi saluran
pernafasan karena gangguan persarafan, apnea, hingga kematian mendadak
Stenosis pada vertebra lumbalis dapat menyebabkan inkontinensia urin dan
alvi

Gangguan persendian, obesitas, hingga otitis media yang dapat menyebabkan


kehilangan pendengaran

5. DUCHENNE MUSCULAR DYSTROPHY


a. Definisi

Suatu penyakit neuromuskuler herediter dimana terjadi kelemahan general pada


keseluruhan otot dan pseudohipertrofi.
b. Epidemiologi
Terjadi pada 1 dari 3600 bayi laki-laki yang baru lahir dan diturunkan secara resesif
terkait kromosom X
c. Etiologi
Terjadi delesi pada Xp21 di kromosom X yang menyebabkan penurunan hingga tidak
diproduksinya distrofin, suatu glikoprotein yang berfungsi untuk perlekatan
sarkolemma dengan matriks ekstra seluler.
d. Patogenesis dan Patofisiologi
Kehilangan distrofin yang memicu lepasnya perlekatan menyebabkan terinduksinya
nekrosis progresif pada pasien dengan distrofi ini.
e. Manifestasi Klinis
Berdasarkan usia, gejala dan tanda dapat berupa :
Asimptomatik saat baru lahir, mungkin hanya hipotonia ringan
Kontrol pergerakan kepala yang jelek dan kelemahan otot-otot wajah
Kelemahan panggul, terlihat saat usia 12 - 24 bulan
Pada balita dapat ditemukan postur lordosis saat berdiri untuk
mengkompensasi kelemahan gluteal
Usia 3 6 tahun dapat timbul Tredelenbergs gait
Dapat ditemukan kontraktur pada pergelangan kaki, lutut, panggul dan
pergelangan tangan
Gangguan intelektual
Semua distrofi tanpa disertai nyeri.
f. Pemeriksaan dan Diagnosis
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai gejala klinis
- Pemeriksaan penunjang :
o Laboratorium : Elevasi kreatinin kinase serum hingga 15.000 35.000
IU/L
o Ekokardiografi, EKG, Rontgenogram rongga dada
o Elektromyografi
o Biopsi otot dilanjutkan dengan pewarnaan imunohistokimia
o Analisis DNA dari darah tepi
g. Tata Laksana

Pada dasarnya, penyakit ini tidak bisa disembuhkan atau diperlambat progresinya.
Tatalaksana yang dilakukan mencakup penanganan komplikasi yang terjadi,
mencakup :
- Pemberian digoksin untuk terapi dekompensatio kordis
- Imunisasi dan vaksinasi
- Intake kalsium yang adekuat
- Terapi fisik, seperti fisioterapi
- Pemberian glukokortikoid
h. Prognosis dan Komplikasi
Pasien dengan DMD dapat mengalami kardiopati dan penurunan fungsi otot-otot
pernapasan yang vital sehingga selain keterbatasan gerak, juga dapat menimbulkan
kematian pada usia 18 tahun akibat gagal jantung, gagal napas, aspirasi, dan
obstruksi jalan napas.
6. CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)
a. Definisi

Suatu bentuk deformitas kaki, dimana talus menunjuk ke bawah, bagian leher
berdeviasi ke tengah dan bagian tubuh berotasi sedikit ke luar dalam hubungannya
dengan kalkaneus, navikularis dan seluruh kaki depan tergeser ke tengah dan berotasi
menjadi supinasi
b. Epidemiologi
Insidennya terjadi dua kali lebih banyak pada pria, dengan pola keturunan poligenik
c. Etiologi
Secara umum, etiologinya belum diketahui
d. Patogenesis dan patofisiologi
Secara teoritis, kemungkinan terdapat kecacatan neuromuskular karena
keseimbangan otot janin saat dalam kandungan terganggu oleh sebab-sebab tertentu
e. Manifestasi klinis
- Deformitas yang terlihat nyata waktu lahir, kaki berputar dan terbelit sehingga
tapak kaki menghadap ke posteromedial
- Tumit kecil dan tinggi, betis mungkin kurus
- Gangguan gaya berjalan
f. Pemeriksaan dan Diagnosis
Secara klinis, CTEV sudah dapat didiagnosis. Akan tetapi pemeriksaan foto Rontgen
AP dan lateral juga dapat dilakukan untuk memastikan diagnosa
g. Tata laksana
Tujuan terapi adalah :
- Memperbaiki deformitas dini
- Memperbaiki deformitas sepenuhnya
Jenis terapi :

Pembebatan
Operasi (paling baik pada umur 8 minggu)
Terapi pasca koreksi
h. Prognosis dan Komplikasi
Apabila terapi dimulai sejak lahir maka sebagian besar dapat diperbaiki
CTEV tidak dapat sembuh sempurna, sering kambuh terutama pada bayi
dengan kelumpuhan otot dan gangguan neuromuskuler

Referensi
Apley, A.Graham dan Louis Solomon. Buku Ajar Ortopedi dan
Fraktur Sistem Apley Edisi Ketujuh.1995.Jakarta :Widya Medika.
Nelson Textbook of Pediatric 17th edition
1.

Anda mungkin juga menyukai