Anda di halaman 1dari 20

KELOMPOK : A-4

KETUA : Farsya Umari Latuconsina (1102018046)

SEKRETARIS : Laras Amanda Putri (1102018040)

ANGGOTA :
- Airin Bismarullah Putri (1102018166)
- Halimatus Sadiyah (1102018034)
- Farrel Athariq Athallah (1102018036)
- Ratu Bionika (1102018044)
- Yuyun Khairunnisa (1102018037)
- Hanun Hanifah (1102018047)
- Shafa Zhafira Arianda (1102018038)
- Dika Utama (1102018171)
SKENARIO 1

BENGKAK LUTUT KANAN

Seorang pria, 45 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan bengkak dan nyeri
pada lutut kanan sejak 6 hari sebelumnya. Keluhan yang sama hilang timbul sejak 5 tahun yang
lalu. Keluhan lainnya demam terkadang, selera makan menurun. Pada pemeriksaan fisik di
dapatkan edem dan kalor pada lutut kanan. Pemeriksan fisik lain tidak di dapatkan kelainan.
Dokter menduga pasien menderita Artritis Rheumatoid. Kemudian dokter menyarankan
pemeriksaan laboratorium hematologic untuk follow up pemeriksaan serta terapi. Dokter
menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan
penanganan seumur hidup.
KATA SULIT

1. Artritis rheumatoid: peradangan sendi akibat system kekebalan tubuh yang menyerang
jaringannya sendiri. Radang sendi ini menimbulkan keluhan bengkak dan nyeri sendi
serta terasa kaku.

2. Edem: pengumpulan cairan secara abnormal di ruang interstisial tubuh.

3. Kalor: panas. Salah satu tanda peradangan.

4. Demam: peningkatan suhu atau temperature tubuh di atas normal.

5. Pemeriksaan Hematologi: pemeriksan yang bertujuan untuk mengetahui kelainan dari


kuantitas dan kualitas sel darah merah, sel darah putih dan trombosit juga menguji
perubahan pada plasma yang berperan dalam proses pembekuan darah.
PERTANYAAN

1. Mengapa pasien dapat menderita Artritis Rheumatoid?

2. Mengapa penanganan pasien harus seumur hidup?

3. Apa saja factor penyebab Artritis Rheumatoid?

4. Apa saja gejala Artritis Rheumatoid?

5. Apa tujuan pemberian terapi pada Artritis Rheumatoid?


?
6. Mengapa pasien perlu di periksa hematologinya?

7. Terapi apa saja yang dapat di lakukan?

8. Mengapa pasien merasa nyeri?

9. Apa yang menyebab pasien demam?

10. Mengapa penyakit hilang timbul dalam 5 tahun?

11. Apakah bisa terjadi di lutut kiri juga? Atau hanya lutut kanan?

12. Mengapa pasien edem dan kalor pada lutut kanan?


JAWABAN

1. Autoimun: kondisi ini di sebablan oleh system kekebalan tubuh yang menyerang
jaringan tubuh.

2. karena penyakit ini akan terus menerus tumbuh dan tidak dapat di sembuhkan.

3. Genetic, usia, hormone, lingkungan, gaya hidup, dan system kekebalan tubuh.

4. Pembengkakan sendi, nyeri sendi, sendi kaku, berat badan turun, demam, hilang nafsu
makan, perubahan ukuran sendi, kemerahan dan rasa hangat pada sendi dan sendi
kehilangan fungsinya.

5. Menghambat penyebaran dan peradangan factor – factor AR dan untuk


mempertahankan factor fungsional.

6. Karena pemeriksaan hematologic ada pemeriksaan LED sel darah putih, sel darah
merah, dan hapus darah tepi.

7. Terapi anti inflamasi, analgetik, OAINS.

8. Terjadinya inflamasi atau timbulnya pannus (berasal dari membran synovial yang
mengalami inflamasi) yang merusak rawan sendi dan tulang.

9. Inflamasi

10. Karena penyakit kronis dengan exsaserbasi akut.

11. Bisa terjadi di kedua – keduanya dan bisa terjadi pada sendi ekstermitas.

12. Karena merupakan proses terjadinya inflamasi.


HIPOTESIS

Artritis Rheumatoid penyakit autoimun yang menyerang persendian ekstermitas, yang


menyebabkan inflamasi. Pemeriksaan yang dapat di lakukan berupa pemeriksaan fisik dan
penunjang. AR dapat di tangani dengan terapi farmako dan non farmako. Pasien di harapkan
bersabar dalam menghadapi penyakit ini.
LO1. MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN AUTOIMUN

1.1. Definisi
Autoimun adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh
kegagalan mekanisme mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Sekitar 3.5%
orang menderita penyakit autoimun, 94% berupa penyakit Graves (hipertiroidism), diabetes
melitus tipe I, anemia pernisiosa, arthritis rheumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multiple dan
LES. Fenomena ini menyebabkan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang
disebabkan oleh respons autoimun. Respons autoimun tidak selalu disertai penyakit atau
penyakit yang menimbulkan mekanisme.
Penyakit autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah
mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap
sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.

1.2. Etiologi

Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit autoimun
- Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun
yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga
dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun
hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan
gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis
atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan
kerusakannya. Hubungan antara gen dengan autoimun juga melibatkan varian
atau alel dari MHC.

- Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara
lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.

- Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun
mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti
klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus.
Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan
estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens
penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria.
Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada
manusia dan hewan percobaan memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut
lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan
betina, atau jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan
respons imun spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi
estrogen kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada
wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas
estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon wanita.
Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16α-hidroksil dari
16α-hidrokslestron dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal.
Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama
terhadap sel T.

- Infeksi
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi
secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan
berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel
subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan akibat insersi
antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap komponen
antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling
sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus,
virus hepatitis, CMV, virus coxsackie, retrovirus, dll.

- Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat
mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting
untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik
berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu, dengan
proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas biasanya
reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat
berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.

- Agen fisik lain


Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)
merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan
sistemik pada SLE, namun radiasi lebih bersifat menyebabkan flare dalam
respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab. Pemicu lain
yang diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stress psikologis
dan faktor diet.

1.3.Patofisiologi

• Proses dasar: melibatkan perekrutan sel-sel Th yang bekerjasama dengan


sel-sel B autoreaktif atau prekursor sel T sitotoksik untuk memacu respon
imun perusak diri sendiri
• Ketidak seimbangan imunologis dapat timbul dari beberapa kemungkinan:
– Aktivitas berlebihan dari sel Th autoreaktif
• Perubahan Ag diri sendiri
• Reaksi silang akibat kemiripan epitope
• Mimikri molekuler: Ag diri sendiri sharing epitope yang identik dg
virus/bakteri
– Perubahan-perubahan bentuk Ag diri sendiri akibat penempelan Ag
suatu virus, obat atau bahan-bahan kimia seperti hydralazine
– By-pass pengaktifan sel-sel Th autoreaktif
• Via aktivasi sel-sel B poliklonal oleh lipopolisakarida bakteri
– Defisiensi sel-sel T yang secara normal seharusnya menekan respon
imun Pembebasan Ag diri sendiri yang ‘disembunyikan’ (misal pada
kornea mata, sperma pada testis).
Faktor genetik: Faktanya jelas. Diduga diperankan oleh gen-gen MHC/HLA

1.4. Pemeriksaan Laboratorium

1. Antibody dalam serum


-Radio Immunoassay
-Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
-Immunofluoresensi
-Elektroforesis

2. Immunofluoresensi

3. Pemeriksaan Komplemen
1.5.Klasifikasi
Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan, yaitu :

1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ.
Contoh: Tiroiditis Hashimoto, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes
Mellitus, dengan auto-antibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-
antibodi terhadap susunan saraf; penyakit radang usus, dengan auto-antibodi
terhadap usus; penyakit Addison, Penyakit seliaka, Penyakit Crohn, pernicious
anemia, Pemphigus vulgaris, Vitiligo, Anemia hemolitik autoimun, idiopatik
purpura thrombocytopenic, Miastenia gravis.

2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan autoantibodi yang


tidak terbatas pada satu organ.
Contoh: Systemic lupus erythemathosus (SLE), arthritis rheumatika, vaskulitis
sistemik, cleroderma dengan auto-antibodi terhadap berbagai organ, sindrom
Sjögren, dan dermatomiositis.

Penyakit Organ Antibodi Tes diagnosis


terhadap
Organ Tiroiditis Tiroid Tiroglobulin RIA
spesifik Hashimoto
Grave Disease Tiroid Reseptor TSH Immunofluoresens
Pernisious anemia Sel darah merah Intrinsik faktor Immunofluoresens
IDDM Pankreas Sel beta
Infertilitas laki-laki Sperma Sperma Aglutinasi
immunofluoresens
Non-organ Vitiligo Kulit Melanosit Immunofluoresens
spesifik persendian
Rheumatoid Kulit ginjal IgG IgG-latex
arthritis sendi Aglutinasi
SLE Sendi organ DNA DNA
RNA RNA
Nukleoprotein Latex aglutinasi
LO2. MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ARTRITIS RHEUMATOID

2.1. Definisi

Artritis Rheumatoid: peradangan sendi akibat system kekebalan tubuh yang menyerang
jaringannya sendiri. Radang sendi ini menimbulkan keluhan bengkak dan nyeri sendi serta
terasa kaku.
2.2. Etiologi


Etiologi AR belum diketahui dengan pasti. Namun kejadiannya dikorelasikan dengan


interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (suarjana 2009)

1 Genetik, berupa hubungan gen HLA- DRBI 


2 Hormon sex 


3 Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang 
 (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya 
 penyakit AR

4 Heat Sock Protein (HSP) merupakan protein yang diproduksi sebagai respon 
 terhadap

stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga
terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP
pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang
Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis e. Faktor
lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok.

2.3. Patofisiologi AR

Kerusakan sendi mulai terjadi dari poliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan
kecil atau sel-sel inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan
tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interlekuin, proteinase dan faktor
pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.

Peran sel T pada AR diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitop dari
major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida pada antigen-presenting
cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dan imunopatologis AR belum
diketahui secara pasti.

2.4. Manifestasi AR

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan. RA
juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung
tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang
disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011): 1.
Stadium sinovitis.

Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada membran
sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal
bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi
deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu
terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).

2. Stadium destruksi

Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution,
2011).

3. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan manifestasi
ekstraartikular (Suarjana, 2009).
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung
tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops

13

ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan
dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009).
Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun
sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset
terjadinya (Longo, 2012).

Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi proporsinya
sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi kecil
pada tangan (Suarjana, 2009).

Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat, 2010). Secara


umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular
pada RA, meliputi (Longo, 2012):

a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya
berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan
pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan
kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo, 2012).

b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi aktivitas
penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat periosteum, tendo
atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem.

Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan (Longo, 2012).

c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan
xerostomia (Longo, 2012).

dengan infeksi, ulserasi dan gangren yang memiliki secondary sjogren’s


keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura
kemudian diikuti dengan penyakit paru

interstitial (Longo,2012).

e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang disebabkan
oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri koreoner atau
disfungsi diastol (Longo, 2012).

f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA yang
sudah kronis (Longo,2012).

g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan keadaan


dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty
syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (Longo, 2012).

h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar dibanding
populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas (Longo,
2012).

Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada pasien RA adalah
penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan hipoandrogenisme (Longo, 2012).

2.5. Diagnosis AR

5 Anamnsesis
Contoh pertanyaan yang dapat ditanyakan kepada pasien yang dicurigai terkena AR:
• Apakah pasien memiliki keluarga dengan riwayat penyakit AR?
• Apakah pasien sudah mengkonsumsi obat sebelumnya?
• Apakah pasien memiliki masalah kesehatan yang lain?

2 Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan refleks, kekuatan otot, dan pemeriksaan umum.
• Periksa kemampuan berjalan, kemampuan meneluk, kemampuan melakukan aktivitas
hidup sehari-hari.
• Pemeriksaan fisik pada penderita AR akan ditemukan kekakuan, masalah dengan
pergerakan, dan nyeri.

3 Pemeriksaan penunjang
A. Darah perifer lengkap (complete blood cell count)
• Hb / Ht : sedikit menurun.
• Jumlah leukosit: mungkin meningkat.
• Jumlah trombosit: biasanya meningkat.

B. Faktor Rheumatoid
• Hasil negatif pada 30% penderita AR stadium dini.
• Jika pada pemeriksaan awal didapatkan hasil negatif, lakukanlah pemeriksaan kembali
setelah 6-12 bulan.

C. Laju endap darah (LED)


• Umumnya meningkat > 30mm/jam pada penderita AR.

D. C-Reactive Protein (CRP)


• Umumnya meningkat sampai >0,7 picogram/mL pada penderita AR.
• Digunakan untuk monitor perjalanan penyakit (inflamasi).

E. Pemeriksaan fungsi ginjal & hati


• Direkomendasilan untuk membantu pemilihan terapi yang tepat.

F. Anticylic citrullinated peptide Ab (Anti-CCP)


• Berkorelasi dengan perburukan penyakit.
• Sensitivitas meningkat bila dikombinasikan dengan pemeriksaan faktor reumatoid.

G. Anti-RA33
• Merupakan pemeriksaan lanjutan jika hasil pemeriksaan Anti-CCP dan Faktor Reumatoid
negatif.

H. Konsentrasi komplemen
• Normal / meningkat pada penderita AR.

I. Immunoglobulin (Ig)

J. Pemeriksaan pencitraan (imaging)


• Foto otot polos (plain radiograph)
: Bermanfaat dalam membantu penegakkan diagnosis & menilai kerusakan sendi.
• Magnetic Resonance Imaging (MRI)
: Mampu mendeteksi erosi lebih awal dibandingkan dengan foto polos, mampu menampilkan
struktur sendi secara rinci, namun biaya pemeriksaan ini lebih mahal dibandingam dengan
foto otot polos.

K. Pemeriksaan cairan sendi


• Dilakukan bila diagnosis meragukan
• Pada AR tidak ditemukan kristal, hasil kultur negatif, dan kadar glukosa rendah.

L. Urinalisis
• Hematuria & proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan penyakit jaringan ikat.

4 Diagnosis
Kriteria Rheumatoid Arthritis menurut American College of Rheumatology (1987):
I. Kekakuan di waktu pagi pada atau di sekitar sendi, yang berlangsung satu jam atau lebih
sebelum mengalami perbaikan maksimal.
II. Pembengkakan pada tiga sendi atau lebih.
III. Pembengkakan sendi pangkal jari-jari tangan, sendi buku-buku jari tangan bagian atas,
atau pergelangan tangan.
IV. Pembengkakan sendi harus simetris mengenai sisi kanan dan kiri.
V. Benjolan di bawah kulit (nodul subkutan).
VI. Tes faktor rematik yang positif di dalam darah.
VII. Erosi dan/atau pengeroposan tulang di sekitar sendi-sendi jari-jari dan/atau pergelangan
tangan.

Diagnosis Banding
Sejumlah kelainan sendi yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding arthitis
septik seperti infeksi pada sendi yang sebelumnya mengalami kelainan, artritis
terinduksi-kristal, artrhitis reaktif, artritis traumatik, dan artritis viral.

Artritis terinduksi-kristal
Gout dan pseudogout menyerupai gejala dan tanda artritis septik. Sehingga cairan sendi harus
diperiksa menggunakan mikroskop cahaya polarisasi untuk melihat adanya
kristal birefringen negatif (asam urat) atau birefringen positif (kalsium
pirofosfat dihidrat) untuk menyingkirkan adanya penyakit kristal pada sendi.
Tapi harus diingat bahwa adanya laporan tentang adanya kejadian yang
bersamaan artritis septik dengan penyakit sendi karena kristal.

Artritis reaktif
Adanya respon inflamasi sendi terhadap adanya proses infeksi bakteri di luar sendi dikenal
dengan artritis reaktif. Sering riwayat penderita adanya infeksi di bagian distal
seperti pada saluran gastrointestinal (contoh : Shigella spp., Salmonella spp.,
Campilobacter spp., atau Yersinia spp.), saluran genitourinaria (contoh:
chlamydia dan mycoplasma), dan saluran respirasi (contoh Streptococcus
pyogenes).

Preexisting joint infection.


Penderita dengan penyakit sendi kronik yang mendasari seperti artritis rheumatoid,
osteoartritis, dan penyakit jaringan ikat lainnya mengalami flare dan
memberikan gambaran yang menyerupai artritis septik atau mengalami infeksi
sehingga memberikan prognosis yang buruk karena sering terjadi keterlambatan
diagnosis artritis septik.

Artritis traumatik
Artritis traumatik merupakan artritis yang disebabkan oleh adanya trauma baik trauma
tumpul, penetrasi, maupun trauma berulang atau trauma dari pergerakan yang
tidak sesuai dari sendi yang selanjutnya menimbulkan nekrosis avaskular.

2.6. Komplikasi AR
2.7. Tatalaksana AR

• Terapi Non Farmakologi


• Terapi puasa, suplementasi asam lemak essensial, fisioterapi, terapi spa, dan pemberian
suplemen minyaknikan.
• Terapi herbal, akupuntur, dan splinting belum terbukti dapat menangani AR.
• Pembedahan harus dijadikan pertimbangan apabila pada pasien terdapat nyeri berat yang
berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, adanya keterbatasan gerak yang
bermakna / keterbatasan fungsi yang berat, serta adanya ruptur tendon.

• Terapi Farmakologi
• Umumnya meliputi Obat Anti-Inlfamasi Non Steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri.
• Analgetik lain yang dapat digunakan antara lain: Acetaminophen, Opiat, Diproqualone,
dan Lidokain Topikal.
• Pemberian DMARD sedini mungkin dapat menghambat perburukan penyakit.
• Penderita AR ringan & hasil radiologis normal bisa dimulai dengan terapi
hidroksiklorokuin, klorokuin fosfat, sulfasalazin, dan minosiklin.
• Penderita AR yang lebih berat / adanya perubahan radiologis harus memulai dengan terapi
Methotrexate.
• Kategori obat secara individual:

1 OAINS
• Merupakan terapi awal untuk mengurangi nyeri & pembengkakan.
• Tidak merubah perjalanan penyakit, maka tidak boleh digunakan secara tunggal.
• Perlu pemantauan secara ketat terhadap efek samping pada gastrointestinal.

2.Glukokortikoid
• Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednosis < 10 mg/hari cukup efektif untuk
meredakan gejala & dapat memperlambat kerusakan sendi.
• Harus diberikan dengan dosis minimal karena adanya resiko tinggi mengalami efek
samping seperti osteopororsis, katarak, dan gangguan kadar gula darah.
• Jika AR hanya mengenai 1 sendi & mengamibatkan disabilitas maka pemberian injeksi
steroid cukup aman & efektif (walaupun bersifat sementara).

3 DMARD (Dissease Modifying Antirheumatic Drugs)


• Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,
pengalaman dokter, dan adanya penyakit penyerta.
• DMARD yang paling umum digunakan: Methotrexate (MTX), Hidroksiklorokuin,
Klorokuin fosfat, Sulfasalazine, Leflunomide, Infliximab, Etanercept.

4 Terapi Kombinasi
• Efikasi terapi kombinasi lebih superior dibandingkan dengan terapi tunggal, tanpa
memperbesar toksisitas.
• Contoh kombinasi:
A. MTX + Hidroksiklorokuin
B. MTX + Sulfasalazin
C. MTX + Sulfasalazin + Prednisolone
D. MTX + Leflunomide
E. MTX+ etanercept
F. MTX+ adalimumab
G. MTX+ anakinra
H. MTX+ rituximab
I. MTX+ inhibitor TNF

LO3. Pandangan Islam untuk sabar, iklas, dan tawakkal dlm menghadapi penyakit.
 Sabar
- Allah memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan balasan yang lebih baik
daripada amalnya dan melipat gandakannya tanpa terhitung. Firman-Nya.
َ ‫س ِن أَجْ َرهُم‬
‫صبَ ُروا الذِينَ َولَنَجْ ِزيَن‬ َ ْ‫َي ْع َملُونَ كَانُوا َما بِأَح‬
“Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. [An-Nahl : 96] sabda
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
ِ ‫ َم َرض ِم ْن أَذًى ي‬، ‫س ِيئ َا ِت ِه ِب ِه للاُ َحط ِإّل ِس َواهُ فَ َما‬
‫ُصيبُهُ ُم ْس ِلم ِم ْن َما‬ َ ، ‫َو َرقَ َها الش َج َرة ُ ت َ ُحط َك َما‬
“Tidaklah seorang mukmin tidak tertimpa penderitaan berupa penyakit atau perkara lainnya,
kecuali Allah hapuskan dengannya kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana
pohon menggugurkan daunnya."(H.R.Bukhari dan Muslim).
 Iklhas
Hendaknya orang yang sakit memahami bahwa sakit adalah ujian dan cobaaN dari Allah dan
perlu benar-benar kita tanamkan dalam keyakinan kita yang sedalam-dalamya bahwa ujian dan
cobaan berupa hukuman Adalah tanda kasih sayang Allah. menerima bahwa segala ketetapan
hanyalah dari Allah dan segala yang dilalui seorang hamba adalah jalan takdir terbaik yang
sudah digariskan. Jadikan semuanya sebagai lahan untuk beribadah kepadaNya sehingga
apapun sakit yang dialami akan membawa kebaikan dan keberkahan. Nabi shallallahu ‘alihi
wa sallam bersabda,
‫ظ َم ِإن‬ ِ َ‫ظ ِم َم َع ْال َجز‬
َ ‫اء ِع‬ ْ ‫ا ْبتَالَ ُه ْم قَ ْو ًما أَ َحب ِإذَا للاَ َو ِإن‬،
َ ‫البَالَ ِء ِع‬،
‫ي فَ َم ْن‬َ ‫ض‬ِ ‫ضا فَلَهُ َر‬
َ ‫الر‬،ِ ‫ط َو َم ْن‬ َ ‫س ِخ‬
َ ُ‫الس ْخط فَلَه‬
“sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah
mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridho
(menerimanya) maka Allah akan meridhoinya dan barangsiapa yang murka (menerimanya)
maka Allah murka kepadanya.”
 Tawakkal
‫ُص ي ب َ ن َا ل َ ْن ق ُ ْل‬ َ َ ‫ال ْ ُم ْؤ ِم ن ُ و َن ف َ ل ْ ي َ ت َ َو ك ِل ّللا ِ َو ع َ ل َ ى ۚ َم ْو َّل ن َا ه َُو ل َ ن َا ّللا ُ ك َ ت‬
ِ ‫ب َم ا إ ِ ّل ي‬
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah
untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal". (at-taubah : 51)
tawakkal dalam islam ketika sedang sakit disertai usaha, bukan tawakkal yang berdiam diri,
cari pengobatan yang baik semampunya, tetap jalin silaturahmi dan kasih sayang terhadap
orang terdekat serta sesama, serta banyak mencari ilmu tentang penyakit yang dialami sehingga
menjadi jalan ikhtiar untuk kesembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja, Karnen Garna. 2014. Imunologi Dasar edisi 11. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.

2. Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. p. 702, 1003.

3. Setiati, S et all. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Ed. VI. Jakarta:
InternaPublishing.

4. Suarjana, I Nyoman. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Ed. VI. Jakarta:
InternaPublishing.

Anda mungkin juga menyukai