Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

NEUROPATI DM

Disusun Oleh :

VANIA CHRISTY

11.2017.261

Dokter Pembimbing :

dr. Hadi Kurniawan, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RS PANTI WILASA “DR. CIPTO” SEMARANG

PERIODE 25 NOVEMBER - 28 DESEMBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

1
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT : RS PANTI WILASA “DR. CIPTO” SEMARANG

Nama Mahasiswa : Vania Christy Tanda Tangan

NIM : 11.2017.261

.....................................

Dokter Pembimbing/ Penguji : dr. Hadi Kurniawan Sp. KFR

IDENTITAS PASIEN
* Nama : Ny. SR
* Umur : 52 Tahun
* Jenis Kelamin : Perempuan
* Status Perkawinan : Sudah Menikah
* Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
* Alamat : Purwosari, Semarang

2
PASIEN DATANG KE R.S

* Sendiri / Bisa jalan / Tak bisa jalan / Dengan alat bantu

Sendiri

* Dibawa oleh keluarga Ya / Tidak

Tidak

* Dibawa oleh orang lain Ya / Tidak

Tidak

ANAMNESIS

Diambil secara Autoanamnesa tanggal 6 Desember 2019 pukul 12:00 WIB

Keluhan utama : nyeri pada kedua tangan dan kedua kaki sejak 4 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Empat bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa tangan dan kakinya sering
kesemutan terutama pada kedua kakinya. Pasien merasa kelamaan tangan dan kakinya
terasa kaku dan nyeri. Nyeri yang dirasakan pasien seperti ditusuk-tusuk dan terkadang
terasa panas seperi terbakar. Pasien mengatakan jika jari tangannya tersentuh suatu benda
akan terasa nyeri dan menjalar sampai ke pundak. Pasien mengatakan tidak ada rasa baal
yang dirasakan oleh pasien. Selama ini pasien hanya meminum obat-obatan warung saja.
Selama empat bulan terakhir nyerinya semakin bertambah tapi Luka pada tangan kaki di
sangkal. Riwayat trauma disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
sejak 2 tahun lalu dan sering tidak terkontrol. Pasien juga menjalani terapi pada kedua
matanya karena buram 2 bulan SMRS. Penyakit hipertensi, jantung, asma dan alergi
disangkal oleh pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
3
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernafasaan : 22 x/menit
Sp02 : 99%
Suhu : 36,3 C
GCS : E4 M6 V5
Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, pupil isokor,
diameter 3mm. Refleks cahaya +/+
Kuku : Sianosis (-)

Turgor : Baik

Telinga : Normotia, simetris

Leher : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar

Toraks : Pergerakan simetris, kanan dan kiri

Jantung : Bunyi I dan II reguler, murmur (-), Gallop (-)

Paru-paru : SN vesikuler, ronki -/-, Wheezing -/-

Abdomen : Teraba supel, nyeri tekan -, bising usus + normal

Hepar : Tidak teraba membesar

Lien : Tidak teraba membesar

Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-/-, -/-)

Status Psikis

Cara berpikir : Realistik


Tingkah laku : Wajar
Ingatan : Baik
Kecerdasan : Tidak dinilai
Kemampuan berbicara : Cukup baik, bicara tidak pelo. Disfonia (-), Disartria (-)

4
Status Neurologis

Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5 = 15

Cara berjalan : Dapat berjalan sendiri tanpa ada gangguan motorik dan sensorik

Tonus : Tonus otot masih normal

Refleks patologis : (-)

A. Kepala

 Bentuk : normosefali
 Wajah : Normal
 Nyeri tekan : (-)
 Simetris : simetris
 Pulsasi : (-)

B. Leher

 Sikap : simetris
 Pergerakan : Bebas

C. Tanda rangsang meningeal

 Kaku kuduk : (-), tidak ada tahanan


 Bruzinski 1 : (-), tidak ada fleksi pada tungkai
 Bruzinski II : (-), tidak ada fleksi tungkai kontralateral
 Bruzinski III : (-), tidak ada fleksi kedua lengan
 Bruzinski IV : (-), tidak ada fleksi kedua tungkai
 Laseque : (-), tidak ada tahanan sebelum 70°
 Kerniq : (-), tidak ada tahanan melebihi 135°
D. Nervus Cranialis

 Nervus I (Olfaktorius) : tidak dilakukan

 Nervus II (Optikus)

o Tajam penglihatan : tidak dilakukan


o Lapang Pandang : tidak dilakukan
o Funduskopi : tidak dilakukan
o Tes Ishihara : tidak dilakukan
5
 Nervus III (Olfaktorius), IV (Trochlearis), VI (abdusens)

o Pergerakan bola mata : normal


o Strabismus, nystagmus, ptosis, exopthalmus : tidak ada
o Besar pupil : 3 mm pada kedua mata
o Bentuk pupil : isokor pada kedua mata
o Reflex pupil : RCL, RCTL positif pada kedua
mata
o Diplopia : tidak ada

 Nervus V (Trigeminus)

o Membuka mulut : normal


o Mengunyah : normal
o Mengigit : normal
o Reflex kornea : normal
o Sensibilitas : positif normal pada seluruh wajah

 Nervus VII (Facialis)

o Mengkerutkan dahi : normal pada kedua sisi


o Menutup mata : normal pada kedua sisi
o Menyeringai : normal pada kedua sisi
o Memperlihatkan gigi : normal pada kedua sisi
o Menggembungkan pipi : normal pada kedua sisi
o Pengecapan : tidak dilakukan
o Mencucu : normal pada kedua sisi

 Nervus VIII (Vestibularis)

o Rinne : Tidak dilakukan


o Webber : Tidak dilakukan
o Swabach : Tidak dilakukan

 Nervus IX, X (Glossoharyngeus, Vagus)

o Pengecapan : tidak dilakukan


o Arcus faring : simetris
o Uvula : ditengah, deviasi –
o Bicara : normal

6
o Menelan : baik

 Nervus XI (Accesorius)

o Memalingkan kepala : normal pada kedua sisi


o Mengangkat bahu : normal

 Nervus XII (hipoglosus)

o Pergerakan lidah : deviasi –


o Lidah : deviasi –
o Tremor lidah : tidak ada, normal
o Artikulasi : normal

Badan

Motorik

 Respirasi : tidak ada yang tertinggal


 Duduk : dapat duduk dengan baik
 Bentuk collumna vertebralis : membungkuk
 Pergerakan collumna vertebralis : normal

Anggota gerak atas

Motorik Kanan Kiri

Pergerakan Rigiditas (-) Rigiditas (-)

Kekuatan 5,5,5 5,5,5

Tonus normotonus normotonus

Atrofi (-) (-)


Refleks Kanan Kiri
Cogwheel Phenomenon (-) (-)
Biceps (+) normal (+) normal

Triceps (+) Normal (+) Normal

Brachioradialis (+) Normal (+) Normal


7
Tromner-Hoffman (-) (-)
Sensibilitas Kanan Kiri

Taktil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Nyeri Nyeri berlebih Nyeri berlebih

Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Anggota gerak bawah

Motorik Kanan Kiri

Pergerakan Rigiditas (-) Rigiditas (-)


Sensibilitas Kanan Kiri
Kekuatan 5-5-5 5-5-5
Taktil Baik Baik
Tonus normotonus normotonus
Nyeri Nyeri berlebih Nyeri berlebih
Atrofi - -
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lokalisasi Dorsum pedis: nyeri Dorsum pedis:


berlebih nyeri berlebih

Refleks Kanan Kiri

Patella + normal + normal


Achilles + normal + normal
Babinski - -
Chaddock - -
Rossolimo - -
Mendel-Bechtrev - -
Schaefer - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Klonus kaki - -
Gerakan-gerakan abnormal

Apley Scratch : (-)


Yergason : (-)

8
Yocuum : (-)

Keluhan lain

Miksi : normal
Defekasi : normal

RINGKASAN

Subjektif:

Empat bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa tangan dan kakinya sering
kesemutan terutama pada kedua kakinya. Pasien merasa kelamaan tangan dan kakinya
terasa kaku dan nyeri. Nyeri yang dirasakan oleh pasien rasanya seperti ditusuk-tusuk dan
terkadang panas seperti terbakar. Pasien mengatakan jika jari tangannya tersentuh suatu
benda akan terasa nyeri dan menjalar sampai ke pundak. Pasien mengatakan tidak ada
rasa baal yang dirasakan oleh pasien. Selama ini pasien hanya meminum obat-obatan
warung saja. Selama empat bulan terakhir nyerinya semakin bertambah tapi Luka pada
tangan kaki di sangkal. Riwayat trauma disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat
diabetes mellitus sejak 2 tahun lalu dan sering tidak terkontrol. Pasien juga menjalani
terapi pada kedua matanya karena buram 2 bulan SMRS. Penyakit hipertensi, jantung,
asma dan alergi disangkal oleh pasien.

Objektif:

Dari hasil pemeriksaan secara keseluruhan, didapatkan kesadaran compos mentis,


GCS E4M6V5, TD: 120/80 mmHg, nadi: 78 x/ menit, suhu 36,3°C, pernapasan 22 x/
menit. Pada pemeriksaan fisik secara umum tidak ditemukan kelainan dan pemeriksaan
rangsang meningeal tidak menunjukkan kelainan. Pada pemeriksaan kranialis tidak
didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan sensibilitas pada ekstremitas, didapatkan nyeri
berlebihan pada keempat ekstremitas.

DIAGNOSIS
9
Diagnosa Klinis : hiperalgesia manus dan pedis dextra sinistra
Diagnosa Topis : nervus perifer
Diagnosa Etiologi : Neuropati diabetik

TERAPI

Medikamentosa:
Gabapentin 1x300mg
Metformin 3x500 mg

Non-medikamentosa:
 Kontrol gula darah dengan menjaga pola makan
 Menurunkan berat badan
 Memakai alas kaki untuk menghindari terjadinya ulkus diabetikum
 Kontrol rutin dokter spesialis saraf
 Fisioterapi

PROGNOSIS

Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

10
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain Diabetes Melitus (DM) (setelah
dilakukan eksklusi penyebab lainnya).1 Apabila dalam jangka yang lama glukosa
darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan
merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga
terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik.2
B. EPIDEMIOLOGI
Salah satu komplikasi mikrovaskuler dari DM yang paling sering terjadi dan
dapat memperburuk kualitas hidup adalah neuropati perifer. Sebanyak 1785
penderita DM di Indonesia yang mengalami komplikasi meliputi 16% penderita
DM mengalami komplikasi makrovaskuler, dan 27,6% komplikasi mikrovaskuler,
sedangkan angka kejadian Neuropati sebanyak 63,5%.3
Sebanyak 80% dari penderita ulkus kaki diabetic disebabkan karena neuropati
perifer.3 Prevalensi neuropati yang lebih tinggi bisa ditemukan di negara-negara
Timur Tengah seperti Mesir (61.3%), Yordania (57.5%), dan Lebanon (53.9%).
Angka insiden neuropati di Negara negara Timur Tengah lebih tinggi dari pada
negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat (15-20). 4 Prevalensi di
negara-negara Asia seperti Korea yaitu sekitar 10-50% pasien DM tipe 2 mengalami
Neuropati Perifer.5
Sedangkan di Indonesia menurut pusat data dan informasi PERSI
(Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia) prevalensi penderita diabetes melitus
dengan komplikasi neuropati sebesar lebih dari 50% dari penderita DM.
Pernyataan ini diperkuat dengan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2011 yang menunjukkan bahwa komplikasi DM terbanyak adalah neuropati dan
dialami sekitar 54% pasien yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun
Kusumo.6 Diperkirakan ada beberapa faktor lain yang mendasari munculnya
neuropati. Neuropati dihubungkan dengan berbagai faktor risiko yang meliputi
bertambahnya usia, jenis kelamin laki-laki, pengaturan kadar gula yang buruk,

11
indeksn ilai lipid dan tekanan darah, lama dan beratnya pasien mengalami DM.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kadar gula yang tidak terkontrol dengan
baik akan meningkatkan risiko terjadinya neuropati.6

C. ETIOLOGI
Faktor risiko yang berhubungan dengan gejala yang lebih parah termasuk yang
berikut:7
 Kontrol glikemik buruk
 Usia lanjut
 Hipertensi
 Durasi DM yang lama
 Dislipidemia
 Merokok
 Asupan alkohol berat
Perkembangan gejala tergantung pada banyak faktor, seperti paparan hiperglikemik
total dan faktor risiko lain seperti peningkatan lipid, tekanan darah, merokok,
peningkatan tinggi badan, dan paparan tinggi terhadap agen neurotoksik lain yang
berpotensi seperti etanol. Faktor genetik juga dapat berperan.7
Neuropati perifer telah dideskripsikan pada pasien dengan DM primer (tipe 1 dan 2)
dan pada mereka dengan diabetes sekunder dengan beragam penyebab,
menunjukkan mekanisme etiologi umum berdasarkan hiperglikemia kronis.
Kontribusi hiperglikemia telah mendapat dukungan kuat dari Uji Coba Kontrol dan
Komplikasi Diabetes (DCCT).7
Hubungan antara gangguan toleransi glukosa dan neuropati perifer telah ditafsirkan
sebagai bukti lebih lanjut dari efek hiperglikemia tergantung dosis pada saraf,
meskipun hubungan ini tetap menjadi area beberapa kontroversi untuk diabetes tipe
2 dan prediabetes.7
Sebuah studi oleh Jende et al menunjukkan bahwa pada pasien dengan diabetes tipe
1, lesi saraf yang dominan dari neuropati diabetes simetris distal berkembang dalam
kaitannya dengan kontrol glikemik yang buruk dan hilangnya konduksi saraf,
sedangkan pada diabetes tipe 2, lesi ini timbul terkait dengan perubahan
metabolisme lipid.7
D. PATOFISIOLOGI
1. Teori Vaskular
Proses terjadinya neuropati diabetik melibatkan kelainan vaskular. Penelitian
membuktikan bahwa hiperglikemia yang berkepanjangan merangsang

12
pembentukan radikal bebas oksidatif (reactive oxygen species). Radikal bebas
ini merusak endotel vaskular dan menetralisasi Nitric Oxide (NO) sehingga
menyebabkan vasodilatasi mikrovasular terhambat. Kejadian neuropati yang
disebabkan kelainan vaskular dapat dicegah dengan modifikasi faktor resiko
kardiovaskular yaitu hipertensi, kadar trigliserida tinggi, indeks massa tubuh dan
merokok.8
2. Teori Metabolik
Perubahan metabolisme polyol pada saraf adalah faktor utama patogenesis
neuropati diabetik. Aldose reduktase dan koenzim Nicotinamide Adenine
Dinucleotide Phosphate (NADPH) mengubah glukosa menjadi sorbitol (polyol).
Sorbitol diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase dan koenzim
Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD+). Kondisi hiperglikemia
meningkatkan aktifitas aldose reduktase yang berdampak pada peningkatan
kadar sorbitol intraseluler dan tekanan osmotik intraseluler. Kondisi tersebut
menyebabkan abnormalitas fungsi serta struktur sel dan jaringan.9
Hiperglikemia persisten juga menyebabkan terbentuknya senyawa toksik
Advance Glycosylation End Products (AGEs) yang dapat merusak sel saraf.
AGEs dan sorbitol menurunkan sintesis dan fungsi Nitric Oxide (NO) sehingga
kemampuan vasodilatasi dan aliran darah ke saraf menurun. Akibat lain adalah
rendahnnya kadar mioninositol dalam sel saraf sehingga terjadi neuropati
diabetik.8
Kondisi hperglikemia mendorong pembentukan aktivator protein kinase C
endogen. Aktivasi protein kinase C yang berlebih menekan fungsi Na-K-ATP-
ase, sehingga kadar Na intraselular berlebih. Kadar Na intraseluler yang
berlebih menghambat mioinositol masuk ke sel saraf. Akibatnya, transduksi
sinyal saraf terganggu.9 Aktivasi protein kinase C juga menyebabkan iskemia
serabut saraf perifer melalui peningkatan permeabilitas vaskuler dan penebalan
membrana basalis yang menyebabkan neuropati.9
3. Teori Nerve Growth Factor (NGF)
NGF adalah protein yang dibutuhkan untuk meningkatkan kecepatan dan
mempertahankan pertumbuhan saraf. Kadar NGF cenderung menurun pada
pasien diabetes dan berhubungan dengan tingkat neuropati. 9 Penurunan NGF
mengganggu transport aksonal dari organ target menuju sel (retrograde). 11 NGF

13
juga berfungsi meregulasi gen substance P dan Calcitonin-Gen-Regulated
Peptide (CGRP) yang berperan dalam vasodilatasi, motilitas intestinal dan
nosiseptif. Menurunnya kadar NGF pada pasien neuropati diabetik, dapat
menyebabkan gangguan fungsi-fungsi tersebut.8
E. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN MANIFESTASI KLINIS
Gejala bergantung pada tipe neuropati dan saraf yang terlibat. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki sering merupakan gejala pertama. Gejala

bisa melibatkan sistem saraf sensoris, motorik atau otonom.11

Nonpainful Painful
Thick Prickling
Stiff Tingling
Asleep Knife-like
Prickling Electric shock-like
Tingling Squeezing Constricting
Hurting Burning
Freezing Throbbing
Allodynia, Hyperalgesia

Tabel.1. Gejala khas pada neuropati diabetik


Dikutip dari : Boulton AJM. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy. 2005.
Clinical Diabetes; 23:9-15.

Neuropati diabetik berdasar letak serabut saraf yang terkena lesi dibagi menjadi:
1) Neuropati Perifer
Neuropati Perifer merupakan kerusakan saraf pada lengan dan tungkai. Biasanya
terjadi terlebih dahulu pada kaki dan tungkai dibandingkan pada tangan dan lengan.
Gejala neuropati perifer meliputi:
a) Mati rasa atau tidak sensitif terhadap nyeri atau suhu
b) Perasaan kesemutan, terbakar, atau tertusuk-tusuk
c) Nyeri yang tajam atau kram
d) Terlalu sensitif terhadap tekanan bahkan tekanan ringan
e) Kehilangan keseimbangan serta koordinasi
Gejala-gejala tersebut sering bertambah parah pada malam hari. Neuropati perifer
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks, terutama pada
pergelangan kaki. Hal itu mengakibatkan perubahan cara berjalan dan perubahan
bentuk kaki, seperti hammertoes. Akibat adanya penekanan atau luka pada

14
daerah yang mengalami mati rasa, sering timbul ulkus pada kaki penderita neuropati
diabetik perifer. Jika tidak ditangani secara tepat, maka dapat terjadi infeksi yang
menyebar hingga ke tulang sehingga harus diamputasi.
2) Neuropati Autonom
Neuropati autonom adalah kerusakan pada saraf yang mengendalikan fungsi jantung,
mengatur tekanan darah dan kadar gula darah. Selain itu, neuropati autonom juga
terjadi pada organ dalam lain sehingga menyebabkan masalah pencernaan, fungsi
pernapasan, berkemih, respon seksual, dan penglihatan.
3) Neuropati Proksimal
Neuropati proksimal dapat menyebabkan rasa nyeri di paha, pinggul, pantat dan
dapat menimbulkan kelemahan pada tungkai.
4) Neuropati Fokal
Neuropati fokal dapat menyebabkan kelemahan mendadak pada satu atau
sekelompok saraf, sehingga akan terjadi kelemahan pada otot atau dapat pula
menyebabkan rasa nyeri. Saraf manapun pada bagian tubuh dapat terkena, contohnya
pada mata, otot-otot
wajah, telinga, panggul dan pinggang bawah, paha, tungkai, dan kaki. Subekti
(2009) mengelompokkan neuropati diabetik menurut perjalanan penyakitnya
menjadi:
1) Neuropati Fungsional
Neuropati ini ditandai dengan gejala yang merupakan manifestasi perubahan
kimiawi. Pada fase ini belum ditemukan kelainan patologik sehingga masih bersifat
reversible.
2) Neuropati Struktural/ Klinis
Pada fase ini gejala timbul akibat kerusakan struktural serabut saraf dan masih ada
komponen yang reversible.
3) Kematian Neuron/ Tingkat Lanjut
Kematian neuron akan menyebabkan penurunan kepadatan serabut saraf. Kerusakan
serabut saraf biasanya dimulai dari bagian distal menuju ke proksimal, sebaliknya
pada proses perbaikan dimulai dari bagian proksimal ke distal. Sehingga lesi paling
banyak ditemukan pada bagian distal, seperti pada polineuropati simetris distal. Pada
fase ini sudah bersifat irreversibel.

F. DIAGNOSIS
Anamnesis:11
1. Sensorik : rasa terbakar, ditusuk, ditikam, kesetrum, disobek, tegang,
diikat, alodinia, hiperalgesia, disestasia dapat disertai rasa baal seperti pakai
15
sarung tangan, hilang keseimbangan, kurang tangkas, asterogenesis, maupun
borok tanpa nyeri. Dan keluhan akan memberat malam hari.
2. Motorik : Gangguan koordinasi serta paresis distal atau proksimal antara lain
sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi/lantai, terjatuh, sulit bekerja atau
mengangkat lengan ke atas, ibu jari tertekuk, tersandung, kedua kaki
bertabrakan.
3. Otonom : Gangguan berkeringat, sensasi melayang pada posisi tegak, sinkope
saat BAK/batuk/kegiatan fisik. disfungsi ereksi, sulit orgasme, sulit menahan
BAB/BAK, ngompol, polakisuri, muntah, diare, konstipasi dan gangguan
pupil berupa sulit adaptasi dalam gelap dan terang.
4. Neuropati diabetika dicurigai pada pasien DM tipe 1 yang lebih dari 5 tahun
dan semua DM tipe 2.
b. Pemeriksaan fisik11
Pada inspeksi bisa dijumpai kaki diabetik, neuroartropati dan deformitas claw toe.
c. Pemeriksaan neurologi11
 Pemeriksaan motorik
 Pemeriksaan sensorik untuk melihat distribusi lesi saraf.
 Pemeriksaan otonom termasuk termasuk evaluasi hipotensi ortostatik,
nadi, tes valsava dan kelenjar keringat.
d. Pemeriksaan penunjang11
 Elektroneuromiografi
 Test sensoris kuantitatif
e. Laboratorium11
 Kadar gula darah atau tes toleransi glukosa, HBA1c.
 Laboratorium untuk menyingkirkan diagnosa banding.
Berikut adalah kriteria diagnostik neuropati, di mana diagnostik neuropati
berdasarkan adanya gejala dua atau lebih dari empat kriteria di bawah ini:11
1. Kehadiran satu atau lebih gejala.
2. Ketidakhadiran dua atau lebih reflek ankle.
3. Nilai ambang persepsi getaran/vibration abnormal.
4. Fungsi otonomik abnormal ( berkurangnya heart rate variability ( HRV),
postural hypotension dengan turunnya tekanan darah sistolik 20 mmhg atau lebih,
atau kedua-duanya.
Untuk menegakkan diagnosa neuropati diabetika, sekurang-kurangnya ada dua
abnormlitas dari lima pemeriksaan yaitu : gejala, tanda klinis, elektrofisiologis
( kecepatan hantaran saraf), quantitative sensory testing ( QST ), dan quantitative
autonomic testing ( QAT ).12

16
Selain itu juga, penegakkan neuropati diabetika dapat ditegakkan berdasarkan
konsensus San Antonio. Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa
harus ada 1 dari 5 kriteria yakni : (1) Symptom scoring, (2) Physical examination
scoring, (3) Quantitative Sensory Testing, (4) Cardiovascular Autonomic Function
Testing (c AFT ), (5) Electrodiagnostic studies ( EDS).
Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination scoring yang telah
terbukti memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi untuk mendiagnosis neuropati
atau polineuropati diabetika adalah skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS)
dan skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE).

Diabetic Neuropathy Examination (DNE)12


Alat ini mempunyai sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas sebesar 51%. Skor
Diabetic Neuropathy Examination (DNE) adalah sebuah sistem skor untuk
mendiagnosa polineuropati distal pada diabetes melitus. DNE adalah sistem skor
yang sensitif dan telah divalidasi dengan baik dan dapat dilakukan secara cepat
dan mudah di praktek klinik. Skor DNE terdiri dari 8 item, yaitu:
A) Kekuatan otot:
1. quadrisep femoris (ekstensi sendi lutut);
2. tibialis anterior (dorsofleksi kaki).

B) Relfeks:
1. trisep surae/ tendo achiles.
C) Sensibilitas jari telunjuk:
1. sensitivitas terhadap tusukan jarum.
D) Sensibilitas ibu jari kaki:
1. sensitivitas terhadap tusukan jarum;
2. sensitivitas terhadap sentuhan;
3. persepsi getar ; dan
4. sensitivitas terhadap posisi sendi.
Skor 0 adalah normal;
skor 1: defisit ringan atau sedang ( kekuatan otot 3-4, refleks dan sensitivitas

17
menurun);
skor 2: defisit berat (kekuatan otot 0-2, refleks dari sensitivitas negatif/ tidak ada).
Nilai maksimal dari 4 macam pemeriksaan tersebut diatas adalah 16. Sedangkan
kriteria diagnostik untuk neuropati bila nilai > 3 dari 16 nilai tersebut.
Telah dilakukan penelitian mengenai tingkat penentuan diagnosis klinik neuropati
diabetika antara 2 dokter pemeriksa dengan menggunakan DNE score yang telah
diterjemahkan oleh dua orang dokter, telah dihasilkan kesepakatan kappa berkisar
antara 0,5 - 1,00.
Tujuh item dari sub pemeriksaan menunjukkan nilai kappa untuk diagnosis
neuropati adalah 0,6. Menurut Landis dan Koch , bahwa kesepakatan baik apabila
nilai kappa 0,6 atau lebih, nilai kesepakan rendah diantara dua pemeriksa yaitu
pada pemeriksaan sensitifitas ibu jari terhadap tususkan jarum (Kappa 0,52).
Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut adalah pengalaman dan
pengetahuan tentang DNE score , atau akibat suasana dan lingkungan pemeriksan
yang kurang mendukung, kesabaran pemeriksa dan yang diperiksa. Hasil
kesepakatan tersebut dapat disimpulkan bahwa DNE score dapat digunakan
didalam klinis untuk menentukan diagnosis klinis neuropati diabetika.

Diabetic Neuropathy Symptom (DNS)12

Skor DNS

Skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan 4 point yang bernilai


untuk skor gejala, dengan prediksi nilai yang tinggi untuk menyaring
polineuropati pada diabetes. Gejala jalan tidak stabil, nyeri neuropatik, parastesi
atau rasa tebal. Satu gejala dinilai skor 1, maksimum skor 4. Skor 1 atau lebih
diterjemahkan sebagai positif polineuropati diabetik.
Meijer dkk tahun 2002 menyimpulkan bahwa skor DNS dapat digunakan untuk
diagnosis klinis polineuropati diabetika yang mudah dilakukan dalam praktek
klinis , tetapi harus dikombinasikan dengan metode lain.
Asad dkk tahun 2010, dalam uji reabilitas neurologikal skor untuk assessment
neuropati sensorimotor pada pasien DM tipe 2 mendapatkan skor DNS

18
mempunyai sensitivitas 64,41% dan spesifitas 80,95 % dan menyimpulkan bahwa
dalam semua skor, DNE yang paling sensitif dan DNS adalah paling spesifik.
Asad dkk tahun 2009 dalam penelitian tentang Perbandingan studi konduksi saraf
dengan skor DNE dan DNS pada neuropati diabetes tipe-2 menyimpulkan bahwa
Skor DNE dan Skor DNS dapat di gunakan untuk deteksi neuropati diabetika.

G. PENATALAKSANAAN
Prinsip dalam penatalaksanaan nyeri
Seringkali penderita neuropati pada diabetes tidak mendapatkan terapi, dengan
prevalensi sebanyak 39%.13 Pada dasarnya, terapi neuropati pada diabetes meliputi
terapi farmakologis dan non farmakologis. Prinsip terapi yang harus diperhatikan
yakni bukan hanya efektivitas, tetapi juga efikasi, akses terhadap obat tersebut dan
harga obat.12

Gambar 2.1 Prinsip dasar dalam terapi neuropat pada diabetes (Troels et al., 2006).
Menurut NHS (2010), terapi lini pertama yang dapat digunakan untuk manajemen pada
neuropati yakni:12

19
1. Penggunaan amitriptyline atau pregabalin merupakan pengobatan lini pertama bagi
penderita neuropati diabetes yang menyakitkan. Untuk amitriptilin, dosisnya mulai dari
10 mg per hari, dengan bertahap ke atas titrasi dengan dosis efektif yang maksimal dan
ditoleransi pasien. Dosis tidak boleh lebih tinggi dari 75mg per hari (dosis tinggi bisa
dipertimbangkan dalam konsultasi dengan layanan spesialis nyeri).
2. Penggunaan pregabalin: mulai dari 150 mg per hari (dibagi menjadi dua dosis) dengan
atas titrasi dengan dosis efektif atau dosis yang ditoleransi. Dosis tidak lebih tinggi dari
600 mg per hari (dibagi menjadi dua dosis).
3. Untuk orang dengan neuropati diabetes yang menyakitkan, duloxetine juga merupakan
pengobatan lini pertama. Jika duloxetine merupakan kontraindikasi, maka dapat
digunakan amitriptyline. Untuk duloxetine: mulai dari 60 mg per hari dengan titrasi atas
ke efektif dosis atau maksimum dosis yang ditoleransi. Dosis tidak boleh lebih tinggi dari
120 mg
per hari.
4. Berdasarkan evaluasi klinis awal dan teratur: Perlu dilihat apakah ada perbaikan yang
memuaskan sehingga didapatkan keputusan untuk meneruskan pengobatan, secara
bertahap mengurangi dosis dari waktu ke waktu jika ada perbaikan yang kontinyu.

Menurut NHS (2010), apabila tidak tercapai manajemen nyeri dengan terapi lini pertama,
maka dapat dipertimbangkan penggantian obat setelah pemberian consent pada pasien,
yakni:
1. Jika lini pertama terapi menggunakan amitriptilin, maka terapi dirubah ke pregabalin
2. Jika terapi pertama menggunakan pregabalin,ganti atau kombinasikan dengan
mitriptilin oral
3. Jika terapi pertama menggunakan duloxetine, ganti dengan amitriptilin atau pregabalin
atau kombinasikan dengan pregabalin.

Menurut NHS (2010), apabila terapi untuk mengurangi nyeri tidak dicapai dengan terapi
lini kedua, maka perlu dilakukan rujukan pada spesialisasi penanganan nyeri pada center
yang khusus. Dalam proses menunggu rujukan, tramadol oral merupakan pertimbangan

20
yang bagus untuk manajemen sementara, dapat ditammbahkan lidokain topical pada
bagian yang nyeri yang terlokalisasi ataupun yang tidak bisa meminum obat oral.
1. Penggunaan tramadol sebagai monoterapi dimulai dari 50-100mg tidak lebih dari 4
jam. Dengan dosis maksimal 400mg per hari.
2. Dilarang menggunakan opioid (morfin, oxycodone) untuk terapi tanpa assessment dari
spesialis manajemen nyeri

Deskripsi Obat
1. Antikonvulsan
Beberapa jenis antikonvulsan direkomendasikan untuk terapi pada neuropati di diabetes
dan telah dibuktikan efektivitasnya dan keamanannya. Terapi lini pertama yang
dianjurkan yakni dengan menggunakan pregabalin sebagai agen lini pertama karena
efektivitasnya dalam mengurangi rasa nyeri pada pasien, kemampuannya dalam
meningkatkan kualitas kehidupan dan mengurangi gangguan tidur.12 Rekomendasi ini
telah mendapatkan evidens level A. Sedangkan untuk rekomendasi dengan evidens level
B dapat digunakan gabapentin sebagai salah satu terapi yang lebih terjangkau dan mudah
didapatkan. Dimana pregabalin sendiri tidak menyebar ke semua negara sehingga susah
untuk didapatkan. Efek samping dari pregabalin yakni sedasi, bingung, konstipasi, pusing
dan kenaikan berat badan.13 Sedangkan efek samping gabapentin yakni pusing, somnolen,
mulut kering dan lelah pada tubuh.14
2. Antidepresan
Antidepresan merupakan salah satu rekomendasi dengan level evidens B sebagai terapi
pada neuropati diabetes. Amitriptyline sebagai triyclic antidepresan (TCA) merupakan
obat yang menjadi lini pertama dengan efektivitas dan harga yang lebih terjangkau.
Selain itu, beberapa Negara telah memproduksi amitriptyline sebagai obat generik yang
tersebar dan mudah didapat. Amitriptyline dapat dikombinasikan dengan pregabalin
untuk meningkatkan efikasinya, namun tidak boleh dikombinasikan dengan duloxetine
karena mampu meningkatkan efek toksisitasnya dalam mengakibatkan sindrom
serotonin.13 Efek samping yang sering didapatkan yakni bibir kering dan somnolen.14
Terapi antidepresan lain seperti venlafaxine dan duloxetine merupakan serotonin
norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs). Duloxetine memiliki onset yang cepat dan

21
efektif untuk digunakan pada nyeri yang muncul di malam hari dengan perbaikan gejala
seminggu setelah terapi. Efek sampingnya yakni mual, somnolen, pusing, penurunan
nafsu makan dan bibir kering. Venaflaxine sebagai pilihan lain untuk dikombinasikan
dengan pregabalin untuk meningkatkan efektivitas pada terapi.13 Efek sampingnya yakni
mual dan somnolen. Meskipun demikian, tidak ada rekomendasi lebih baik penggunaan
duloxetine dan venaflaxine karena kurangnya evidence based medicine research dalam
pemakaian obat tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SNRIs lebih
ditoleransi dibandingkan
dengan TCA dengan reaksi antar obat yang lebih rendah.13
3. Opioids dan obat Opioid-Like
Opioid merupakan salah satu pilihan untuk terapi neuropati, namun penggunaan jangka
panjang dapat meningkatkan toleransi sekaligus berpotensi mengakibatkan
ketergantungan.12 Opioid juga digunakan untuk pasien yang telah tidak memiliki respon
terhadap terapi lain.12 Dextromethorphan, morphine sulfate, oxycodone dan tramadol
terbukti mampu menurunkan nyeri pada neuropati diabetes sebanyak 27%. Tramadol
merupakan pilihan dengan resiko ketergantungan yang rendah namun tidak boleh
digunakan pada pasien epilepsy.12,14
4. Agen Topikal
Menurut AAN (2012), evidence based dengan menggunakan kapsaicin topical mampu
menurunkan rasa nyeri pada neuropati diabetes dengan evidens kelas I dan II.12,13 Efek
samping yang diakibatkan yakni sensasi seperti terbakar pada saat kontak dengan air
hangat atau panas. Terapi menggunakan krim lidokain juga dapat digunakan untuk terapi
neuropati pada diabetes dengan evidens kelas III.
5. Terapi Kombinasi
Pada terapi neuropati diabetes, seringkali antara satu pasien dengan pasien lain memiliki
respon yang berbeda-beda terhadap terapi yang diberikan. Bisa jadi pasien tidak memiliki
perbaikan gejala dengan pemberian agen single.14 Oleh karena itu, kombinasi merupakan
salah satu pilihan yang baik untuk terapi pada neuropati diabetes. Salah satu rekomendasi
yang dianjurkan yakni kombinasi antara penggunaan agen topikal diikuti dengan terapi
oral.13,14 Selain itu, dapat digunakan terapi dengan kombinasi dari obat neuropati diabetes
dengan dua mekanisme yang berbeda seperti penggunaan gabapentin dan morfin sulfat

22
yang mampu meningkatkan absorbs gabapentin dan menurunkan eliminasinya. Namun
perlu diperhatikan untuk penggunaan pada pasien dengan komorbiditas lainnya dengan
obat statins, beta blockers, sulfonylureas, levothyroxine, warfarin and loop diuretics.13,14
H. PROGN
OSIS
Tipe diabetes mellitus yang diderita akan mempengaruhi prognosis neuropati
diabetikum. Pada diabetes mellitus tipe 2 prognosis lebih baik daripada tipe 1.
Kematian lebih tinggi terjadi pada orang dengan cardiovascular autonomic
neuropathy (CAN). Angka kematian keseluruhan selama periode 10 tahun adalah
27% pada pasien dengan DM dan terdeteksi CAN, dibandingkan dengan 5% yang
bukan CAN. Morbiditas disebabkan oleh ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah.
Sakit parah, pusing, diare, impotensi merupakan gejala umum yang menurunkan
kualitas hidup pasien DM. pada pasien diabetes dengan neuropati perifer memiliki
prognosis yang baik, tetapi kualitas hidup pasien berkurang.15

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjahrir, H. Diabetic neuropathy: the pathoneurobiology & treatment update. Medan:


USU Press; 2006.

2. Tandra, H. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama; 2007. h: 35-6.

3. Soewondo. 2010. Patogenesis Neuropati Diabetik : Kelainan Vaskular. Dalam: Sudoyono A


W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

4. Malazy O T, Tehrani MR, Madani SP, Heshmar R, Larijani B. The prevalence of diabetic
peripheral neuropathy and related factors. Iranian J Publ Health. 2011:40(3). Diunduh dari
https://www.researchgate.net/publication/232742831_The_Prevalence_of_Diabetic_Periph
eral_Neuropathy_and_R elated_Factors pada tanggal 14 Desember 2019.

5. Janahi, Callaghan, B.C., Little, A.A., Feldman, .E.L., Hughes, .R.A. Enhanced glucose
control for preventing and treating diabetic neuropathy. Cochrane Database Syst Rev.
Medscape Medical News. 2015.

6. Puslitbang. Riset Kesehatan Daerah 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.

7. Quan D. diabetic neuropathy. 2019. Diunduh dari


https://emedicine.medscape.com/article/1170337-overview pada tanggal 14 Desember
2019.

8. Subekti, I. Tetap Sehat Dengan Diabetes Mellitus. Dalam: Pradana Soewondo, editor:
Hidup Sehat Dengan Diabetes. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.

9. Kawano T. A Current Overview of Diabetic Neuropathy Mechanisms, Symptoms,


Diagnosis, and Treatment. InTech, 2014. p.89.

10. Prasetyo, G.A. Lama Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Sebagai Faktor Risiko Nyeri
Neuropati Diabetik. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2011.

11. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI. Diagnostik dan penatalaksanaan nyeri neuropatik.
Dalam : Suryamiharja, A., Purwata, T. E., Suharjanti, I., Yudianto. Penyunting Konsensus
Nasional 1 dari Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair,
Surabaya; 2011.

12. Bril V, et al. Evidence-based guideline: Treatment of painful diabetic neuropathy: report of
the American Academy of Neurology, the American Association of Neuromuscular and
Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and
Rehabilitation. Toronto: University Health Network, University of Toronto; 2011.
24
13. Lindsay, Tammy J. et al. Treating Diabetic Peripheral Neurophatic Pain. American Family
Physician. 2011: 82 (2): pp 151-158
14. Argoff, C.E., Cole,B.E., Fishbain, D.A., & Irving, G. A. No TitlDiabetic peripheral
neuropathy pain : Clinical and quality of life issue. Mayo Clinic Proceeding, 2006:81(4),
53.
15. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe
2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2011.

25

Anda mungkin juga menyukai