Kelompok B-08
Aisha Nadina Shani Asmara 1102018191
Andi Aqila 1102018211
Ervita Mutiara Sari 1102018254
Shafrizal Bayu Aditya 1102018269
Bianca Naila Najah 1102018278
Annisa Shafiyah Arsal 1102018284
Endito Pamungkas Sadewo 1102018286
Muhammad Fardy Udaya 1102018332
Hosiana Fajar Wulan 1102018327
1.2 Mikroskopik
Secara fungsional, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu bagian konduksi (bagian
yang mentransport udara) dan bagian respiratori (tempat pertukaran gas). Bagian konduksi
meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, sementara bagian
respiratori meliputi bronchiolus respiratori, ductus alveolaris, sacus alveolaris dan alveoli.
Bagian Konduksi
a) Vestibulum nasi
Cavitas nasalis memiliki sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum nasi; udara yang
melewati cavitas ini dilembabkan dan dihangatkan sebelum masuk ke paru-paru. Terdapat 3 jenis
epitel yang ada pada cavitas nasalis, yaitu:
1. regio vestibularis dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis,
2. regio mucosa nasal dilapisi oleh epitel respiratori, dan
3. mucosa olfactorius dilapisi oleh epitel olfactori yang terspesialisas
Pada kasus infeksi saluran pernfasan atas, ataupun karena reaksi alergi, dapat terjadi inflamasi
pada mucosa hidung (terutama concha inferior), sehingga menghambat udara yang masuk
melalui cavitas nasalis. Kondisi ini disebut rhinitis. (Cui, 2011)
c) Epiglotis
Laring merupakan jalur pendek yang menghubungkan faring dengan trake; fungsi
utamanya adalah untuk menghasilkan suara dan untuk mencegah makanan/minuman masuk ke
trakea. Bangunan yang terdapat di laring antara lain epiglottis, pita suara, dan sembilan kartilago
yang terletak pada dindingnya (termasuk juga cartilago thyroidea atau ‘jakun’). Epiglottis dilapisi
oleh dua jenis sel epitel, yaitu sel epitel gepeng berlapis (pada bagian lingual) dan sel epitel
respiratori (pada bagian laringeal)
LO 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Pernafasan
Pernafasan adalah suatu proses yang melibatkan pertukaran oksigen dan
karbon dioksida antara organisme hidup dan lingkungannya. Ventilasi atau bernafas
adalah proses pemasukan ke dan pengeluaran udara dari paru secara bergantian
sehingga udara alveolus lama yang telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2
dengan darah kapiler paru dapt ditukar dengan udara atmosfer segar. Fungsi utama
pernafasan adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel tubuh dan untuk
mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel.
Respirasi mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan: respirasi
internal dan respirasi eksternal. Respirasi internal merujuk kepada proses-proses
metabolik intrasel yang dilakukan di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selama proses mengambil energi dari molekul nutrien. Respirasi
eksternal merujuk kepada seluruh rangkaian kejadian pertukaran O2 dan CO2 antara
lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Sistem respirasi mencakup saluran nafas yang menuju paru, paru itu sendiri,
dan struktur-struktur dada yang berperan menyebabkan aliran udara masuk dan keluar
paru melalui saluran nafas. Udara cenderung mengalir dari area dengan tekanan tinggi
ke area dengan tekanan rendah, yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir
masuk dan keluar paru selama tindakan Universitas Sumatera Utara bernafas karena
berpindah mengikuti gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer yang berbalik arah
secara bergantian dan ditimbulkan oleh aktivitas siklus otot pernafasan.
Terdapat tiga tekanan yang berperan penting dalam ventilasi:
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat
udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Tekanan atmosfer
berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut
karena lapisan-lapisan udara di atas permukaan bumi juga semakin menipis.
2. Tekanan intra-alveolus (tekanan intraparu) adalah tekanan di dalam alveolus.
3. Tekanan intrapleura (tekanan intratoraks) adalah tekanan di dalam kantung
pleura atau tekanan yang ditimbulkan di luar paru di dalam rongga toraks.
Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan yang
ditimbulkan oleh suatu gas berbanding terbalik dengan volume gas: yaitu, sewaktu
volume gas meningkat, tekanan yang ditimbulkan oleh gas berkurang secara
proporsional. Sebaliknya, tekanan meningkat secara proporsional sewaktu volume
berkurang. Perubahan volume paru, dan karenanya tekanan intra-alveolus,
ditimbulkan secara tak langsung oleh aktivitas otot pernafasan.
Fungsi pernapasan:
a. Mengeluarkan air dan panas dari tubuh
b. Proses pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 dalam paru
c. Meningkatkan aliran balik vena
d. Mengeluarkan dan memodifikasikan prostaglandin
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
1. Dihangatkan
2. Disaring
3. Dilembabkan
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi, yang terdiri
atas Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium yang berfungsi menggerakkan
partikelpartikel halus ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh
bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang
masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut
dibantu dengan concha.
Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan
mukosa
Mekanisme Fungsi utama respirasi adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel
tubuh dan mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel. Respirasi selain mempunyai
fungsi utama tersebut, juga memiliki fungsi non respiratorik, sebagai berikut:
1. Sistem respirasi merupakan rute untuk mengeluarkan air dan mengeliminasi panas.
2. Sistem respirasi meningkatkan aliran balik vena.
3. Sistem respirasi membantu mempertahankan kesimbangan asam-basa normal
dengan mengubah jumlah CO2 penghasil H+ yang dikeluakan.
4. Sistem respirasi memungkinkan kita untuk berbicara, bernyanyi, dan vokalisasi
lain.
5. Sistem respirasi merupakan sistem pertahanan terhadap benda asing yang terhirup.
6. Sistem respirasi mengeluarkan, memodifikasi, mengaktifkan, atau menginaktifkan
berbagai bahan yang mengalir melewati sirkulasi paru.
7. Hidung, bagian dari sistem respirasi, berfungsi sebagai organ penciuman.
Otot-otot pernapasan yang melakukan gerakan bernapas tidak bekerja secaralangsung
pada paru untuk mengubah volumenya. Otot-otot ini bekerja dengan mengubah
volume rongga toraks, menyebabkan perubahan serupa pada volume paru karena
dinding toraks dan dinding paru berhubungan melalui daya rekat cairan intrapleura
dan gradien tekanan transmural.
a. Awitan inspirasi:
Kontraksi otot-otot inspirasi Otot-otot insirasi utama – otot
yang berkontraksi untuk melakukan inspirasi sewaktu bernapas tenang,
mencakup diafragma dan otot interkostalis eksternal. Sebelum
melakukan inspirasi semua otot-otot respirasi dalam keadaan relaksasi.
Otot inspirasi utama adalah otot diafragma, yang dipersarafi
oleh saraf frenikus. Ketika berkontraksi (pada stimulasi saraf frenikus).
Diafragma turun dan memperbesar volum rongga toraks dengan
meningkatkan ukuran vertical (atas ke bawah). Otot interkostalis
eksternal terletak diatas otot interkostalis internal. Kontraksi otot
interkostalis eksternal, yang serat-seratnya berjalan ke bawah dan
depan antara du iga yang berdekatan, memperbesar rongga toraks
dalam dimensi lateral (sisi ke sisi) dan anteroposterior (depan ke
belakang). Ketika berkontraksi, otot interkostalis eksternal mengangkat
iga dan selanjutnya sternum ke atas dan depan. Saraf interkostalis
mengaktifkan otot-otot interkostalis ini selama inspirasi.
Sebelum inspirasi, ada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan
intra-alveolus sama dengan tekanan atmosfer, sehingga tidak ada udara
mengalir masuk maupun keluar paru. Sewaktu rongga toraks
membesar selama inspirasi akibat kontraksi diafragma, paru juga
dipaksa mengembang untuk mengisi rongga toraksyang lebih bear.
Sewaktu paru membesar, tekanan intra-alveolus menurun karena
jumlah molekul udara yang sama kini menempati volume paru yang
lebih besar. Pada gerakan inspirasi biasa, tekanan intra-alveolus turun
1 mmHg menjadi 759 mmHg. Karena tekanan intra-alveolus sekarang
lebih redah daripada tekanan atmosfer, udara mengalir ke dalam paru.
Udara terus masuk hingga tidak ada lagi gradient – yaitu hingga
tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Karena itu
udara mengalir masuk ke dalam paru karena penurunan tekanan
intraalveolus yang disebabkan oleh ekspansi paru.
Sewaktu inspirasi, tekanan intrapleura turun menjadi 754
mmHg karenaparu yang sangat teregang cenderung menarik paru lebih
jauh lagi dari dinding dada.
b. Inspirasi dalam :
peran otot inspirasi tambahan Inspirasi dalam (lebih banyak
udara yang dihirup) dapat dilakukan dengan kontraksi yang lebih kuat
oleh otot interkostalis eksternal dan otot diafragma, dibantu dengan
aktivasi otot inspirasi tambahan untuk memperbesar rongga toraks.
Kontraksi otot-otot tambahan ini, yang terletak dileher, mengangkat
ternum dan dua iga pertama, memperbesar bagian atas rongga toraks.
Dengan semakin besarnya volume dibandingkan dengan keadaan
istirahat, paru juga semakin mengembang, menyebabkan tekanan intra-
alveolus semakin menurun. Akibatnya terjadi peningkatan aliran
masuk udara sebelum tercapai keseimbangan dengan tekanan atmosfer;
yaitu tercapainya pernapasan lebih dalam.
c. Awitan Ekspirasi :
Relaksasi Otot-Otot Inspirasi Pada akhir inspirasi, otot inspirasi
melemas. Diafragma mengambil posisi aslinya. Ketika otot
interkostalis eksternal relaksasi, iga kembali turun karena gaya
gravitasi. Tanpa gaya-gaya yang menyebabkan ekspansi dinding dada
dan paru, dinding dada dan paru mengalami recoil ke ukuran
prainspirasinya karena sifat elastic mereka. Tekanan intra-alveolus
meningkat karena jumlah molekul udara yang lebih banyak yang
semula terkandung di dalam volume paru yang besar pada akhir
inspirasi kini termampatkan dalam volume yang lebih kecil. Pada
ekspirasi biasa, tekanan intra-alveolus meningkat sekitar 1 mmHg
diatas tekanan atmosfer menjadi 761 mmHg dan meninggalkan paru
menuruni gradient tekanannya. Aliran keluar udara berhenti ketika
tekanan intra-alveolus menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan
gradient tidak ada lagi.
d. Ekspirasi Paksa:
Kontraksi Otot Respirasi Ekspirasi dapat menjadi aktif untuk
mengosongkan paru secara lebih tuntas dan lebih cepat daripada yang
dicapai selama pernapasan tenang, misalnya sewaktu pernapasan
dalam ketika berolahraga. Untuk mengeluarkan lebih banyak udara,
tekanan intra-alveolus harus lebih ditingkatkan di atas tekanan
atmosfer daripada yang dicapai oleh relaksasi biasa otot inspirasi dan
recoil elastic paru. Untuk menghasilkan ekspirasi paksa atau aktif,
otot-otot ekspirasi harus lebih berkontraksi untuk mengurangi volume
rongga toraks dan paru. Otot ekspirasi paling penting adalah otot
dinding abdomen. Sewaktu otot dinding abdomen berkontraksi terjadi
peningkatan tekanan intra0abdomen yang menimbulkan gaya ke atas
ke dalam rongga toraks daripadaposisi lemasnya sehingga ukuran
vertical rongga toraks menjadi semakin kecil. Otot interkostalis
internal berkontraksi, menarik turun iga ke arah dalam, mendatarkan
dinding dada dan semakin mengurangi ukuran rongga toraks.
Sewaktu kontraksi aktif otot ekspirasi semakin mengurangi
volume rongga toraks, volume paru juga menjadi semakin berkurang
karena paru tidak harus teregang lebih banyak untuk mengisi rongga
toraks yang lebih kecil; yaitu, paru dibolehkan mengempis ke volume
yang lebih kecil. Perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan atmosfer
kini menjadi lebih besar daripada ketika ekspirasi pasif sehingga lebih
banyak udara keluar menuruni gradient tekanan sebelum tercapai
keseimbangan. Dengan cara ini pengosongan paru menjadi lebih tuntas
dibandingkan dengan ekspirasi tenang pasif Selama ekspirasi paksa,
tekanan intraleura melebihi tekanan intra-alveolus tetapi paru tidak
kolaps. Karena tekanan intra-alveolus juga meningkat setara, tetap
terdapat gradient tekanan transmural menembus dinding paru sehingga
paru tetap teregang dan mengisi rongga toraks. Sebagai contoh, jika
tekanan didalam toraks meningkat 10 mmHg, tekanan intrapleura
menjadi 766 mmHg dan tekanan intraalveolus menjadi 770 mmHg-
tetap terdapat perbedaan tekanan 4 mmHg.
LO 3. MekanismeMemahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi
3.1 Definisi
Rinitis alergi adalah secara umum didefinisikan sebagai suatu penyakit
inflamasi pada mukosa nasal (Small & Kim, 2011). Rinitis alergi terjadi karena
diinduksi oleh paparan alergen yang akan memicu 21 infalamasi yang dimediasi
oleh Ig-E dengan karakteristik 4 gejala meyor yaitu hidung berair, bersin-bersin,
hidung gatal dan hidung tersumbat (Varshney & Varshney, 2015)
3.2 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
Rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat.Beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi rhinitis alergi dibagi menjadi 2 yaitu:
Berdasarkan lama gejala
1. Intermiten: gejala ≤4 hari per minggu atau lamanya ≤4 minggu
2. Persisten: gejala >4 hari per minggu dan lamanya >4 minggu
Berdasarkan beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan:
- Tidur normal
- Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
- Bekerja dan sekolah normal
- Tidak ada keluhan yang mengganggu
2. Sedang atau berat:
- Terdapat satu atau lebih gejala di bawah ini
- Tidur terganggu (tidak normal)
- Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
- Gangguan saat bekerja dan sekolah
- Ada keluhan yang mengganggu
3.4 Epidemiologi
Diperkirakan 400 juta orang menderita rhinitis alergi di seluruh dunia, yang
mendekati sekitar 20% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat, dan sampai
40% dari anak anak.
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi juga
merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan
profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20%.
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%. Begitu
juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi rinitis
tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong (25-30%).
3.5 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terdiri atas 2 fase yaitu:
1) reaksi fase cepat, yang terjadi segera setelah paparan dengan allergen
2) reaksi fase lambat, yang terjadi setelah 4-8 jam setelah paparan alergen (Aulia,
2016). Reaksi Alergi Fase Cepat Aktivasi dari saraf sensoris akan menimbulkan
rasa gatal dan berbagai refleks sentral. Hal tersebut meliputi refleks bersin dan
refleks parasimpatis yang menstimulasi sekresi banyak mukus di hidung dan
kejadian vasodilatasi. Hiperresponsif saraf sensoris merupakan gejala yang paling
menonjol pada rinitis alergi (Wheatley dan Togias, 2015).
Reaksi Alergi Fase Lambat Pada reaksi fase lambat, mediator inflamasi yang
paling berperan adalah eosinofil. Aktivasi dari eosinofil ini akan mengeluarkan
beberapa produk granul yang toksik seperti major basic protein (MBP), eosinophil
cationic protein (ECP), dan eosinophil peroxidase
3.6 Manifestasi klinis
1. Bersin-bersin: sebagai self cleaning process atau pelepasan histamin
2. Rinore encer dan banyak
3. Hidung tersumbat
4. Hidung dan mata gatal (Lakrimasi)
AksiPendek Sampai 4
jam
FenilefrinHCl
NafazolinHCl
TetrahidrozolinHCl
AksiPanjang Sampai 12
jam
OksimetazolinHCl
XylometazolinHCl
Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan dan punya
banyak efek samping. Contoh obat: Efedrin,fenilpropanolamin dan fenilefrin
Indeks terapi sempitresiko hipertensi
Efedrin
Adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada pemberian
oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta 1
dan beta 2.
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat, tekanan nadi
membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena vasokontriksi dan stimulasi
jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang relatif lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik yang dapat
diatasi dengan pemberian sedatif.
Dosis :
Dewasa : 60 mg/4-6 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam
Fenilpropanolamin
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain menimbulkan
konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi
pembuluh darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan
menimbulkan stimulasi jantung.
Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi kurang menimbulkan efek
SSP. Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada pria
dengan hipertrofi prostat. Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah
kontra indikasi. Obat ini jika digunakan dalam dosis besar (>75 mg/hari) pada
orang yang obesitas akan meningkatkan kejadian stroke, sehingga hanya boleh
digunakan dalam dosis maksimal 75 mg/hari sebagai dekongestan.
Dosis:
Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
Fenilefrin
Adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit mempengaruhi reseptor
beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung secara langsung dan tidak merelaksasi
bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus
sehingga menaikkan tekanan darah.
3. Intranasal Antikolinergik
Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk
pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek
samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent
(Bousquet et al., 2008). Contoh obat golongan ini adalah ipratropium.
4. Lokal Glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam
penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah
metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain sebagainya. Keuntungan
menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis alergi
adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa
adanya efek sistemik yang tidak diinginkan.
Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejala-
gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain sering
diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy yang
direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya,
efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum
kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).
5. Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit sehingga pelepasan
mediator kimia dihambat.
6. Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan
merupakan obat-obatan baru untuk rhinitis alergi.Obat ini bekerja dengan
memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan ini adalah montelukast,
pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih
efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang
unggul dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi
seasonal (Bousquet et al., 2008).
7. Imunoterapi
Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis alergi.
Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini
mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat memicu timbulnya gejala
alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap
farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen, dan telah
tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi dikontraindikasikan bagi
pasien yang menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler
yang berat, penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko
menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati, 2011).
3.10 Komplikasi
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan
tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier
epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang
dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah
(Durham, 2006).
3.11 Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan
tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah
berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam.
Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma . Rinitis
alergi dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter
perlu mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi yang
menetap. Evaluasi dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X, pemeriksaan adanya
sumbatan saluran nafas sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator.
Bukti epidemiologis adanya hubungan antara rinitis dan asma adalah
prevalensi asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi, rinitis hampir selalu
dijumpai pada asma, rinitis merupakan faktor resiko terjadinya asma; dan, pada
persisten rinitis terjadi peningkatan hipereaktivitas bronkus non spesifik.
3.12 Pencegahan
1) Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap alergen.Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai
risiko atopi.Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang)
mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6
bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap
alergen dan polutan.
Pencegahan sekunder
2) Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada
anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala
alergi tahap awal, berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan
dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang
dapat diketahui dengan uji kulit.
3) Pencegahan tersier
Pecegahan tersier bertujuan untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya
penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan
1. Small, P. and Kim, H., 2011, Allergic Rhinitis, AACI, 7 (Suppl 1):
53-60
2. Okubo, K. et al., 2011, Japanese Guideline for Allergic Rhinitis,
Allergology International, 60 (2): 171-189.
3. Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana
Terapinya, Bursa Ilmu, Yogyakarta, 37-68.
4. Wheatley, L.M., Togias, A., 2015, Allergic Rhinitis, The New
England Journal of Medicine, 456-462.
5. Durham SR, 2006. Mechanism and Treatment of Allergic Rhinitis,
In: Kerr AG, ed,Scott- Browns Otolaryngogoly, Sixth Edition, Vol,
4, ButterworthHeinemann, London: pp. 4/6/1-14.
6. Bousquet, J. (2008). Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma.
Allergy , 8-160
7. http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/04/AI02_Rintis-Alergi.pdf