Disusun Oleh :
Nama : Bianca Naila Najah
Npm : 1102018278
Pembimbing :
dr. Evy Aryanti Sp.KK
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
i
DAFTAR ISI
ii
Tugas Laporan Kasus Divisi Dermatologi dan Venereologi
Nama/NPM : Bianca Naila Najah (4112022196/110201878)
Judul : Morbus Hansen (Kusta)
Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp. KK
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1.IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. C
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 25/05/1989
Usia : 30 tahun 4 bulan
Agama : Islam
Alamat : Grand Cikarang City
Pekerjaan : Buruh Pabrik
Status pernikahan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 08/12/20222
No Rekam Medis : 165***
1.2.ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien tanggal 8 desember 2022
pukul 11.00 WIB di ruang tunggu poli kulit dan kelamin RSUD Kabupaten Bekasi.
a. Keluhan Utama
Terdapat bentol merah di tangan dan menyebar ke area muka sejak 8 bulan yang lalu
b. Keluhan Tambahan
Pasien merasakan badan terasa panas, nyeri pada bagian benjolan, demam (+).
Ketika muncul lesi baru.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. C, laki-laki usia 33 tahun rujukan dari puskesmas cikarang datang ke
RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan terdapat bentol merah ditangan yang
menyebar ke muka sejak 8 bulan yang lalu. Pasien dirujuk oleh puskesmas
cikarang atas dasar telah berobat sejak 8 bulan yang lalu namun tidak kunjung
membaik. Di puskesmas, pasien diberikan obat prednisone, setelah 3 minggu
berobat keluhan membaik lalu diturunkan dosisnya tetapi keluhan muncul kembali.
1
Pasien mengeluhkan adanya benjolan baru setiap ½ bulan, pasien
merasakan hawa badan yang panas dan demam setiap muncul benjolan yang baru.
Benjolan terasa nyeri ketika ditekan dan tidak ada rasa gatal maupun baal pada
benjolan. Pasien memiliki benjolan terbaru dibagian muka yang baru muncul 1 hari
SMRS, pasien juga mengeluhkan kurangnya nafsu makan.
Pasien merupakan buruh pabrik yang bekerja 3 kali shift dalam sehari
sehingga pasien mudah kelelahan dan hal ini menjadi salah satu faktor timbulnya
bentol merah pada tubuh pasien. Pasien memiliki Riwayat penyakit yang sama 3
tahun yang lalu dengan keluhan adanya kelainan kulit berwarna kehitaman, tidak
bentol dan baal ketika disentuh, BTA kulit pasien (+) pasien rutin kontrol serta
minum MDT dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Riwayat keluarga tidak
ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Keluhan lemas dan
kelemahan pada anggota badan disangkal.
• Riwayat penyakit serupa dahulu : Pasien mengeluhkan hal yang sama 3 tahun
lalu, keluhan kulit tidak bentol dan berwarna hitam pekat, rutin kontrol ke
puskesmas dan sudah dinyatakan sembuh
• Riwayat Alergi : disangkal
• Riwayat Autoimun : disangkal
• Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
• Riwayat Hipertensi : disangkal
• Riwayat Penyakit Hati : disangkal
f. Riwayat Pengobatan
• 3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan adanya kelainan kulit berwarna hitam di
muka dan tangan, pasien diberikan MDT, mecobalamin dan metilprednisone.
2
Pasien dinyatakan sembuh oleh dokter setelah mengonsumsi MDT selama 12
bulan
• 8 bulan yang lalu pasien datang ke puskesmas dengan keluhan adanya bentol
kemerahan ditangan dan diberikan prednisone namun tidak kunjung membaik
saat diturunkan dosisnya
1.3.PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Composmentis
• Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 86x/menit
- Frekuensi Napas : 20x/menit
- Saturasi oksigen : 100 %
- Suhu : 36.3 °C
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak
mudah dicabut
• Status Neurologis
- Tes Sensibilitas
Kanan Kiri
Raba Halus
Ekstremitas Superior Normal Normal
3
Ekstremitas Inferior Normal Normal
Sensasi Nyeri
Ekstremitas Superior Normal Normal
Ekstremitas Inferior Normal Normal
Tabel 1. Tes sensibilitas
B. Status Dermatologis
- Regio Antebrachii Bilateral : Makula dan nodul eritematosa, multiple,
ukuran nummular, sirkumskrip, diskret-konfluens
- Regio Manus Bilateral : Makula dan nodul eritematosa, multiple, ukuran
nummular, sirkumskrip, diskret
- Regio Zygomatica Unilateral sinistra : Makula dan nodul eritematosa,
multiple, nummular, batas tegas, diskret
- Regio Nasalis : Nodul eritematosa, soliter, nummular, sirkumskrip, diskret
4
Gambar 2. Regio Zygomatica Unilateral sinistra : Makula dan
eritematosa, multiple, nummular, batas tegas, diskret dan Regio Nasalis :
Nodul eritematosa, soliter, nummular, sirkumskrip, diskret
1.4.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 06-12-2022
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 11.9 L g/dl 10.7-14.7
Hematokrit 38 L % 31.0 - 43.0
Eritrosit 4.56 10ˆ6/µL 3.70 - 5.70
L
MCV 82 Fl 72 - 88
MCH 26 L pg/Ml 23 – 31
MCHC 32 L g/dl 32 - 36
5
Trombosit 191 10ˆ3/µL 150 – 450
Leukosit 13.2 H 10ˆ3/µL 5.0 – 10.0
Hitung jenis
Basofil 0 % 0.0 – 1.0
Eosinofil 0L % 1.0 – 6.0
Neutrofil 68 % 50 – 70
Limfosit 21 % 20 – 40
NLR 3.24 <= 5.80
Monosit 11 H % 2–9
Laju Endap Darah 81 H mm/jam <15
Hematologi
BTA Kulit Telinga kanan BTA -
Telinga kiri BTA -
Lengan kanan 1 BTA -
Lengan kanan 2 BTA -
Lengan kiri 1 BTA -
Lengan kiri 2 BTA -
I. RESUME
Tn. C, laki-laki usia 30 tahun rujukan dari puskesmas cikarang datang ke
RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan terdapat bentol merah ditangan yang
menyebar ke muka sejak 8 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan adanya benjolan
baru setiap ½ bulan, pasien merasakan hawa badan yang panas dan demam setiap
muncul benjolan yang baru. Benjolan terasa nyeri ketika ditekan dan tidak ada rasa
gatal maupun baal pada benjolan. Pasien memiliki benjolan terbaru dibagian muka
yang baru muncul 1 hari SMRS, pasien juga mengeluhkan kurangnya nafsu makan.
Pasien merupakan buruh pabrik yang bekerja 3 kali shift dalam sehari
sehingga pasien mudah kelelahan dan hal ini menjadi salah satu faktor timbulnya
bentol merah pada tubuh pasien. Pasien memiliki Riwayat penyakit yang sama 3
6
tahun yang lalu dengan keluhan adanya kelainan kulit berwarna kehitaman, tidak
bentol dan baal ketika disentuh, BTA kulit pasien (+) pasien rutin kontrol serta
minum MDT dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter.
• Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit dan reaksi gejalanya,
serta pentingnya kontrol secepatnya apabila timbul reaksi.
• Meminum obat sesuai dosis yang diberikan dan kontrol rutin.
• Perhatikan setiap perubahan sensasi, kekuatan otot dan kondisi kulit
7
• Edukasi pasien dan keluarga pasien tentang penyembuhan lengkap yang
tersedia
V. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanactionam : Ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.7.Definisi
Morbus Hansen atau kusta atau lepra adalah infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh mycobacterium leprae,yang menginfeksi jaringan kulit,mukosa dan saraf
perifer, menyebabkan hilangnya sensasi kulit dengan atau tanpa lesi dermatologis .!
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator Disease” karena penyakit ini
seringkali tidak disadari karena memiliki gejala yang hampir mirip dengan penyakit kulit
lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh bakteri kusta sendiri mengalami proses pembelahan
yang cukup lama yaitu 2–3 minggu dan memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan lebih.
2.2.Epidemiologi
Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami
peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016. Sebesar
94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan >1000 kasus baru tiap
tahunnya. Negara dengan jumlah diagnosis baru kusta terbanyak setiap tahunnya adalah
India, Brazil, Indonesia dan Bangladesh. Lebih dari setengah dari semua kasus kusta baru
didiagnosis di India. Pada tahun 2020, 65.147 - atau 51 persen - kasus kusta baru ditemukan
di sana (dan jumlah ini jauh lebih rendah dari biasanya karena tantangan untuk
mendiagnosis dan mengobati kasus baru yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19). Pada
tahun 2020, terdapat 15 negara yang melaporkan lebih dari 1.000 kasus kusta baru. Ini
adalah Bangladesh, Brasil, DR Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Madagaskar,
Mozambik, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Somalia, Sri Lanka, dan Tanzania.𝟏𝟎
9
Gambar 4. Capaian Eliminasi Kusta Tingkat Kabupaten/Kota Indonesia
Menurut data epidemiologi, berdasarkan distribusi faktor manusia, usia dan jenis
kelamin, serta laporan geografi yang menyampaikan tentang daerah endemis kusta,
point-point diatas yang dimiliki pasien memiliki kesamaan dengan penjelasan
tersebut, sehingga dari segi epidemiologi pasien termasuk kedalam pasien dengan
penyakit morbus Hansen.
10
2.3.Etiologi
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari 3
kelompok :4
11
• Penjamu kekebalan rendah -> menderita kusta tipe multibasiler
(MB), banyak bakteri
1. Sumber penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu – satunya yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan
pada telapak kaki tikus yang tidak memiliki kelanjar thymus.
2. Cara keluar dari pejamu (host)
Kuman kusta banyak ditemukan pada mukosa hidung manusia, dan telah terbukti
bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe lepromatous merupakan
sumber kuman.
3. Cara penularan
Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita
dan masuk kedalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan penderita, tetapi penderita yang sudah
minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada orang
lain.
4. Cara masuk ke dalam host
Diperkirakan cara masuk kuman kusta melalui saluran nafas bagian atas
danmmelalui kontak kulit yang tidak utuh. 6. Penjamu (Tuan Rumah = Host)
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita,
hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. lepra termasuk kuman obligat
intraseluler dan system kekebalan yang efektif adalah system kekebalan seluler.
Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan
malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.11
2.4.Klasifikasi
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling dibuat berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histopatologis dan imunologis menjadi 5 tipe :2,3
12
Tabel 4. Klasifikasi Ridley Jopling.%,'
13
Klasifikasi kusta menurut WHO dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan
sedikit atau tidak ditemukan bakteri dan tipe Multibasiler (MB) dengan jumlah bakteri yang
banyak. Tipe PB menurut WHO adalah tipe TT dan BT menurut Ridley dan Jopling, sedangkan
tipe MB adalah tipe BB, BL dan LL, atau tipe apapun dengan BTA positif.
Sifat PB MB
Lesi kulit (makula, plak, 1-5 lesi >5 lesi
papul, nodus)
• hipopigmentasi/eritema, • hipopigmentasi/eritema,
• distribusi tidak simetris, • distribusi lebih simetris,
• hilangnya sensasi jelas • hilangnya sensasi kurangjelas
Kerusakan saraf (sensasi hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf
hilang/ kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)
14
Pembahasan Berdasarkan Teori
Pada kasus didapatkan :
1. Lesi kulit Makula eritematosa
2. Jumlah lesi pada kulit >5
3. Hapusan sediaan BTA hasilnya negatif
4. Pasien tidak ada kelainan sensoris dan tidak baal pada lesi
5. Distribusi lesi bilateran dextra dan sinistra
6. Pasien memiliki nodul
Berdasarkan point-point diatas dan dicocok kan dengan klasifikasi WHO-Ridley Jopling
pasien ini termasuk ke dalam klasifikasi WHO Multibasiler dan ridley Jopling –
borderline lepromatosa. Multibasiler dikarenakan lesi terdapat macula eritem, jumlah
nya lebih dari 5 , terdapat nodul dan kehilangan rasa pada lesi tidak jelas. Borderline-
lepromatosa, walaupun hasil bta nya positive tetapi pasien memiliki lesi dengan jumlah
lebih dari 5 atau sukar dihitung, masih memiliki kulit yang sehat serta anestesi nya tidak
jelas.
15
2.5.Patofisiologi
Mycobacterium Leprae, masuk ke tubuh melalui 2 rute : kulit dan mukosa hidung.
Sel Schwann (SCs) adalah target utama infeksi M. leprae yang menyebabkan cedera
saraf, demielinasi, dan kecacatan. Menempelnya M.Leprae ke sel Schwann menginduksi
demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Demielinasi yang diinduksi
Mycobacterium leprae adalah hasil dari pengikatan bakteri langsung ke reseptor
neuregulin, aktivasi ErbB2 dan Erk1 / 2, dan selanjutnya pensinyalan dan proliferasi
MAP kinase .
Makrofag adalah salah satu sel inang paling banyak yang bersentuhan dengan
mikobakteri. Fagositosis M. leprae oleh makrofag yang berasal dari monosit dapat
dimediasi oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4
(CD11c/CD18) dan diatur oleh protein kinase . Nonresponsiveness terhadap M. leprae
tampaknya berkorelasi dengan profil sitokin Th2.(
Rute yang digunakan oleh M. leprae untuk masuk ke sel target, terutama sel Schwann,
yaitu : (1) filamen saraf di epidermis; (2) pintu masuk M. leprae di epidermis, dan dari
sana ke sel Schwann lainnya; (3) fagositosis M. leprae oleh makrofag dermal, yang
kemudian menginvasi perineurium, membebaskan basil untuk memasuki sel Schwann;
dan (4) melalui darah, yaitu M. leprae dapat memperoleh akses ke saraf melalui kapiler
intraneural. Sel endotel yang membesar dapat memfasilitasi masuknya basil ke sistem
saraf, dan akhirnya ke sel Schwann.
Interaksi M. leprae dengan dan engulfment (penelanan) oleh sel endotel telah
diidentifikasi sejak lama. Studi Armadillo menunjukkan penebalan epineural setelah
16
infeksi M. leprae pada makrofag sel endotel limfatik dan vaskular. Meskipun model
infeksi ini sudah dikenal, masih tidak jelas bagaimana M. leprae kemudian ditransfer dari
sel tersebut ke sel Schwann.
Setelah M. leprae mencapai matriks ekstraseluler, PGL-I48 atau protein pengikat laminin
21-kDa mirip histone berikatan dengan rantai laminin α2 untuk menyerang sel Schwann.
Kehadiran domain G dari α-dystroglycan (α-DG) mungkin diperlukan untuk M. leprae
masuk ke sel Schwann. Sitoskeleton matriks (α-DG, α2-laminin, β-DG) mungkin
merupakan rute yang digunakan M. leprae untuk memasuki sel inang.
M. leprae memotong jalur reseptor neuregulin (komponen keluarga faktor pertumbuhan
epidermal) dan melakukan ligasi bakteri langsung ke ErbB2, memberi sinyal tanpa
heterodimerisasi ErbB3 dan memperkuat sinyal Erk1/2 yang dapat menginduksi
degradasi selubung mielin. Selain itu, menggunakan jalur nonklasik dan pensinyalan
independen MEK, M. leprae dapat mengaktifkan Erk1/2 secara langsung oleh sel limfoid
kinase (p56LcK), menginduksi proliferasi sel dan mempertahankan proliferasinya. Pada
infeksi, terjadi peningkatan ekspresi 9-O -acetyl GD3 ganglioside, sebuah molekul yang
terlibat dalam pensinyalan anti-apoptosis dan regenerasi saraf. Immunoblocking 9-O-
acetyl GD3 ganglioside pada sel Schwann mengurangi Erk1/2 dan proliferasi sel.
M. leprae dapat mendediferensiasi dan memprogram ulang sel Schwann dewasa menjadi
sel mirip sel punca, mungkin menggunakan ini untuk mendorong penyebaran infeksi.
Kelangsungan hidup Bacilli dapat dipertahankan dengan mekanisme yang berbeda.
Setelah invasi , M. leprae mengganggu (1) pematangan endositik yang menghambat
pengasaman vesikel phagosomes; (2) homeostasis lipid sel inang, menginduksi dan
mengakumulasi tetesan lipid melalui reorganisasi sitoskeleton dan pensinyalan PI3K,
terlepas dari TLR-266; dan (3) jalur oksidatif, melalui intensifikasi serapan glukosa dan
augmentasi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, yang sekali dihambat dapat menurunkan
viabilitas M. leprae hingga 70%.
2.6.Manifestasi Klinis
Kelainan kulit pada kusta dapat berbentuk , makula atau bercak hipopigmetasi
dengan anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai tepi yang menimbul dan sedikit
eritematosa, atau berupa infiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul dan
nodul.'
Cardinal sign kusta antara lain: (1) Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematous,
misalnya makula atau plak, dengan kehilangan sensasi pada kulit; (2) Penebalan atau
pembesaran saraf perifer dan tanda-tanda kerusakan saraf perifer, seperti kehilangan
sensoris, paralisis atau disfungsi sudomotor dengan atau tanpa pembesaran saraf; (3)
Ditemukan Basil Tahan Asam (BTA) di apusan dan/atau biopsi yang diambil dari lesi
kulit.
Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan saraf perifer
yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus saraf. Gambaran
17
dan distribusi kerusakan saraf yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang
menginfiltrasi saraf, serta respons imunologis penderita terhadap saraf yang terinfeksi.
Berdasarkan hal tersebut, manifestasi klinis kerusakan saraf perifer dapat
digolongkan menjadi :
• Gangguan sensorik
• Gangguan motorik dan
• Gangguan otonom.
Ketiga gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer di ekstremitas maupun saraf kranial.
Saraf perifer yang sering terkena ialah N.ulnaris, N.radialis, N.medianus, N. poplitea
lateralis, N. tibialis posterior, N. fasialis, N. trigeminus serta N.auricularis magnus.'
Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi intraokular maupun ekstraokular.
Kerusakan intraokular berupa episkleritis, skleritis, iridosiklitis, keratitis, ulkus kornea,
serta penurunan sensibilitas kornea. Sedangkan kerusakan ekstraokular yang dapat
terjadi berupa madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis, serta mata kering. Lebih lanjut,
kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan padahal penderita kusta sangat bergantung
pada penglihatannya untuk mencegah tangan dan kakinya yang kebas mengalami
cedera.'
Gejala Kusta sendiri dibagi menjadi enam jenis berdasarkan tingkat keparahan
gejalanya, yaitu :)
• Intermediate leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi yang tampak
datar dan kadang sembuh dengan sendirinya, namun dapat berkembang menjadi
jenis kusta yang lebih parah.
• Tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi yang tampak
datar di antaranya berukuran besar dan mati rasa. Beberapa saraf dapat terkena.
Tuberculoid leprosy dapat sembuh dengan sendirinya, namun gejala ini bisa
berlangsung cukup lama bahkan berkembang menjadi jenis kusta yang lebih
parah.
• Borderline tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi
yang muncul serupa seperti lesi pada tuberculoid leprosy, namun berukuran
lebih kecil dan lebih banyak. Kusta jenis borderline tuberculoid leprosy dapat
bertahan lama bahkan dapat berubah menjadi jenis tuberculoid dan menjadi
jenis kusta yang lebih parah lagi. Pembesaran saraf yang terjadi pada jenis ini
hanya minimal.
• Mid-borderline leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan adanya plak
kemerahan, kadar mati rasa dalam kadar sedang serta terjadi pembengkakan
kelenjar getah bening. Mid-borderline leprosy dapat sembuh, bertahan atau
berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah (get worse).
18
• Borderline lepromatous leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan lesi yang
berjumlah banyak (termasuk lesi datar), benjolan, plak, nodul, dan terkadang
mati rasa. Sama seperti mid-borderline leprosy, borderline lepromatous leprosy
dapat sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Lepromatous leprosy. Jenis kusta ini paling parah ditandai dengan lesi yang
mengandung bakteri dan berjumlah banyak, rambut rontok, gangguan saraf,
anggota badan melemah serta tubuh yang berubah bentuk (deformitas).
Kerusakan (kecacatan) yang terjadi pada lepromatous leprosy tidak dapat
kembali seperti semula.
2.7.Diagnosis
a. Anamnesis
• Tanyakan kepada pasien apakah pasien ada riwayat kontak dengan
penderita kusta atau tidak.'
• Pada anamnesa ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat
penyakitnya.
• Kapan timbul bercak/keluhan yang ada mulai dirasakan.
• Apakah ada anggota keluarga serumah yang mempunyai keluhan yang
sama.
• Berapa lama kontak serumah dengan penderita.
• Apakah pernah tinggal didaerah endemis.
• Riwayat pengobatan sebelumnya.)
b. Pemeriksaan Fisik
19
3) Tanda-tanda pada saraf
4) Raba Halus
5) Nyeri
6) Suhu
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Biopsi
Biopsi kulit harus mencakup dermis dan, jika mungkin, subkutikis lesi.
Pewarnaan hematoksilin–eosin- dilengkapi dengan menggunakan metode
pewarnaan Fite-Faraco atau metode lain untuk mendeteksi basil asam-
cepat. Temuan histopatologi dinilai menurut skala Ridley dan Jopling.
Respon jaringan pada kusta tak tentu tidak spesifik.
• Kusta tuberkuloid
Menunjukkan epidermis yang biasanya normal dan zona bening
subepidermal tidak ada. Ada proses granuloma- tous dermal
noncaseating yang terutama terdiri dari makro aktif ( sel epiteloid)
dengan sel T CD4+ di tengah sel epiteloid, sel T CD8+ di mantel
20
yang mengelilingi granuloma, dan sel raksasa dari tipe Langhans.
Granuloma dapat terhubung dengan epidermis dan sering di
sekitar saraf dan pembuluh darah.
• borderline-tuberculoid
Dapat dibedakan dari kusta tuberkuloid dengan adanya zona grenz
subepidermal. Secara umum, tidak ada granuloma yang terdefinisi
dengan baik dengan sel epiteloid yang terorganisir, dan ada
pengurangan frekuensi limfosit dan sel Langhans yang langka
dengan basil asam-cepat langka
• Dalam borderline-borderline, ada agregat sel epithelioid, limfosit
terdispersi langka, tidak ada sel raksasa multinukleasi Langhans,
dan peningkatan jumlah basil asam-cepat
• Kusta borderline-lepromatous menunjukkan zona grenz
subepidermal, agregat makrofag, sel epiteloid sesekali dengan
sitoplasma yang melimpah, dan beberapa sel berbusa, dengan
sedikit limfosit. Sejumlah besar basil dan beberapa globi dapat
ditemukan
• Pada kusta lepromatosa terdapat epidermis normal hingga pipih,
zona grenz subepidermal, agregat dan lembaran makrofag berbusa
yang dicampur dengan limfosit CD8+ predomi dan sel plasma.
Menurut Ridley, rentang indeks bakteri dimulai dari angka 0 hingga 6+,
dengan 0 berarti tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)
21
• 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
• 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Gambar 6. Histopatologi kusta tuberkuloid. Adanya granuloma yang dalam dan superfisial yang
berkembang dengan baik, yang menyentuh epidermis (A), terkait dengan infiltrasi limfosit di sekitar atau
menyerang dan menghancurkan usia penumpukan kulit, seperti saraf, otot pili erector (B), atau kelenjar
keringat (C)
22
Gambar 8. Histopatologi kusta borderline-borderline. Granuloma tuberkuloid dalam dan superfisial yang
tidak menyentuh epidermis, mulai membentuk zona grenz (A). Sel-sel inflamasi menyerang aneksasi dan
saraf kulit, yang mengalami degenerasi (B), dan basil asam-cepat dapat ditemukan lebih mudah, beberapa
membentuk globi (C).
23
Gambar 10. Histopatologi kusta lepromatosa. Infiltrat inflamasi yang sebagian besar terdiri dari
makrofag berbusa diamati pada dermis. Epidermis diratakan, dan ada zona grenz yang jelas pada
antarmuka dermal-epidermis (A). Fite-Faraco mendemonstrasikan basil globi asam-cepat di dalam
makrofag (B) dan pada sel kelenjar keringat (C).
2) Serologi
24
Pembahasan Berdasarkan Teori
1. Pasien memiliki Riwayat kusta 3 tahun lalu dan mengkonsumsi obat MDT
selama 12 buan
2. Lesi saat ini yaitu macula dan nodul eritematosa bilateral dextra dan sinistra
3. Lesi jika ditekan akan menimbulkan nyeri
4. Bta pasien negative
5. Pasien tidak ada kelainan rangsangan sensoris maupun kelemahan anggota gerak
6. Selama 8 bulan pasien telah mengkonsumsi prednisone dan tidak kunjung
sembuh
Berdasarkan point-point diatas, dari hasil pemeriksaan fisik pasien memiliki tanda
dari morbus Hansen, yaitu adanya makula dan nodul eritema. Pasien pernah
mengalami morbus hansen 3 tahun lalu dan sudah dinyatakan sembuh serta sudah
mengonsumsi prednisone selama 3bulan tetapi tidak kunjung membaik, sehingga
pasien di diagnosis morbus hansen relaps karena sudah sembuh dan kambuh
kembali, sementara kenapa tidak morbus hansen revearsal dikarenan jika revearsal
seharusnya pasien sembuh dengan menggunakan prednisone selama 2 bulan.
2.8.Diagnosis Banding
25
Kusta disebut sebagai the greatest imitator, karena secara klinis menyerupai berbagai penyakit
kulit lain. Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan penyakit kusta, antara lain:
Gambar 13. Psoriasis : Lesi plak eritema berbatas tegas, lesi eritema, vesikel dan krusta,
skuama berlapis
26
kan dengan diagnosis banding antar morbus hansen dan psoriasis pasien termasuk
kedalam morbus hansen.
2.9.Reaksi dan Relaps Kusta
Reaksi kusta merupakan episode akut yang timbul di tengah proses perjalanan penyakit
kusta yang kronis.'
2. Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 lebih sering disebut sebagai reaksi reversal. Reaksi reversal hanya
dapat terjadi pada pasien yang berada dalam spektrum borderline (BL, BB, BT),
karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil, sehingga mudah berubah.
Pada reaksi reversal, respons imun seluler berperan penting, yaitu terjadi
peningkatan SIS mendadak. Hal ini menyebabkan gambaran klinis kusta bergeser
kearah tipe tuberkuloid. Walaupun belum diketahui dengan pasti faktor pencetus
terjadinya reaksi, namun diperkirakan proses reaksi ini berhubungan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi biasanya terjadi pada masa
pengobatan MDT 6 bulan pertama. Gejala klinis yang timbul pada reaksi reversal
berupa bertambah aktifnya sebagian atau seluruh lesi yang sudah ada, disertai
munculnya lesi baru dalam waktu yang singkat. Perubahan lesi menjadi aktif
dapat digambarkan sebagai perubahan warna lesi menjadi semakin eritem, udem,
atau lesi menjadi lebih infiltratif dan lebih luas .'
3. Reaksi Tipe 2
Reaksi tipe 2 terjadi pada pasien kusta dengan jumlah bakteri sangat banyak, yaitu
pada tipe LL dan BL. Reaksi sering disebut sebagai reaksi ENL (eritema nodusum
leprosum), karena memberikan gambaran klinis munculnya nodus di kulit. Pada
reaksi tipe 2 yang berperan penting adalah respons imun humoral.
Reaksi ENL dapat terjadi sebelum pengobatan, saat pengobatan ataupun setelah
selesai, namun banyak terjadi di tahun kedua pengobatan MDT. Hal ini terjadi
karena pada saat pengobatan, banyak kuman M. leprae yang mati, sehingga
27
banyak antigen yang bereaksi dengan antibodi dan membentuk kompleks imun.
Kompleks imun yang terbentuk selanjutnya masuk dalam sirkulasi darah,
kemudian akan mengendap di berbagai organ tubuh dan menimbulkan gejala,
antara lain nodus eritem disertai nyeri yang terutama muncul pada kulit lengan
dan tungkai. (lihat Gambar 5) Gejala ini umumnya menghilang dalam beberapa
hari atau beberapa minggu, dan dapat pula diikuti dengan pembentukan nodus
baru, sedangkan nodus lama menjadi keunguan. Gejala klinis pada berbagai
organ dapat berbentuk iridosiklitis, neuritis akut, artritis, limfadenitis, orkitis,
serta nefritis akut. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.'
4. Relaps Kusta
The guide to leprosy control, mendefinisikan kambuh sebagai "pasien yang
berhasil menyelesaikan terapi multidrug yang memadai, tetapi yang kemudian
28
mengembangkan tanda dan gejala baru penyakit baik selama masa pengawasan
atau sesudahnya.
Becx-Bleumink mencantumkan beberapa kriteria
untuk kambuh, yang meliputi:!!
• lesi kulit baru;
• aktivitas baru pada lesi kulit yang sudah ada sebelumnya;
• Indeks Bakteriologis (BI) 2+ atau lebih dalam dua set apusan kulit;
• kehilangan fungsi saraf baru;
• bukti histologis kambuh dalam biopsi kulit atau saraf;
• aktivitas lepromatosa di mata.
Dari definisi the guide to leprosy control dapat disimpulkan pasien merupakan
morbus hansen relaps dikarenakan pasien sudah pernah kusta 3 tahun lalu dan
dinyatakan sembuh serta pasien saat ini kambuh atau muncul tanda dan gejala baru.
Pasien juga telah mengonsumsi prednisone selama 3 bulan dan tidak kunjung
sembuh.
2.10. Tatalaksana
A. Farmakologis
1) Multi Drug Therapy
Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.'
Obat MDT tersedia dalam bentuk blister untuk pasien dewasa dan anak
berusia 10-14 tahun.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
a) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat
MDT.
b) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
• Relaps
• Masuk kembali setelah putus obat/default (dapat PB
maupun MB)
• Pindah berobat (pindah masuk)
• Ganti klasifikasi/tipe.
29
b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg Pengobatan harian : hari
ke-2 hingga 28.
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg Satu blister untuk 1 bulan.
Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
2. Pasien multibasiler (MB) dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg Pengobatan harian: hari ke-
2 hingga 28
d) 1 tablet lampren 50 mg
e) 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan.
30
a) Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
b) Dapson : 1-2 mg/kgBB
c) Lampren : 1 mg/kgBB
31
Gambar 16. Obat blister
32
B. Tatalaksana Reaksi Kusta
33
5) 2 minggu V : 10 mg/hari ( 1 x 2 tab) pagi hari sesudah makan
6) 2 minggu VI : 5 mg/hari (1 x 1 tab) pagi hari sesudah makan
C. Non Farmakologis
1) Konseling
Memanfaatkan potensi mental pasien seoptimal mungkin untuk
meningkatkan kualitas penyesuaian baik dengan dirinya sendiri maupun
lingkungannya.
2) Edukasi Kesehatan
Memberikan informasi Kesehatan kepada pasien mengenai penyakit
kusta, penyebab, pengobatan dan disabilitas yang terjadi serta
pencegahan disabilitas
34
6) Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi dapson
2.12. Pencegahan
Kemoprofilaksis Kusta
1. penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga) bulan pada daerah yang
memiliki Penderita Kusta;
2. berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
3. tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir;
4. tidak sedang dirawat di rumah sakit;
5. tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
6. bukan suspek tuberkulosis;
7. bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta;
8. bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.
35
Gambar 17. Dosis kemoprofilaksis
2.13. Prognosis
Prognosis kusta tergantung pada beberapa faktor, yang meliputi: stadium penyakit
saat diagnosis, inisiasi pengobatan dini, akses pasien terhadap pengobatan, dan
kepatuhan terhadap terapi. Dengan dimulainya terapi multiobat (MDT) tepat waktu
setelah onset awal, kusta umumnya dipandang sebagai penyakit yang dapat
disembuhkan. Perawatan dengan MDT dapat mencegah kelainan bentuk yang luas dan
kecacatan neurologis. Dengan mengikuti terapi yang ditentukan dengan benar, tingkat
gangguan neurologis dapat dibatasi. Tapi ada kasus yang menunjukkan ada sebagian atau
tidak ada pemulihan dari kelemahan otot atau kehilangan sensasi yang bertahan sebelum
dimulainya terapi. Kekambuhan (munculnya kembali penyakit setelah pengobatan
selesai) minimal setelah MDT diterapkan, dan kematian juga jarang terjadi.*
2.14. Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan
jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity), gejala umum
anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7
g/dl. Kriteria anemia menurut who dibagi menjadi 3:+
• Laki laki dewasa < 13g/dl
• Wanita dewasa tidak hami , 12 g/dl
• Wanita hamil < 11 g/dl
Klasifikasi anemia dibagi menjadi tiga golongan:
1. Anemia Hipokrom Mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH <27 pg
2. Anemia Normositik Normositik, bila MCV 80- 95 fl dan MCH 27 -34
pg
3. Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl
36
BAB III
KESIMPULAN
Morbus Hansen/ kusta/ lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Leprae, gejalanya merupakan adanya kelainan kulit pada kusta dapat berbentuk , makula atau
bercak hipopigmetasi dengan anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai tepi yang menimbul dan
sedikit eritematosa, atau berupa infiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul dan
nodul. Kusta menurut WHO diklasifikasikan menjadi tipe pausi basiler dan multi basiler.
Penatalaksanaan kusta dapat diberikan rejimen MDT sesuai dengan klasifikasinya.
Anemia adalah sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
Tn. C, laki-laki usia 30 tahun rujukan dari puskesmas cikarang datang ke RSUD Kabupaten
Bekasi dengan keluhan terdapat bentol merah ditangan yang menyebar ke muka sejak 8 bulan yang
lalu. Pasien mengeluhkan adanya benjolan baru setiap ½ bulan, pasien merasakan hawa badan
yang panas dan demam setiap muncul benjolan yang baru. Benjolan terasa nyeri ketika ditekan
dan tidak ada rasa gatal maupun baal pada benjolan. Pasien memiliki benjolan terbaru dibagian
muka yang baru muncul 1 hari SMRS, pasien juga mengeluhkan kurangnya nafsu makan.
Pasien merupakan buruh pabrik yang bekerja 3 kali shift dalam sehari sehingga pasien
mudah kelelahan dan hal ini menjadi salah satu faktor timbulnya bentol merah pada tubuh pasien.
Pasien memiliki Riwayat penyakit yang sama 3 tahun yang lalu dengan keluhan adanya kelainan
kulit berwarna kehitaman, tidak bentol dan baal ketika disentuh, BTA kulit pasien (+) pasien rutin
kontrol serta minum MDT dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus : Regio Antebrachii Bilateral :
Makula dan nodul eritematosa, multiple, ukuran nummular, sirkumskrip, diskret-konfluens, Regio
Manus Bilateral : Makula dan nodul eritematosa, multiple, ukuran nummular, sirkumskrip, diskret,
Regio Zygomatica Unilateral sinistra : Makula dan nodul eritematosa, multiple, nummular, batas
tegas, diskret, Regio Nasalis : Nodul eritematosa, soliter, nummular, sirkumskrip, diskret, Dan
pada pemeriksaan penunjang didapatkan : Darah lengkap : Hemoglobin, Hematokrit, Eritrosit,
MCH, MCHC menurun dan leukosit meningkat pada Hitung jenis : Eosinofil menurun, sedangkan
laju endap darah dan monosit meningkat serta BTA kulit negative.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Sewon Kang, M. A. (2019). Fitzpatrick Dermatology. United States: The Mc Graw-Hill
Education.
2. Ridley, D. S. (1966). Classification of leprosy according to immunity. A five-group
system. International journal of leprosy and other mycobacterial diseases : official organ
of the International Leprosy Association, 255–273.
3. Kemenkes, R. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Kusta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
4. Kemenkes, R. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 11 Tahun
2019 Tentang penanggulangan Kusta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
5. Siswanto, T. A. (2020). Neglected Tropical Disease Kusta. Kalimantan Timur:
Mulawarman University Press.
6. Debra Sullivan, P. M. (2022, February 11). What's the Difference Between Leprosy and
Psoriasis. Retrieved from Healthline: health/psoriasis/leprosy-vs-psoriasis
7. Prakash, R. M. (2012). Leprosy: An Overview of Pathophysiology. Hindawi Publishing
Corporation, 2.
8. Bakta, I. M. (2007). Pendekatan Terhadap Pasien Anemia Buku Ajar Penyakit Dalam.IV.
Jakarta Pusat: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK.
9. Bhandari, J., Awais, M., Robbins, B. A., & Gupta., V. (2022). Leprosy. National Library
Of Medicine.
10. Mission, T. L. (n.d.). Retrieved from Leprosymission.org.uk:
https://www.leprosymission.org.uk/about/faqs/
11. J, R. M. (2012). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
12. Organization, W. H. (1994). Risk Of Relapse In Leprosy. Geneva: World Health
Organization.
13. Singh, K. (2010). Is Phenolic Glycolipid-I Really a Spesific Antigen For Leprosy?
Clinical Infectious Disease, 937-938.
38