Jump 5
1. Embriogenesis muskuloskeletal
2. Titik defek dan jenis kelainan yang timbul
3. Peran faktor eksogen dan endogen dengan kejadian kelainan kongenital
4. Gangguan kongenital muskuloskeletal
LO 1 : EMBRIOGENESIS MUSKULOSKELETAL
Sistem rangka berasal dari lapisan embriogenik mesoderem paraksial, lempeng lateral dan sel-sel
kista neuralis. Akhir minggu ke 3, mesoderem paraksial menjadi semacam balok-balok yang
disebut somit.
Somit terbagi 2 :
o Dorsolateral
Disebut demomytome, bagian myotome membentuk myoblast, dermatom membentuk dermis
o Ventromedial
Disebut skleroton, pada akhir mingguke 4 akanmenjadi sel-sel mesenkim (jaringan penyambung
mudigah), kemudian berpindah dan berdiferensiasi menjadi fibroblas, kondroblas, dan osteoblas.
2. Perkembangan Sendi
Mulai terbentuk pada minggu ke 6 dan akhir mingguke 8 sendiyang terbentuk sudah seperti sendi
orang dewasa.
Terdapat 3 jenis sendi berdasarkan materi penyusunnya yaitu :
o Sendi fibrosa (sutura di kranium)
o Sendi kartilago (simfisis pubis)
o Sendi sinovial (sendi lutut)
A. Tulang Tengkorak
Terdiri atas :
o Neurokranium (batok pelindung disekitar otak)
o Viserokranium (kerangka/tulang wajah)
A.1. Neurokranium
o Bagian membranosa terdiri dari tulang-tulang pipih yang melindungi otak sebagai suatu kubah.
Berasal dari :
o Sel-sel krista neuralis,membentuk atap dan sebagian besar tulang tengkorak
o Mesoderm paraksial, membentuk daerah oksipital dan posterior rongga mata
o Bagian kartilaginosa (kondrokranium) membentuk tulang-tulang dasar tengkorak, berasal dari :
o Sel-sel krista neuralis, membentuk kondrokranium prakordal
o Mesoderm paraksial, membentuk kondrokranium kordal
A.2. Viserokranium
o Dibentuk oleh 2 lengkung faring pertama
o Lengkung pertama :
o Bagian dorsal (prosesus maxilaris)
Berjalan kedepan dibawah mata (os. Maxilaris, os. Zigomatikum, os. Temporalis)
o Bagian ventral (prosesus mandibularis)
Melindungi kartilago meckel
o Mesenkim sekitar kartilagomeckel memadat, menulang, dan mengalami osifikasi (penulangan)
membranosa membentuk mandibula
o Ujung dorsal prosesus mandibularis dan lengkung faring ke 2(inkus, maleus,stapes) pada bulan
ke 4
o Mesenkimuntuk pembentukan wajahberasal dari sel-sel krista neuralis.
Korelasi Klinik :
Kubah tengkorak gagal terbentuk (kraniolisis) dan jaringan otak yang terpapar amnion
mengalamidegenerasi sehingga terjadi anensefali, disebabkan kegagalan neuropore kranial untuk
menutup
Jaringan otak dan selaput otak mengalami herniasi (ensefalokel atau meningokel kranial)
Penutupan satu atau beberapa sutura secara prematur (kraniosinostosis).
Bentuk tengkorak tergantung pada sutura mana dulu yang menutup
o Akrosefali (tengkorak menara, pendek/tinggi) karena penutupan dini sutura koronalis
o Skaposefali (tengkorak panjang dan sempit disertai penonjolan frontalis dan oksipitalis) karena
penutupan dini sutura sagitalis
o Plagiosefali (kraniosinostosis asimetrik) akibat kegagalan penutupan sutura keronalis dan
sutura lambdadea pada satu sisi
B. Anggota Badan
o Tunas anggota badan mulai tampak sebagaikantung-kantung pada akhir minggu ke 4
o Tunas anggota badan terdiri dari inti mesenkim yang berasal dari lapisan mesoderm lempeng
lateral yang dibungkus oleh selapis ektoderm kuboid. Intimesenkim memberi signal kepada
ektoderm dinujung badan untuk menebal dan membentuk rigi ektodermal apeks (REA). Proses
ini berlangsung pada minggu ke 5.
o Minggu ke 6 ujung tunas anggota badan menjadipipih membentuklempeng tangan dan kaki.
o Jari-jari tangan dan kaki terbentuk ketika kematian sel di rigi ektodermal apeks
memisahkannya menjadi 5 bagian.
o Sementara itu mesenkim dalam tunas mulaimemadat membentukmodel kartilago hialin yang
pertama yang merupakan bakal tulang anggota badan.
o Osifikasi intrakartilago dimulai menjelang akhir masa mudigah.
o Pada mingguke 12 kehamilan dari pusat osifikasi primer di diafisis, osifikasi intrakartilago
berangsur-angsur meluas kearah ujung model kartilago.
o Waktu lahir, diafisis tulang telah menjadi tulang seluruhnya, tapi ujung-ujungnya (epifisis)
tetap berupa kartilago pusat osifikasi sekunder untukproses pemanjangan tulang.
o Apabila tulang telah mencapai panjangnya yang penuh,lempeng epifisis menghilang dan
epifisis bersatu dengan tulang.
Korelasi Klinis :
Meromelia : tidak ada satu /beberapa anggota badan
Amelia : tidak ada ekstremitas
Fokomelia : tidak ada tulang panjang, tangan dan kaki rudimenter menempel dibadan melalui
tulang-tulang kecil yang berbentuktidak beraturan
Mikromelia : terdapat semua unsur anggota badan tapi sangat pendek
Polidaktili : penambahan jumlah jari tangan dan kaki
Ektrodaktili : hilangnya 1 jari, bersifat unilateral
Sindaktili :jari-jari tangan atau kaki menyatu karena mesenkim gagal membelah pada lempeng
tangan atau kaki
Lobster claw : celah yang dalam pada telapak tangan atau kaki yang berhubungan dengan
sindaktili jari
Dislokasi panggul kongenital : tidak berkembangnya asetabulum dan caput femuris
C. Kolumna Vertebralis
o Berasal dari sel-sel sklerotom yang berpindah posisi mengelilingi medula spinalis dan
notokord.
o Bagian kaudal masing-masing sklerotom mengalami proliferasi dan memadat serta meluas ke
jaringan antara segmen dibawahnya, terjadi perlekatan setengah kaudal sklerotom dengan
setengah sefalik sklerotom di bawahnya.
o Sel-sel diantara bagian sefalik dan kaudal membentuk diskus invertebralis (cakram antar ruas)
Korelasi Klinis :
Skoliosis (vertebrae melengkung ke samping) karena pada proses pembentukan dan
penyusunan kembali sklerotom segmen terjadi 2 vertebrae yang berurutan menyatu secara
asimetrik atau setengah bagian vertebrae tulang
Sindrom Klippel Feil : jumlah vertebrae servikalis kurang sementara vertebrae yang lain
menyatu atau bentuknya abnormal.
Spina bifida : fusi lengkung-lengkung vertebra tidak sempurna
o Berkembang dari mesoderm kecuali otot-otot iris yang terbentuk dari ektoderm piala optik
o Otot rangka berasal dari mesoderm paraksial
o Otot polos berasal dari mesoderm splanknik
o Otot jantung berasal dari mesoderm splanknik
EMBRIOLOGI TULANG
Skleretom pada akhir minggu ke-4 menjadi polimorfik mesenkim fibroblas,
kondroblas, osteoblas Lapisan mesoderm somatik dinding tubuh juga sel mesoderm
gelang bahu, gelang panggul, tulang-tulang panjang ekstremitas.
Sel-sel krista neuralis di daerah kepala berdiferensiasi menjadi mesenkim dan ikut serta
membentuk tulang-tulang wajah dan tengkorak.
Pada sebagian tulang, seperti tulang pipih tengkorak, mesenkim di dermis berdiferensiasi secara
langsung menjadi tulang, prosesnya disebut osifikasi intramembranosa.
Sedangkan pada sebagian besar tulang lainnya, sel-sel mesenkim mula-mula menghasilkan
model kartilago hialin yang mengalami penulangan, disebut osifikasi endokondral.
Viscerokranium:
Processus maxillaris --> os maxilla, os zygomaticum, sebagian os temporalis
Processus mandibularis --> mengandung kartilago meckel
Fontanella (ubun-ubun):
- Fontanella anterior --> menutup usia sekitar 18 bulan
- Fontanella posterior --> menutup usia sekitar 3 bulan
Jika fontanella terlalu cepat menutup, akan menyebabkan kraniosinostosis.
Fungsi fontanella:
- untuk proses kelahiran
- agar perkembangan otak maksimal
- sebagai indikasi kesehatan bayi
Faktor bayi
a) Usia gestasi
Dalam beberapa studi ditunjukkan bahwa bayi-bayi preterm (<37 minggu usia gestasi) dengan
kelainan kongenital memiliki angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi aterm
(>37 minggu), dan perbedaannya secara statistik signifikan (Marwah A, 2016).
b) Jenis kelamin
Dalam beberapa studi, insidens kelainan kongenital pada bayi laki laki lebih besar daripada bayi
perempuan, namun perbedaan ini secara statistik tidak signifikan. (Gandhi MK, dkk., 2016.
Marwah A, 2016).
c) Berat bayi lahir
Dalam beberapa studi dikatakan bahwa insidens kelainan kongenital pada bayi dengan berat bayi
lahir rendah (<2,5 kg) lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat bayi lahir >2,5 kg. Namun
perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (Gandhi MK, dkk., 2016. Marwah A, 2016).
Faktor ibu
a) Usia ibu
Ibu dengan usia muda banyak ditemukan di negara industri dan menghabiskan biaya
sosioekonomi yang cukup tinggi karena kehamilan usia muda rentan mengalami efek yang
berlawanan seperti retardasi pertumbuhan dalam janin, bayi berat lahir rendah, dan persalinan
yang preterm (Chandra dkk., 2002; Khashan dkk., 2010). Dalam studi retrospektif di Amerika,
terdapat hubungan yang sangat kuat antara ibu usia muda, 13 sampai 19 tahun dengan defek lahir
tertentu, seperti malformasi sistem saraf pusat, traktur gastrointestinal, dan sistem
muskuloskeletal. (Chen dkk., 2007). Beberapa studi menyatakan bahwa efek kehamilan yang
tidak diinginkan pada ibu usia muda terjadi berhubungan dengan pola hidup (life style), latar
belakang genetik, status ekonomi yang rendah, rendahnya asuransi kesehatan dan prenatal care,
termasuk suplementasi dengan asam folat yang mengandung multivitamin. (Loane dkk., 2009;
Reichman and Pagnini, 1997; Nilsen dkk., 2006; Raatikainen dkk., 2006; Wahn and; Nissen,
2008) Ibu hamil dengan usia tua dihubungkan dengan masalah fertilitas, kelahiran multipel, dan
abnormalitas kromosom, walaupun demikian lebih banyak wanita mengalami persalinan yang
lama (American Society for Reproductive Medicine, 2003; Tough dkk., 2007). Terdapat 14,9%
angka kelahiran hidup oleh ibu dengan usia 35 tahun ke atas. (National Center for Health
Statistics, 2010). Dikatakan bahwa usia ibu hamil yang lebih tua berhubungan dengan defek
kromosom seperti trisomi 13, 18 dan 21 (Hagen et al., 2011). Besarnya risiko usia tua ibu hamil
bagi terjadinya defek spesifik non kromosom masih belum jelas. (Gill SK. Dkk. 2012)
b) Hubungan keluarga orang tua (Consanguineous parents)
Istilah consanguinuinity digunakan untuk menggambarkan mereka yang menikah yang memiliki
setidaknya satu nenek moyang yang sama.Perkawinan dengan hubungan keluarga dalam
genetika populasi berangkatdari perkawinan yang tidak acak dengan pasangan yang lebih mirip
secaragenetik dibandingkan mereka yang kawin secara acak dalam populasi.
Keturunan dari consanguineous parents mungkin berisiko tinggi terhadap kelainan gentik karena
ekspresi mutasi gen resesif autosomal yang diwarisi dari nenek moyang yang sama. Semakin
dekat hubungan biologis antara orang tua, semakin besar kemungkinan bahwa keturunan mereka
akan mewarisi salinan identik dari satu atau lebih gen resesif yang merugikan. Sebagai contoh,
sepupu pertama diprediksi akan berbagi 12,5 % gen mereka. Jadi, secara rata-rata keturunan
mereka akan homozigot (atau lebih tepatnya autozigot) pada 6,25% lokus gen (yaitu mereka
akan menerima salinan gen yang identik dari setiap orang tua di tempat-tempat ini dalam genom
mereka) (Robin LB, 2002).
2.6.3 Faktor Lingkungan
Paparan ibu oleh agen lingkungan dapat mengganggu proses pertumbuhan normal. Risiko
memiliki kelainan kongenital setelah terpapar agen teratogen tergantung kondisi alam dan dosis
dari agen tersebut, waktu dan lama durasi paparan, adanya paparan yang bersamaan, dan gen
yang rentan dari embrio.
1) Merokok (aktif dan pasif)
Merokok selama kehamilan menyebabkan paparan zat-zat seperti nikotin dan karbon monoksida
yang dikaitkan dengan sejumlah komplikasi serius selama kehamilan (Rogers JM, 2009).
Peningkatan kejadian aborsi spontan, kelahiran prematur, abrupsio plasenta, growth restriction,
ruptur membran prematur, keguguran, dan kelahiran mati adalah beberapa akibat dari paparan
asap tembakau dan meningkatkan morbiditas dan mortilitas perinatal (Adgent MA, 2006.
Glinianaia SV dkk., 2004. Nabet C dkk., 2005) Mekanisme biologis bagaimana asap tembakau
mempengaruhi perkembangan janin telah diperiksa dalam penelitian terhadap manusia dan
laboratorium yang ekstensif, yang menunjukkan bahwa banyak dari 7000 bahan kimia dapat
melewati penghalang plasenta dan memiliki efek berbahaya langsung pada bayi yang belum
lahir. (BMA, 2004; Quinton et al., 2008; Talbot, 2008; Rogers, 2009) Di England dan Wales,
3759 bayi lahir dengan kelainan kongenital non kromosom pada tahun 2008; lima defek yang
paling sering yaitu pada sistem kardiovaskular (27%), ekstremitas (22%), sistem urinarius (17%),
sistem genitalia (11%) dan celah orofasial (11%) (ONS, 2010).
2) Obat-obatan
Obat-obatan termasuk agen teratogen apabila dikonsumsi selama kehamilan. Dikatakan bahwa
fenitoin (hidantoin) dengan periode kritis trimester 1, dapat mengakibatkan malformasi hiplasia
falang distal, hidung pesek, pangkal hidung datar dan lebar, ptosis, bibir sumbing dan langit
langit sumbing, retardasi mental, kemudian akan mempunyai risiko tinggi terhadap keganasan
terutama neuroblastoma. Talidomid pada periode kritis 34-50 hari HPHT (hari pertama haid
terakhir) dapat menyebabkan malformasi berupa fokomelia, penyakit jantung bawaan, stenosis
ani, atresia meatus akustikus eksterna. Jika terpapar warfarin pada 6-9 minggu, mengakibatkan
anomali struktur pada 30%, setelah 16 minggu mungkin hanya mengakibatkan retardasi mental.
Klorokuin dapat mengakibatkan ketulian, kekeruhan kornea, dan korioretinitis. Litium dapat
mengakibatkan kelainan jantung bawaan. Natrium valproat dapat mengakibatkan neural tube
defect, hipospadia, mikrosomia, hidung kecil,
jari tangan panjang dan kurus, keterlambatan perkembangan (Connor JM, Smith MAF, 1997)
Penggunaan ACE-inhibitor (ACEI) untuk mengobati tekanan darah tinggi juga dikatakan
menyebabkan defek lahir. Penggunaan ACEI menjadi kontraindikasi pada kehamilan trimester
dua dan trimester ketiga. Paparan ACEI terhadap janin dikatakan berhubungan dengan fetopati,
yaitu suatu keadaan yang terdiri atas oligohidramnion, retardasi pertumbuhan dalam janin,
hipokalvaria, displasia renal, anuria, gagal ginjal, dan kematian (Briggs GG, 2002. Tabacova S,
dkk., 2003)
Kebalikannya, penggunaan ACEI pada trimester pertama kehamilan belum dihubungkan dengan
efek buruk pada kelahiran. Efek pada janin dikatakan sebagai konsekuensi langsung dari anuria
dan oligohidramnion yang dihasilkan oleh ACEI yang mengganggu fungsi ginjal janin
(Tabacova S, dkk., 2003. Martin RA, dkk., 1992. Bhatt-MV, Deluga KS, 1993). Karena produksi
urin merupakan proses yang bertahap yang berkembang pada kehamilan yang lanjut, (Moore KL,
Persaud TVN, 1998) maka ginjal janin yang masih berkembang belum sensitif terhadap ACEI
sebelum trimester kedua kehamilan (Cooper WO, dkk., 2006)
4) Tempat tinggal
Terdapat dampak potensial pada kesehatan reproduksi dari paparan kontaminan di tempat-tempat
dengan limbah yang berbahaya, dimana produk yang paling banyak ditemukan adalah residu
pelarut, pestisida, dan logam.
Ibu hamil yang tinggal di daerah persawaan atau di daerah perkebunan akan lebih mudah
terpapar oleh zat-zat agrikultural termasuk pestisida. Dikatakan bahwa wanita yang terpapar
pestisida enam kali lebih berisiko melahirkan bayi dengan defek lahir dibandingkan mereka yang
tidak terpapar (Heeren GA, dkk., 2003)
Telah dianalisis lokasi geografis (daerah berisiko) dengan kemungkinan hubungan faktor
lingkungan (kontaminasi bahan kimia) dengan kejadian kelainan kongenital. Daerah
diklasifikasikan menurut pencemaran lingkungan rata-rata (udara, biota, minyak, air, dan
kontaminan kimia tertentu). Risiko relatif besar ditemukan untuk kasuskasus yang berada di
daerah berisiko tersebut. Kemungkinan terjadinya malformasi pada daerah ini lebih besar,
dengan fokus khusus zat kimia seperti sianida dan senyawa anorganik lainnya. (Croen dkk.
1997)
5) Penggunaan kosmetik
Dalam dekade terakhir ditunjukkan bahwa masalah reproduksi dan perkembangan menjadi lebih
sering, sebagai contoh data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) ditunjukkan
bahwa masalah diantara tahun 1970 dan 1993 yaitu masalah reproduksi laki-laki termasuk
undescended testis dan hipospadia. Zat-zat dari lingkungan dengan kuat diduga sebagai faktor
yang berkontribusi.
Selain itu kosmetik pemutih juga mengandung merkuri dan hidrokuinon. Merkuri adalah logam
yang toksik, namun sangat berguna pada preparat kosmetik pemutih untuk menekan produksi
melanin pada kulit (Bourgeosis dkk., 1986). Dikatakan bahwa merkuri dapat mempengaruhi
fertilitas wanita dan mengakibatkan defek lahir. Beberapa studi telah membuktikan efek samping
merkuri yang didapat memalui paparan konsumsi ikan dan amalgam gigi. Namun belum ada data
tentang pengaruh pemakaian kosmetik pemutih jangka panjang terhadap efek samping kehamilan
dan atau outcome kehamilan. Sebelum ada data yang tersedia, wanita harus dianjurkan untuk
tidak menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung merkuri selama kehamilan. (Al-Saleh,
Iman. 2016). Hidrokuinon juga banyak terdapat pada kosmetik pemutih. Hidrokuinon merupakan
inhibitor yang kuat terhadap produksi melanin (Yoshimura dkk., 2001). Pada sebuah studi
tunggal ditunjukkan bahwa penggunaan hidrokuinon selama kehamilan tidak meningkatkan efek
samping, namun sampel wanita hamil pada penelitian tersebut kecil. (Mahe A dkk., 2007).
Namun karena pertimbangan absorbsinya, paparan terhadap agen ini harus tetap diminimalisir
terutama pada wanita yang sedang hamil sampai ada studi yang membuktikan keamanannya
(Pina Bozzo dkk., 2011)
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi
normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari
pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia
(Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot),
menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada
ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata equino (meng.kuda) dan varus (bengkok ke
arah dalam/medial).
Congenital Talipes Equino Varus adalah deformitas kaki yang tumitnya terpuntir ke dalam garis
tungkai dan kaki mengalami plantar fleksi. Keadaan ini disertai dengan meningginya tepi dalam
kaki (supinasi) dan pergeseran bagian anterior kaki sehingga terletak di medial aksis vertikal
tungkai (adduksi). Dengan jenis kaki seperti ini arkus lebih tinggi (cavus) dan kaki dalam
keadaan equinus (plantar flexi). Congenital Talipes Equino Varus adalah suatu kondisi di mana
2.2 Klasifikasi CTEV
1. Clubfoot ringan atau postural dapat membaik secara spontan atau memerlukan latihan
pasif atau pemasangan gips serial. Tidak ada deformitas tulang, tetapi mungkin ditemukan
artogriposis. Kondisi ini biasanya memerlukam koreksi bedah dan memiliki insidensi
3. Clubfoot idiopatik congenital, atau “clubfoot sejati” hampir selalu memerlukan intervensi
2.3 Penyebab CTEV
Etiologi Congenital Talipes Equino Varus sampai saat ini belum diketahui pasti tetapi diduga ada
hubunganya dengan : Persistence of fetal positioning, Genetic, Cairan amnion dalam ketuban
yang terlalu sedikit pada waktu hamil(oligohidramnion), Neuromuscular disorder (Kadang kala
ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina Bifida atau displasia dari rongga
2. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel germinativum yang
dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang mengimplikasikan defek terjadi antara masa
3. Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara lain hambatan temporer
dari perkembangan yang terjadi pada atau sekbvitar minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa
ini terjadi suatu deformitasclubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi setelah minggu
ke-9, terjadilah deformitasclubfoot yang ringan hingga sedang. Teori hambatan perkembangan
ini dihubungkan dengan perubahan pada faktor genetic yang dikenal sebagai “Cronon”.“Cronon”
ini memandu waktu yang tepat dari modifikasi progresif setiap struktur tubuh semasa
perkembangannya. Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif (lokal maupun umum)
8. Pengaruh luar seperti penekanan pada saat bayi masih didalam kandungan dikarenakan
9. Dapat dijumpai bersamaan dengan kelainan bawaan yang lain seperti spina bifida
2.5 Manifestasi Klinis CTEV
4. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki terlihat relatif
memendek.
5. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur atau cekungan pada
bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi,
terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang sendi pergelangan kaki.
Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi.
6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan
dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang
membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau positional karena posisi intra
uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi pergelangan
kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan
pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi
dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan
7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang
kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada
maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang navikularis.
Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya perputaran
subtalar ke medial.
8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan
posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan
memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki
9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida. Sendi
lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya subluksasi
atau dislokasi.
» Diagnosis Banding
1. Postural clubfoot- disebabkan oleh posisi fetus dalam uterus. Kaki dapat dikoreksi secara
manual oleh pemeriksa. Mempunyai respon yang baik dan cepat terhadap serial casting dan
2. Metatarsus adductus (atau varus)- adalah deformitas pada metatarsal saja. Kaki bagian
depan mengarah ke bagian medial dari tubuh. Dapat dikoreksi dengan manipulasi dan
Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan ultrasonography atau
2.7 Penatalaksanaan CTEV
Sekitar 90-95% kasus club foot bisa di-treatment dengan tindakan non-operatif. Penanganan
1. Non-Operative :
remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu :
koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot normal tercapai,
observasi dan follow up untuk mencegah kembalinya deformitas.
Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari serial “cast” yang dimulai dari
sejak lahir dan dilanjutkan sampai tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan
latihan stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari struktur yang lemah
Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari beberapa hari sampai 1-2 bulan
dengan interval 1-2 bulan) untuk mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika
manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk memperbaiki struktur yang
berlebihan, memperpanjang atau transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast”
sampai tujuan koreksi tercapai. Serial Plastering (manipulasi pemasangan gibs serial yang diganti
tiap minggu, selama 6-12 minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan menggunakan sepatu
Perawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan perawatan pada anak dengan anak
dengan penggunaan “cast”. Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga
perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Observasi kulit dan
sirkulasi merupakan bagian penting pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan
informasi yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian
Perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk
memfasilitasi tumbuh kembang normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau
– Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan warna kulit dan
– Cek pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi adanya rasa nyeri
– Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama tetapi anjurkan untuk melatih otot-otot
secara ringan, gerakkan sendi diatas dan dibawah cast secara teratur.
– Istirahat yang lebih banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma
– Jangan biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-benda kecil yang
– Rasa gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi cast dan
2. Operatif
– Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan
1. Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang mengalami kontraktur maupun
dengan osteotomy. Osteotomy biasanya dilakukan pada kasus club foot yang neglected/ tidak
pemanjangan tendo Achiles ; kalau masih ada equinus, dilakuakan posterior release dengan
memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan kaki posterior, dan kalau perlu, kapsul
talokalkaneus. Varus kemudian diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis medial dan
3. Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10 tahun atau kalau
tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakan artrodesis triple yang terdiri atas reseksi dan
koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art. talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art.
kalkaneokuboid.
2.8 Komplikasi CTEV
1. Komplikasi dapat terjadi dari terapi konservatif maupun operatif. Pada terapi konservatif
mungkin dapat terjadi masalah pada kulit, dekubitus oleh karena gips, dan koreksi yang tidak
lengkap. Beberapa komplikasi mungkin didapat selama dan setelah operasi. Masalah luka dapat
terjadi setelah operasi dan dikarenakan tekanan dari cast.Ketika kaki telah terkoreksi, koreksi
dari deformitas dapat menarik kulit menjadi kencang, sehinggga aliran darah menjadi terganggu.
Ini membuat bagian kecil dari kulit menjadi mati. Normalnya dapat sembuh dengan berjalannya
2. Infeksi dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi. Infeksi dapat terjadi setelah operasi
kaki clubfoot. Ini mungkin membutuhkan pembedahan tambahan untuk mengurangi infeksi dan
3. Kaki bayi sangat kecil, strukturnya sangat sulit dilihat. Pembuluh darah dan saraf
mungkin saja rusak akibat operasi. Sebagian besar kaki bayi terbentuk oleh tulang rawan.
Material ini dapat rusak dan mengakibatkan deformitas dari kaki. Deformitas ini biasanya
2. Kongenital Tortikolis
Tortikolis (wryneck) adalah suatu kondisi di mana kepala berada pada posisi miring, dengan
dagu menunjuk ke salah satu bahu, sedangkan kepala miring ke arah bahu yang berlawanan;
juga disebut rotasi leher. Tortikolis muskular kongenital adalah keadaan dimana terjadi kontraksi
otot-otot leher yang menyebabkan kepala turn and tilt ke satu sisi dan dagu mengarah ke sisi
yang berlawanan, yang didapat sejak lahir. Menurut Freed dan Collen, deformitas postural yang
terdeteksi saat kelahiran atau segera setelah lahir terjadi akibat pemendekan dan fibrosis dari
salah satu otot sternokleidomastoid. Secara anatomi, otot sternokleidomastoid terletak sangat
superfisial pada samping kiri kanan leher bagian depan. Kedua otot ini akan terlihat berkontraksi
bersamaan pada posisi terlentang dengan mengangkat kepala ke atas. Untuk mengetahui
gangguan satu sisi, dapat diberikan tahanan pada saat mengadakan gerakan memutar kepala. Otot
ini akan berfungsi sebagai fleksor kepala bila bekerja serentak, dan sebagai lateral fleksor dan
rotator bila bekerja satu sisi.
Penyebab Tortikolis
Saat seseorang mengalami tortikolis, otot pada salah satu sisi leher yang membentang dari
belakang telinga hingga tulang selangka menjadi lebih pendek dari sisi lainnya. Berbagai kondisi
dapat menyebabkan otot yang disebut sternokleidomastoid ini menjadi lebih pendek.
Salah satu penyebabnya adalah karena kelainan genetik yang diturunkan dalam keluarga atau
masalah pada sistem saraf, tulang belakang bagian atas, atau otot. Selain itu, tortikolis juga kerap
terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas atau dikenal dengan istilah tortikolis idiopatik.
Sedangkan tortikolis kongenital biasanya terjadi karena posisi kepala bayi yang tidak normal
dalam kandungan, seperti sungsang, yang dapat meningkatkan tekanan pada salah satu sisi
kepala janin sehingga otot leher menegang. Tortikolis juga bisa terjadi saat persalinan jika proses
kelahiran bayi dilakukan dengan bantuan alat forsep atau vakum, sehingga salah satu sisi otot
leher mendapat tekanan lebih besar. Selain itu, kerusakan otot atau kurangnya pasokan darah
pada leher juga dapat menimbulkan tortikolis.
GAMBARAN KLINIS
Tortikolis muskular kongenital biasanya mulai terlihat pada usia 2-4 minggu atau bisa lebih
lambat yaitu 6-8 minggu dan berkembang sesuai usia anak yang cenderung menahan posisi
kepala miring ke satu sisi.1 Mac Donald (1969) mengklasifikasikan tortikolis muskular
kongenital atas 3 sub-kelompok klinis, yaitu: 1) kelompok tumor sternomastoid dengan massa
yang jelas terlihat, (42,7%); 2) kelompok tortikolis muskular dengan pemendekan otot
sternokleidomastoid (30,6%); dan 3) kelompok tortikolis postural yaitu tortikolis tanpa adanya
pemendekan otot atau tumor (22,1%).1,2,5 Gejala dan tanda awalnya biasanya diketahui pada
usia 2 bulan pertama, berupa: turn dan tilt kepala ke arah sisi sakit (75% mengenai sisi kanan);
pembesaran otot-otot leher yang kemungkinan telah ada sejak lahir; spasme otot-otot leher dan
punggung atas; keterbatasan lingkup gerak sendi leher; dan bisa ditemukan adanya
benjolan/tumor di leher yang disebut fibromatosis colli. Tortikolis muskular kongenital bisa
ditemukan ringan sampai berat. Umumnya tortikolis ini berkembang secara progresif lambat
dalam 1-5 tahun, kemudian menetap seumur hidup sehingga menyebabkan gerakan kepala dan
leher terbatas yang dapat memengaruhi postur.
Gerakan kepala terbatas, sehingga kepala sulit berpaling ke samping, atau melihat ke atas
dan bawah.
Kaku otot leher.
Leher terasa nyeri.
Otot leher terlihat bengkak.
Tremor kepala.
Sakit kepala.
Salah satu sisi bahu terlihat lebih tinggi.
Dagu miring ke satu sisi.
Ada benjolan lunak pada otot leher.
Bayi tortikolis lebih suka menyusui pada satu sisi payudara saja.
Kepala terlihat datar pada satu sisi akibat sering berbaring hanya di sisi tersebut
(plagiosefali).
Kepala terlihat datar pada satu sisi akibat sering berbaring hanya di sisi tersebut
(plagiosefali).
Mengalami gangguan pendengaran atau penglihatan.
Diagnosis Tortikolis
Diagnosis tortikolis diawali dengan menanyakan kebiasaan serta gejala yang dialami pasien,
serta melakukan pemeriksaan fisik, terutama melihat gerakan kepala pasien dan kondisi otot
leher pasien. Guna memastikan diagnosis, dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan
penujang. Salah satunya adalah elektromiogram (EMG). Pemeriksaan ini bertujuan mengukur
aktivitas listrik dalam otot sehingga dapat memastikan bagian otot yang terganggu.
Selain itu, pemindaian dengan foto Rontgen leher, CT scan leher, atau MRI juga bisa dilakukan
untuk melihat masalah pada struktur jaringan yang diduga menimbulkan keluhan pada penderita.
Sementara itu, tes darah dilakukan untuk mencari kondisi lain yang menyebabkan tortikolis
Penanganan Tortikolis
Penanganan tortikolis perlu dilakukan secepat mungkin untuk mencegah komplikasi dalam
jangka panjang. Untuk tortikolis kongenital, penanganan utama yang bisa dilakukan adalah
peregangan otot leher. Dapat dilakukan peregangan secara pasif pada penderita atau memakai
alat penyangga untuk mempertahankan posisi tubuh tertentu. Dokter juga dapat mengajarkan
beberapa gerakan pada orang tua yang bisa dilakukan bersama penderita. Gerakan tersebut dapat
membantu memanjangkan otot leher yang mengeras atau pendek, serta menguatkan otot leher
pada sisi yang satunya.
Perawatan ini sering kali berhasil, terutama jika perawatan diawali sejak usia 3 bulan. Jika
perawatan ini belum dapat mengatasi kondisi, maka diperlukan prosedur operasi untuk
memperbaiki posisi otot leher. Prosedur ini baru bisa dilakukan setelah penderita mencapai usia
prasekolah.
Sementara tortikolis yang disebabkan kerusakan sistem saraf, tulang belakang, atau otot, dapat
ditangani sesuai penyebabnya, Pilihan penanganan yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan
menggunakan pemanas atau memijat leher untuk meredakan rasa nyeri, melakukan latihan
peregangan atau menggunakan penyangga leher untuk mengatasi otot yang tegang, serta
menjalani fisioterapi.
Di samping penanganan tersebut, dokter juga dapat memberi obat pada pasien guna meredakan
gejala. Obat tersebut meliputi obat pelemas otot (misalnya baclofen ), obat pereda nyeri, serta
suntikan botulinum toxin atau botox yang diulang tiap beberapa bulan.
Jika upaya tersebut belum mendatangkan hasil, maka dokter dapat menganjurkan prosedur
operasi. Tujuan prosedur ini adalah untuk memperbaiki tulang belakang yang tidak normal,
memperpanjang otot leher, memotong otot atau saraf leher, serta menggunakan stimulasi otak
dalam untuk mengganggu sinyal saraf, yang dilakukan pada distonia tengkuk yang sangat parah.
Komplikasi Tortikolis
Tortikolis biasanya merupakan cedera ringan, dan dapat disembuhkan. Namun pada tortikolis
kongenital yang parah, dapat terjadi gangguan jangka panjang.
Pada kasus tortikolis akut yang terjadi secara sementara, penanganan perlu dilakukan dengan
segera. Jika tidak, terdapat risiko munculnya beberapa komplikasi berikut:
Spinal Muscular Atrophy (SMA) adalah penyakit genetik otot-saraf (neumuscular genetic
disorder) yang ditandai dengan kelumpuhan otot. Tampilan klinik yang nyata dari pasien-pasien
SMA adalah kelumpuhan otot, terutama pada kedua kaki. Meski begitu, sumber utama
kelumpuhan bukan disebabkan oleh rusaknya sel-sel otot, melainkan kelumpuhan murni
disebabkan oleh rusaknya sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang (spinal cord).
Yang dimaksud dengan sumsum tulang belakang (spinal cord) adalah bagian dari sistem saraf
pusat yang berjalan secara berkelanjutan dari otak turun hingga ke punggung bagian bawah.
Dari sumsum tulang belakang ini, keluarlah cabang-cabang persarafan yang bertanggung jawab
untuk setiap bagian tubuh, termasuk anggota gerak tangan dan kaki.
Seperti yang kita ketahui, gerakan-gerakan otot dikendalikan oleh otak dengan perantaraan
sumsum tulang belakang, di mana saraf-saraf yang menghubungkan otak dengan otot melewati
sumsum tulang belakang.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kerusakan sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang
menyebabkan hilangnya kemampuan kontrol motorik, terutama pada otot-otot yang bertanggung
jawab untuk gerakan-gerakan seperti merangkak, berjalan, mengunyah, kontrol kepala dan leher,
bahkan pernapasan.
Dalam hal ini, otot-otot kaki dan pernapasan lebih sering dan lebih parah mengalami
kelumpuhan dibandingkan otot-otot lain.
Berdasarkan tingkat keparahannya, SMA dibagi kedalam tiga tipe. Berikut diantaranya:
SMA tipe I
SMA tipe I disebut juga Werdnig-Hoffmann Disease, adalah tipe yang paling parah. Gejala-
gejala pada SMA Tipe I dimulai sangat awal, bisa sejak sebelum kelahiran atau paling lambat
sejak usia 6 bulan setelah kelahiran.
Gejala-gejalanya ditandai dengan kesulitan bernapas, tidak dapat menyusu dan kelemahan otot
yang menyeluruh.
Problem utama pada bayi SMA tipe I adalah kelemahan pada otot-otot pernapasan, yang
membuatnya sering bergantung pada alat bantu pernapasan.
Bayi dengan SMA Tipe I memiliki harapan hidup yang sangat rendah, di mana hampir semua
meninggal sebelum usia 2 tahun yang disebabkan kegagalan pernapasan.
SMA tipe II memiliki tingkat keparahan yang sedang, jika dibandingkan dengan tipe I. Gejala-
gejala SMA pada tipe II dimulai antara umur 6 hingga 18 bulan.
Anak-anak dengan SMA tipe II dapat duduk tanpa dibantu dan kadang-kadang dapat berdiri
dengan susah payah berpegang pada kakinya. Namun, tidak satupun yang dapat berjalan.
Walaupun harapan hidupnya lebih tinggi dibandingkan SMA tipe I, pada umumnya anak-anak
dengan SMA tipe II mengalami masalah berat pada pernapasan yang menjadi penyebab kematian
pada usia awal kanak-kanak.
SMA tipe III yang juga disebut Kugelberg-Welander Disease, adalah tipe dengan tingkat
keparahan paling rendah. Gejala-gejalanya baru dimulai pada usia setelah 18 bulan.
Biasanya diawali dengan perkembangan motorik yang normal dan kemudian pada usia awal
kanak-kanak mengalami penurunan kemampuan motorik yang signifikan.
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, gejala baru mulai muncul pada usia dewasa (beberapa
ahli menyebutnya SMA Tipe IV).
Penyebab
SMA disebabkan oleh mutasi, baik berupa hilangnya (delesi) maupun perubahan, gen Survival
Motor Neuron 1 (SMN1) pada kromosom 5q. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah protein
SMN1 yang diperlukan untuk perkembangan sel saraf motorik, yang dikenal sebagai saraf motor
neuron. Akibatnya saraf-saraf tersebut mengecil dan mempengaruhi inervasi pada otot-ototnya
sehingga akhirnya otot-otot melemah dan sulit digerakkan dan dapat mengalami pengecilan
(atrofi).
Otot-otot yang terpengaruh adalah otot-otot rangka tubuh (skeleton), ekstremitas (terutama kaki,
dan tangan), pernafasan dan pencernaan.
Perjalanan Penyakit
SMA bersifat progresif, artinya kondisi tubuh akan menurun seiring dengan perjalanan waktu.
Sistem pernafasan: karena lemahnya otot pernafasan maka dapat terjadi kesulitan
bernafas (sesak nafas) dan sangat rentan mengalami pneumonia.
Sistem pencernaan: umumnya sering terjadi reflux (naiknya kembali makanan yang
sudah ditelan ke kerongkongan) dan konstipasi (sembelit). Dalam jangka waktu lama,
dapat terjadi kesulitan menelan , yang jika tidak segera ditangani akan berujung pada
status gizi buruk.
Tulang dan otot: Kelemahan otot-otot rangka tubuh dalam jangka panjang
dimanefestasikan antara lain pada kelainan posisi tulang belakang, yakni tulang belakang
melengkung ke kiri atau kanan (skoliosis); tulang belakang di bagian pinggang
melengkung ke depan (lordosis); tulang belakang di bagian punggung melengkung ke
belakang, tampak bungkuk (kyposis).
4. SYNDROM MARFAN
Sindrom Marfan adalah gangguan pada jaringan ikat, yang terjadi akibat kelainan genetik.
Jaringan ikat adalah jaringan yang berfungsi sebagai penunjang atau penghubung antara organ
tubuh, termasuk stuktur tulang. Gangguan apa pun yang terjadi pada jaringan ikat, akan
berdampak pada seluruh tubuh.
Sindrom Marfan bisa menimpa siapa saja, baik pria maupun wanita, dalam segala rentang usia.
Gangguan ini termasuk jarang terjadi, yaitu pada setiap 1 dari 5000 orang.
Sindrom Marfan disebabkan oleh kelainan gen penghasil protein yang disebut fibrilin. Kerusakan
gen tersebut membuat fibrillin diproduksi secara abnormal. Akibatnya, beberapa bagian tubuh
meregang secara tidak normal dan tulang tumbuh lebih panjang dari seharusnya.
Sebagian besar kasus sindrom Marfan diturunkan dari orang tua dan bersifat autosomal
dominant, artinya anak memiliki kemungkinan untuk mewarisi sindrom ini apabila salah satu
dari kedua orang tua menderita sindrom Marfan (tidak harus kedua orang tua yang membawa
gen). Namun demikian, 1 dari 4 kasus sindrom Marfan terjadi bukan karena keturunan. Kondisi
tersebut disebabkan oleh mutasi gen fibrillin pada sperma ayah atau sel telur ibu. Janin yang
dihasilkan dari pembuahan sel sperma atau sel telur tersebut berkembang menjadi sindrom
Marfan.
Gejala sindrom Marfan sangat bervariasi. Beberapa penderita hanya mengalami gejala yang
ringan, namun pada penderita lain, gejala yang muncul bisa berbahaya. Berbagai gejala di bawah
bisa muncul di usia kanak-kanak atau menjelang dewasa:
Dokter akan menanyakan riwayat kesehatan dalam keluarga dan melihat tanda-tanda pada fisik
pasien. Perlu diketahui, sindrom Marfan tidak bisa didiagnosis hanya dengan melakukan
pemeriksaan genetik tanpa disertai dengan pemeriksaan lain. Penting untuk dilakukan
pemeriksaan lengkap pada mata, MRI untuk mengetahui kondisi tulang belakang, serta
elektrokardiografi dan ekokardiografi untuk melihat adanya pembengkakan atau kerusakan pada
aorta.
Sindrom Marfan merupakan kondisi yang tidak bisa diobati. Pengobatan hanya bertujuan untuk
mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. Penanganan yang diberikan tergantung kepada
gangguan yang dialami pasien.
Mata
Bagi penderita sindrom Marfan yang mengalami rabun jauh, penggunaan kacamata atau lensa
kontak dapat membantu mengatasi gangguan penglihatan. Pada pasien yang mengalami
katarak, operasi katarak bisa dilakukan. Sedangkan untuk kasus glaukoma, penanganan bisa
dilakukan dengan pemberian obat tetes mata, operasi, atau laser. Perlu diketahui, semua metode
tersebut sifatnya hanya sebagai pencegahan agar glaukoma tidak semakin memburuk.
Jantung
Pada pasien dengan keluhan penyakit jantung, dokter akan meresepkan obat penghambat beta
(beta-blockers), seperti bisoprolol, untuk meringankan kerja jantung dan memperlambat
pembesaran aorta. Bila pasien tidak bisa mengonsumsi penghambat beta, dokter akan
memberikan obat lain, seperti irbesartan atau losartan. Namun jika tingkat keparahan sudah
cukup berat dan berpotensi mengancam nyawa pasien, dokter akan menyarankan untuk
dilakukan pembedahan, yaitu dengan mengganti bagian aorta yang membengkak dengan bahan
sintetik.
Tulang dan sendi
Penderita sindrom Marfan dengan tulang dada (sternum) yang menonjol ke luar umumnya tidak
perlu ditangani, karena kebanyakan tidak menimbulkan masalah. Sebaliknya, tulang dada yang
melekuk ke dalam perlu diperbaiki, karena dapat menekan paru-paru dan mengganggu
pernapasan. Penanganan kondisi tersebut adalah dengan memperbaiki posisi tulang dada dan
tulang rusuk melalui operasi.
Untuk skoliosis, penanganan yang dilakukan tergantung pada tingkat keparahan yang dialami
penderita. Pada anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, dokter akan menyarankan
penggunaan korset tulang belakang. Namun apabila kelengkungan tulang belakang yang sudah
parah (40 derajat atau lebih) atau kelengkungan tersebut membuat saraf tulang belakang tertekan,
dokter akan merekomendasikan operasi untuk meluruskan kembali tulang tersebut.
Sedangkan pada penderita sindrom Marfan yang mengalami nyeri sendi, dokter dapat
memberikan paracetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
5. OSTEOGENESIS IMPERFECT
oateogenesis imperfect merupakan salah satu penyakit tulang akibat kelainan genetik. Kelainan
ini menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah, bahkan tanpa adanya benturan. Kelainan ini
tergolong cukup langka dan umumnya diturunkan dari kedua orang tua.
Penyebab Osteogenesis Imperfecta
Osteogenesis imperfect disebabkan oleh adanya kelainan genetik kolagen, struktur utama
pembentuk tulang. Pada osteogenesis imperfect yang tipe mutasinya dominan, kelainan genetik
ini terjadi pada kolagen tipe 1.
Kolagen tipe 1 yang dihasilkan abnormal, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Sedangkan pada mutasi resesif, kelainan terjadi pada proses produksi kolagen. Sebagian besar
kasus osteogenesis imperfect yang terjadi termasuk tipe mutasi dominan, sekitar 85–90 persen,
sisanya tipe mutasi resesif.
Penderita osteogenesis imperfect umumnya mengalami patah tulang yang sangat sering, bahkan
bisa terjadi hingga beratus kali tiap tahunnya. Patah tulang bisa terjadi di area mana pun di tubuh,
baik tulang panjang maupun tulang kecil.
Wawancara medis dan pemeriksaan fisik tersebut kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan
DNA di labolatorium. Sembilan puluh persen hasil pemeriksaan DNA pasien Osteogenesis
imperfect menunjukkan adanya mutasi kolagen tipe 1. Kolagen sendiri merupakan struktur
utama pembentukan tulang. Bila kolagen ini mengalami kelainan maka kepadatan tulang akan
dikorbankan, jadi mudah patah.
Walaupun pemeriksaan DNA ini merupakan pemeriksaan yang sifatnya konfirmasi, hasil yang
negatif belum tentu menyingkirkan kemungkinan osteogenesis imperfect. Bisa jadi kasus yang
terjadi tetap merupakan osteogenesis imperfect, hanya saja mutasi yang terjadi tidak terdeteksi.
Atau kemungkinan lain adalah penderita tersebut mengalami osteogenesis imperfect tipe mutasi
resesif. Pada mutasi resesif, tidak ditemukan kelainan pada DNA kolagen tipe 1, namun
gangguan terjadi pada produksi kolagen itu sendiri.
Tipe osteogenesis imperfect yang paling sering terjadi dan relatif paling ringan
Tulang sangat mudah patah dan umumnya terjadi sebelum pubertas
Postur tubuh terlihat normal
Persendian tidak kokoh dan otot mengalami kelemahan
Pada bagian putih mata, terlihat adanya titik berwarna biru, ungu atau abu-abu
Wajah berbentuk segitiga
Kelainan tulang yang terjadi minimal atau tidak ada sama sekali
Terkadang disertai gigi rapuh
Pada beberapa kasus ditemui gangguan pendengaran, khususnya di usia 20–30 tahun
Struktur kolagen normal, namun jumlahnya kurang dari normal
Tulang mudah patah. Patah tulang bisa terjadi saat kelahiran dan gambaran rontgen dapat
menunjukkan adanya proses penyembuhan tulang sebelum kelahiran
Postur tubuh pendek
Bagian putih mata terdapat bercak biru, ungu atau abu-abu
Sendi tidak kokoh dan otot lemah terutama di tangan dan kaki
Dada berbentuk tong
Wajah segitiga
Kemungkinan terdapat gangguan pernapasan
Terdapat kelainan bentuk tulang, umumnya berat
Pada beberapa kasus juga dijumpai gigi rapuh
Pada beberapa kasus ditemui gangguan pendengaran
Struktur kolagen tidak terbentuk sempurna
Secara klinis menyerupai tipe II atau tipe III yang menyebabkan kematian sesaat setelah
lahir.
Gangguan pertumbuhan dengan intensitas berat
Mineralisasi tulang sangat terganggu
Terdapat defisiensi P3H1 (Prolyl 3-hydroxylase 1) akibat mutasi gen LEPRE1
Selain itu, terapi hormon menggunakan hormon pertumbuhan, obat-obatan dan terapi gen juga
kerap digunakan pada pasien osteogenesis imperfecta.
Selain pengobatan medis, olahraga dan pengaturan gizi pasien dengan osteogenesis imperfecta
juga tidak kalah penting. Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang bersifat low
impact seperti berenang atau berjalan kaki. Olahraga jenis ini dapat meminimalkan potensi patah
tulang yang dapat terjadi dan mampu membantu meningkatkan kekuatan tulang serta otot.
Di samping itu, pasien dengan osteogenesis imperfecta juga diharapkan mampu menjaga pola
hidup sehat dengan tidak merokok, minum minuman alkohol, mengonsumsi kafein secara
berlebihan, dan menghindari obat steroid. Semua hal tersebut mampu menurunkan kepadatan
tulang dan memperparah risiko patah tulang.
Komplikasi Osteogenesis Imperfecta
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada pasien dengan osteogenesis imperfecta. Berat ringannya
komplikasi bergantung pada keparahan gejala klinis.
Komplikasi paling berat adalah kegagalan pernapasan yang berujung pada kematian. Selain itu,
kondisi psikis sang penderita juga kerap menjadi korban kedua setelah tulangnya. Keterbatasan
beraktivitas, postur tubuh yang pendek kerap menjadikan penderitanya rendah diri dan tidak
memiliki hidup yang optimal. Depresi adalah ancaman komplikasi psikis yang tidak boleh juga
dikesampingkan.
6. Skoliosis
A. PENGERTIAN
Skoliosis berasal dari kata Yunani yang berarti lengkungan, mengandung arti patologik.
Skolisosi merupakan deformitas tulang belakang yang mengalami deviasi ke arah lateral (lateral
curvature of the spine) (Buku ajar ilmu bedah, 2010). Kebanyakan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik). Penderita mengalami perubahan fisik tergantung kepada besar kecilnya sudut dan
lengkungan yang terjadi. Kelainan scoliosis ini sepintas terlihat sangat sederhana, namun apabila
diamati lebih jauh sesungguhnya terjadi perubahan yang luar biasa pada tulang belakang akibat
perubahan bentuk tulang belakang secara tiga dimensi, yaitu perubahan struktur penyokong
tulang belakang seperti jaringan lunak dan sekitarnya dan struktur lainnya.
B. EPIDEMIOLOGI
Kasus scoliosis idiopatik cukup banyak ditemukan yaitu 0,5% dari jumlah penduduk atau
85% dari scoliosis struktural (tidak dapat kembali atau irreversible). Scoliosis terjadi kira-kira
dua kali lebih umum pada anak perempuan dari pada anak lelaki. Dapat dilihat pada semua
umur, namun lebih umum pada mereka yang umurnya lebih dari 10 tahun. Di Amerika serikat
kasus scoliosis lebih dari 25 derajat terdapat pada 1,5/1000 orang (Faisal,arif ,2012).
Actual shortening
Apparent shortening :
B. Sruktural : Skoliosis tipe ini bersifat irreversibel dan dengan rotasi dari tulang punggung
a. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) : 80% dari seluruh skoliosis
Anak-anak : 4 – 9 tahun
b. Osteopatik
1. Terlokalisasi :
2. General :
a. Osteogenesis imperfecta
b. Arachnodactily
Didapat
c. Neuropatik
Kongenital
1. Spina bifida
2. Neurofibromatosis
Didapat
1. Poliomielitis
2. Paraplegia
3. Cerebral palsy
4. Friedreich’s ataxia
5. Syringomielia
Skoliosis Normal
Gambar 1. Bentuk tulang belakang scoliosis dan tulang belakang yang normal.
Scoliosis berat : lebih dari 400/500. Berkaitan dengan rotasi bertebra yang lebih
besar, sering disertai nyeri, penyakit sendi degenerative, dan pada sudut lebih dari
600-700 terjadi gangguan fungsi kardiopulmonal bahkan menurunnya harapan
hidup.
Klasifikasi Lippman-Cobb yang lebih rinci dari menurut Rajiah (2011) sebagai berikut
(Faisal,arif ,2012). :
Tingkat I : < 20°
Tingkat II : 21-30°
Tingkat IV : 51-75°
Tingkat V : 76-100°
Tingkat VI : 101-125°
Pada kasus skoliosis berat menimbulkan deformitas postur tubuh, punggung terlihat bengkok
dan ada bagian yang menonjol. Skoliosis diregio thoracal menyebabkan perubahan pada
kedudukan costa sehingga terdorong keposterior pada sisi yang konveks sedangkan costa depan
terdorong keanterior pada sisi konkav (Gambar 3). Pada foto toraks pasien skoliosis berat
memperlihatkan lengkungan skoliosis (Gambar 4).
Gambar 3. Perubahan posisi costa pada skoliosis thoracalis. Costa terdorong keposterior pada
sisi konkav dan terdorong keanterior pada sisi konveks. Rongga toraks menjadi asimetris.
Sumber: Anonim, 2012
Gambar 4. Foto toraks pasien skoliosis. Skoliosis berat dengan lengkungan kekanan. Rongga
toraks tampak asimetris, karena perubahan postur tubuh.
Jenis kelainan kongenital pada vertebra menghasilkan skoliosis bentuk tertentu (Gambar
5). Contoh lain foto toraks pada anak dengan hemivertebra terlihat pada Gambar 6.
B. Hemivertebra.
C. Congenital bar.
D. Block vertebra.
Gambar 6. Foto toraks pada anak dengan skoliosis. Tampak kelainan kongenital hemivertebra
corpus thoracal 8 kiri.
3. Mencari :
Kelenturan sendi
Sinus-sinus pada kulit
Hairy Patches
Palpable midline defects
Tujuan pemeriksaan radiografi dan imejing pada skoliosis untuk menegakkan diagnosis
lengkungan skoliosis, melihat abnormalitas lain yang kemungkinan menyertainya, memonitor
progresivitas, menilai maturitas tulang, menetapkan perlunya tindakan operatif, dan mengetahui
komplikasi dan follow-up setelah terapi.
Kelainan vertebra pada skoliosis pada dasarnya meliputi 3 dimensi, karena itu dibuat foto:
I. Posisi penderita berdiri AP, terlihat seluruh vertebra dan crista ilica. Disini untuk
menilai pengaruh gravitasi dan beban berat tubuh terhadap vertebra. Crista iliaca
digunakan untuk mengukur Risser’s sign.
II. Posisi supine AP, seluruh vertebra terlihat untuk penilaian lengkungan skoiliosis
tanpa pengaruh gravitasi dan beban berat tubuh.
III. Posisi lateral berdiri, seluruh vertebra terlihat untuk melihat lordotik dan kifotik
regio vertebra.
Pemeriksaan radiografi klasik menurut Rajiah (2011) yang harus dilakukan adalah :
1. PA berdiri, terlihat dari cervical sampai sacral dan crista iliaca;
7. Bipalanar view;
Teknik pengukuran konvensional paling sering dipakai untuk mengukur skoliosis, teknik
konvensional yang populer digunakan adalah:
A.Teknik Ferguson.
Teknik pengukuran skoliosis ini pertama dikembangkan oleh Ferguson tahun 1920 di New
York Orthopedic Hospital. Ada yang menamakan teknik ini the middle of curve method karena
pusat pengukuran terdapat pada corpus vertebra diapeks lengkungan. Teknik pengukuran
Ferguson sebagai berikut:
1. Tentukan corpus vertebra pada apeks lengkungan dan dibuat titik ditengah
corpus (lebih tepat titik tersebut bukan potongan garis diagonal corpus)
3. Buat satu garis yang menghubungkan dari titik corpus atas ketitik corpus
apeks lengkungan dan satu garis lagi yang menghubungkan titik corpus apeks ketitik
corpus bawah. Sudut divergen yang terbentuk adalah besarnya sudut lengkungan
skoliosis (Gambar 7). Teknik Ferguson lebih sesuai pada lengkungan skoliosis dibawah
50 derajat.
Gambar 7. Teknik Ferguson. Sudut dibentuk oleh potongan kedua garis adalah sudut skoliosis.
B.Teknik Cobb.
Sebenarnya teknik ini diperkenalkan oleh Lippman pada tahun 1935, kemudian
dipopulerkan oleh Cobb dari New York tahun 1948. Teknik ini disebut juga the end of curve
method karena sudut Cobb dibentuk berdasarkan garis yang ditarik dari tepi corpus vertebra
paling atas dan paling bawah dari lengkungan. Teknik pengukuran Cobb sebagai berikut:
1. Tentukan corpus vertebra paling miring dibagian paling atas dan paling bawah dari
lengkungan scoliosis.
2. Tarik garis lurus ditepi atas corpus paling miring diatas, lalu dibuat garis tegak
lurus terhadap garis ini kearah bawah.
3. Tarik garis lurus pada tepi bawah corpus paling miring dibawah, kemudian buat
garis tegak lurus garis ini kearah atas. Sudut yang terbentuk pada pertemuan kedua garis
tegak lurus tadi disebut Cobb’s angle yang menunjukkan besarnya derajat skoliosis
(Gambar 8). Teknik pengukuran Cobb lebih sesuai pada lengkungan skoliosis 50 derajat
atau lebih.
Gambar 8. Teknik Cobb. A. Sudut yang terbentuk oleh dua garis disebut Cob angle atau
sudut skoliosis. B. Skoliosis pada 3 regio
Teknik ini digunakan oleh Chen (1999)16 untuk mengukur lordosis lumbal yang
dibandingkan dengan teknik Cobb dan disimpulkan teknik VCM lebih handal dibandingkan
teknik Cobb. Basis teknik ini membuat garis diagonal pada 2 corpus vertebra paling atas dan 2
corpus vertebra paling bawah dari lengkungan yang diukur. Perpotongan garis diagonal setiap
corpus tadi menjadii titik sentral. Dibuat garis yang masing-masing menghubungkan 2 titik
sentral dari corpus diatas dan corpus dibawah. Garis tegak lurus terhadap garis yang
menghubungkan titik sentral tadi membentuk sudut VCM. Pada gambar 9 memperlihatkan sudut
VCM dan dibandingkan dengan sudut Cobb. Jika dibandingkan teknik Cobb dengan teknik
VCM pada skoliosis didapatkan sudut VCM lebih besar daripada sudut Cobb. Perbedaannya 1,15
derajat namun secara statistik angka tersebut bermakna. Keterbatasan teknik VCM adalah
pengukuran yang dilakukan masih berbasis satu dimensi seperti teknik Ferguson dan Cobb.
Gambar 9. Teknik VCM. Garis yang meng-hubungkan 2 titik sentral dibagian kranial
dan kaudal. Tarik garis tegak lurus terhadap garis tersebut, kemudian buat garis tegak
lurus kearah bawah dan atas, maka terbentuk sudut VCM yang lebih besar daripada
sudut Cobb
F. PENANGANAN SKOLIOSIS
Pengobatan pasien dengan scoliosis terdiri dari pengobatan konservatif dan pengobatan
operatif. Tujuan dilakukannya tatalaksana pada skoliosis meliputi 4 hal penting :
4. Kosmetik
Observasi diperlukan sebelum memutuskan apakah akan diterapi konservativ atau operatif.
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu <25o pada tulang
yang masih tumbuh atau <50o pada tulang yang sudah berhenti pertumbuhannya. Rata-rata
tulang berhenti tumbuh pada saar usia 19 tahun.
Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada waktu-waktu
tertentu. Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah kunjungan pertama ke dokter.
Lalu sekitar 6-9 bulan berikutnya bagi yang derajat <20 dan 4-6 bulan bagi yang derajatnya
>20.
2. Braching
Bracing bertujuan untuk menghentikan progresifitas dari kurva tetapi tidak mengurangi
besarnya kurva yang telah terjadi. Kebanyakan progresifitas kurva terjadi selama fase
pertumbuhan, sehingga ketika anak telah berhenti bertumbuh, jarang kurva tetap progresif
sehingga pemakaian Brace dapat dihentikan. Biasanya dipakai pada anak perempuan
sekitar 11-13 tahun dan anak laki-laki sekitar 12-14 tahun. Pada umumnya bracing
diindikasikan pada anak dengan kurva antara 250- 450. Tujuan akhir pemasangan bracing
adalah penderita mencapai usia skeletal matur dengan kurva < 500. Contoh brace adalah:
Brace Milwauke, pada prinsipnya menopang daerah thoracal, tujuannya untuk mengurangi
lordosis lumbal dan menguatkan otot-otot di vertebra thoracal.
Boston Brace, berguna untuk menopang lumbal atau daerah dibawah thoracolumbal. Brace
yang baik dapat digunakan selama 24 jam dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari,
termasuk olahrga dan latihan fisik.
Pengobatan operatif
Tujuan dari operasi adalah untuk menegakkan kelengkungan termasuk komponen yang
berotasi dengan berbagai alat dan untuk menguatkan sendi pada semua kelengkungan primer.
Indikasi dilakukannya operasi adalah apabila sudut > 400 atau terjadi progresifitas dari sudut
sebelum usia penderita mencapai dewasa dengan patokan untuk melakukan operasi ini adalah
dengan melakukan follow up secara teratur. kemudian apabila terdapat deformitas yang
memberikan gangguan dan dilakukan jika pengobatan konservatif yang tidak berhasil.
Operasi yang dilakukan yaitu:
Sistem Harrington
Suatu alat berbentuk kotak diletakkan posterior sepanjang bagian cekung dari
kelengkungan, terdapat sambungan di alat tersebut yang disambung dibagian paling atas dan
paling bawah vertebrae untuk memeperbaiki kelengkungan. Jika kelengkungan fleksibel maka
akan dapat dikoreksi secara pasif dan bone graft dapat dipakai fusi dari panjang kelengkungan.
Kekurangannya tidak dapat mengoreksi kelainan rotasi dari kelengkungan di apex dan
penonjolan tulang iga tetap tidak berubah.