Download
Link:
http://www.ziddu.com/download/18871457/makalahteknikpemindahan.docx.html
http://bangeud.blogspot.co.id/2012/03/keperawatan-gawat-darurat-teknik.html
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera tulang belakang terutama mempengaruhi orang dewasa muda, dengan cedera
yang paling tinggi terjadi antara usia 16 dan 30. Namun, jumlah cedera tulang belakang pada
orang dewasa yang lebih tua adalah jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun terakhir. Lebih
dari 80% dari cedera tulang belakang terjadi pada laki-laki (NSCISC, 2009). Kecelakaan
kendaraan bermotor 42,1% dari kasus yang dilaporkan pada cedera tulang belakang. Penyebab
paling umum berikutnya dari cedera ini adalah jatuh, diikuti dengan tindakan kekerasan
(terutama luka tembak). Kegiatan olahraga rekreasi juga menjelaskan sejumlah kasus cedera
tulang belakang setiap tahun (NSCISC, 2009).
Pada pasien dengan trauma servikal dan tulang belakang, pemindahan penderita harus
dilakukan dengan hati-hati dan tidap dapat dilakukan sendirian. Tiga penolong dengan masing-
masing penyangga bagian atas, tengah, dan bawah akan mengurangi kemungkinan cedera lebih
parah. Dalam memiringkan juga perlu dilakukan secara bersama yang disebut dengan teknik log
roll. Untuk menghindari cedera sekunder gunakan bidai, long spine board dan neck
colar untuk menstabilkan posisi penderita. Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa
menimbulkan cedera yang lebih parah pada pasien. Idealnya transportasi pasien cedera kepala
adalah menggunakan ambulan dengan peralatan trauma.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cedera Kepala, Leher, dan Tulang Belakang
Cedera tulang belakang terutama mempengaruhi orang dewasa muda, dengan cedera
yang paling tinggi terjadi antara usia 16 dan 30. Namun, jumlah cedera tulang belakang pada
orang dewasa yang lebih tua adalah jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun terakhir. Lebih
dari 80% dari cedera tulang belakang terjadi pada laki-laki (NSCISC, 2009).
Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa menimbulkan cedera yang lebih parah pada
pasien. Idealnya transportasi pasien cedera kepala adalah menggunakan ambulan dengan
peralatan trauma. Tetapi untuk daerah yang akses pertolongan pertama oleh ambulan tidak bisa
cepat, jangan berlama-lama untuk menunggu datangnya ambulan. Pilih mobil dengan kriteria
sebagai berikut:
Pilih mobil yang bisa membawa pasien dengan tidur terlentang tanpa memanipulasi pergerakan
tulang belakang, penolong leluasa bergerak untuk memberikan pertolongan bila selama
perjalanan terjadi sesuatu. Hal yang juga penting selama perjalanan adalah komunikasi
dengan pihak rumah sakit. Dengan melaporkan kondisi korban, penanganan yang telah dan
sedang dilakukan termasuk meminta petunjuk dari petugas pelayanan gawat darurat rumah sakit
tentang apa yang harus dikerjakan bila menemui kesulitan. Pihak unit gawat darurat juga dapat
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pertolongan korban sesampainya di
rumah sakit.
Prinsip Terapi Bagi Penderita Trauma Kepala, Leher, dan Tulang Belakang
1. Perlindungan terhadap trauma lebih lanjut
Penderita yang diduga mengalami cedera tulang belakang harus dilindungi terhadap trauma lebih
lanjut. Perlindungan ini meliputi, pemasangan kolar servikal semi rigid dan long back board,
melakukan modifikasi teknik log roll untuk mempertahankan kesegarisan bagi seluruh tulang
belakang, dan melepaskan long spine board secepatnya. Imobilisasi dengan long spine board
pada penderita yang mengalami paralisis akan meningkatkan resiko terjadinya ulcus dekubitus
pada titik penekanan. Karenanya , long spine board harus dilepaskan secepatnya setelah
diagnosa cedera tulang belakang ditegakkan, contoh, dalam waktu 2 jam.
2. Resusitasi Cairan dan Monitoring
a. Monitoring CVP
Cairan intravena yang dibutuhkan umumnya tidak terlampau banyak, hanya untuk maintenance
saja, kecuali untuk keperluan pengelolaan syok. CVP harus dipasang untuk memonitor
pemasukan cairan secara hati hati.
b. Kateter urin
Pemasangan kateter dilakukan pada primary survey dan resusitasi, untuk memonitor output urine
dan mencegah terjadinya distensi kandung kencing.
c. Kateter Lambung
Kateter lambung harus dipasang pada seluruh penderita dengan paraplegia dan kuadriplegia
untuk mencegah distensi gaster dan aspirasi.
3. Penggunaan Steroid
Penggunaan kortikosteroid, bila memungkinkan dipergunakan bagi penderita dengan defisit
neurologist yang disebabkan bukan karena luka tembus kurang dari 8 jam pasca trauma. Obat
pilihan adalah metilprednisolon (30 mg/kg), diberikan secara intravena dalam waktu kurang
lebih 15 menit. Dosis awal dilanjutkan dengan dosis maintenance 5,4 mg/kg per jam untuk 24
jam berikutnya dimulai antara 3 jam pasca trauma, atau untuk 48 jam bila pemberian awal antara
3 dan 8 jam pasca trauma, kecuali jika ditemukan adanya komplikasi.
h. Untuk mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita, maka diperlukan
bantalan yang diletakkan dibawah kepala penderita.
i. Bantalan, selimut yang dibulatkan atau alat penyangga lain ditempatkan di kiri dan kanan kepala
dan leher penderita, dan kepala penderita diikat ke long spine board. Juga dipasang plester di
atas kolar servikal untuk menjamin tidak adanya gerakan pada kepala dan leher.
Penderita Anak-anak
Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatrik. Bila tidak ada, maka dapat
menggunakan long spine board untuk dewasa dengan gulungan selimut diletakkan di seluruh sisi
tubuh untuk mencegah pergerakan ke arah lateral.
Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, oleh karena itu
harus dipasang bantalan dibawah bahu untuk menaikkan badan, sehingga kepala yang besar pada
anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher, sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang
belakang anak. Bantalan dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu dan kearah lateral
sampai di ujung board.
Komplikasi
Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih lama lagi) diimobilisasi dalam
long spine board, penderita dapat mengalami dekubitus pada oksiput, skapula, sakrum, dan
tumit. Oleh karena itu, secepatnya bantalan harus dipasang dibawah daerah ini, dan apabila
keadaan penderita mengizinkan secepatnya long spine board dilepas.
Melepas Long Spine board
Pergerakan penderita yang mengalami cedera tulang belakang yang tidak stabil akan
menyebabkan atau memperberat cedera medula spinalisnya. Untuk mengurangi resiko kerusakan
medula spinalis, maka diperlukan pencegahan secara mekanis untuk seluruh penderita yang
mempunyai resiko. Proteksi harus dipertahankan sampai adanya cedera tulang belakang yang
tidak stabil di singkirkan.
a. Seperti sebelumnya dibicarakan, melakukan imobilisasi penderita dengan long spine board
adalah teknik dasar membidai (splinting) tulang belakang. Secara umum hal ini dilaksanakan
pada saat penanggulangan prehospital dan penderita datang ke rumah sakit sudah dalam sarana
transfer yang aman.
Spine board tanpa bantalan akan menyebabkan rasa tidak nyaman pada penderita yang sadar dan
mempunyai resiko terhadap terjadinya dekubitus pada daerah dengan penonjolan tulang (oksiput,
skapula, sakrum, tumit ). Oleh karena itu penderita harus dipindahkan dari long spine board ke
tempat dengan bantalan yang baik dan permukaan yang nyaman secepatnya bisa dilakukan
secara aman. Sebelum dipindahkan dari spine board, pada penderita dilakukan pemeriksaan foto
servikal, toraks, pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan mudah diangkat beserta
dengan spine boardnya. Sewaktu penderita di imobilisasi dengan spine board, sangat penting
untuk mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan secara berkesinambungan sebagai
satu unit. Tali pengikat yang dipergunakan untuk imobilisasi penderita ke spine board janganlah
dilepas dari badan penderita sewaktu kepala masih terfiksir ke bagian atas spine board.
b. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat untuk melepas long spine board
adalah sewaktu dilakukan tindakan log roll untuk memeriksa bagian belakang penderita.
c. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak stabil atau potensial tidak
stabil membutuhkan kesegarisan anatomik kolumna vertebralis yang dipertahankan
secara kontinyu. Rotasi, fleksi, ekstensi, bending lateral, pergerakan tipe shearing ke
berbagai arah harus dihindarkan. Yang terbaik untuk mengontrol kepala dan leher adalah
dengan imobilisasi inline manual. Tidak ada bagian tubuh penderita yang boleh melekuk
sewaktu penderita dilepaskan dari spine board.
d. Modifikasi teknik log roll,
Modifikasi tehnik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine board. Diperlukan empat
asisten: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi in line kepala dan leher; (2) satu untuk badan
penderita ( termasuk pelvis dan panggul ); (3) satu untuk pelvis dan tungkai bawah; dan (4) satu
untuk menentukan arah prosedur ini dan melepas long spine board.
e. Tandu Sekop (Scoop Stretcher)
Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam penggunaan scoop stretcher untuk
transfer penderita. Penggunaan yang tepat alat ini akan mempercepat transfer secara aman dari
long spine board ke tempat tidur. Sebagai contoh alat ini dapat digunakan untuk transfer
penderita dari satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya meja ronsen.
Harap diingat, penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai cedera tulang belakang
disingkirkan. Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat tidur dan scoop stretcher
dilepas, penderita harus di reimobilisasi secara baik ke ranjang/tandu. Scoop stretcher bukanlah
alat untuk imobilisasi penderita. Scoop stretcher bukanlah alat transport, dan jangan mengangkat
scoop stretcher hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di bagian tengah dengan
akibat kehilangan kesegarisan dari tulang belakang.
Sebuah papan belakang, juga dikenal sebagai papan tulang panjang (LSB), longboard,
spineboard, atau papan, adalah sebuah perangkat penanganan pasien digunakan terutama dalam
pra-rumah sakit, dirancang untuk immobilisasi gerakan dari pasien dengan cedera tulang
belakang atau anggota badan yang diduga. Paling sering digunakan oleh layanan ambulans, oleh
staf seperti teknisi darurat medis dan paramedis, tetapi juga digunakan oleh personel darurat
khusus seperti lifeguards . Long Spine Board terutama diindikasikan dalam kasus trauma di
mana tenaga medis atau penyelamatan percaya bahwa ada kemungkinan cedera tulang
belakang.
Scoop stretcher
Scoop Stretcher (tandu ortopedi Roberson) adalah sebuah perangkat yang digunakan khusus
untuk mengangkat korban. Hal ini paling sering digunakan untuk mengangkat pasien terlentang
dari tanah, baik karena ketidaksadaran atau untuk menjaga stabilitas dalam kasus trauma, cedera
terutama tulang belakang, di mana ia digunakan sebagai alat memindahkan antara tanah dan
perangkat menahan seperti long spine board atau vacuum mattress.
Sebuah Scoop Stretcher memiliki struktur yang dapat dibagi secara vertikal ke dalam dua bagian,
dengan berbentuk 'pisau' terhadap pusat yang bisa dibawa bersama-sama di bawah pasien. Dua
bagian ditempatkan secara terpisah kedua sisi pasien, dan kemudian dibawa bersama-sama
sampai klip penahan di bagian atas dan bawah kedua terlibat.
Tandu sendok mengurangi kemungkinan gerakan yang tidak diinginkan dari area cedera selama
transfer pasien trauma, karena mereka mempertahankan pasien dalam keselarasan terlentang
selama transfer ke papan atau tandu.
Scoop Stretcher dapat digunakan untuk transportasi pasien, asalkan pasien diikat. Tapi untuk
alasan kenyamanan, disarankan untuk mentransfer pasien ke long spine board.
Gadar ''trauma spinal''
AKPER PEMKAB MUNA
https://www.slideshare.net/septianraha/gadar-trauma-spinal
BAB III
PENUTUP
Pada tahun 2006 Cord Injury Jaringan Informasi Spinal memperkirakan bahwa kejadian
tahunan cedera tulang belakang, tidak termasuk mereka yang meninggal di tempat kecelakaan
itu, sekitar 40 kasus per juta penduduk di Amerika Serikat, atau sekitar 12.000 kasus baru setiap
tahun (NSCISC , 2009).
Pada pasien dengan trauma servikal dan tulang belakang, pemindahan penderita harus
dilakukan dengan hati-hati dan tidap dapat dilakukan sendirian. Tiga penolong dengan masing-
masing penyangga bagian atas, tengah, dan bawah akan mengurangi kemungkinan cedera lebih
parah. Dalam memiringkan juga perlu dilakukan secara bersama yang disebut dengan teknik log
roll. Untuk menghindari cedera sekunder gunakan bidai, long spine board dan neck
colar untuk menstabilkan posisi penderita. Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa
menimbulkan cedera yang lebih parah pada pasien. Idealnya transportasi pasien cedera kepala
adalah menggunakan ambulan dengan peralatan trauma.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
TRAUMA SPINAL DAN SERVIKAL
Gambar 1. Cedera pata tulang belakang menyebabkan kerusakan fungsi dan nyeri akut
2. PENYEBAB
Adapun penyebab dari trauma servikal dan spinal antara lain :
Seseorang yang terpeleset di lantai,
Menyelam di air yang dangkal.
Terlempar dari kuda atau motor
Jatuh dari ketinggian dalam posisi berdiri
Kecelakaan motor.
Terjatuh.Anak-anak yang memakai sabuk bahu yang tidak sesuai di sekitar leher.Leher
tergantung.(Campbell, 2004 ; 131)
Berikut ini adalah mekanisme cedera tumpul spinal menurut Campbell (2004 ; 131) :
Hiperektensi
Kepala dan leher bergerak ke belakang / hiperektensi secara berlebihan.
Hiperfleksi
Ke
pala di atas dada bergerak ke depan / heperfleksi dengan berlebihan.
Kompresi
Bobot tubuh dari kepala hingga pelvis mengakibatkan penekanan pada leher atau
batang tubuh.
Rotasi
Rotasi yang berlebih dari batang tubuh atau kepala dan leher sehingga terjadi
pergerakan berlawanan arah dari kolumna spinalis.
Penekanan ke samping
Pergerakan ke samping yang berlebih menyebabkan pergeseran dari kolumna spinalis.
Distraksi
Peregangan yang berlebihan dan kolumna spinalis dan spinal cord.
4. PATOFISIOLOGI
Akibat kecelakaan, terpeleset, terjatuh dari motor, jatuh dari ketinggian dalam
posisi berdiri menyebabkan cedera pada kolumna vertebra dan medulla spinalis yang
dapat menyebabkan gangguan pada beberapa system, diantaranya :
1) Kerusakan jalur simpatetik desending yang mengakibatkan terputusnya jaringan saraf
medulla spinalis, karena jaringan saraf ini terputus maka akan menimbulkan paralisis
dan paraplegi pada ekstremitas.
2) Dari cedera tersebut akan menimbulkan perdarahan makroskopis yang akan
menimbulkan reaksi peradangan, dari reaksi peradangan tersebut akan melepaskan
mediator kimiawi yang menyebabkan timbulnya nyeri hebat dan akut, nyeri yang timbul
berkepanjangan mengakibatkan syok spinal yang apabila berkepanjangan dapat
menurunkan tingkat kesadaran. Reaksi peradangan tersebut juga menimbulkan juga
menyebabkan edema yang dapat menekan jaringan sekitar sehingga aliran darah dan
oksigen ke jaringan tersebut menjadi terhambat dan mengalami hipoksia jaringan.
Reaksi anastetik yang ditimbulkan dari reaksi peradangan tersebut juga menimbulkan
kerusakan pada system eliminasi urine.
3) Blok pada saraf simpatis juga dapat diakibatkan dari cedera tulang belakang yang
menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan sehinggan pemasukan oksigen ke dalam
tubuh akan menurun, dengan menurunnya kadar oksigen ke dalam tubuh akan
mengakibatkan tubuh berkompensasi dengan meningkatkan frekuensi pernapasan
sehingga timbul sesak.
5. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan
selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan
sebagai cedera yang stabil
Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang
juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini
merupakan cedera yang paling tidak stabil.
Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam
posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture.
Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung
pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis
serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan
cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup
cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat
ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-
rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat.
a. Cedera stabil
Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan
dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa
sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa
hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder
terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace
atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini
diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah
semua yang dibutuhkan.
Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke dalam
lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda
dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang
lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi
termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk
beberapa minggu. Meskipun fraktura ledakan agak stabil, keterlibatan neurologik
dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan
memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada
keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-
gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang
digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan. Jika ada keterlibatan neurologik,
fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral
atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau graft tulang penting untuk
mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
b. Cedera Tidak Stabil
Cedera Rotasi Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan
vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura
dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan
berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik. Setelah radiografik
yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur
yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.
Fraktura Potong
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah.
Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah
toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil
pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas
pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.
Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman.
Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah
direkomendasikan.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
a. Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
b. CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
c. MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
d. Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
e. Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
f. Tomogram
g. Mielogram
h. Odontoid View Films
i. Spinal Films (lateral and oblique)
(ENA, 2000 ; 427)
7. KOMPLIKASI
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain
dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera
kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal,
atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari
penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap
pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord
spinal adalah aspirasi dan syok. (Wikipedia, Maret, 2009)
1. PENGKAJIAN
PENGKAJIAN PRIMER
Data Subyektif
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a) Mekanisme Cedera
b) Kemampuan Neurologi
c) Status Neurologi
d) Kestabilan Bergerak
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a) Keadaan Jantung dan pernapasan
b) Penyakit Kronis
Data Obyektif
1. Airway
- adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
2. Breathing
- Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada
3. Circulation
- Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan
kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh
bergantung pada suhu lingkungan)
4. Disability
- Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi,
kelemahan otot
PENGKAJIAN SEKUNDER
a) Exposure
- Adanya deformitas tulang belakang
b) Five Intervensi
- Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
- CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
- MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
- Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
- Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
c) Give Comfort
- Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d) Head to Toe
- Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
- Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera
spinal
Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya
gangguan pada ereksi penis (priapism)
Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
e) Inspeksi Back / Posterior Surface
- Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas
2) Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin,
CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal
3) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis
4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5) Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai
dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6) Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.
3. RENCANA TINDAKAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas
Tujuan keperawatan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit,
diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil:
a. Pasien melaporkan sesak napas berkurang
b. Pernapasan teratur
c. Takipnea tidak ada
d. Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri
e. Tanda vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah
110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC)
f. Tidak ada penggunaan otot bantu napas
Intervensi
Mandiri :
1. Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC
R/ : Perubahan pola nafas dapat mempengaruhi tanda-tanda vital
2. Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas bibir
dan penggunaan otot bantu pernapasan.
R/ : Pengembangan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan
gangguan pola nafas
3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi
R/ : Mempermudah ekspansi paru
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
R/ : Stabilisasi tulang servikal
Kolaborasi :
1. Berikan oksigen sesuai indikasi
R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari resiko kerusakan jaringan
2. Berikan obat sesuai indikasi
R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi ventilasi pernapasan
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin,
CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal
Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x5 menit
diharapkan perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil :
a. Nadi teraba kuat
b. Tingkat kesadaran composmentis
c. Sianosis atau pucat tidak ada
d. Nadi Teraba lemah, terdapat sianosis,
e. Akral teraba hangat
f. CRT < 2 detik
g. GCS 13-15
h. AGD normal
Intervensi :
1. Atur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar
atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.
R/ : Untuk mempertahankan ABC dan mencegah terjadi obstruksi jalan napas
2. Atur suhu ruangan
R/ : Untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
3. Tinggikan ekstremitas bawah
R/ : Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
R/ : Stabilisasi tulang servikal
5. Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk mengatasi hipoksia
R/: Mencukupi kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga dapat menurunkan terjadinya
sickling.
6. Ukur tanda-tanda vital
R/: Perubahan tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat dari kompensasi jantung
terhadap penurunan fungsi hemoglobin
7. Pantau adanya ketidakadekuatan perfusi :
Peningkatan rasa nyeri
Kapilari refill . 2 detik
Kulit : dingin dan pucat
Penurunanan output urine
R/: Menunjukkan adanya ketidakadekuatan perfusi jaringan
8. Pantau GCS
R/: Penurunan perfusi terutama di otak dapat mengakibatkan penurunan tingkat
kesadaran
9. Awasi pemeriksaan AGD
R/: Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan
ENA. 2000. Emergency Nursing Core Curriculum. 5thED. USA: WB.Saunders Company
Campbell, Jhon Pe. 2004. Basic Trauma Life Support. New Jersy : Person Prentice Hall.
Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, EGC : Jakarta
Price, S. A. 2000. Patofisiologi : Konsep klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2007. Pengantar Asuhan Keperawatan Sistem Persyarafan.
Jakarta:Salemba
Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.Edisi 8.
Jakarta: EGC
Wikipedia, the free encyclopedia, 2009, Spinal cord injury, (Online), (http://en.wikipedia.
org/wiki/Triage, Diakses pada tgl 21 Maret 2010).
http://yafetgeu.blogspot.co.id/2012/04/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan.html
https://www.slideshare.net/yusrendra/trauma-kepala-dan-tulang-belakang
https://www.scribd.com/document/142876563/Asuhan-Keperawatan-Gawat-Darurat-Pada-Trauma-
Kepala