Anda di halaman 1dari 42

SKENARIO 3 BLOK RESPIRASI

SESAK NAPAS

KELOMPOK :A5
KETUA : Farsya Umari Latuconsina (1102018046)
SEKRETARIS : Laras Amanda Putri (1102016040)
ANGGOTA
- Dina Kurniati (1102018016)
- Cut Isabelle Khoirul Anami (1102018031)
- Kayang Fitri Handayani (1102018032)
- Yuyun Khairunnisa (1102018037)
- Hanun Hanifah (1102018047)
- Raysha Fariha S (1102018109)
- Silvi Naili Arafah (1102018132)
- Airin Bismarullah Putri (1102018166)

FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS YARSI 2018


Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. +62214244574
Fax +62214244574
Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................................................ i


Skenario 3 ..................................................................................................................................................... 1
Kata Sulit ...................................................................................................................................................... 2
Pertanyaan ..................................................................................................................................................... 3
Jawaban ......................................................................................................................................................... 4
Hipotesis ................................................................................................................................................... 5
LO1. M & M Asma pada Anak..................................................................................................................... 6
1.1. Definisi............................................................................................................................................... 6
1.2. Epidemiologi ...................................................................................................................................... 6
1.3. Etiologi............................................................................................................................................... 8
1.4. Klasifikasi .......................................................................................................................................... 9
1.5. Manifestasi klinis ............................................................................................................................. 10
1.6. Patofisiologi ..................................................................................................................................... 12
1.7. Diagnosis & Diagnosis Banding ...................................................................................................... 15
1.8. Pemeriksaan ..................................................................................................................................... 18
1.9. Tatalaksana ...................................................................................................................................... 20
1.10. Komplikasi ..................................................................................................................................... 25
1.11. Prognosis ........................................................................................................................................ 25
1.12. Pencegahan .................................................................................................................................... 26
LO2. M & M Terapi Inhlasi Asma Anak .................................................................................................... 27
LO3. Hukum Menggunakan Inhalasi Pada Saat Puasa ............................................................................... 40

i
Skenario 3

Sesak Napas
Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang sedang menjalani hari ketiga puasa
dibawa orang tuanya berobat ke IGD RS mengalami sesak napas disertai bunyi mengi
sejak 2 jam yang lalu. Sasak napas sudah dirasakan hilang timbul sejak 2 hari
sebelum masuk RS. Serangan bersifat nokturnal, hilang setelah pasien menggunakan
obat inhaler. Pasien juga mengeluh batuk disertai rasa tertekan pada dada.
Keluhan ini sudah dirasakan pasien berulang sejak usia 8 tahun, biasanya serangan
didahului oleh beberapa faktor pencetus seperti batuk, pilek, atau makan ikan laut.
Terdapat riwayat atopi pada keluarga.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sesak, masih bisa bicara dalam kalimat,
frekuensi napas dan frekuensi nadi meningkat, terdapat retraksi interkostal,
geographic tounge (+), terdapat wheezing pada kedua lapang paru.
Dokter mendiagnosis asma persisten ringan serangan sedang.
Sebelum memberikan nebulisasi dengan agonis β2 kerja pendek, dokter melakukan
spirometri untuk menilai PEF atau FEV1. Dokter melakukan pemeriksaan analisis
gas darah dan foto toraks. Untuk mencegah berulangnya sesak, dokter memberikan
KIE pada pasien, menganjurkan nebulisasi di rumah saat serangan dan menjelaskan
tatalaksana jangka panjang.

1
Kata Sulit
1. Nokturnal : berhubungan dengan malam hari (KBBI)
2. Retraksi : keadaan tertarik ke belakang
3. Geographic tongue : lesi pada lidah yang menyerupai pulau
4. Bunyi mengi : suara khas yang dihasilkan ketika udara mengalir melalui
saluran napas yang menyempit
5. Inhaler : alat yang digunakan untuk memberikan obat ke dalam tubuh melalui
paru-paru
6. Atopi : suatu kecenderungan genetic berkembangnya hipersensitivitas setelah
paparan allergen yang ditandai meningkatnya IgE
7. Wheezing : bunyi yang seperti siul yang durasinya lebih lama akibat udara
melewati saluran napas yang menyempit/tersumbat sebagian
8. Spirometri : metode pemeriksaan untuk mendiagnosis & mengevaluasi fungsi
& kondisi paru
9. Agonis β2 : obat bronkodilator yang berfungsi untuk mengendurkan otot-otot
saluran napas
10. KIE : metode yang digunakan dalam proses pengubahan perilaku melalui
penyebaran komunikasi, informasi dan edukasi
11. Nebulisasi : penguapan yang menggunakan suatu alat ((nebulizer)  cairan
obat  gas)
12. PEF : Peak Expiring Flow. Pergerakan udara keluar paru-paru pada awal
ekspirasi dalam satuan detik
13. Asma : serangan dispnea paroksimal berulang disertai mengi akibat kontraksi
spasmodik bronki
14. FEV1 : Force Expiratorhy Capacity. Besarnya udara yang dikeluarkan dalam
1 detik
15. Retraksi intercostals : tertariknya otot-otot intercostals, subkostal akibat
pemakaian otot-otot leher & dada sebagai usaha untuk bernapas

2
Pertanyaan
1. Apa penyebab asma?
2. Apa saja faktor risiko asma?
3. Mengapa obat diberikan secara nebulisasi?
4. Mengapa pasien tidak merasa demam?
5. Mengapa sesak napas terjadi pada malam hari?
6. Mengapa dilakukan pemeriksaan AGD & foto toraks?
7. Apa hubungan puasa dengan sesak napas?
8. Mengapa terdengar bunyi mengi?
9. Mengapa pada pasien diberikan β agonis secara nebulisasi?
10. Apa hubungan riwayat atopi pada keluarga dengan asma?
11. Apa saja klasifikasi asma?
12. Apakah penyakit yang diderita berhubungan dengan usia?
13. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
14. Mengapa batuk disertai rasa tertekan pada dada?
15. Apakah makan ikan laut menjadi penyebab sesak napas?
16. Apa yang menyebabkan geographic tongue?
17. Mengaja terjadi retraksi intercostals?
18. Apa saja diagnosis banding?
19. Mengapa frekuensi nadi meningkat?
20. Bagaimana pertolongan pertama asma?

3
Jawaban
1. Aktifitas, polusi, makanan, genetic/hereditas, psikomatis, bahan iritan, dan
gaya hidup.
2. Asap rokok, bulu binatang, debu, suhu, makanan/minuman, dan usia.
3. Karena penggunaan lebih efisien dikarenakan dosis yang lebih sedikit dengan
efektifitas sama dibandingkan inhaler dengan dosis lebih banyak dan
mengoptimalkan kerja obat.
4. Karena sesak napas yang diderita pasien bukan infeksi tetapi karena alergi
5. Karena udara malam lebih dingin sehingga mengaktifkan respon alergi
6. AGD  untuk melihat kondisi & fungsi organ paru untuk mengukur kadar O2
dan CO2 & pH dalam darah
Foto toraks  untuk melihat gambaran/kelainan dari organ yang terkait
7. Karena banyak perubahan ketika seseorang berpuasa, terjadi perubahan pola
makan dan waktu istirahat.
8. Karena saluran napas menyempit
9. Karena β agonis sebagai bronkodilator
10. Karena IgE yang tinggi diturunkan ke anaknya
11. - Intermiten  serangan < 1 / minggu
- Persisten ringan  serangan >1 / minggu
- Persisten sedang  serangan setiap hari
- Persisten berat  serangan setiap hari, gejala berkelanjutan & aktifitas fisik
terbatas
12. Iya. Karena seiring bertambah usia gejala menurun karena frekuensi alergi
menurun namun penuaan dapat meningkatkan risiko asma
13. Pem. Spirometer, uji reversibilitas dengan bronkodilator, uji alergi dan foto
toraks
14. Karena batuk manifestasi dari tubuh untuk mengeluarkan benda asing namun
karena saluran napas sempit menyebabkan batuknya dalam dan terasa
tertekan.
15. Iya. Karena merupakan salah satu allergen
16. Karena pasien cenderung bernapas lewat mulut
17. Karena otot diafragma tidak bisa bekerja secara optimal sehingga
membutuhkan bantuan extra dari otot intercostal akibatnya oto intercostal
bekerja lebih keras, tampak membentuk sela iga cukup dalam
18. Dewasa : bronchitis kronis, emfisema paru, gagal jantung kiri, emboli, PPOK
Anak : TB, sindrom dyskinesia siliner primer, rinosinusitis, defisiensi imun,
Corps
19. Karena pasukan O2 berkurang
20. ABC, Tiduran dan kaki sedikit diangkat, dan inhaler

4
Hipotesis
Asma disebabkan oleh aktifitas, polusi, makanan, genetic/hereditas, psikomatis,
bahan iritan, gaya hidup, asap rokok, bulu binatang, debu, suhu, makanan/minuman,
usia, dan juga dipengaruhi oleh riwayat atopi keluarga. Gejalanya dapat berupa sesak
napas di malam hari atau bunyi mengi serta wheezing. Pertolongan pertama seperti
pasien diminta untuk berbaring & menaikkan sedikit kakinya perlu dilakukan
sesegera mungkin. Pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti pem. Spirometer, uji
reversibilitas dengan bronkodilator, uji alergi dan foto toraks dilakukan untuk
menentukan terapi apa yang dapat diberujan. Terapi dapat berupa nebulisasi perlu
diperhatikan juga allergen yang dapat memicu asma.

5
LO1. M & M Asma pada Anak

1.1. Definisi
Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada
tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
(Pedoman Nasioal Asma Anak 2016)
Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh
bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons
terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada
kebanyakan orang.
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang
dan/atau batuk persisten dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara
episodic, cenderung pada malam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas
fisik, serta terdapat riwyat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.

1.2. Epidemiologi
Prevalens asma anak :
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak
maupun dewasa, dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma
mengindikasikan bahwa asma merupakan penyakit yang kebanyakan terjadi di negara
yang telah berkembang dengan pendapatan tinggi (high income countries), seperti
Amerika. Diperkirakan secara global, terdapat 334 juta orang penderita asma di
dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan terdapat di negara
berkembang dengan pendapatan yang rendah. Angka ini didapatkan dari analisis
komprehensif mutakhir Global Burden of Diseasestudy
(GBD)yangdilakukanpadatahun2008-2010.
Untuk mendapatkan data prevalens asma anak di dunia yang lebih akurat, para
ahli asma anak mencoba melakukan penelitian multisenter menggunakan kuesioner
dan metodologi yang sama, yaitu dengan mengadakan penelitian International Study
of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Penelitian ISAAC telah berlangsung
selama lebih dari 20 tahun, dan terdiri atas 3 fase: fase I (tahun 1993- 1997),fase
II(1998-2004)danfase III(2000-2003).Sebanyak1,96juta orang anak ikut dalam
penelitian ISAAC yang dilakukan di 306 pusat studi di 106 negara di dunia. Subyek
penelitian adalah anak sekolah Pedoman Nasional Asma Anak 2015 7 berusia 6-7
tahun dan 13-14 tahun. Pemilihan usia 6-7 tahun karena usia tersebut merupakan usia

6
termuda anak sekolah, dan usia 13-14 tahunkarenamerekasudahbisamengisikuesioner
sendiri.
Prevalens asma anak di Indonesia :
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak
awaltahun1990andi berbagai senter pendidikan.Hampir semua peneliti menggunakan
kuesioner yang dirancang masing masing sehingga hasilnya berbeda (Djajanto,
Rosmayudi, Dahlan). Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di
Indonesia dan berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama dari studi
ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan 13-14tahun.
Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota
menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di Bandung
(Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok usia 6-7
tahun. Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung
(Rosalina I) dan tertinggi di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di
Subang yang dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta
Pedoman Nasional Asma Anak 2015 11 (12,5%),hamper 2 kali lipat, diduga
disebabkan karena tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari Gunung
Tangkuban Perahu (Sundaru).Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan
kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi
peningkatan 2 kali lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil
penelitian di daerah rural kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun
mendapatkan hasil prevalens asma sebesar 9,6% dari
332subyekpenelitian(Kartasamitadkk).
Mortalitas :
Mortalitas Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995,
dari 14,3 menjadi 20,6 per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun
dari 16,1 menjadi 12,8 per juta. Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan,
kematian paling banyak pada orangtua≥65tahun,danduaper tigadiantaranyawanita.
Faktor resiko :
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan
non-genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi
udara, asap rokok, makanan cepat saji, berat lahir, cooking fuel, rendahnya
pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan
tidak adanya ventilasi. Penelitian yang dilakukan di Padang memberikan 12 Pedoman
Nasional Asma Anak 2015 hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk
memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi

7
ayah atau ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian
obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan kontak dengan unggas merupakan
faktor protektif terhadap kejadian asma.

1.3. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
Faktor predisposisi:

Genetik
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Menurut Mengatas dkk, terdapat berbagai kelainan kromosom pada
patogenesis , antara lain pada:

a. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang mengkode


human leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-DQ, HLA-DP dan
HLA-DR, yang berfungsi mempermudah pengenalan dan presentasi antigen.

b. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis


asma, yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33 mengatur produksi
interleukin (IL) 4, yang berperan penting dalam terjadinya asma. Kromosom 1,
12, 13, 14, 19 juga berperan dalam produksi berbagai sitokin pada asma.

c. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T yaitu kromosom 14q.

Faktor presipitasi

 Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan


Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
contoh: perhiasan, logam dan jam tangan

 Perubahan cuaca

8
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.

 Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

 Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.

Faktor Resiko
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar,
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma
yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko pencetus
asma bronkial yaitu:
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga

1.4. Klasifikasi
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA :
1. Intermiten
 Gejala kurang dari 1 kali/minggu
 Serangan singkat
 Gejala nocturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (<2 kali)
2. Persisten ringan

9
 Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
 Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur
 Gejala nocturnal >2 kali/bulan
3. Persisten sedang
 Gejala terjadi setiap hari
 Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
 Gejala nocturnal >1 kali dalam seminggu
4. Persisten berat
 Gejala terjadi setiap hari
 Serangan sering terjadi
 Gejala asma nocturnal sering terjadi
Pembagian yang dibuat Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasiolnal III
tahun 1998) :
1. Asma episodic jarang
 75%populasi asma pada anak
 Episode <1x tiap 4-6 minggu
 Mengi setelah aktivitas berat
 Tidak dibutuhkan terapi profilaksis
2. Asma episodic sering
 20% populasi asma
 Frekuensi serangan lebih sering
 Mengi pada aktivitas sedang tapi bisa dicegah dengan pemberian agonis-β2
 Terjadi <1x/minggu
 Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan
3. Asma persisten
 5% anak asma
 Seringnya episode akut
 Mengi pada aktivitas ringan
 Diantara interval gejala dibutuhkan agonis-β2 >3x/minggu
 Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

1.5. Manifestasi klinis


Pada serangan asma ringan:
 Anak tampak sesak saat berjalan.
 Pada bayi: menangis keras.
 Posisi anak: bisa berbaring.
 Dapat berbicara dengan kalimat.

10
 Kesadaran: mungkin irritable.
 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
 Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan dangkal.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: normal.
 Tidak ada pulsus paradoksus (<10 mmHg)
 SaO 2 >95%.
 PaO 2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
 PaCO 2 <45 mmHg
Pada serangan asma sedang:
 Anak tampak sesak saat berbicara.
 Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.
 Posisi anak: lebih suka duduk.
 Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
 Kesadaran: biasanya irritable.
 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.
 Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
 Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)
 SaO 2 % sebesar 91-95%.
 PaO 2 > 60 mmHg.
 PaCO 2 <45 mmHg
Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:
 Anak tampak sesak saat beristirahat.
 Pada bayi: tidak mau minum/makan.
 Posisi anak: duduk bertopang lengan.
 Dapat berbicara dengan kata-kata.
 Kesadaran: biasanya irritable.
 Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

11
 Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan
inspirasi.
 Menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping
hidung.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
 Ada pulsus paradoksus (&gt; 20 mmHg)
 SaO 2 % sebesar &lt; 90 %.
 PaO 2 &lt; 60 mmHg.
 PaCO 2 &gt; 45 mmHg
Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:
 Kesadaran: kebingungan.
 Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sulit atau tidak terdengar.
 Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks
torakoabdominal.
 Retraksi dangkal/hilang.
 Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
 Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
 Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot pernafasan.

1.6. Patofisiologi
 Obstruksi saluran respiratori
Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan
maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan dengan
gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas saluran
respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama
pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan.
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus
yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis
adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen

12
postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan
dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel
sekretori, serta deposisimatriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan
saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan
lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, proteinplasma yang keluar melalui
mikrovaskular bronkus, dan debris selular.
Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada
bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan
oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga
menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma.
Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun
perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel,
penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi.
 Hiperreaktivitas saluran respiratori
Penyempitan saluranrespiratori secara berlebihan merupakan patofisiologi
yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui.
Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran
respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder, yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratori selama kontraksi otot polos. 24 Pedoman Nasional Asma Anak 2015
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus
aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif, kemudian
dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus
lain seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan
adenosin tidak memunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin
dan metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung
serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif bila
dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada konsentrasi
histamin kurang dari 8mg%.
Inflamasi akut dan kronik
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons
alergifase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.
Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitive terhadap alergen IgE-
spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi

13
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan
IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator
seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin serta mediator newly
generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif.
Bersamasama dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya,
mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan
menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi,dan kebocoran
mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk
mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan
selama berlangsung pajanan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratori
menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi danmerangsang lepasnya leukosit
proinflamasi terutama eosinophil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam
sirkulasi.
Mekanisme terjadinya asma :
Hipereaktifitas bronkus Obstruksi

Faktor genetic
Sensitisasi Inflamasi Gejala
Asma
Faktor lingkungan
Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus

(trigger)

Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma :


1. Sensitisasi  seseorang dengan risiko genetic dan lingkungan apabila
terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi
pada dirinya
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensistisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses
inflamasi akan berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hipereaktifitas bronkus
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi)

14
1.7. Diagnosis & Diagnosis Banding
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis
yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian
besar ditegakkan secarakinis.
a. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagaititik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa
kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi

15
sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi
petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang
khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke
asma adalah :
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus :
o Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet
makanan, pewarna makanan.
o Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuksari. Infeksi
respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
o Aktivitas fisis : berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam
24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malamhari(nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat Pereda asma.

b. Pemeriksaan fisis
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau
yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada
pasienseperti dermatitis atopi ataurinitis alergi,dandapat puladijumpaitanda alergi
seperti allergic shiners atau geographictongue.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi
pada pasien.
 Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peak flow meter
 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori : FeNO (fractional exhalednitric
oxide),eosinofil sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.

16
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari
kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto
toraks, uji refluks gastroesofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun,
CT-scan toraks,endoskopi respiratori(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

DIAGNOSIS BANDING
Inflamasi : infeksi, alergi
 Rinitis, rinosinusitis
 Chronic upper airway cough syndrome
 Infeksirespiratoriberulang
 Bronkiolitis
 Aspirasiberulang
 Defisiensiimun
 Tuberkulosis
Obstruksimekanis
 Laringomalasia, trakeomalasia
 Hipertrofitimus
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Aspirasibendaasing
 Vascularring, laryngeal web
 Disfungsipitasuara
 Malformasi kongenital saluran respiratori
Patologibronkus
 Displasiabronkopulmonal
 Bronkiektasis
 Diskinesia siliaprimer
 Fibrosiskistik
Kelainan system organ lain
 Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
 Penyakit jantung bawaan
 Gangguan neuro muskular
 Batuk psikogen

17
 Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
terjadi pada penderita &gt; 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa
batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan
jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
 Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema
biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong,
gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat
lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
 Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena
sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
 Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,
nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop,
sianosis, dan hipertensi.

1.8. Pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium :
 Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinophil
 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mucoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
Pemeriksaan Darah :

18
 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm 3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
Pemeriksaan Penunjang Lain
1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
 Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
 Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah
 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis local
 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru
2. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi
3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru,
yaitu:
 Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan
clock wise rotation
 Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right bundle branch block)
 Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan
VES atau terjadinya depresi segmen ST negative
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

19
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling
cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis
asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting
untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa
keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

1.9. Tatalaksana
 Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah , dan apabila
tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus
cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan
berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya
pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan
cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
o bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
o kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan
secara sistemik.
Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada
keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral
(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan
sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip).
Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila
diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV . Pada serangan berat
pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium
bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2

20
agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada
serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).

 Penatalaksanaan asma jangka Panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol
dan pelega); dan Menjaga kebugaran.
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
o Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
o Mengenali gejala serangan asma secara dini
o Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
o Mengenali dan menghindari faktor pencetus
o Kontrol teratur
Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah
pelangi asma (bagan 6), sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.
b. Obat asma
Cara pemberian obat
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik
inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat
inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan
alatinhalasi sebaiknya juga mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan
penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler (MDI) dengan
spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien,
jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal,

21
serta biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan
tanpa spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.

Obat penendali asma :


a. Steroid inhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting
dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat pengendali
asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200
µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru
pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg
per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah
berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk
rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan
serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan
untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksivirus.
Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan
dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat
dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas berkumur tersebut. Pada anak asma yang mendapatkansteroid
inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persen tiltinggi badan dan berat badan) setiap
tahun.
b. Agonis β2kerjapanjang (Long acting ß2-agonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal
melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang
dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan
asma. Preparat kombinasi steroid- agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang
berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah tidak
menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroidagonis β2 kerja panjang dalam
satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid
inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan
kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk
mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan agonis β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja

22
yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang,
namun dapatberfungsi sebagaiobatpereda.
c. Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl leukotrien 1 (CysLT1)
seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti
zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil
dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih
unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal,
efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid
inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan
kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan
asma akibat berolahraga (exercise induced asthma, EIA) dan Obstructive Sleep
Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi
virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada
asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang.
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif
daripemberiansteroidinhalasi.
d. Teofilin lepas lambat
Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai
preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak
usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan
memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak
dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk
pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik.
Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan
jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor.Efek samping teofilin lepas
lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia,
nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama
timbulpadapemberiandosis tinggi,di atas10mg/kgBB/hari.
e. Anti-imunoglobulinE (Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi
kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun,
omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi
dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi

23
dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap
dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian
dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah pemberianselama satutahun.Karena
adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya dibawah pengawasan dokter
spesialis.
Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten
sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan
menurunkan kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma.
Pemberian anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal.
Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum
dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untukefikasi anti-IgE.

 Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya
diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal &gt; 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan
pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran
helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat
ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan
menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic
teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan

24
terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak
inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

1.10. Komplikasi
 Pneumothorax
Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru paru
kesulitan untuk mengembang.
 Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
 Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal,
disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
 Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
 Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
 Gagal nafas
 Perubahan bentuk thorax
Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan
bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/
pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

1.11. Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan
timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun
setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan
tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak.
Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara
keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21
tahun asmanya sudah menghilang.

25
1.12. Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan
risiko asma (orangtua asma), dengan cara :
a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
d. Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam
ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang
telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter
yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children)
mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi
dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan
tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan
bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma
(controller).

26
LO2. M & M Terapi Inhlasi Asma Anak
Terapi Inhalasi
Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam
saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat
mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral,
karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.
Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi inhalasi.
Secara garis besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer, MDI
(metered dose inhaler), dan DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling sering
digunakan adalah turbuhaler. Terapi inhalasi memiliki keuntungan dibandingkan
dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ sasaran, awitan
kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga lebih kecil.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi
harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan
biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam
mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi
efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga
didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk
kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup
napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Keuntungan terapi inhalasi
a. Onset kerja lebih cepat dibandingkan obat oral
b. Dosis yang diberikan kecil
c. Obat langsung menuju paru-paru, sehingga paparan sistemik minimal.
d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan dibandingkan obat yang
diberikan secara sistemik.
e. Terapi dengan obat inhalasi cenderung tidak menimbulkan nyeri, dibandingan
obat yang diberikan melalui injeksi, dan lebih nyaman.
f. Rangsangan oral inhalasi dapat menggantikan kebiasaan merokok
Kelemahan terapi inhalasi
a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan alat atau
generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru dan reproduktifitas
dosis.

27
b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan atau
sebaliknya.
c. Deposisi orofaringeal dapat menyebabkan absorbsi sistemik
d. Iritasi orofaringeal menyebabkan penyumbatan, nausea, vomitus, dan
aerofagi.
e. Membutuhkan peralatan khusus dan mahal.
f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi dengan pMDI yang
dapat menurunkan keefektifan.
g. Ketersediaan berbagai macam jenis alat akan membingungkan pasien dan
klinisi.
h. Keterbatasan informasi tentang standarisasi teknik inhalasi kepada klinisi
akan mengurangi keefektifan.
i. Pemberian secara inhalasi lebih kompleks dibandingkan oral.
Jenis-jenis Obat Inhalasi
1. Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan
merelaksasi otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum
digunakan pada penyakit-penyakit paru seperti asma dan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK).

- Agonis adrenergik inhalasi


Agonis adrenergik yang digunakan untuk terapi bronkospasme,
wheezing, dan obstruksi aliran udara adalah agonis β-adrenergik. Penggunaan
klinis dari agonis β-adrenergik biasanya diberikan melalui inhaler atau
nebulizer, bersifat selektif β2 dan dibagi menjadi terapi kerja pendek dan kerja
panjang. Terapi agonis β2 kerja pendek efektif untuk meredakan dengan cepat
keluhan bronkospasme, wheezing dan obstruksi aliran udara. Agonis β2 kerja
panjang digunakan untuk terapi pemeliharaan untuk memperbaiki fungsi paru
dan mengurangi gejala dan risiko terjadinya serangan.
Agonis β2 kerja pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang
berada pada membran plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel
saluran nafas lainnya. Ikatan ini menyebabkan stimulasi protein G untuk
mengaktivasi adenylate cyclase converting adenosine triphosphate (ATP)
menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP), sehingga terjadi
penurunan pelepasan kalsium dan perubahan membran potensial yang
menyebabkan relaksasi otot polos. Agonis β2 kerja panjang mempunyai
mekanisme yang sama, namun memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Hal

28
ini berkaitan dengan ikatan obat dengan reseptor yang dapat berlangsung lebih
lama.
Agonis β2 kerja pendek seperti albuterol, levalbuterol, metaproterenol,
dan pirbuterol memiliki onset kerja dalam beberapa menit dan durasi kerja 4-6
jam, sehingga ditujukan sebagai terapi pereda atau penyelamat terhadap
gejalagejala bronkospasme dan hambatan saluran nafas lainnya, yang dapat
mengancam nyawa penderita. Agonis β2 kerja panjang biasanya digunakan
untuk terapi pemeliharaan dan dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid
inhalasi.
Penyerapan sistemik dari agonis β2 dapat menyebabkan beberapa
efek samping dan kebanyakan tidak menimbulkan masalah yang serius.
Sebagian besar terapi agonis β2 dapat menimbulkan tremor dan takikardi
secara sekunder akibat stimulasi langsung reseptor β2 pada otot skelet atau
vaskulatur. Pada serangan asma berat agonis β2 dapat menyebabkan
penurunan sementara pada tekanan oksigen arterial sebanyak 5 mmHg atau
lebih, akibat adanya vasodilatasi yang dimediasi β2 pada keadaan ventilasi
paru yang buruk. Hiperglikemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia juga
dapat terjadi, namun efek samping ini cenderung berkurang dengan
penggunaan yang regular.12
- Antagonis kolinergik inhalasi
Antikolinergik umum digunakan untuk terapi pemeliharaan atau terapi
kontrol dan terapi serangan akut pada penyaki-penyakit obstruksi saluran
nafas. Sistem sarat parasimpatis adalah memegang peranan utama untuk
mengatur tonus bronkomotor dan antikolinergik inhalasi bekerja pada reseptor
muskarinik pada saluran nafas untuk mengurangi tonus otot. Penggunaan
antikolinergik inhalasi pada kasus PPOK sebagai pemeliharaan dan terapi
serangan akut telah dipertimbangkan sebagai terapi standar. Pada kasus asma
antikolinergik lebih direkomendasikan untuk terapi serangan akut saja.
Terdapat tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan pada
saluran nafas manusia. Reseptor muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel
postganglion dan bertanggung jawab untuk membatasi produksi asetilkolin
dan melindungi dari terjadinya bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari
antikolinergik. Reseptor muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3)
bertanggung jawab untuk terjadinya bronkokonstriksi dan produksi mukus
dan merupakan target kerja dari obat antikolinergik inhalasi. Asetilkolin
berikatan dengan M1 dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui
peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari
protein G. Protein tersebut kemudian mengaktivasi fosfolipase C untuk
memproduksi inositol trifosfat (IP3), yang akan menyebabkan pelepasan

29
kalsium dari penyimpanan intraseluler dan aktivasi dari myosin light chain
kinase yang kemudian menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik
menghambat kaskade tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan
mengurangi pelepasan kalsium intraseluler.
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui
untuk terapi penyakit obstruksi saluran nafas yaitu :
a. Ipratropium
Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek
yang biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi
serangan akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut).
Pasien yang diterapi dengan ipratropium mengalami peningkatan
toleransi olahraga, penurunan sesak, dan memperbaiki ventilasi.
b. Tiotropium
Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang
yang dapat diberikan sebagai terapi pemeliharaan pada penyakit
PPOK. Penggunaan tiotropium dapat mengurangi terjadinya
serangan/eksaserbasi akut PPOK, gagal nafas, dan penyebab
mortalitas lainnya.
2. Anti Inflamasi Pada Saluran Nafas
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas yang
mempunyai komponen inflamasi sebagai bagian dari patogenesisnya.
Walaupun inflamasi adalah patogenesis umum, karakteristik dan elemen
seluler yang dominan terlibat pada kedua penyakit tersebut adalah berbeda.
Pada PPOK, komponen sel-sel inflamasi yang dominan terlibat adalah
neutrophil, makrofag, limfosist T CD8+, dan eosinophil. Sementara pada
asma, peran eosinophil paling dominan, diikuti oleh sel mast, limfosit T
CD4+, dan makrofag.
a. Kortikosteroid Inhalasi
Pada terapi asma kortikosteroid inhalasi berfungsi untuk
mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi, sehingga dapat
memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi serangan akut. Pada
terapi PPOK penggunaan kortikosteroid inhalasi sebagai
monoterapi tidak disarankan dan biasanya dikombinasikan dengan
agonis β adrenergik kerja panjang (LABA). kombinasi dari kedua
obat tersebut akan bekerja secara sinergis dan sangat bermanfaat
untuk mengurangi Inflamasi.
Reseptor glukokortikoid alfa (GRα) berada pada sitoplasma
dari sel epitel saluran nafas yang merupakan target kerja primer
dari kortikosteroid inflamasi. Adanya difusi pasif dari steroid ke

30
dalam sel akan memberikan kesempatan pada GRα untuk berikatan
dengan ligand steroid, sehingga nantinya dapat menurunkan
ekspresi dari produk gen inflamasi. Obat ini memiliki aksi penting
dalam menghambat limfositik dan eosinofilik dari mukosa saluran
nafas.
Kortikosteroid inhalasi digunakan pada terapi asma sebagai
regimen terapi multimodal dan ditambahkan ketika adanya
peningkatan keparahan dan frekuensi dari serangan asma.
Penggunaannya sebagai terapi PPOK dibatasi untuk PPOK berat
sampai sangat berat, dan dikombinasi dengan LABA. Walaupun
tidak adanya perbaikan dalam mortalitas dengan penggunaan terapi
kombinasi tersebut, namun dilaporkan adanya peningkatan dalam
status kesehatan dan fungsi paru seiring dengan terjadinya
penurunan serangan.
Efek samping dapat muncul dari penggunaan kortikosteroid
inhalasi pada asma dan PPOK. Berdasarkan suatu penelitian
metaanalisis dilaporkan bahwa penggunaannya dapat meningkatan
insiden terjadinya pneumonia. Efek samping lainnya adalah
meliputi kandidiasis orofaringeal, faringitis, mudah memar,
osteoporosis, katarak, peningkatan tekanan intraokular, disfonia,
batuk, dan gangguan pertumbuhan (pada anak-anak).
Pemberian terapi kortikosteroid inhalasi merupakan cara yang
efektif untuk menurunkan efek samping sistemik yang dapat
ditimbulkan. Beberapa jenis kortikosteroid inhalasi yang lipid-
soluble yaitu beklometason, budesonide, flunisolide, flutikason,
triamsinolone, dan mometasone.
Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan

31
3. Obat-Obatan Penunjang : Mobilisasi secret bronkus
- Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang memiliki aksi kerja memutus rantai
panjang senyawa organik yang membentuk sputum atau mukus sehingga
terpecah menjadi molekul yang lebih kecil dan mudah bergerak. Hal ini akan
menyebabkan mukus menjadi lebih mudah untuk dibersihkan oleh silia yang
terdapat pada sel epitel yang ada pada sepanjang saluran nafas.
Salah satu jenis mukolitik kuat adalah asetilsistein. Aksi mukolitik
asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada molekul, yang
bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfida antara ikatan molekular
mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas
mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan
peningkatan pH. Pemberian asetilsistein dapat melalui inhalasi dengan
menggunakan nebulizer.
- Proteolitik
Tujuan pemberian proteolitik adalah untuk menghancurkan protein
pada sputum yang purulen, melalui aktivitas enzim proteinase. Jenis
proteolitik yang sering dipakai adalah tripsin dan dornase. Pemakaian secara
aerosol masih terbatas, dimana dosis inhalasinya adalah 100.000 U 2-3 kali
per hari.
Jenis Terapi Inhalasi
Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat,
dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.

32
Berikut beberapa alat terapi inhalasi:
 Metered Dose Inhaler (MDI)
 MDI tanpa Spacer
 Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini
mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau
bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer
ini sangat menguntungkan pada anak.
Pressurized Metered Dose Inhaler (pMDI)
Pressurized metered dose inhaler (pMDI) adalah tipe inhaler yang paling
dikenal untuk terapi penyakit respirasi lokal seperti asma dan PPOK. Komponen
struktural dari pMDI konvensional adalah tabung, metering valve, penggerak
(actuator), dan corong mulut (mouth piece). Tabung tersebut terbuat dari bahan inert
yang mampu menahan tekanan tinggi yang diperlukan untuk menjaga agar propelan
(bahan yang mudah menguap menjadi gas) dalam keadaan cair.Metering valve di
rancang untuk mengirimkan jumlah aerosol yang tepat (20-100 μL) setiap kali
perangkat digerakkan atau per aktuasi.
Formulasi obat pMDI dapat berupa larutan atau suspensi dalam propelan
tunggal atau propelan campuran dan mungkin termasuk pelarutnya seperti etanol atau
surfaktan untuk melarutkan obat atau stabilisasi suspensi obat. Penggunaan pMDI
adalah untuk administrasi obat bronkodilator dan kortikosteroid. Idealnya, propelan
harusnya bersifat nontoksik, tidak mudah terbakar, dan sesuai dengan formulasi dan
menyediakan tekanan penguapan yang konsisten. Adapun beberapa tipe dari pMDI
yaitu pMDI konvensional, breath-actuated pMDI, dan soft mist inhalers.
Ukuran partikel aerosol yang terbentuk adalah berada dalam rentang fraksi
partikel halus yang memiliki diameter aerodinamik < 5 μm. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi performa pMDI dan pengantaran obat aerosol. Faktor-faktor
tersebut diantaranya adalah pengocokan tabung, temperatur penyimpanan alat, ukuran
nozzle dan kebersihannya, jeda antar aktuasi, dan priming (pelepasan satu atau lebih
semprotan ke udara). Formulasi obat yang dapat diberikan dengan pMDI adalah beta-
2 agonis, antikolinergik, kombinasi antikolinergik/beta-2 agonis, kortikosteroid, dan
obat anti asmatik lainnya.
Adapun keuntungan dan kerugian dari penggunaan pMDI adalah9:
Keuntungan :

33
a. Portable dan ringan
b. Kenyamanan dosis ganda
c. Waktu terapi yang singkat
d. Dapat memancarkan dosis obat yang berulang
e. Tidak memerlukan persiapan obat
f. Sulit untuk terkontaminasi
Kerugian
a. Memerlukan koordinasi antara tangan dan nafas
b. Memerlukan kerjasama dan koordinasi pasien, pola inhalasi yang sesuai, dan
tindakan menahan nafas.
c. Konsentrasi dan dosis obat tetap
d. Dapat terjadi reaksi propelan pada beberapa pasien
e. Dapat terjadi aspirasi benda asing atau kotoran yang terdapat pada corong
mulut
f. Deposisi orofaringeal yang tinggi
g. Kesulitan dalam menentukan sisa dosis dalam tabung tanpa adanya
penghitung dosis.

Dry Powder Inhaler (DPI)


Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan
yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih
besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan
koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi
dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di
atas 5 tahun.

34
Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol
secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau
gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece
atau sungkup. Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek
bronkodilatasi (pelebaran bronkus) yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.
Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer
yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus,
ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita
melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang
Terdapat dua jenis nebulizer yaitu jet dan ultrasonic nebulizer, yang
membedakan dalam kekuatan yang digunakan untuk membentuk aerosol dari larutan
cair. Nebulizer dapat menghasilnya partikel aerosol berukuran 1-5 mikron. Teknik
inhalasi ini tidak memerlukan koordinasi antara inhalasi pasien dan aktuasi alat,
sehingga sangat cocok pemakaiannya pada pasien pediatri, tua, pasien tidak sadar,
atau yang tidak bisa menggunakan teknik inhalasi pMDI atau DPI. Nebulizer
memiliki kemampuan mengantarkan dosis obat yang lebih besar dibandingkan
dengan perangkat aerosol lainnya, namun perlu waktu pemberian obat yang lebih
lama.
a. Jet Nebulizer
Jet nebulizer dioperasikan dengan compressed air atau oksigen yang
bertujuan untuk aerolisasi cairan obat. Jet nebulizer ini mengalirkan gas
terkompresi melalui sebuah jet, menyebabkan timbulnya area bertekanan
negatif. Larutan yang mengalami aerosolisasi masuk ke dalam aliran gas
dan diubah menjadi liquid film. Film ini bersifat tidak stabil dan pecah
menjadi partikel-partikel aerosol karena gaya tegangan permukaan.
b.

35
b. Ultrasonic Nebulizer
Pada ultrasonic nebulizer, gelombang suara diciptakan karena getaran
dari kristal piezoelektrik pada frekuensi tinggi yang memecah larutan
menjadi partikel-partikel aerosol kecil. Alat ini tidak sepenuhnya portable
karena masih memerlukan suplai listrik untuk pengisian/charging. Jika
dibandingkan dengan jet nebulizer, nebulizer jenis ini lebih mahal.

Walaupun ultrasonic nebulizer dapat melakukan nebulisasi larutan


lebih cepat daripada jet nebulizer dan alat ini cenderung tidak cocok untuk
suspensi dan kristal piezoelektrik dapat meningkatkan suhu dan
menonaktifkan obat-obat protein seperti dornase alfa. Alat ini juga tidak

36
efisien digunakan untuk nebulisasi cairan dan suspensi kental
dibandingkan dengan jet nebulizer.
Ultrasonic nebulizer dapat secara spesifik untuk nebulisasi obat seperti
pentamid aerosol, digunakan ketika kontaminasi obat aerosol dengan
lingkungan sekitar harus dihindari. Jenis nebulizer ini dilengkapi dengan
katub dan filter satu arah untuk mencegah kontaminasi ke lingkungan.
Selain itu nebulizer ini juga digunakan secara spesifik untuk aerosolisasi
ribavirin, karena terdapat ruang pengeringan yang akan menurunkan
MMAD sekitar 1,3 m. Hal ini dijadikan alasan karena ribavirin secara
potensial bersifat
teratogenik.

Tabel Formulasi obat yang dapat diberikan dengan menggunakan


nebulizer

Farmokinetik
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga
menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien.
Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan.
Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi
dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan
sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara
teratur.

37
Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan
mencegah gejala asma. Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap
kortikosteroid. Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai
mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek
samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi.
Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat
pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta
meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih
aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis
(infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit
tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan
berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi
pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang
terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan
pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda
pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi
tinggi badan orang dewasa. Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil,
karena bersifat teratogenik.
Cara Penggunaan Inhaler
 Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin
 Ambillah inhaler, kemudian kocok
 Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah
 Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut
(jangan meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler)
 Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan
dengan menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler
adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif)
 Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa
jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)
 Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti
cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter
 Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek
samping yang mungkin terjadi.Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat
dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma
memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena
itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat

38
yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek
samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor
yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan
untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-
obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini
perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin
meningkat.

39
LO3. Hukum Menggunakan Inhalasi Pada Saat Puasa
Rukun puasa, selain niat, adalah meninggalkan hal-hal yang membatalkan
puasa. Salah satunya, makan dan minum. Para ulama menyebutkan secara lebih
umum makan dan minum termasuk memasukkan sesuatu ke rongga tubuh yang
terbuka.
Secara lebih detail, Syekh Zakariya al-Anshari menyebutkan dalam Fathul Wahhab
bahwa puasa itu :
َ ‫ظاهر م ْن‬
‫ط ْعم َو َل ريْح َل َعيْن وصول ت َْرك‬ َ ‫َم ْفتوح َم ْنفَذ في‬

Artinya: “Meninggalkan sampainya ‘ain (yang membatalkan puasa) - tidak termasuk


aroma atau rasa sesuatu yang dhahir (bukan datang dari dalam badan) – ke dalam
lubang yang terbuka.”
‘Ain yang membatalkan puasa ini bermacam-macam. Jika terkait hidung dan mulut,
‘ain bisa berupa makanan, minuman, obat, atau benda lainnya yang bisa masuk ke
rongga pencernaan atau pernapasan.
Bagaimana dengan aroma? Di atas telah disinggung bahwa aroma tidak termasuk
‘ain. Diperjelas oleh para ulama bahwa menghirup aroma uap itu tidak membatalkan
puasa, sebagaimana menghirup aroma kemenyan atau aroma masakan.
Syekh Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin menyebutkan :
َّ ‫ْس ُألَنَّه ت َ َع َّمدَه َوإ ْن ْال َج ْوف إلَى َغيْره أ َ ْو ْالبخور ك ََرائ َحة ْالفَم منَ َو َكذَا بال‬
‫شم الريح وصول لَ َيضر‬ َ ‫ َع ْينًأ لَي‬.
Artinya: “Tidak dianggap membatalkan puasa aroma yang dihirup, sebagaimana
aroma asap kemenyan atau lainnya, yang terasa mencapai tenggorokan meskipun
disengaja, karena bukan termasuk ‘ain (benda yang bisa membatalkan puasa).”
Dengan demikian, menghirup bau-bauan seperti minyak angin dan inhaler, tidak
membatalkan puasa.

40

Anda mungkin juga menyukai