Anda di halaman 1dari 48

Paraplegia Inferior et causa

Fraktur Kompresi Medulla Spinalis Thorakal XII

Pembimbing :

dr. Joko Nafianto, Sp.S

Disusun Oleh :

Deviat Astriana A

11-2018-018

Kepaniteraan Klinik Saraf

Rumah Sakit Bhayangkara TK. I R.Said Sukanto

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Periode 07 Oktober – 09 November 2019

1
KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Laporan Kasus Pasien : Kamis, 24 Oktober 2019

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

Rumah Sakit Bhayangkara TK. I R.Said Sukanto

Nama Mahasiswa : Deviat Astriana Amir TandaTangan:

NIM : 11-2018-018

Dokter Pembimbing : dr. Joko Nafianto, Sp.S, TandaTangan:

BAB I

STATUS PASIEN

I.IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Siti Hayinatun

Umur : 24 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Bercerai

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : TKW

Alamat : Jalan Desa Suka Mulya Kab. Okutimur, Palembang

No CM : 10-740-02

Hari rawat : 23 Hari

Tanggal masuk RS : 01 Oktober 2019

Dirawat di ruang : Mahoni I

Dokter yang merawat : dr. Dini Andriani, Sp.S

2
II. SUBJEKTIF

2.1 ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 19 Oktober 2019 pukul 13.17 WIB di unit
perawatan umum mahoni I RS Polri.

2.2 KELUHAN UTAMA

Patah tulang belakang akibat jatuh terpeleset dari tebing sejak 1 minggu SMRS.

2.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien diantar ke IGD RS Polri oleh BNP2TKI dari malaysia dengan keluhan patah
tulang belakang akibat jatuh terpeleset dari tebing sejak 1 minggu SMRS, pasien merasakan
nyeri tulang belakang seperti ditusuk-tusuk, dan kedua kakinya terasa baal serta tidak bisa di
gerakkan. Pasien mengatakan posisi saat jatuh tidak diingat karena saat jatuh pasien langsung
tidak sadarkan diri, pasien mengatakan bahwa pasien jatuh dari tebing dengan ketinggian
kira-kira 4 meter. Pasien juga mengatakan saat dalam perjalana ke IGD RS Polri dalam
keadaan sadar.

Satu minggu SMRS, menurut pasien sebelum kejadian, pasien melakukan tugas
pekerjaannya sebagai assisten rumah tangga seperti biasanya, dan pasien merasa tidak ada
keluhan apapun saat itu (pasien merasa sehat).

Pasien menyangkal kejang, sakit kepala, demam, mual, muntah, keluar cairan dari
telinga,dan hidung saat pasien sadar, setelah 3 jam kejadian. Pasien mengatakan setelah
jatuh pasien sempat dibawa ke RS di malaysia, karena saat pasien sadar pasien sudah berada
di RS dengan majikannya. Saat 1 minggu berada di RS malaysia, pasien mengatakan bahwa
tidak dilakukan tindakan apapun, sehingga pasien di antar pulang oleh BNP2TKI ke
Indonesia untuk dilakukan tindakan operasi dan perawatan. Pasien mengatakan tindakan
operasi yang dilakukan pada tanggal 03 Oktober 2019, Hari rawat ke 3 di RS Polri.

2.4 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien sebelumnya tidak pernah jatuh.

HT (-), DM (-), Paru (-), Jantung (-), Ginjal (-), Asma (-), Alergi (-), Kejang (-).

3
2.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak Ada

2.6 RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL

Kesan : Baik

III. OBJEKTIF

3.1 Status Generalis

a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang


b. Kesadaran : CM GCS = E4M6V5= 15
c. TD : 110/80 mmHg
d. Nadi : 89x/menit
e. Pernapasan : 21 x/menit
f. Suhu : 36,9oC
g. Kepala : Normosefali, tidak ada kelainan
h. Mata : OS : Pupil bulat, ø 4mm, refleks cahaya langsung (+),
RCTL (+)
OD : Pupil bulat, ø 4mm, refleks cahaya langsung (+),
RCTL (+)
i. THT : Rhinorea (-), Otorhea (-) , Disfagi (-)
j. Mulut : Tidak tampak paralisis
k. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar
l. Paru : SN vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-
m. Jantung BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
n. Abdomen : Datar, supel, timpani, , hepar, lien dan ginjal tidak teraba, BU
(+) normal
o. Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.2 Status psikiatri

a. Cara berpikir : realistic, sesuai umur


b. Perasaan hati : sedih
c. Tingkah laku : pasien sadar, kooperatif

4
d. Ingatan : baik, amnesia (-)
e. Kecerdasan : sesuai tingkat pendidikan

3.4 Status neurologi

a. Kepala
i. Bentuk : normosefali
ii. Nyeri tekan : (-)
iii. Simetris : (+)
iv. Pulsasi : (-)

b. Leher
i. Sikap : simetris
ii. Pergerakan : bebas
iii. Kaku kuduk : negatif
iv. Kuduk kaku : negative

c. Pemeriksaan saraf kranial


i. N. olfaktorius
Penciuman: tidak dilakukan
ii. N. optikus
Kanan Kiri
Tajam penglihatan Visus Normal Visus Normal
Pengenalan warna Baik Baik
Lapang pandang Luas Luas
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

iii. N. okulomotorius
Kanan Kiri
Kelopak mata Terbuka Terbuka
Gerakan mata:
Superior Normal Normal
Inferior Normal Normal

5
Medial Normal Normal
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada

iv. Pupil
Diameter 4 mm 4 mm
Bentuk Bulat Bulat
Posisi Sentral Sentral
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak + +
langsung
Strabismus - -
Nistagmus - -

v. N. trochlearis
Gerak mata ke lateral
Bawah Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Strabismus - -
Diplopia - -

vi. N. trigeminus
Membuka mulut Simetris (Normal)
Sensibilitas atas Terasa (Normal)
Sensibilitas bawah Terasa (Normal)
Refleks kornea Berkedip (Normal)
Refleks masseter Normal

vii. N. abdusens
Gerak mata ke lateral Normal Normal
Strabismus divergen - -
Diplopia - -

6
viii. N. fasialis
Mengerutkan dahi Simetris (Normal) Simetris (Normal)
Kerutan kulit dahi Kerutan (+) Kerutan (+)
Lipatan nasolabial Simetris (Normal) Simetris (Normal)
Sudut mulut Simetris (Normal) Simetris (Normal)
Menutup mata Simetris, (Normal) Simetris (Normal)
Menyeringai Simetris (Normal) Simetris (Normal)
Menggembungkan pipi Simetris (Normal) Simetris (Normal)
Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
depan

ix. N. vestibulokoklearis
Mendengar suara Mendengar (Normal) Mendengar (Normal)
gesekan jari
Test Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test Schawabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

x. N. glosofaringeus
Arkus faring Simeris
Posisi uvula Di tengah
Daya mengecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan

xi. N. vagus
Arkus faring Simetris
Bersuara Normal
Menelan Tidak ada hambatan

xii. N. accesorius
Menoleh kanan, kiri, bawah Tidak ada hambatan
Otot Sternocleidomastoideus Simetris, normotonus

7
Angkat bahu Tidak ada hambatan
Sikap otot bahu Simetris

xiii. N. hipoglosus
Sikap lidah dalam mulut Tidak atrofi
Artikulasi Jelas
Julur lidah Simetris, tidak deviasi
Tremor Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada

d. Badan dan anggota gerak


Ekstremitas atas
Kanan Kiri
Simetris Simetris Simetris

Gerakan Bebas Bebas


Tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan 5555 5555
Refleks bisep + +
Refleks trisep + +
Refleks H.Trommer - -

Sensibilitas
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal

Badan

R. abdomen atas Normal


R. dinding perut Normal
R. abdomen bawah Hilang
R. anus Tidak dilakukan

8
Ekstremitas bawah
Kanan Kiri
Bentuk Simetris Simetris
Gerakan Terbatas Terbatas
Tonus Hipotonus Hipotonus
Kekuatan 1131 1131
Refleks patella - -
Refleks Achilles - -

Refleks patologis:
Babinski - -
Chaddock - -
Openheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Laseque > 70 (Normal) > 70 (Normal)

Kerniq 135 (Normal) 135 (Normal)


Patrick’s sign - -
Contra Patrick’s sign - -
Sensibilitas:
Taktil Hilang Hilang
Nyeri Hilang Hilang

e. Koordinasi, gait, dan keseimbangan


Cara berjalan : tidak dilakukan
Test Romberg : tidak dilakukan
Dismetria : tidak dilakukan
Dix Hallpike test : tidak dilakukan

9
f. Gerakan-gerakan abnormal
 Tremor : (-)
 Miokloni : (-)
 Khorea : (-)

g. Alat vegetative
 Miksi : Normal
 Defekasi : Normal

Test hipestesi: Sebelum operasi di Thorakal XII

Test hipohidrosis: Tidak dilakukan

IV. Hasil Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium tanggal 2 – Oktober – 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan


Hematologi I

Hemoglobin 10,9 12-14 g/dl menurun


Leukosit 7.800 5.000-10.000 /ul
Hematoktrit 33 37-43 % menurun
Trombosit 194.000 150.000-400.000 /ul

10
2. Rontgen Thorax 01-Oktober-2019

Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal

3. Rontgen Thoracolumbal dan MRI Thoracolumbal

Kesan : Bentuk korpus VTh 12 tampak wadge dengan ukuran yang mengecil ec
kompresi fraktur. Curve vertebrae lumbosacral lurus ec paravertebare muscle
spasme.

11
V. RESUME

Seorang perempuan usia 24 tahun, datang ke IGD RS Polri diantar oleh BNP2TKI
dengan keluhan patah tulang belakang akibat jatuh terpeleset dari tebing dengan ketinggian
sekitar 4 meter, dengan posisi jatuh tidak di ketahui, karena pada saat jatuh pasien langsung
tidak sadarkan diri, 3 jam setelah kejadian tersebut, saat pasien sadar pasien merasakan nyeri
yang seperti ditusuk-tusuk pada tulang belakang dan kedua kaki terasa baal serta tidak dapat
digerakkan. Dari pemeriksaan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis
dengan GCS 15 (E4V5M6), tanda-tanda vital TD 110/80 mmHg, nadi 89x/menit, pernapasan
21 x/menit, dan suhu 36,9oC Hasil pemeriksaan fisik dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan neurologi yang didapatkan dari pemeriksaan nerves cranial I-XII
dalam batas normal, pemeriksaan tanda rangsang meningeal dalam batas normal,
pemeriksaan anggota gerak atas sampai batas pusar dalam batas normal. Sedangkan
pemeriksaan anggota gerak bawah yang dimulai dari simpisis pubis tidak terasa adanya
taktil dan nyeri yang diberikan sampai ke ujung-ujung kedua kaki serta kedua kaki tidak
dapat di gerakkan, dalam pemeriksaan refleks fisiologis tidak didapatkan hasil refleks dari
kedua patella dan achilles. Pada pemeriksaan khusus laseq, kerniq, patrick’s dan kontra
patrick’s sign dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan hasil hemoglobin 10,9 g/dl


dan hematokrit 33% yang berada dibawah nilai normal. Hasil pemeriksaan penunjang X-Ray
thorax didapatkan kesan Cor dan pulmo dalam batas normal, sedangkan hasil pemeriksaan X-
Ray dan MRI Thoracolumbal didapatkan kesan Bentuk korpus VTh 12 tampak wadge
dengan ukuran yang mengecil ec kompresi fraktur. Curve vertebrae lumbosacral lurus ec
paravertebare muscle spasme.

VI. DIAGNOSIS

 Diagnosis Klinik : Paraplegia inferior


 Diagnosis topik : Fraktur kompresi medulla spinalis Thoracal XII
 Diagnosis etiologi : Trauma
 Diagnosis patologis : Inflamasi

12
VII. DIAGNOSIS BANDING

 Hereditery spastic paraplegia


 Sindrome Guillain Barre
 Multiple Sclerosis

VIII. TATALAKSANA

IVFD RL 500cc/24 jam

Inj. Ketorolac 3x30 mg

Inj. Ranitidin 2x 50 mg

Inj. Mecobalamin 3x1 amp

Inj. Methylprednisolon 2x125 mg

Gabapentin 3x10mg

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : Ad bonam

Ad functionam : Dubia Ad malam

Ad sanationam : Dubia Ad malam

13
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus diatas Seorang perempuan usia 24 tahun, datang ke IGD RS Polri diantar
oleh BNP2TKI dengan keluhan patah tulang belakang akibat jatuh terpeleset dari tebing
dengan ketinggian sekitar 4 meter, dengan posisi jatuh tidak di ketahui, karena pada saat jatuh
pasien langsung tidak sadarkan diri, 3 jam setelah kejadian tersebut, saat pasien sadar pasien
merasakan nyeri yang seperti ditusuk-tusuk pada tulang belakang dan kedua kaki terasa baal
serta tidak dapat digerakkan. Saat pemeriksaan neurologi pada anggota gerak bawah yang
dimulai dari simpisis pubis tidak terasa adanya taktil dan nyeri yang diberikan sampai ke
ujung-ujung kedua kaki serta kedua kaki tidak dapat di gerakkan, dalam pemeriksaan refleks
fisiologis tidak didapatkan hasil refleks dari kedua patella dan achilles. Pada pemeriksaan
khusus laseq, kerniq, patrick’s dan kontra patrick’s sign dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan X-Ray dan MRI Thoracolumbal didapatkan kesan Bentuk korpus VTh 12
tampak wadge dengan ukuran yang mengecil ec kompresi fraktur. Curve vertebrae
lumbosacral lurus ec paravertebare muscle spasme.

Sehingga dalam kasus ini diambil diagnosa kerja adalah paraplegia inferior akibat
trauma yang menyebabkan anggota gerak bawah kehilanga rasa sensoris dan motoriknya.
Sesuai dengan tinjauan pustakanya. Dalam kasus ini terjadi trauma pada tulang belakang
secara langsung dan menyebabkan terjadinya lesi di medulla spinalis yang sehingga pada
kasus ini terjadi gangguan neurologis yang menyebabkan pasiennya tidak bisa begerak sama
sekali. Dalam kejadian trauma medulla spinalis terdapat klasifikasi dan tingkat keparahan
trauma medulla spinalis yang dapat ditegakkan dalam waktu 72-7 hari setelah
trauma,berdasarkan impairmet scale, dalam kasus ini termasuk dalam klasifikasi Grade C
tipe inkomplit dengan gangguan fungsi motorik terganggu dibawah level, tetapi otot-otot
motorik masih punya kekuatan <3, pada incomplete spinal cord injury grade c lokasi trauma
berada di anterior dan posterior cord syndrome. Dalam kasus ini yang menyebabkan
terjadinya gangguan pada sensoris dan motorisnya akibat adanya sindrome transeksi medulla
spinalis akut, dimana sindrome ini memang paling sering disebabkan oleh trauma medulla
spinalis akut yang awalnya menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, dimana dibawah
tingkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan semua modalitas sensasi hilang.. Dalam
setiap trauma pasti akan dilakukan suatu tindakan pertolongan pertama dimulai dari Airway,
Breathing, Circulation, untuk bisa mengetahui pasien mana yang lebih didahulukan dalam
melakukan penanganan atau tindakan medis , karen setiap trauma yan ditakutkan adalah
terjadinya syok hipovolemik dan neurogenik, dan untuk setiap pasien yang mengalami

14
trauma seperti pasien dalam kasus ini perlu dilakukan pemasangan DC, dan NGT.
Pengobatan yang di berikan pada kasus ini sesuai dengan tinjauan pustaka yaitu sesuai
dengan waktu pemberian kortikosteroid setelah terjadi trauma, pada pasien ini post trauma 3
jam sehingga diberi obat methylprednisolon post trauma 3-8 jam dengan dose 5,4 mg
/kgBB/jam.

BAB II

Pendahuluan

Medula Spinalis merupakan struktur kecil dengan diameter <1,5 cm. Tidak ada batas
anatomis antara kedua sisinya karenanya sebagian besar proses patologis terjadi bilateral.
Medula spinalis terletak di canalis vertebralis columna vertebralis dan dibungkus oleh tiga
meninges, duramater, arachnoidea mater dan pia mater. Pelindungan dilakukan cairan
serebrospinal yang mengelilingi medula spinalis di dalam ruang subarachnoid. Medula
spinalis bisa tertekan oleh tumor yang berasal dari substansi medula spinalis sendiri dari akar,
meningen atau kolumna vertebralis dan jaringan yang berdekatan. Kompresi bisa berakibat
beban pada tulang spina, fraktur, dislokasi, tembakan atau luka lain, penyakit radang, abses
epidural, arthritis deformans, aneurisma aorta yang menekan ke vertebra dan parasit atau
kista dapat menyebabkan kompresi. Gambaran klinis kompresi yaitu kelemahan motorik
biasanya paraplegia, gangguan sfingter, gangguan sensorik objektif di bawah tingkat lesi dan
manifestasi segmental/radiks motorik dan sensorik (terutama nyeri) setingkat lesi. Hal ini
akan dibahas pada berbagai simptom kompresi medula spinalis.1

I. Anatomi dan Fungsi Medula Spinalis

Medulla spinalis terletak di canalis vertebralis columna vertebralis dan dibungkus


oleh tiga meninges, durameter, arachnoidea mater dan pia mater. Pelindungan dilakukan
cairan serebrospinal yang mengelilingi medula spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian
superior dimulai dari foramen magnum pada tengkorak., tempat bergabungnya dengan
medulla oblongata otak. Medula spinalis berakhir di inferior di regio lumbar. Di bawah,
medula spinalis menipis menjadi conus medullaris dari ujungnya yang merupakan lanjutan
pia mater, yaitu filum terminale yang berjalan ke bawah dan melekat di bagian belakang os
coccygea. Di sepanjang medula spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radix anterior
atau radix motoria dan radix posterior atau radix sensoria. Masing-masing radix melekat pada

15
medulla spinalis melalui fila radikularia yang membentang di sepanjang segmen-segmen
medula spinalis yang sesuai. Masing-masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix
posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. Medula spinalis terdiri
dari substansi grisea yang dikelilingi oleh substansi alba. Pada potongan melintang, substansi
grisea nampak seperti huruf H dengan columna atau kornu anterior dan posterior substansia
grisea yang dihubungkan dengan comissura grisea yang tipis. Di dalamnya terdapat canalis
centralis yang kecil.2

Pada masa tiga bulan perkembangan intrauterin, panjang medula pinalis sama dengan
panjang korpus vertebrae. Pada masa perkembangan berikutnya, kecepatan pertumbuhan
korpus vertebrae melebihi kecepatan pertumbuhan medula spinalis. Akibatnya pada masa
dewasa, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kranial korpus vertebrae lumbal II
atau intervertebral disk I/II. Perbedaan panjang medula spinalis dan korpus vertebrae ini
mengakibatkan terbentuknya konus medularis (bagian paling kaudal dari medula spinalis
yang berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas segmen-segmen sakral medula spinalis) dan
cauda equina (kumpulan radiks nervus lumbalis bagian kaudal dan radiks nervus sakralis
yang mengapung dalam CSF). Kearah kaudal, ruangan subarachnoid berakhir setinggi
segmen sakral II atau III korpus vertebrae. Dengan demikian, di antara korpus vertebrae
lumbal II sampai korpus vertebrae sakral III tidak lagi terdapat medula spinalis, melainkan
hanya terdapat cauda equina yang terapung-apung di dalam CSF. Hal ini memungkinkan
tindakan punksi lumbal di daerah intervertebral disk III/IV atau IV/V tanpa mencederai
medula spinalis. Seperti halnya korpus vertebrae, medula spinalis juga terbagi ke dalam
beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8), segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5),
segmen sakral (S1-S5) dan 1 segmen koksigeal yang vestigial. Serabut saraf yang kembali ke
medula spinalis diberi nama sesuai lokasi masuk/keluarnya dari kanalis vertebralis pada
korpus vertebrae yang bersangkutan. Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus
vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di sebelah bawah
korpus vertebrae yang bersangkutan.3

Terdapat 3 sistem sensoris utama yang memasuki medula spinalis:4

1. Nyeri – suhu
2. Propriosepsi – stereognosis
3. Sentuhan ringan (light touch)

16
Jalur untuk nyeri dan suhu memasuki medula spinalis, menyebrang dan naik ke
thalamus pada sisi berlawanan lalu ke korteks serebri. Sebuah lesi pada traktus
spinotalamikus akan berakibat hilangnya sensasi nyeri secara kontralateral, dibawah titik
tingkat lesi pada medula spinalis. Jalur untuk proprioseptif dan stereognosis awalnya tetap
pada sisi yang sama di medula spinalis yang dimasuki, menyebrang pada jembatan antara
medula spinalis dan batang otak. Area sinapsis sesaat sebelum penyebrangan ini adalah
nukleus cuneatus dan nukleus gracilis. Nukleus gracilis berisi informasi propriosepsi dari
bagian bawah tubuh, sedangkan nukleus cuneatus melanjutkan informasi dari bagian yang
lebih tinggi. Jalur medula spinalis yang sesuai dengannya disebut fasikulus gracilis dan
fasikulus cuneatus. Fasikulus gracilis dan fasikulus cuneatus secara kolektif dinamakan
sebagai columna posterior. Sebuah lesi pada columna posterior mengakibatkan hialngnya
sensasi propriosepsi dan stereognosis secara ipsilateral pada bagian di bawah dari titik lesi
yang ada. Jalur untuk sentuhan ringan terdiri dari dua jalur di atas. Sebagian tetap berjalan
(tanpa menyebrang) hingga setinggi batang otak, dan sebagian menyebrang pada tingkat yang
lebih rendah. Hal ini menyebakan sentuhan ringan biasanya tidak terganggu pada lesi
unilateral medula spinalis, dikarenakan adanya rute alternatif untuk menyalurkan informasi.4

Semua jalur sensoris di atas pada akhirnya menyebrang dan berakhir di thalamus.
Dari sana, mereka akan dilanjutkan ke area sensorik pada cerebrum. Sebuah lesi pada area
sensorik pada korteks serebri dapat mengakibatkan defisit kontralateral dari semua modalitas
sensorik di atas.4

Proprioseptif-stereognosis memiliki komponen “sadar” dan “tidak sadar”. Jalur


“sadar”, seperti yang dijelaskan di atas, berhubungan dengan thalamus dan korteks serebri,
memungkinkan kita untuk dapat mendeskripsikan dalam waktu singkat posisi dari
ekstremitas kita. Jalur “tidak sadar” berhubungan dengan serebelum sebagai jalur
spinocerebelar dan memungkinakan kita untuk berjalan dan melakukan tindakan kompleks
lainnya secara alam bawah sadar kita tanpa berpikir sendi mana yang harus kita tekuk atau
luruskan. Berbeda dari jalur sensorik lainnya yang menyebrang secara kontralateral,
spinocerebelar tetap ipsilateral. Secara umum, satu sisi serebelum berhubungan dengan sisi
yang sama pada tubuh. Sebuah lesi pada serebelum mengakibatkan malfungsi secara
ipsilateral, sedangkan kesi pada cerebri menyebakan malfungsi secara kontralateral.4

17
Terdapat tiga penghubung utama antara serebelkum dan batang otak: yaitu, superior,
media, dan inferio pedunkel serebelum, yang terhubung dengan mesensefalon, pons, dan
medula. Jalur spinocerebelar memasuki serebelum melalui superior dan inferior pedunkel.4

Jalur motorik relatif lebih sederhana. Jalur ini memanjang dari area motorik pada
korteks serebri turun melalui batang otak, menyebrang di sekitar tingkat yang sama dengan
lemniskus medial (jembatan antara batang otak dengan medula spinalis). Jalur kortikospinalis
bersinpasis di cornu anterior medula spinalis sesaat sebelum meninggalkan medula spinalis.
Hal ini penting, dimana neuron motorik diatas dari tempat sinapsis ini dinamakan sebagai
upper motor neurons (UMN), sedangkan yang melewati tingkat ini dinamakan lower motor
neurons (LMN).4

Gambar 1. menunjukkan potongan transversal medula spinalis yang menunjukkan


lokasi jaras-jaras utama, jaras motorik utama, traktus kortikospinalis, sebagian besar
menyilang, dimana UMN berasal dari korteks serebri kontralateral. Begitu pula traktus
spinotalamikus yang juga menyilang, membawa informasi sensorik dari bagian tubuh yang
bersebelahan, sementara kolumna posterior menghantarkan informasi vibrasi dan posisi dari
sisi tubuh ipsilateral.3

Gambar 1. Potongan Transversal Medula Spinalis

18
II. Trauma Medula Spinalis

2.1 Definisi

Trauma medula spinalis adalah trauma pada tulang belakang baik secara langsung
atau tidak langsung yang menyebabkan lesi di medulla spinalis sehinga menyebabkan
kerusakan medula spinalis, menimbulkan gangguan neurologis, dan dapat menyenbabkan
kecacatan menetap atau kematian.5

2.2 Klasifikasi
American Spinal Injury Association/ International Medical Society of Paraplegia
(ASIA/ IMSOP)

Klasifikasi tingkat tinggi dan keparahan trauma medulla spinalis ditegakkan pada saat 72 jam
sampai 7 hari setelah trauma.

a. Berdasarkan impairment scale


Tabel 1. Klasifikasi lesi trauma medulla spinalis menurut ASIA/ IMOP

Grade Tipe Gangguan Medula Spinalis ASIA/IMSOP


A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai
segement sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level, tapi otot-otot
motorik masih punya kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah leveel, otot motorik
utama mempunyai kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

b. Berdasarkan tipe dan lokasi trauma


i. Complete spinal cord injury (Grade A)
 Unilevel
 Multilevel
ii. Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
 Cervico medullary syndrome

19
 Central cord syndrome
 Anterior cord syndrome
 Posterior cord syndrome
 Brown Sequard syndrome
 Conus medullary syndrome
iii. Complete Cauda Equina Injury (Grade A)
iv. Incomplete Cauda Equina Injury (Grade B, C, D).5

2.3 Epidemiologi
Insidens trauma medulla sinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk pertahun
dengan sekitar 8.000 – 10.000 kasusu per tahun. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam
24 jam pertama dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan vertebra
servikalis yang mememiliki resiko trauma yang paling besar dengan level tersering C5 diikuti
C4, C6 dan kemudian T12, L1 dan T10.5

2.4 Patofisiologi

Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi
medula spinalis. Patofisiologi lesi medula spinalis berupa rusaknya traktus pada medula
spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar,
lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik
dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah
trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan
struktural luas. Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:6
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus
vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula
spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah
kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi
tulang.

20
2.5 Mekanisme kerusakan primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:
1. gaya impact dan kompresi persisten,
2. gaya impact tanpa kompresi,
3. tarikan medula spinalis,
4. laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada
selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek
trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan
substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia
alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma.6

21
Gambar 2. Patofisiologi Kerusakan Primer

2.6 Mekanisme kerusakan sekunder


Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan
sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain oleh syok neurogenik, proses vaskular,
seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium,
gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada
mitokondria, dan proses lain.

2.7 Proses imunologi pada kerusakan sekunder


Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino
eksitatorik dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor
untuk menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung
saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom.
Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan predominasi inflitrasi
neutrofil yang melepaskan enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel
glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang
akan memfagositosis sel rusak.1 Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh
berbagai golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini
akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi trauma; penggunaan antibodi monoklonal
ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase, mengurangi edema medula
spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein sejenis yang
berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor
necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan
menurunkan juga monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu
dipahami lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan
kelompok gen yang meregulasi proses infl amasi, proliferasi, dan kematian sel. Proses
modulasi respons imun pada trauma medula spinalis merupakan sasaran target terapi
kerusakan sekunder.6

22
2.8 Apoptosis
Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, infl amasi, radikal bebas, dan
proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma, apoptosis
oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya,
apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua jalur,
jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas dan inducible nitric
oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik lewat aktivasi
proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan kaspase-9; studi
menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel. Reseptor apoptosis
dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis factor meningkat pascatrauma
dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit yang akan
mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6
sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa
dengan TNF.6

2.9 Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder


Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain
aktivasi reseptor μ dan δ opioid dapat memperlama proses eksitotoksik. Aktivasi reseptor
Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan menginduksi eksitotoksisitas.
Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin dan serotonin, juga akan meningkat dan
memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel.6

23
Gambar 3. Patofisiologi Kerusakan sekunder
III. Komponen sentral sistem somatosensorik
a. Root entry zone dan kornu posterius

Sebuah serabut somatosensorik memasuki medulla spinalis di dorsal root entry zone
(DREZ : disebut juga zona Redlish Obersteiner) dan kemudian membentuk kolateral yang
membuat kontak sinaps dengan neuron lain di medulla spinalis. Serabut yang menghantar
modalitas sensorik yang berbeda menempati posisi yang juga berbeda di medulla spinalis.7

24
Gambar 4. Root entry zone dan kornu posterius

Penting untuk diingat bahwa selubung mielin semua serabut aferen menjadi semakin
tipis ketika serabut tersebut melewati root entry zone dan memasuki kornu posterius. Jenis
mielin berubah dari perifer ke sentral, dan sel-sel yang membentuk mielin bukan lagi sel
Schwan tetapi oligodendrosit.7

b. Traktus spinoserebelaris posterior dan anterior

Beberapa impuls eferan timbul di organ sistem musculoskeletal (otot, tendon dan
sendi), berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi,
serebelum, ada dua traktus pada setiap sisi. Satu anterior dan satu lasi di posterior.

25
Gambar 5. Traktus spinoserebelaris posterior dan anterior

c. Traktus spinoserebelaris posterior

Serabut Ia yang cepat menghantar impuls dari spindle otot dan organ tendon terbagi
menjadi banyak kolateral setelah memasuki medulla spinalis. Beberapa serabut kolateral ini
langsung membuat kontak sinaps dengan neuron motrik α yang besar di kornu anterius
medulla spinalis (lengkung reflex monosinaptik). Serabut kolateral lain yang muncul
setingkat vertebra torakal dan sakral berakhir di nucleus berbentuk tabung yang terdapat di
dasar kornu posterius setinggi vertebra C8-L2, yang memiliki nama yang bervariasi, antara
lain kolumna sel intermediolateralis, nucleus torasikus, kolumna Clarke dan nucleus Stilling.
Neuron pasca sinaps kedua dengan badan sel yang terletak di nucleus ini merupakan asal
traktus spinoserebelaris posterior, yang serabutnya merupakan salah satu serabut penghantar
impuls tercepat di seluruh tubuh. Traktus spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam

26
medulla spinalis sisi ipsilateral di bagian posterior funikulus lateralis dan kemudian berjalan
melalui pedunkulus serebelaris inferior ke vermis cerebri. Serebut aferen yang muncul
setingkat vertebra servikalis (yaitu di atas level kolumna sel intermediolateralis) berjalan di
dalam fasikulus kuneatus untuk membuat sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nucleus
kuneatus asesorius medullae dan serabut yang keluar berjalan naik ke serebelum.7

d. Traktus spinoserebelaris anterior

Serabut Ia yang lain yang memasuki medulla spinalis membentuk sinaps dengan
neuron fasikularis di kornu posterius di bagian sentral substansia grisea medulla spinalis.
Neuron kedua ini yang ditemukan setingkat segmen vertebralis lumbalis bawah merupakan
sel asal traktus spinoserebelaris anterior, yang berjalan naik di dalam medulla spinalis baik di
sisi ipsilateral maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus
spinoserebelaris posterior, traktus spinoserebelaris anterior menyilang di dasar ventrikel ke
empat ke otak tengah kemudian berbelok kearah posterior untuk mencapai vermis cerebeli
melalui pedunkulus serebelaris superior dan velum medulla superius. Serebelum menerima
input prorioseptif aferen dari semua region tubuh kemudian output eferen polisinaptiknya
mempengaruhi tonus otot dan koordinasi kerja-kerja otot agonis dan antagonis (otot
sinergistik) yang berperan pada saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Dengan
demikian, selain sirkuit regulasi yang lebih rendah di medulla spinalis itu sendiri, yang telah
dibahas pada bagian sebelumnya, sirkuit fungsional yang lebih tinggi untuk regulasi gerakan
ini juga meliabatkan jaras lain, jaras non piramidal dan neuron motorik α dan ƴ. Semua
proses tersebut terjadi tanpa disedari.7

e. Kolumna posterior

Kita dapat merasakan posisi tungkai kita dan merasakan derajat tegangan ototnya.
Kita dapat merasakan berat badan kita yang tertumpu pada telapak kaki. Kita juga dapat
mengenali gerakan sendi. Dengan demikian setidaknya beberapa impuls propioseptif
mencapai kesedaran. Impuls tersebut berasal dari reseptor di otot, tendon, fascia, kapsul,
sendi dan jaringan ikat serta reseptor kulit. Serabut aferen yang menghantarkannya adalah
prosesus neuron pseudounipolar bagian distal di ganglion spinal. Prosesus bagian sentral sel-
sel ini kemudian berjalan naik di dalam medulla spinalis dan berakhir di nuclei kolumna
posterior di medulla yang lebih rendah.7

27
F. Lesi kolumna posterior

Kolumna posterior menghantar impuls yang berasal dari propioseptor dan reseptor
kutaneus. Jika terjadi kerusakan pada struktur tersebut, seseorang tidak dapat merasakan
posisi tungkainya lagi. Ia juga tidak dapat mengenali objek yang diletakkan ditanganya hanya
dengan sensasi raba saja atau mengenali suatu angka atau huruf yang digambarkan oleh jari
pemeriksa di telapak tangan. Diskriminasi spesial antar dua stimulus yang diberikan secara
bersamaan pada dua lokasi tubuh yang berbeda akan terganggu. Karena rasa tekan juga
terganggu, lantai di bawah tungkainya tidak lagi dapat terasa sehingga mengakibatkan
terjadinya gangguan postur dan cara berjalan (gait ataxia), terutama pada keadaan gelap atau
mata terpejam. Tanda-tanda lesi kolumna posterior ini paling jelas ketika kolumna posterior
itu sendiri yang mengalami gangguan, tetapi tanda-tanda tersebut juga dapat timbul pada lesi
di nuclei kolumna posterior, lemniskus medialis, thalamus dan girus postsentralis.7

Tanda-tanda klinis lesi kolumna posterior :

 Hilangnya sensasi posisi dan gerakan. Pasien tidak dapat menyatakan lokasi
ekstrimitasnya tanpa melihat.
 Asteriognosis: pasien tidak dapat mengenali dan menyebutkan objek melalui bentuk
dan beratnya hanya dengan menggunakan sensasi raba saja.
 Agrafestesia : pasien tidak dapat mengenali rasa raba berbentuk suatu angka atau
huruf yang digambarkan di telapak tangannya oleh jari pemeriksa.
 Hilangnya diskriminasi dua titik.
 Hilangnya sensasi getar. Pasien tidak dapat merasakan garpu tala yang ditempelkan
pada tulangnya.
 Tanda Romberg positif : pasien tidak dapat berdiri dalam jangka masa yang lama
dengan kedua kaki bersatu dan mata tertutup tanpa bergoyang dan mungkin juga
terjatuh. Hilangnya sensasi propioseptif, pada jangka tertentu, dapat dikompensasi
dengan membuka mata (yang tidak terjadi dengan pasien dengan lesi serebelum).7

G. Traktus spinotalamikus anterior

Ujung saraf bebas di kulit merupakan reseptor perifer untuk stimulus nyeri dan suhu.
Ujung-ujung saraf ini merupakan endorgan serabut grup A yang tipis dan serabut grup C
yang hampir tidak bermielin, yang merupakan prosesus perifer neuron pseudounipolar di

28
ganglion spinale. Prosesus spinalis melewati bagian lateral radiks posterior ke dalam medulla
spinalis dan kemudian terbagi secara longitudinal menjadi kolateral-kolateral yang pendek
dan berakhir di dalam satu atau dua segmen substansia gelatinosa, membuat kontak sinaptik
dengan neuron funikularis (neuron kedua) yang prosesusnya membentuk traktus
spinotalamikus lateralis. Prosesus ini menyilang garis tengah di komisura spinalis anterior
sebelum berjalan naik di funikulus lateralis kontralateral menuju thalamus. Seperti kolumna
posterior , traktus spinotalamikus lateralis tersusun secara somatotropik, namun pada traktus
ini serabut dari ekstremitas bawah terletak di sebelah lateral sedangkan serabut yang berasal
dari tubuh dan ekstremitas atas terletak lebih medial.

Serabut yang menghantarkan sensasi nyeri dan suhu terletak sangat berdekatan satu
dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan secara anatomis. Jadi lesi pada traktus
spinotalamikus lateralis merusak kedua modalitas sensorik tersebut, meskipun tidak selalu
dengan derajat yang sama.7

H. Lesi traktus spinotalamikus lateralis

Traktus spinotalamikus lateralis merupakan jaras utama untuk sensasi nyeri dan suhu.
Pada jaras ini dapat dilakukan transeksi secara pembedahan saraf untuk menghilangkan rasa
nyeri (kordotomi). Operasi ini jarang dilakukan saat ini karena telah digantikan oleh metode
yang lebih tidak inasif dan juga karena pemulihan yang terjadi umumnya hanya bersifat
sementara.

29
Selain traktus spinoserebelaris dan traktus spinotalamikus, medulla spinalis mengandung
jaras lain yang berjalan naik ke berbagai struktur target di batang otak dan nuclei subkortikal
profunda. Jaras-jaras tersebut yang berasal dari kornu posterior medulla spinalis dan berjalan
naik melalui funikulus anterolateralis antara lain :

 Traktus spinoretikularis
 Traktus spinotektalis
 Traktus spino-olivarius
 Traktus spinovestibularis.7

IV. Komponen sentral sistem motorik


a. Traktus kortikospinalis/traktus piramidalis

Traktus ini berasal dari kortek motorik dan berjalan melalui substansia alba dan
serebri (korona radiata), kornu posterius kapsula interna (serabut terletak sangat berdekatan di
sini), bagian sentral pedunkulus serebri (krus serebri), pons, basal medulla (bagian anterior),
tempat traktus terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut piramid. Piramid medulla
terdapat satu pada masing-masing sisi memberikan nama pada traktus tersebut. Pada bagian
ujung bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio
piramidum. Serabut yang tidak menyilang di sini berjalan menuruni medulla spinalis di
funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior. Serabut ini menyilang
lebih ke bawah (biasanya setingkat segmen yang dipersarafi) melalui komisura anterior
medulla spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat serabut-
serabut saraf yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di
kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral.7

30
Mayoritas serabut traktus piramidalis menyilang di dekusasio piramidum, kemudian
menuruni medulla spinalis di funikulus lateralis kontralateral sebagai traktus kortikospinalis
lateralis. Traktus ini mengecil pada area potong-lintangnya ketika berjalan turun ke bawah
medula spinalis, karena beberapa serabutnya berakhir di masing-masing segmen sepanjang
perjalanannya. Sekitar 90% dari semua serabut traktus piramidalis berakhir membentuk
sinaps dengan interneuron, yang kemudian menghantar impuls motorik ke neuron motor α
yang besar di kornu anterius serta ke neuron motorik ƴ yang lebih kecil.7

b. Traktus kortikonuklearis/kortikobulbaris

Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari masa utama traktus
ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju nuclei nervi
kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuclei batang otak ini sebagian menyilang dan
sebagian lagi tidak menyilang. Nuclei yang menerima input traktus piramidalis adalah nuclei
yang memediasi gerakan volunter otot-otot cranial melalui nervus kranialis V (N.
trigeminus), N. Fasialis, N. Glosofaringeus, N vagus, N. Aksesorius serta N hipoglosus.7

31
Sindrom klinis kompleks akibat lesi pada komponen sistem saraf spesifik

Defisit motorik biasanya meliputi defisit somatosensorik, sensorik khusus, otonom,


kognitif dan atau defiit neuropsikis dalam berbagai jenis dan luas bergantung pada lokasi dan
luasnya lesi. Pada bagian ini, akan dibahas sindrom yang timbul dari lesi medulla spinalis.

1. Sindrom medulla spinalis

Karena medulla spinalis terdiri dari serabut saraf motorik, sensorik, dan otonom, serta
nuclei dengan hubungan spesial yang erat satu sama lain, lesi pada medulla spinalis dapat
menimbulkan berbagai defisit neurologis, yang dapat dikombinasikan satu dengan yang
lainnya dalam berbagai cara yang berbeda. Pemeriksaaan klinis yang cermat biasanya dapat
menunjukkan lokasi lesi secara tepat.

Lesi pada medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya
substansia grisea tetapi lebih sering mengenai keduanya. Di sini akan dibahas manifestasi
klinis sindrom medulla spinalis yang khas dan ditampilkan dari sudut pandang topikal.

2. Sindrom kolumna posterior

Kolumna posterior dapat terlihat secara sekunder oleh proses patologis yang
mengenai sel-sel ganglion radiks dorsalis dan radiks posterior. Lesi pada kolumna posterior
umumnya merusak sensasi posisi dan getar, diskriminasi dan streognosis. Lesi ini juga
menimbulkan tanda Romberg yang positif, serta gait ataksia yang memberat secara bermakna
ketika mata ditutup (tidak seperti ataksia serebelar yang mana tidak memberat saat mata
ditutup). Lesi kolumna posterior juga seringkali menyebabkan hipersensitivitas terhadap
nyeri. Kemungkinan penyebabnya antara lain adalah defisiensi vitamin B12 (misalnya pada
mielosis funikularis), mielopati vakuolar terkait-AIDS, dan kompresi spinal (misalnya pada
stenosis medulla spinalis servikalis).7

32
3. Sindrom kornu posterius

Sindrom ini dapat menjadi manifestasi klinis siringomielia, hematomielia dan


beberapa tumor intra medular medulla spinalis, dan kondisi-kondisi lainnya. Seperti lesi pada
radiks posterior, lesi kornu posterius menimbulkan defisit somatosensorik segmental namun
tidak seperti lesi radiks posterior yang merusak semua modalitas sensorik, lesi kornu
posterius menyisakan modalitas yang dipersarafi oleh kolumna posterior. Hanya sensasi nyeri
dan suhu segmen ipsilateral yang sesuai yang hilang, karena modalitas ini dikonduksikan ke
sentral melalui neuron kedua di kornu posterius (yang aksonnya berjalan naik di dalam
traktus spinotalamikus lateralis). Hilangnya sensasi nyeri dan suhu dengan menyisakan
sensasi bagian kolumna posterior disebut defisit somatosensorik terdisosiasi. Dapat terjadi
nyeri spontan (nyeri deferentasi) di area yang analgesik. Sensasi nyeri dan suhu di bawah
tingkat lesi tetap baik, karena traktus spinotalamikus lateralis, yang terletak di funikulus
anterolateralis, tidak mengalami kerusakan dan tetap menghantar modalitas tersebut ke
sental.7

33
4. Sindrom substansia grisea

Kerusakan pada substansia grisea sentral medulla spinalis akibat siringomielia,


hematomielia, tumor medulla spinalis intramedular atau proses-proses lain mengganggu
semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling berpengaruh adalah
serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan,
raba kasar, nyeri dan suhu. Serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral
dan kemudian berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang
mengenainya menimbulkan defisit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi
oleh serabut yang rusak.

Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi cairan
serebospinal (siring) di medulla spinalis. Penyakit yang serupa di batang otak disebut
siringobulbia. Rongga ini disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang
berbeda dan terdistribusi dengan pola karekteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme
pembentukannya. Beberapa siring merupakan perluasan kanalis sentralis medulla spinalis
yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan ventrikel keempat. Siringomielia paling
sering mengenai medulla spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri
dan suhu di bahu dan ekstremitas atas. Siring menyebabkan (para) paresis spastik dan
gangguan proses berkemih, defekasi dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan
atrofi unilateral pada lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah dan berbagai jenis
nistagmus sesuai dengan lokasi dan konfigurasi siring.7

34
5. Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis

Sindrom ini paling sering terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 akibat karena
kurangnya faktor instrinsik lambung dan pada kasus demikian disebut “degenerasi kombinasi
subakut”. Fokus-fokus demielinasi ditemukan di regio servikal dan torakal di kolumna
posterior (70-80%) dan lebih jarang di traktus piramidalis (40-50%), sedangkan substansia
grisea biasanya tidak mengalami kerusakan. Kerusakan kolumna posterior menyebabkan
hilangnya sensasi posisi dan getar di ekstremitas bawah, menimbulkann ataksia spinal dan
tanda Romberg yang positif (ketidakseimbangan postur saat mata tertutup). Kerusakan
traktus pirimidalis yang menyertainya menimbulkan paraparesi spastik dengan hiperrefleksia
dan tanda Babinski bilateral.7

35
6. Sindrom kornu anterius

Baik poliomyelitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik
mempengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikal dan lumbalis
medulla spinalis.

Pada poliomyelitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan
irreversible, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada otot-otot di
segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh berbanding otot distal. Otot
menjadi atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan
lemak. Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius
di kolumna vertical yang panjang di dalam medulla spinalis.7

7. Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis

Terlihat pada sklerosis amitrofi lateral (ALS) sebagai akibat degenerasi neuron
motorik kortikal dan medulla spinalis. Gambaran klinisnya adalah kombinasi paresis flasid
dan spastik. Atrofi otot yang timbul pada awal perjalanan penyakit, umumnya sangat berat
sehingga reflek tendon dalam menghilang, jika hanya mengenai lower motor neuron. Namun
karena kerusakan yang simultan pada upper motor neuron (dengan konsekuensi berupa
degenerasi traktus pirimidalis dan spastisitas), refleks umumnya tetap dapat dicetuskan dan
bahkan dapat meningkat. Degenerasi nuclei nervus kranialis motorik yang menyertainya
dapat menyebabkan disartria dan disfagia (kelumpuhan bulbar progresif).7

36
8. Sindrom traktus kortikospinalis

Hilangnya neuron motorik kortikal yang diikuti oleh degenerasi traktus


kortikospinalis pada beberapa penyakit, termasuk sklerosis lateralis primer (varian sklerosis
amiotrofik lateralis) dan bentuk yang lebih jarang paralisis spinal spastic herediter. Bentuk
yang lebih sering pada penyakit ini terjadi akibat mutasi gen untuk ATPase dari family AAA
pada kromosom 2. Penyakit ini muncul pada masa kanak-kanak dan memberat secara lambat
setelahnya, awalnya pasien mengeluh rasa berat yang dilanjutkan dengan kelemahan pada
ekstemitas bawah. Paraparesis spatik dengan gangguan cara berjalan pasti timbul dan
memberat secara perlahan. Refleks lebih kuat daripada normal. Paresis spastik pada
ekstremitas atas tidak timbul hingga lama setelahnya.7

37
9. Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris
dan (kemungkinan ) traktus piramidalis.

Ketika proses patologis mengenai semua sistem tersebut, diagnosis banding harus
menyertakan ataksia spinoserebelaris tipe Friedreich, bentuk aksonal neuropati herediter
(HSMN II), dan ataksia lainnya.

Karekteristik menifestasi klinis timbul oleh lesi pada masing-masing sistem yang
terkena. Ataksia Friedreich dimulai sebelum usia 20 tahun dengan hilangnya sel-sel ganglion
radiks dorsalis, yang menyebabkan degenerasi kolumna posterior. Akibat klinisnya adalah
gangguan sensasi posisi, diskriminasi dua titik, dan stereognosis, dengan ataksia spinalis dan
tanda Romberg yang positif. Sensasi nyeri dan suhu sebagian besar atau seluruhnya tidak
terganggu. Ataksia berat, baik karena kolumna posterior ataupun traktus spinoserebelaris
terkena. Hal ini terlihat jelas ketika pasien mencoba berjalan, berdiri dan duduk, serta pada
saat pemeriksaan jari-hidung-jari dan uji heel-knee-shin. Cara berjalan pasien tidak
terkoordinasi dengan festinasi, dan juga menjadi spastik seiring perjalanan waktu karena
degenerasi progresif pada traktus piramidalis. Sekitar setengah jumlah pasien menunjukkan
deformitas rangka seperti skoliosis atau pes kavus (yang disebut kaki Friedreich).

Menurut Harding, ataksia Friedreich dapat didiagnosis jika ditemukan kriteria klinis berikut:

 Ataksia progresif tanpa diketahui penyebabnya, dimulai sebelum usia 25 tahun.


 Diturunkan secara autosomal resesif.
 Tidak adanya refleks tendon dalam di ekstremitas bawah
 Gangguan kolumna posterior
 Disartria dalam 5 tahun setelah onset.

Diagnosis dapat ditegakkan secara definitif dengan pemeriksaan genetik molekuler


untuk mengindentifikasi defek genetik yang mendasarinya.7

38
10. Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard

Sindrom ini jarang dan biasanya tidak komplet. Penyebab tersering adalah karena
trauma medula spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motorik desendens pada
satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral di bawah
tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai oleh hiperefleksia,
tanda Babinsky dan gangguan vasomotor. Pada saat yang bersamaan gangguan kolumna
posterior pada satu sisi medulla spinalis menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan
diskriminasi taktil ipsilateral di bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi
kolumna posterior tidak terjadi kerena paresis ipsilateral yang bersamaan. Sensasi nyeri dan
suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini telah
menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik ke dalam traktus spinotalamikus lateralis,
tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah tingkat lesi karena traktus
spinnotalamikus ipsilatral terganggu.

Sensasi taktik sederhana tidak terganggu karena modalitas ini dipersarafi oleh dua
jaras serabut yang berbeda. Kolumna posterior (tidak menyilang) dan traktus spinotalamikus
anterior (menyilang). Hemiseksi medulla spinalis menyisakan satu dari kedua jaras tersebut
untuk sensasi taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-kolumna posterior kontralateral untuk
sisi kontralateral lesi dan traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateralis.

Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami
kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan paresis

39
flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri radikular di
dermatom yang sesuai dengan batas atas gangguan motorik.7

11. Sindrom transseksi medulla spinalis

11.a.Sindrom transseksi medulla spinalis Akut

Sindrom transseksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh trauma ,
jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi. Trauma medulla spinalis akut awalnya
menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, gambaran klinis yang patofisiologinya
belum difahami secara total. Di bawah tingkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan
semua modalitas sensasi hilang. Fungsi berkemih, defekasi dan seksual juga hilang. Hanya
refleks bulbokavernosus yang tetap ada. Juga terdapat perubahan tropik di bawah tingkat lesi
khususnya hilangnya berkeringat dan gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan
bermakna untuk terbentuknya ulkus dekubitus. Batas ada defisit sensorik sering dibatasi oleh
suatu zona hiperalgesia.

Dalam beberapa hari dan minggu setelah kejadian, neuron spinalis perlahan-lahan
kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian, tetapi tetap terputus sebagian besar
impuls neuron yang berasal dari sentral yang normalnya mengatur neuron tersebut. Kemudian
neuro-neuron ini menjadi “otonom” dan timbul “otomatisme spinal”. Pada banyak kasus
stimulus di bawah tingkat lesi mencetuskan fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan
pergelangan kaki (refles fleksor). Jika sindrom transseksi medulla spinalis total, ekstremitas

40
tetap berada pada posisi fleksi dalam jangka panjang setelah stimulus karena elevasi spastik
pada tonus otot. (sebaliknya pada sindrom transseksi medulla spinalis inkomplet, tungkai
pada awalnya mengalami fleksi saat distimulasi, tetapi kemudian kembali ke posisi semula).
Defekasi dan miksi perlahan-lahan berfungsi kembali, tetapi tidak berada di bawah kendali
volunteer bahkan kandung kemih dan rectum secara refleksif mengosongkan diri ketika terisi
pada jumlah tertentu. Disnergia sfingter detrusor menyebabkan retensi urin dan miksi
refleksif yang sering. Reflek tendon dalam dan tonus otot perlahan-lahan kembali dan dapat
meningkat secara patologis, namun potensi seksual tidak kembali.7

11.b. Sindrom transseksi medulla spinalis progresif

Ketika Sindrom transseksi medulla spinalis muncul perlahan-lahan dan bukan tiba-
tiba, misalnya karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom
transseksi pada kasus seperti ini biasanya parsial bukan total. Paraparesis spastik yang berat
dan progresif terjadi dibawah tingkat lesi, disertai oleh defisit sensorik, disfungsi miksi,
defekasi dan seksual serta manifesatasi otonomik.

12. Sindrom transseksi medulla spinalis servikalis

Transseksi medulla spinalis di atas sevikal III fatal karena dapat menghentikan
pernafasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien
tersebut hanya dapat bertahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah
trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal
bawah menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal, pernafasan dapat
sangat terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi bergantung pada

41
tingkat lesi. Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari defisit sensoris yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik.7

13. Sindrom transseksi medulla spinalis torasika

Transseksi medulla spinalis torasika bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas,
tetapi mengganggu pernafasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralitis melalui
keterlibatan nervus splanknikus. Transseksi medulla spinalis torasika bagian bawah tidak
mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu pernafasan.7

14. Sindrom transseksi medulla spinalis lumbalis

Transseksi medulla spinalis lumbalis menyebabkan gangguan berat karena secara


bersamaan terjadi kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian bawah,
arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark pada seluruh medula spinalis lumbalis dan
sakralis.7

15. Sindrom epikonus

Sindrom epikonus disebabkan oleh lesi medulla spinalis setinggi L4 hingga S2, relatif
jarang. Tidak seperti sindrom konus, sindrom epikonus berkaitan dengan paresis spastik dan
flasid ekstremitas bawah, tergantung pada segmen lesi yang tepat. Terdapat kelemahan atau
paralisis total pada rotasi ekterna panggul (L4-S1) dan ekstensi panggul (L4-L5) dan
kemungkinan juga fleksi lutut (L4-S2) serta fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari
kaki (L4-S2). Reflek Achilles menghilang, sedangkan refleks lutut tetap ada. Defisit sensorik
terbentang dari L4-S5. Pengosongan kandung kemih dan rectum hanya secara refleksif,
potensi seksual hilang dan pasien laki-laki sering mengalami priapisme. Terdapat paralisis
vasomotor sementara serta kehilangan kemampuan berkeringat sementara.7

16. Sindrom konus

Sindrom ini diakibatkan oleh lesi setinggi atau di bawah S3. Juga jarang terjadi dan
biasanya disebakan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus lumbalis massif.

Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai defisit neurologi seperti:

 Arefleksia destrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow.


 Inkontinensia
 Impotensia

42
 Saddle anestesia
 Hilang refleks ani

Ekstremitas bawah tidak paresis dan refleks Achilles tetap ada (L5-S2).

Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis dan radiks sakralis yang
berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat atau lambat. Pada kasus-
kaus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh defisit akibat keterlibatan kauda ekuina
:kelemahan ekstremitas bawah dan defisit sensori yang lebih luas dibandingkan dengan
defisit pada sindrom konus murni.7

17. Sindrom kauda equina

Sindrom ini melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi sakralis yang berjalan ke
bawah di sepnjang sisi dan bawah konus medularis dan menembus ruang subarachnoid
lumbosakral dan keluar melalui foramennya. Tumor biasanya penyebab yang umum. Pasien
awalnya mengeluhkan nyeri radikuler pada distribusi nervus ischiadiks dan nyeri pada
kandung kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian, defisit sensorik
radikuar dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada
tingkat L4 atau di bawahnya. Lesi yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan

43
defisit sensorik pada tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas
bawah dengan arrefleksia, juga terdapat inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan
disfungsi seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda equina, defisit sensorik hanya terdapat
pada daerah saddle (S3-S5) dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi, defekasi
dan seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda equina tidak seperti tumor konus,
menimbulkan manifestasi klinis dengan progresivtas lambat dan ireguler karena masing-
masing radiks saraf terkena dengan kecepatan yang berbeda dan beberapa di antaranya tidak
mengalami kerusakan hingga akhir perjalanan klinis.7

Sindrom Medulla Spinalis5,7

Sindrom Kausa Utama Gejala & Tanda Klinis


Brown Trauma tembus o Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan
Sequard Kompresi ekstrensik LMN setinggi lesi
Syndrome o Gangguan eksteroseptif (nyeri & suhu)
kontralateral
o Gangguan propioseptif (raba & tekan)
ipsilateral
Sindrom Cedera yang o Paresis LMN setinggi lesi, UMN
Spinalis menyebabkan HNP dibawah lesi
Anterior pada T4-6 o Dapat disertai disosiasi sensibilitas
o Gangguan eksteroseptif, propioseptif
normal
o Disfungsi spinkter
Sindrom Hematomielia o Paresis lengan > tungkai
Spinalis Trauma spinalis o Gangguan sensorik bervariasi (diestesia/
Sentral (fleksi-ekstensi) hiperestesia) di ujung distal lengan
o Disosiasi sensibilitas
o Disfungsi miksi, defekasi dan sensual
Sindrom Trauma o Paresis ringan
Spinalis Infark A. Spinalis o Gangguan eksteroseptif (nyeri/
Posterior Posterior parastesia) pada punggung, leher dan
bokong

44
o Gangguan propioseptif bilateral
Sindrom Trauma lower sacral o Gangguan motorik ringan, simetris, tidak
konus cord ada atropi
medullaris o Gangguan sensorik saddle anestesi,
muncul lebih awal, bilateral, ada
disosiasi sensibilitas
o Nyeri jarang, relative ringan
o Simetris, bilateral pada daerah perineum
dan paha, reflex Achilles (-), reflex
Patella (+)
o Disfungsi spincther terjadi dini dan berat
o Rafleks bulboavernosus dan anal (-)
o Gangguan ereksi dan ejakulasi
Sindrome Cedera akar saraf o Gangguan motorik sedang sampai berat,
Cauda Equina lumbosakral asimetris dan atrofi
o Gangguan sensibilitas saddle anestesi,
asimetris, timbul lebih lambat, disosiasi
sensibilitas (-)
o Nyeri menonjol hebat, timbul dini,
radikuler, asimetris
o Gangguan reflex bervariasi, gangguan
spincter timbul lambat, jarang berat,
reflex jarang terganggu, disgungsi
seksual jarang

45
Penatalaksanaan
1. A (AIRWAY)
Menjaga jalan nafas supaya tetap lapang,
2. B (BREATHING)
Mengatasi gangguan pernafasan kalau perlu lakukan intubasi endotrakheal (pada
cedera medulla spinalis servikal atas) dan pemasangan alat bantu nafas supaya
oksigenasi adekuat.
3. C (CIRCULATION)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi karena pengaruh pada sistem saraf
ortosimpatis. Harus dibedakan antara:
a) Syok Hipovolemik (hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin/ basah)
Tindakan : Berikan cairan kristaloid (NaCl 0,9%/ Ringer Laktat) kalau
perlu dengan koloid (missal: Albumin)
b) Syok Neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat/ kering)
Pemberian cairan tidak akan menaikkan tendi (awasi edema paru), maka harus
diberikan obat vasopressor:
 Dopamine untuk menjada MAP > 70
 Bila perlu adrenalin 0,2 mg subkutan
 Boleh diulangi 1 jam kemudian
4. Selanjutnya
 Pasang foley kateker untuk monitor hasil urine dan cegah retensi urin.
 Pasang pipa nasogastrik (hati-hati pada cedera servikal) dengan tujuan untuk :
o Dekompresi lambung pada distensi
o Kepentingan nutrisi enteral
 Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
o Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan disamping
kiri-kanan leher diletakkan bantal.
o Thorakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace)
o Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal
5. Pemberian Kortikosteriod
 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca-trauma diberikan :
o Methylprednisolon 30 mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu
selama 45 menit (tidak diberikan Methylprednisolon), selanjutnya

46
diberikan infuse terus menerus Methylprenisolon selama 23 jam dengan
dosis 5,4 mg/ kgBB/jam
 Bila 3-8 jam : hanya infus Methylprednisolon dilanjutkan untuk 47 jam.
 Bila > 8 jam : tidak dianjurkan pemberian Methylprednisolon
6. Pemberian obat-obatan
 Lanjutkan pemberian Methlprednisolon (mencegah proses sekunder)
 Anti-spasitas otot sesuai keadaan klinis
 Analgetik
 Mencegah dekubitus, kalau perlu pakai kasur khusus
 Mencegah thrombosis vena dalam (DVT) dengan Stoking kaki khusus atau
fisioterapi. Kalau perlu dapat diberikan anti-koagulant.
 Mencegah proses sekunder dengan pemberian anti-oksidan
 Stimulasi sel daraf dengan pemberian GM1-Ganglioside
o Dimulai dalam waktu 72 jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari
 Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotic bila ada infeksi
 Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel
7. Operasi
 Waktu Operasi
o Waktu operasi antara 24 jam sampai dengan 3 minggu
o Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan
neurologis, komplikasi dan keluaran skor motorik atu tahun pasca-trauma.
 Indikasi Operatif
o Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis
o Gambaran neurologis progresif memburuk
o Fraktur, dislokasi yang labil
o Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis.5

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Safitri A, editor. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga. 2012.h.89.


2. Medula Spinalis. http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/neurosains/medula-
spinalis-batang-otak-dan-thalamus/. Diunduh pada 18 Maret 2016.
3. Safitri A, Astikawati R, editor. Lecture notes: neurology. Edisi ke-8. Jakarta:
Erlangga. 2010.h.134-6.
4. Goldberg S. Clinical Neuroanatomy. McGraw-Hill. 2011.p. 20-3.
5. Dr. Lyna Soertidewi et al. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitits dan
Trauma Spinal. Perhimpunan Doketer Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta
: 2013.
6. Gondowardjaja Y, Purwata TE. Trauma medula spinalis: Patobiologi dan tatalaksana
medikamentosa. Continuin Medical Education 2014 Vol 41(8).h.567-70.
7. M. Baehr, M. Frotscher. Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi, isiologi, Tanda,
Gejala. Jakarta : EGC, 2010.h.34-79, 358-70.

48

Anda mungkin juga menyukai