Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

INTOKSIKASI PARACETAMOL

Pembimbing :
dr. I Ketut Adi Suryana, Sp.PD

disusun oleh :
dr. Mardiana Maya Utari

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT RISA SENTRA MEDIKA
MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT
MEI
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus di Rumah Sakit Sentra Medika periode 26 Agustus – 21
November 2020 dengan judul “Ureterolithiasis” yang disusun oleh :
Nama : dr. Mardiana Maya Utari
NIP :
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing :
dr. I Ketut Adi Suryana, Sp.PD

Menyetujui,

(dr. I Ketut Adi Suryana, Sp.PD)

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha
Kuasa, atas Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
”Intoksikasi Paracetamol”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. I Ketut Adi Suryana, Sp.U selaku pembimbing dalam
penyusunan laporan kasus ini. Tujuan dari pembuatan laporan ini selain untuk
menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk
memenuhi tugas dalam menjalankan program dokter internsip periode II tahun
2021 di RS RISA Sentra Medika.
Penulis sangat berharap bahwa lapsus ini dapat menambah wawasan
mengenai Intoksikasi Paracetamol serta penatalaksanaannya. Dan diharapkan,
bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai keadaan
kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga
tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Mataram, Juli 2021

dr. Mardiana Maya Utari

iii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL.............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................. 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 11
3.1 Anatomi........................................................................................... 11
3.2 Fisiologi.......................................................................................... 16
3.3 Definisi............................................................................................ 19
3.4 Etiologi............................................................................................ 20
3.5 Epidemiologi................................................................................... 21
3.6 Klasifikasi....................................................................................... 21
3.7 Patofisiologi.................................................................................... 28
3.8 Gejala Klinis................................................................................... 29
3.9 Diagnosis......................................................................................... 30
3.10 Penatalaksanaan............................................................................ 33
3.11 Pencegahan ...................................................... 39
3.12 Komplikasi.................................................................................... 40
3.13 Prognosis....................................................................................... 40
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................ 41
BAB V KESIMPULAN.................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 44

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Parasetamol atau asetaminofen adalah salah satu antipiretik dan analgetik


yang banyak digunakan di seluruh dunia. Parasetamol biasa digunakan untuk
mengatasi nyeri ringan dan sedang seperti sakit kepala, mialgia dan nyeri
postpartum (Katzung, 2012). Selain itu parasetamol menjadi pilihan untuk pasien
yang tidak dapat diobati dengan obat anti inflamasi non steroid seperti penderita
asma bronkial, penyakit ulkus peptikum, hemofilia, alergi salisilat, perempuan
hamil atau menyusui (Bebenista dan Nowak, 2014).

Keracunan atau intoksikasi adalah keadaan patologik yang disebabkan


oleh obat, racun, makanan, serum, alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan
lain-lain. Keracunan dapat diakibatkan oleh kecelakaan atau tindakan tidak
disengaja, tindakan yang disengaja seperti usaha bunuh diri atau dengan maksud
tertentu yang merupakan tindakan kriminal. Keracunan yang tidak disengaja dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan, baik lingkungan rumah tangga maupun
lingkungan kerja (Brunner and Suddarth, 2010).

Perlu diingat bahwa penggunaan parasetamol adalah antara lain untuk


mengatasi rasa sakit, sementara rasa sakit itu sendiri adalah manifestasi dari suatu
penyakit, artinya obat ini hanya menghilangkan gejala yang timbul tanpa
mengobati penyebab penyakit.
Banyak kesalahan dalam mengkonsumsi obat ini, karena obat digunakan
secara terus menerus untuk menghilangkan gejala rasa sakit yang timbul.
Misalnya seorang yang sering merasakan sakit kepala, untuk mengatasi sakit
kepalanya selalu minum parasetamol. Bila gejala yang dirasakan tidak hilang
setelah efek obat habis, yang bersangkutan seharusnya segera konsultasi ke dokter
untuk dicari penyebab penyakitnya sehingga dapat diobati penyebabnya dengan
benar.
Karena parasetamol merupakan obat yang dapat dibeli secarabebas dan
digunakan secara luas oleh masyarakat, sehingga kemungkinan terjadinya

1
kesalahan dalam penggunaan sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan informasi
mengenai keracunan paracetamol dan cara mengatasinya.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : Ny. NZWS
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cakra Barat
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tanggal MRS : 16 Juni 2021
Tanggal Pemeriksaan : 16 Juni 2021

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Nyeri ulu hati
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD mengeluh nyeri ulu hati sejak kemarin. Nyeri
dirasakan semakin memberat disertai dengan mual-mual namun tidak sampai
muntah. Sebelum muncul keluhan nyeri pasien mengatakan bahwa pasien
meminum Paracetamol sebanyak kurang lebih 9 biji hari ini dan kurang lebih
6 biji hari ini.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi (-), asma (-), kencing manis (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien menyangkal di keluarga ada yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien.
 Riwayat Pengobatan :
Pasien sering berobat ke dokter dengan keluhan nyeri ulu hati.
 Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap makanan atau pun obat-obatan
tertentu.

3
 Riwayat Pribadi dan Sosial :
Pasien adalah seorang pelajar.

2.3 Pemeriksaan fisik


Keadaan Umum : sakit sedang Nadi : 76 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Respirasi : 18 kali/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg Suhu : 36,8 ºC
Status Generalis :
o Kepala : Kesan & bentuk normal.
o Mata : Konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-, RP (+)
isokor 3mm/3mm
o Telinga : Kesan, bentuk dan fungsi normal
o Hidung : Kesan, bentuk dan fungsi normal
o Leher : Pembesaran KGB (-)
o Thorax-Kardiovaskuler
o Paru
Inspeksi : Bentuk dinding dada simetris, retraksi (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, nyeri tekan (-)
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tampak pada ICS 5 midclavicula
Perkusi : Batas bawah ICS 2 midklavikula sinistra, batas kanan linea
parasternal dextra, batas bawah ICS 4 midklavikula sinistra,
batas kiri ICS 5 midklavikula sinistra.
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS 5 midklavikula sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), sikatriks (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

4
Perkusi : Timpani (+) seluruh regio
Palpasi : Defans muskuler (-), supel (+), massa (-), nyeri tekan (+)
region epigastrik ,
hepar dan lien tidak teraba
o Urogenital
Regio Flank/CVA kanan kiri
Tanda radang (-) (-)
Ballotement sulit dinilai sulit dinilai
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (+) (-)
Massa (-) (-)
Jaringan parut/
bekas operasi (-) (-)
Suprapubik
Inspeksi : jejas (-), laserasi (-), hematom (-), massa (-)
Palpasi : Buli tidak penuh, nyeri tekan (-), Massa (-)
Genitalia eksterna : tidak dilakukan pemeriksaan
o Ekstremitas : hangat (+), edema (-)
o RT : tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Resume
Pasien mengeluh nyeri ulu hati sejak sejak kemarin. Nyeri dirasakan
semakin memberat disertai dengan mual-mual namun tidak sampai muntah.
Sebelum muncul keluhan nyeri pasien mengatakan bahwa pasien meminum
Paracetamol sebanyak kurang lebih 9 biji hari ini dan kurang lebih 6 biji hari
ini. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dalam batas normal. Tidak
tampak tanda-tanda anemis. Terdapat nyeri tekan region epigastrik.

5
2.5 Diagnosa kerja
 Intoksikasi Paracetamol

2.6 Pemeriksaan penunjang


Laboratorium DL (16 Juni 2020)

 GDS : 125 mg/dl


 Ureum : 31 mg/dl
 Cr : 0,5mg/dl
 GOT : 19 u/l
 GPT : 19 u/l

2.7 Diagnosa pasti


2.8 Planning
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi vomizol
- Injeksi trovensis
- N
- Lansoprazole 1x1
- Ondansentron 2x 8 mg
- N Asetil Sistein 3 x 200 mg

2.9 Prognosis
Dubia ad bonam

2.10 Follow up

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Paracetamol

Acetaminophen adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID), dengan


mekanisme kerja yang berbeda dari NSAID lain. Walau mekanismenya belum
dipahami dengan jelas, tetapi tampak adanya hambatan pada siklooksigenase
(COX) di otak secara selektif, hal ini biasa idgunakan untuk mengobati
demam dan nyeri juga dapat menghambat sintesis prostaglandin di sistem
saraf pusat (SSP). Acetaminophen langsung bekerja di hipotalamus
menghasilkan efek antipiretik. Meskipun asetaminofen memiliki profil
keamanan yang baik pada tingkat terapeutik, asetaminofen dapat
menyebabkan kerusakan hati yang parah jika dikonsumsi dalam jumlah yang
tidak tepat (Hidayat,2020).
Acetaminophen adalah obat analgesik dan antipiretik yang aman, efektif,
dapat ditoleransi dengan baik dan murah dengan efek samping yang relatif
sedikit bila digunakan dengan dosis terapeutik yang dianjurkan. Di banyak
negara, obat tersebut tersedia bebas tanpa resep. Ketersediaannya yang mudah
dan tidak perlu resep menjadikannya salah satu obat yang paling umum
digunakan untuk tujuan bunuh diri atau menyakiti diri sendiri (Hidayat,2020).
Penyerapan Acetaminophen terjadi terutama di duodenum karena sifatnya
sebagai asam lemah. Penundaan waktu t diamati jika Acetaminophen
dikonsumsi bersama makanan. Hal ini terutama penting pada pasien yang
terkena penyakit hati kronis karena terdapat risiko terhadap waktu paruh
serum obat yang berkepanjangan (dengan rata-rata 2,0 hingga 2,5 jam, dan
hingga lebih dari 4 jam). Sementara asupan Acetaminophen yang aman
mencapai konsentrasi puncak dalam 1,5 jam, dengan waktu paruh 1,5-3 jam,
overdosis Acetaminophen menghasilkan konsentrasi serum puncak
(Hidayat,2020).

7
Paracetamol atau asetaminofen digunakan secara luas sebagai analgetik
antipiretik. Obat ini dijumpai sebagai tablet/ kapsul, sirup ataupun
suppositoria. Parasetamol sering dijumpai dalam bentuk kombinasi dengan
obat lainnya. Dosis terapi paracetamol adalah 10-15 mg/kg atau 2,6 gram/hari.
Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual
secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot
sementara, sakit menjelang menstruasi, dan diindikasikan juga untuk demam.
Obat ini menjadi pilihan analgesik yang relatif aman bila dikonsumsi dengan
benar sesuai petunjuk penggunaan. Parasetamol boleh dikonsumsi tidak lebih
dari 5 hari untuk anakanak, dan 10 hari untuk dewasa dengan dosis seperti
dibawah ini:

Umur Dosis parasetamol tiap sekali konsumsi


3 bulan – 1 tahun 60 – 120 mg
1 - 5 tahun 120 – 250 mg
6 – 12 tahun 250 – 500 mg
 12 tahun 500 mg – 1 gr
Tabel 1. Dosis parasetamol yang diperbolehkan tiap kategori usia dalam
sekali pemakaian (BPOM RI, 2015).

Dosis ini boleh diulang tiap 4 – 6 jam bila diperlukan (maksimum


sebanyak 4 dosis dalam 24 jam)

3.2 Mekanisme Keracunan Secara Umum

A. PATHWAY INTOKSIKASI

Makanan Bahan kimia dan Gigitan binatang


obat-obatan berbisa

8
Gangguan saluran Daya toksin masuk ke
Melalui saluran cerna
pernapasan peredaran darah

Mual muntah Zat toksin masuk ke Korosi trakea Nyeri lokal dan
pemb. darah kemerahan

Gangguan Gangguan s.saraf Edema laring


cairan dan Gangguan
elektrolit intregitas kulit
Obstruksi sel
nafas

Pusat pernafasan
Nyeri kepala dan Bersihan jalan
otot nafas tidak efektif

Gangguan rasa
aman dan nyaman Nafas cepat dan Gangguan pola
dalam nafas

3.3 Mekanisme Keracunan Parasetamol


Paracetamol di absorpsi 0,5-1 jam dilambung dan usus bagian atas
kemudian di metabolisme di hepar. Waktu paruhnya adalah 1-3 jam, tetapi
pada kelebihan dosis dapat lebih dari 4 jam. Sebagaimana juga obat-obat lain,

9
bila penggunaan parasetamol tidak benar, maka berisiko menyebabkan efek
yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam jumlah 10 – 15g (20-30 tablet)
dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan ginjal. Kerusakan fungsi
hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang mengkonsumsi
parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu.
Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu
metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat
terjadi karena overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol
kronik.
Dalam keadaan norman NAPQI dapat berikatan dengan glutathione
sehingga efek toksik parasetamol tidak terjadi. Pada kelebihan dosis
paracetamol produksi metabolit toksik tersebut melebihi kapasitas glutation
sehingga metabolit tersebut bereaksi secara langsung dengan makromolekul
hepar dan menyebabkan kerusakan hepar berupa nekrosis sentrolobuler.
Paracetamol dosis tunggal dalam jumlah yang besar bersifat
hepatotoksik dan nefrotoksik. Beratnya kerusakan hepar tergantung usia,
besarnya dosis paracetamol yang di konsumsi, apakah pasien itu alkoholik
atau bukan dan mendapatkan obat-obat lain yang menginduksi sistim
cytochrome P-450 mixed oxidase seperti fenitoin dan fenobarbital.
Pada orang dewasa <125 mg/kg tidak hepatotoksik, 250 mg/kg
menimbulkan kerusakan hepar 50% dan pada dosis 350 mg/kg kerusakan
hepar terjasi sampai 100%. Pada usia remaja dosis 125-150 mg/kg dan anak-
anak dosis 140mg/kg bersifat hepatotoksik. Pada pasien alkoholik sistim
cytochrome P-450 mixed oxidase terinduksi sehingga lebih banyak metabolit
toksik yang dihasilkan. Kerusakan hepar secara biokimia terdeteksi setelah
72-96 jam menelan paracetamol sebanyak 150 mg/kgBB atau >12 gram.
Sedangkan dosis letalnya adalah 13-25 gram.
Keracunan kronis terjadi jika seseorang menelan 10-15 gr/hari selama
beberapa hari atau 5-8 gram/hari selama beberapa minggu. Pada peminum
alkohol sebanyak 3-4 gram/hari selama beberapa hari sedangkan pada anak-
anak 150 mg/kg selama 2-4 hari.

10
Keadaan yang potensial toksik adalah :
a) Kadar paracetamol darah diatas ambang toksisitas hati.
b) Keracunan dengan dosis berulang.
c) Waktu keracunan sulit diketahui.

3.4 Gambaran Klinis


Keracunan paracetamol dapat terjadi jika anak menelan >150 mg/kg
atau seorang dewasa menelan 150mg/kg seorang dewasa menelan 150
mg/kg atau 7,5 gr atau lebih.
Keracunan parasetamol biasanya terbagi dalam 4 fase, yaitu :
1. Fase 1 : Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu
pada tubuh yang tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan
keringat.
2. Fase 2 : Pembesaran liver, peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim
hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi
bertambah lama dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin.
3. Fase 3 : Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah
munculnya gejala awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti
pasien tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen empedu
di kulit, membran mukosa dan sklera (jaundice), hipoglikemia, kelainan
pembekuan darah, dan penyakit degeneratif pada otak
(encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan
berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy)
4. Fase 4 : Penyembuhan atau berkembang menuju gagal hati yang fatal
(Olson, 2007).

Sedangkan tahap keracunan parasetamol berdasarkan kondisi pasien


terhadap jangka waktu pasca terjadi keracunan / overdosis parasetamol
dibagi menjadi tahapan berikut :
1. Tahap I (<24 jam)

11
Tahap I terjadi dalam 24 jam pertama konsumsi dan ditandai dengan
gejala non-spesifik mual, muntah, malaise, lesu dan diaforesis. Nilai
aspartat transaminase (AST) dan ALT biasanya normal, meskipun
dalam overdosis besar, nilai yang meningkat dapat dideteksi sedikitnya
8–12 jam.
2. Tahap II (24-72am)
Tahap II terjadi dalam waktu 24 sampai 72 jam dan ditandai dengan
perbaikan atau resolusi gejala stadium I (juga dikenal sebagai periode
laten). Namun, peningkatan AST dan ALT biasanya mulai terjadi.
Kasus overdosis APAP yang parah dapat muncul dengan nyeri tekan,
hepatomegali (dengan nyeri kuadran kanan atas), ikterus dan
koagulopati. Sekitar 1;2% pasien juga mungkin mengalami gagal ginjal
dalam pengaturan nekrosis tubular akut dengan atau tanpa nekrosis hati.
3. Tahap III (72-96 jam)
Tahap III terjadi dalam 72 hingga 96 jam setelah APAP awal overdosis,
dan ditandai dengan kembalinya gejala stadium I bersama dengan
peningkatan AST dan ALT yang ditandai (mungkin > 3000IU/L) dalam
hubungannya dengan ikterus, ensefalopati, koagulopati, dan asidosis
laktat. Cedera hati maksimal terjadi pada initahap. Gagal ginjal, dan
pankreatitis yang jarang terjadi, dapat terjadi sebagai komplikasi. Tahap
ini memiliki risiko tertinggi kematian, yang paling sering disebabkan
oleh kegagalan multi-organ.
4. Tahap IV : bila penderita datang terlambat atau tidak segera
medapatkan pengobatan, keadaan gangguan fungsi hati memberat
menjadi gagal hati, koma dan kematian. Tahap IV terjadi setelah 96
jam setelah pemulihan dari tahap III. Biasanya, stadium IV berlangsung
antara 1-2 minggu, tetapi durasinya dapat diperpanjang tergantung pada
tingkat keparahan konsumsi serta persiapan APAP tertelan. ( yoon et.al,
2016)

3.5 Pemeriksaan Penunjang

12
3.6 Penatalaksanaan

Berhubung setiap keracunan dapat mengancam nyawa maka


walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus keracunan
diperlakukan seperti pada keadaan kegawatan yang mengancam nyawa.
Pentalaksanaan kasus intoksikasi adalah:
1. Stabilisasi
Penatalaksaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan
penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi
dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan seksama
sehingga tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai. Semua urutan
resusitasi seperti yang umumnya dilakukan yaitu:
a. Airways : bebaskan jalan nafas dari sumbatan bahan muatan, lendir,
gigi palsu. Bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal
airway dan alat penghisap lendir.
b. Breathing : jaga agar pernapasan sebaik mungkin dan bila memang
diperlukan dapat dengan alat respirator.
c. Circulation : tekanan darah dan volume cairan, harus dipertahankan
secukupnya dengan pemberian cairan dalam keadaan tertentu dapat
diberikan cairan koloid. Bila terjadi henti jantung lakukan RJP.

2. Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk
menurunkan pemaparan terhadap racun,mengurangi absorpsi dan
mencegah kerusakan. Sebelum memberikan pertolongan harus
menggunakan pelindung berupa masker, hand scoon, dan apron.
Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena
racun yaitu:

13
a. Dekontaminasi pulmonal: berupa tindakan menjauhkan korban dari
pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat nafas dan
berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator.
b. Dekontaminasi mata: berupa tindakan untuk membersihkan mata
dari racun yaitu posisi kepala pasien ditengadahkan dan miring ke
sisi mata yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak
matanya perlahan dan irigasi larutan aquades dan NaCl 0,9%
perlahan sampai zat racunnya diperkirakan sudah hilang ( hindari
bekas larutan pencucian mengenai wajah atau mata lainnya ).
Selanjutnya tutup mata dengan kasa steril segera konsul dengan
dokter mata.
c. Dekontamiinasi kulit (rambut dan kuku): Tindakkan dekontaminasi
paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan aksesoris
lainnya, dan masukkan dalam wadah plastik yang kedap air dan
tutup rapat, cuci ( scrubbing ) bagian kulit yang terkena dengan air
mengalir dan disabun minimal 10 menit selanjutnya keringkan
dengan handuk kering dan lembut.
d. Dekontaminasi gastroinstestinal: Penelanan merupakan rute
pemaparan yang tersering, sehingga tindakan pemberian bahan
pengikat atau karbon aktif, pengenceran atau mengeluarkan isi
lambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah
lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik.
Keracunan Paracetamol perlu dilakukan pengosongan lambung :
1) Induksi Muntah
Kontra Indikasi :
- Pasien tidak sadar atau sangat mengantuk
- Pasien kejang
- Pemaparan lebih dari 4 jam
- Jika tidak yakin aman, karena kemungkinan terjadi
henti nafas mendadak dan kejang.

14
Caranya dengan menyentuh pangkal tenggorokan
dengan jari atau ujung sendok.
Jika induksi muntah tidak berhasil, dapat diberikan
sirup ipekak, efektif dalam 30 menit setelah
penelanan.
Dosis sirup ipekak : Dewasa : 30 ml
Anak 1-12 tahun : 15 ml
2) Aspirasi dan kumbah lambung
Efektif bila dilakukan 2-4 jam pertama dan dengan teknik
yang baik. Pada akhir bilasan lambung diberikan pencahar,
missal MgSO4 atau kastroli.
3) Arang aktif

3. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercapat pengeluaran
racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran
gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam. Apabila masih dalam saluran
cerna dapat digunakan pemberian arang aktif dengan dosis tunggal 1
gram/kg atau dewasa 30-100 gr dan anak-anak 15-30 gram. Cara
pemberiannya dicampur rata dengan perbandingan 5-10 gram arang aktif
dengan 100-200 ml air sehingga seperti sop kental. Dewasa 10 gram tiap
20 menit dan anak-anak 5 gram tiap 20 menit. Jika terdapat penurunan
kesadaran, arang aktif diberikan melalui pipa nasogastrik dengan dosis
arang aktif 1-2 gram/kg, dapat diulang 2-6 jam.
Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada dokter spesialis
penyakit dalam karena tindakan spesialitik berupa cara eliminasi racun
yaitu: diuresis paksa (forced diuresis), alkalinisasi urin, asidifikasi urin,
hemodialisis/peritoneal dialisis.
4. Anti Dotum

15
N-acetylcysteine adalah terapi yang digunakan untul toksisitas
asetaminofen. Nacetylcysteine memiliki persetujuan Federal and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan toksisitas acetaminophen yang
berpotensi hepatotoksik, dan efektif jika diberikan dalam waktu 8 jam
setelah konsumsi Dewasa

 N-Asetilsistein
N-Asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan
paracetamol. Kerjanya sebagai subsitusi glutation, meningkatkan
sintesa glutation dan meningkatkan konjugasi sulfat pada
paracetamol.
Tersedia dalam kemasan ampul 10 ml 10% (mengandung 100
mg/ml) yaitu total 1 gram atau ampul 10 ml 20% (mengandung
200 mg/ml).
Indikasi pemberiannya adalah pada pasien yang menelan
paracetamol dosis berlebih tertelan <24 jam. Walaupun dapat
diberikan sampai 72 jam setelah penelanan, tetapi efikasinya
menurun jika diberikan setelah 8 jam penelanan.
N-Asetilsistein diberikan secara intravena atau peroral. Jika
diberikan peroral dalam menyebabkan mual dan muntah.
Sedangkan efek merugikan pada pemberian secara intravena
adalah eritema, rash urtikaria, mual, muntah, nyeri kepala,
tinnitus, flushing, angioderma dan reaksi anafilaksis
(brokhospasme).
Jika reaksi yang serius terjadi, hentikan infus dan berikan
antihistamin . Kemudian ulangi lagi pemberian infus atau
berikan metonin sebagai gantinya.
Dosis dan Cara Pemberiannya :
 Secara perinfus :
Bolus 150 mg/kgBB dalam 200 ml dextrose 5% secara
perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/kgBB dalam

16
500 ml dextrose 5% selama 4 jam, kemudian 100 mg/kgBB
dalam 1000 mg dextrose 5% secara perlahan melalui
intravena selama 16 jam berikutnya.
Jika perlu N-Asetilsistein diberikan dalam NaCl fisiologis
(catatan : kestabilan N-Asetilsistein dalam NaCl 0,9%
kurang dari 24 jam) .
 Secara peroral atau melalui pipa nasogastrik
Dosis awal 140 mg/kgBB 4 jam kemudian berilah dosis
pemeliharaan 70mg/kgBB setiap 4 jam sebanyak 17 dosis.
Larutan N Asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan
“soda pop” 5% , jus atau air dan diberikan sebagai cairan
yang dingin.

 Metionin
Indikasi pemberian metionin adalah jika paracetamol tertelan
<15 jam, sadar dan pernafasan normal. Dosis pemberian
metionin dewasa 2,5 gram per oral setiap 4 jam untuk 4 dosis.
Sedangkan anak-anak 1 gram per oral setiap 4 jam untuk 4
dosis. Jika penderita muntah dalam waktu 1 jam setelah
pemberian metionin, ulangi pemberian dosis sekali lagi.

a. Anak
 N-Asetilsistein
 Pemberian Intravena pada anak dengan berat badan >20 kg.
Bolus melalui intravena 150 mg/kgBB dalam 100 mg
dextrose 5% secara perlahan selama 15 menit dilanjutkan
infus kuntinu 50 mg/kg BB dalam 250 ml dextrose 5%
selama 4 jam, kemudian dilanjutkan 100 mg/kgBB dalam
500 ml dextrose 5% secara perlahan selama 16 jam
berikutnya.
 Pemberian Intravena pada anak dengan berat badan < 20 kg.

17
Pemberiannya sesuai dengan daftar pemberian N
Asetilsistein untuk anak usia >6 tahun.
 Pemberian secara peroral atau pipa nasogastric
N Asetilsistein dilarutkan dalam cairan soda pop 5% atau jus
atau air. Pemberian per oral sebaiknya dalam cairan yang
dingin dalam wadah tertutup. Dosis awal 140 mg/kgBB.
Setelah 4 jam kemudian beri dosis pemeliharaan 70 mg/kg
setiap 4 jam sampai 17 dosis.
 Metionin
Pemberian metionin pada ada > 6 tahun diterapi seperti dosis
dewasa. Jika < 6 tahun dosis 1 gram setiap 4 jam sebanyak 4
dosis ( total 4 gram).

3.11 Pencegahan

3.12 Komplikasi 2

3.13 Prognosis 19

BAB IV

18
PEMBAHASAN

Dilaporkan pasien perempuan berumur 14 tahun yang dirawat di IGD pada


tanggal 29 september 2020 dengan diagnosis intoksikasi paracetamol. Diagnosis
didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis intoksikasi paracetamol karena dari
anamnesis pasien mengeluhkan mual, nyeri pada pinggang kanan yang menjalar
ke lipatan paha kanan sampai kemaluan. Nyerinya sangat hebat, hilang timbul.
Ini merupakan gambaran khas dari nyeri kolik ureter. Nyeri kolik ini terjadi
karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik
itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan
dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Pada pasien ditemukan juga mual. Obstruksi saluran ureter sering dikaitkan
dengan mual dan muntah. Cairan intravena diperlukan untuk memulihkan keadaan
keseimbangan cairan. Cairan intravena tidak boleh digunakan untuk memaksa
diuresis dalam upaya untuk mendorong batu ureter ke bawah. Peristaltik ureter
bekerja secara efektif pada saat euvolemic.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto vertebra.
Hal ini sesuai dengan pemeriksaan fisik pada batu ureter. Bahwa batu ureter
dapat mengakibatkan hambatan aliran urin sehingga bisa menyebabkan kerusakan
ginjal. Sehingga apabila dilakukan pengetokan akan terasa sakit.
Dari pemeriksaan darah rutin dan kimia darah dalam batas normal. Pada
pemeriksaan rontgen thorax PA kesan diafragma letak tinggi. Namun setelah
ditelaah lebih dalam berdasarkan anamnesis riwayat penyakit dahulu dan
sekarang, pasien menyangkal memiliki keluhan dalam sistem pernapasan. Pada
pemeriksaan CTscan abdomen tanpa kontras terlihat kesan adanya hidronefrosis
ringan dan hidroureter kanan sampai distal ec batu ukuran 0,5 x 1 cm pada UVJ
kanan dimana ini mengindikasikan adanya batu di ureter dextra distal.
Pada pasien ini direncanakan untuk tindakan operasi jenis URS atau
ureterorenoskopi karena di lihat dari ukuran batu 0,5-1 cm dimana rekomendasi

19
lini pertama tindakan operatif pada batu ureter dengan ukuran tersebut adalah
URS berdasarkan IAUI tahun 2018.

BAB V
KESIMPULAN

Urolithiasis adalah keadaan dimana adanya batu pada saluran kemih dimulai
dari ginjal, ureter, vesika urinaria hingga uretra. Penyakit batu saluran kemih
menempati posisi ke dua paling sering ditemukan pada urologi dengan seiringnya
waktu karena perubahan pola hidup dan diet masyarakat. Ada beberapa jenis batu
yang dapat terakumulasi pada saluran kemih, batu kalsium oksalat, kalsium fosfat,

20
batu urat, batu struvit dan batu campuran. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit
ini bergantung pada lokasi ataupun obstruksi yang ditimbulkan oleh batu tersebut.
Komplikasi batu saluran kemih yang sering tejadi adalah penyumbatan total
dari saluran sehingga menyebabkan flow back pada urin. Efek dari flow back dari
urin adalah dapat terjadinya hidroureter hingga hidronefrosis. Pada kasus tertentu
urosepsis dapat terjadi pada pasien. Gejala yang terdapat pada urolithiasis adalah
antara lain Obstructive Lower Urinary Track Syndrome, mual muntah, demam,
nyeri kolik pada pinggang, hematuria dan sensasi keluarnya pasir saat berkemih.
Penatalaksanaan urolithiasis antara lain adalah dengan medika mentosa
ataupun intervensi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan dapat bersifat invasive
dan non invasiv. Tindakan invasiv seperti litotripsi, PNL, bedah laparoskopi.
Tindakan non-invasiv antara lain ESWL. Pasien dapat mencegah terjadinya batu
dengan cara mengatasi infeksi saluran kemih yang dialaminya, mengontrol kadar
zat dalam darahnya dan hidrasi yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2015, Dalam


Artikel : Mengatasi Keracunan Parasetamol, Hal 1-5.
2. Olson, K. R., Poisoning and Drug Overdose 5th edition, Mc Graw-Hill,
Inc., 2007, p 68-71

21
3. Syarifah, Fitri., 2015, Dalam Artikel Online : Minum 3 Tablet
Parasetamol, Wanita Ini Tewas., diakses melalui www.liputan6.com pada
11-8-2018.
4. Tierney, L. M., Current Medical Diagnosis and Treatment 43rd edition,
2004, p 1555-1556.

1. MARTA J”Èwiak-B. 2014. BENISTA PARACETAMOL: MECHANISM


OF ACTION, APPLICATIONS AND SAFETY CONCERN. Department
of Pharmacology, Chair of Pharmacology and Clinical Pharmacology at
the Medical University of £Ûdü, Øeligowskiego. Poland.

22

Anda mungkin juga menyukai