Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

JUMLAH KASUS DEHISENSI POST OPERASI SECTIO


CAESAREA DI RSUD KARANGANYAR SELAMA 5 TAHUN

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing:

dr. Sutiyono, Sp. OG (K), Obsos

Disusun Oleh:

Irkhamyudhi Primasakti, S. Ked J510165074

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016
LAPORAN KASUS

JUMLAH KASUS DEHISENSI POST OPERASI SECTIO CAESAREA DI


RSUD KARANGANYAR SELAMA 5 TAHUN

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :
Irkhamyudhi Primasakti, S. Ked J510165074

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim pembimbing stase Obstetric dan
Gynecology Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing

dr. Sutiyono, Sp. OG (K), Obsos (...............................)

Dipresentasikan dihadapan

dr. Sutiyono, Sp. OG (K), Obsos (...........................)


pada tanggal .......................

Disahkan Ketua Program Profesi

dr. Dona Dewi Nirlawati (...............................)

BAB I
PENDAHULUAN

2
A. Insidensi Dehisensi
Dehisensi luka operasi abdomen memiliki angka mortalitas yang
cukup tinggi hingga mencapai angka 45%. Insiden dari dehisensi luka operasi
abdomen dilaporkan mencapai angka 0.4%-3.5%. Berdasarkan data yang
diperoleh dari 19 negara, Healthcare Cost and Utilization Project (HCUP)
melaporkan bahwa angka kejadian dehisensi luka operasi abdomen adalah
1.95 tiap 1000 populasi yang memiliki risiko untuk terjadinya dehisensi.

Dehisensi luka operasi abdomen berkaitan dengan tipe insisi segmen


bawah rahim pada operasi bedah cesar, James M dan John B meneliti
mengenai dehisensi luka yang terjadi setelah operasi section cesarean. Mereka
berkesimpulan bahwa pada 2175 pasien yang melahirkan melalui operasi
section cesarean, 50 diantaranya mengalami dehisensi luka operasi abdomen.
Dehisensi luka 8 kali lebih sering terjadi pada luka dengan insisi vertical
dibandingkan insisi transversal pada dinding abdomen bagian bawah. Pada
luka insisi vertical, insiden dari dehisensi parsial dan komplit mencapai angka
2.94% sedangkan pada insisi transversal dinding bagian bawah abdomen tidak
ditemukan adanya dehisensi komplit dan dehisensi parsial terjadi sekitar
0.37%.
Jumlah kasus pasien yang mengalami dehisensi post operasi sectio
caesarea di RSUD Karanganyar pada rentang waktu 2012 sampai 2016
sebanyak 34 kasus.

Gambaran Umum Responden


Dari data yang didapatkan gambaran umum responden sebagai berikut :
Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan usia

3
usia dalam tahun
<=20 21-30 30-40 >40 Total
tahun 2012 1 2 2 3 8
2013 2 4 6 0 12
2014 2 2 2 2 8
2015 2 1 2 0 5
2016 0 1 0 0 1
Total 7 10 12 5 34

Pada tabel ini menunjukan bahwa sebagian responden berusia kurang


atau sama dengan 20 tahun yaitu sebanyak 7 orang, berusia antara 21-30
tahun sebanyak 10 orang, berusia antara 30-40 sebanyak 12 orang, sedangkan
yang berusia lebih dari 40 tahun sebanyak 5 orang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Dehisensi adalah kegagalan mekanik penyembuhan luka insisi.
Dehisensi juga disebutkan merupakan komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruh luka operasi (Spiolitis, 2009).
Dehisensi luka adalah terpisahnya lapisan-lapisan fascia pada luka
operasi, hal ini merupakan komplikasi tersering dari infeksi pembedahan
yang dalam. Tidak ada penyebab tunggal yang bertanggung jawab untuk
dehisensi luka, kombinasi dari beberapa faktor diyakini mempengaruhi
terjadinya dehisensi luka. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa teknik

4
menutup luka merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya dehisensi
luka operasi abdomen (Afzal, 2008).

2. Klasifikasi
Dehisensi dapat dibagi dalam dehisensi inkomplit atau parsial dan
dehisensi komplit. Dehisensi inkomplit bila hanya meliputi jaringan kulit
atau jaringan dibawahnya dan terkadang mencapai jaringan fascia.
Dehisensi dikatakan komplit apabila peritoneum juga ikut terbuka.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari
sampai 12 hari pasca operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya
(Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda
dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi
yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa
nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat
R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,
pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,
2009).

5
4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi : Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi.
Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan
gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar
luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,
luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan suhu dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam
setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika
infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh
streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan suhu dan pembentukan pus, dan
terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Afzal,2008; Spioloitis
et al, 2009).

5. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya dehisensi dibedakan atas faktor preoperasi
yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor
operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta
faktor pascaoperasi.
Faktor risiko preoperasi meliputi usia lanjut (>50 tahun), operasi
emergensi, obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi,
terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif

6
serta pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008;
Spiloitis et al, 2009 dan Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Teknik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka
daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik,
sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan
arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan teknik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Teknik ini memiliki
keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan,
namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya. (Afzal,
2008 dan Spiloitis et al, 2009).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008 dan Spiloitis
et al, 2009).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan


terjadinya dehisensi luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-
otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen ini akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan
bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya benang
pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.
c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang

7
merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan
proses awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebabkan buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008 dan Spiloitis et al,
2009).

6. Diagnosis
Dehisensi luka abdomen terjadi dengan atau tanpa eviserasi.
Eviserasi mengindikasikan keluarnya isi peritoneum melalui fasia yang
tidak menyatu. Dehisensi tanpa eviserasi dapat dideteksi dengan
penampakan klasik dari cairan berwarna salmon mengalir dari luka dan
eviserasi terlihat ketika jahitan disingkirkan. Sebagai perbandingan pada
infeksi luka bedah superfisial, dimana terdapat manifestasi berupa cairan
purulen dari luka insisi diatas lapisan fasia dan ketika luka telah terbuka
seluruhnya, tidak ditemukan eviserasi. Waktu rata-rata terjadinya dehisensi
dari waktu pembedahan adalah berkisar antara 27 hari. Dehisensi luka
operasi abdomen berkaitan dengan infeksi intra abdominal pasda kasus
trauma laparotomi. Tidak ditemukan factor klinis dan laboratorium yang
dapat membantu mengidentifikasi kecenderungan pasien dehisensi fasia
mengalami infeksi intra abdominal. Meskipun begitu, dehisensi fasia harus
dipertimbangkanb sebagai tanda dari infeksi intra abdominal. Radiografi
yang tepat atau visualisasi secara langsung seluruh rongga abdomen harus
dilakukan sebelum menangani kasus dehisensi fasia. Dehisensi mengacu
pada terpisahnya lapisan fasia. McNeeley dkk (1998) melakukan studi
terhadap 8590 wanita yang melahirkan melalui section cesarean di RS
Hutzel,Detroit. Mereka melaporkan dehisensi fasial terjadi pada 1 dari 300
operasi. Kebanyakan dari dehisensi terjadi sekitar lima hari pasca operasi
dengan secret yang serosanguineus. Dua pertiga dari 27 kasus dehisensi
yang terjadi berhubungan dengan infeksi fasia dan nekrosis jaringan.
Diagnosis dari dehisensi dengan eviserasi dapat dengan mudah terlihat.
Seringkali, terdapat dehisensi subklinis dimana terjadi kegagalan
penutupan fasia tetapi kulit tetap intak. Kondisi ini seringkali disertai
dengan sekret serosanguinous dari luka insisi. Sangat penting untuk

8
mengenali bahwa kebanyakan insisi (terutama pada pasien obesitas) akan
mengeluarkan sekret pasca operasi tapi tanpa wound failure. Pasien
dengan sekret serosanguinous yang berlebihan dari luka harus diawasi
dengan ketat. Eksplorasi luka sesegera mungkin dalam kamar operasi
harus dipertimbangkan. Diagnosis dari dehisensi luka masih merupakan
diagnosis klinis. Jika dicurigai diagnosis mengarah pada dehisensi luka,
maka tempat yang paling tepat adalah kamar operasi (Afzal, 2008 dan
Spiloitis et al, 2009).

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Dehisensi dibedakan menjadi penatalaksanaan non
operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas
keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal
dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi
yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota
bag repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering
dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).

9
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,
2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Teknik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan
sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan
berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan
penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka
operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Ismail,
2008 dan Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan teknik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan
3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan
karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat
luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh

10
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation
(Sukumar, 2004).
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Teknik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di
bagian bawahnya. Teknik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Teknik
ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag
adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong
irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk
menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau
fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).
Teknik :
1. Pasien dengan dehisensi dinding abdominal dengan eviserasi usus halus
diposisikan berbaring dibawah anestesi umum.
2. Tepi yang terkontaminasi dari luka termasuk gabungan peritoneum dan
fasia rektus dieksisi.
3. Pada bagian ujung kranial dari insisi, jarum ditempatkan melalui titik a
melewati semua lapisan otot fasia rektus dan peritoneum.
Ketika jarum ditarik keluar dari titik a, benang ditarik melalui loop akhir
dari jahitan.

4. Jarum dimasukkan dari titik b ketitik b , 2,5 cm dari titik a dan titik a

11
5. Jahitan dibiarkan kendur pada sisa jahitan sehingga ahli bedah dapat
memperbaiki jahitan dengan tepat. Setelah seluruh jahitan selesai, jahitan
dapat dieratkan. Berikut ditunjukkan teknik menempatkan jahitan terakhir
dari m ke n. Satu helai dari dua benang dipotong,sementara helai yang
dipotong dilanjutkan jahitan ketitik n dari dalam keluar.

6. Jahitan lalu diiikat setelah semua jalur jahitan dieratkan

7. Jahitan dikencangkan

12
Pencegahan
Teknik operasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
wound dehiscence antara lain :
Menggunakan bahan nonabsorbable yang besar atau setidaknya
bahan yang memilik absorbtion rate jangka panjang
Pada pasien berisiko, jaringan diambil lebar dari tepi luka (sekitar 3
cm) dengan jarak antar simpul tidak lebih dari 3 cm
Tidak mengikat jaringan terlalu kuat
Metode penjahitan dengan menjahit sekaligus semua lapisan dari
kulit hingga peritoneum, namun metode penjahitan lapisan demi
lapis dapat juga dilakukan
Bahan-bahan yang tidak memotong luka dapat dipakai mencegah
erosi akibat simpul pada kulit, misalnya membuat simpul melalui
bahan plastik atau karet yang pendek (5-6 cm)

8. Fisiologi Penyembuhan Luka


Penyembuhan dan perbaikan luka adalah proses penggantian sel-sel
mati yang berbeda dari sel asalnya. Sel-sel baru membentuk jaringan
granulasi, yang nantinya menjadi jaringan parut fibrosa. Menurut jenisnya,
penyembuhan luka terbagi menjadi; penyembuhan primer, dan
penyembuhan sekunder.
Fase penyembuhan luka, terdiri atas;
1) Fase inflamasi
Fase ini dimulai setelah 5 10 menit dan berlangsung selama 3 hari
setelah cedera. Proses yang terjadi yaitu, haemostatis; vasokontriksi
sementara dari pembuluh darah yang rusak terjadi pada saat sumbatan

13
trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk
membentuk bekuan.

Gambar 2. Fase Imflamasi.

2) Fase Proliferatif
Pembentukan jaringan granulasi adalah pusat dari peristiwa selama fase
proliferatif. Jaringan granulasi terdiri dari sel-sel inflamasi, fibroblas,
kolagen, neovascular, glikosaminoglycans dan proteoglycans.
Pembentukan jaringan granulasi terjadi 3 5 hari setelah cedera.

Gambar 3. Fase Proliteratif

3) Fase Maturasi
Pada fase ini terjadi proses pematangan luka. Yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan yang sesuai dengan gaya
gravitasi dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru (Lisa, 2010 dan
Daniel, 2010).

14
Gambar 4. Fase Maturasi

Proses Penyembuhan Luka


Secara garis besar proses penyembuhan dapat berlangsung atas 2 proses:
a. Penyembuhan Primer
Sebagian besar luka akan sembuh secara primer, penyembuhan
terjadi dengan melibatkan tepi luka yang diaproksimasikan melalui
simpul, staples, lem atau plester. Aproksimasi ini betrujuan untuk
menghindari dead space dengan tetap memperhatikan kebutuhan
ruang yang minimal untuk pembentukan jaringan granulasi.
Reepitelialisasi jaringan luka dapat dicapai dalam 4 hari pasca
operasi.
Seharusnya luka sudah harus dinilai dalam 4 hari setelah
pembedahan. Jika reepitelialisasi telah berlangsung dan luka tertutup,
luka dapat dibiarkan terbuka. Namun, jika pasien tidak ingin lukanya
terlihat, luka dapat ditutup dengan dressing film atau dressing yang
tingkat perlekatannya lebih rendah untuk menjamin kenyamanan
(pakaian dapat mengiritasi luka). Jika eksudat keluar dari pembalut,
setidaknya dalam 48 jam pertama, pembalut harus diganti (Lisa, 2010
dan Daniel, 2010).
b. Penyembuhan Sekunder
Luka bedah yang terkontaminasi yang akhirnya terbuka atau luka
yang terbuka pascaoperasi akan sembuh dengan pendekatan
sekunder, melalui proses inflamasi, proliferasi, kontraksi dan
remodeling yang lebih panjang.
Apabila telah terjadi luka sekunder, penyembuhan masih dapat
diharapkan, tetapi harus memperhatikan prinsip:
Membiarkan drainase eksudat dengan menggunakan pembalut yang
sesuai

15
Meminimalkan infeksi pada luka
Memperkuat pembentukan jaringan granulasi dan kontraktur luka
dengan menjamin suasana luka yang lembab dan hangat, dimana
sel baru dapat bermultiplikasi
Hindari nyeri pada penutupan luka dengan menggunakan produk
yang tidak lengket dengan luka atau menyebabkan kerusakna pada
jaringan.

Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penyembuhan Luka


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka dapat dibagi
menjadi faktor sistemik dan faktor lokal.
Faktor Sistemik
a. Usia
Pada usia lanjut, proses penyembuhan luka lebih lama dibandingkan
pada usia muda. Hal ini dikarenakan adanya proses degenerasi, tidak
adekuatnya pemasukan makanan, menurunnya kekebalan dan
menurunnya sirkulasi.
b. Hormonal
Faktor hormonal juga turut berperan dalam proses penyembuhan
luka. Hormon estrogen pada wanita mempunyai efek terhadap proses
regenerasi, produksi matriks ekstraseluler, inhibisi protease, fungsi
epidermis dan inflamasi. Sehingga wanita pada usia subur
mempunyai kemampuan dalam penyembuhan luka bila dibandingkan
dengan wanita yang telah memasuki masa klimakterium. Hal ini juga
berlaku untuk pria, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses
penyembuhan luka pada wanita lebih baik dan lebih cepat dari pria
c. Faktor Stress
Stress dapat mencetuskan pengeluaran hormon kortisol, ACTH,
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) dan prolaktin. Hormon
glukokortikoid dapat menganggu aktivasi dari sitokoin-sitokin seperti
IL-1, IL-6, TNF- yang berperan dalam fase inflamasi dari proses
penyembuhan luka
d. Nutrisi
Karbohidrat diperlukan sebagai sumber ATP untuk proses
angiogenesis dan depsosisi jaringan baru.
Protein adalah zat yang paling penting dalam proses penyembuhan
luka. Defisiensi protein dapat menggangu proses pembentukan
kapiler, proliferasi fibroblas, sintesis proteoglikan dan kolagen, dan
remodeling jaringan luka. Protein juga berperan dalam sistem imun
yaitu dalam proses fagositosis oleh komponen leukosit.

16
Lemak sebagai sumber energi cadangan juga dibutuhkan dalam
proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan. Struktur asam
lemak seperti polyunsaturated fatty acid, yang tidak dapat disintesis
dalam tubuh diperlukan dalam proses produksi sitokin, metabolisme
sel dan angiogenesis.
Beberapa vitamin seperti vitamin C diperlukan dalam proses sintesis
kolagen, proliferasi fibroblas dan mencegah fragilitas kapiler.
Vitamin E diperlukan sebagai antioksidan dalam stabilisasi membran
sel. Zink, Magnesium, Besi juga berperan dalam pemulihan jaringan
akibat luka
e. Obesitas & Penyakit Sistemik
Pada individu dengan obesitas, penyembuhan luka dapat terganggu
berkaitan dengan peningkatan traksi (tension) pada tepi luka sehingga
meningkatkan tekanan pada jaringan, menurunkan perfusi kapiler
sehingga menurunkan ketersediaan oksigen pada jaringan luka.
Penderita diabetes melitus juga mempunyai risiko dalam gangguan
proses penyembuhan luka, akibat peningkatan produksi advanced
glycation end-products (AGEs), reactive oxygen species, dan kondisi
hipoksia serta imunodefisiensi
f. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan seperti steroid (glukokortikoid), NSAIDs,
dan kemoterapi mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Glukokortikoid mempunyai efek dalam inhibisi produksi sitokin
dalam sifatnya sebagai global anti-inflamatory agent. Beberapa
golongan NSAID seperti aspirin memiliki efek dalam menganggu
fungsi platelet. Ibuprofen memiliki efek dalam menurunkan produksi
fibroblast, gangguan proses epitelialisasi, angiogenesis dan kontraksi
luka
g. Konsumsi Alkohol & Merokok
Etanol dalam alkohol meningkatkan risiko infeksi pada luka,
gangguan proses angiogenesis, hipoksia jaringan dan stress oksidatif.
Etanol juga dapat menganggu proses produksi kolagen dan
keseimbangan protease pada jaringan luka.
Nikotin dalam rokok menstimulasi sistem saraf simpatis sehingga
mencetuskan pelepasan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi
perifer dan menganggu perfusi darah ke jaringan. Nikotin juga
meningkatkan viskositas darah sehingga menggangu proses
fibronolitik dan adhesi dari platelet (Daniel, 2010).

17
Faktor Lokal
a. Oksigenasi
Oksigen dibutuhkan dalam proses metabolisme sal terutama dalam
produksi ATP, angiogenesis, diferensiasi keratinosit, migrasi epitel
dan epitelialisasi, proliferasi fibroblas, sintesis kolagen serta
membantu kontraksi luka. Oksigenasi berkaitan dengan
vaskularisasi, sehingga pada pasien yang mengalami gangguan
vaskularisasi seperti diabetes dapat mengalami kondisi kekurangan
oksigen
Pada luka dekubitus juga sering mengalami gangguan dalam proses
pemulihan jaringan berkaitan dengan insufisiensi vaskular di daerah
tersebut.
b. Infeksi
Infeksi dapat memperlama proses inflamasi sehingga mengakibatkan
aktivasi matrix metalloprotease (MMP), suatu derivat dari enzim
protease yang dapat mendegradasi komponen matriks ekstraseluler
(Lisa, 2010 dan Daniel, 2010).

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah kasus pasien yang menderita dehisensi post sectio caesarea di


RSUD Karanganyar periode 2012 - 2016 sebanyak 34 kasus.

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan usia


usia dalam tahun
<=20 21-30 30-40 >40 Total
tahun 2012 1 2 2 3 8
2013 2 4 6 0 12
2014 2 2 2 2 8
2015 2 1 2 0 5
2016 0 1 0 0 1
Total 7 10 12 5 34

Jumlah pasien dehisensi post sectio caesarea untuk kelompok usia


didominasi oleh kelompok usia lebih dari 20 tahun. Hal ini tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh webster et al ,afzal et al, dan spiloitis
et al yang menerangkan bahwa faktor risiko dehisensi yaitu usia lanjut dengan
pertimbangan bahwa sistem imun pada usia lanjut sudah mengalami

18
penurunan dan tidak maksimal seperti pada usia produktif sehingga lebih
mudah terkena infeksi dan terjadi dehisensi (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Webster, 2003).

Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan Berat Badan


Berat Badan Total
< 60 60 80 81-90 >90
tahun 2012 0 2 3 3 8
2013 1 3 6 2 12
2014 0 2 2 4 8
2015 1 1 1 2 5
2016 0 0 1 0 1
Total 2 8 13 11 34

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan hasil bahwa pada rentang berat


badan 81 kg sampai 90 kg didapatkan jumlah dehisensi terbanyak yaitu
sebesar 13 kasus.

Tabel 4. Karakteristik responden berdasarkan Tinggi Badan


Tinggi Badan Total
< 140 140-150 151-160 >160
tahun 2012 2 3 3 0 8
2013 3 2 4 3 12
2014 2 4 1 1 8
2015 1 0 2 2 5
2016 0 0 1 0 1
Total 8 9 11 6 34

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan hasil bahwa pada rentang tinggi


badan 151 cm sampai 160 cm didapatkan jumlah dehisensi terbanyak yaitu
sebesar 11 kasus.

19
Tabel 5. Karakteristik responden berdasarkan IMT
IMT Total
< 18,5 18,5 24,9 25,0-29,9 30,0-34,9 35,0-39,9
tahun 2012 0 1 2 2 3 8
2013 1 2 4 3 2 12
2014 0 0 2 2 4 8
2015 1 1 1 0 2 5
2016 0 1 0 0 0 1
Total 2 5 9 7 11 34

Dari tabel diatas didapatkan kasus dehisensi pada IMT < 18,5 (berat
badan kurang) sebesar 2 kasus, pada IMT 18,5-24,9 (berat badan normal)
didapatkan kasus dehisensi sebanyak 5 kasus, sedangkan pada IMT 25
(berat badan berlebih) didapatkan hasil 27 orang mengalami dehisensi. Dari
tabel ini, dapat disimpulkan bahwa orang dengan berat badan berlebih
mempunyai faktor risiko yang lebih besar untuk terjadi dehisensi post sectio
caesare. Pada individu dengan obesitas, penyembuhan luka dapat terganggu
berkaitan dengan peningkatan traksi (tension) pada tepi luka sehingga
meningkatkan tekanan pada jaringan, menurunkan perfusi kapiler sehingga
menurunkan ketersediaan oksigen pada jaringan luka. Sangat penting untuk
mengenali bahwa kebanyakan insisi (terutama pada pasien obesitas) akan
mengeluarkan sekret pasca operasi tapi tanpa wound failure (Daniel, 2010
dan Spiloitis et al, 2009).

Tabel 6. Karakteristik responden berdasarkan kadar Hemoglobin


Hemoglobin Total
11 12-16

20
tahun 2012 5 3 8
2013 7 5 12
2014 5 3 8
2015 3 2 5
2016 1 0 1
Total 21 13 34

Dari tabel diatas, didapatkan hasil bahwa kasus dehisensi pada orang
dengan Hb 11 sebesar 21 kasus, sedangkan pada Hb 12-16 (normal)
didapatkan sebesar 13 kasus dehisensi. Hal ini terjadi karena asupan nutrisi
yang tidak adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses
awal penyembuhan luka (Afzal, 2008 dan Spiloitis et al, 2009).

Tabel 7. Karakteristik responden berdasarkan riwayat SC


Riwayat SC Total
Belum pernah 1x > 1x
tahun 2012 1 4 3 8
2013 2 4 6 12
2014 1 5 2 8
2015 2 1 2 5
2016 1 0 0 1
Total 7 14 13 34

Dari tabel diatas, didapatkan hasil bahwa kasus dehisensi yang terjadi
pada orang yang belum pernah memiliki riwayat SC sebesar 7 kasus,
sedangkan pada orang dengan riwayat SC didapatkan hasil 27 orang
mengalami dehisensi. Dari tabel ini dapat disimpulkan bahwa orang dengan
riwayat SC memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadi dehisensi luka post
SC. Hal ini timbul karena potensi penurunan kekuatan otot - otot perut karena
adanya sayatan pada dinding perut, adanya penurunan kekuatan otot dasar
panggul karena selama kehamilan otot-otot dasar panggul teregang seiring
dengan membesarnya janin dalam uterus, selain itu juga terjadi perlengketan
jaringan dan uterus dengan dinding abdomen karena sectio caesarea yang
dahulu.

21
Pada orang dengan riwayat sectio caesarea memiliki faktor risiko
untuk terjadinya ruptura jaringan parut bekas secsio caesarea dan dehisensi
jaringan parut bekas secsio caesarea. Pada sebuah penelitian selama 10 tahun,
yaitu dari tahun 1987-1997 di Nova Scotia, Kanada, didapatkan 114.933
persalinan dengan 39 kasus ruptura uteri: 18 ruptura komplit dan 21 inkomplit
(dehisensi). 36 wanita memiliki riwayat sectio saecarea: 33 dengan insisi low
transverse, 2 insisi klasik, dan 1 dengan insisi low vertical. Dari 114.933
persalinan tersebut, sebanyak 11.585 (10%) adalah wanita sengan riwayat
sectio saecarea dan angka kejadian ruptura uteri komplit adalah sebanyak 2,4
per 1000 persalinan dan dehisensi sebanyak 2,4 per 1000 persalinan (Kidanto
et al, 2012).
Untuk melihat kelas mana pasien yang dirawat dapat dilihat secara
kasar bagaimana kondisi ekonomi pasien. Rerata pendapatan perkapita
kabupaten Karanganyar adalah 0.376238. Dari gambaran umum pasien tingkat
sosial ekonomi rendah lebih rentan terkena dehisensi post sectio caesarea
dengan pertimbangan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pengetahuan
tentang perwatan luka yang kurang baik (Afzal, 2008).
Pada dehisensi luka operasi post sectio caesarea dapat diakibatkan oleh
faktor teknis, karakteristik pasien dan faktor lokalis. Faktor teknis meliputi
kegagalan teknik penutupan luka. Karakteristik pasien dan faktor lokalis yang
mempengaruhi dehisensi luka adalah malnutrisi, kadar albumin yang rendah,
masalah pernapasan dan infeksi luka. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya dehisensi luka. Faktor-faktor
tersebut adalah anemia, jaundice, uremia, diabetes, hipoalbuminemia, chronic
obstructive pulmonary disease (COPD), malignansi, penggunaan steroid,
obesitas, dan infeksi luka. Afzal S dan Bashir M.M mengemukakan hasil
penelitiannya mengenai faktor risiko dehisensi luka bahwa sepsis luka
merupakan satu-satunya faktor risiko yang terpenting dalam terjadinya
dehisensi luka. Faktor risiko lainnya hanya berkontribusi dalam proses
terjadinya infeksi.
Penatalaksanaan dehisensi post sectio caesarea RSUD Karanganyar
terbanyak adalah tindakan konservatif rawat jalan. Penatalaksanaan
konservatif yang dilakukan antara lain dengan perawatan luka secara
berkesinambungan, pemberian antibiotik dan nutrisi yang adekuat serta
mobilisasi. (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009).

22
BAB IV

KESIMPULAN

1. Jumlah pasien Dehisensi post operasi sectio caesarea di RSUD


Karanganyar pada rentang waktu 2012 sampai 2016 sebanyak 34 kasus.

2. Distribusi sampel penelitian terbanyak berada pada kelompok usia lebih


atau sama dengan 20.

3. Faktor faktor seperti berat badan, nutrisi dan riwayat operasi sectio
caesarea terbukti menjadi faktor risiko penyebab dari dehisensi luka post
operasi sectio saecarea di RSUD Karanganyar.

4. Penatalaksanaan dehisensi post operasi sectio caesarea di RSUD


Karanganyar periode 2012 sampai 2016 adalah penatalaksanaan
konservatif dengan perawatan luka secara berkesinambungan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal


Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Daniel Sampepajung, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarata, 2010; Masa Pulih, hal 358-363.

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses September 2016 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

James M, John B. 1971. Abdominal Wound Dehiscence after Caesarean Section.


British Medical Journal. 256-257

Kidanto H, Ipyana M, and Van J. 2012. Tanzania Journal of Health


Research.Uterine rupture: a retrospective analysis of causes, complications
and management outcomes at Muhimbili National Hospital in Dar es
Salaam, Tanzania. Volume 14, Number 3.

Lisa Y. Hasibuan, Hardisiswo Soedjana, Bisono, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarata, 2010; Luka, hal 95-98.

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired


bladder rupture in a 5 yr old girl a case study. Resident Medical Officer,

24
Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal
1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a


problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of
Emergency Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of


Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

25

Anda mungkin juga menyukai