Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

ANEMIA BERAT EC HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

Penyusun:
dr. Amanda Tiodhoro Magdalena

Pembimbing:
Dr. dr. H. M. Natsir Nugroho, Sp.OG, M.Kes
dr. Hj. Fitri Yanti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul:

ANEMIA BERAT EC HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

Diajukan sebagai salah satu syarat Program Internsip Dokter Indonesia di

Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Periode Februari 2019 – Februari 2020

Oleh:

dr. Amanda Tiodhoro Magdalena

Jakarta, Januari 2020

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. H. M. Natsir Nugroho, Sp.OG, dr. Hj. Fitri Yanti


M.Kes
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
laporan kasus dengan judul “ANEMIA BERAT EC HIPERPLASIA
ENDOMETRIUM” dalam waktu yang telah ditetapkan. Kasus ini disusun
sebagai salah satu syarat kegiatan Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah
Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
Dengan disusunnya laporan kasus ini, penulis berharap agar dapat
memberikan wawasan dan pemahaman kepada para pembaca mengenai keadaan
anemi terutama pada kasus hiperplasia endometrium pada bagian ilmu kandungan
dan kebidanan yang masih banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari,sehingga
dapat dilakukan tatalaksana yang tepat.
Penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis dalam pengerjaan tugas ini sehingga tugas ini dapat
selesai tepat pada waktunya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan tugas ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan oleh
penulis agar dapat memperbaiki penulisan selanjutnya.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................ 3
2.1. Identitas Pasien ..................................................................................... 3
2.2. Anamnesa ............................................................................................. 3
2.3. Pemeriksaan Fisik ................................................................................. 5
2.4. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 6
2.5. Diagnosa Kerja ..................................................................................... 7
2.6. Terapi .................................................................................................... 7
2.7. Catatan Perkembangan ......................................................................... 7
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 11
3.1. Anatomi dan Fisiologi Endometrium ................................................... 11
3.2. Siklus Endometrium Normal ................................................................ 12
3.3. Hiperplasia Endometrium ..................................................................... 13
3.3.1. Definisi ....................................................................................... 13
3.3.2. Klasifikasi ................................................................................... 14
3.3.3. Patogenesis ................................................................................. 14
3.3.4. Gejala Klinis ............................................................................... 15
3.3.5. Faktor Risiko .............................................................................. 15
3.3.6. Diagnosis .................................................................................... 16
3.3.7. Diagnosis Banding ...................................................................... 17
3.3.8. Terapi .......................................................................................... 17
3.3.9. Prognosis .................................................................................... 19
3.3.10. Pencegahan ............................................................................... 19
BAB 4 DISKUSI .................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hiperplasia endometrium merupakan prekursor terjadinya kanker
endometrium yang terkait dengan stimulasi estrogen yang tidak terlawan
(unopposed estrogen) pada endometrium uterus. Stimulasi estrogen yang tidak
terlawan dari siklus anovulatory dan penggunaan dari bahan eksogen pada wanita
postmenopause menunjukkan peningkatan kasus hiperplasia endometrium dan
karsinoma endometrium. Kelainan ini biasanya muncul dengan perdarahan uterus
abnormal. Resiko terjadinya progresifitas sangat terkait dengan ada atau tidak
adanya sel atipik.
The American Cancer Society (ACS) memperkirakan ada 40.100 kasus
baru dari kanker rahim yang didiagnosis pada tahun 2003, dimana 95 % berasal
dari endometrium. Sistem klasifikasi dari hiperplasia endometrium sudah dibuat
berdasarkan kompleksitas dari kalenjar endometrium dan sel-sel atipik pada
pemeriksaan sitologi. Hiperplasia atipikal sangat terkait dengan progresifitas
menjadi karsinoma endometrium. Progresifitas dari hiperplasia endometrium,
menjadi kondisi patologis yang lebih agresif sangat terkait dengan diagnosis awal
pada endometrium.
Hiperplasia sederhana (simple hyperplasia) lebih sering mengalami regresi
jika sumber estrogen eksogen dihilangkan. Bagaimanapun, hiperplasia atipikal
seringkali berkembang menjadi adenokarsinoma kecuali diintervensi dengan
terapi medis. Terapi dengan penggantian hormon sedang dalam penelitian untuk
menentukan dosis dan tipe dari progestin untuk melawan efek stimulasi
berlebihan estrogen pada endometrium. Hiperplasia endometrium biasanya
didiagnosis dengan biopsy endometrium atau kuretase endometrium setelah
seorang wanita menemui dokter kandungan dengan perdarahan uterus abnormal.
Modalitas terapi tergantung dengan usia pasien, keinginan untuk memiliki
anak, dan keberadaan dari sel atipik pada bahan endometrium. Progestin telah

1
sukses digunakan pada wanita dengan hiperplasia endometrium yang memilih
untuk tidak dilakukan pembedahan.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. Hera


Umur : 43 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Kp. Setu RT 05/01 Bintara Jaya, Bekasi Barat
No.RM : 894626

2.2. Anamnesa
a. Keluhan Utama :
Lemas hilang timbul 1 bulan ini
b. Keluhan Tambahan :
Haid tidak teratur 2 tahun belakangan
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Islam Pondok Kopi Jakarta dengan
keluhan utama lemas yang hilang timbul sudah selama 1 bulan
terakhir sebeum masuk rumah sakit. Lemas tidak berkurang
dengan istirahat cukup dan makan teratur. Pasien juga mengaku
bahwa dua tahun belakangan haidnya tidak teratur. Haid yang
terjadi sebanyak 6 pembalut setiap harinya dan menetap selama
kurang lebih 20 hari. Frekuensi terlama haid yaitu 45 hari. Darah
yang keluar berwarna merah kehitaman, terkadang terdapat darah
yang menggumpal. Keluhan awalnya tidak dirasakan mengganggu
tetapi karena terlalu lama akhirnya pasien merasa lemas dan tidak
nyaman. Selain itu OS merasa satu bulan belakangan ini menjadi

3
sering nyeri kepala yang dirasakan seperti kepalanya terasa enteng.
Keluhan tersebut terutama saat pasien habis beraktivitas. Pasien
kemudian berobat ke rumah sakit lain dan dilakukan pemeriksaan
lab disana. Setelah melakukan pemeriksaan lab os kemudian
dirujuk ke RSIPKJ. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma
sebelumnya dan mengaku belum pernah mengonsumsi obat-obatan
untuk keluhan utamanya.
HPHT : 18 Oktober 2019
d. Perangai pasien – Kooperatif
e. Riwayat Haid :
- Menarche : usia 12 tahun
- Siklus : 28 hari, teratur
- Lamanya : 7 hari
- Nyeri haid : tidak ada
- Volume : 4 kali ganti pembalut
f. Riwayat KB :
- Menggunakan pil KB (lupa nama obat) 1xI tab setelah anak ke-2
- Mengganti pil dengan KB suntik tiap 3 bulan setelah anak ke-3
- Menghentikan KB suntik setelah satu tahun penggunaan
g. Riwayat Pernikahan :
Pasien menikah pada usia 21 tahun, kemudian melahirkan anak
pertama pada usian 23 tahun.
h. Riwayat Persalinan :
1. Tahun 1997, laki-laki, normal, berat janin 3600 gram, ditolong
oleh dokter.
2. Tahun 2002, perempuan, normal, berat janin 3500 gram,
ditolong oleh bidan.
3. Tahun 2008, perempuan, SC, berat janin 3200 gram, ditolong
oleh dokter, penyulit HAP.
4. Tahun 2011, laki-laki, SC, berat janin 3300 gram, ditolong oleh
dokter, penyulit letak sungsang.

4
i. Riwayat Penyakit Dahulu : Disangkal
j. Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
k. Riwayat Kebiasaan : Rokok (-), alkohol (-)

2.3. Pemeriksaan Fisik


i) Pemeriksaan Umum :
a) Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b) Kesadaran : Compos mentis cooperatif
c) Tekanan darah : 140/80 mmHg
d) Nadi : 89 kali/menit
e) Respirasi : 21 kali/menit
f) Suhu badan : 36,7 °C
ii) Pemeriksaan khusus :
Kepala : Normocephali
Mata :Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Dalam Batas Normal
Hidung : Dalam Batas Normal
Mulut : Bibir tampak pucat, kering, sianosis (-)
Leher : Dalam Batas Normal
Paru : Vesikuler (+) Normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I-II (+) Normal
Abdomen : Soepel, BU(+), NTE (-) nyeri di bawah pusat (+)
Extremitas : Edem (-), CRT <2", akral hangat
iii) Pemeriksaan Ginekologis
1. Pemeriksaan luar
INSPEKSI : perut datar, tidak tampak massa, bekas operasi (+)
PALPASI : TFU tidak teraba. Nyeri Tekan : (+)
2. Pemeriksaan Dalam
Mons pubis: distribusi rambut merata
Vulva, perineum, anus: peradangan (-), massa (-), fistel (-), sekret
(-), sisa perdarahan (-), perdarahan aktif (-)

5
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
Pemeriksaan Darah Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 6.0 g/dl 12-16 g/dl
Leukosit 5.900 /mm3 5.000-10.000 /mm³
Hematokrit 20 % 37-45 %
Trombosit 312.000 /uL 150.000-400.000 /uL

USG : - endometrium tebal : 2.4 cm


- ukuran uterus 5x6 cm
Kesan: Hiperplasia Endometrium

2.5. Diagnosa Kerja


Anemia berat ec Hiperplasia Endometrium

2.6. Terapi
Oksigen dengan nasal kanul 2 Lpm
IVFD RL 20 tpm
Transfusi PRC 1000cc
Kuretase

6
2.7. Catatan Perkembangan

Follow up 13 November 2019 (hari ke-1 rawatan)


S/ Lemas (+)
O/ KU: sedang, Kes: CM, TD: 110/70 mmHg, HR: 80x/menit, RR: 18x/menit,
T: 36,7
Mata: CA +/+, SI -/-
Thoraks: SN ves, rh -/-, wh -/-, S1-S2 reg, bising (-)
Abd: distensi (-), BU (+) N, Nyeri tekan bawah pusat +
Eks: akral hangat, CRT <2”
A/ Anemia Berat ec Hiperplasia Endometrium
P/ IVFD NaCl 0,9%/ / 12 jam
O2 nasal kanul 2 lpm
Persiapan darah 5 kantong
Follow up 14 November 2019 (hari ke-2 rawatan)
S/ Lemas (+)
O/ KU: sedang, Kes: CM, TD: 110/70 mmHg, HR: 88x/menit, RR:
20x/menit, T: 36,9
Mata: CA +/+, SI -/-
Thoraks: SN ves, rh -/-, wh -/-, S1-S2 reg, bising (-)
Abd: distensi (-), BU (+) N
Eks: akral hangat, CRT <2”
A/ Anemia Berat ec Hiperplasia Endometrium
P/ IVFD NaCl 0,9%/ / 12 jam
O2 nasal kanul 2 lpm
Transfusi darah
Hb post transfusi: 12,7
Lab persiapan kuretase:
BT/CT: 1,3/4
GDS: 95
HBsAg: non reactive

7
Follow up 15 November 2019 (hari ke-3 rawatan)
S/ Lemas (-), Nyeri abdomen (-), perdarahan (-)
O/ KU: sedang, Kes: CM, TD: 120/70 mmHg, HR: 80x/menit, RR: 18x/menit,
T: 36,7
Mata: CA -/-, SI -/-
Thoraks: SN ves, rh -/-, wh -/-, S1-S2 reg, bising (-)
Abd: distensi (-), BU (+) N, Nyeri tekan bawah pusat +
Eks: akral hangat, CRT <2”
A/ Hiperplasia Endometrium
Post Kuretase
P/ IVFD NaCl 0,9%/ 12 jam
Amoxicillin 3x500 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
Inbion 1x1
Nosthyra 3x1
Kalsium glukonas 3x1
Hb post kuretase: 11,8
Jaringan di PA-kan
Kuretase dilakukan tanpa pre-med, dengan general anestesi teknik TIVA.
Tampon (-)
Follow up 16 November 2019 (hari ke-2 rawatan)
S/ Lemas (-), perdarahan (-)
O/ KU: sedang, Kes: CM, TD: 120/80 mmHg, HR: 82x/menit, RR:
20x/menit, T: 36,7
Mata: CA -/-, SI -/-
Thoraks: SN ves, rh -/-, wh -/-, S1-S2 reg, bising (-)
Abd: distensi (-), BU (+) N
Eks: akral hangat, CRT <2”
A/ Hiperplasia Endometrium
Post Kuretase

8
P/ Rencana pulang
Obat pulang:
Amoxicillin 3x500 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
Inbion 1x1
Nosthyra 3x1
Kontrol poli obgyn tgl 27 November 2019

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Endometrium

Gambar 1. Anatomi uterus

Uterus adalah organ muscular yang berbentuk buah pir yang terletak di
dalam pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus
biasanya terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium
dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium
tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang

10
keduanya sangat sensitif terhadap kerja hormon seks wanita. Hormon yang ada di
tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium,
dimana estrogen merangsang pertumbuhan dan progesteron mempertahankannya.1

Gambar 2. Efek estrogen pada wanita

Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis


endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis. Endometrium adalah lapisan
terdalam pada rahim dan tempatnya menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di
dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk
menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang
biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi),
maka ovum akan terhubung dengan badan induk dengan plasenta yang berhubung
dengan tali pusat pada bayi.
Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka
mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan agar hasil konsepsi bisa
tertanam. Pada suatu fase dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus
luteum akan berhenti memproduksi hormon progesteron dan berubah

11
menjadi korpus albikan yang menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya
lapisan endometrium yang telah menebal, karena
hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada fase ini, biasa
disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim.3,4

3.2. Siklus Endometrium Normal


Endometrium normal menunjukkan perubahan siklik yang disebabkan
oleh perubahan terkait dalam produksi hormon ovarium. Pemeriksaan histologik
endometrium pada specimen biopsy atau kuretase memungkinkan evaluasi fase
siklus endometrium. Bersama dengan riwayat menstruasi pasien, hal ini dapat
memberikan informasi penting mengenai kemungkinan penyebab perdarahan
uterus abnormal.1,5
Siklus endometrium terbagi menjadi fase proliferative praovulasi yang
merupakan akibat stimulasi estrogen dan fase sekresi pascaovulasi yang diatur
oleh sekresi progesterone korpus luteum. Hari pertama siklus adalah mulainya
menstruasi.
Pada fase proliferative, terjadi pembentukan kembali endometrium yang
terlepas dari basal dan gambaran mitotic pada sel-sel stroma maupun kelenjar.
Endometrium menebal, dan kelenjar mulai menjadi berkelok-kelok. Fase sekretori
dimulai setelah ovulasi dengan sekresi progesterone luteum. Bukti histologis
pertama bahwa endometrium berada dalam fase sekretorik terlihat 2 sampai 4 hari
setelah ovulasi, ketika vakuol sekretorik subinti muncul di dalam kelenjar.
Kemudian, sekresi hal tersebut bergerak ke puncak sel inti bergerak kembali ke
dasar. Edema stroma tampak pada hari ke tujuh pascaovulasi. Kelenjar tersebut
menjadi lebih berkelok-kelok secara progresif dan secara tipikal ujungnya
berbentuk seperti gerigi pada siklus.
Arteriol spiral menjadi menonjol pada hari ke sembilan setelah ovulasi.
Mulai pada hari ke sembilan setelah ovulasi, sel-sel stroma menjadi lebih besar,
dengan peningkatan kandungan glikogen dan banyaknya sitoplas (perubahan
pradesidua). Pada saat fertilisasi tidak terjadi, neutrofil tampak di dalam stroma
sekitar 13 hari setelah ovulasi, disertai dengan meningkatnya perdarahan dan

12
nekrosis fokal kelenjar. (fase pramenstruasi). Dalam fase sekretorik siklus ini,
histology endometrium memungkinkan penilaian yang sangat akurat (dalam 2 hari)
mengenai tanggal siklus tersebut dalam kaitan dengan ovulasi.
Menstruasi terjadi akibat penurunan mendadak estrogen dan progesterone
akibat degenerasi korpus luteum. Arteriol spiral kolaps, menyebabkan degenerasi
iskemik pada endometrium. Endometrium menstrual menunjukkan terlepasnya
kelenjar, perdarahan, dan infiltrasi oleh leukosit neutrofil. Keseluruhan
permukaan endometrium hingga lapisan basal terlepas selama menstruasi,
keseluruhan proses ini memerlukan waktu 3-5 hari.1,6

3.3. Hiperplasia Endometrium


3.3.1. Definisi
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar,
dan stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada
endometrium. Bersifat noninvasif, yang memberikan gambaran morfologi berupa
bentuk kelenjar yang irreguler dengan ukuran yang bervariasi. Pertumbuhan ini
dapat mengenai sebagian maupun seluruh bagian endometrium.3,7 Normal
endometrium Endometrial hyperplasia
Gambar 3. Perbedaan endometrium normal dan hiperplasia
Hiperplasia endometrium juga didefinisikan sebagai lesi praganas yang
disebabkan oleh stimulasi estrogen yang tanpa lawan. Hal ini biasanya terjadi
sekitar atau setelah menopause dan terkait dengan perdarahan uterus berlebihan
dan ireguler.' Menurut referensi lain, hiperplasia endometrium adalah suatu
masalah dimana terjadi penebalan/pertumbuhan berlebihan dari lapisan dinding
dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada saat menstruasi.3
Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi
hormon estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja dan
beberapa tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak berovulasi
sehingga pada masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron dan terja
hiperplasia. Kejadian ini juga sering terjadi padaovarium polikistik yang ditandai
dengan kurangnya kesuburan (sulit hamil).4

13
3.3.2. Klasifikasi
Risiko keganasan berkorelasi dengan keparahan hiperplasia, sehingga
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Hiperplasia sederhana (hiperplasia ringan). Dicirikan dengan peningkatan
jumlah kelenjar proliferatif tanpa atipia sitologik. Kelenjar tersebut,
meskipun berdesakan dipisahkan oleh stroma selular padat dan memiliki
berbagai ukuran. Pada beberapa kasus, pembesaran kelenjar secara kistik
mendominasi (hiperplasia kistik). Risiko karsinoma endometrium sangat
rendah.
2) Hiperplasia kompleks tanpa atipia (hiperplasia sedang/hiperplasia
adenomatosa). Menunjukkan peningkatan jumlah kelenjar dengan posisi
berdesakan. Epitel pelapis berlapis dan memperlihatkan banyak gambaran
mitotic. Sel-sel pelapis mempertahankan polaritas normal dan tidak
menunjukkan pleomorfisme atau atipia sitologik. Stroma selular padat
masih terdapat di antara kelenjar.
3) Hiperplasia kompleks dengan atipia (hiperplasia berat/hiperplasia
adenomatosa atipikal). Dicirikan dengan berdesakannya kelenjar dengan
kelenjar yang saling membelakangi dan nyatanya atipia sitologik yang
ditandai dengan pleomorfisme, hiperkromatisme dan pola kromatin inti
abnormal. Hiperplasia kompleks dengan atipia menyatu dengan
adenokarsinoma in situ pada endometrium dan menimbulkan risiko
karsinoma endometrium yang tinggi.1,2

3.3.3. Patogenesis
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau
adanya stimulasi unopposed estrogene (estrogen tanpa pendamping progesteron
/ estrogen tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi
Gonadotrpin (feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap
pertumbuhan folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.7

14
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar
sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga
estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah
terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma
endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan proliferasi
berlebih dan terjadinya hiperplasia pada endometrium. Juga terjadi pada wanita
usia menopause dimana sering kali mendapatkan terapi hormon penganti yaitu
progesteron dan estrogen, maupun estrogen saja.
Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogene) akan
menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh
adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih.

3.3.4. Gejala Klinis


Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama
(amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia).
Selain itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala,
mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah
penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan
suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah.

3.3.5. Faktor Risiko


Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang
memiliki resiko tinggi:
1. Sekitar usia menopause
2. Didahului dengan terlambat haid atau amenorea
3. Obesitas ( konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan
lemak )
4. Penderita Diabetes melitus
5. Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian
progestin pada kasusmenopause
6. PCOS – polycystic ovarian syndrome
7. Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor

15
3.3.6. Diagnosis
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
hiperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan
pemeriksaan Histeroskopi dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk
pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.
1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Gambar 3. Pemeriksaan USG

Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada


pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat
melihat keadaan dinding kavum uteri secara lebih baik maka dapat
dilakukan pemeriksaan histerosonografi dengan memasukkan cairan
kedalam uterus.
2. Biopsy
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan
menggunakan mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa
keganasan uterus.
3. Dilatasi dan Kuretase
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa
perdarahan uterus.

16
4. Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan
teleskop kecil kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan
peralatan ini selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan
pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.

Gambar 4. Sediaan histopatologi

3.3.7. Diagnosis Banding


Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat
dipikirkan kemungkinan:
1) karsinoma endometrium
2) abortus inkomplit
3) leiomioma
4) polip

3.3.8. Terapi
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai
berikut:
1. Kuretase
Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus
sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.

17
2. Progesteron
Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan
kadar hormon di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek
samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan
sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan,
gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin
sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipi, akan
tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical
progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap
bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari)
merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol
asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat
diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi
dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4
minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid
kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa
mempersiapkan diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah
baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama
pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik,
apakah memiliki sel telur dan sebagainya.
3. Histerektomi.
Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan
uterus abnormal dan berulang. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori
atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah
menjalani operasi pengangkatan rahim. Penyakit hiperplasia endometrium
cukup merupakan momok bagi kaum perempuan dan kasus seperti ini
cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika
bisa dilakukan pencegahan yang efektif.

18
3.3.9. Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan
terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi
ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan
hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi temyata juga mengalami
karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan
hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya
yang juga memiliki karsinoma endometrial.

3.3.10. Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti :
1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin,
untuk deteksidini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan
dinding rahim.
2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar
menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak
ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan.
Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5. Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.

19
BAB 4
DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan keluhan utama berupa perdarahan


haid yang memanjang dalam 2 tahun terakhir. Pasien mengeluhkan haidnya
bertahan hingga rata-rata 20 hari, dengan frekuensi paling lma 45 hari. Hal
tersebut dapat dikatakan memanjang karena pasien mengaku pada siklus haid
sebelumnya, lama haid hanya mencapai 7 hari.
Begitupun dengan jumlah pembalut yang dipakai. Dimana biasanya hanya
menggunakan 4 pembalut, sekarang mencapai 6 pembalut. Keluhan tersebut
mengarahkan diagnosis kearah hipermenorea atau menoragia. Hal ini sesuai
dengan definisi dari menoragia, yaitu adalah terjadinya perdarahan haid yang
lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari).
Berdasarkan keluhan utama pasien, diagnosis banding yang dapat
dipikirkan adalah adanya kelainan anatomis seperti hiperplasia endometrium,
polip, leimioma, maupun karsinoma endometrium. Selain itu, apabila tidak
ditemukan kelainan anatomis, dapat dipikirkan kelainan fisiologis seperti
gangguan hormonal. Sedangkan etiologi trauma dapat disingkirkan karena pasien
menyangkal.
Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan adanya riwayat pemakaian KB
pil maupun suntik. Hal tersebut mendukung diagnosis hiperplasia endometrium
dimana biasanya pasien memiliki riwayat penggunaan KB hormonal maupun
terapi sulih hormon.
Menurut kepustakaan, hiperplasia endometrium juga lebih sering terjadi
pada wanita usia lebih dari 35 tahun, terutama pada masa premenopause dan
menopause. Hal ini sesuai dengan usia pasien yang memasuki masa menopause
yaitu 43 tahun.
Pada pasien ini dilakukan tindakan kuretase yang mana nantinya akan
dilakukan pemeriksaan histopatologi. Secara teori, histerektomi merupakan solusi
permanen untuk terapi hiperplasia endometrium dan untuk wanita yang cukup

20
memiliki anak dan sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak
memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2.


Jakarta : EGC. 2006.
2. Cotran dan Robbins. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC. 2008.
3. Wachidah Q, Salim IA, Adityono. Hubungan hiperplasia endometrium dengan
mioma uteri: studi kasus pada pasien ginekologi rsud prof. Dr. Margono
Soekardjo, Purwokerto. Purwokerto: Mandala of Health. 2011; 5 (3).
4. Branson KH. Gangguan Reproduksi Wanita. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2006: 1292-93
5. Prajitno RP. Endometriosis. Dalam: Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2008: 314-16
6. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1992.
7. Suryawan ID, Sastrawinata U. Hubungan kerapatan reseptor hormone
estrogen pada wanita perimenopause terhadap kejadian tipe hiperplasia
endometrium. Bandung: Jurnal Kesehatam Masyarakat. 2007; 6 (2).

22

Anda mungkin juga menyukai