Pembimbing:
Dr. Dini Adriani, SpS
Disusun Oleh:
Dea Nur Puspita
11.2017.099
KEPANITERAAN KLINIK
IDENTITAS PASIEN
Umur : 44 Tahun
Status Perkawinan :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Alamat :-
2
Pasien datang ke RS :
SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan lemas seluruh tubuh sejak 1 hari yl
Pasien datang dibawa oleh keluarga nya dengan kursi roda. Pasien mengatakan lemas seluruh tubuh
sejak 1 hari yang lalu, lemas dirasakan ketika bangun dari tidur, lemas seperti ini sudah pernah terjadi
1 tahun yl dan pernah ke dokter di periksa lab ternyataa dikatakan dokter hipokalemi. Sebelum
kejadian pasien dapat beraktivitas seperti biasanya dan sekarang ke kamar mandi harus di bantu jalan.
Ada rasa mual muntah, ketika makan sedikit muntah, muntah tidak menyembur. pasien mengatakan
tidak ada tersedak makanan, bicaranya jadi pelo/cadel, cegukan.
Pasien meiliki riwayat maag yang sering kambuh, riwayat DM (-), Hipertensi (-), Stroke (-), Penyakit
jantung (-), Asma (-), Trauma (-) riwayat kontak dengan pasien TB paru (-) tumor atau keganasan (-
) Trauma (-)
3
OBJEKTIF
1. Status Presens
2. Status Psikikus
Kepala
1. Bentuk : normocephali
2. Nyeri tekan : tidak ada
3. Simetris : kanan sama dengan kiri
4. Pulsasi : Tidak teraba
Leher
1. Sikap : simetris
2. Pergerakan : normal
3. Kaku kuduk : tidak ada
4
N. Kranialis
N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri
N II. (Optikus)
N III. (Okulomotorius)
Pupil
Besar pupil 3 mm 3 mm
N IV. (Troklearis)
5
Pergerakan mata Dapat bergerak ke segala Dapat bergerak ke segala
arah arah
( kebawah-dalam )
N V. (Trigeminus)
N VI. (Abduscens)
N VII. (Fascialis)
NVIII. (Vestibulokoklear)
6
Weber Tidak dilakukan Tidak di lakukan
N IX. (Glossofaringeus)
N X. (Vagus)
N XI. (Asesorius)
N XII. (Hypoglossus)
Tremor lidah - -
7
Badan dan Anggota Gerak
1. Badan
a. Motorik
Respirasi : Simetris dalam keadaan statis-
dinamis
c. Refleks
Refleks kulit perut atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
(a) Motorik
8
Kanan Kiri
Atrofi - -
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
(c) Refleks
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps + +
9
3. Anggota gerak bawah
(a) Motorik
Kanan Kiri
Atrofi - -
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
(c) Refleks
Kanan Kiri
Patella + +
Achilles + +
Babinski - -
Chaddock - -
10
Schaefer - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Brudzinski (-)
Laseque >70o/>70o
Kernig >135o/>135o
- Tanggal 9
Na : 14,1 (13,5-14,6)
K : 1,57 (3,5-5)
RINGKASAN
Subjektif
Pasien datang dibawa oleh keluarga nya dengan kursi roda. Pasien mengatakan lemas seluruh
tubuh sejak 1 hari yang lalu, lemas dirasakan ketika bangun dari tidur, lemas seperti ini sudah pernah
terjadi 1 tahun yl dan pernah ke dokter di periksa lab ternyataa dikatakan dokter hipokalemi. Pasien
mengatakan punya riwayat sakit maag yang sering kambuh, pasien sebelum lemas ada mual muntah,
muntah ridak menyembur, pasien sebelum kejadian ini dapat ke kamar mandi harus dipapah. Pasien
sebelum kejadian ini dapat ke kamar mandi dan beraktivitas seperti biasa, dan sekarang ke kamar
Sebelum kejadian pasien dapat beraktivitas seperti. Ada rasa mual muntah, ketika makan sedikit
muntah, muntah tidak menyembur. pasien mengatakan tidak ada tersedak makanan, bicaranya jadi
pelo/cadel, cegukan. Pasien mengatakan tidak ada pelo, tidak ada lemas setengah badan, tersedak (-)
11
cegukan (-) batuk (-) pilek (-) demam (-) riwayat kontak TB (-) tumor atau keganasan (-) trauma (-).
Pasien mengalami hipokalemi dibuktikan dengan pemeriksaan kadar eletrolit kalium sebanyak 1,57
mmol/ L (3,5-5).
Objektif
GCS : E4M6V5 = 15
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Pernafasan : 17 kali/menit
Suhu : 36,4° C
N III, IV, VI : baik ke segala arah, diplopia (-), jerky (-), nistagmus (-)
Menyeringai +/+
12
Kekuatan : 3-3-3-3 3-3-3-3
3-3-3-3 3-3-3-3
Reflek fisiologis: ++ ++
+ +
+ +
+ +
Brudzinski (-)
Laseque >70o/>70o
Kernig >135o/>135o
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
Ceftriaxone 2 x1 gr iv
KCL 50 mg / 12 jam
13
Ranitidine 2x1 IV
KSR 2 x 1
Pemeriksaan penunjang
EKG
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
14
Latar Belakang
Gerakan voluntar yang disebut normal memperlihatkan ketangkasan. Semua gerakan,
berikut yang tersederhana juga memerlukan kerja sama banyak kelompok otot skeletal. Analisis
gerakan sederhana seperti mengepal, misalnya sudah banyak cukup mengungkapkan betapa
rumitnya mekanisme neuronal yang mengatur kegiatan otot masing masing. Bilamana salah
satu komponen dari susunan neuromuscular tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya,
maka akan timbul gangguan gerakan voluntar. Berdasarkan komponen susunan neuromuscular
mana yang terkena lesi.1
Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi.
Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional akibat perdarahan, thrombosis, atau
embolisasi. Dapat juga karena peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses desak ruang
dan sebagainya.1
Lower motorneuron adalah neuron neuron yang menyalurkan impuls motorik pada bagian
perjalanan terakhir ke sel otot skeletal. Untuk mebedakannya dari ‘upper motorneuron’ (UMN).
Maka dari itu LMN dengan aksonnya dinamakan Sherington ‘final common path’ impulse
motoric, LMN menyusun inti inti saraf otak motoric dan inti inti saraf otak motoric dan inti inti
radiks ventralis saraf spinal. Dua jenis LMN dapat dibedakan α-motoneuron. Ia berukuran besar
dan menjulurkan aksonnya yang tebal (12-20 μ) ke serabut ekstrafusal. Yang lain dikenal
sebagai ϒ-motorneuron; ukurannya kecil, aksonnya halus (2-8 μ) dan mensarafi serabut otot
intrafusal.1
Dengan perantaraan kedua macam motorneuron itu, impuls motoric dapat mengemudikan
keseimbangan tonus otot yang diperlukan untuk mewujudkan setiap gerakan tangkas. Tiap
motoneuron menjulurkan hanya satu akson. Tetapi pada ujungnya setiap akson bercabang
cabang. Dan setiap cabang mensarafi seutas serabut otot, sehingga dengan demikian setiap
akson dapat berhubungan dengan sejumlah serabut otot.1
Tugas motorneuron hanya menggalakkan sel sel serabut otot sehingga timbul gerak otot.
Tugas untuk menghambat gerak otot tidak dipercayakan kepada motoneuron, melainkan
interneuron. Sel tersebut menjadi sel penghubung antara motoneuron dengan pusat eksitasi atau
pusat inhibisi, yang berlokasi di formasio retikularis batang otak. Penghambatan yang
dilakukan oleh interneuron dapat juga terjadi atas tibanya impuls dari motoneuron yang
disampaikan kembali kepada motoneuron. Interneuron itu dikenal sebagai sel renshaw.1
Bilamana terjadi sesuatu kerusakan pada motoneuron, maka serabut serabut otot yang
bergabung dalam unit motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun impuls motoric masih
15
dapat disampaikan oleh system pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya. Motoneuron
dengan aksonnya merupakan satu satunya saluran bagi impuls motoric yang dapat menggalakan
serabut serabut otot. Maka dari itu, motoneuron dengan aksonnya dinamakan oleh Sherington
‘fnal common path’ dari impuls motoric.1
Kelumpuhan LMN timbul akibat kerusakan pada ‘final common path’, .motor end plate’
dan otot. Istilah ‘final common path’dari Sherington itu mencakup ‘lower motor neuron’ dan
aksonnya. Jika motor neuron mengalami gangguan yang membahayakan kehidupannya, maka
timbulah aktivitas yang membangkitkan gerak otot halus. Gerak otot yang sangat halus, yang
dikenal sebagai fibrilasi, tidak dapat dideteksi secara visual . hanya dengan rekaman alat
elektromiograf , eksistensinya dapat diungkapkan. Gerak otot halus yang dapat dilihat dengan
mata tanpa menggunakan alat disebut dengan fasikulasi. Gejala ini merupakan ungkapan bahwa
motor neuron berada dalam keadaan kurang sehat. Dalam pada itu, motor neuron masih dapat
digalakkan, namun sudah menunjukkan kepekaan yang berlebihan. Motor neuron motor
berkelompok di kornu anterius dan dapat mengalami gangguan secara selektif atau terlibat
dalam satu lesi bersama dengan bangunan di sekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal
sindrom lesi kornu anterius, sindrom lesi yang selektif merusak motor neuron dan jaras
kortikospinal, sindrom lesi yang merusak motorneuron dan funikulus anterolateralis dan
sindrom lesi di substansia grisea sentralis.1 Berikut akan dibahas mengenai beberapa penyakit
pada LMN.
Epidemiologi.2
Insiden GBS 0,6-1,9 kasus per 100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi antara
usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Insiden di Bandung perbandingan laki – laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata arata 23,5 tahun.2
Patofisiologi.2
Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi GBS. Onset GBS
umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit infeksius muncul. Banyak organisme infeksius
16
yang dianggap menginduksi produksi antibody yang bereaksi silang dengan gangliosid dan
gikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang tersebar luas di sepanjang myelin pada system saraf
perifer. Reaksi silang ini dikenal dengan istilah molecular mimicry.2
Ditemukan sel inflamasi dan makrofag pada saraf penderita GBS, yang selanjutnya akan
diikuti dengan destruksi myelin akibat aktivitas sitokin. Inflamasi dan degenerasi myelin
menyebabkan kebocoran protein dari darah ke cairan serebrospinalis, menyebabkan
peningkatan konsentrasi protein cairan serebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada
GBS. Sel schwann yang memiliki kemampuan membentuk saraf myelin biasanya tidak
mengalami destruksi, sehingga menjelaskan bagaimana pasien GBS bisa sembuh total.2
Anamnesis.3
Kelemahan asenden yang asimetris
Anggota gerak bawah duku baru menjalar ke atas
Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
Puncak defisit 4 minggu
Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
Gangguan sensorik pada umumnya ringan
Gangguan otonom dapat terjadi
Gangguan saraf kranial
Gangguan otot otot nafas
17
Gejala Klinis.2
Paralisis motoric akut dan cepat (umumnya teraparesis)
Ascending paralysis (lemah dari kaki naik ke atas)
Glove stocking (sensasi kesemutan pada ekstremitas)
Reflex fisiologis menurun atau menghilang (areflexia)
Kadang terjadi paresis nervus kranialis dan atau gangguan sensoris (hilangnya sensasi nyeri
dan suhu)
Bila mengenai saraf autonomy (fluktuasi tekanan darah yang tinggi, hipotensi postural, dan
disritmia jantung)
Pemeriksaan Neurologi2
Tetraparese simetris proksimal lebih berat daripada distal
Reflex fisiologis menurun atau hilang
Reflex patologis negative
Kadang ditemukan gangguan sensoris (protopatik) dan gangguan otonom
18
Diagnosa Banding.2
Miastenia gravis akut, paralisis periodic, botulisme, tick paralysis, neuropati akibat logam
berat, poliomyelitis dan thrombosis arteri basilaris.
Pemeriksaan Penunjang.3
Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain):
Pemeriksaan darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT, elektrolit, Creatinin kinase,
Serologi CMV/EBV/Micoplasma, Antibodi glycolipid, Antibodi GMI
Pencitraan: MRI minimal potongan sagittal untuk menyingkirkan diagnosis banding
lain
Lumbal pungsi
Penatalaksanaan.2
Farmakoterapi
Plasma exchange therapy (PE) Regimen standar terdiri dari 5 sesi (40-50 ml / kg BB)
dengan saline dan albumin sebagai penggantinya.
Intravenous infusion of human Immunoglobulin (IVIg) dosis 0,4 / kg BB / hari selama
5 hari. Diberikan terutama 2 minggu pertama setelah onset.
NSID dapat diberikan bila ada gejala nyeri.
LMWH dapat diberikan untuk mencegah terjadinya Deep Vein Thrombosis (DVT)
Pemberian neurotrapik untuk mempercepat remielinisasi seperti metilcobalamin.
Miastenia Gravis.2
Miastenia gravis (MG) merupakan suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa
terbentuknya antibody terhadap reseptor pasca sinaps asetilkolin (Ach) nikotinik pada
myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor Ach menyebabkan penurunan kekuatan otot
yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.2 Miastenia gravis dapat menyerang
19
otot volunteer, yaitu otot yang mengontrol mata dan pergerakannya, ekspresi wajah, dan otot
untuk menelan, dan bicara pelo. Selain itu, dapat juga menyebabkan kelemahan pada tangan,
kaki dan leher. Bila penyakit ini sudah mencapai tahap yang parah, dapat mengenai otot otot
pernafasan. Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian asetilkolinesterase
inhibitor sebelumnya. Komplikasi dari miastenia gravis ditandai dengan memburuknya
kelemahan otot, mengakibatkan kegagalan pernafasan yang membuthkan intubasi dan ventilasi
mekanis.3
Epidemiologi.2
Angka kejadiannya 20/100.000 populasi, sering umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering
daripada pria.2
Patofisiologi
Kelainan autoimun menyebabkan terbentuknya antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan Miastenia Gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai
penyakit terkait sel B dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B dimana antibody yang
merupakan produk sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis
miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas
yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hyperplasia timus atau
timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuscular.2
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa
antibodipada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien
dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah
dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme pasti tentang 5
hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis
20
belum sepenuhnya dapat dimengerti. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang
terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau timoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan
binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG
dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung
melawan area imunogenik utama pada subunit alfa.Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada
reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan
cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru
disintesis.4
Diagnosis.5
- Klinis
Kelemahan / kelumpuhan otot yang tidak berhubungan dengan kelemahan secara umum.
2 / 3 pasien : gangguan gerak bola mata
1 / 6 pasien : kelemahan otot farings, kesulitan mengunyah, menelan dan berbicara
- Kelemahan ekstremitas
- Kelemahan otot ringan pagi hari dan meberat jika siang, seiring aktivas
- Kelemahan bersifat progresif
- Setelah 15-20 tahun kelumpuhan menetap
- Factor yang memperparah gejala: emosi, infeksi viral, hypothereodenasi, kehamilan,
panas, obat transmisi neuromuscular
- Pemeriksaan pita suara
Pemeriksaan Penunjang.2
- Uji tensilon (edrophonium chloride)
Tensilon 2 mg disuntikan secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan hendaknya
diperhatikan otot otot yang mengalami kelemahan seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan timbulnya ptosis.
21
- Uji prostigmin (neostigmin)
Tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuscular (bila perlu
diberikan pula atropine ½ mg). apabila kelemahan yang ada benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala seperti misalnya ptosis, strabismus, atau kelemahan yang lainnya tidak lama
kemudian akan lenyap.
- Uji kinin
Pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor, antistriated muscle (anti-SM) antibody dan anti-muscle-
spesific kinase (MuSK) antibodies
- Pemeriksaan imaging: Ct scan dada untuk mengidentifikasi thymoma
- Pemeriksaan EMG : teknik Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan Single-Fyber
Electromiography (SFEMG)
Diagnosis Banding.2
Sindrom Eaton-lambert, paralisis pasca difteri, multiple sclerosis, GBS
Penatalaksanaan.2
Tatalaksana miastenia gravis berdasarkan prinsip:
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
A. istirahat
Dengan istirahat, banyaknya Ach dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat –
serat otot yang kekurangan AChR dibawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
A. timektomi
Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun
22
B. kortikosterois
Diberikan prednisone dosis tunggal atau alterning untuk mnecegah efek samping.
C. imunosupresif
Obat yang digunakan azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide (CPM)
D. plasma exchange
E. imunoglobulin
Neuropati Perifer.6
Proses patologi yang menganai ssuran saraf perifer, berupa proses demielinisasi atau
generasi aksonal atau kedua – duanya. Susunan saraf perifer mencakup saraf otak, saraf spinal
dengan akar saraf serta cabang cabangnya, saraf tepi dan bagian bagian tepi dari susunan saraf
otonom.
Epidemiologi
Pada suatu penelitian memperkirakan bahwa prevalensi neuropati perifer pada tingkat
kedokteran keluarga sebesar 8 persen pada usia 55 tahun atau lebih. Prevalensi pada populasi
dapat sekitar 2,4 persen. Penelitian lainnya mengatakan prevalensi neuropati pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 sebesar 26,4 %.7
Patofisiolgi
Saraf perifer terdiri dari akson dan myelin. Keberadaan aksonal merupakan hal yang
penting dalam suatu aksi potensial disepanjang sel membran pada saraf motor dan sensorik.
Myelin juga merupakan hal penting dalam transmisi impuls saraf sepanjang akson dan
meningkatkan kecepatan konduksi melalui saltatory conduction, dimana impuls melompat dari
satu nodus ke nodus lainnya diantara segmen myelin. Demielenisasi mengganggu saltatory
conduction, memperlambat kecepatan konduksi saraf. Demielenisasi fokal dapat menyebabkan
bocornya aliran listrik dari aksonal pada posisi tertentu disepanjang serabut saraf yang
menyebabkan blok konduksi.7
23
Gejala
Pada tingkatan neuropati perifer yang dini, pasien biasanya mengalami gejala yang progresif
termasuk hilangnya sensoris, mati rasa, dan nyeri atau rasa terbakar pada tungkai distal dengan
distribusi yang disebut stocking and glove. Seiring berjalannya waktu, mati rasa dapat meluas
pada proksimal dan didapatkan kelemahan otot distal dengan dan atrofi. Pada gangguan yang
menyebabkan peripheral neuropati yang akut, seperti terpapar bahkan toksin, pasien mungkin
akan mengalami gejala yang mirip dnegan gejala yang lebih fulminant. Rasa nyeri yang lebih
dominan, dengan progresifitas gejala yang lebih cepat dibanding penyebab lainnya. Pada jenis
gangguan yang lain, seperti pada acute dan demyelinating polyneuropathy, kelemahan motoric
lebih dominan daripada hilangnya sensasi sensoris dan dapat menjadi tanda yang muncul
pertama kali pada kasus ini.7
Kriteria Diagnosis.6
Klinis :
- Gangguan sensorik : parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba, vibrasi dan posisi.
- Gangguan motoric : kelemahan otot otot
- Reflek tendon menurun
- Fasikulasi
1. Laboratorium :
- Gula darah puasa, fungsi ginjal, kadar vitamin, B1, B6, B12 darah, kadar logam berat,
fungsi hormone tiroid
- Lumbal pungsi
2. Gold standard
- ENMG: degenerasi aksonal dan demielinisasi
Diagnosis banding.6
Miopati, motor neuron disease, multiple sklerosis
Tatalaksana.6
- Terapi kausa
- Simptomatis : analgetik antieptileptik
- Neurotropic vitamin : B1, B6, B12, asam folat
- fisioterapi
24
Periodik Paralisis Hipokalemia.
Hipokalemia dapat timbul akibat kurangnya asupan kalium melalui makanan, kehilangan
kalium melalui gangguan saluran cerna atau kulit, atau akibat redistribusi kalium ekstraselular
ke dalam cairan intraselular.8 Paralisis periodik hipokalemik (PPH) merupakan salah satu
spektrum klinis akibat hipokalemia yang disebabkan oleh redistribusi kalium secara akut ke
dalam cairan intraselular. PPH didapat bisa ditemui pada keadaan tirotoksikosis, disebut
thyrotoxic periodic paralysis, sedangkan bentuk PPH familial disebut familial hypokalemic
periodic paralysis. Keadaan ini ditandai dengan kelemahan otot atau paralisis flaksid akibat
hipokalemia karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular otot rangka.8
Epidemiologi.
Kelainan ini dapat mengenai semua ras dengan awitan tersering pada usia 10 tahun. Risiko
PPHF lebih tinggi pada orang Asia dengan rasio laki-laki:perempuan ialah 2:1. Insidens PPHF
di Eropa pada tahun 1994 mencapai 1 tiap 100.000 orang. Sebanyak 50% laki-laki dan
perempuan pembawa gen tidak memiliki gejala atau hanya gejala ringan. Hipokalemia dan
paralisis sering dijumpai di instalasi gawat darurat anak. Penyebab yang mendasarinya perlu
dipahami, apakah karena proses redistribusi kalium ke ruang intaselular atau akibat berlebihnya
ekskresi kalium melalui urin. Kegagalan menentukan penyebab dapat menyebabkan kesalahan
tatalaksana.8
Etiologi
Paralisis periodik hipokalemik familial (PPHF) terjadi karena adanya redistribusi kalium
ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa defisit kalium tubuh total.
Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka dalam menjaga potensial istirahat (resting
potential) akibat adanya mutasi gen CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3, yakni gen yang
mengontrol gerbang kanal ion (voltagegated ion channel) natrium, kalsium, dan kalium pada
membran sel otot.8
Patofisiologi
Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium dari luar, ekskresi
kalium, dan distribusi kalium di ruang intra- dan ekstraselular. Sekitar 98% kalium total tubuh
25
berada di ruang intraselular, terutama di sel otot rangka. Secara fisiologis, kadar kalium intrasel
dipertahankan dalam rentang nilai 120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+-K+-ATPase. Kanal
ion di membran sel otot berfungsi sebagai pori tempat keluar-masuknya ion dari/ke sel otot.
Dalam keadaan depolarisasi, gerbang kanal ion akan menutup dan bersifat impermeabel
terhadap ion Na+ dan K+, sedangkan dalam keadaan repolarisasi (istirahat), gerbang kanal ion
akan membuka, memungkinkan keluar masuknya ion natrium dan kalium serta menjaganya
dalam keadaan seimbang.8
Mutasi gen yang mengontrol kanal ion ini akan menyebabkan influks K+ berlebihan ke
dalam sel otot rangka dan turunnya influks kalsium ke dalam sel otot rangka sehingga sel otot
tidak dapat tereksitasi secara elektrik, menimbulkan kelemahan sampai paralisis. Mekanisme
peningkatan influks kalium ke dalam sel pada mutasi gen ini belum jelas dipahami. Sampai saat
ini, 30 mutasi telah teridentifikasi pada gen yang mengontrol kanal ion. Tes DNA dapat
mendeteksi beberapa mutasi; laboratorium komersial hanya dapat mengidentifi kasi 2 atau 3
mutasi tersering pada PPHF sehingga tes DNA negatif tidak dapat menyingkirkan diagnosis.8
Manifestasi Klinis
Durasi dan frekuensi serangan paralisis sangat bervariasi, mulai dari beberapa kali setahun
sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan durasi serangan mulai dari beberapa jam sampai
beberapa hari. Kelemahan atau paralisis otot pada biasanya timbul pada kadar kalium plasma
<2,5 mEq/L. Manifestasi lain berupa kelemahan atau paralisis episodik yang intermiten pada
tungkai yang menjalar ke lengan. Serangan muncul setelah tidur atau istirahat, tetapi dapat
dicetuskan oleh latihan fisik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot berangsur
membaik pasca koreksi kalium.8
Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat juga mengenai otot lengan,
kaki, dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang terkena; pernah juga dilaporkan kasus
yang mengenai otot menelan dan otot pernapasan. Kelainan elektrokardiografi (EKG) yang
dapat timbul pada PPHF berupa pendataran gelombang T, supresi segmen ST, munculnya
gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fibrilasi ventrikel, takikardia supraventrikular, dan
blok jantung.8
26
Pendekatan Diagnosa
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EKG, elektromiografi (EMG), dan
biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil normal saat di luar serangan, tetapi saat serangan,
dapat ditemukan miopati vaskular, yaitu vakuola retikulum endoplasma otot berdilatasi dengan
sitoplasma sel otot penuh terisi glikogen, dan ukuran serat otot bervariasi. Pemeriksaan kadar
kalium urin saat serangan sangat penting untuk membedakan PPH dengan paralisis hipokalemik
karena sebab lain, yaitu hilangnya kalium melalui urin. Ekskresi kalium yang rendah dan tidak
ada kelainan asam basa merupakan pertanda PPH. Sebaliknya, pasien dengan ekskresi kalium
meningkat disertai kelainan asam basa darah mengarah ke diagnosis non-PPH.8
Ekskresi kalium urin yang rendah dan asam basa normal mengarah ke PPHF, TPP
(thyrotoxic periodic paralysis), SPP (sporadic periodic paralysis), atau intoksikasi barium.
Pada peningkatan ekskresi kalium urin yang disertai kelainan asam basa, perlu dilihat jenis
kelainan asam basa yang terjadi. Jika asidosis metabolik, perlu diukur ekskresi NH4+ di urin.
Asidosis metabolik dengan peningkatan ekskresi NH4+ dapat dijumpai pada penggunaan toluen
dan diare berat, sedangkan asidosis metabolik dengan ekskresi NH4+ rendah dijumpai pada
renal tubular acidosis (RTA). Jika kelainan asam basa yang terjadi adalah alkalosis metabolik,
dilakukan pengukuran tekanan darah. Jika tekanan darah normal, kelainan yang mendasari
adalah sindrom Bartter, sindrom Gitelman, efek diuretik, dan vomitus. Jika tekanan darah
tinggi, dipikirkan hipokalemia karena kelebihan mineralokortikoid.8
Faktor Pencetus
Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan tinggi karbohidrat, insulin, stres emosional,
pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan otot, beta-bloker,
tranquilizer, analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol), dan obat anestesi lokal. Diet tinggi
karbohidrat dijumpai pada makanan atau minuman manis, seperti permen, kue, soft drinks, dan
jus buah. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh, menyebabkan
peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah ke dalam sel
bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar kalium plasma.
Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.8
27
Penatalaksanaan
Terapi PPHF biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala kelemahan otot yang
disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup pemberian kalium oral, modifikasi diet dan
gaya hidup untuk menghindari pencetus, serta farmakoterapi. Disarankan pemberian kalium
oral dengan dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar kalium mencapai normal.
Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium harus
diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi trans-selular kalium
berhenti.8
Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan EKG, harus
diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus kontinu, dengan pemantauan
ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau dalam terapi digoksin juga harus diberi terapi
kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kg berat badan) karena memiliki risiko aritmia lebih
tinggi. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar kalium
plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi kalium dibatasi jika
fungsi ginjal terganggu. Pemberian oral lebih aman karena risiko hiperkalemia lebih kecil.8
Kesimpulan
Lower motorneuron adalah neuron neuron yang menyalurkan impuls motorik pada bagian
perjalanan terakhir ke sel otot skeletal. Tugas motorneuron hanya menggalakkan sel sel serabut
otot sehingga timbul gerak otot. Kelumpuhan LMN timbul akibat kerusakan pada ‘final
common path’, .motor end plate’ dan otot. Istilah ‘final common path’dari Sherington itu
mencakup ‘lower motor neuron’ dan aksonnya. Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau
merusak kawasan susunan saraf disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan
fungsional akibat perdarahan, thrombosis, atau embolisasi. Dapat juga karena peradangan,
degenerasi dan penekanan oleh proses desak ruang dan sebagainya
28
Daftar Pustaka
1. Mardjono M, Sidharta P. Neurologis klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2006. Jakarta. h.
7-38.
2. Munir B. Guillain-Barre syndrome (GBS). Dalam: neurologi dasar. Jakarta: Sagung Seto;
2015. h. 330-335.
3. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon T. Panduan praktik klinis neurologi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI); 2016. h. 246-247.
4. Diagnosis dan tatalaksana miastenia gravis Diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82552&val=970, 20 Mei 2018.
5. Ahmad A, Aliah A, Samatra P. daftar contributor Standar Pelayanan medis dan standar
prosedur operasional neurologi. : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI); 2006. h. 208
6. Misbach J, Hamid B, Mayza A. Buku pedoman standar pelayanan medis dan standar
prosedur oerasional neurologi. Jakarta 2006. h. 161.
7.
29