Anda di halaman 1dari 55

MODUL 1

PERKEMBANGAN DAN KELAINAN KONGENITAL SUSUNAN


MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 1 : Bahu Anakku Kok Tinggi Sebelah
Ibu A membawa anak nya yang berusia 6 tahun ke Puskesmas karena bahunya tinggi
sebelah,sejak kecil, keluhan dirasakan semakin meninggi seiring bertambahnya usia. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tulang punggung anaknya bengkok ke kiri. Pasien kemudian di
rujuk ke RSUCM untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Dokter kemudian menyarankan untuk
di operasi karena saat ini anak sudah sulit bernafas.
Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada anak tersebut?
Jump 1
Muskuloskeletal : sistem kompleks yang merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung
jawab terhadap pergerakan melibatkan otot-otot dan kerangka tubuh, dan termasuk sendi,
ligamen, tendon, dan saraf.
Jump 2 dan 3
1. Apa penyebab bahu anak di skenario tinggi sebelah?
Dikarenakan kelainan tulang belakang yaitu skoliosis sehingga tulang belakang
menuju ke arah lateral  menyebabkan posturnya miring.
Selain itu juga karena aus nya bantalan tulang pada bahu sehingga mempengaruhi
derajat posisi dari tulang tersebut hingga menjadi miring dengan kemiringan lebih
dari 10 derajad sehingga tampak kesan bahu mengalami miring sebelah ,pada anak
tersebut juga bersifat Kongenital.

2. Apakah ada hubungan usia dengan keluhan anak ibu A?


Anak ibu mengalami tulang belakang bengkok ke kiri, usia penderita makin tinnggi
maka kondisi kondisi makin buurk. Anak2 dapat mengalami di usia 4-8 tahun. dan
lebih sering perempuan daripada laki laki.
Keluhan anak tersebut memburuk ketika pertambhaan usia karena kondisinya terjadi
pada saat muda sehingga terjadi kontra antara tumbuh kembang anak tersebut ,dan
berdasarkan faktor risiko bahwa jika terjadi lebih awal maka akan makin parah
seiring bertambah usia nya.

3. Interpretasi anak ibu A yang tulang punggung bengkok ke kiri?


Merupakan salah satu gejala klinis skoliosis kongenital yaitu pembengkokan tulang
belakang ke arah lateral akibat gangguan pada proses somatogenesis. Proses tersebut
meliputi kegagalan pembentukan maupun segementasi tulang belakang, atau
kombinasi dari kedua proses tersebut. Istilah kongenital digunakan karena munculnya
kelainan ini didapatkan sejak lahir.

4. Apa saja pemeriksaan lanjutan pada anak ibu A?


- Pemeriksaan radiologis  gambaran radiogragi AP dan lateral
Pada lateral  melihat ada nya kifosis,hipokifosis,lordosis
- Tes uji saring
- Teknik pengukuran konvensional  teknik fergusson (pada skoliosis dibawah 50
derajat) , teknik cobb (pada skoliosis diatas 50 derajat)
5. Bagaimana etiologi tulang belakng anak ibu A bengkok ke kiri?
Penyebab dari kelainan tulang belakang kongenital masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa paparan lain pada kehamilan termasuk penggunaan alkohol,
pengobatan antikonvulsi seperti asam valproat, hipertermia, diabetes mellitus
tergantung insulin pada ibu hamil, dan diabetes mellitus gestasional diduga
berhubungan dengan terjadinya kelainan tulang belakang kongenital pada penelitian
hewan dan manusia.
Faktor kimia lain, termal, nutrisi, trauma, dan infeksi juga memiliki dampak. Pada
kebanyakan kasus didapatkan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang
harus dinilai sebagai etiologi yang multifaktorial.
Sebagian besar skoliosis adalah idiopatik, namun ada bbrp kondisi yang memicu:
- Cedera tulang belakang
- Infeksi tulang belakang
- Bawaan lahir
- Degeneratif
- Gangguan saraf/otot

6. Apa diagnosis dan diagnosis banding ?


Diagnosis : skolisosis (bahu tinggi sebelah dan bengkok ke samping)
Dd : kifosis, skoliosis neuromuskular

7. Bagaimana tatalaksana pada anak ibu A ?


Tatalaksana :
- Observasi  mencegah progresi skoliosis
- Ortotik  Menggunakan brace
- Operatif  jika kurva lebih dari 30 derajat , deformitas ringan dan tidak baik
dalam TL konservatif
Tujuan tata laksana :
- Cegah deformitas
- Perbaiki skoliosis

8. Apa yang meyebabkan anak ibu A sulit bernafas?


Skoliosis yang dibiarkan tanpa penanganan bisa menambah derajat kemiringan tulang
belakang. Kondisi tersebut mengganggu kemampuan paru untuk mengembang sempurna
akibat menyempitnya ruang paru, sehingga menyebabkan keluhan sesak napas

9. Apa Indikasi dilakukan operasi pada anak ibu A?


- Sudut diatas 40 derjaat
- Pasien dengan tatalaksana brace namun menagalami perburukan
- Terlambat menggunakan brace (usia 15 th pada pr , 17 th pada laki2)
- Anak yang tidak dapat menggunakan brace
- Nyeri terus menerus karena skoliosis
- Gangguan psikologis karena skoliosis
10. Bagaimana cara deteksi dini kelainan pada anak ibu A?
- Adam test (Adam’s forward bending test)
- Pengamatan fisik  memperhatikan ketinggian kiri dan knana anak pada posisi
berdiri .
- Pemeriksan rontgen  bila adam test dan pengamatan fisik positif. Bila terdapat
lengkungan >10 derajat maka positif

11. Mengapa keluhan didapatkan semakin meninggi seiring bertambah usia?


Keluhan skoliosis semakin memburuk ketika + usia  karena kondisinya terjadi saat
muda  terjadi kontra antara tumbuh kembang anak dan sesuai faktor risiko bahwa yang
mengalami lebih dini maka makin parah seiring bertambah usia.

12. Bagaimana tatalaksana rujukan pada kasus tersebut?


Rujukan dapat dilakukan ke dokter spesialis ortopedi atau bedah saraf. Indikasi rujukan
pada pasien dengan spine curvature disorder adalah :
- Pasien anak dengan kelengkungan tulang belakang yang atipikal lebih dari 10
derajat kelengkungan torakal,
- Terdapat kelainan neurologi
- Nyeri yang signifikan
- Pasien remaja atau dewasa dengan kelengkungan tulang belakang yang mencapai
20-25 derajat
- Pasien adolescent idiopathic scoliosis apabila cobb angle lebih besar dari 45
derajat
- Terdapat progresi kelengkungan yang melebihi 1 derajat per bulan harus segera
dirujuk dalam waktu 3-6 bulan

13. Bagaimana prognosis kondisi anak ibu A?


Prognosis tergantung kepada penyebab, lokasi dan beratnya kelengkungan.
Semakin besar kelengkungan skoliosis, semakin tinggi resiko terjadinya progresivitas
sesudah masa pertumbuhan anak berlalu.
Skoliosis ringan yang hanya diatasi dengan brace memiliki prognosis yang baik
dan cenderung tidak menimbulkan masalah jangka panjang selain kemungkinan
timbulnya sakit punggung pada saat usia penderita semakin bertambah.
Penderita skoliosis idiopatik yang menjalani pembedahan juga memiliki prognosis
yang baik dan bisa hidup secara aktif dan sehat. Penderita skoliosis neuromuskuler selalu
memiliki penyakit lainnya yang serius (misalnya cerebral palsy atau distrofi otot). Karena
itu tujuan dari pembedahan biasanya adalah memungkinkan anak bisa duduk tegak pada
kursi roda.

Faktor yang mempengaruhi progresifitas kurva :


-jenis kelamin
- usia
Makin bertambah usia pasien , prognosis semakin buruk
Komplikasi :
- Kerusakan paru dan jantung  jika bengkok lebih dari 70 derajat
- Sakit tulang belakang

JUMP IV: SKEMA

Jump 5
1. Embriogenesis muskuloskeletal
2. Titik defek dan jenis kelainan yang timbul
3. Peran faktor eksogen dan endogen dengan kejadian kelainan kongenital
4. Gangguan kongenital muskuloskeletal
LO 1 : EMBRIOGENESIS MUSKULOSKELETAL

Sistem rangka berasal dari lapisan embriogenik mesoderem paraksial, lempeng lateral dan sel-sel
kista neuralis. Akhir minggu ke 3, mesoderem paraksial menjadi semacam balok-balok yang
disebut somit.

Somit terbagi 2 :
o Dorsolateral
Disebut demomytome, bagian myotome membentuk myoblast, dermatom membentuk dermis
o Ventromedial
Disebut skleroton, pada akhir mingguke 4 akanmenjadi sel-sel mesenkim (jaringan penyambung
mudigah), kemudian berpindah dan berdiferensiasi menjadi fibroblas, kondroblas, dan osteoblas.

1. Histogenesis Tulang dan Kartilago


1.1. Kartilago
o Muncul ketika embrio berumur 5 minggu
o Pertumbuhan dimulai dari sel-sel mesenkim yang mengalami kondensasi, berprolerasi, dan
berdiferensiasi menjadi condroblast. Condroblast mensekresikan serat-serat kolagen dan subtansi
dasar matric sehingga terbentuk condrosit. Selanjutnya condrosit akan terus menerus
mengeluarkanmatriks sehingga condrosit yang berdekatan akansaling mendorong sehingga
kartilago bertambah panjang.
o Sel-sel mesenkim yang letaknya diperifer akan berdiferensiasi menjadi fibroblast. Fibroblast
akan membentuk suatu jaringan ikat kolagen, yaitu perichondrium.
1.2. Tulang
Pertumbuhan tulang berlangsung dengan 2 cara :
o Osifikasi intramembranosa
o Osifikasi intrakartilago/ endokondral

1.2.1. Osifikasi Intramembranosa


Umumnya pada tulang pipih
Osifikasi berlangsung dalam suatu membran yang dibentu oleh sel-sel mesenkim itu sendiri. Sel-
sel mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblast dan mulai mensekresikan matriks dan subtansi
interseluler membentuk osteosit.
Osteoblast yang terdapat diperifer tulang membentuk lapisan-lapisan yang membuat tulang
lebihtebal di bagian perifernya, ditambah lagi dengan aktivitas osteoklas,akibatnya bagian tengah
tulang akan berrongga. Pada rongga ini sel-sel mesenkim akanberdiferensiasi menjadi sumsum
tulang.
1.2.2. Osifikasi Intrakartilago
Umumnya pada tulang panjang
Diawali dengan terbentuknya tulang rawan. Pada tingkat selular, sel-sel kartilago akan berubah
menjadi osteoblas lalu osteosit
Osifikasi pertama kali terjadi di diafisis (pusat osifikasi primer) pada akhir masa embrionik. Pada
diafisis sel-sel kartilago mengalami 3 hal yaitu : hipertropi, kalsifikasi matriks, serta kematian
sel-selnya. Selainitu perikondrium akanmengalami vaskularisasi sehinggasel-sel kartilago
berubah menjadi osteoblast. Pada waktu lahir sebagian besar diafisis telah mengalami
osifikasi,sedangkanepifisis masih berupa kartilago. Osifikasi skunder dilempeng epifisis baru
berlangsung pada tahun-tahun pertama usia bayi.

2. Perkembangan Sendi
Mulai terbentuk pada minggu ke 6 dan akhir mingguke 8 sendiyang terbentuk sudah seperti sendi
orang dewasa.
Terdapat 3 jenis sendi berdasarkan materi penyusunnya yaitu :
o Sendi fibrosa (sutura di kranium)
o Sendi kartilago (simfisis pubis)
o Sendi sinovial (sendi lutut)

A. Tulang Tengkorak
Terdiri atas :
o Neurokranium (batok pelindung disekitar otak)
o Viserokranium (kerangka/tulang wajah)

A.1. Neurokranium
o Bagian membranosa terdiri dari tulang-tulang pipih yang melindungi otak sebagai suatu kubah.
Berasal dari :
o Sel-sel krista neuralis,membentuk atap dan sebagian besar tulang tengkorak
o Mesoderm paraksial, membentuk daerah oksipital dan posterior rongga mata
o Bagian kartilaginosa (kondrokranium) membentuk tulang-tulang dasar tengkorak, berasal dari :
o Sel-sel krista neuralis, membentuk kondrokranium prakordal
o Mesoderm paraksial, membentuk kondrokranium kordal

A.2. Viserokranium
o Dibentuk oleh 2 lengkung faring pertama
o Lengkung pertama :
o Bagian dorsal (prosesus maxilaris)
Berjalan kedepan dibawah mata (os. Maxilaris, os. Zigomatikum, os. Temporalis)
o Bagian ventral (prosesus mandibularis)
Melindungi kartilago meckel
o Mesenkim sekitar kartilagomeckel memadat, menulang, dan mengalami osifikasi (penulangan)
membranosa membentuk mandibula
o Ujung dorsal prosesus mandibularis dan lengkung faring ke 2(inkus, maleus,stapes) pada bulan
ke 4
o Mesenkimuntuk pembentukan wajahberasal dari sel-sel krista neuralis.

Korelasi Klinik :
 Kubah tengkorak gagal terbentuk (kraniolisis) dan jaringan otak yang terpapar amnion
mengalamidegenerasi sehingga terjadi anensefali, disebabkan kegagalan neuropore kranial untuk
menutup
Jaringan otak dan selaput otak mengalami herniasi (ensefalokel atau meningokel kranial)
Penutupan satu atau beberapa sutura secara prematur (kraniosinostosis).
Bentuk tengkorak tergantung pada sutura mana dulu yang menutup
o Akrosefali (tengkorak menara, pendek/tinggi) karena penutupan dini sutura koronalis
o Skaposefali (tengkorak panjang dan sempit disertai penonjolan frontalis dan oksipitalis) karena
penutupan dini sutura sagitalis
o Plagiosefali (kraniosinostosis asimetrik) akibat kegagalan penutupan sutura keronalis dan
sutura lambdadea pada satu sisi

B. Anggota Badan
o Tunas anggota badan mulai tampak sebagaikantung-kantung pada akhir minggu ke 4
o Tunas anggota badan terdiri dari inti mesenkim yang berasal dari lapisan mesoderm lempeng
lateral yang dibungkus oleh selapis ektoderm kuboid. Intimesenkim memberi signal kepada
ektoderm dinujung badan untuk menebal dan membentuk rigi ektodermal apeks (REA). Proses
ini berlangsung pada minggu ke 5.
o Minggu ke 6 ujung tunas anggota badan menjadipipih membentuklempeng tangan dan kaki.
o Jari-jari tangan dan kaki terbentuk ketika kematian sel di rigi ektodermal apeks
memisahkannya menjadi 5 bagian.
o Sementara itu mesenkim dalam tunas mulaimemadat membentukmodel kartilago hialin yang
pertama yang merupakan bakal tulang anggota badan.
o Osifikasi intrakartilago dimulai menjelang akhir masa mudigah.
o Pada mingguke 12 kehamilan dari pusat osifikasi primer di diafisis, osifikasi intrakartilago
berangsur-angsur meluas kearah ujung model kartilago.
o Waktu lahir, diafisis tulang telah menjadi tulang seluruhnya, tapi ujung-ujungnya (epifisis)
tetap berupa kartilago pusat osifikasi sekunder untukproses pemanjangan tulang.
o Apabila tulang telah mencapai panjangnya yang penuh,lempeng epifisis menghilang dan
epifisis bersatu dengan tulang.

Korelasi Klinis :
Meromelia : tidak ada satu /beberapa anggota badan
Amelia : tidak ada ekstremitas
 Fokomelia : tidak ada tulang panjang, tangan dan kaki rudimenter menempel dibadan melalui
tulang-tulang kecil yang berbentuktidak beraturan
Mikromelia : terdapat semua unsur anggota badan tapi sangat pendek
Polidaktili : penambahan jumlah jari tangan dan kaki
Ektrodaktili : hilangnya 1 jari, bersifat unilateral
Sindaktili :jari-jari tangan atau kaki menyatu karena mesenkim gagal membelah pada lempeng
tangan atau kaki
Lobster claw : celah yang dalam pada telapak tangan atau kaki yang berhubungan dengan
sindaktili jari
Dislokasi panggul kongenital : tidak berkembangnya asetabulum dan caput femuris

C. Kolumna Vertebralis
o Berasal dari sel-sel sklerotom yang berpindah posisi mengelilingi medula spinalis dan
notokord.
o Bagian kaudal masing-masing sklerotom mengalami proliferasi dan memadat serta meluas ke
jaringan antara segmen dibawahnya, terjadi perlekatan setengah kaudal sklerotom dengan
setengah sefalik sklerotom di bawahnya.
o Sel-sel diantara bagian sefalik dan kaudal membentuk diskus invertebralis (cakram antar ruas)

Korelasi Klinis :
 Skoliosis (vertebrae melengkung ke samping) karena pada proses pembentukan dan
penyusunan kembali sklerotom segmen terjadi 2 vertebrae yang berurutan menyatu secara
asimetrik atau setengah bagian vertebrae tulang
Sindrom Klippel Feil : jumlah vertebrae servikalis kurang sementara vertebrae yang lain
menyatu atau bentuknya abnormal.
Spina bifida : fusi lengkung-lengkung vertebra tidak sempurna

EMBRIOGENESIS SISTEM MUSKULO

o Berkembang dari mesoderm kecuali otot-otot iris yang terbentuk dari ektoderm piala optik
o Otot rangka berasal dari mesoderm paraksial
o Otot polos berasal dari mesoderm splanknik
o Otot jantung berasal dari mesoderm splanknik

Otot tubuh berkembang dari diferensiasi mioblast-mioblastbyang berasal dari :


o Mioblast praoptikum untuk otot mata : menjadi otot yang menggerakkan bola mata
o Mioblast preoksipital untukotot lidah
o Otot lengkung faring
o Otot pengunyah
o Otot wajah (ekspresi)
o M. Stilofaringeus, M. Konstriktor faringis superior
o Otot instrinsik laring,M. Konstriktor Faringis Medial dan inferior
o Miotom somit
Pada minggu ke 5 setiap miotom terbagi menjadi :
o Epimer (bagian dorsal yang kecil) menjadiotot erektor spina, otot transversa spinalis
Disarafi ramus dorsalis nn spinalis
o Hipomer (bagian ventral yang besar) menjadi otot dinding tubuh, otot diafragma, otot anggota
gerak
Disarafi ramus ventralis nn spinalis

EMBRIOLOGI TULANG

Sistem rangka berkembang dari:

Mesoderm paraksial, lempeng lateral, dan krista neuralis.


Mesoderm paraksial akan membentuk:
• somitomer di kepala
• somit dari regio oksipital ke kaudal, lalu berdiferensiasi menjadi skleretom dan
dermomiotom

Skleretom pada akhir minggu ke-4 menjadi polimorfik  mesenkim  fibroblas,
kondroblas, osteoblas Lapisan mesoderm somatik dinding tubuh juga  sel mesoderm
 gelang bahu, gelang panggul, tulang-tulang panjang ekstremitas.

Sel-sel krista neuralis di daerah kepala berdiferensiasi menjadi mesenkim dan ikut serta
membentuk tulang-tulang wajah dan tengkorak.

Pada sebagian tulang, seperti tulang pipih tengkorak, mesenkim di dermis berdiferensiasi secara
langsung menjadi tulang, prosesnya disebut osifikasi intramembranosa.
Sedangkan pada sebagian besar tulang lainnya, sel-sel mesenkim mula-mula menghasilkan
model kartilago hialin yang mengalami penulangan, disebut osifikasi endokondral.

Tengkorak terdiri atas


• neurokranium: pars membranosa dan pars kartilaginosa/kondrokranium
• viscerokranium
Neurokranium membranosa berasal dari:
- sel krista neuralis --> atap, sisi tulang kranium
- mesoderm paraksial --> oksipital, rongga mata
Neurokranium kartilaginosa:
- sel krista neuralis --> kondrokranium prakordal --> membentuk daerah rostral (basis)
- mesoderm paraksial --> kondrokranium kordal --> membentuk daerah posterior

Viscerokranium:
Processus maxillaris --> os maxilla, os zygomaticum, sebagian os temporalis
Processus mandibularis --> mengandung kartilago meckel

Sutura, berasal dari:


- sel krista neuralis --> sutura sagitalis
- mesoderm paraksial --> sutura koronalis

Fontanella (ubun-ubun):
- Fontanella anterior --> menutup usia sekitar 18 bulan
- Fontanella posterior --> menutup usia sekitar 3 bulan
Jika fontanella terlalu cepat menutup, akan menyebabkan kraniosinostosis.
Fungsi fontanella:
- untuk proses kelahiran
- agar perkembangan otak maksimal
- sebagai indikasi kesehatan bayi

LO 3: PERAN FAKTOR EKSOGEN DAN ENDOGEN DENGAN KEJADIAN


KELAINAN KONGENITAL.

Faktor bayi
a) Usia gestasi
Dalam beberapa studi ditunjukkan bahwa bayi-bayi preterm (<37 minggu usia gestasi) dengan
kelainan kongenital memiliki angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi aterm
(>37 minggu), dan perbedaannya secara statistik signifikan (Marwah A, 2016).
b) Jenis kelamin
Dalam beberapa studi, insidens kelainan kongenital pada bayi laki laki lebih besar daripada bayi
perempuan, namun perbedaan ini secara statistik tidak signifikan. (Gandhi MK, dkk., 2016.
Marwah A, 2016).
c) Berat bayi lahir
Dalam beberapa studi dikatakan bahwa insidens kelainan kongenital pada bayi dengan berat bayi
lahir rendah (<2,5 kg) lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat bayi lahir >2,5 kg. Namun
perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (Gandhi MK, dkk., 2016. Marwah A, 2016).
Faktor ibu
a) Usia ibu
Ibu dengan usia muda banyak ditemukan di negara industri dan menghabiskan biaya
sosioekonomi yang cukup tinggi karena kehamilan usia muda rentan mengalami efek yang
berlawanan seperti retardasi pertumbuhan dalam janin, bayi berat lahir rendah, dan persalinan
yang preterm (Chandra dkk., 2002; Khashan dkk., 2010). Dalam studi retrospektif di Amerika,
terdapat hubungan yang sangat kuat antara ibu usia muda, 13 sampai 19 tahun dengan defek lahir
tertentu, seperti malformasi sistem saraf pusat, traktur gastrointestinal, dan sistem
muskuloskeletal. (Chen dkk., 2007). Beberapa studi menyatakan bahwa efek kehamilan yang
tidak diinginkan pada ibu usia muda terjadi berhubungan dengan pola hidup (life style), latar
belakang genetik, status ekonomi yang rendah, rendahnya asuransi kesehatan dan prenatal care,
termasuk suplementasi dengan asam folat yang mengandung multivitamin. (Loane dkk., 2009;
Reichman and Pagnini, 1997; Nilsen dkk., 2006; Raatikainen dkk., 2006; Wahn and; Nissen,
2008) Ibu hamil dengan usia tua dihubungkan dengan masalah fertilitas, kelahiran multipel, dan
abnormalitas kromosom, walaupun demikian lebih banyak wanita mengalami persalinan yang
lama (American Society for Reproductive Medicine, 2003; Tough dkk., 2007). Terdapat 14,9%
angka kelahiran hidup oleh ibu dengan usia 35 tahun ke atas. (National Center for Health
Statistics, 2010). Dikatakan bahwa usia ibu hamil yang lebih tua berhubungan dengan defek
kromosom seperti trisomi 13, 18 dan 21 (Hagen et al., 2011). Besarnya risiko usia tua ibu hamil
bagi terjadinya defek spesifik non kromosom masih belum jelas. (Gill SK. Dkk. 2012)
b) Hubungan keluarga orang tua (Consanguineous parents)
Istilah consanguinuinity digunakan untuk menggambarkan mereka yang menikah yang memiliki
setidaknya satu nenek moyang yang sama.Perkawinan dengan hubungan keluarga dalam
genetika populasi berangkatdari perkawinan yang tidak acak dengan pasangan yang lebih mirip
secaragenetik dibandingkan mereka yang kawin secara acak dalam populasi.
Keturunan dari consanguineous parents mungkin berisiko tinggi terhadap kelainan gentik karena
ekspresi mutasi gen resesif autosomal yang diwarisi dari nenek moyang yang sama. Semakin
dekat hubungan biologis antara orang tua, semakin besar kemungkinan bahwa keturunan mereka
akan mewarisi salinan identik dari satu atau lebih gen resesif yang merugikan. Sebagai contoh,
sepupu pertama diprediksi akan berbagi 12,5 % gen mereka. Jadi, secara rata-rata keturunan
mereka akan homozigot (atau lebih tepatnya autozigot) pada 6,25% lokus gen (yaitu mereka
akan menerima salinan gen yang identik dari setiap orang tua di tempat-tempat ini dalam genom
mereka) (Robin LB, 2002).
2.6.3 Faktor Lingkungan
Paparan ibu oleh agen lingkungan dapat mengganggu proses pertumbuhan normal. Risiko
memiliki kelainan kongenital setelah terpapar agen teratogen tergantung kondisi alam dan dosis
dari agen tersebut, waktu dan lama durasi paparan, adanya paparan yang bersamaan, dan gen
yang rentan dari embrio.
1) Merokok (aktif dan pasif)
Merokok selama kehamilan menyebabkan paparan zat-zat seperti nikotin dan karbon monoksida
yang dikaitkan dengan sejumlah komplikasi serius selama kehamilan (Rogers JM, 2009).
Peningkatan kejadian aborsi spontan, kelahiran prematur, abrupsio plasenta, growth restriction,
ruptur membran prematur, keguguran, dan kelahiran mati adalah beberapa akibat dari paparan
asap tembakau dan meningkatkan morbiditas dan mortilitas perinatal (Adgent MA, 2006.
Glinianaia SV dkk., 2004. Nabet C dkk., 2005) Mekanisme biologis bagaimana asap tembakau
mempengaruhi perkembangan janin telah diperiksa dalam penelitian terhadap manusia dan
laboratorium yang ekstensif, yang menunjukkan bahwa banyak dari 7000 bahan kimia dapat
melewati penghalang plasenta dan memiliki efek berbahaya langsung pada bayi yang belum
lahir. (BMA, 2004; Quinton et al., 2008; Talbot, 2008; Rogers, 2009) Di England dan Wales,
3759 bayi lahir dengan kelainan kongenital non kromosom pada tahun 2008; lima defek yang
paling sering yaitu pada sistem kardiovaskular (27%), ekstremitas (22%), sistem urinarius (17%),
sistem genitalia (11%) dan celah orofasial (11%) (ONS, 2010).
2) Obat-obatan
Obat-obatan termasuk agen teratogen apabila dikonsumsi selama kehamilan. Dikatakan bahwa
fenitoin (hidantoin) dengan periode kritis trimester 1, dapat mengakibatkan malformasi hiplasia
falang distal, hidung pesek, pangkal hidung datar dan lebar, ptosis, bibir sumbing dan langit
langit sumbing, retardasi mental, kemudian akan mempunyai risiko tinggi terhadap keganasan
terutama neuroblastoma. Talidomid pada periode kritis 34-50 hari HPHT (hari pertama haid
terakhir) dapat menyebabkan malformasi berupa fokomelia, penyakit jantung bawaan, stenosis
ani, atresia meatus akustikus eksterna. Jika terpapar warfarin pada 6-9 minggu, mengakibatkan
anomali struktur pada 30%, setelah 16 minggu mungkin hanya mengakibatkan retardasi mental.
Klorokuin dapat mengakibatkan ketulian, kekeruhan kornea, dan korioretinitis. Litium dapat
mengakibatkan kelainan jantung bawaan. Natrium valproat dapat mengakibatkan neural tube
defect, hipospadia, mikrosomia, hidung kecil,
jari tangan panjang dan kurus, keterlambatan perkembangan (Connor JM, Smith MAF, 1997)
Penggunaan ACE-inhibitor (ACEI) untuk mengobati tekanan darah tinggi juga dikatakan
menyebabkan defek lahir. Penggunaan ACEI menjadi kontraindikasi pada kehamilan trimester
dua dan trimester ketiga. Paparan ACEI terhadap janin dikatakan berhubungan dengan fetopati,
yaitu suatu keadaan yang terdiri atas oligohidramnion, retardasi pertumbuhan dalam janin,
hipokalvaria, displasia renal, anuria, gagal ginjal, dan kematian (Briggs GG, 2002. Tabacova S,
dkk., 2003)
Kebalikannya, penggunaan ACEI pada trimester pertama kehamilan belum dihubungkan dengan
efek buruk pada kelahiran. Efek pada janin dikatakan sebagai konsekuensi langsung dari anuria
dan oligohidramnion yang dihasilkan oleh ACEI yang mengganggu fungsi ginjal janin
(Tabacova S, dkk., 2003. Martin RA, dkk., 1992. Bhatt-MV, Deluga KS, 1993). Karena produksi
urin merupakan proses yang bertahap yang berkembang pada kehamilan yang lanjut, (Moore KL,
Persaud TVN, 1998) maka ginjal janin yang masih berkembang belum sensitif terhadap ACEI
sebelum trimester kedua kehamilan (Cooper WO, dkk., 2006)
4) Tempat tinggal
Terdapat dampak potensial pada kesehatan reproduksi dari paparan kontaminan di tempat-tempat
dengan limbah yang berbahaya, dimana produk yang paling banyak ditemukan adalah residu
pelarut, pestisida, dan logam.
Ibu hamil yang tinggal di daerah persawaan atau di daerah perkebunan akan lebih mudah
terpapar oleh zat-zat agrikultural termasuk pestisida. Dikatakan bahwa wanita yang terpapar
pestisida enam kali lebih berisiko melahirkan bayi dengan defek lahir dibandingkan mereka yang
tidak terpapar (Heeren GA, dkk., 2003)
Telah dianalisis lokasi geografis (daerah berisiko) dengan kemungkinan hubungan faktor
lingkungan (kontaminasi bahan kimia) dengan kejadian kelainan kongenital. Daerah
diklasifikasikan menurut pencemaran lingkungan rata-rata (udara, biota, minyak, air, dan
kontaminan kimia tertentu). Risiko relatif besar ditemukan untuk kasuskasus yang berada di
daerah berisiko tersebut. Kemungkinan terjadinya malformasi pada daerah ini lebih besar,
dengan fokus khusus zat kimia seperti sianida dan senyawa anorganik lainnya. (Croen dkk.
1997)
5) Penggunaan kosmetik
Dalam dekade terakhir ditunjukkan bahwa masalah reproduksi dan perkembangan menjadi lebih
sering, sebagai contoh data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) ditunjukkan
bahwa masalah diantara tahun 1970 dan 1993 yaitu masalah reproduksi laki-laki termasuk
undescended testis dan hipospadia. Zat-zat dari lingkungan dengan kuat diduga sebagai faktor
yang berkontribusi.
Selain itu kosmetik pemutih juga mengandung merkuri dan hidrokuinon. Merkuri adalah logam
yang toksik, namun sangat berguna pada preparat kosmetik pemutih untuk menekan produksi
melanin pada kulit (Bourgeosis dkk., 1986). Dikatakan bahwa merkuri dapat mempengaruhi
fertilitas wanita dan mengakibatkan defek lahir. Beberapa studi telah membuktikan efek samping
merkuri yang didapat memalui paparan konsumsi ikan dan amalgam gigi. Namun belum ada data
tentang pengaruh pemakaian kosmetik pemutih jangka panjang terhadap efek samping kehamilan
dan atau outcome kehamilan. Sebelum ada data yang tersedia, wanita harus dianjurkan untuk
tidak menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung merkuri selama kehamilan. (Al-Saleh,
Iman. 2016). Hidrokuinon juga banyak terdapat pada kosmetik pemutih. Hidrokuinon merupakan
inhibitor yang kuat terhadap produksi melanin (Yoshimura dkk., 2001). Pada sebuah studi
tunggal ditunjukkan bahwa penggunaan hidrokuinon selama kehamilan tidak meningkatkan efek
samping, namun sampel wanita hamil pada penelitian tersebut kecil. (Mahe A dkk., 2007).
Namun karena pertimbangan absorbsinya, paparan terhadap agen ini harus tetap diminimalisir
terutama pada wanita yang sedang hamil sampai ada studi yang membuktikan keamanannya
(Pina Bozzo dkk., 2011)

LO4. KELAINAN KONGENITAL SISTEM MUSKULOSKELETAL

1. CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

2.1  Pengertian CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah umum

yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi

normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari

pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia

(Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot),

menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada

ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata equino (meng.kuda) dan varus (bengkok ke

arah dalam/medial). 

Congenital Talipes Equino Varus adalah deformitas kaki yang tumitnya terpuntir ke dalam garis

tungkai dan kaki mengalami plantar fleksi. Keadaan ini disertai dengan meningginya tepi dalam
kaki (supinasi) dan pergeseran bagian anterior kaki sehingga terletak di medial aksis vertikal

tungkai (adduksi). Dengan jenis kaki seperti ini arkus lebih tinggi (cavus) dan kaki dalam

keadaan equinus (plantar flexi). Congenital Talipes Equino Varus adalah suatu kondisi di mana

kaki pada posisi Plantar flexi talocranialis karena m. Tibialis anterior lemah,Inversi  ankle

karena m. Peroneus longus, brevis dan tertius lemah, Adduksi subtalar danmidtarsal.

2.2  Klasifikasi CTEV

Literature medis menguraikan tiga kategori utama clubfoot, yaitu :

1. Clubfoot ringan atau postural dapat membaik secara spontan atau memerlukan latihan

pasif atau pemasangan gips serial. Tidak ada deformitas tulang, tetapi mungkin ditemukan

penencangan den pemendekan jaringan lunak secara medial dan posterior.

2. Clubfoot tetralogic terkait dengan anomaly congenital seperti mielodisplasia atau

artogriposis. Kondisi ini biasanya memerlukam koreksi bedah dan memiliki insidensi

kekambuhan yang yang tinggi.

3. Clubfoot idiopatik congenital, atau “clubfoot sejati” hampir selalu memerlukan intervensi

bedah karena terdapat abnormalitas tulang.

2.3  Penyebab CTEV

Etiologi Congenital Talipes Equino Varus sampai saat ini belum diketahui pasti tetapi diduga ada

hubunganya dengan : Persistence of fetal positioning, Genetic, Cairan amnion dalam ketuban

yang terlalu sedikit pada waktu hamil(oligohidramnion), Neuromuscular disorder (Kadang kala

ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina Bifida atau displasia dari rongga

panggul). Ada beberapa teori yang kemungkinan berhubungan dengan CTEV:


1. Teori kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang tidak dibuahi dan

muncul sebelum fertilisasi.

2. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel germinativum yang

dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang mengimplikasikan defek terjadi antara masa

konsepsi dan minggu ke-12 kehamilan.

3. Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara lain hambatan temporer

dari perkembangan yang terjadi pada atau sekbvitar minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa

ini terjadi suatu deformitasclubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi setelah minggu

ke-9, terjadilah deformitasclubfoot yang ringan hingga sedang. Teori hambatan perkembangan

ini dihubungkan dengan perubahan pada faktor genetic yang dikenal sebagai “Cronon”.“Cronon”

ini memandu waktu yang tepat dari modifikasi progresif setiap struktur tubuh semasa

perkembangannya. Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif (lokal maupun umum)

yang menyebabkan perubahan faktor genetic (cronon).

4. Teori fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan akibatintrauterine crowding.

5. Teori neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.

6. Teori amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.

7. Sindrom Edward, yang merupakan kelainan genetic pada kromosom nomer 18

8. Pengaruh luar seperti penekanan pada saat bayi masih didalam kandungan dikarenakan

sedikitnya cairan ketuban (oligohidramnion)

9. Dapat dijumpai bersamaan dengan kelainan bawaan yang lain seperti spina bifida

2.5  Manifestasi Klinis CTEV

1. Tidak adanya kelainan congenital lain

2. Berbagai kekakuan kaki


3. Hipoplasia tibia, fibula, dan tulang-tulang kaki ringan

4. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki terlihat relatif

memendek.

5. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur atau cekungan pada

bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi,

terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang sendi pergelangan kaki.

Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi.

6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan

dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang

membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau positional karena posisi intra

uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi pergelangan

kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan

menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottomdengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi

pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi

dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan

terdapat penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.

7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang

kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada

maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang navikularis.

Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya perputaran

subtalar ke medial.

8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan

posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan
memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki

memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.

9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida. Sendi

lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya subluksasi

atau dislokasi.

»        Diagnosis Banding

1. Postural clubfoot- disebabkan oleh posisi fetus dalam uterus. Kaki dapat dikoreksi secara

manual oleh pemeriksa. Mempunyai respon yang baik dan cepat terhadap serial casting dan

jarang akan kambuh kembali.

2. Metatarsus adductus (atau varus)- adalah deformitas pada metatarsal saja. Kaki bagian

depan mengarah ke bagian medial dari tubuh. Dapat dikoreksi dengan manipulasi dan

mempunyai respon terhadap serial casting.

2.6  Pemeriksaan Diagnostic CTEV

Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan ultrasonography atau

terdeteksi saat kelahiran.

2.7  Penatalaksanaan CTEV

Sekitar 90-95% kasus club foot bisa di-treatment dengan tindakan non-operatif. Penanganan

yang dapat dilakukan pada club foot tersebut dapat berupa :

1. Non-Operative :

Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan untuk penanganan

remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu :

koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot normal tercapai,
observasi dan follow up untuk mencegah kembalinya deformitas.

Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari serial “cast” yang dimulai dari

sejak lahir dan dilanjutkan sampai tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan

latihan stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari struktur yang lemah

pada sisi lateral.

Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari beberapa hari sampai 1-2 bulan

dengan interval 1-2 bulan) untuk mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika

manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk memperbaiki struktur yang

berlebihan, memperpanjang atau transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast”

sampai tujuan koreksi tercapai. Serial Plastering (manipulasi pemasangan gibs serial yang diganti

tiap minggu, selama 6-12 minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan menggunakan sepatu

khusus, sampai anak berumur 16 tahun.

Perawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan perawatan pada anak dengan anak

dengan penggunaan “cast”. Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga

perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Observasi kulit dan

sirkulasi merupakan bagian penting pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan

informasi yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian

“cast” secara teratur untuk menunjang penyembuhan.

Perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk

memfasilitasi tumbuh kembang normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau

therapi yang lama. Perawatan “cast” meliputi :

–          Biarkan cast terbuka sampai kering


–          Posisi ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi dengan diganjal bantal pada hari

pertama atau sesuai  intruksi

–          Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan warna kulit dan

laporkan bila ada perubahan yang abnormal

–          Cek pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi adanya rasa nyeri

–          Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama tetapi anjurkan untuk melatih otot-otot

secara ringan, gerakkan sendi diatas dan dibawah cast secara teratur.

–          Istirahat yang lebih banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma

–          Jangan biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-benda kecil yang

bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak

–          Rasa gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi cast dan

kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat

–          Cast sebaiknya dijauhkan dari dengan air

2. Operatif

1. Indikasi dilakukan operasi adalah sebagai berikut :

–          Jika terapi dengan gibs gagal

–          Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan

1. Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang mengalami kontraktur maupun

dengan osteotomy. Osteotomy biasanya dilakukan pada kasus club foot yang neglected/ tidak

ditangani dengan tepat.


2. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu, tindakan ini dimulai dengan

pemanjangan tendo Achiles ; kalau masih ada equinus, dilakuakan posterior release dengan

memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan kaki posterior, dan kalau perlu, kapsul

talokalkaneus. Varus kemudian diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis medial dan

pemanjangan tendon tibialis posterior.(Ini Menurut BuKu Appley).

3. Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10 tahun atau kalau

tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakan artrodesis triple yang terdiri atas reseksi dan

koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art. talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art.

kalkaneokuboid.

2.8  Komplikasi CTEV

1. Komplikasi dapat terjadi dari terapi konservatif maupun operatif. Pada terapi konservatif

mungkin dapat terjadi masalah pada kulit, dekubitus oleh karena gips, dan koreksi yang tidak

lengkap. Beberapa komplikasi mungkin didapat selama dan setelah operasi. Masalah luka dapat

terjadi setelah operasi dan dikarenakan tekanan dari cast.Ketika kaki telah terkoreksi, koreksi

dari deformitas dapat menarik kulit menjadi kencang, sehinggga aliran darah menjadi terganggu.

Ini membuat bagian kecil dari kulit menjadi mati. Normalnya dapat sembuh dengan berjalannya

waktu, dan jarang memerlukan cangkok kulit.

2. Infeksi dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi. Infeksi dapat terjadi setelah operasi

kaki clubfoot.  Ini mungkin membutuhkan pembedahan tambahan untuk mengurangi infeksi dan

antibiotik untuk mengobati infeksi.

3. Kaki bayi sangat kecil, strukturnya sangat sulit dilihat. Pembuluh darah dan saraf

mungkin saja rusak akibat operasi. Sebagian besar kaki bayi terbentuk oleh tulang rawan.
Material ini dapat rusak dan mengakibatkan deformitas dari kaki. Deformitas ini biasanya

terkoreksi sendir dengan bertambahnya usia

4. Komplikasi bila tidak diberi pengobatan : deformitas menetap pada kaki

2. Kongenital Tortikolis

Tortikolis (wryneck) adalah suatu kondisi di mana kepala berada pada posisi miring, dengan
dagu menunjuk ke salah satu bahu, sedangkan kepala miring ke arah bahu yang berlawanan;
juga disebut rotasi leher. Tortikolis muskular kongenital adalah keadaan dimana terjadi kontraksi
otot-otot leher yang menyebabkan kepala turn and tilt ke satu sisi dan dagu mengarah ke sisi
yang berlawanan, yang didapat sejak lahir. Menurut Freed dan Collen, deformitas postural yang
terdeteksi saat kelahiran atau segera setelah lahir terjadi akibat pemendekan dan fibrosis dari
salah satu otot sternokleidomastoid. Secara anatomi, otot sternokleidomastoid terletak sangat
superfisial pada samping kiri kanan leher bagian depan. Kedua otot ini akan terlihat berkontraksi
bersamaan pada posisi terlentang dengan mengangkat kepala ke atas. Untuk mengetahui
gangguan satu sisi, dapat diberikan tahanan pada saat mengadakan gerakan memutar kepala. Otot
ini akan berfungsi sebagai fleksor kepala bila bekerja serentak, dan sebagai lateral fleksor dan
rotator bila bekerja satu sisi.

Penyebab Tortikolis

Saat seseorang mengalami tortikolis, otot pada salah satu sisi leher yang membentang dari
belakang telinga hingga tulang selangka menjadi lebih pendek dari sisi lainnya. Berbagai kondisi
dapat menyebabkan otot yang disebut sternokleidomastoid ini menjadi lebih pendek.

Salah satu penyebabnya adalah karena kelainan genetik yang diturunkan dalam keluarga atau
masalah pada sistem saraf, tulang belakang bagian atas, atau otot. Selain itu, tortikolis juga kerap
terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas atau dikenal dengan istilah tortikolis idiopatik.

Sedangkan tortikolis kongenital biasanya terjadi karena posisi kepala bayi yang tidak normal
dalam kandungan, seperti sungsang, yang dapat meningkatkan tekanan pada salah satu sisi
kepala janin sehingga otot leher menegang. Tortikolis juga bisa terjadi saat persalinan jika proses
kelahiran bayi dilakukan dengan bantuan alat forsep atau vakum, sehingga salah satu sisi otot
leher mendapat tekanan lebih besar. Selain itu, kerusakan otot atau kurangnya pasokan darah
pada leher juga dapat menimbulkan tortikolis.

Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa jenis tortikolis, yaitu:

 Tortikolis temporer. Tortikolis ini disebabkan kelenjar getah bening yang bengkak,


infeksi telinga, pilek, atau cedera kepala dan leher yang menyebabkan bengkak.
Tortikolis jenis ini biasanya dapat hilang dalam waktu satu atau dua hari.
 Tortikolis permanen. Kondisi ini terjadi karena masalah pada otot atau struktur tulang.
 Tortikolis otot. Jenis ini diakibatkan jaringan parut atau otot yang mengeras pada salah
satu sisi leher.
 Distonia tengkuk atau tortikolis spasmodik. Kondisi ini membuat otot leher tegang
dan miring ke samping, ke atas, atau bawah, serta terasa sangat menyakitkan. Umumnya,
tortikolis spasmodik terjadi pada usia di atas 40-60 tahun, dan lebih banyak diderita oleh
wanita.
 Sindrom Klippel-Feil. Kondisi ini terjadi karena kelainan posisi tulang pada leher bayi.
Penderita sindrom Klippel-Feil biasanya juga mengalami kesulitan dalam mendengar dan
melihat.

GAMBARAN KLINIS
Tortikolis muskular kongenital biasanya mulai terlihat pada usia 2-4 minggu atau bisa lebih
lambat yaitu 6-8 minggu dan berkembang sesuai usia anak yang cenderung menahan posisi
kepala miring ke satu sisi.1 Mac Donald (1969) mengklasifikasikan tortikolis muskular
kongenital atas 3 sub-kelompok klinis, yaitu: 1) kelompok tumor sternomastoid dengan massa
yang jelas terlihat, (42,7%); 2) kelompok tortikolis muskular dengan pemendekan otot
sternokleidomastoid (30,6%); dan 3) kelompok tortikolis postural yaitu tortikolis tanpa adanya
pemendekan otot atau tumor (22,1%).1,2,5 Gejala dan tanda awalnya biasanya diketahui pada
usia 2 bulan pertama, berupa: turn dan tilt kepala ke arah sisi sakit (75% mengenai sisi kanan);
pembesaran otot-otot leher yang kemungkinan telah ada sejak lahir; spasme otot-otot leher dan
punggung atas; keterbatasan lingkup gerak sendi leher; dan bisa ditemukan adanya
benjolan/tumor di leher yang disebut fibromatosis colli. Tortikolis muskular kongenital bisa
ditemukan ringan sampai berat. Umumnya tortikolis ini berkembang secara progresif lambat
dalam 1-5 tahun, kemudian menetap seumur hidup sehingga menyebabkan gerakan kepala dan
leher terbatas yang dapat memengaruhi postur.

 Gerakan kepala terbatas, sehingga kepala sulit berpaling ke samping, atau melihat ke atas
dan bawah.
 Kaku otot leher.
 Leher terasa nyeri.
 Otot leher terlihat bengkak.
 Tremor kepala.
 Sakit kepala.
 Salah satu sisi bahu terlihat lebih tinggi.
 Dagu miring ke satu sisi.
 Ada benjolan lunak pada otot leher.
 Bayi tortikolis lebih suka menyusui pada satu sisi payudara saja.
 Kepala terlihat datar pada satu sisi akibat sering berbaring hanya di sisi tersebut
(plagiosefali).
 Kepala terlihat datar pada satu sisi akibat sering berbaring hanya di sisi tersebut
(plagiosefali).
 Mengalami gangguan pendengaran atau penglihatan.

Diagnosis Tortikolis
Diagnosis tortikolis diawali dengan menanyakan kebiasaan serta gejala yang dialami pasien,
serta melakukan pemeriksaan fisik, terutama melihat gerakan kepala pasien dan kondisi otot
leher pasien. Guna memastikan diagnosis, dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan
penujang. Salah satunya adalah elektromiogram (EMG). Pemeriksaan ini bertujuan mengukur
aktivitas listrik dalam otot sehingga dapat memastikan bagian otot yang terganggu.

Selain itu, pemindaian dengan foto Rontgen leher, CT scan leher, atau MRI juga bisa dilakukan
untuk melihat masalah pada struktur jaringan yang diduga menimbulkan keluhan pada penderita.
Sementara itu, tes darah dilakukan untuk mencari kondisi lain yang menyebabkan tortikolis

Penanganan Tortikolis

Penanganan tortikolis perlu dilakukan secepat mungkin untuk mencegah komplikasi dalam
jangka panjang. Untuk tortikolis kongenital, penanganan utama yang bisa dilakukan adalah
peregangan otot leher. Dapat dilakukan peregangan secara pasif pada penderita atau memakai
alat penyangga untuk mempertahankan posisi tubuh tertentu. Dokter juga dapat mengajarkan
beberapa gerakan pada orang tua yang bisa dilakukan bersama penderita. Gerakan tersebut dapat
membantu   memanjangkan otot leher yang mengeras atau pendek, serta menguatkan otot leher
pada sisi yang satunya.

Perawatan ini sering kali berhasil, terutama jika perawatan diawali sejak usia 3 bulan. Jika
perawatan ini belum dapat mengatasi kondisi, maka diperlukan prosedur operasi untuk
memperbaiki posisi otot leher. Prosedur ini baru bisa dilakukan setelah penderita mencapai usia
prasekolah.

Sementara tortikolis yang disebabkan kerusakan sistem saraf, tulang belakang, atau otot, dapat
ditangani sesuai penyebabnya, Pilihan penanganan yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan
menggunakan pemanas atau memijat leher untuk meredakan rasa nyeri, melakukan latihan
peregangan atau menggunakan penyangga leher untuk mengatasi otot yang tegang, serta
menjalani fisioterapi.

Di samping penanganan tersebut, dokter juga dapat memberi obat pada pasien guna meredakan
gejala. Obat tersebut meliputi obat pelemas otot (misalnya baclofen  ), obat pereda nyeri, serta
suntikan botulinum toxin atau botox yang diulang tiap beberapa bulan.
Jika upaya tersebut belum mendatangkan hasil, maka dokter dapat menganjurkan prosedur
operasi. Tujuan prosedur ini adalah untuk memperbaiki tulang belakang yang tidak normal,
memperpanjang otot leher, memotong otot atau saraf leher, serta menggunakan stimulasi otak
dalam untuk mengganggu sinyal saraf, yang dilakukan pada distonia tengkuk yang sangat parah.

Komplikasi Tortikolis

Tortikolis biasanya merupakan cedera ringan, dan dapat disembuhkan. Namun pada tortikolis
kongenital yang parah, dapat terjadi gangguan jangka panjang.

Pada kasus tortikolis akut yang terjadi secara sementara, penanganan perlu dilakukan dengan
segera. Jika tidak, terdapat risiko munculnya beberapa komplikasi berikut:

 Pembengkakan otot leher.


 Gangguan saraf akibat ada saraf yang tertekan.
 Nyeri kronis.
 Kesulitan menjalankan kegiatan rutin atau berkendara.
 Depresi.

3. SPINAL MUSCULAR ATROPY

Spinal Muscular Atrophy (SMA) adalah penyakit genetik otot-saraf (neumuscular genetic
disorder) yang ditandai dengan kelumpuhan otot. Tampilan klinik yang nyata dari pasien-pasien
SMA adalah kelumpuhan otot, terutama pada kedua kaki. Meski begitu, sumber utama
kelumpuhan bukan disebabkan oleh rusaknya sel-sel otot, melainkan kelumpuhan murni
disebabkan oleh rusaknya sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang (spinal cord).

Yang dimaksud dengan sumsum tulang belakang (spinal cord) adalah bagian dari sistem saraf
pusat yang berjalan secara berkelanjutan dari otak turun hingga ke punggung bagian bawah.

Dari sumsum tulang belakang ini, keluarlah cabang-cabang persarafan yang bertanggung jawab
untuk setiap bagian tubuh, termasuk anggota gerak tangan dan kaki.

Seperti yang kita ketahui, gerakan-gerakan otot dikendalikan oleh otak dengan perantaraan
sumsum tulang belakang, di mana saraf-saraf yang menghubungkan otak dengan otot melewati
sumsum tulang belakang.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kerusakan sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang
menyebabkan hilangnya kemampuan kontrol motorik, terutama pada otot-otot yang bertanggung
jawab untuk gerakan-gerakan seperti merangkak, berjalan, mengunyah, kontrol kepala dan leher,
bahkan pernapasan.

Dalam hal ini, otot-otot kaki dan pernapasan lebih sering dan lebih parah mengalami
kelumpuhan dibandingkan otot-otot lain.

Kelumpuhan menyebabkan otot tidak pernah digunakan, sehingga membuatnya mengecil


(atrofi), terutama dapat terlihat jelas pada kaki.

Berdasarkan tingkat keparahannya, SMA dibagi kedalam tiga tipe. Berikut diantaranya:

 SMA tipe I

SMA tipe I disebut juga Werdnig-Hoffmann Disease, adalah tipe yang paling parah. Gejala-
gejala pada SMA Tipe I dimulai sangat awal, bisa sejak sebelum kelahiran atau paling lambat
sejak usia 6 bulan setelah kelahiran.

Gejala-gejalanya ditandai dengan kesulitan bernapas, tidak dapat menyusu dan kelemahan otot
yang menyeluruh.

Problem utama pada bayi SMA tipe I adalah kelemahan pada otot-otot pernapasan, yang
membuatnya sering bergantung pada alat bantu pernapasan.

Bayi dengan SMA Tipe I memiliki harapan hidup yang sangat rendah, di mana hampir semua
meninggal sebelum usia 2 tahun yang disebabkan kegagalan pernapasan.

 Gejala muncul segera sesudah lahir hingga usia 6 bulan.


 Bayi tampak lemas (floopy), gerakan kaki dan tangan sangat minim.
 Perut berbentuk seperti lonceng (bell shaped) dan mengalami kesulitan untuk bernafas.
Umumnya SMA tipe 1 memerlukan alat bantu nafas baik yang non invasif (memakai
masker) ataupun invasif (melalui proses tracheostomy).
 Umumnya mengalami kesulitan menelan.
 Tidak dapat duduk tanpa bantuan
 SMA tipe II

SMA tipe II memiliki tingkat keparahan yang sedang, jika dibandingkan dengan tipe I. Gejala-
gejala SMA pada tipe II dimulai antara umur 6 hingga 18 bulan.

Anak-anak dengan SMA tipe II dapat duduk tanpa dibantu dan kadang-kadang dapat berdiri
dengan susah payah berpegang pada kakinya. Namun, tidak satupun yang dapat berjalan.

Walaupun harapan hidupnya lebih tinggi dibandingkan SMA tipe I, pada umumnya anak-anak
dengan SMA tipe II mengalami masalah berat pada pernapasan yang menjadi penyebab kematian
pada usia awal kanak-kanak.

 Gejala muncul di usia 6 bulan hingga 18 bulan.


 Terjadi penundaan kemampuan fisik, umumnya kaki lebih lemah daripada tangan
 Anak mampu mempertahankan posisi duduk tanpa bantuan.
 Tidak dapat berdiri dan berjalan dengan mandiri.

 SMA tipe III

SMA tipe III yang juga disebut Kugelberg-Welander Disease, adalah tipe dengan tingkat
keparahan paling rendah. Gejala-gejalanya baru dimulai pada usia setelah 18 bulan.

Biasanya diawali dengan perkembangan motorik yang normal dan kemudian pada usia awal
kanak-kanak mengalami penurunan kemampuan motorik yang signifikan.

Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, gejala baru mulai muncul pada usia dewasa (beberapa
ahli menyebutnya SMA Tipe IV).

 Gejala muncul pada usia di atas 18 bulan hingga remaja.


 Anak mampu berdiri dan berjalan mandiri, namun berjalan dengan jinjit dan sering kali
terjatuh.
 Anak juga dapat mengalami kesulitan atau memerlukan upaya besar untuk berlari, berdiri
dari posisi duduk, naik tangga dan melompat.

Penyebab

SMA disebabkan oleh mutasi, baik berupa hilangnya (delesi) maupun perubahan, gen Survival
Motor Neuron 1 (SMN1) pada kromosom 5q. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah protein
SMN1 yang diperlukan untuk perkembangan sel saraf motorik, yang dikenal sebagai saraf motor
neuron. Akibatnya saraf-saraf tersebut mengecil dan mempengaruhi inervasi pada otot-ototnya
sehingga akhirnya otot-otot melemah dan sulit digerakkan dan dapat mengalami pengecilan
(atrofi).

Otot-otot yang terpengaruh adalah otot-otot rangka tubuh (skeleton), ekstremitas (terutama kaki,
dan tangan), pernafasan dan pencernaan.

Perjalanan Penyakit

SMA bersifat progresif, artinya kondisi tubuh akan menurun seiring dengan perjalanan waktu.

SMA mengakibatkan terjadi masalah-masalah pada

 Sistem pernafasan: karena lemahnya otot pernafasan maka dapat terjadi kesulitan
bernafas (sesak nafas) dan sangat rentan  mengalami pneumonia.

 Sistem pencernaan: umumnya sering terjadi reflux (naiknya kembali makanan yang
sudah ditelan ke kerongkongan) dan konstipasi (sembelit). Dalam jangka waktu lama,
dapat terjadi kesulitan menelan , yang jika  tidak segera ditangani akan berujung pada
status gizi buruk.
 Tulang dan otot: Kelemahan otot-otot rangka tubuh dalam jangka panjang
dimanefestasikan antara lain pada kelainan posisi tulang belakang, yakni tulang belakang
melengkung ke kiri atau kanan (skoliosis); tulang belakang di bagian pinggang
melengkung ke depan (lordosis); tulang belakang di bagian punggung melengkung ke
belakang, tampak bungkuk (kyposis).

4. SYNDROM MARFAN

Sindrom Marfan adalah gangguan pada jaringan ikat, yang terjadi akibat kelainan genetik.
Jaringan ikat adalah jaringan yang berfungsi sebagai penunjang atau penghubung antara organ
tubuh, termasuk stuktur tulang. Gangguan apa pun yang terjadi pada jaringan ikat, akan
berdampak pada seluruh tubuh.
Sindrom Marfan bisa menimpa siapa saja, baik pria maupun wanita, dalam segala rentang usia.
Gangguan ini termasuk jarang terjadi, yaitu pada setiap 1 dari 5000 orang.

Penyebab Sindrom Marfan

Sindrom Marfan disebabkan oleh kelainan gen penghasil protein yang disebut fibrilin. Kerusakan
gen tersebut membuat fibrillin diproduksi secara abnormal. Akibatnya, beberapa bagian tubuh
meregang secara tidak normal dan tulang tumbuh lebih panjang dari seharusnya.

Sebagian besar kasus sindrom Marfan diturunkan dari orang tua dan bersifat autosomal
dominant, artinya anak memiliki kemungkinan untuk mewarisi sindrom ini apabila salah satu
dari kedua orang tua menderita sindrom Marfan (tidak harus kedua orang tua yang membawa
gen). Namun demikian, 1 dari 4 kasus sindrom Marfan terjadi bukan karena keturunan. Kondisi
tersebut disebabkan oleh mutasi gen fibrillin pada sperma ayah atau sel telur ibu. Janin yang
dihasilkan dari pembuahan sel sperma atau sel telur tersebut berkembang menjadi sindrom
Marfan.

Gejala Sindrom Marfan

Gejala sindrom Marfan sangat bervariasi. Beberapa penderita hanya mengalami gejala yang
ringan, namun pada penderita lain, gejala yang muncul bisa berbahaya. Berbagai gejala di bawah
bisa muncul di usia kanak-kanak atau menjelang dewasa:

 Tubuh tinggi, kurus dan terlihat tidak normal.


 Bentuk kaki yang besar dan ceper.
 Bentuk lengan, tungkai, serta jari tangan dan kaki yang panjang atau tidak proporsional.
 Sendi lunglai dan lemah.
 Masalah pada tulang belakang, seperti skoliosis.
 Tulang dada menonjol ke luar atau cekung ke dala
 Rahang bawah tampak
 Gigi bertumpuk tidak beraturan.
 Gangguan pada mata, seperti glaukoma, rabun jauh (miopia), katarak, pergeseran lensa
mata, dan ablasi retina.
 Stretch mark pada pundak, punggung bawah, dan panggul.
 Gangguan jantung dan pembuluh darah, seperti perdarahan akibat pecahnya pembuluh
darah arteri besar (aorta) atau penyakit katup jantung.

Diagnosis Sindrom Marfan

Dokter akan menanyakan riwayat kesehatan dalam keluarga dan melihat tanda-tanda pada fisik
pasien. Perlu diketahui, sindrom Marfan tidak bisa didiagnosis hanya dengan melakukan
pemeriksaan genetik tanpa disertai dengan pemeriksaan lain. Penting untuk dilakukan
pemeriksaan lengkap pada mata, MRI untuk mengetahui kondisi tulang belakang, serta
elektrokardiografi dan ekokardiografi untuk melihat adanya pembengkakan atau kerusakan pada
aorta.

Pengobatan Sindrom Marfan

Sindrom Marfan merupakan kondisi yang tidak bisa diobati. Pengobatan hanya bertujuan untuk
mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. Penanganan yang diberikan tergantung kepada
gangguan yang dialami pasien.

 Mata

Bagi penderita sindrom Marfan yang mengalami rabun jauh, penggunaan kacamata atau lensa
kontak dapat membantu mengatasi gangguan penglihatan. Pada pasien yang mengalami
katarak, operasi katarak bisa dilakukan. Sedangkan untuk kasus glaukoma, penanganan bisa
dilakukan dengan pemberian obat tetes mata, operasi, atau laser. Perlu diketahui, semua metode
tersebut sifatnya hanya sebagai pencegahan agar glaukoma tidak semakin memburuk.

 Jantung

Pada pasien dengan keluhan penyakit jantung, dokter akan meresepkan obat penghambat beta
(beta-blockers), seperti bisoprolol, untuk meringankan kerja jantung dan memperlambat
pembesaran aorta. Bila pasien tidak bisa mengonsumsi penghambat beta, dokter akan
memberikan obat lain, seperti irbesartan atau losartan. Namun jika tingkat keparahan sudah
cukup berat dan berpotensi mengancam nyawa pasien, dokter akan menyarankan untuk
dilakukan pembedahan, yaitu dengan mengganti bagian aorta yang membengkak dengan bahan
sintetik.

 Tulang dan sendi

Penderita sindrom Marfan dengan tulang dada (sternum) yang menonjol ke luar umumnya tidak
perlu ditangani, karena kebanyakan tidak menimbulkan masalah. Sebaliknya, tulang dada yang
melekuk ke dalam perlu diperbaiki, karena dapat menekan paru-paru dan mengganggu
pernapasan. Penanganan kondisi tersebut adalah dengan memperbaiki posisi tulang dada dan
tulang rusuk melalui operasi.

Untuk skoliosis, penanganan yang dilakukan tergantung pada tingkat keparahan yang dialami
penderita. Pada anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, dokter akan menyarankan
penggunaan korset tulang belakang. Namun apabila kelengkungan tulang belakang yang sudah
parah (40 derajat atau lebih) atau kelengkungan tersebut membuat saraf tulang belakang tertekan,
dokter akan merekomendasikan operasi untuk meluruskan kembali tulang tersebut.

Sedangkan pada penderita sindrom Marfan yang mengalami nyeri sendi, dokter dapat
memberikan paracetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).

5. OSTEOGENESIS IMPERFECT

oateogenesis imperfect merupakan salah satu penyakit tulang akibat kelainan genetik. Kelainan
ini menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah, bahkan tanpa adanya benturan. Kelainan ini
tergolong cukup langka dan umumnya diturunkan dari kedua orang tua.
Penyebab Osteogenesis Imperfecta
Osteogenesis imperfect disebabkan oleh adanya kelainan genetik kolagen, struktur utama
pembentuk tulang. Pada osteogenesis imperfect yang tipe mutasinya dominan, kelainan genetik
ini terjadi pada kolagen tipe 1.

Kolagen tipe 1 yang dihasilkan abnormal, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Sedangkan pada mutasi resesif, kelainan terjadi pada proses produksi kolagen. Sebagian besar
kasus osteogenesis imperfect yang terjadi termasuk tipe mutasi dominan, sekitar 85–90 persen,
sisanya tipe mutasi resesif.

Gejala Osteogenesis Imperfecta


Osteogenesis imperfect sendiri memiliki delapan tipe yang dibedakan dari jenis mutasinya. Tipe
I–IV merupakan jenis mutasi genetik domain yang menyebabkan kelainan kolagen tipe 1.
Sedangkan tipe V dan VI belum diketahui lokasi mutasinya. Sementara itu tipe VII dan VIII
merupakan jenis mutasi genetik resesif yang mengakibatkan gangguan pada produksi kolagen itu
sendiri. Masing-masing tipe ini memiliki gejala yang berbeda satu dengan lainnya.

Diagnosis Osteogenesis Imperfecta


Untuk menentukan diagnosis terhadap penyakit osteogenesis imperfecta, dokter akan melakukan
wawancara medis mendetail, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Penderita osteogenesis imperfect umumnya mengalami patah tulang yang sangat sering, bahkan
bisa terjadi hingga beratus kali tiap tahunnya. Patah tulang bisa terjadi di area mana pun di tubuh,
baik tulang panjang maupun tulang kecil.

Wawancara medis dan pemeriksaan fisik tersebut kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan
DNA di labolatorium. Sembilan puluh persen hasil pemeriksaan DNA pasien Osteogenesis
imperfect menunjukkan adanya mutasi kolagen tipe 1. Kolagen sendiri merupakan struktur
utama pembentukan tulang. Bila kolagen ini mengalami kelainan maka kepadatan tulang akan
dikorbankan, jadi mudah patah.
Walaupun pemeriksaan DNA ini merupakan pemeriksaan yang sifatnya konfirmasi, hasil yang
negatif belum tentu menyingkirkan kemungkinan osteogenesis imperfect. Bisa jadi kasus yang
terjadi tetap merupakan osteogenesis imperfect, hanya saja mutasi yang terjadi tidak terdeteksi.
Atau kemungkinan lain adalah penderita tersebut mengalami osteogenesis imperfect tipe  mutasi
resesif. Pada mutasi resesif, tidak ditemukan kelainan pada DNA kolagen tipe 1, namun
gangguan terjadi pada produksi kolagen itu sendiri.

Osteogenesis imperfect tipe I


Beberapa gejala dan tanda yang muncul pada tipe ini antara lain:

 Tipe osteogenesis imperfect yang paling sering terjadi dan relatif paling ringan
 Tulang sangat mudah patah dan umumnya terjadi sebelum pubertas
 Postur tubuh terlihat normal
 Persendian tidak kokoh dan otot mengalami kelemahan
 Pada bagian putih mata, terlihat adanya titik berwarna biru, ungu atau abu-abu
 Wajah berbentuk segitiga
 Kelainan tulang yang terjadi minimal atau tidak ada sama sekali
 Terkadang disertai gigi rapuh
 Pada beberapa kasus ditemui gangguan pendengaran, khususnya di usia 20–30 tahun
 Struktur kolagen normal, namun jumlahnya kurang dari normal

Osteogenesis imperfect tipe II


Tanda-tanda yang perlu diperhatikan antara lain:

 Tipe paling berat


 Umumnya menyebabkan kematian sesaat setelah lahir karena gagal napas
 Patah tulang sangat sering terjadi dan menyebabkan kelainan bentuk tulang yang parah
 Postur tubuh pendek dengan paru yang tidak berkembang sempurna
 Terdapat bercak warna pada bagian putih mata
 Kolagen tidak terbentuk sempurna
Osteogenesis imperfect tipe III
Beberapa gejala dan tanda yang muncul pada tipe ini antara lain:

 Tulang mudah patah. Patah tulang bisa terjadi saat kelahiran dan gambaran rontgen dapat
menunjukkan adanya proses penyembuhan tulang sebelum kelahiran
 Postur tubuh pendek
 Bagian putih mata terdapat bercak biru, ungu atau abu-abu
 Sendi tidak kokoh dan otot lemah terutama di tangan dan kaki
 Dada berbentuk tong
 Wajah segitiga
 Kemungkinan terdapat gangguan pernapasan
 Terdapat kelainan bentuk tulang, umumnya berat
 Pada beberapa kasus juga dijumpai gigi rapuh
 Pada beberapa kasus ditemui gangguan pendengaran
 Struktur kolagen tidak terbentuk sempurna

Osteogenesis imperfect tipe IV


Tanda-tanda yang perlu diperhatikan antara lain adalah:

 Tingkat keparahan penyakit berada di antara tipe I dan III


 Tulang sangat mudah patah dan umumnya terjadi sebelum pubertas
 Postur tubuh terlihat lebih pendek dari sebayanya
 Tidak didapati kelainan pada bagian putih mata
 Kelainan tulang yang terjadi minimal atau tidak ada sama sekali
 Wajah berbentuk segitiga
 Dada berbentuk tong
 Terkadang disertai gigi rapuh
 Pada beberapa kasus ditemui gangguan pendengaran
 Struktur kolagen tidak terbentuk sempurna
Osteogenesis imperfect tipe V
Beberapa gejala dan tanda yang muncul pada tipe ini antara lain:

 Secara klinis menyerupai tipe IV


 Ditemukan gambaran pita tebal pada rontgen tulang, terutama di lempeng pertumbuhan
tulang panjang
 Terdapat pembentukan kalus yang besarnya tidak normal pada area yang mengalami
patah
 Terjadi kalsifikasi di lapisan antara radius dan ulna
 Bagian putih mata normal
 Gigi normal
 Pemeriksaan tulang di bawah mikroskop menunjukkan gambaran seperti jaring
 Tipe kelainan dominan

Osteogenesis imperfect tipe VI


Tanda-tanda yang perlu diperhatikan antara lain:

 Secara klinis menyerupai tipe IV


 Produksi alkalin fosfatase (enzim yang berperan dalam pembentukan tulang) mengalami
peningkatan. Hal ini diketahui dari pemeriksaan darah
 Gambaran tulang di bawah mikroskop terlihat seperti sisik ikan
 Didiagnosis dari biopsi tulang
 Jenis pewarisan genetik belum bisa dipastikan apakah dominan atau resesif. Namun para
ahli menduga kuat tipe resesif.

Osteogenesis imperfect tipe VII


Beberapa gejala dan tanda yang muncul pada tipe ini antara lain:

 Secara klinis menyerupai tipe IV


 Beberapa kasus menyerupai tipe II yang menyebabkan kematian sesaat setelah lahir.
 Perawakan pendek
 Tulang lengan dan paha pendek
 Terjadi coxa vera, yakni perubahan bentuk kepala tulang paha sehingga mempengaruhi
panggul
 Terdapat mutasi resesif gen CRTAP (Cartilage- Associated protein)

Osteogenesis imperfect tipe VIII


Tanda-tanda yang perlu diperhatikan antara lain:

 Secara klinis menyerupai tipe II atau tipe III yang menyebabkan kematian sesaat setelah
lahir.
 Gangguan pertumbuhan dengan intensitas berat
 Mineralisasi tulang sangat terganggu
 Terdapat defisiensi P3H1 (Prolyl 3-hydroxylase 1) akibat mutasi gen LEPRE1

Pengobatan Osteogenesis Imperfecta


Sampai saat ini, belum tersedia pengobatan yang dapat total menyembuhkan pasien dengan
osteogenesis imperfecta. Penanganan lebih ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup
penderitanya. Patah tulang ditangani dengan operasi, baik kecil maupun besar, fisioterapi dan
bila perlu digunakan alat bantu jalan atau kursi roda.

Selain itu, terapi hormon menggunakan hormon pertumbuhan, obat-obatan dan terapi gen juga
kerap digunakan pada pasien osteogenesis imperfecta.

Selain pengobatan medis, olahraga dan pengaturan gizi pasien dengan osteogenesis imperfecta
juga tidak kalah penting. Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang bersifat low
impact seperti berenang atau berjalan kaki. Olahraga jenis ini dapat meminimalkan potensi patah
tulang yang dapat terjadi dan mampu membantu meningkatkan kekuatan tulang serta otot.

Di samping itu, pasien dengan osteogenesis imperfecta juga diharapkan mampu menjaga pola
hidup sehat dengan tidak merokok, minum minuman alkohol, mengonsumsi kafein secara
berlebihan, dan menghindari obat steroid. Semua hal tersebut mampu menurunkan kepadatan
tulang dan memperparah risiko patah tulang.
Komplikasi Osteogenesis Imperfecta
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada pasien dengan osteogenesis imperfecta. Berat ringannya
komplikasi bergantung pada keparahan gejala klinis.

Komplikasi paling berat adalah kegagalan pernapasan yang berujung pada kematian. Selain itu,
kondisi psikis sang penderita juga kerap menjadi korban kedua setelah tulangnya. Keterbatasan
beraktivitas, postur tubuh yang pendek kerap menjadikan penderitanya rendah diri dan tidak
memiliki hidup yang optimal. Depresi adalah ancaman komplikasi psikis yang tidak boleh juga
dikesampingkan.

Pencegahan Osteogenesis Imperfecta


Osteogenesis imperfecta sendiri merupakan penyakit yang tidak bisa dihindari. Langkah
pencegahan lebih ditujukan untuk meminimalkan risiko patah tulang. Pencegahan ini dilakukan
dengan menjaga pola hidup sehat dan memilih ragam aktivitas yang tergolong aman dilakukan.

6. Skoliosis

A. PENGERTIAN
Skoliosis berasal dari kata Yunani yang berarti lengkungan, mengandung arti patologik.
Skolisosi merupakan deformitas tulang belakang yang mengalami deviasi ke arah lateral (lateral
curvature of the spine) (Buku ajar ilmu bedah, 2010). Kebanyakan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik). Penderita mengalami perubahan fisik tergantung kepada besar kecilnya sudut dan
lengkungan yang terjadi. Kelainan scoliosis ini sepintas terlihat sangat sederhana, namun apabila
diamati lebih jauh sesungguhnya terjadi perubahan yang luar biasa pada tulang belakang akibat
perubahan bentuk tulang belakang secara tiga dimensi, yaitu perubahan struktur penyokong
tulang belakang seperti jaringan lunak dan sekitarnya dan struktur lainnya.

B. EPIDEMIOLOGI
Kasus scoliosis idiopatik cukup banyak ditemukan yaitu 0,5% dari jumlah penduduk atau
85% dari scoliosis struktural (tidak dapat kembali atau irreversible). Scoliosis terjadi kira-kira
dua kali lebih umum pada anak perempuan dari pada anak lelaki. Dapat dilihat pada semua
umur, namun lebih umum pada mereka yang umurnya lebih dari 10 tahun. Di Amerika serikat
kasus scoliosis lebih dari 25 derajat terdapat pada 1,5/1000 orang (Faisal,arif ,2012).

C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI SKOLIOSIS


Secara umum dapat diterima bahwa tidak ada penyebab tunggal, tetapi multifaktorial.
Diantara penyebab adalah heriditer, kongenital, penyakit neuromuskuler, abnormalitas medulla
spinalis dan brainstem, hormon, gangguan fungsi vestibuler, melatonin dan struktur jaringan dan
sel darah. Klasisfikasi etiologi scoliosis adalah sebagai berikut (kumpulan kuliah ilmu bedah,
2012):

A. Non-struktural : Skoliosis tipe ini bersifat reversibel (dapat dikembalikan ke bentuk


semula), dan tanpa perputaran (rotasi) dari tulang punggung

a. Skoliosis postural : Disebabkan oleh kebiasaan postur tubuh yang buruk

b. Spasme otot dan rasa nyeri, yang dapat berupa :

 Nyeri pada spinal nerve roots : skoliosis skiatik

 Nyeri pada tulang punggung : dapat disebabkan oleh inflamasi atau


keganasan

 Nyeri pada abdomen : dapat disebabkan oleh apendisitis

c. Perbedaan panjang antara tungkai bawah

 Actual shortening

 Apparent shortening :

1. Kontraktur adduksi pada sisi tungkai yang lebih pendek.

2. Kontraktur abduksi pada sisi tungkai yang lebih panjang.

B. Sruktural : Skoliosis tipe ini bersifat irreversibel dan dengan rotasi dari tulang punggung
a. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) : 80% dari seluruh skoliosis

 Bayi : dari lahir – 3 tahun

 Anak-anak : 4 – 9 tahun

 Remaja : 10 – 19 tahun (akhir masa pertumbuhan)

 Dewasa : > 19 tahun

b. Osteopatik

Kongenital (didapat sejak lahir)

1. Terlokalisasi :

a. Kegagalan pembentukan tulang punggung


(hemivertebrae)

b. Kegagalan segmentasi tulang punggung (unilateral


bony bar)

2. General :

a. Osteogenesis imperfecta

b. Arachnodactily

Didapat

1. Fraktur dislokasi dari tulang punggung, trauma


2. Rickets dan osteomalasia

3. Torakogen - penyakit paru-paru unilateral (Emfisema) atau pasca operasi


paru-paru unilateral (thoracoplasty).

c. Neuropatik
Kongenital

1. Spina bifida

2. Neurofibromatosis

Didapat

1. Poliomielitis

2. Paraplegia

3. Cerebral palsy

4. Friedreich’s ataxia

5. Syringomielia

Skoliosis Normal

Gambar 1. Bentuk tulang belakang scoliosis dan tulang belakang yang normal.

Gambar 2. memperlihatkan beberapa variasi bentuk skolosis sepanjang vertebra. Lokasi


skoliosis ditentukan berdasarkan regio vertebra, yaitu cervical, thoracal, thoracolumbal, lumbal
dan double major (terdapat 2 lengkungan ditempat yang berbeda).
Klasifikasi dari derajat kurva scoliosis adalah
 Scoliosis ringan : kurva kurang dari 200.
 Scoliosis sedang : kurva 200- 400/500. Mulai terjadi perubahan structural vertebra
dan costa.

 Scoliosis berat : lebih dari 400/500. Berkaitan dengan rotasi bertebra yang lebih
besar, sering disertai nyeri, penyakit sendi degenerative, dan pada sudut lebih dari
600-700 terjadi gangguan fungsi kardiopulmonal bahkan menurunnya harapan
hidup.

Klasifikasi Lippman-Cobb yang lebih rinci dari menurut Rajiah (2011) sebagai berikut
(Faisal,arif ,2012). :
 Tingkat I : < 20°

 Tingkat II : 21-30°

 Tingkat III : 31-50°

 Tingkat IV : 51-75°

 Tingkat V : 76-100°

 Tingkat VI : 101-125°

 Tingkat VII : > 125°.

Gambar 2. A. Skoliosis diregio thoracal. B. Sko-liosis diregio thoracolumbal. C. Skoliosis di


regio lumbal. D. Skoliosis thoracal dan lumbal (double major curve)

Pada kasus skoliosis berat menimbulkan deformitas postur tubuh, punggung terlihat bengkok
dan ada bagian yang menonjol. Skoliosis diregio thoracal menyebabkan perubahan pada
kedudukan costa sehingga terdorong keposterior pada sisi yang konveks sedangkan costa depan
terdorong keanterior pada sisi konkav (Gambar 3). Pada foto toraks pasien skoliosis berat
memperlihatkan lengkungan skoliosis (Gambar 4).

Gambar 3. Perubahan posisi costa pada skoliosis thoracalis. Costa terdorong keposterior pada
sisi konkav dan terdorong keanterior pada sisi konveks. Rongga toraks menjadi asimetris.
Sumber: Anonim, 2012
Gambar 4. Foto toraks pasien skoliosis. Skoliosis berat dengan lengkungan kekanan. Rongga
toraks tampak asimetris, karena perubahan postur tubuh.

Jenis kelainan kongenital pada vertebra menghasilkan skoliosis bentuk tertentu (Gambar
5). Contoh lain foto toraks pada anak dengan hemivertebra terlihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Kelainan kongenital vertebra yang membentuk skoliosis.


A. Wedge vertebra.

B. Hemivertebra.

C. Congenital bar.

D. Block vertebra.
Gambar 6. Foto toraks pada anak dengan skoliosis. Tampak kelainan kongenital hemivertebra
corpus thoracal 8 kiri.

D. GAMBARAN KLINIS SKOLIOSIS


Dari riwayat penyakitnya, pertama-tama tidak dikeluhkan adanya nyeri. Biasanya skoliosis
baru disadari oleh orangtua ketika anak beranjak besar, yaitu terlihat keadaan bahu yang tidak
sama tinggi, tonjolan skapula yang tidak sama, atau pinggul yang tidak sama.

E. PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK SKOLIOSIS

Pada pemeriksaan fisis, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, antara lain :


1. Berdiri tegak, untuk melihat adanya :
 Asimetri bahu, leher, tulang iga, pinggul, skapula

 Plum line (kesegarisan antara leher dan pinggul)

 Body arm distance (jarak antar lengan dengan badan)

2. Membungkuk, untuk melihat adanya :


 Rotasi (perputaran dari tulang punggung)

 Derajat pembungkukan (kifosis)

 Mengukur perbedaan panjang tungkai bawah (leg length discrepancy)

3. Mencari :
 Kelenturan sendi
 Sinus-sinus pada kulit
 Hairy Patches
 Palpable midline defects

Pemeriksaan tambahan pada penderita scoliosis adalah pemeriksaan radiografi. Tujuan


pemeriksaan radiografi pada skoliosis untuk menegakkan diagnosis lengkungan skoliosis,
melihat abnormalitas lain yang kemungkinan menyertainya, memonitor progresivitas, menilai
maturitas tulang, menetapkan perlunya tindakan operatif, dan mengetahui komplikasi dan
follow-up setelah terapi. Pengukuran konvensional dilakukan pada hasil fotografi vertebra.

Tujuan pemeriksaan radiografi dan imejing pada skoliosis untuk menegakkan diagnosis
lengkungan skoliosis, melihat abnormalitas lain yang kemungkinan menyertainya, memonitor
progresivitas, menilai maturitas tulang, menetapkan perlunya tindakan operatif, dan mengetahui
komplikasi dan follow-up setelah terapi.
Kelainan vertebra pada skoliosis pada dasarnya meliputi 3 dimensi, karena itu dibuat foto:
I. Posisi penderita berdiri AP, terlihat seluruh vertebra dan crista ilica. Disini untuk
menilai pengaruh gravitasi dan beban berat tubuh terhadap vertebra. Crista iliaca
digunakan untuk mengukur Risser’s sign.

II. Posisi supine AP, seluruh vertebra terlihat untuk penilaian lengkungan skoiliosis
tanpa pengaruh gravitasi dan beban berat tubuh.

III. Posisi lateral berdiri, seluruh vertebra terlihat untuk melihat lordotik dan kifotik
regio vertebra.

Pemeriksaan radiografi klasik menurut Rajiah (2011) yang harus dilakukan adalah :
1. PA berdiri, terlihat dari cervical sampai sacral dan crista iliaca;

2. AP supine dari cervical sampai sacral;

3. Lateral yang memperlihatkan apeks lengkungan;

4. Stagnara dan Leeds view;


5. Vertebra dibengkokkan kekanan dan kekiri, untuk menyingkirkan skoliosis
postural;

6. Foto AP tangan kiri untuk menilai usia penulangan (bone age);

7. Bipalanar view;

8. Ferguson view (tegak lurus L5-S1);

9. Coned view (tempat anomali vertebra).

Teknik pengukuran konvensional paling sering dipakai untuk mengukur skoliosis, teknik
konvensional yang populer digunakan adalah:

A.Teknik Ferguson.

Teknik pengukuran skoliosis ini pertama dikembangkan oleh Ferguson tahun 1920 di New
York Orthopedic Hospital. Ada yang menamakan teknik ini the middle of curve method karena
pusat pengukuran terdapat pada corpus vertebra diapeks lengkungan. Teknik pengukuran
Ferguson sebagai berikut:
1. Tentukan corpus vertebra pada apeks lengkungan dan dibuat titik ditengah
corpus (lebih tepat titik tersebut bukan potongan garis diagonal corpus)

2. Tentukan corpus vertebra paling sedikit miringnya dibagian diatas dan


bawah lengkungan dan dibuat titik ditengah corpus

3. Buat satu garis yang menghubungkan dari titik corpus atas ketitik corpus
apeks lengkungan dan satu garis lagi yang menghubungkan titik corpus apeks ketitik
corpus bawah. Sudut divergen yang terbentuk adalah besarnya sudut lengkungan
skoliosis (Gambar 7). Teknik Ferguson lebih sesuai pada lengkungan skoliosis dibawah
50 derajat.
Gambar 7. Teknik Ferguson. Sudut dibentuk oleh potongan kedua garis adalah sudut skoliosis.

B.Teknik Cobb.

Sebenarnya teknik ini diperkenalkan oleh Lippman pada tahun 1935, kemudian
dipopulerkan oleh Cobb dari New York tahun 1948. Teknik ini disebut juga the end of curve
method karena sudut Cobb dibentuk berdasarkan garis yang ditarik dari tepi corpus vertebra
paling atas dan paling bawah dari lengkungan. Teknik pengukuran Cobb sebagai berikut:
1. Tentukan corpus vertebra paling miring dibagian paling atas dan paling bawah dari
lengkungan scoliosis.

2. Tarik garis lurus ditepi atas corpus paling miring diatas, lalu dibuat garis tegak
lurus terhadap garis ini kearah bawah.

3. Tarik garis lurus pada tepi bawah corpus paling miring dibawah, kemudian buat
garis tegak lurus garis ini kearah atas. Sudut yang terbentuk pada pertemuan kedua garis
tegak lurus tadi disebut Cobb’s angle yang menunjukkan besarnya derajat skoliosis
(Gambar 8). Teknik pengukuran Cobb lebih sesuai pada lengkungan skoliosis 50 derajat
atau lebih.
Gambar 8. Teknik Cobb. A. Sudut yang terbentuk oleh dua garis disebut Cob angle atau
sudut skoliosis. B. Skoliosis pada 3 regio

C. Teknik VERTEBRAL CENTROID MEASUREMENT (VCM).

Teknik ini digunakan oleh Chen (1999)16 untuk mengukur lordosis lumbal yang
dibandingkan dengan teknik Cobb dan disimpulkan teknik VCM lebih handal dibandingkan
teknik Cobb. Basis teknik ini membuat garis diagonal pada 2 corpus vertebra paling atas dan 2
corpus vertebra paling bawah dari lengkungan yang diukur. Perpotongan garis diagonal setiap
corpus tadi menjadii titik sentral. Dibuat garis yang masing-masing menghubungkan 2 titik
sentral dari corpus diatas dan corpus dibawah. Garis tegak lurus terhadap garis yang
menghubungkan titik sentral tadi membentuk sudut VCM. Pada gambar 9 memperlihatkan sudut
VCM dan dibandingkan dengan sudut Cobb. Jika dibandingkan teknik Cobb dengan teknik
VCM pada skoliosis didapatkan sudut VCM lebih besar daripada sudut Cobb. Perbedaannya 1,15
derajat namun secara statistik angka tersebut bermakna. Keterbatasan teknik VCM adalah
pengukuran yang dilakukan masih berbasis satu dimensi seperti teknik Ferguson dan Cobb.
Gambar 9. Teknik VCM. Garis yang meng-hubungkan 2 titik sentral dibagian kranial
dan kaudal. Tarik garis tegak lurus terhadap garis tersebut, kemudian buat garis tegak
lurus kearah bawah dan atas, maka terbentuk sudut VCM yang lebih besar daripada
sudut Cobb

F. PENANGANAN SKOLIOSIS

Pengobatan pasien dengan scoliosis terdiri dari pengobatan konservatif dan pengobatan
operatif. Tujuan dilakukannya tatalaksana pada skoliosis meliputi 4 hal penting :

1. Mencegah progresifitas dan mempertahankan keseimbangan

2. Mempertahankan fungsi respirasi

3. Mengurangi nyeri dan memperbaiki status neurologis

4. Kosmetik

Pengobatan konservatif terdiri atas:


1. Observasi

Observasi diperlukan sebelum memutuskan apakah akan diterapi konservativ atau operatif.
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu <25o pada tulang
yang masih tumbuh atau <50o pada tulang yang sudah berhenti pertumbuhannya. Rata-rata
tulang berhenti tumbuh pada saar usia 19 tahun.
Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada waktu-waktu
tertentu. Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah kunjungan pertama ke dokter.
Lalu sekitar 6-9 bulan berikutnya bagi yang derajat <20 dan 4-6 bulan bagi yang derajatnya
>20.
2. Braching
Bracing bertujuan untuk menghentikan progresifitas dari kurva tetapi tidak mengurangi
besarnya kurva yang telah terjadi. Kebanyakan progresifitas kurva terjadi selama fase
pertumbuhan, sehingga ketika anak telah berhenti bertumbuh, jarang kurva tetap progresif
sehingga pemakaian Brace dapat dihentikan. Biasanya dipakai pada anak perempuan
sekitar 11-13 tahun dan anak laki-laki sekitar 12-14 tahun. Pada umumnya bracing
diindikasikan pada anak dengan kurva antara 250- 450. Tujuan akhir pemasangan bracing
adalah penderita mencapai usia skeletal matur dengan kurva < 500. Contoh brace adalah:
Brace Milwauke, pada prinsipnya menopang daerah thoracal, tujuannya untuk mengurangi
lordosis lumbal dan menguatkan otot-otot di vertebra thoracal.
Boston Brace, berguna untuk menopang lumbal atau daerah dibawah thoracolumbal. Brace
yang baik dapat digunakan selama 24 jam dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari,
termasuk olahrga dan latihan fisik.

Gambar 10. Boston Brace


Gambar 11. Milawuke Brace

Pengobatan operatif
Tujuan dari operasi adalah untuk menegakkan kelengkungan termasuk komponen yang
berotasi dengan berbagai alat dan untuk menguatkan sendi pada semua kelengkungan primer.
Indikasi dilakukannya operasi adalah apabila sudut > 400 atau terjadi progresifitas dari sudut
sebelum usia penderita mencapai dewasa dengan patokan untuk melakukan operasi ini adalah
dengan melakukan follow up secara teratur. kemudian apabila terdapat deformitas yang
memberikan gangguan dan dilakukan jika pengobatan konservatif yang tidak berhasil.
Operasi yang dilakukan yaitu:
Sistem Harrington
Suatu alat berbentuk kotak diletakkan posterior sepanjang bagian cekung dari
kelengkungan, terdapat sambungan di alat tersebut yang disambung dibagian paling atas dan
paling bawah vertebrae untuk memeperbaiki kelengkungan. Jika kelengkungan fleksibel maka
akan dapat dikoreksi secara pasif dan bone graft dapat dipakai fusi dari panjang kelengkungan.
Kekurangannya tidak dapat mengoreksi kelainan rotasi dari kelengkungan di apex dan
penonjolan tulang iga tetap tidak berubah.

Gambar 12. Harrington Distraction Instrumentation

Rod and Sublaminar Wiring (luque)


Merupakan modifikasi dari sistem Harrington. Alat dipasang dibawah lamina vertebrae
dan difiksasi di bagian cekung dari kelengkungan, hal itu dapat mengontrol dan mengamankan
fiksasi. Teknik ini dapat mengurangi kelainan rotasi pada vertebrae, tetapi sangat berbahaya
karena dapat mencederai duramater dan resiko kerusakan neurologis

Gambar 13. Rod and Sublaminar Wiring (luque)

Sistem Cotrel – Dubousset


Berguna untuk mengurangi kompresi dan derajat kelengkungan. Teknik ini diklaim dapat
mengatasi kelainan rotasi dan tidak perlu memakai bracing setelahnya.
Gambar 14. Sistem Cotrel – Dubousset

Instrument Anterior (Zielke)

Gambar 15. Zielke instrument


G. PROGNOSIS SKOLIOSIS
Prognosis tergantung atas besarnya derajat kurva, deformitas, dan maturitas skeletal. Pada
derajat kurva yang ringan dengan skeletal yang sudah matur umumnya tidak mengalami
progresifitas.

Anda mungkin juga menyukai