Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN SKOLIOSIS
DI RUANGAN GPS LANTAI 1 RSUP

Disusun Oleh :
Teguh Purwanto

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
SKOLIOSIS

1. Pengertian
Skoliosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang belakang dimana terjadi
pembengkokkan tulang belakang ke arah samping kiri atau kanan. Kelainan
skoliosis ini sepintas terlihat sangat sederhana. Namun apabila diamati lebih jauh
sesungguhnya terjadi perubahan yang luar biasa pada tulang belakang akibat
perubahan bentuk tulang belakang secara tiga dimensi, yaitu perubahan struktur
penyokong tulang belakang seperti jaringan lunak sekitarnya dan struktur lainnya.
Skoliosis adalah penyimpangan tulang belakang ke lateral dari garis tengah atau
terjadi lengkungan yang abnormal pada vertebra kearah lateral (Suratun, 2008).
Skoliosis adalah kurvatura lateral pada berbagai area servikal, torakal,
torakolumbal atau lumbal.

Kongenital skoliosis adalah suatu kondisi perubahan kurvatura spina kearah


lateral yang disebabkan oleh anomali dari perkembangan tulang belakang (Helmi,
2013). Kongenital skoliosis adalah suatu kondisi perubahan kurvatura spina ke
arah lateral yang disebabkan oleh anomali dari perkembangan tulang belakang.
2. Etiologi
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis, adalah :
a. Kongenital
Skoliosis kongenital merupakan akibat dari malformasi segmen tulang
vertebra pada tulang punggung dapat disebabkan oleh karena kegagalan dari 1
formasi (tidak adanya porsi vertebra) atau karena kegagalan 2 sementasi (tidak
adanya pemisah normal antarvertebra). Biasanya berhubungan dengan suatu
kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang
menyatu.
b. Neuromuskuler
Kondisi neuromuskular yang berhubungan dengan deformitas spinal termasuk
sebral palsi, siringomielia, polio. Mielomeningosel, atrifi otot spinal, tumor
sumsum tulang belakang, trauma dan kondisi miopatik seperti distrofi
muskular.
c. Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui

3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dan riwayat keluarga tentang adanya deformitas tulang
belakang adalah penting, namun diagnosis dikonfirmasi oleh radiografi tegak
posteroanterior dan lateral yang dapat menggungkapkan kurvatura sebesar 10
derajat atau lebih. Kurva kurang 10 derajat diperkirakan mewakili asimereisasi
tulang belakang daripada skoliosis. Rontgen merupakan satu-satunya alat pasti
untuk memonitor perubahan pada deformitas tulang belakang, tetapi pajanan
radiasi yang berlebihan kurang sesuai untuk anak. Dua teknik diagnostik lain
adalah tomografi moire dan sistem imaging bentuk terintrgrasi (the integrated
shape imaging system (ISIS) menghasilkan gambar pada permukaan bentuk
tulang belakang yang dapat dihubungkan dengan deformitas tulang belakang.

Gejala dari skoliosis dapat berupa :


a. Tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
b. Bahu dan atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
c. Nyeri punggung
d. Kelainan pada tulang belakang setelah duduk atau bersiri lama
e. Skolliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 600) bisa
menyebabkan gangguan pernapasan.
Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan
dan pada punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri, sehingga
bahu kanan lebih tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi
dari pinggul kiri.

4. Patofisiologi
Kelainan tulang belakang disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah
idiopatik, kongenital, posisi duduk yang salah serta cara mengangkat beban yang
salah. kelainan ini dapat terjadi kongenital apabila terdapat gangguan
pembentukan tulang belakang atau adanya pembentukan yang abnormal pada saat
dalam kandungan. Kelainan ini biasanya terjadi pada minggu ke-5 kehamilan.
Sehingga pada saat bayi lahir maka terdapat kelainan tulang belakangnya.

Selain akibat kelainan selama masa kehamilan, kelainan ini juga disebabkan oleh
posisi duduk yang salah dan berlangsung terus menerus terutama selama masa
pertumbuhan berlangsung. Oleh karena itu, jika kelainan ini terjadi dimasa
pertumbuhan maka pengobatan secepatnya harus dilakukan agar postur tubuh
kembali normal.

Penyakit neuromuskuler, ataupun tumor di tulang belakang juga bisa


menyebabkan kelainan pada tulang belakang. Mengangkat beban yang berat
namun tidak dalam posisi yang tidak sesuai dengan posisi anatomis juga dapat
menyebabkan kelainan pada tulang belakang akibat penarikan tulang belakang
yang terjadi terus menerus.

Akibat adanya kelainan ini, maka dapat mengganggu system dalam tubuh.
Kelainan ini dapat menyebabkan penekanan pada rongga thoraks sehingga
penderita dapat mengurangi ekspansi paru dan pemasukan O2 dalam tubuh dapat
semakin sedikit.

Selain penekanan paru, penekanan pada rongga thoraks juga dapat menekan
jantung sehingga jantung tidak dapat memompa darah secara maksimal. Hal ini
juga dapat menyebabkan aliran O2 ke seluruh sel tubuuh tidak terpenuhi sehingga
juga bisa mengganggu proses metabolisme dan perkembangan.

Kelainan ini juga dapat menekan lambung sehingga lambung akan mudah penuh
dan menyebabkan mual karena asam lambung mudah penuh dan refluks. Hal ini
dapat menyebabkan penderita tidak nafsu makan sehingga asupan nutrisi dalam
tubuh yang juga berkurang.

Kelainan tulang belakang ini juga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari karena
kesulitan dalam mengkoordinasikan gerakan. Sehingga dapat terjadi pembatasan
gerak pada penderitanya.

5. Klasifikasi
Klasifikasi skoliosis sebagai berikut :
a. Skoliosis kongenital yaitu kelainan sudah sejak lahir
b. Skoliosis didapat yaitu kelainan tidak ada sejak lahir, tetapi berkembang pada
masa berikutnya
c. Skoliosis isiopatik. Jenis ini lebih biasanya berkembang pada masa remaja
d. Skoliosis fungsional yaitu kelainan yang berkaitan dengan postural atau
nonstruktural dan berkembang dari pengaruh postur yang temporer
(sementara) mudah diperbaiki
e. Skoliosis struktural yaitu perubahan pada struktur tulang belakang karena
sebab yang bervariasi
f. Skoliosis paralitik yaitu kelainan yang berkembang menyertai penyakit
neurologis serta poliomeilitis
(Suratun, 2008)
Skoliosis dibagi dalam dua jenis yaitu struktural dan bukan struktural.
a. Skoliosis struktural
Skoliosis tipe ini bersifat irreversibel ( tidak dapat di perbaiki ) dan dengan rotasi
dari tulang punggung Komponen penting dari deformitas itu adalah rotasi
vertebra, processus spinosus memutar kearah konkavitas kurva. 3 bentuk
skosiliosis struktural yaitu :
1) Skosiliosis Idiopatik adalah bentuk yang paling umum terjadi dan
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
a) Infantile : dari lahir-3 tahun.
b) Anak-anak : 3 tahun – 10 tahun .
c) Remaja : Muncul setelah usia 10 tahun (usia yang paling umum)
2) Skoliosis Kongenital adalah skoliosis yang menyebabkan malformasi satu
atau lebih badan vertebra.
3) Skoliosis Neuromuskuler yaitu anak yang menderita penyakit neuromuskuler
(seperti paralisis otak, spina bifida, atau distrofi muskuler) yang secara
langsung menyebabkan deformitas.
b. Skoliosis nonstruktural ( Postural )
Skoliosis tipe ini bersifat reversibel (dapat dikembalikan ke bentuk semula),
dan tanpa perputaran (rotasi) dari tulang punggung..Pada skoliosis postural,
deformitas bersifat sekunder atau sebagai kompensasi terhadap beberapa
keadaan diluar tulang belakang, misalnya dengan kaki yang pendek, atau
kemiringan pelvis akibat kontraktur pinggul, bila pasien duduk atau dalam
keadaan fleksi maka kurva tersebut menghilang. Ada tiga tipe-tipe utama lain
dari scoliosis :
1) Functional
Pada tipe scoliosis ini, spine adalah normal, namun suatu lekukan
abnormal berkembang karena suatu persoalan ditempat lain didalam
tubuh. Ini dapat disebabkan oleh satu kaki adalah lebih pendek daripada
yang lainnya atau oleh kekejangan-kekejangan di punggung.
2) Neuromuscular
Pada tipe scoliosis ini, ada suatu persoalan ketika tulang-tulang dari spine
terbentuk. Baik tulang-tulang dari spine gagal untuk membentuk
sepenuhnya, atau mereka gagal untuk berpisah satu dari lainnya.Tipe
scoliosis ini berkembang pada orang-orang dengan kelainn-kelainan lain
termasuk kerusakan-kerusakan kelahiran, penyakit otot (muscular
dystrophy), cerebral palsy, atau penyakit Marfan. Jika lekukan hadir
waktu dilahirkan, ia disebut congenital. Tipe scoliosis ini seringkali
adalah jauh lebih parah dan memerlukan perawatan yang lebih agresif
daripada bentuk-bentuk lain dari scoliosis.
3) Degenerative
Tidak seperti bentuk-bentuk lain dari scoliosis yang ditemukan pada
anakanak dan remaja-remaja, degenerative scoliosis terjadi pada dewasa-
dewasa yang lebih tua. Ia disebabkan oleh perubahan-perubahan pada
spine yang disebabkan oleh arthritis. Pelemahan dari ligamen-ligamen
dan jaringanjaringan lunak lain yang normal dari spine digabungkan
dengan spur-spur tulang yang abnormal dapat menjurus pada suatu
lekukan dari spine yang abnormal.
4) Lain-Lain
Ada penyebab-penyebab potensial lain dari scoliosis, termasuk tumor-
tumor spine seperti osteoid osteoma. Ini adalah tumor jinak yang dapat
terjadi pada spine dan menyebabkan nyeri/sakit.Nyeri menyebabkan
orang-orang untuk bersandar pada sisi yang berlawanan untuk
mengurangi jumlah dari tekanan yang diterapkan pada tumor.Ini dapat
menjurus pada suatu kelainan bentuk spine.

Klasifikasi dari derajat kurva scoliosis


a. Scoliosis ringan
Kurva kurang dari 20º, tidak begitu serius, tidak memerlukan tindakan dan
hanya dilakukan monitoring
b. Scoliosis sedang
Kurva 20º– 40º/50º, mulai terjadi perubahan struktural vertebra dan costa
c. Scoliosis berat
Lebih dari 40º/50º, berkaitan dengan rotasi vertebra yang lebih besar, sering
disertai nyeri, penyakit sendi degeneratif, dapat menimbulkan penekanan pada
paru, pernafasan yang tertekan, dan penurunan level oksigen, dimana kapasitas
paru dapat berkurang sampai 80%. Pada keadaan ini juga dapat terjadi
gangguan terhadap fungsi jantungdan pada sudut lebih dari 60º-70º terjadi
gangguan fungsi kardiopulmonal bahkan menurunnya harapan hidup.

6. Pencegahan
a. Jaga posisi duduk yang benar sejak dini
b. Jaga asupan nutrisi selama hamil
c. Penanganan secara dini agar tidak terjadi komplikasi
d. Jangan membawa beban terlalu berat dengan posisi yang salah

7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi mengikuti operasi skoliosis termasuk masalah
neurologis, infeksi, masalah respirasi, kebocoran cairan tulang belakang,
fleksibilitas, kehilangan darah banyak dan pseudoartrosis. Komplikasi yang paling
mengancam adalah paralisis dan kematian.

8. Penanganan
Untuk skoliosis congenital:
a. Konservatif
Observasi, monitoring dan evaluasi terhadap progresifitas harus dilakukan
secara komprehensif. Intervensi dengan penggunaan alat ortotik dilakukan
sesuai dengan derajat deformitas.
b. Intervensi bedah
Merupakan pengobatan paling efektif untuk mengatasi skoliosis
congenital,bedah koreksi dilakukan untuk mencegah progresifitas terutama
apabila dengan penatalaksanaan ortotik tidak tidak menurunkan progresifitas
secara optimal. Intervensi bedah dilakukan sesuai derajat dari skoliosis.
Intervensi tersebut meliputi hal-hal berikut:
1) Convex growth arrest
2) Posterior fusion
3) Combined anterior and posterior fusion
4) Hemivertebra excision
5) Vertebrectomy
(Helmi, 2013)

Postural skoliosis dapat di perbaiki dengan latihan postural dan latihan yang
di kombinasi dengan traksi (mis,traksi kotrel).
a. Skoliosis dengan lengkungan fleksibel (kurang dari 40 derajat) dan
pasien kooperatif. Pemasangan brace di kombinasikan dengan latihan
cukup untuk memperbaiki kelainan.
b. Pembedahan untuk meluruskan kembali dan menyatukan vertebra. Jika
lengkungan lebih dari 40 derajat dan /atau bracing tidak diperlukan
biasanya diselesaikan dengan penanaman tulang dan pamakaian alat atau
instrumentasi batang berington, duyer dan luque. (Suratun, 2008)

9. Perawatan pascaoperasi
Penanganan pascaoperasi difokuskan pada perawatan pascaoperasi seperti kasus
yang lain. Pengambilan data yang sering dan ketat mengenai fungsi motorik dan
sensoris pada ekstremitas bawah adalah penting karena saraf dan otot mungkin
mengalami peregangan pada saat operasi. Pemeliharaan imobilitas tulang
belakang adalah penting. Pembengkokkan, pengangkatan, dan perputaran tidak
dianjurkan pada saat segera setelah masa operasi selesai hingga 3 bulan setelah
keluar di rumah sakit, berdasarkan pemeriksaan oleh dokter. Beberapa dokter
mungkin akan meresepkan alat penahan untuk menjaga perhatian terhadap tulang
belakang.
10. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan
sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi. Pemeriksaan
neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau refleks.

Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:


a. Skoliometer
Adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurvaturai. Cara pengukuran
dengan skoliometer dilakukan pada pasien dengan posisi membungkuk,
kemudian atur posisi pasien karena posisi ini akan berubah-ubah tergantung
pada lokasi kurvatura, sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal akan
membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurva pada thorakal.
Kemudian letakkan skoliometer pada apeks kurva, biarkan skoliometer tanpa
ditekan, kemudian baca angka derajat kurva. Pada screening, pengukuran ini
signifikan apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari 50, hal ini biasanya
menunjukkan derajat kurvatura > 200 pada pengukuran cobb’s angle pada
radiologi sehingga memerlukan evaluasi yang lanjut.

b. Rontgen tulang belakang


Foto polos harus diambil dengan posterior dan lateral penuh terhadap tulang
belakang dan krista iliaka dengan posisi tegak, untuk menilai derajat kurva
dengan metode Cobb dan menilai maturitas skeletal dengan metode Risser.
Kurva structural akan memperlihatkan rotasi vertebra, pada proyeksi
posterior-anterior, vertebra yang mengarah ke puncak prosessus spinosus
menyimpang kegaris tengah; ujung atas dan bawah kurva diidentifikasi
sewaktu tingkat simetri vertebra diperoleh kembali.

Cobb Angle diukur dengan menggambar garis tegak lurus dari batas superior
dari vertebra paling atas pada lengkungan dan garis tegak lurus dari akhir
inferior vertebra paling bawah.Perpotongan kedua garis ini membentuk suatu
sudut yang diukur.
Maturitas kerangka dinilai dengan beberapa cara, hal ini penting karena
kurva sering bertambah selama periode pertumbuhan dan pematangan
kerangka yang cepat. Apofisis iliaka mulai mengalami penulangan segera
setelah pubertas; ossifikasi meluas kemedial dan jika penulangan krista iliaka
selesai, pertambahan skoliosis hanya minimal. Menentukan maturitas skeletal
melalui tanda Risser, dimana ossifikasi pada apofisis iliaka dimulai dari Spina
iliaka anterior superior (SIAS) ke posteriormedial.Tepi iliaka dibagi kedalam
4 kuadran dan ditentukan kedalam grade 0 sampai 5.

Derajat Risser adalah sebagai berikut :


Grade 0 : tidak ada ossifikasi
Grade 1 : penulangan mencapai 25%
Grade 2 : penulangan mencapai 26-50%
Grade 3 : penulangan mencapai 51-75%
Grade 4 : penulangan mencapai 76%
Grade 5 : menunjukkan fusi tulang yang komplit.

c. MRI ( jika di temukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen )


d. Mielografi
Untuk melihat kondisi kolumna vertebralis dan rongga intervertebra, saraf
spinal,dan pembuluh darah.
e. Computed tomography
Untuk mendeteksi terjadinya masalah musculoskeletal terutama kolumna
vertebralis.

11. Asuhan keperawatan pasien dengan skoliosis


a. Pengkajian
Pre Operasi
1) Anamnesa
a) Data demografi
Data tentang identiras pribadi pasien (nama, umur, tempat/tanggal
lahir, no. rekam medic, pekerjaan, dan lain-lain)
b) Keluhan utama
Catat keluhan utama pasien. Misalnya pasien mengeluhkan nyeri di
bagian punggung
c) Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan bagaimana proses terjadinya keluhan utama (waktu,
prognosis, jenis nyeri, mulai kapan dirasakan, bagaimana tindakan
yang dilakukan, dll)
d) Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan apakah pasien pernah mengalami trauma, pernah MRS
(dengaan diagnosis apa) adakah riwayat operasi
e) Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan apakah dalam anggota keluarganya memiliki riwayat
penyakit sejenis, atau penyakit yang berhubungan dengan
muskuluskeletal
f) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Kaji bagaimana emosi pasien (cemas/tidak), kaji bagaimana
kemampuan untuk melakukan kewajian dalam beribadah (terganggu
atau tidak)

Data subjektif
 Pakaian tidak pas atau menggantung
 Pasien bernapas tidak leluasa.
 Pasien mengeluh kesulitan dalam bergerak
 Pasien mempunyai perasaan negatif terhadap dirinya.

Data objektif
 Tulang belakang melengkung ke lateral
 Cara berjalan tidak seimbang
 Postur tubuh miring ke samping
 Keterbatasan kemampuan untuk bangkit dari kursi.
 Ketinggian bahu tidak sama pada scoliosis
2) Pemeriksaan Fisik
a) Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang
abnormal akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi
dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi
abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi
biasanya menandakan adanya patah tulang.
b) Mengkaji tulang belakang
Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
c) Mengkaji sistem persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas,
stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi.
d) Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan
ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk menentukan
adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
e) Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah
satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi
neurologist yang berhubungan dengan cara berjalan abnormal
(mis.cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara berjalan
selangkah-selangkah – penyakit lower motor neuron, cara berjalan
bergetar – penyakit Parkinson).
f) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau
lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer
dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu
pengisian kapiler.
Pasca Operasi
1) Kaji status neurovaskular
2) Status pernapasan pasien, kesulitan bernapas, sianosis, takipnea, dan
batuk.
3) Penurunan sensasi dan aktivitas motorik pada ekstremitas.
4) Status sirkulasi ekstremitas, perubahan warna kulit, nadi, dan suhu.
5) Keseluruhan tubuh dan terdapatnya alat imobilisasi.
6) Kaji lokasi, intensitas, dan durasi nyeri.
7) Karakter dan jumlah drainase luka.
8) Pengeluaran urine

b. Diagnosa Pre Operasi


1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penekaan paru
2) Nyeri akut berhubungan dengan posisi tubuh yang mengalami perubahan
3) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai
O2 ke Perifer
4) Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
postur tubuh dana danya rasa nyeri
5) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan suplai darah ke
ginjal
6) Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penekanan Lambung
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan postur tubuh

Post Operasi
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan anastesi, insisi operasi, dan
nyeri.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal dan Nyeri
3) Nyeri akut berhubungan dengan intervensi operasi
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
penatalaksanaan perawatan di rumah
5) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan status
puasa dan/ atau kehilangan cairan abnormal.
6) Risiko infeksi yang berhubungan dengan port de entrée pasca bedah

c. Intervensi
(terlampir)

d. Implementasi
Melakukan rencana tindakan keperawatan yang ada dalam intervensi.

e. Evaluasi
Kriteria evaluasi yang diharapkan pada pasien kifosis, lordosis dan skoliosis
setelah mendapat intervensi keperawatan adalah sebagai berikut
1) Pre Operasi
a) Pola napas efektif
Menunjukkan bunyi napas yang normal
Frekuensi dan irama pernapasan teratur
b) Nyeri hilang atau berkurang
Melaporkan tingkat nyeri yang dapat di terima
Memperlihatkan wajah yang tenang dan rileks
Keseimbangan tidur dan istirahat.
c) Perfusi jaringan kembali optimal
Suhu tubuh normal 36,50C-37,50C
Akral hangat
Pasien tidak tampak pucat
CRT < 2 detik
d) Mobilitas fisik pasien meningkat
Melakukan latihan rentang gerak secara adekuat
Melakukan mobilitas pada tingkat optimal.
Secara aktif ikut serta dalam rencana keperawatan.
Meminta bantuan jika membutuhkan.
e) Pasien dapat miksi tanpa adanya gangguan dan dalam jumlah
maupun proses
Pengeluaran urin normal (1200-1500ml/hari dewasa/ 0,5-1
cc/kgBB/jam)
Miksi normal (tidak terasa sakit, perih dan ada tahanan)
f) Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
BB naik dibandingkan dengan sebelum MRS
Turgor kulit baik c) Pasien dapat mulai melakukan aktivitas sehari-
hari
g) Percaya diri pasien mulai meningkat
Mencari orang lain untuk membantu mempertahankan harga diri
Secara aktif ikut serta dalam perawatan dirinya
Menggunakan keterampilan koping yang positif dalam mengatasi
citra tubuh.

2) Pasca Operasi
a) Pola napas klien kembali efektif
Menunjukkan bunyi napas yang normal
Frekuensi dan irama pernapasan teratur
b) Mobilitas fisik kembali normal
Mencapai kembali mobilitas sampai tingkat optimal
Memperagakan kemampuan untuk menggunakan alat mobilisasi
Mempertahankan kesejajaran tubuh yang sesuai
Ikut serta dalam rencana rehabilitasi
c) Nyeri yang dirasakan dapat ditoleransi
Melaporkan nyeri dalam tingkat yang dapat ditoleransi
Memperlihatkan lebih nyaman dan rileks
Koorperatif dan berupaya dalam menggunakan teknik alternative
penatalaksanaan.
d) Pengetahuan pasien meningkat
Mengungkapkan pengertian tentang program latihan, gejala untuk
dilaporkan pada dokter, dan jakwal pengobatan
Memperagakan kemampuan untuk melakukan aktivitas kegiatan
seharihari dan perawatan insisi.
e) Kebutuhan volume cairan klien kembaali normal
Menunjukkan tanda vital yang stabil
Masukan dan keluaran cairan seimbang
Turgor kulit elastis
f) Tidak terjadi infeksi pascabedah
Menunjukkan luka operasi tetap bersih, kering, dan utuh
Suhu tubuh dalam batas normal
Nilai hasil pemerisaan laboratorium menunjukkan batas normal

12. Referensi
Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Keperawatan medikal bedah manajemen
klinis untuk hasil yang diharapkan (Mulyanto, J., Yudhistira, Tunggono,
A.P., Setiyawan, N.H., Martanti, R., Natalia, dkk, Penerjemah). Jakarta :
Elsevier (Singapure) Pte Ltd.

Clarke, S., & Santy-Tomlinson, J. (2014). Orthopaedic and trauma nursing: an


evidence-based approach to musculoskeletal care. West Sussex: John Wiley
and Son.

Helmi, Zairin Noor. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:


Salemba Medika

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, C. H. (2010). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical-surgical nursing (12 ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer Health / Lippincott Williams & Wilkins.

Suratun, dkk. 2008. Klien Gangguan Muskuloskeletal: Seri Asuhan Keperawatan.


Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai