Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

MONOPARESE SUPERIOR
BILATERAL FLACCID

Disusun Oleh:
Switha Martha Sinaga (112018105)

Pembimbing:
dr. Hadi Kurniawan, Sp.KFR,CCD

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO
PERIODE 21 OKTOBER – 24 NOVEMBER 2019

i
BAB I
IDENTITAS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. Maya Sedyana
No. RM : 498723
TTL / Umur : 9 November 1968 / 51 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Papandayan No.11 A Semarang
Pendidikan Terakhir : SMA

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 5 November 2019, Pukul 10.00 wib
Keluhan Utama:
Lemah pada kedua tangan sejak 4 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
4 bulan SMRS, pasien merasakan lemah pada kedua tangan, keadaan ini mulai dialami
sejak bulan april 2019 tepat 1 bulan setelah pasien menjalankan operasi, pada bulan maret
pasien menjalankan operasi pengangkatan payudara sebelah kiri di RS Elisabeth Semarang.
Awalnya pasien merasakan tiba-tiba jari terasa kebas dan tangan kiri tidak dapat digerakkan
maupun diangkat. Adanya nyeri yang hilang timbul. Nyeri menjalar dari ujung jari ke lengan
kiri atas pasien. Adanya bengkak dan benjolan disangkal pasien. Adanya demam,mual,
muntah, pandangan kabur, pusing, kelemahan dengan ektremitas lain disangkal. Operasi
tersebut dilakukan secara total masektomi dengan indikasi kanker payudara tipe ganas dengan
dokter bedah. Gejala kanker payudara sudah dialami pasien sejak 3 tahun yang lalu, dengan
teraba benjolan dipayudara kiri. Februari 2019 pasien melakukan biopsy untuk payudara kiri
dan dinyatakan ganas di RS telogorejo semarang. Pada bulan april 2019 pasien mulai
melakukan pengobatan dengan dokter neurologi di RS pantiwilasa dr. Cipto terkait dengan
lemah pada kedua tangan tersebut hipertensi sejak 2003 dan vertigo sejak 2018. Kemudian
pada agustus 2019 pasien dikonsulkan ke dokter rehabilitasi medic untuk menjalankan
fisioterapi.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 2003
 Pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus
 Pasien tidak memiliki kolesterol tinggi
 Pasien memiliki riwayat vertigo sejak 2018
 Pasien tidak memiliki riwayat trauma sebelumnya
 Pasien memiliki riwayat Operasi pada payudara kiri pada maret 2019
 Pasien tidak memiliki riwayat Alergi obat
Riwayat Keluarga :
 Riwayat hipertesi tidak ada
 Riwayat diabetes melitus tidak ada
 Riwayat gangguan jantung, paru, dan ginjal tidak ada
Riwayat Social, Ekonomi, dan Pribadi
Merupakan ibu dari 3 orang anak, dan tinggal di daerah tidak padat penduduk.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Tanda Vital
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 80x/menit, kuat angkat, denyut reguler
Nafas : 18x/menit
Suhu aksila : 36,7oC

3
Status Generalis
Kepala
- Bentuk : Simetris, normocephali
- Rambut : hitam, tidak mudah di cabut, tidak tampak lesi
- Mata : konjungtiva tidak pucat (-/-), sklera tidak ikterik (-/-), reflex cahaya
langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+), kelopak mata tidak
edema, tanda radang negatif (-/-) , tidak cekung, pupil bulat isokor.
- Telinga : Normotia, simetris, liang telinga lapang, tidak ada serumen,
tidak ada lesi atau benjolan, tidak ada sekret/serumen.
- Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, tidak ada pernapasan cuping
hidung, tidak ada sekret.
- Mulut : Bibir lembab, tidak sianosis, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1

Leher
- Bentuk : Normal, tidak ada lesi atau benjolan
- Trakhea : Di tengah
- KGB : Tidak teraba
- Tiroid : Tidak teraba adanya pembesaran

Thoraks
Paru :
- Inspeksi : normothorax, simetris dalam keadaan statis dan dinamis
- Palpasi : nyeri tekan (-), vokal fremitus simetris.
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-,wheezing -/-
Jantung :
- Inspeksi : tak tampak iktus cordis
- Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
- Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

4
Abdomen

 Inspeksi : bentuk datar, tidak ada lesi, tidak terlihat penonjolan massa, tidak
terdapat caput medusa, tidak terdapat bekas operasi.

 Palpasi :
Dinding perut : supel, nyeri tekan tidak ada
Hati : tidak teraba.
Limpa : tidak teraba.
Ginjal : tidak teraba, ballotement negative.
 Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
 Auskultasi : Bising usus 7x/menit normoperistaltik

Ekstremitas : akral hangat pada extremitas, CRT < 2 detik, edema (-), hematoma (-),
deformitas (-), nyeri tekan (-), Nyeri saat pergerakan (-), ROM ekstremitas
atas dextra terbatas.

Status Psikis

 Cara berpikir : wajar


 Perasaan hati : normal
 Tingkah laku : wajar
 Ingatan : normal
 Kecerdasan : normal

Status Neurologis
Kepala

 Bentuk : Normocephali
 Nyeri tekan : Negatif
 Simetris : Simetris

5
Leher

 Sikap : Simetris
 Pergerakan : Normal

Tanda-tanda perangsangan Meningeal

 Kaku kuduk : Negatif (-/-)


 Kernig : Negatif (-/-)
 Brudzinski : Negatif (-/-)
 Laseque : Negatif (-/-)

Nervus Cranialis
1. N. I Kanan Kiri
Subjektif normal normal
Dengan bahan tidak dilakukan tidak dilakukan

2. N. II Kanan Kiri
Tajam Penglihatan normal normal
Lapang penglihatan normal normal
Fundus Okuli tidak dilakukan tidak dilakukan
Melihat warna normal normal
Refleks terhadap sinar (+) (+)

3. N. III Kanan Kiri


Pergerakan bulbus tidak ada deviasi tidak ada deviasi
Strabismus tidak ada tidak ada
Nistagmus tidak ada tidak ada
Exophtalmus tidak ada tidak ada
Ptosis tidak ada tidak ada
Pupil 3 mm 3 mm
Bentuk bulat bulat

4. N. IV Kanan Kiri
6
Pergerakan mata (+) (+)
Penglihatan ganda tidak ada tidak ada

5. N. V Kanan Kiri
Membuka mulut normal normal
Mengunyah normal normal
Mengigit normal normal
Refleks Kornea tidak dilakukan tidak dilakukan
Sensibilitas normal normal

6. N. VI Kanan Kiri
Pergerakan mata ke lateral normal normal
Penglihatan ganda tidak ada tidak ada

7. N. VII Kanan Kiri


Mengerutkan dahi normal normal
Menutup mata normal normal
Menyeringai normal normal
Bersiul normal normal
Sensorik lidah 2/3 anterior normal normal

8. N. VIII Kanan Kiri


Detik arloji tidak dilakukan tidak dilakukan
Weber tidak dilakukan tidak dilakukan
Rinne tidak dilakukan tidak dilakukan
Schwabach tidak dilakukan tidak dilakukan

9. N. IX Kanan Kiri
Sensorik lidah 1/3 posterior normal normal
Sensibilitas normal normal
Pharynx normal normal

7
10. N. X
Palatum mole normal
Arcus pharynx normal
Bicara normal
Menelan normal

11. N. XI Kanan Kiri


Mengangkat bahu dapat dilakukan dapat dilakukan
Memalingkan kepala dapat dilakukan dapat dilakukan

12. N. XII
Pergerakan lidah dapat dilakukan
Tremor lidah tidak ada
Artikulasi jelas

Badan dan Anggota Gerak


1. Badan

Motorik

 Respirasi : simetris
 Duduk : dapat dilakukan
 Bentuk columna vertebralis : tidak ada kelainan
 Pergerakan columna vertebralis : tidak ada kelainan

Sensibilitas

 Taktil : normal
 Nyeri : normal
 Thermal : normal
 Diskriminasi : normal
 Lokalisasi : normal
8
Anggota Gerak Atas

Motorik Kanan Kiri

 Pergerakan normal normal


 Kekuatan 4-4-4 4-4-4
 Tonus hipotonus hipotonus
 Atrofi ada ada

Sensibilitas Kanan Kiri

 Taktil menurun menurun


 Nyeri menurun menurun
 Thermal tidak dilakukan tidak dilakukan
 Diskriminasi tidak dilakukan tidak dilakukan
 Lokalisasi menurun menurun

Refleks Kanan Kiri

 Biceps + +
 Triceps + +
 Brachioradialis + +

Anggota Gerak Bawah

Motorik Kanan Kiri

 Pergerakan normal normal


 Kekuatan 5-5-5 5-5-5
 Tonus normotonus normotonus
 Atrofi tidak ada tidak ada

9
Sensibilitas Kanan Kiri

 Taktil normal normal


 Nyeri normal normal
 Thermal tidak dilakukan tidak dilakukan
 Diskriminasi tidak dilakukan tidak dilakukan
 Lokalisasi normal normal

Refleks Kanan Kiri

 Patella ++ ++
 Achilles ++ ++
 Babinski - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. USG Abdomen
- Hepar ukuran normal, permukaan regular, tepi tajam, parenkim homogeny dengan
eksogenitas normal,tak tampak nodul, tak tampak pelebaran duktus biliier, vena
hepatica dan vena porta tak melebar.
- Vesika feles ukuran dan bentuk normal, dinding tak menebal, tamapk multiple batu
didalamnya, tak tampak pericholecystistic maupun sludge.
- Liem ukuran normal, parenkim homogen dengan eksogenitas norma, permukaan
regular, tak tampak nodul,vena lienalis tak melebar.
- Pancreas ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen norma, tak tampak
kalsifikasi, duktus pankreatikus tak tampak melebar
- Ginjal bentuk dan ukuran terlihat normal, struktur parenkim normal,pyelum tak
tampak melebar, tak tampak batu pada FCS, kedua ureter proksimal tak tampak
melebar.
- Aorta abdominalis ukuran dan bentuk dalam batas normal, tak tampak pelebaran
KGB sekitarnya
- Vesika urinaria terdistensi normal, dinding tak menebal regular, tak tampak batu
didalamnya

10
- Uterus ukuran normal, parenkim homogeny, tak tampak nodul, endometrial line jelas.
Pada region adneksa tak tampak kelainan. Tak tampak cairan bebas intraperitoneal.

Kesan :
Cholelitiasis multiple ukuran sekitar 6-7 mm
Sonografi organ intraabdomen lain tampak normal

2. Rotgen Thorak PA
- Cor : bentuk , letak normal, ukuran membesar ringan
- Pulmo : vascular marking normal, tak tampak bercak kesuraman dan coin lesion di
kedua lapangan paru
- Diafragma dan sinus costofrenikus baik
- Tak tampak lesi litik-sklerotik pada tulang

Kesan : Cardiomegali
Tak tampak metastase pada pulmo dan tulang

3. Patologi anatomi pre operasi


Makroskopik :
- Keping-keping jaringan warna putih 0,5 cc

Mikroskopik :
- Tumor mammae dextra:
Keeping-keping dilapisi epitel gepeng berlapis pada subcutis dampai muskularis
Didapatkan sel-sel tumor oval bulat dengan inti pleiomorfik keras, berkromatin kasar,
didapatkan mitosis (10 mitosis/10 HPF)
Sel-sel tumor berstruktur lobulus-lobulus, sudah infiltrasi kedalam stroma.
Kesimpulan
- Tumor mammae dekstra :
- Invasive loblar carcinoma, grade II
4. Mammografi
Pemeriksaan mammografi sinistra
11
- Kutis-subkutis tak menebal
- Tak tampak retraksi papilla mammae
- Jaringan fibroglandular padat
- Tampak massa densuitas cukup tingg dengan spikula pada retroinferior papilla
- Tak tampak kalsifikasi
- Tak tampak KGB aksilla membesar
Kesan :
Massa pada mamme sinistra, suspect malignancy (BIRADS 4)

5. Patologi anatomi post operasi


Makroskopis:
Potongan jaringan mamae disertai kulit dan papilla serta axila tail
Ukuran 22x13x6 cm
Pada pemotongan tampak masa tumor putih padat batas tidak tegas ukuran 5x5x5 cm
Tidak didapatkan KGB.

Mikroskopis:
Mamae sinistra, masektomi :
a. Tumor
jaringan dilapisi epitel gepeng berlapis, pada subkutan dampai muskularis didapatkan
sel-sel tumor oval bulat dengan inti pleiomorfik keras, berkromatin kasar, nucleoli
prominat, didapatkan mitosis ( 12 mitosis/10 HPF) berstruktur acinus dan ductus,
tampak invasi ke pembuluh darah,
b. Batas reseksi bawah : belum bebas tumor
c. Areola mammae : didapatkan tumor
Kesimpulan :
Mamae sinistra, mastektomi:
a. Tumor : invasive breast carcinoma of NST, grade II
Sudah invasi sampai pembuluh darah, batas bawah reseksi dan areola mamae
didapatkan tumor.
b. Batas bawah reseksi : belum bebas tumor
c. Aerola mamae : didapatkan tumor
12
V. RESUME

Pasien perempuan 51 tahun datang dengan keluhan lemah pada kedua tangan sejak 4
bulan SMRS, 4 bulan SMRS, pasien merasakan lemah pada kedua tangan , Awalnya pasien
merasakan tiba-tiba jari terasa kebas dan tangan kiri tidak dapat digerakkan maupun diangkat.
Adanya nyeri yang hilang timbul. Nyeri menjalar dari ujung jari ke lengan kiri atas pasien.
Adanya bengkak dan benjolan disangkal pasien. Adanya demam,mual, muntah, pandangan
kabur, pusing, kelemahan dengan ektremitas lain disangkal. Keadaan ini mulai dialami sejak
bulan april 2019 tepat 1 bulan setelah pasien menjalankan operasi, pada bulan maret pasien
menjalankan operasi pengangkatan payudara sebelah kiri di RS Elisabeth Semarang.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, GCS pasien E4M6V5, Tekanan darah 150/90 mmHg,
Nadi 80x/menit, kuat angkat, denyut regular , Nafas 18x/menit, Suhu 36,7oC, pada
pemeriksaan neurologis pada pemeriksaan motoric ekstremitas atas didapatkan kekuatan otor
menurun baik tangan kanan dan kiri, terdapat penurunan reflex fisiologis dan penurunan pada
sensibilitas dikedua ekstemitas. Pada hasil pemeriksaan penunjang didapatkan pasien sudah
melakukan biopsy dan pemeriksaan patologi anatomi yang menyatakan ganas dan tidak ada
tanda-tanda metastase ke organ lain.

VI. DIAGNOSIS
- Diagnosis Klinik : Monoparese Superior Bilateral Flaccid
- Diagnosis Topic : Plexus Brachialis Bilateral
- Diagnosis Etiologic : Ca mamae metastasis plexus brachialis bilateral

VII. TATALAKSANA
Non medika-mentosa
Tirah baring jika keluhan sangat mengganggu aktivitas.
Konsultasi rehabilitasi medik

Medika mentosa
Pamol
Candesartan 8 mg
Atorvastatin 20 mg
13
Vit B1, B6, B12 1x1
Betahistin 24 mg

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

14
BAB II
FLEKSUS BRAKHIALIS

Definisi
Pleksus brakialis adalah anyaman (Latin: plexus) serat saraf yang berjalan dari tulang
belakang C5-T1, kemudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan
(atas dan bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke beberapa bagian lengan1
Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang
membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal. Keadaan ini
dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas.
Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati
brakhialis 2

Anatomi Pleksus Brakhialis


Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf
C5-T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8
dan T1 bergabung membentuk trunk inferior.Trunkus berjalan melewati klavikula dan disana
membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior dari masing-masing dari trunkus tadi
akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus-trunkus superior dan media
membentuk membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior dari trunkus inferior membentuk
fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk n. radialis dan n. axilaris. Fasikulus
lateral terbagi dua dimana cabang yang satu membentuk n. muskulokutaneus dan cabang lainnya
bergabung dengan fasikulus media untuk membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua
dimana cabang pertama ikut membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris. 1

15
Gambar 1. Anatomi pleksus brakhialis
Etiologi
Penyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya :3
i. Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun
neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.
ii. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant
peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid,
lipoma), malignant ( kanker mammae dan kanker paru)
iii. Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8
– 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.
iv. Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas
namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri
dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan kelemahan otot timbul
lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi
dalam 2 tahun.

16
Patofisiologi

Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau
kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada
prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh
darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan
menjepit jaringan saraf sekitarnya.4

Gambar 2. Patofisiologi lesi pleksus brakhialis

Derajat Kerusakan
Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943) dan
Sunderland (1951).
Klasifikasi Sheddon, yaitu :5
a. Neuropraksia
Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti
ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat
dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.
b. Aksonotmesis

17
Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural
masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi
Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang
denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik.
c. Neurotmesis
Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan
penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan
waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.

Gambaran Klinis

Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan
autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak variasi
tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis dapat dibagi atas
pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular.6

Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular

Pleksopati supraklavikuler
Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau
kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi
infraklavikuler.2

18
Pleksopati Infraklavikuler
Pada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf terminal.
Lesi infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun umumnya mempunyai
prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati infraklavikuler biasanya adalah trauma
dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh
kerusakan struktur didekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur klavikula, scapula atau
humerus).7

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi
Adanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan iikat
sekitar yang dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus cedera
traumatik, penggunaan X-foto dapat membantu menilai adanya dislokasi, subluksasi
atau fraktur yang dapat berhubungan dengan cedera pleksus tersebut.
Pemeriksaan radiografi : 4
1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal
2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus.
3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada
kasus paralisa saraf phrenicus.
Adanya benda asing seperti peluru juga dapat terlihat. Sedangkan pada kasus cedera
pleksus brakhialis traumatik yang berat. Narakas, melaporkan bahwa umumnya
terdapat trauma multipel pada kepala atau muskuloskletal lainnya.
CT scan dapat digunakan untuk menilai adanya fraktur tersembunyi yang tidak dapat
dinilai oleh x-foto. Sedangkan myelografi digunakan pada lesi supraklavikular berat,
yang berguna untuk membedakan lesi preganglionik dan postganglionik. Kombinasi
CT dan myelografi lebih sensitif dan akurat terutama untuk menilai lesi proksimal
(avulsi radiks). MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jaringan
ikat sekitar lesi dan penilaian pleksus brakhialis ekstraforaminal normal atau tidak
normal. 8

19
Diagnosis Banding
1. Frozen Shoulder adalah suatu kelainan di mana terjadi inflamasi pada kapsul sendi bahu,
yaitu jaringan ikat disekitar sendi glenohumeral, sehingga sendi tersebut menjadi kaku dan
terjadi keterbatasan gerak dan nyeri yang kronis
2. Cervical syndrome mengacu pada serangkaian gangguan yang disebabkan oleh
perubahan di tulang cervical dan jaringan lunak di sekitarnya, dengan rasa nyeri sebagai
gejala utamanya. Keluhan nyeri ini dapat disebabkan karena trauma, gerakan yang
berlebihan, posisi yang salah dan stress. Umumnya, ketegangan otot leher diakibatkan
oleh kesalahan sikap saat bekerja, misalnya jika posisi kepala menengadah terlalu lama,
sendi-sendi daerah tengkuk akan mengalami kelelahan. Patologi sindroma nyeri servikal
disini dengan tanpa adanya kondisi traumatik seperti fraktur, dislokasi maupun subluksasi
bisa disebabkan karena spondilosis cervical.9

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan suportif, dengan berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan
penatalaksanaan aspek rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan pada lesi
pleksus brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak
dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Jika lesi
sangat luas dan perbaikan keseluruhan tidak memungkinkan maka tujuan utama
perbaikan bedah adalah mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat dilanjutkan
dengan fungsi ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari. 4

Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah :
- Pembedahan7
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury
pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat
ringan lesi.
 Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf
 Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali
dengan teknik end-to-end atau nerve grafts

20
 Nerve grafting : Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin
dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial
antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior
 Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus
avulsi pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal
nerve, spinal accessory nerve, phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve
dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root
yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf
bersih dari benda tajam.

Rehabilitasi Medik Pada Lesi Pleksus Brakhialis

Rehabilitasi medik (WHO,1981) adalah segala upaya yang bertujuan untuk mengurangi
dampak dari semua keadaan yang dapat menimbulkan disabilitas dan handicap serta
memungkinkan penderita cacat berpartisipasi serta secara aktif dalam lingkuangan keluarga dan
masyarakat. Pada pasien dengan cedera pleksus brakhialis dapat terjadi impairment kelumpuhan
otot-otot ekstremitas atas yang bervariasi dan disabilitas berupa ketidakmampuan dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lagi, berakibat handicap pada penderita dalam pekerjaan dan
kehidupan sosialnya.9
Program rehabilitasi secara individual meliputi modifikasi dari faktor resiko, perubahan
gaya hidup, dan edukasi pada kesadaran tentang kesehatan dan kebugaran, juga pendekatan yang
mengkombinasi teknik restorasi dan adaptasi. Pendekatan restorasi mencoba untuk
mempengaruhi selama proses perbaikan dan memperoleh kembali fungsi yang hilang, meliputi
therapeutic exercise (terapi latihan), aplikasi stimulasi elektrik (ES: electrical stimulation), atau
pasien menyelesaikan gerakan tanpa gravitasi dengan atau tanpa bantuan terapis. Teknik adaptasi
meliputi pembelajaran cara baru dalam melakukan tugas, penggunaan brace untuk menyokong
otot yang lemah atau memberikan posisi yang benar, serta peralatan khusus untuk
memungkinkan seseorang melakukan tugas dengan adanya defisit.6

21
1. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : merupakan stimulasi listrik
yang telah digunakan untuk mengelola nyeri lebih dari 2 dekade, berdasarkan teori
gate control menurut Melzack dan Wall (1965). TENS diberikan dengan implus
frekuensi tinggi (50-100Hz) selama 30 menit sampai 1 jam per sesi, maksimal 2 jam
per sesi, dengan total 8 jam perhari. Terapi dilanjutkan selama 3 minggu dan
dikurangi bertahap setelah 8 – 12 minggu.

2. Latihan kekuatan otot5


i. Latihan pada ekstremitas yang lumpuh pada awal terapi bertujuan untuk memelihara
lingkup gerak sendi (LGS) dan mencegah atrofi otot, dimana umumnya sering
menjadi masalah pada masa penyembuhan. Latihan LGS yang diberikan dapat pasif,
aktif maupun aktif dibantu (active assited). Latihan peninkatan kekuatan/ stregthening
exercise dapat diberikan bilamana terdapat kontraksi otot secara aktif.
ii. Latihan penguatan otot leher, diberikan secara isometrik dimana penderita
diintruksikan untuk mengkontraksikan otot leher tanpa menggerakan sendi. Pasien
meletakkan tangannya dikepala untuk menahan gerakan leher. Kontraksi
dipertahankan selama lima hitungan (lima detik) diikuti relaksasi selama tiga
hitungan dan kemudian diulang lagi, umumnya sebanyak tiga kali. Latihan ini
diulangi untuk semua arah gerak. Alternatif lain adalah pasien berbaring
terlentang/telungkup dengan kepala beralaskan bantal kemudian menekan kepala
kearah bantal. Dalam melakukan latihan ini harus diperhatikan agar tidak terjadi
gerakan leher.27 Cedera pleksus brakhialis menyebabkan kelemahan dan immobilisasi
yang membatasi perenggangan normal dari otot dan jaringan penyokong. Kontraktur
berakibat, perubahan biomekanik dan peningkatan usaha yang diperlukan untuk
pergerakan lebih lanjut membatasi aktivitas. Saat istirahat/tidak aktif keterbatasan
kontraksi otot kurang dari 20% dari tegangan maksimal, terjadi disuse atrofi, yang
berlanjut dengan perburukan dari kelemahan.8

22
Gambar 7. Latihan fisik pada cedera pleksus brakhialis

3. Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) : merupakan stimulasi listrik yang


lebih kuat dari pada TENS. Alat ini digunakan untuk menambah kekuatan dan
memelihara massa otot walaupun tanpa usaha volunter dari subyek. Pada penderita
cedera pleksus brakhialis berat dengan adanya denervasi otot, terapi NMES berguna
untuk mencegah terjadinya atrofi otot.5,25 Diberikan minimal 10 kontraksi/repetisi
sebanyak 3 set per hari dengan waktu istirahat antar set selama 2 menit, 3 kali per
minggu. 7

Prognosis
Prognosis lesi pleksus brakhialis bervariasi tergantung pada patofisiologi yang
mendasari, meliputi tempat dan derajat kerusakan saraf dan kecepatan mendapat terapi.
Proses regenerasi saraf terjadi kira-kira 1-2 mm/hari atau 1 inci/bulan, sehingga mungkin
diperlukan beberapa bulan sebelum tanda pemulihan dapat dilihat.1,2,4,5
Neuropraksia merupakan tipe kerusakan yang paling ringan dan mempunyai
prognosis yang paling baik, dimana perbaikan spontan dapat terjadi beberapa minggu
hingga bulan (3-4 bulan setelah cedera).4,16 Pada tipe aksonotmesis, perbaikan diharapkan
dapat terjadi dalam beberapa bulan dan biasanya komplit kecuali terjadi atrofi motor
endplate dan reseptor sensorik sebelum pertumbuhan akson mencapai organ-organ ini.

23
Perbaikan fungsi sensorik mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan motorik karena
reseptor sensorik dapat bertahan lebih lama dibandingkan motor endplate (kira-kira 18
bulan). Sedangkan neurotmesis, regenerasi dapat terjadi namun fungsional sulit kembali
sempurna. Faktor-faktor yang mempengaruhi keluaran yaitu luasnya lesi jaringan saraf,
usia (dimana usia tua mengurangi proses pertumbuhan akson), status medis pasien,
kepatuhan dan motivasi pasien dalam menjalani terapi.8
Untuk lesi pleksus brakhialis yang berat, hasil yang memuaskan dapat terjadi
pada lebih dari 70% pasien postoperatif setelah perbaikan primer dan 48% setelah graft
saraf. Kira-kira 50-85% pasien dengan TOS non-neurogenik mengalami perbaikan
dengan latihan.2
Prognosis lesi pleksus brakhialis pada daerah supraklavikular kurang memuaskan
dibanding daerah infraklavikular, oleh karena biasanya disertai dengan adanya avulsi
radiks. Pada neonatus dengan lesi pleksus brakhialis bila terdapat sedikit kontraksi pada
bulan pertama dan kontraksi pada bulan kedua maka kita dapat mengharapkan pemulihan
spontan yang komplit. Jika kontraksi belum terlihat pada bulan ketiga biasanya
pemulihan tidak akan mencapai fungsi normal sepenuhnya.6

24
BAB III
KESIMPULAN

Pleksus brakhialis dibentuk oleh bagian anterior 4 nervus servikalis yang terakhir dan
oleh nervus thorakalis pertama. Radiks pleksus brakhialis terdiri atas C5 dan C6 yang bersatu
membentuk truncus bagian atas (upper trunk), C7 yang menjadi truncus bagian tengah (middle
trunk), C8 serta T1 yang bergabung membentuk truncus bagian bawah (lower trunk). Pleksus
brakhialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal dari medulla spinalis yang
mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari
ramus anterior radiks saraf C5-T1. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab trauma pleksus
brakhialis pada kebanyakan kasus iaitu (80,7%).Selain itu, Kejadian trauma pleksus brakhialis
juga sering terjadi pada bayi makrosomia dengan shoulder dystocia.Trauma yang bisa
menyebabkan plexopati brakialis adalah luka tembus,luka tembak,cedera iatrogonik,cedera
pleksus brakialis traksi, kepala dan leher serta cedera supraclavicular.
Secara klinis trauma pleksus brakhialis dibagisesuai lokasi trauma yaitu pleksus
brakhialis tipe upper (Erb`sPalsy) dan pleksus brakhialis tipe lower (Klumpke`s palsy). Pada
trauma supraklavukula akan menjadi pronasi siku dimana pada trauma nervus nervus
supraskapul akan terjadi kelemahan otot saat abduksi bahu, dan eksternal rotasi. Trauma pada
tingkat infraklavikula menyebabkan rupturnya arteri aksilaris. Nervus aksilaris, supraskapular,
dan muskulokutaneus akan terpengaruh pada trauma tersebut.Pemeriksaan penunjang pada
trauma plexuas brakialis adalah pemeriksaan imaging,tes histamin, elektrodiagnostik. Seterusnya
penalataksanaan pada lesi pleksus brakhialis adalah terapi kosnservatif dan terapi
pembedahan.Faktor-faktor yang menpengaruhi prognosis cedera pleksus brakhialis adalah
mekanisme trauma, usia, tipe nervus, level trauma, nyeri, durasi pembedahan dan faktor lain.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sandi Putra N, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury Di Rs Orthopedi


Prof Dr Soeharso 2015;52
2. Leffert, Robert. The Anatomy of the Brachial Plexus. Brachial Plexus Injuries. New York,
NY: Churchill Livingstone; 2015.
3. Sabapathy S, Jain D, Bhardwaj P, Venkataramani H. An epidemiological study of traumatic
brachial plexus injury patients treated at an Indian centre. Indian Journal of Plastic Surgery.
2012;45(3):498.
4. Kaiser R, Waldauf P, Haninec P. Types and severity of operated supraclavicular brachial
plexus injuries caused by traffic accidents. Acta Neurochirurgica. 2012;154(7):1293-1297.
5. Kehila M, Derouich S, Touhami O, Belqhith S, Abouda HS, Cheour M, Chanoufi MB.
Macrosomia, shoulder dystocia and elongation of the brachial plexus: what is the role of
caesarean section?. The Pan African medical journal. 2016.
6. Khadilkar S, Khade S. Brachial plexopathy. Annals of Indian Academy of Neurology.
2013;16(1):12.
7. Sakellariou VI, Badilas NK, Mazis GA, Stavropoulos NA, Kotoulas HK, Kyriakopoulos S, et
al. Brachial Plexus Injuries in Adults : Evaluation and Diagnostic Approach. Hindawi Publishing
Corporation; 2014;2014.
8. Sakellariou VI, Badilas NK, Stavropoulos NA, Mazis G, Kotoulas HK, Kyriakopoulos S, et al.
Treatment Options for Brachial Plexus Injuries. Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014.
9. Thatte MR, Babhulkar S, Hiremath A. Brachial plexus injury in adults : Diagnosis and
surgical treatment strategies. 2013;16(1):26–33

26

Anda mungkin juga menyukai