Anda di halaman 1dari 41

Laporan Tutorial

Skenario 1 Blok 3.3


Kelainan pada Sistem Respirasi

KELOMPOK 5B
Aditya Wahyu Prasetyo G1A117055
Ni Nyoman Astrid T B G1A117066
Jelica Oktaviani G1A117085
Anandha Rizka Amalia G1A117092
Brilianti Viapita G1A117104
Ilza Rohadatul Aysi G1A117114
Bayu Aji Pamungkas G1A117124
Resty Tri Arini G1A117116

Dosen pembimbing :
dr. Patrick W. Gading, Sp. KFR

Program Studi Pendidikan Dokter


Universitas Jambi
2018/2019
SKENARIO

“Ngik-Ngik”

Tn Rohim, 56 Tahun datang ke UGD RS Raden Mattaher dengan keluhan sesak nafas
sejak ± 2 hari SMRS . Sebelumnya pasien sering sesak nafas jika cuaca dingin dan terapapar debu.
Awalnya sesak napas hanya timbul satu bulan sekali tapi lama-lama frekuensi sesak semakin
sering terutama dua tahun terakhir ini. Dan sejak tiga bulan terakhir, sesak napas datang setiap
hari. Sesak napas dirasakan memberat pada malam hari pada saat cuaca dingin, terpapar debu atau
jika pasien kelelahan. Dan hampir setiap malam sesak napas datang. Selain sesak pasien juga
mengeluh adanya batuk berdahak berwarna putih desertai bunyi ngik- ngik (mengi) saat bernafas,
rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas. Pasien mulai sering sesak
napas saat kecil.

Selama beberapa bulan terakhir ini pasien rutin menggunakan obat dari hasil kontrol ke
Poliklinik Paru RSUD Raden Mattaher. Pasien mendapat obat dari dokter , namun pasien tidak
tahu nama obatnya dan digunakan jika pasien sesak saja. Pasien tidak mempunyai riwayat
merokok, dan orang tua pasien mempunyai riwayat yang sama dengan pasien.
I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Sesak napas : adanya gangguan sulit bernapas kurang dai 18x/menit, perasaan tertekan
sehingga sulit bernapas dan perasaan tidak nyaman saat sedang melakukan aktifitas fisik

2. Mengi : suara yang timbul saat terjadinya penyempitan saluran napas, bunyi suara
wheezing

3. Dahak : lender bebas pada membrane mucosa, yang terdiri dari sekresi kelenjar, berbagai
garam, sel yang berdeskuamasi, dan leukosit yang dikeluarkan karena produksi perlebihan
yang dapat menghambat jalan napas.

4. Batuk : reflex fisiologis untuk mengeluarkan secret dari saluran napas, mekanisme
pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing atau allergen dari dalam tubuh.

5. Terpapar : terkena benda asing baik padar, cair, radiaso


II. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana mekanisme sesak napas?


2. Apa hubungan antara sesak napas, cuaca dingin dan debu?
3. Apasaja hal yang menyebabkan terjadinya sesak napas?
4. Bagaimana etiologi dari penyakit yang dialami Tn. Robin?
5. Apa hubungan sesak napas, batuk bedahak dan bunyi mengi?
6. Apa diagnosis sementara dari penyakit Tn. Robin? Dan bagaimana karakteristik
penyakit yang terdapat pada kasus ini dan diagnosis pembanding, serta
pemeriksaan penunjangnya?
7. Apasaja jenis jenis sesak napas?
8. Apa saja jenis jenis batuk?
9. Bagaiman terapi atau pengobatan kasus ini?
10. Bagaimana epidemiologi, pathogenesis dan manifestasi linis untuk penyakit pada
kasus ini?
11. Apa hubungan penyakit Tn. Robin dengan riwayat penyakit orang tua nya?
12. Apakah penyebab sesak napas lain selain adanya obstruksi saluran napas?
III. CURAH PENDAPAT

1. Bagaimana mekanisme sesak napas?


Jawab :
Awalnya karena obtruksi saluran napas, hipersekresi mucus sehingga
terjadinya penyempitan saluran napas.

2. Apa hubungan antara sesak napas, cuaca dingin dan debu?


Jawab :

Pada saat menghirup debu maka respon inflamasi akan aktif →


hipersensitivitas saluran nafas → bronkokonstriksi, edema mukosa, hipersekresi
mucus bronkus → batuk, berdahak, wheezing, sesak nafas.

Cuaca dingin merupakan salah satu faktor yang memperburuk serangan


asma. Pada saat menghirup udara dari cuaca yang dingin → saluran nafas akan
menghangatkan udara dengan mensekresikan mucus disepanjang saluran nafas →
menyebabkan penyempitan lumen saluran nafas sehingga akan memperburuk
terjadinya asma.

3. Apasaja hal yang menyebabkan terjadinya sesak napas?


Jawab :
Penyempitan saluran napas karena inflamasi, keadaan dimana rendahnya
level oksigen (hipoksia), peningkatan retensi saluran napas pada kondisi tertentu,
penurunan volume udara yang dapat keluar-masuk alveoli.
4. Bagaimana etiologi dari penyakit yang dialami Tn. Robin?

Sampai saat ini, pathogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan
pasti, namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan

5. Apa hubungan sesak napas, batuk bedahak dan bunyi mengi?

Jawab :

Pada saat pajanan masuk ke saluran napas, tubuh membuat refleks fisiologi
berupa inflamasi yang menyebabkan penyempitan saluran napas, sehingga jalan
napas menyempit, dan menyebabkan udara sulit untuk keluar-masuk sehingga
terjadinya sesak napas.

Tingginya tekanan udara di saluran napas, karena saluran menyempit,


membuat terjadinya turbelensi udara yang menggetarkan mucus sehinga timbul
suara mengi, dan batuk berdahak merupakan mediator untuk mengeluarkan zat
asing tersebut.

6. Apa diagnosis sementara dari penyakit Tn. Robin? Dan bagaimana karakteristik
karakteristik penyakit yang terdapat pada kasus ini serta pemeriksaan
penunjangnya?
Jawab :
Diagnosis sementara : Asma bronkial dengan karakteristik obstruksi saluran
napas yang reversible, inflamasi saluran napas dan peningkatan respon saluran
napas terhadap berhagai rangsangan (hipereaktivitas)

7. Apasaja jenis jenis sesak napas?


Jawab :
Sesak nafas dapat dibedakan berdasarkan perubahan posisi. Berdasarkan
perubahan posisi sesak nafas dibedakan menjadi 3 yaitu ortopneu, platipneu, dan
trepopneu.

8. Apa saja jenis jenis batuk?


Jawab :

Batuk dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu berdasarkan waktu


dan tanda klinis. Berdasarkan waktu batuk dibedakan menjadi batuk akut dan batuk
kronis. Sedangkan berdasarkan tanda klinis batuk dibedakan menjadi batuk
berdahak dan batuk kering.

9. Bagaiman aterapi atau pengobatan kasus ini?


Jawab :

Berdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, pengobatan seperti


bronkodilator dan steroid diperlukan, strategi pengobatan asma dapat ditinjau dari
berbagai pendekatan, seperti
1. mengurangi respons saluran napas, mencegah ikatan alergen dengan IgE.
2. mencegah penglepasan mediator kimia, dan merelaksasi otot-otot polos
bronkus.
3. Mencegah Pelepasan Mediator Premedikasi dengan natrium kromolin.
4. Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator Simpatomimetik.
5. Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas

10. Bagaimana epidemiologi, pathogenesis dan manifestasi klinis untuk penyakit pada
kasus ini?
Jawab :
1. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Pada SKRT
1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000
penduduk.
2. Pathogenesis
Dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang
berlebihan.
3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, mengi, dan sesak
napas.

11. Apa hubungan penyakit Tn. Robin dengan riwayat penyakit orang tua nya?
Jawab :
Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi
antibodi IgE yang berlebihan.

12. Apakah penyebab sesak napas lain selain adanya obstruksi saluran napas?
Jawab :
Penyakit paru difus dapat diklasifikasikan menjadi 2 katagori, yaitu :
penyakit obstruktif (karena hambatan) jalan napas, ditandai oleh terhambatnya
aliran udara dan penyakit restriktif (karena pembatasan), ditandai oleh terbatasnya
pengembangan parenkim paru, yang disertai berkurangnya kapastitas paru total.
IV. ANALISIS MASALAH

1. Bagaimana mekanisme sesak napas?


Jawab :

Mekanisme sesak napas :


Pada semua kemungkinan,beberapa mekanisme yang berbeda bekerja pada
tingkat yang berbeda dalam berbagai situasi klinis yang disertai dispnea.Terdapat
hubungan antara deskriptor sensorik dispnea dengan metode dispne yang diinduksi
pada subjek normal.Selain itu,terdapat hubungan antara kelompok deskripsi
tertentu dan proses penyakit yang menyebabkan dispnea.Sebagai contoh,pasien
dengan penyakit paru restrktif dapat mengeluh napas cepat,psien dengan gagal
jantung kongestif dapat menerangkan kebutuhan bernapas dalam,dan pasien
dengan penyakit asma mungkin paling ditekankan dengan mengi.Pada beberapa
keadaan,dispnea ditimbulkan oleh stimulasi reseptor dalam traktus respiratorius
bagian atas,pada beberapa keadaan lain,dispnea ditandai khas oleh aktivitas pusat
pernapasan abnormal atau berlebihan dalam batang otak.Aktivasi ini berasal dari
stimulus yang ditransmisi dari atau melalui variasi jaras dan struktur,yang termasuk
(1) reseptor intratoraks melalui vagus
(2) saraf somatik aferen,terutama dari otot pernapasan dan dinding
dada,tetapi juga dari otot dan sendi rangka lain
(3) kemoreseptor dalam otak,badan karotis dan aorta,dan di semua tempat
dalam sirkulasi
(4) pusat (kortikal) yang lebih tinggi
(5) serat aferen dalam saraf frenikus .

2. Apa hubungan antara sesak napas, cuaca dingin dan debu?


Jawab :

Debu merupakan salah satu faktor pencetus yang menyebabkan sarangan


asma. Pada saat menghirup debu maka respon inflamasi akan aktif →
hipersensitivitas saluran nafas → bronkokonstriksi, edema mukosa, hipersekresi
mucus bronkus → batuk, berdahak, wheezing, sesak nafas.

Cuaca dingin merupakan salah satu faktor yang memperburuk serangan


asma. Pada saat menghirup udara dari cuaca yang dingin → saluran nafas akan
menghangatkan udara dengan mensekresikan mucus disepanjang saluran nafas →
menyebabkan penyempitan lumen saluran nafas sehingga akan memperburuk
terjadinya asma.

3. Apasaja hal yang menyebabkan terjadinya sesak napas?


Jawab :

Sesak nafas dapat dicetuskan beberapa hal, yaitu:


a) Peningkatan kebutuhan pernafasan, seperti saat latihan, demam, keadaan
hipoksia, anemia berat, asidosis metabolic.
b) Penurunan kapasitas ventilasi seperti efusi pleura, pneumotoraks, massa
intratoraks, trauma tulang uga atau kelemahan otot
c) Peningkatan resistensi saluran nafas seperti pada asma atau PPOK
d) Penurunan compliance paru, seperti pada fibrosis interstisial atau
e) edema paru.
Namun secara umum etiologi (penyebab) sesak nafas antara lain:
a) System kardiovaskular : gagal jantung
b) System pernafasan : PPOK, penyakit parenkim paru, dll
c) Psikologis seperti kecemasan
d) Hematologi seperti anemia kronik
e) Lingkungan dan kebiasaan seperti latihan berat, demam

4. Bagaimana etiologi dari penyakit yang dialami Tn. Robin?


Jawab :
Sampai saat ini pathogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan
pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma
adalah inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas.
Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa
sakit karena rangsangan sensoris, dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-
akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai dengan satu syarat, yaitu inflitrasi
sel radang. Dan ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa
membedakan penyebabnya baik alergik maupun non-alergik.
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu),
zat kimia (histamine, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani).

5. Apa hubungan sesak napas, batuk bedahak dan bunyi mengi?


Jawab :

Refleks fisiologi tubuh saat benda asing masuk kedalam tubuh seperti asap/debu,
akan terjadi penyempitan saluran nafas, sehingga jalan nafas menyempit dan terjadi sesak
nafas dan menyebabkan udara akan sulit masuk dan keluar, dan membuat tekanan
didalam saluran pernafasan tinggi, pada saat dilakukan usaha untuk bernafas, maka akan
terjadi turbelensi udara di dalam saluran nafas yang menggetarkan mukus, sehingga
menghasilkan bunyi mengi. Batuk berdahak merupakan mediator untuk mengeluarkan zat
asing tersebut.

6. Apa diagnosis sementara dari penyakit Tn. Robin? Dan bagaimana karakteristik
karakteristik penyakit yang terdapat pada kasus ini serta pemeriksaan
penunjangnya?
Jawab :

Diagnosis asma pada Tn. Rohim didasarkan pada riwayat penyakit,


pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit tersebut
dijumpai keluhan sesak nafas sejak lebih kurang 2 hari, sering sesak nafas pada
cuaca dingin terpapar debu. Sesak nafas meningkaan dan dirasakan hampir setiap
hari. Memberat pada malam hari saat cuaca dingin, terpapar debu dan jika
kelelahan. Batuk berdahak warna putih disertai bungi ngik-ngik/mengi saat
bernafas, rasa tertekan didada, gangguan tidur karena batuk atau sesak nafas. Pasien
tidak mempunyai riwayat merokok. Jadi, dari gambaran klinis Tn. Rohim dapat
ditegakkan diagnosa berupa asma bronkial persisten berat. Gejala asma sering
timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya
gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-
faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui faktor pencetus kemudian
menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat
dicegah.

Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu: Infeksi virus saluran napas:


influenza Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi Kegiatan jasmani: lari
Ekspresi emosional takut, marah, frustasi Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-
inflamasi nonsteroid Lingkungan kerja: uap zat kimia Polusi udara: asap rokok
Pengawet makanan: sulfit Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis.
Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma
serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati
ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat
selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat
bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada individu
sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari.
Jadi, dari gambaran klinis Tn. Rohim dapat ditegakkan diagnosa berupa asma
bronkial persisten berat.

Pemeriksaan penunjang asma bronkial antara lain :


1) Spirometri.
Dengan cara melihat respons pasien setelah di berikan obat
bronkodilator. Jika di berikan bronkoditor hirup (nedbulizer atau
inhaler) pasien mengalami peningkatan VEP1 (Volume
ekspirasi paksa detik pertama) atau KVP (Kapasitas vital paksa)
sebesar 20 % maka menunjukkan diagnosa asma. Sedang jika
respons kurang dari 20 % itu bearti bukan asma.
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan
manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan
penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan
kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas
diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :


a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/
KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
b. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1  15% secara
spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator
oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
c. Menilai derajat berat asma
LANGKAH KLINIK

1. Persiapan Tindakan
a. Bahan dan Alat :
a) Alat spirometer yang telah dikalibrasi untuk volume dan arus minimal 1 kali dalam
seminggu.
b) Mouth piece sekali pakai.
b. Pasien :
a) Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan
b) Tidak boleh makan terlalu kenyang, sesaat sebelum pemeriksaan
c) Tidak boleh berpakaian terlalu ketat
c) Penggunaan bronkodilator kerja singkat terakhir minimal 8 jam sebelum
pemeriksaan dan 24 jam untuk bronklodilator kerja panjang.
d) Memasukkan data ke dalam alat spirometri, data berikut :
i. Identitas diri (Nama)
ii. Jenis kelamin
iii. Umur
iv. Berat badan
v. Tinggi badan
vi. Suhu ruangan
c. Ruang dan fasilitas :
a) Ruangan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik
b) Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh <170C atau >400C
c) Pemeriksaan terhadap pasien yang dicurigai menderita penyakit infeksi saluran
napas dilakukan pada urutan terakhir dan setelah itu harus dilakukan tindakan
antiseptik pada alat.

2. Prosedur Tindakan
a. Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan berdasarkan
nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
b. Pemeriksaan sebaliknya dilakukan dalam posisi berdiri
c. Penilaian meliputi pemeriksaan VC, FVC, FEV1, MVV :

Kapasitas vital (Vital Capasity, VC)

i. Pilih pemeriksaan kapasitas vital pada alat spirometri


ii. Menerangkan manuver yang akan dilakukan
iii. Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran
iv. Instruksikan pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara
dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mouthpiece
v. Manuver dilakukan minimal 3 kali

Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capasity, FVC) dan Volume ekspirasi paksa
detik pertama (Forced Expiratory Volume in One Second, FEV1)

i. Pilih pemeriksaan FVC pada alat spirometri


ii. Menerangkan manuver yang akan dilakukan
iii. Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran
iv. Istruksikan pasien menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat
kemudian sesegera mungkin udara dikeluarkan melalui mouth piece dengan
tenaga maksimal hingga udara dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya
v. Nilai FEV1 ditentukan dari FVC dalam 1 detik pertama (otomatis)
vi. Pemeriksaan dilakukan 3 kali

Maksimal Voluntary Ventilation (MVV)

i. Pilih pemeriksaan MVV pada alat spirometri


ii. Menerangkan manuver yang akan dilakukan
iii. Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran
iv. Instruksikan pasien bernapas cepat dan dalam selama 15 detik
v. Manuver dilakukan 1 kali

d. Menampilkan hasil di layar spirometri dan mencetak hasil grafik.


e. Menentukan interpretasi hasil uji faal paru (spirometri).

2) Uji kulit.
Tujuannya untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin.
Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi
dengan allergen akan menimbulkan hubungan silang antara
allergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya
mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai
preformed dan newly generated mediator. Histamin merupakan
mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan
kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi kemerahan
kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit
dan mereda setelah 20-30 menit.

Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit,yaitu :


a. Uji kulit intradermal

0,01-0,02 ml ekstrak allergen disuntikkan ke dalam


lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3
mm.Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan berangsur dengan
konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.
Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin
prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk
alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi
anafilaksis.

b. Uji gores (scratch test):

Sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat.

c. Uji tusuk (skin prick test/SPT):

Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen


di tempat kerja, dan alergen makanan.Lokasi terbaik adalah
daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari
lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen
dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan
superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum
khusus untuk uji tusuk.

Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat


antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat
mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit.

3) Uji provokasi bronkus (saluran udara penghubung paru dan


trakea).
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk
menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus dilakukan uji
profovokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji
provokasi bronkus sepert melakukan uji provokasi dengan
metakolin, histamin, udara yang dingin, larutan garam
hipertonik, histamin, kegiatan jasmani ataupun dengan aqua
destilata. Uji dengan kegiatan jasmani dilakukan dengan
menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga
mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap
bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak
Ekspirasi) paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi
dengan allergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi
terhadap allergen yang diuji
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis
asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi
spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.

4) Uji Sputum.
Pada asma melihat adanya sputum eosinofil, sedangkan pada
bronkitis kronik sangat dominan dengan sputum neutrofil.
Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan utama
dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan
migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas asma.
Pengerahan eosinofil yang terektivasi dan mediatornya di dalam
saluran napas sangat behubungan dengan berat hipereaktiviti
bronkus. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara
langsung dengan mengukur jumlah eosinofil dan eosinophy/iic
cationic protein (ECP) atau secara tidak langsung dengan
mengukur eosinofil darah. Jumlah eosinofil sputum meningkat
sering berhubungan dengan berat derajat asma. Pemeriksaan
eosinofil sputum dan hipereaktiviti bronkus dengan metakolin
merupakan pemeriksaan objektif yang berguna untuk menilai
inflamasi saluran napas penderita asma. Penilaian proses
inflamasi pada diagnosis asma saat ini hanya menggunakan uji
provokasi bronkus untuk mengukur hipereaktiviti bronkus dan
pemeriksaan eosinofil darah, sedangkan eosinofil sputum dan
uji kulit jarang dilakukan. Beberapa cara yang dapat digunakan
untuk mendapatkan bahan pemeriksaan sel inflamasi saluran
napas yaitu secara invasif dan noninvasif. Cara invasif meliputi
kurasan bronkus, bilasan bronkus dan biopsi bronkus.
Sedangkan cara noninvasif adalah dengan induksi sputum dan
sputum spontan. 1nduksi sputum dengan garam hipertonik dapat
merangsang peningkatkan produksi sputum dengan risiko yang
Iebih kecil, aman, reproduksibel, valid dan efektif. Saat ini
hubungan antara inflamasi dan hipereaktiviti bronkus banyak
diteliti dan diperdebatkan. Beberapa peneliti menyimpulkan
terdapat hubungan yang bermakna antara hipereaktiviti bronkus
dan inflamasi saluran napas, sedangkan peneliti lain tidak
mendapatkan korelasi yang bermakna. Tetapi korelasi antara
inflamasi saluran napas dengan hipereaktiviti bronkus tidak
selalu ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara jumlah eosinofil sputum dengan hipereaktiviti bronkus
pada penderita asma alergi persisten sedang yang stabil dengan
jumlah eosinofil sputum orang sehat.
Pemeriksaan eosinofil sputum dilakukan di laboratorium
klinik yang tersertifikasi, dilakukan oleh petugas analis
kesehatan sepengetahuan peneliti serta dibawah tanggung jawab
dokter spesialis patologi klinik. Pemeriksaan menggunakan
metode Romanowsky dengan tatacara sebagai berikut:
a. Sampel sputum diambil dengan cara batuk setelah diinduksi
dengan nebulisasi larutan salin hipertonik 3%.
b. Specimen ± 1cc dimasukan ke dalam tabung reaksi yang sudah
terisi NaCl dengan perbandingan NaCl : specimen = 4:1.
c. Tabung berisi specimen dan NaCl disentrifuge ± 10-15 menit.
d. Supernatan diambil dengan pipet, kemudian dibuat sediaan
hapus pada obyek gelas.
e. Fiksasi dengan methanol absolute, biarkan kering di udara.
f. Sediaan ditetesi dengan larutan giemsa 10% sampai menutupu
seluruh permukaan, biarkan selama 5-10 menit.
g. Bilas dengan air mengalir perlahan-lahan, larutan giemsa tidak
boleh dibuang terlebih dahulu, tetapu harus dihanyutkan dengan
air.
h. Sediaan dikeringkan.
i. Penghitungan eosinofil dan neutrofil memakai cara manual
menggunakan mikroskop.
j. Mencatat hasil

5) Foto thorak (dada).


Tujuannya agar bisa menyingkirkan penyebab lain obstruksi
pada saluran nafas.
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis yang lain. Pada pasien asthma, tidak
selalu ditemui kelainan yang spesifik melalui pencitraan.Foto X-
ray toraks, umumnya tampak normal namun dapat ditemukan
gambaran hiperinflasi atau penebalan dinding bronkial walau
tidak spesifik untuk asthma.CT-Scan toraks, digunakan untuk
menilai kelainan minimal yang tidak dapat ditentukan melalui
foto toraks, seperti bronkiolitis, bronkiektasis,
trakeobronkomalasia, dan kelainan pembuluh darah.

6) Uji Gas darah.


Hanya di lakukan pada pasien yang mengalami asma berat.
Terjadi hipoksemia dan Hiperkapnia

Menggunakan metode Allen’s Test : Cara allen’s test:

Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan


tekanan langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk
membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna
jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah
dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test allen’s positif.
Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test
allen’s negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut
dan periksa tangan yang lain.
Komplikasi
i. Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan
menimbulkan nyeri
ii. Perdarahan
iii. Cidera syaraf
iv. Spasme arteri

a. Darah Yang diambil 2 cc ditambah 1 Strip


b. Yang harus diisi dalam blanko pemeriksaan : Identitas pasien,
Suhu tubuh pasien, Hb terakhir dan kalau pasien menggunakan
oksigen catat jumlah O2 yang digunakan serta cara pemberiannya
dan Jenis permintaan.

Tekhnik Pengambilan :
1. Bentangkan handuk pengalas.
2. Letakkan botol infus
3. Tangan pasien diletakkan diatas botol infus, dengan sendi
melipat kebelakang.
4. Sedot heparin cair sebanyak 1 cc dan kmudian keluarkan.
Heparin hanya membasahi dinding disposible. Tidak ada
sisa o,1 cc dalam disposible, kecuali yang ada didalam
jarum.
5. Raba Nadi dengan menggunakan jari telunjuk dan jari
tengah.
6. Pastikan tempat dari nadi yang diraba.
7. Desinfeksi daerah tersebut
8. Desinfeksi kedua jari
9. Pegang disposible seperti memegang pensil.
10. Raba kembali Nadi dengan menggunakan kedua yang telah
didesinfeksi.
11. Tusukan jarum diantara kedsua jari dengan sudut
45 0 mengarah ke jantung.
12. Biarkan Darah sendiiri mengalir ke dalam jarum. Jangan
diaspirasi.
13. Cabut jarum dan tusukkan pada karet penutup.
14. Tekan daerah penusukan dengan menggunakan kapas
betadine selama 5 menit.
15. Beri etiket dan bawa ke laboraotirum.

Interpretasi Hasil AGD


Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:
1. pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis
atau alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.
2. PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah
menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat.
PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen
tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg
3. PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat
metabolisme normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi.
PCO2 yang tinggi menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula
sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi
abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2
adalah 35-45 mmHg
4. HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme,
seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis
metabolik dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi
abnormal ketika ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH
kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada
dalam rentang 22-26 mmol/l
5. Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang
harus ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH
7,4 pada kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0.
BE bernilai positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan
sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis
metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l
6. Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat
oksigen. Nilai normalnya adalah 95-98 %.

Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat


keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan
kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi
asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada
keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau
intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah
keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi
kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.
Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga
pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi,
sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi
dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat
hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab
hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik
akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi
bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik.
Alkalosis metabolik
Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang
meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya
kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik
akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau
hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan
mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan
pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan.
Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal,
karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.

7. Apasaja jenis jenis sesak napas?


Jawab :

Penyakit sesak nafas berdasarkan perubahan posisi tubuh dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Ortopneu : terjadi pada posisi berbaring


2) Platipneu : terjadi pada posisi tegak dan akan membaik jika
penderita berbaring.
3) Trepopneu : terjadi jika seseorang yang bertumpu sebelah sisi
maka akan merasa lebih enak.

8. Apa saja jenis jenis batuk?


Jawab :

Penyakit batuk dapat dibedakan berdasarkan waktu yaitu batuk akut yang
berlangsung selama kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut yang berlangsung
selama tiga hingga delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama lebih dari
delapan minggu.

A. Batuk Akut
Penyakit batuk akut biasanya terjadi selama kurang dari tiga minggu
dan merupakan simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik
dokter. Kebanyakan kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus
respiratori yang merupakan self-limiting dan bisa sembuh selama
seminggu.
B. Batuk Kronis
Pada penyakit batuk kronis biasanya berlangsung selama lebih dari
delapan minggu. Batuk yang berlangsung secara berterusan akan
menyebabkan kualitas hidup menurun yang akan membawakepada
pengasingan sosial dan depresi klinikal (Penyebab sering dari batuk kronis
adalah penyakit refluks gastroesofagus, rinosinusitis dan asma.

Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi 2, yaitu :

A. Batuk kering
Penyakit batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan
untuk membersihkan saluran nafas. Batuk ini biasanya terjadi karena
mendapat rangsangan dari luar

B. Batuk berdahak
Batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme
pengeluaran mukus atau benda asing di saluran napas

9. Bagaiman aterapi atau pengobatan kasus ini?


Jawab :

Berdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asma


dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respons saluran napas,
mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan
merelaksasi otot-otot polos bronkus. Mencegah Ikatan AlergenlgE Menghindari
alergen, tampaknya sederhana, tetapi sering sukar dilakukan. Hiposensitisasi,
dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin ditingkatkan
diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan mencegah
ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang dewasa
saat ini masih diragukan.
Mencegah Pelepasan Mediator Premedikasi dengan natrium kromolin dapat
mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin
mekanisme kerjanya diduga mencega h pelepasan mediator dari mastosit. Obat
tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi. Oleh karena itu
hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan. Natrium kromolin
paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi. meskipun juga efektif
pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Obat 31
golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilatorjuga
dapat mencegah penglepasan mediator.
Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator Simpatomimetik: 1).
Agonis beta 2 (salbutamol, ter-butalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat
terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara inhalasi
melalui MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer; 2). Epinefrin diberikan sub-
kutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang berat. Dianjurkan
hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda. Aminofilin dipakai sewaktu
serangan asma akut. Diberikan dosis awal , diikuti dengan dosis pemeliharaan.
Kortikosteroid Sistemik . Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara
tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut
atau terapi pemeliharaan asma yang berat. Antikolinergik (ipatropium bromida)
terutama dipakai sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan
asma2.
Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma, baik yang ringan maupun yang
berat, menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan
adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut.
Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik
dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara
oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik. Obat-obat anti-
asma. Pada dasarnya obat-obat anti-asma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma2.
Fungsi penggunaan obat anti-asma antara lain :
1. Pencegah (controller)
Yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala
asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti-
inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti-
inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif
sebagai pencegah. Obat-obat antialergi, bronkodilator atau obat golongan
lain sering dianggap termasuk obat pencegah. Hal ini sebenarnya kurang
tepat, karena obat-obat tersebu. Mencegah dalam ruang lingkup yang
terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma
kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan
memperbaiki kualitas hidup. Obat antiinflamasi dapat mencegah terjadinya
inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan
antiinflamasi jangka panjang, ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan
fungsi paru serta penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan
bronkodilator.
Termasuk golongan obat pencegah adalah2:
a. kortikosteroid hirup,
b. kortikosteroid sistemik,
c. natrium kromolin,
d. natrium nedokromil,
e. teofilin lepas lambat (TLL),
f. agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol)
dan oral, dan
g. obat-obat anti alergi.
h. Falmaterol,
i. antileukotrien dan
j. anti-lgE
2. Penghilang gejala (reliever).
Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi
bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera.
Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek (short-
acting), kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek,
agonis beta 2 oral kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol,
terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut, serta
dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani bila diberikan
sebelum kegiatan jasmani.

Tabel 1. Obat asma yang tersedia di Indonesia (tahun 2004)


Jenis Obat Golongan Nama Generik Bentuk/ kemasan obat

Pengontrol
Antiinflamasi
Steroid Inhalasi Flutikason propionat IDT
Budesonide IDT, Turbuhaler
Kromolin IDT
Sodium kromoglikat Nedokromil IDT
Nedokromil Zafirlukast Oral (tablet)
Antileukotrin Metilprednisolon Oral ,Injeksi
Kortikosteroid Prednisolon Oral
sistemik
Prokaterol Oral
Agonis beta-2 kerja
Bambuterol Oral
lama
Formoterol Turbuhaler

Pelega
Bronkodilator
Salbutamol Oral, IDT, rotacap,
Agonis beta-2 kerja
rotadisk, Solutio
singkat
Terbutalin
Oral, IDT, Turbuhaler,
solutio
Prokaterol
Ampul (injeksi)
Fenoterol
IDT
IDT, solution
Antikolinergik Ipratropium bromide
Metilsantin Teofilin
IDT, Solutio
Aminofilin
Oral
Teofilin lepas lambat
Oral, Injeksi
Agonis beta-2 kerja
lama Oral
Formoterol
Kortikosteroid
Metilprednisolon
sistemik
Turbuhaler
Prednison
Oral, injeksi
Oral

Keterangan tabel 1.
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose Inhaler / MDI , dapat digunakan
bersama dengan spacer
Solutio: larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebulizer
Oral : dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi : dapat untuk pengggunaan subkutan, im dan iv
Tabel 2 . Sediaan dan dosis obat pengontrol asma
Tabel 3. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma
10. Bagaimana epidemiologi, pathogenesis dan manifestasi linis untuk penyakit pada
kasus ini?
Jawab :
EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada
anak-anak.
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh
penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada
SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000
penduduk.

PATHOGENESIS
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti,
namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas.
Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa
sakit karena rangsangan sensoris, dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-
akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai dengan satu syarat, yaitu inflitrasi
sel radang. Dan ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa
membedakan penyebabnya baik alergik maupun non-alergik.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, baik asma alergik maupun non
alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran naoas. Oleh karena
itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonomy. Pada jalur
IgE, masuknya allergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (antigen presenting
cell), untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan dikomukasikan kepada sel Th (T
penolong) Sel T helper inilah yang akan memberikan intruksi melalui inteleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinophil, neutrophil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator –mediator inflamasi seperti histamine,
prostaglandin, leukotrin, platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksan
(TX) dan lain lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel sel
radang, sekresi mucus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran napas. Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi,
juga merangsang system saraf autono dengan hasil akhir beruoa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas.

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada,
dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya
batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau
uji provokasi bronkus dengan metakolin.

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola


keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 4).

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang


telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.
Tabel 5 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita
yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai
dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.
Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran
klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut
adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan
tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma intemiten (lihat tabel 5).
Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis
pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma,
dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula
penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan
sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.
Tabel 4. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(Sebelum Pengobatan)
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten
Bulanan APE  80%
* Gejala < 1x/minggu *  2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi
* Tanpa gejala di luar APE  80% nilai terbaik
serangan * Variabiliti APE < 20%
* Serangan singkat

II. Persisten
Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali sebulan * VEP1  80% nilai prediksi
tetapi < 1x/ hari APE  80% nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabiliti APE 20-30%
mengganggu aktiviti
dan tidur

III. Persisten
Sedang Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari * > 1x / seminggu * VEP1 60-80% nilai
* Serangan mengganggu prediksi
aktiviti dan tidur APE 60-80% nilai terbaik
*Membutuhkan * Variabiliti APE > 30%
bronkodilator
setiap hari

IV. Persisten
Berat Kontinyu APE  60%
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1  60% nilai prediksi
* Sering kambuh APE  60% nilai terbaik
* Aktiviti fisik terbatas * Variabiliti APE > 30%
Tabel 5. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam
pengobatan
Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian
Tahap I Tahap 2 Tahap 3
Gejala dan Faal paru dalam Intermiten Persisten Persisten sedang
Pengobatan Ringan

Tahap I : Intermiten Intermiten Persisten Persisten Sedang


Gejala < 1x/ mgg Ringan
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/ bln
Faal paru normal di luar serangan

Tahap II : Persisten Ringan Persisten Persisten Persisten Berat


Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ hari Ringan Sedang
Gejala malam >2x/bln, tetapi <1x/mgg
Faal paru normal di luar serangan

Tahap III: Persisten Sedang Persisten Persisten Berat Persisten Berat


Gejala setiap hari Sedang
Serangan mempengaruhi aktiviti dan
tidur
Gejala malam > 1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik

Tahap IV: Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat
Gejala terus menerus
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau
APE ≤ 60% nilai terbaik

11. Apa hubungan penyakit Tn. Robin dengan riwayat penyakit orang tua nya?

Jawab :
Mengalami asma ektrinsik atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil
pasien dewasa, dan disebabkan oleh allergen yang diketahui. Bentuk ini
biasanyadimulai pada masa kanak-kanak dengan keluarga yang mempunyai
riwayat penyakit atopic termasuk ay fever, eczema, dermatitis, dan asma. Asma
alergik disebabkan oleh kepekaan individu terhadap allergen (biasanya protein)
dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, spora jamur, debu,
serat kain, atau yang lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat.
Pajanan terhadap allergen, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat
mengakibatkan serangan asma. Pada sebagian besar penderita asma, ditemukan
riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering dipicu oleh pemajanan
terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi, jika ditelusuri
ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini
menimbulkan pandapat bahwa terdapat faktor genetik yang mnyebabkan seorang
mnderita asma. Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan
memproduksi antibodi IgE yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai
predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut mempunyai sifat atopik. Gen yg
terlibat dalam asma dan atopi IRF2, IL-3, II-4, HLAD DLL.
Adanya riwayat asma pada keluarga akan meningkatkan resiko anak untuk
menderita asma. Riwayat asma pada kedua orang tua akan meningkatkan resiko
anak terkena asma sebesar 8,2 kali, sedangkan salah satu orang tua dengan riwayat
asma akan meningkatkan resiko 4,24 kali dibandingkan anak dengan orang tua
yang tidak memiliki riwayat asma.

presentase penderita asma


0%

7%
kedua orang tua
penderita asma

32% salah satu orang tua


menderita asma
61%
tidak ada orang tua
yang menderita asma
12. Apakah penyebab sesak napas lain selain adanya obstruksi saluran napas?
Jawab :
Penyakit paru difus dapat diklasifikasikan menjadi 2 katagori, yaitu :
penyakit obstruktif (karena hambatan) jalan napas, ditandai oleh terhambatnya
aliran udara dan penyakit restriktif (karena pembatasan), ditandai oleh terbatasnya
pengembangan parenkim paru, yang disertai berkurangnya kapastitas paru total.
Pada penyakit restriktf difus, FVC berkurang dan tingkat aliran ekspirasi
normal atau secara proporsional berkurang. Sehingga, rasio FEV terhadap FVC
hamper normal. Defek restriktif terjadi pada dua kondisi umum : (1) gangguan
dinding dada dengan kondisi paru normal (misalnya, pada obesitas berat, penyakit
pleura, dan gangguan neuromuscular, seperti sindrom Guillain-Barre, yang
memengaruhi otot respirasi, dan (2) penyakit paru interstisialis akut atau kronik.
Penyakit restriktif akut yang klasik adalah ARDS. Penyakit retruksif kronik
mencakup pneumoconiosis, fibrosis interstisialis dengan etiologi tidak diketahui,
dan sebagian besar kondisi infiltrasi (missal, sarkoidosis)
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman. 2010. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, 31th Ed, Jakarta: EGC

Kumar, Abbas, Aster. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins, 9th Ed, Jakarta: ELSEVIER

Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing

Ikawati, Z. 2009. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan. Pustaka Adipura: Yogyakarta

Tanjung, Dudut, S.Kp. 2003. Jurnal Asuhan Keperawatan Asma Bronchial FK USU

Persentase Asma pada Anak dengan orang tua asma atau tidak. 2015.www.jurnalkesmas.ui.ac.id.

Danusantoso H. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates

Tim Respirasi FK UNHAS. 2015. Keterampilan Klinis Uji Faal Paru. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin [via :www.med.unhas.ac.id]

Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. Perhimpuan Dokter Paru
Indonesia [via:www.klikpdpi.com]
Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. 2009. Jurnal oleh :
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta [via:staf.ui.ac.id]

Hubungan antara jumlah eosinofil sputum dengan hiperaktiviti bronkus pada asma alergi persisten
sedang di RS Persahabatan. Jurnal oleh : Pahala Manurung. Perpustakaan Universitas Indonesia.
[via:www.lib.ui.ac.id]

Perbandingan Jumlah Eosinofil, Neutrofil Sputum dan Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama
Akibat pemberian Vitamin C pada Asma. 2013. Tesis Oleh : Imron Riyanto. Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. [via:perpustakaan.uns.ac.id]

Sukmana Nanang. Asma Bronchial. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, Jakarta, Agustus, 2001

Irawan, Hadi. 2000. Uji Laboratorium Klinik. Bandung: Yrama WidyaSupomo, Kuncoro.
1995. Analyzer Blood Gas. Jakarta: D-Medika

Raslan, Widodo. 1998. Analisa Gas Darah. Surakarta : Sindhunata.

WHO Guidelines on Drawing Blood: Best Practices in Phlebotomy. 2010. World Health
Ogranization [via: www.ncbi.nlm.nih.gov]

Anda mungkin juga menyukai