Anda di halaman 1dari 67

CASE

SPINAL CORD COMPRESSION

Dosen Pembimbing
dr. Dini Andriani, Sp.S

Disusun Oleh

Veneranda Venny Grishela – 11.2016.170

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha Depok
Periode 01 Januari 2018 - 03 Februari 2018

1
BAB I

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta-Barat.

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

SMF PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA

Nama : Veneranda Venny Grishela Tanda Tangan

NIM : 11-2016-170

………………

Dr. Pembimbing : Dr. Dini Ardiani, Sp.S

………………

I. IDENTITAS PASIEN

Diambil secara : Autoanamnesa

Nama : Ny. S
Umur : 51 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Sudah menikah

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jalan RRI no. 27 RT/RW 02/04 Depok

Dikirim oleh :-

No. CM : 00371497

Dirawat di ruang : -

Tanggal anamnesis: 10 Januari 2018 jam 09.12 WIB

PASIEN DATANG KE RS :

Sendiri / tidak bisa jalan / dengan alat bantu brangkar. Dibawa oleh keluarganya.

II. SUBYEKTIF

Anamnesis

Secara autoanamnesis.

1. Keluhan Utama : Nyeri pinggang sejak 2 bulan SMRS


2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 bulan SMRS, pasien mengeluh nyeri pinggang. Nyeri dirasakan pada
pinggang sebelah kiri. Nyeri pinggang hilang timbul dengan rasa nyeri seperti diiris-iris
dan ditusuk-tusuk. Nyeri menjalar ke punggung belakang, bokong, paha dan lutut sebelah
kiri. Nyeri pinggang dirasakan bertambah berat jika pasien duduk dan berjalan sehingga
membuat pasien sulit untuk duduk dan berjalan. Nyeri tidak bertambah berat dengan
keadaan batuk, bersin, mengangkat berat maupun mengejan. Pasien mengaku nyeri
pinggang terasa berkurang saat pasien berbaring dan tidak melakukan aktivitas apapun.

3
Pasien juga mengeluh kaki sebelah kiri terasa lemah, mudah capek dan kesemutan
namun tidak mati rasa sehingga saat berjalan pasien cenderung melempar kaki sebelah
kiri dan memerlukan tongkat saat berjalan.

Buang air besar tidak ada keluhan. Buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien
mengaku tidak ada penurunan berat badan drastis akhir-akhir ini. Tidak ada demam.

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat DM :-
Riwayat hipertensi :-
Riwayat penyakit jantung :-
Riwayat vertigo :-
Riwayat neoplasia :-
4. Riwayat Penyakit Dahulu
DM :-
Penyakit Jantung :-
Trauma :-
Kejang :-
Hipertensi :-
Osteoarthritis :
Pasien memiliki riwayat OA sejak tahun 2007. Pasien mengeluh lutut kiri terasa nyeri,
bengkak dan berbunyi saat sedang berjalan. Pasien sering kontrol dan rajin meminum
obat dari dokter umum. Salah satu nama obat yang pasien ingat adalah metil prednisolon.
5. Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi
Pasien bekerja sebagai pedagang. Sehingga pasien memiliki kebiasaan mengangkat
barang-barang berat setiap hari.

III. OBYEKTIF

. Status Presens

 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


 Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5=15
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
4
 Nadi : 90 x/menit, regular, kuat angkat
 Suhu : 36.5 °c
 Pernapasan : 20 x/menit
 Kepala : Normocephali, simetris
 Mata : Edema palpebra -/-, CA -/-, SI -/-
Pupil bulat isokor 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+

 Leher : Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


 Dada : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal baik statis maupun
dinamis
 Jantung : BJ I-II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
 Paru : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Perut : Supel, bising usus (+), nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran
hepar dan lien
 Ekstremitas : Akral hangat (-/-), edema (-/-)
 Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

2. Status Psikikus

 Cara berpikir : Baik


 Perasaan hati : Eutim
 Tingkah laku : Wajar, pasien sadar
 Ingatan : Baik
 Kemampuan bicara : Sesuai usia dan pendidikan

3. Status Neurologikus

 Kepala
1. Bentuk : Normocephali
2. Nyeri tekan : Tidak ada
3. Simetris : Kanan dan kiri simetris

5
4. Pulsasi : Tidak teraba
 Leher
1. Sikap : Baik
2. Pergerakan : Normal
3. Kaku kuduk : (-)
4. Brudzinski : (-)
5. Laseque : >70o / >70o
6. Kernig : >135o/ >135o

 Urat Syaraf Kepala


N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri

Subjektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N II. (Optikus)

Tajam penglihatan 1/6 bedside 1/6 bedside

Lapangan penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N III. (Okulomotorius)

Celah mata Baik Baik

Pergerakan bola mata Baik Baik

Strabismus (-) (-)

Nistagmus (-) (-)

Eksoftalmus (-) (-)

6
Pupil

Besar pupil Isokor Isokor

Bentuk pupil Bulat Bulat

Reflex terhadap sinar (+) (+)

Reflex konversi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Reflex konsensual (+) (+)

Diplopia (-) (-)

N IV. (Troklearis)

Pergerakan mata Baik Baik

( kebawah-dalam )

Strabismus (-) (-)

Diplopia (-) (-)

N V. (Trigeminus)

Membuka mulut (+) (+)

Mengunyah (+) (+)

Menggigit Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Reflex kornea (+) (+)

Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N VI. (Abduscens)

Pergerakan mata ke lateral Baik Baik

Sikap bulbus Baik Baik

Diplopia (-) (-)

7
N VII. (Fascialis)

Mengerutkan dahi (+) (+)

Menutup mata (+) (+)

Memperlihatkan gigi (+) (+)

Menggembungkan pipi (+) (+)

Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan


depan

Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan

NVIII.
(Vestibulokoklear)

Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Suara berisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N IX. (Glossofaringeus)

Perasaan bagian lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan


belakang

Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N X. (Vagus)

Arcus pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Bicara Bisa Bisa

Menelan Bisa Bisa

8
Nadi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N XI. (Asesorius)

Mengangkat bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Memalingkan kepala Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N XII. (Hypoglossus)

Pergerakan lidah Baik, tidak ada deviasi Baik, tidak ada deviasi

Tremor lidah (-) (-)

Artikulasi Baik Baik

 Badan dan Anggota Gerak


1. Badan
a. Motorik
 Respirasi : Simetris saat statis maupun
dinamis

 Duduk : Masih dapat dilakukan tetapi perlahan


 Bentuk Kolumna Vertebralis : Baik, sedikit membungkuk
 Pergerakan Kolumna Vertebralis: Kaku
 Patrick sign : -/-
 Kontra-Patrick sign : -/-
 Tes presipitat keringat : fungsi berkeringat masih baik

b. Sensibilitas
Kanan Kiri

Taktil Sulit dilakukan Sulit dilakukan

Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

9
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

c. Refleks
Refleks kulit perut atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kulit perut bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kulit perut tengah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2. Anggota gerak atas

(a) Motorik

Kanan Kiri

Pergerakan Baik Baik

Kekuatan 5-5-5-5 5-5-5-5

Tonus Normotonus Normotonus

Atrofi - -

(b) Sensibilitas

Kanan Kiri

Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

10
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

(c) Refleks

Kanan Kiri

Biceps ++ ++

Triceps ++ ++

Radius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ulna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hoffman-Trommer - -

3. Anggota gerak bawah

(a) Motorik

Kanan Kiri

Pergerakan Baik Baik

Kekuatan 5-5-5-5 4-4-4-4

Tonus Normotonus Normotonus

Atrofi - -

(b) Sensibilitas

Kanan Kiri

11
Taktil Sulit dilakukan Sulit dilakukan

Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

(c) Refleks

Kanan Kiri

Patella ++ +

Achilles ++ +

Babinski - -

Chaddock - -

Schaefer - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Klonus - -

4. Koordinasi, gait dan keseimbangan


Cara berjalan Tidak dilakukan

Tes Romberg Tidak dilakukan

Disdiadokokinesia Tidak dilakukan

Ataksia Tidak dilakukan

12
Rebound phenomenon Tidak dilakukan

Dismetria Tidak dilakukan

5. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor Negatif

Miokloni Negatif

Khorea Negatif

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan MRI Lumbosakral tanpa kontras intravena, tanggal 08 Januari 2018 jam
18:59 WIB

13
14
15
Deskripsi :

 Tampak pergeseran corpus vertebra L4 ke anterior sebesar < 25% diameter AP terhadap
corpus vertebra L5.
 Tulang-tulang terlihat masih baik, tidak tampak fraktur/destruksi.
 Tampak lesi padat berbentuk bulat batas tegas yang hipotens pada sekuen FS dibone
marrow corpus vertebra L1 dan L4.
 Tampak spur formation di endplate margin L4, L5 dan S1. Tampak degenerasi dan
hipertrofi intervertebral joint L3-4, L4-5 dan L5-S1 kanan kiri. Tampak iregularitas
endplate L5-S1.
16
 Diskus L1-2 : dalam batas normal, tidak tampak stenosis kanalis/foraminal.
 Diskus L2-3 : dalam batas normal, tidak tampak stenosis kanalis/foraminal.
 Diskus L3-4 : intensitas menurun heterogen sesuai dengan Pfirrmann grade 3,tampak
bulging yang menekan ringan dural sac dan menyempitkan foramen neuralis kanan kiri.
 Diskus L4-5 : intensitas menurun heterogen sesuai dengan Pfirrmann grade 3,tampak
bulging yang menyebabkan canalis dan penyempitan foramen neuralis kanan kiri.
 Diskus L5-S1 : intensitas menurun heterogen sesuai dengan Pfirrmann grade 3,tampak
bulging yang menekan ringan dural sac dan menyempitkan foramen neuralis kanan kiri.
 Medulla spinalis tidak memperlihatkan abnormalitas. Conus pada level L1. Jaringan
lunak paravertebra tidak menemal.

V. RINGKASAN

Subyektif

Seorang perempuan berusia 51 tahun datang ke Poliklinik Saraf RS Bakti Yudha dengan
keluhan nyeri pinggang. Nyeri menjalar sampai ke punggung, bokong, paha, dan kaki
sebelah kiri. Kaki sebelah kiri terasa lemah, mudah capek, kesemutan, dan saat berjalan
pasien cenderung melempar kaki sebelah kiri dan memerlukan tongkat saat berjalan.
Tidak ada keluhan buang air besar dan buang air kecil. Riwayat mengangkat barang (+),
pemakaian obat steroid jangka lama (+), berat badan menurun drastis (-) dan riwayat
keganasan pada keluarga (-).

Obyektif

 Keadaan umum : Tampak sakit ringan


 Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5=15
 TTV :
Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit, regular, kuat angkat

Suhu : 36.5 °c
17
Pernapasan : 20 x/menit

 Hasil pemeriksaan fisik :


Patrick -/-

Kontrapatrick -/-

Motorik:

5555 5555

5555 4444
Releks fisiologis

++ +

++ +

Refleks patologis

- -

- -

 Hasil MRI tanpa kontras :


o Spondyloartrosis lumbalis dengan degenarative disc disease
o Spondylolisthesis L4 grade 1 dan bulging diskus intervertebralis L4-5 yang
menyebabkan canal stenosis
o Bulging diskus intervertebralis L3-4 dan L5-S1 yang menekan dural sac dan
menyempitkan foramen neuralis kanan kiri.

VI. DIAGNOSIS

Diagnosa Klinik : Paraparesis ekstremitas kiri bawah, refleks patella

menurun, refleks achilles menurun,

18
Diagnosa Topik : Lesi radix saraf segmen L3-L4 dan L5-S1

Diagnosa Etiologik : Trauma dan degenerative

Diagnosa Patologik : Kompresi

VII. TATALAKSANA

Medikamentosa
 Sinkronik 3 x 1
 Metil prednisolon
 Pregabalin 75 mg 0-0-1

Non-medikamentosa

 Diet gizi seimbang, dengan nutrisi yang cukup


 Menyarankan pelaksanaan fisioterapi kepada pasien untuk memulihkan rasa nyeri yang
dirasakan sekaligus membantu pasien mengembalikan fungsi berjalan dan pergerakan
tulang belakangnya
 Motivasi pasien untuk menggunakan korset yang meliputi daerah torakal hingga daerah
lumbosakral
 Melatih pasien cara-cara duduk yang baik, berdiri dari posisi duduk, mengambil barang
di lantai yang benar agar tidak menimbulkan cedera pada susunan tulang belakang
pasien
 Menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien untuk melakukan kompres
hangat manakala nyeri timbul secara mendadak, dengan tujuan relaksasi
 Menyarankan pasien untuk tidak berbaring di alas yang keras
VIII. PROGNOSIS

Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Medula Spinalis
Medula Spinalis merupakan struktur putih keabu-abuan yang pada bagian atas mulai pada
foramen magnum cranium dimana medulla spinalis berlanjut dengan medulla oblongata otak.
Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada bagian inferior setingkat dengan batas bawah
vertebra lumbal pertama. Pada anak yang masih muda secara relative panjang serta berakhir pada
batas atas vertebra lumbal ketiga. Medula spinalis terletak dalam canalis vertebralis columna
vertebralis serta dikelilingi oleh tiga meningen yaitu duramater, arachnoidmater dan piamater.
Proteksi selanjutnya diberikan oleh cairan serebrospinal yang mengelilingi medulla spinalis
dalam ruang subarachnoid.1
Pada daerah servikal, dimana bermula pleksus brakhialis, serta pada daerah torakal
bagian bawah dan lumbal, di mana bermula pleksus lumbrosakralis, terdapat perbesaran servikal
dan lumbal. Pada garis tengah bagian anterior, medulla spinalis memiliki suatu fissure
longitudinal yang memanjang, fissura mediana anterior serta pada bagian posterior, suatu alur
yang dangkal , sulcus mediana posterior.1
Disepanjang sisi seluruh medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radiks
motoric atau anterior serta radiks sensorik atau posterior. Setiap radiks melekat pada medulla
spinalis melalui suatu seri radiks-radiks kecil yang membentang disepanjang segmen medulla
spinalis yang terkait. Masing-masing radiks saraf posterior memiliki ganglion radiks posterior,
sel-selnya memberikan serabut saraf tepi dan sentral.1

Struktur Medula Spinalis


Medula spinalis terdiri dari inti bagian dalam berupa substansi grisea, yang dikelilingi
oleh pembungkus luar subtansia alba; tidak terdapat indikasi bahwa medulla spinalis bersegmen-
segmen.1

Substansia Grisea
Pada potongan melintang, substansia grisea terlihat sebagai pilar berbentuk huruf H
dengan colmuna grisea anterior dan posterior atau cornu, dipersatukan oleh suatu commissura

20
grisea tipis yang mengandung canalis centralis yang kecil. Suatu columna atau cornu grisea
lateralis ditemukan pada segmen-segmen torakal dan lumbal bagian atas medulla spinalis.
Jumlah substansia grisea yang ditemukan pada setiap tingkat medulla spinalis berkaitan dengan
jumlah otot yang disarafi pada tingkat ini. Karena itu, ukuran medulla spinalis terbesar pada
perbesaran servikal dan lumbosacral yang masing-masig mensarafi otot anggota gerak bagian
atas dan bawah.

Struktur Substansia Grisea


Seperti pada bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya substansia grisea medulla spinalis
terdiri dari campuran sel-sel saraf dan prosesusnya, neuroglia dan pembuluh darah. Sel-sel saraf
multipolar serta neuroglia membentuk suatu jaringan yang rumit disekeliling badan sel saraf dan
neurit-neuritnya.1

Kelompok sel saraf pada Columna Grisea Anterior


Sebagian besar sel-sel saraf besar dan multipolar, serta aksongnya melintas keluar dari
dalam radiks anterior saraf spinal sebagai eferen alpa, yang mensarafi otot-otot skelet. Sel-sel
saraf lebih kecil juga multipolar dan akson-aksong dari beberapa sel ini melintas keluar dari
dalan radiks anterior gamma, yang mensarafi serabut otot intrafusal spindle neuromuskuler.
Komponen sel saraf medial terdapat pada hampir semua segmen medula spinalis dan
berperan dalam menginervasi otot skelet pada leher dan batang tubuh, termasuk interkostal dan
otot-otot abdomen.1
Komponen sel saraf sentral merupakan yang paling kecil dan hanya ditemukan pada
beberapa segmen servikal dan lumbosakral. Pada bagian servikal, beberapa dari sel saraf ini
(segmen C3-5) secara spesifik menginervasi diafragma dan kemudian disebut sebagai nukleus
phrenikus. Pada segmen atas sekitar servikal lima atau enam, beberapa sel saraf menginervasi
otot sternokleidomastoideus dan trapezius dan kemudian disebut sebagai nukleus asesorius.
Akson dari sel-sel ini membentuk bagian spinal dari nervus asesorius. Nukleus lumbosakralis
terdapat pada segmen lumbar ke dua hingga segmen sakral pertama dan distribusi akson sel-sel
saraf ini masih belum diketahui.1

21
Komponen sel saraf lateral dapat ditemukan pada segmen-segmen servikal dan
lumbosakral medulla spinalis dan bertanggung jawab untuk memrpersarafi otot-otot anggota
gerak.

Sel-sel Saraf pada Kornu Posterior


Terdapat empat kelompok sel-sel saraf pada substansia grisea kornu posterior: dua yang
memanjang sepanjang medula spinalis, dan dua buah lainnya yang terbatas hanya pada segmen
torakal dan lumbal.1
Substansia gelatinosa terletak pada apeks kornu posterior sepanjang medula spinalis.
Hampir secara keseluruhan kelompok substansia gelatinosa disusun oleh neuron Golgi tipe II dan
menerima serat aferen yang berhubungan dengan nyeri, suhu, dan sentuhan dari akar saraf
dorsal. Kelompok saraf ini menerima input oleh descending fibers pada level supraspinal. Telah
dipercaya bahwa input sensasi terhadap rasa nyeri dan suhu dapat dimodifikasi dengan informasi
eksitatorik atau inhibitorik melalui input sensorik lainnya dan dengan informasi yang diberikan
oleh korteks serebri.1
Nukleus proprius merupakan kelompok sel-sel saraf yang berukuran besar yang terletak
anterior terhadap substansia gelatinosa di sepanjang medula spinalis. Nukleus ini mengambil
porsi terbanyak yang terdapat pada kornu posterior dan mendapat serat saraf dari kolumna
substansia alba posterior yang berhubungan dengan sensasi posisi dan gerakan (propriosepsi),
two-point discrimination, dan getaran.1
Nukleus dorsalis (Clarke’s column) merupakan kelompok sel saraf yang terdapat di
dasar kornu posterior dan memanjang dari segman servikal ke delapan ke kaudal hingga segmen
lumbal ke tiga atau ke empat. Kebanyakan sel berukuran besar dan berhubungan dengan
proprioceptive endings (neuromuscular spindles dan tendon spindles).1
Visceral afferent nucleus merupakan kelompok sel-sel saraf berukuran sedang yang
terdapat lateral dari nukleus dorsalis, memanjang dari segmen torakal pertama hingga segmen
lumbal ketiga. Telah dipercaya bahwa nukleus ini berfungsi sebagai penerima informasi aferen
yang berasal dari viscera aferen.1

Gray Commisure dan Kanalis Sentralis

22
Pada potongan transversal medula spinalis, kornu anterior dan posterior pada masing-
masing sisi dihubungkan oleh gray commisure secara transversal; sehingga substansia grisea ini
membentuk huruf H. Di tengah-tengah dari komisura grisea terdapat kanalis sentralis. Bagian
dari komisura grisea yang terletak posterior terhadap kanalis sentralis disebut sebagai komisura
grisea posterior, dan yang terletak anterior terhadap kanalis sentrais disebut sebagai komisura
grisea anterior.1
Kanalis sentralis terdapat sepanjang medula spinalis. Pada bagian superiornya kanalis
sentralis berlanjut hingga setengah kaudal medula oblongata, dan di atasnya membuka ke dalam
ventrikel keempat.1
Pada bagian inferior di dalam konus medularis, kanalis sentralis meluas ke dalam
ventrikel terminalis dan berakhir di dalam akar filum terminale. Kanalis sentralis terisi oleh
cairan serebrospinal dan dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang disebut sebagai sel ependim.
Maka dapat disimpulkan bahwa kanalis sentralis tertutup pada bagian inferior dan membuka
pada bagian superior pada ventrikel keempat.1

Substansia Alba
Untuk keperluan deskripsi, maka substansia grise dapat dibedakan menjadi columna atau
funiculus anterior, lateralis, dan posterior. Columna anterior pada setiap sisi diantara garis tengah
serta titik timbulnya radiks saraf anterior; columna lateralis terletak diantara timbulnya radiks
saraf anterior dan masuknya radiks saraf posterior; columna posterior terletak diantara tempat
masuknya radiks saraf posterior dan garis tengah.1

Struktur Substansia Alba


Seperti pada daerah lain susunan saraf pusat, substansia alba medulla spinalis terdiri dari
campuran serabut-serabut saraf, neuroglia, dan pembuluh-pembuluh darah. Substansia alba
mengelilingi substansia grisea dan warnanya yang putih disebabkan oleh proporsi yang besar
dari serabut saraf bermielin.1

Traktus-traktus Medula Spinalis


Ascending Tracts
Gambaran Umum

23
Saat memasuki medula spinalis, serabut saraf sensorik dengan berbagai ukuran dan
fungsi yang berbeda terkumpul menjadi nerve bundles atau traktus pada substansia alba.
Beberapa dari serat saraf berfungsi sebagai penghubung antar segmen yang berbeda pada medula
spinalis, dan lainnya naik dari medula spinalis menuju pusat tertinggi yang artinya
menghubungkan medula spinalis dengan otak. Kumpulan serat saraf yang menaiki medula
spinalis ini disebut sebagai ascending tracts.1
Traktus asendens mengkonduksikan informasi aferen, yang dapat atau tidak dapat
disadari. Informasi yang diberikan dapat dibagi menjadi dua kelompok utama: (1) informasi
eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh seperti nyeri, suhu, dan sentuhan, dan (2) informasi
proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, seperti otot dan sendi.1

Organisasi Anatomik
Informasi umum yang berasal dari ujung saraf perifer dikonduksikan oleh sistem sarag
melalui berbagai seri neuron-neuron. Jaras asendens hingga dapat disadari oleh otak terdiri dari
tiga orde neuron. Neuron orde pertama, memiliki badan selnya pada ganglion dorsalis saraf
spinal. Di bagian perifer berhubungan dengan reseptor ujung saraf, dan di bagian sentral
memasuki medula spinalis melalui kornu dorsalis dan bersinaps pada neuron orde kedua.
Neuron orde kedua mengeluarkan akson yang akan menyilang ke sisi kontralateral (dekusasio)
dan naik ke atas menuju level yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat, yang akhirnya bersinaps
pada neuron orde ketiga. Neuron orde ketiga biasanya berada di dalam talamus dan kemudian
memberikan proyeksinya menuju daerah sensorik pada korteks serebri. Ketiga rantai orde neuron
ini merupakan susunan yang paling umum, namun beberapa jaras aferen menggunakan lebih
banyak atau lebih sedikit neuron. Juga harus diketahui bahwa banyak neuron bercabang dan
berperan dalam aktivitas refleks.1

Fungsi Traktus Asendens


Sensasi nyeri dan suhu disalurkan melalui traktus spinotalamikus lateral; sensasi sentuhan
(kasar/mentah) dan tekanan disalurkan melalui traktus spinotalamikus anterior. Sensasi sentuhan
diskriminatif—kemampuan melokalisasi secara akurat area dalam tubuh yang disentuh dan dapat
menyadari dua titik disentuh secara bersamaan meskipun jaraknya berdekatan (two-point
discrimination)—disalurkan melalui kolumna dorsalis/posterior white columns. Informasi dari

24
otot dan sendi mengenai gerakan dan posisi bagian tubuh yang berbeda-beda juga disalurkan
melalui kolumna dorsalis. Informasi mengenai getaran juga disalurkan melalui kolumna dorsalis.
Informasi secara tidak sadar datang dari otot, sendi, kulit, dan jaringan subkutan menuju
serebelum melalui traktus spinoserebelaris anterior dan posterior, dan melalui traktus
kuneoserebelaris. Rangsang nyeri, suhu, dan taktil akan melalui kolikulus superior mesensefalon
melalui traktus spinotektal untuk fungsi refleks spinovisual. Traktus spinoretikular menyediakan
jalan dari otot, sendi, dan kulit menuju formasio retikularis, dan traktus spino-olivarius
menyediakan jalan indirek untuk informasi aferen lebih lanjut untuk dapat mencapai serebelum.1

Descendens Tracts
Gambaran Umum
Neuron motorik yang berlokasi pada kornu anterior medula spinalis mengirimkan akson
untuk menginervasi otot skeletal melalui radiks anterior. Motor neuron ini disebut sebagai lower
motor neuron dan merupakan final common pathway ke otot.1
LMN secara konstan diberikan impuls saraf yang turun dari medula oblongata, pons,
mesensefalon, dan korteks serebri. Serat saraf yang menuruni substansia alba medula spinalis
yang berasal dari pusat saraf supraspinal yang berbeda-beda disebut sebagai traktus desendens.
Neuron-neuron supraspinal dan traktus-traktusnya disebut sebagai upper motor neuron, dan
traktus-traktus ini memberikan jalur-jalur yang banyak dalam mengkontrol aktivitas motorik.1

Organisasi Anatomis
Kontrol aktivitas otot skelet dari korteks serebral dan pusat-pusat tertinggi lainnya
dikonduksi melalui sistem saraf dengan berbagai seri neuron. Jaras desendens dari korteks
serebral biasanya melalui tiga orde neuron. Neuron orde pertama, memiliki badan selnya pada
korteks. Aksonnya menuruni medula spinalis untuk bersinaps pada neuron orde kedua, yang
merupakan neuron internunsial, yang berlokasi pada kolumna grisea anterior medula spinalis.
Neuron orde kedua ini pendek dan langsung bersinaps dengan neuron orde ketiga yang
merupakan lower motor neuron, yang terletak pada kolumna grisea anterior. Akson neuron orde
ketiga ini menginervasi otot skeletal melalui radiks anterior dan saraf spinal. Pada beberapa
keadaan, akson neuron orde pertama mengalami terminasi langsung pada neuron orde ketiga
(pada arkus refleks).1

25
Fungsi Traktus Desendens
Traktus kortikospinal merupakan jaras yang penting untuk pergerakan volunter, diskret,
dan terlatih, terutama pada bagian distal ekstremitas. Traktus retikulospinal memfasilitasi atau
menginhibisi aktivitas motor neuron alfa dan gamma pada kolumna grisea anterior, dan dapat
memfasilitasi atau menginhibisi gerakan volunter atau aktivitas refleks. Traktus tektospinal
berfungsi sebagai refleks gerakan postural dalam respons terhadap stimulus visual. Serat saraf ini
berhubungan dengan neuron simpatis pada kolumna grisea lateral yang berfungsi sebagai refleks
dilator pupil sebagai respons terhadap gelap. Traktus rubrospinal berperan pada baik motor
neuron alfa ataupun gamma pada kolumna grisea anterior sebagai fasilitator aktivitas fleksi otot
dan inhibisi aktivitas ekstensor otot. Traktus vestibulospinal berhubungan dengan motor neuron
kolumna grisea anterior memfasilitasi otot ekstensor dan menginhibisi aktivitas otot fleksor, dan
berfungsi sebagai keseimbangan. Traktus olivospinal dapat berperan dalam aktivitas otot, namun
tidak terlalu terlihat kegunaannya. Serat saraf otonom desendens berfungsi sebagai kontrol
aktivitas viseral.1
SUMBER : SNELL ANATOMI

Spinal Cord Compression


Gambaran Umum
Karena kanalis spinalis merupakan sebuah kavitas yang tertutup dengan bangunan yang
kuat dat rapat, berkembangnya sebuah penyakit yang menyebabkan penyempitan pada ruang
kanalis spinalis dapat menyebabkan kompresi pada medula spinalis ataupun akar saraf spinal.2

Penyebab Kompresi Medula Spinalis


Beberapa gangguan yang diketahui dapat menyebabkan kompresi pada medula spinalis:
(1) tumor medula spinalis, primer maupun sekunder, ekstradural, intradural/ekstramedular, dan
intramedular; (2) infeksi, baik infeksi akut (contoh, infeksi streptokokus), dan infeksi kronis
(tuberkulosis), yang terjadi ekstradural ataupun intradural; (3) disc disease dan spondilosis; (4)
hematoma, yang disebabkan oleh AVM (arterio-venous malformation), perdarahan spontan,
ataupun trauma, yang berlokasi ekstradural, intradural, atau intramedular; dan (5) lesi kistik,
yang terjadi ekstradural, intradural - araknoidal, atau intramedular (syringomyelia).2

26
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kompresi pada medula spinalis atau akar saraf spinal tergantung pada:
(1) lokasi lesi di dalam kanalis spinal; (2) tinggi lesi pada medula spinalis; (3) keterlibatan
pembuluh darah; dan (4) kecepatan onset.2
Lokasi lesi di dalam kanalis spinalis. Lesi yang membesar di luar dari medula spinalis
akan memberikan kompresi dan kerusakan pada akar saraf dan kerusakan segmental. Kerusakan
pada akar saraf menyebabkan lesi LMN dan gangguan sensorik pada distribusi saraf yang
terkena. Kerusakan segmental menyebabkan lesi LMN dan gangguan sensorik pada setinggi
segmen yang terkena, namun akan mengganggu traktus sensorik asendens dan traktus motorik
desendens sehingga menyebabkan gangguan sensorik dan motorik yang bersifat UMN di bawah
dari lesi yang terkena. Sedangkan lesi intramedular atau di dalam medula spinalis hanya
menimbulkan tanda dan gejala gangguan segmental.2
Tinggi lesi pada medula spinalis. Lesi di atas korpus vertebra L1 dapat melukai baik
medula spinalis dan akar-akar sarafnya. Namun lesi di bawah L1 hanya akan merusak akar-akar
saraf.2
Keterlibatan vaskular. Kerusakan pada neuron spinal masih tidak begitu jelas apakah
disebabkan hanya karena mechanical stretching atau sekunder terhadap iskemia arterial atau
obstruksi vena. Kadang-kadang, gejala klinis memperlihatkan kerusakan medula spinalis yang
sebenarnya berada di luar dari lokasi lesi kompresi. Hal ini merupakan efek iskemia yang
disebabkan kompresi pembuluh darah yang terdapat pada daerah lesi.2
Kecepatan onset. Kecepatan kompresi medula spinalis akan mempengaruhi gejala klinis.
Di samping menyebabkan kerusakan pada UMN, lesi medula spinalis yang berkembang
progresif dengan cepat sering kali menyebabkan ‘flaccid paralysis’dengan hilangnya refleks-
refleks yang terkait. Keadaan ini disebut sebagai spinal shock, yang biasanya terjadi setelah
trauma. Beberapa hari atau beberapa minggu kemudian gejala lesi UMN muncul sesuai yang
seharusnya diharapkan.2
Gejala klinis yang dapat muncul tergantung lokasi lesi dan level dari lesi kompresi yang
terjadi pada medula spinalis. Gejala nyeri yang dapat terjadi: jika mengenai akar saraf maka
dapat menimbulkan gejala berupa nyeri hebat, tajam, seperti tertusuk-tusuk, dan panas yang
menjalar sesuai distribusi kulit atau otot-otot yang diinervasi oleh saraf tersebut, dan biasanya

27
diperberat oleh gerakan, tegangan, atau batuk; jika lesi yang terjadi bersifat segmental maka
nyeri akan terus menerus, nyeri terasa dalam dan menjalar hingga ekstremitas bawah atau
sebagian tubuh, dan tidak diperberat oleh gerakan; jika lesi mengenai tulang maka nyeri terasa
terus menerus dan tumpul, nyeri hanya terjadi di sekitar lokasi yang terkena, dan dapat/tidak
dapat diperberat oleh aktivitas/pergerakan.2
SUMBER : LINDSAY

Sindrom medulla spinalis


Karena medulla spinalis terdiri dari serabut saraf motorik, sensorik, dan otonom, serta
nuclei dengan hubungan spesial yang erat satu sama lain, lesi pada medulla spinalis dapat
menimbulkan berbagai defisit neurologis, yang dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya
dalam berbagai cara yang berbeda. Pemeriksaaan klinis yang cermat biasanya dapat
menunjukkan lokasi lesi secara tepat, tetapi hanya jika pemeriksa memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai anatomi jaras motorik, sensorik dan otonom yang relevan. 3

1. Sindrom kolumna posterior


Kolumna posterior dapat terlihat secara sekunder oleh proses patologis yang mengenai
sel-sel ganglion radiks dorsalis dan radiks posterior. Lesi pada kolumna posterior umumnya
merusak sensasi posisi dan getar, diskriminasi dan streognosis. Lesi ini juga menimbulkan tanda
Romberg yang positif, serta gait ataksia yang memberat secara bermakna ketika mata ditutup
(tidak seperti ataksia serebelar yang mana tidak memberat saat mata ditutup). Lesi kolumna
posterior juga seringkali menyebabkan hipersensitivitas terhadap nyeri. Kemungkinan
penyebabnya antara lain adalah defisiensi vitamin B12 (misalnya pada mielosis funikularis),
mielopati vakuolar terkait-AIDS, dan kompresi spinal (misalnya pada stenosis medulla spinalis
servikalis).3

28
2. Sindrom kornu posterius
Dapat menjadi manifestasi klinis siringomielia, hematomielia dan beberapa tumor intra
medular medulla spinalis, dan kondisi-kondisi lainnya. Seperti lesi pada radiks posterior, lesi
kornu posterius menimbulkan defisit somatosensorik segmental namun tidak seperti lesi radiks
posterior yang merusak semua modalitas sensorik, lesi kornu posterius menyisakan modalitas
yang dipersarafi oleh kolumna posterior. Hanya sensasi nyeri dan suhu segmen ipsilateral yang
sesuai yang hilang, karena modalitas ini dikonduksikan ke sentral melalui neuron kedua di kornu
posterius (yang aksonnya berjalan naik di dalam traktus spinotalamikus lateralis). Hilangnya
sensasi nyeri dan suhu dengan menyisakan sensasi bagian kolumna posterior disebut defisit
somatosensorik terdisosiasi. Dapat terjadi nyeri spontan (nyeri deferentasi) di area yang
analgesik. Sensasi nyeri dan suhu di bawah tingkat lesi tetap baik, karena traktus spinotalamikus
lateralis, yang terletak di funikulus anterolateralis, tidak mengalami kerusakan dan tetap
menghantar modalitas tersebut ke senteal.3

29
3. Sindrom substansia grisea
Kerusakan pada substansia grisea sentral medulla spinalis akibat siringomielia,
hematomielia, tumor medulla spinalis intramedular atau proses-proses lain mengganggu semua
jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling berpengaruh adalah serabut
yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar,
nyeri dan suhu. Serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian
berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang mengenainya
menimbulkan defisit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi oleh serabut
yang rusak.3
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi cairan
serebospinal (siring) di medulla spinalis. Penyakit yang serupa di batang otak disebut
siringobulbia. Rongga ini disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda
dan terdistribusi dengan pola karekteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme
pembentukannya. Beberapa siring merupakan perluasan kanalis sentralis medulla spinalis yang
berhubungan atau tidak berhubungan dengan ventrikel keempat. Siringomielia paling sering
mengenai medulla spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu
di bahu dan ekstremitas atas. Siring menyebabkan (para) paresis spastik dan gangguan proses
berkemih, defekasi dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada
lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan lokasi
dan konfigurasi siring.3

30
4. Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis
Sindrom ini paling sering terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 akibat karena
kurangnya faktor instrinsik lambung dan pada kasus demikian disebut “degenerasi kombinasi
subakut”. Fokus-fokus demielinasi ditemukan di regio servikal dan torakal di kolumna posterior
(70-80%) dan lebih jarang di traktus piramidalis (40-50%), sedangkan substansia grisea biasanya
tidak mengalami kerusakan. Kerusakan kolumna posterior menyebabkan hilangnya sensasi posisi
dan getar di ekstremitas bawah, menimbulkann ataksia spinal dan tanda Romberg yang positif
(ketidakseimbangan postur saat mata tertutup). Kerusakan traktus pirimidalis yang menyertainya
menimbulkan paraparesi spastik dengan hiperrefleksia dan tanda Babinski bilateral.3

6. Sindrom kornu anterius


Baik poliomyelitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik
mempengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikal dan lumbalis medulla
spinalis.
Pada poliomyelitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan
irreversible, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada otot-otot di segmen
yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh berbanding otot distal. Otot menjadi
atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak.
Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius di kolumna
vertical yang panjang di dalam medulla spinalis.3

31
7.Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis
Terlihat pada sklerosis amitrofi lateral (ALS) sebagai akibat degenerasi neuron motorik
kortikal dan medulla spinalis. Gambaran klinisnya adalah kombinasi paresis flasid dan spastik.
Atrofi otot yang timbul pada awal perjalanan penyakit, umumnya sangat berat sehingga reflek
tendon dalam menghilang, jika hanya mengenai lower motor neuron. Namun karena kerusakan
yang simultan pada upper motor neuron (dengan konsekuensi berupa degenerasi traktus
pirimidalis dan spastisitas), refleks umumnya tetap dapat dicetuskan dan bahkan dapat
meningkat. Degenerasi nuclei nervus kranialis motorik yang menyertainya dapat menyebabkan
disartria dan disfagia (kelumpuhan bulbar progresif).3

32
8.Sindrom traktus kortikospinalis
Hilangnya neuron motorik kortikal yang diikuti oleh degenerasi traktus kortikospinalis
pada beberapa penyakit, termasuk sklerosis lateralis primer (varian sklerosis amiotrofik lateralis)
dan bentuk yang lebih jarang paralisis spinal spastic herediter. Bentuk yang lebih sering pada
penyakit ini terjadi akibat mutasi gen untuk ATPase dari family AAA pada kromosom 2.
Penyakit ini muncul pada masa kanak-kanak dan memberat secara lambat setelahnya, awalnya
pasien mengeluh rasa berat yang dilanjutkan dengan kelemahan pada ekstemitas bawah.
Paraparesis spatik dengan gangguan cara berjalan pasti timbul dan memberat secara perlahan.
Refleks lebih kuat daripada normal. Paresis spastik pada ekstremitas atas tidak timbul hingga
lama setelahnya.3

9.Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris dan


(kemungkinan ) traktus piramidalis.
Ketika proses patologis mengenai semua sistem tersebut, diagnosis banding harus
menyertakan ataksia spinoserebelaris tipe Friedreich, bentuk aksonal neuropati herediter (HSMN
II), dan ataksia lainnya.
Karekteristik menifestasi klinis timbul oleh lesi pada masing-masing sistem yang terkena.
Ataksia Friedreich dimulai sebelum usia 20 tahun dengan hilangnya sel-sel ganglion radiks
dorsalis, yang menyebabkan degenerasi kolumna posterior. Akibat klinisnya adalah gangguan
sensasi posisi, diskriminasi dua titik, dan stereognosis, dengan ataksia spinalis dan tanda
Romberg yang positif. Sensasi nyeri dan suhu sebagian besar atau seluruhnya tidak terganggu.

33
Ataksia berat, baik karena kolumna posterior ataupun traktus spinoserebelaris terkena. Hal ini
terlihat jelas ketika pasien mencoba berjalan, berdiri dan duduk, serta pada saat pemeriksaan jari-
hidung-jari dan uji heel-knee-shin. Cara berjalan pasien tidak terkoordinasi dengan festinasi, dan
juga menjadi spastik seiring perjalanan waktu karena degenerasi progresif pada traktus
piramidalis. Sekitar setengah jumlah pasien menunjukkan deformitas rangka seperti skoliosis
atau pes kavus (yang disebut kaki Friedreich).3
Menurut Harding, ataksia Friedreich dapat didiagnosis jika ditemukan kriteria klinis berikut:
 Ataksia progresif tanpa diketahui penyebabnya, dimulai sebelum usia 25 tahun.
 Diturunkan secara autosomal resesif.
 Tidak adanya refleks tendon dalam di ekstremitas bawah
 Gangguan kolumna posterior
 Disartria dalam 5 tahun setelah onset.
Diagnosis dapat ditegakkan secara definitif dengan pemeriksaan genetik molekuler untuk
mengindentifikasi defek genetik yang mendasarinya.

10.Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard


Sindrom ini jarang dan biasanya tidak komplet. Penyebab tersering adalah karena trauma
medula spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motorik desendens pada satu sisi
medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral di bawah tingkat lesi (syok

34
spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai oleh hiperefleksia, tanda Babinsky dan
gangguan vasomotor. Pada saat yang bersamaan gangguan kolumna posterior pada satu sisi
medulla spinalis menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan diskriminasi taktil ipsilateral
di bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi kolumna posterior tidak terjadi
kerena paresis ipsilateral yang bersamaan. Sensasi nyeri dan suhu sesisi lesi tidak terganggu,
karena serabut yang mempersarafi modalitas ini telah menyilang ke sisi kontralateral dan
berjalan naik ke dalam traktus spinotalamikus lateralis, tetapi sensasi nyeri dan suhu
kontralateral hilang di bawah tingkat lesi karena traktus spinnotalamikus ipsilatral terganggu.3
Sensasi taktik sederhana tidak terganggu karena modalitas ini dipersarafi oleh dua jaras
serabut yang berbeda. Kolumna posterior (tidak menyilang) dan traktus spinotalamikus anterior
(menyilang). Hemiseksi medulla spinalis menyisakan satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi
taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-kolumna posterior kontralateral untuk sisi kontralateral
lesi dan traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateralis.3
Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami kerusakan
dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan paresis flasid. Iritasi
radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri radikular di dermatom yang sesuai
dengan batas atas gangguan sensorik.

11.Sindrom transseksi medulla spinalis


11.a.Sindrom transseksi medulla spinalis Akut

35
Sindrom transseksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh trauma , jarang
disebabkan oleh inflamasi atau infeksi. Trauma medulla spinalis akut awalnya menimbulkan
keadaan yang disebut syok spinal, gambaran klinis yang patofisiologinya belum difahami secara
total. Di bawah tingkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan semua modalitas sensasi hilang.
Fungsi berkemih, defekasi dan seksual juga hilang. Hanya refleks bulbokavernosus yang tetap
ada. Juga terdapat perubahan tropik di bawah tingkat lesi khususnya hilangnya berkeringat dan
gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan bermakna untuk terbentuknya ulkus dekubitus.
Batas ada defisit sensorik sering dibatasi oleh suatu zona hiperalgesia.3
Dalam beberapa hari dan minggu setelah kejadian, neuron spinalis perlahan-lahan
kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian, tetapi tetap terputus sebagian besar impuls
neuron yang berasal dari sentral yang normalnya mengatur neuron tersebut. Kemudian neuro-
neuron ini menjadi “otonom” dan timbul “otomatisme spinal”. Pada banyak kasus stimulus di
bawah tingkat lesi mencetuskan fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan pergelangan kaki (refles
fleksor). Jika sindrom transseksi medulla spinalis total, ekstremitas tetap berada pada posisi
fleksi dalam jangka panjang setelah stimulus karena elevasi spastik pada tonus otot. (sebaliknya
pada sindrom transseksi medulla spinalis inkomplet, tungkai pada awalnya mengalami fleksi saat
distimulasi, tetapi kemudian kembali ke posisi semula). Defekasi dan miksi perlahan-lahan
berfungsi kembali, tetapi tidak berada di bawah kendali volunteer bahkan kandung kemih dan
rectum secara refleksif mengosongkan diri ketika terisi pada jumlah tertentu. Disnergia sfingter
detrusor menyebabkan retensi urin dan miksi refleksif yang sering. Reflek tendon dalam dan
tonus otot perlahan-lahan kembali dan dapat meningkat secara patologis, namun potensi seksual
tidak kembali.3

36
11.b. Sindrom transseksi medulla spinalis progresif
KetikaSindrom transseksi medulla spinalis muncul perlahan-lahan dan bukan tiba-tiba,
misalnya karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom transseksi
pada kasus seperti ini biasanya parsial bukan total. Paraparesis spastik yang berat dan progresif
terjadi dibawah tingkat lesi, disertai oleh defisit sensorik, disfungsi miksi, defekasi dan seksual
serta manifesatasi otonomik.3
12. Sindrom transseksi medulla spinalis servikalis
Transseksi medulla spinalis di atas sevikal III fatal karena dapat menghentikan
pernafasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien tersebut
hanya dapat bertahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma
penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal bawah
menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal, pernafasan dapat sangat
terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi bergantung pada tingkat lesi.
Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari defisit sensoris yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik.3
13. Sindrom transseksi medulla spinalis torasika
Transseksi medulla spinalis torasika bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas,
tetapi mengganggu pernafasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralitis melalui keterlibatan
nervus splanknikus. Transseksi medulla spinalis torasika bagian bawah tidak mengganggu otot-
otot abdomen dan tidak mengganggu pernafasan.3
14. Sindrom transseksi medulla spinalis lumbalis
Transseksi medulla spinalis lumbalis menyebabkan gangguan berat karena secara
bersamaan terjadi kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian bawah, arteri
radikularis mayor. Hasilnya adalah infark pada seluruh medula spinalis lumbalis dan sakralis.3
15.Sindrom epikonus
Sindrom epikonus disebabkan oleh lesi medulla spinalis setinggi L4 hingga S2, relatif
jarang. Tidak seperti sindrom konus, sindrom epikonus berkaitan dengan paresis spastik dan
flasid ekstremitas bawah, tergantung pada segmen lesi yang tepat. Terdapat kelemahan atau
paralisis total pada rotasi ekterna panggul (L4-S1) dan ekstensi panggul (L4-L5) dan
kemungkinan juga fleksi lutut (L4-S2) serta fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari
kaki (L4-S2). Reflek Achilles menghilang, sedangkan refleks lutut tetap ada. Defisit sensorik

37
terbentang dari L4-S5. Pengosongan kandung kemih dan rectum hanya secara refleksif, potensi
seksual hilang dan pasien laki-laki sering mengalami priapisme. Terdapat paralisis vasomotor
sementara serta kehilangan kemampuan berkeringat sementara.3
16. Sindrom konus
Sindrom ini diakibatkan oleh lesi setinggi atau di bawah S3. Juga jarang terjadi dan
biasanya disebakan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus lumbalis massif.
Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai defisit neurologi seperti:
 Arefleksia destrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow.
 Inkontinensia
 Impotensia
 Saddle anestesia
 Hilang refleks ani
Ekstremitas bawah tidak paresis dan refleks Achilles tetap ada (L5-S2).
Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis dan radiks sakralis yang
berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat atau lambat. Pada kasus-
kaus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh defisit akibat keterlibatan kauda ekuina
:kelemahan ekstremitas bawah dan defisit sensori yang lebih luas dibandingkan dengan defisit
pada sindrom konus murni.3

17.Sindrom kauda equina


Sindrom ini melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi sakralis yang berjalan ke
bawah di sepnjang sisi dan bawah konus medularis dan menembus ruang subarachnoid
lumbosakral dan keluar melalui foramennya. Tumor biasanya penyebab yang umum. Pasien
awalnya mengeluhkan nyeri radikuler pada distribusi nervus ischiadiks dan nyeri pada kandung
kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian, defisit sensorik radikuar
dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada tingkat L4 atau
di bawahnya. Lesi yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan defisit sensorik pada
tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas bawah dengan arrefleksia,
juga terdapat inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan disfungsi seksual. Pada lesi di
bagian bawah kauda equina, defisit sensorik hanya terdapat pada daerah saddle (S3-S5) dan tidak
38
terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi, defekasi dan seksual terganggu. Tumor yang
mengenai kauda equina tidak seperti tumor konus, menimbulkan manifestasi klinis dengan
progresivtas lambat dan ireguler karena masing-masing radiks saraf terkena dengan kecepatan
yang berbeda dan beberapa di antaranya dapat tidak mengalami kerusakan hingga akhir
perjalanan klinis.3
SUMBER : DUUS

Spinal Cord Injury


Spinal cord injury (SCI) merupakan kerusakan pada medula spinalis yang
menyebabkan perubahan yang bersifat sementara maupun permanen, pada fungsi
motorik, sensorik, dan otonom medula spinalis. Pasien dengan SCI biasanya mengalami
defisit neurologis dan disabilitas yang permanen.4 Aspek yang paling penting untuk
perawatan pasien SCI adalah mencegah komplikasi yang berhubungan dengan kecacatan.
Perawatan suportive menunjukan penurunan komplikasi yang berhubungan dengan
kecacatan.4

Neurogenic Shock
Syok neurogenik adalah trias hipotensi, bradikardi, dan vasodilatasi perifer yang
disebabkan karena disfungsi otonom berat dan gangguan kontrol sistem saraf simpatis
pada SCI akut. Hipotermia juga merupakan salah satu karakteristiknya. Kondisi ini tidak
terjadi pada SCI pada segmen tulang belakang di bawah T6 namun lebih sering terjadi
pada segmen di atas T6, sekunder terhadap gangguan jaras simpatis eferen yang keluar
dari T1 hingga L2, dan karena ketidakmampuan melawan tonus vagal, sehingga
menyebabk an penurunan resistensi vaskular karena dilatasi vaskular.4

Spinal Shock
Syok spinal merupakan keadaan hilangnya fungsi neurologis total termasuk refleks
dan tonus rektal, pada segmen di bawah lesi yang spesifik yang berhubungan dengan
disfungsi otonom. Syok spinal disebut sebagai depresi refleks fisiologis transien pada
segmen di bawah lesi, dengan hilangnya semua fungsi sensorimotorik. Penjelasan
mengenai syok spinal telah dijelaskan sebelumnya.4

39
Patofisiologi
SCI, seperti halnya pada keadaan stroke akut, merupakan sebuah proses yang
dinamis. Pada semua sindrom medula spinalis akut, luasnya kerusakan mungkin tidak
dapat terlihat dengan jelas pada awalnya. Lesi medula spinalis yang inkomplit dapat
berkembang menjadi lesi komplit. Sering juga ditemukan kerusakan meluas lebih tinggi 1
atau 2 segmen spinal dalam beberapa jam atau hari setelah trauma. Gejala klinis yang
terjadi pada SCI berkaitan dengan kaskade kompleks patofisiologi yang berhubungan
dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan gangguan aliran darah. Untuk mencegah
perburukan pada SCI maka diperlukan oksigensi yang baik, perfusi, dan keseimbangan
asam basa.4
SCI dapat terjadi dengan beberapa mekanisme, yaitu melalui 3 cara umum yang
akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan yaitu: (1) destruksi karena trauma langsung;
(2) kompresi oleh fragmen-fragmen tulang, hematoma, atau material diskus; dan (3)
iskemia karena kerusakan pada arteri spinalis. Edema dapat terjadi setelah mekanisme
kerusakan manapun.

Gejala Klinis
Luasnya trauma medula spinalis dapat ditentukan berdasarkan skala yang dibuat
oleh American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale (yang dimodifikasi
dengan klasifikasi Frankel), yang adalah:4
• A: Complete: tidak ada fungsi motorik dan sensorik pada segmen sakreal S4-5.
• B: Incomplete: Fungsi sensorik masih baik pada segmen di bawah lesi hingga segmen
sakral S4-5.
• C: Incomplete: Fungsi motorik masih ada pada segmen di bawah lesi, dan kekuatan
motorik kurang dari 3.
• D: Incomplete: Fungsi motorik masih ada pada segmen di bawah lesi, dan kekuatan
motorik lebih dari atau sama dengan 3.
• E: Normal: Fungsi sensorik dan motorik normal.

40
Berdasarkan skala ASIA di atas, maka dapat didefinisikan bahwa trauma medula
spinalis dikatakan komplit jika tidak adanya fungsi motorik dan sensorik secara total
hingga segmen sakral terbawah, dan dikatakan inkomplit jika masih terdapat fungsi
sensorik atau motorik pada segmen di bawah lesi, termasuk pada segmen sakral
terbawah.4
Disfungsi sistem pernafasan dapat terjadi tergantung tinggi lesi pada medula
spinalis. Pada lesi yang tinggi yaitu C1 dan C2, kapasitas vital hanya dapat mencapai 5-
10% dari normal, dan tidak adanya refleks batuk. Lesi pada C3-6 dapat memiliki
kapasitas vital 20% dan kekuatan batuk lemah serta tidak efektif. Pada lesi torakal tinggi
yaitu T2-4, kapasitas vital mencapai 30-50% normal dan kekuatan batuk masih lemah.
Pada lesi yang lebih rendah, maka fungsi respirasi akan lebih baik. Lesi pada T11 akan
menunjukkan disfungsi yang minimal, kapasitas vital baik dan kekuatan batuk yang kuat.4
SUMBER MEDSCAPE SPINAL CORD

Penanganan dan Evaluasi Klinis


Penanganan pasien dengan kemungkinan SCI dimulai dari awal terjadinya kejadian.
Imobilisasi komplit tulang belakang merupakan langkah krusial penanganan sebelum rumah
sakit untuk semua pasien dengan trauma, hingga dipastikan tidak adanya trauma pada tulang
belakang. Gunakan tempat tidur yang terbuat dari papan keras dengan occipital padding, serta
cervical collar yang keras. Tulang belakang harus dalam posisi anatomis normal seperti pada
keadaan berdiri tegak, dengan elevasi oksiput sekitar 1.3-5.1 sentimeter di atas tanah dalam
posisi terlentang. Pemindahan pasien pada tempat tidur yang keras ini harus dilakukan oleh
orang yang sudah terlatih. Ketika tulang belakang pasien sudah terimobilisasi, segera
transportasikan pasien pada pusat pelayanan kesehatan yang memadai.6
Setibanya di unit gawat darurat, bersihkan jalan nafas, jaga oksigenasi, dan ventilasi
biasanya disulitkan karena harus dilakukannya imobilisasi pada tulang belakang. Gangguan
sistem pernafasan biasanya diperkirakan pada pasien dengan trauma di sekitar bagian atas dan
midservikal (C3-5, tempat keluarnya nervus phrenikus). Adanya trauma pada paru dan toraks,
seperti fraktur tulang iga, kontusio pulmonal, pneumotoraks, hemotoraks, dan aspirasi dapat
menyebabkan gangguan fungsi pernafasan. Intubasi dapat dipikirkan untuk dilakukan, hindari

41
semua tindakan yang menyebabkan traksi pada tulang belakang seperti hiperekstensi leher. Jika
intubasi tidak dapat dilakukan dengan mudah, alternatif seperti laryngeal mask dapat digunakan.6
Pasien dengan SCI sangat sensitif terhadap hipoperfusi. Hipotensi pada awal trauma
dapat berhubungan langsung dengan meningkatnya mortalitas dan penurunan perbaikan
neurologis. Instabilitas otonom dengan hilangnya tonus simpatis menyebabkan peripheral
pooling dari volume cairan tubuh dan bradikardia dapat menyulitkan resusitasi cairan. Hipotensi
dapat berupa gejala dari syok spinal. MAP (sistolik ditambah dua kali diastobik dibagi tiga)
harus dijaga pada level 90-100 mmHg dengan memberikan cairan atau vasopresor dalam 72 jam.
Alfa-agonis seperti fenilepinefrin meningkatkan resistensi vaskular perifer dan mengembalikan
hilangnya tonus simpatis. Dopamin atau dobutamin merupakan agen vasoaktif alterlatif. Elevasi
tungkai dan compression stockings dapat membantu distribusi cairan. Pemeriksan EKG dan
enzim-enzim jantung perlu dilakukan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun dan pada pasien
dengan riwayat kelainan pada jantung. Obat antikolinergik seperti atropin, 0.5-1 mg IV dapat
memperbaiki bradikardia.6
Pasien dengan SCI dalam 8 jam pertama sudah harus diberikan bolus metilprednisolon IV
30 mg/kgBB dalam 1 jam, yang kemudian diikuti 5.4 mg/kgBB/jam selama 23 jam berikutnya.
Tulang belakang harus tetap diimobilisasi hingga benar-benar dibuktikan tidak ada gangguan
pada tulang belakang dengan teknik pencitraan yang berbeda.6

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis harus dilakukan untuk mengetahui secara jelas kapan terjadinya kecelakaan,
kondisi lingkungan, dan kondisi sebelum pasien mengalami trauma pada saksi yang melihat,
penolong, dan keluarga pasien. Pasien harus ditanyakan mengenai adanya nyeri pada leher,
defisit neurologis, dan inkontinensia urin atau alvi.6
Pemeriksaan neurologis pada SCI harus berfokus pada pemeriksaan kekuatan motorik
ekstremitas, tonus otot, sensibilitas sentuhan, nyeri, getaran dan proprioseptif pada masing-
masing dematom, identifikasi level sensoris, peningkatan atau penurunan refleks tendon dalam,
dan evaluasi tonus rektal.6
Jika memungkinkan saat dalam kondisi terimobilisasi, lakukan pemeriksaan inspeksi dan
palpasi pada tulang belakang untuk melihat adanya fraktur terbuka atau tertutup dan hematoma.
Pemeriksaan pada dada, abdomen, dan pelvis harus dilakukan untuk melihat adanya fraktur dan

42
trauma organ-organ dalam. Feses dan urin harus diperiksa untuk memastikan ada tidaknya
darah.6

Pemeriksaan Penunjang
Sebelum cervical collar dan imobilisasi dapat dilepas, trauma tulang belakang harus
disingkirkan secara absolut (‘cleared’/bersih). Prosedur untuk tindakan ‘pembersihan’ini
tergantung pada lokasi nyeri dan gejala neurologis yang muncul serta status mental pasien.6
Pasien yang sadar, tanpa adanya nyeri yang hebat, dan yang tidak mengeluhkan adanya
nyeri lokal pada daerah servikal atau gejala neurologis tidak membutuhkan pemeriksaan
radiologis pada tulang servikalnya. Insiden trauma pada tulang servikal pada pasien yang
simtomatik adalah sekitar 2-6%. Pasien yang mengeluhkan nyeri leher, defisit neurologis, tidak
sadar, tidak kooperatif, inkoheren, atau terintoksikasi, dan pasien dengan trauma yang dapat
diperkirakan mengenai tulang belakang yang memusingkan dengan ada tidaknya SCI yang
membutuhkan studi radiologis pada daerah servikal. Pada kebanyakan pasien, radiografi servikal
lateral dapat mengidentifikasi adanya fraktur yang tidak stabil. Banyak trauma tulang belakang
yang terdeteksi dengan menggunakan three-view cervical spine series (lateral, anteroposterior,
odontoid), meskipun 60% fraktur mengalami misdiagnosis dibandingkan dengan CT scan. Saat
ini CT scan multislice pada area yang sulit divisualisasi dan yang tercurigai kerusakan struktural
(contoh, tiga segmen servikal atas), dengan potongan sagital dan koronal merupakan gold
standard pemeriksaan pada trauma kranioservikal. Kombinasi pemeriksaan CT scan dan foto
polos dapat memberikan hasil prediktif negatif 99-100%.6
MRI merupakan pilihan lainnya pada kondisi trauma servikal. Jika dilakukan dalam 48
jam pertama akan memberikan hasil yang lebih sensitif daripada CT scan dan foto polos dalam
mengidentifikasi adanya kerusakan pada jaringan saraf atau ligamen.6

Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma spinal akut, terutama dalam konteks trauma multisistem, paling
baik ditangani di dalam ICU dengan monitoring kardiovaskular dan paru kontinu untuk 7 hingga
14 hari setelah trauma. Hal ini disebabkan karena pasien masih dalam kondisi berisiko tinggi
terjadinya hipotensi, hipoksemua, disfungsi pulmoner, dan instabilitas kardiovaskular, terutama
jika disfungsi neurologis terjadi dengan disautonomia.6

43
Imobilisasi
Imobilisasi tulang belakang yang terlalu lama dengan menggunakan matras keras, dan
dengan cervical collar yang keras dapat menyebabkan gangguan lain berupa nyeri tulang
belakang tambahan, nyeri pada daerah kepala, defisit neurologis, dan gangguan nafas. Cutaneus
pressure ulcers terjadi setelah 2 hingga 3 hari pada 55% pasien. Hal ini menyebabkan penapisan
ada tidaknya trauma pada servikal harus dilakukan secepat mungkin supaya imobilisasi dapat
diberhentikan segera. Jika terdapat adanya trauma spinal yang tidak stabil, maka diperlukan
operasi reduksi dan fiksasi secepat mungkin.6

Kortikosteroid dan Obat Neuroprotektif


Kortikosteroid memiliki potensi untuk menstabilisasi struktur membran dan menjaga
blood-spinal cord barrier, yang dapat menurunkan edema vasogenik, peningkatan aliran darah
pada medula spinalis, inhibisi pengeluaran endorfin, mengurangi radikal bebas dan menurunkan
inflamasi. Pasien yang diterapi dengan menggunakan metilprednisolon bolus intravena 30
mg/kgBB, yang diikuti dengan infus sebesar 5.4 mg/khBB/jam selama 23 jam, jika diberikan
dalam 8 jam pertama, akan memberikan perbaikan fungsi sensorik dan motorik dalam 6 bulan.
Namun pemberian metilprednisolon berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi luka,
pneumonia, infeksi saluran kemih, perdarahan gastrointestinal, hiperglikemia, glukosuria, dan
gangguan enzim-enzim hati, terutama pada pasien tua dan diabetes, dan hal ini terjadi pada rawat
inap yang lama, terutama jika diberikan dalam 48 jam. Selain itu sebenarnya perbaikan
fungsional dengan digunakannya metilprednisolon terlihat tidak terlalu penting secara klinis.
Saat ini pemberian metilprednisolin intravena dibarengi dengan pemberian obat-obat untuk
proteksi gaster dalam 23 jam jika diberikan dalam 8 jam pertama setelah trauma.6

Penanganan Tekanan Darah


Hipotensi dapat memperburuk gejala klinis pasien, sehingga MAP harus dipertahankan
pada level sekitar 85-90 mmHg untuk memastikan perfusi yang adekuat pada medula spinalis

44
paling tidak selama 7 hari setelah trauma. Vasopresor seperti fenilepinefrin, dopamin, dan
norepinefrin dan bolus cairan harus digunakan seperlunya.6

Penanganan Secara Umum


Atelektasis dan pneumonia terjadi karena sulitnya pengeluaran hasil sekresi mukus dan
tidal volume yang tersisa karena adanya paralisis otot-otot pernafasan. Pembentukan mucus plug
dapat membahayakan nyawa pasien meskipun menggunakan ventilator mekanik. Pasien harus
diletakkan pada kinetic therapy beds (RotoRest). Terapi bronkodilater, dan pemberian tekanan
positif intermiten (recruitment maneuver) membantu pengembangan paru. Pada pasien dengan
trauma servikal tengah atau tinggi/atas, trakeostomi dapat dilakukan.6
Pasien yang tidak diintubasi harus mendapatkan oksigen tambahan untuk menjaga
saturasi oksigen lebih dari 95%. Deep venous thrombosis dan emboli pulmonal sering terjadi
pada pasien dengan SCI, terutama jika terjadi fraktur ekstremitas bawah dan pelvis. Pemberian
heparin subkutan 5000 IU setiap 8 jam dan pemberian pneumatic compression devices,
antithrombotic stocking, direkomendasikan paling tidak selama 3 bulan setelah trauma.6
Pasien dengan SCI juga biasanya mengeluhkan retensi urin akibat terjadinya neurogenic
bladder. Pemasangan kateter penting dilakukan pada periode akut di dalam ICU. Setelah 2-3
minggu, ketika hemodinamik dan keadaan neurologik pasien stabil, dapat dilakukan pemberian
kateter steril intermiten setiap 4-6 jam.6

Prognosis
Mortalitas setelah terjadinya SCI berkisar antara 4-17%. Faktor predisposisi berupa usia
tua, trauma pada segmen tulang belakang yang cukup tinggi, emboli pulmonal, adanya
komorbiditas penyakit lain, dan bunuh diri. Usia lebih dari 20 tahun, jenis kelamin laki-laki,
gangguan sistemik berat, adanya komorbiditas, dan status neurologis yang buruk saat datang
dapat diperkirakan memiliki mortalitas yang besar.6
Pasien dengan SCI dapat kembali pada pekerjaannya yang semula serta gaya hidupnya
yang semula, tergantung pada tingkat terapi yang diberikan, dan terutama tergantung pada
berbagai faktor-faktor lainnya (multifaktorial). Pasien dengan kerusakan yang tidak komplit pada
jalur sensorik, meskipun terdapat gangguan fungsi motorik yang komplit, memiliki prognosis

45
yang lebih baik untuk kembali pada fungsinya yang semula dibandingkan pada pasien dengan
tetraparesis dan tidak adanya fungsi sensorik di bawah lesi. Pemulihan terhadap otot-otot bagian
distal mungkin belum terjadi pada 3 minggu pertama setelah trauma. Pasien dengan sindroma
Brown-Séquard memiliki potensi yang sangat besar untuk kembali pulih, di mana 75-90% pasien
dapat berjalan independen setelah selesai melakukan rehabilitasi, dan 70% pasien dapat
melakukan aktivitas normal seperti semula.6
Pada sindrom medula spinalis sentral, perbaikan kekuatan motorik ekstremitas bawah
terjadi lebih awal dibandingkan pada daerah lainnya dan kemudian diikuti dengan membaiknya
fungsi berkemih dan kemudian perbaikan kekuatan motorik ektremitas atas. Segmen servikal C7
penting untuk fungsi otot triseps yang penting untuk mandi (showering), menggunakan pakaian,
dan lain-lain. Pasien yang berusia di bawah 50 tahun mengalami pemulihan yang lebih cepat
dibandingkan pasien yang sudah berusia tua.6
Sumber lange

Spinal Infection
Spinal Epidural Abscess
Abses epidural medula spinalis cenderung terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh
yang menurun seperti diabetes, keganasan, gagal hati atau gagal ginjal, dan penyalahguna obat-
obatan secara intravena dan alkoholisme.Etiologi tersering adalah Staphylococcus aureus.
Gejala biasanya terjadi dalam beberapa hari dan sering menyerupai tumor ekstradural
progresif atau hematoma dengan kelemahan kedua tungkai, gangguan sensorik dan retensi urin.
Namun gejala lain yang membedakan adalah nyeri yang sangat hebat dan kemerahan dan nyeri
pada sekitar lokasi abses, toksemia (pireksia, malaise, peningkatan denyut jantung), rigiditas
pada leher dan kolum spinal, dengan tahanan kuat terhadap fleksi.3
Pemeriksaan MRI atau myelogram dapat menentukan lokasi dari lesi ekstradural.
Pemeriksaan LCS dapat menunjukan kenaikan dari leukosit, dan umumnya PMN, namun bisa
normal. Terapi yang harus dilakukan adalah dekompresi laminektomi segera dan drainase abses
yang dikombinasikan dengan terapi antibiotik intravena dalam beberapa minggu untuk
memastikan pemulihan yang total.3

Spinal Tuberculosis (Pott’s Disease)

46
Pada negara berkembang, TB spinal sering terjadi dan biasa terjadi pada anak-anak atau
usia remaja. Pada negara maju biasanya mengenai individu usia pertengahan. Insiden semakin
meningkat yang mungkin disebabkan karena semakin banyaknya resistensi terhadap antibiotik.
Segmen yang biasa terkena adalah segmen spinal torakal bagian bawah dan proses penyakit
biasanya diawali pada diskus intervertebralis dan kemudian menyebar ke korpus vertebra.3
Gejala klinis sistemik klasik seperti turunnya berat badan, keringat dingin pada malam
hari, dan cachexia biasanya tidak ditemukan. Nyeri terjadi pada lokasi yang terkena dan
memburuk saat mengangkat beban berat. Tanda dan gejala kompresi medula spinalis terjadi pada
sekitar 20% kasus. Onsetnya dapat terjadi bertahap selama pus, material kaseosa, atau jaringan
granulasi mengalami akumulasi, atau terjadi tiba-tiba karena kolaps korpus vertebra dan terjadi
kifosis.
Tindakan yang harus dilakukan adalah terapi antituberkulosis jangka panjang. Jika
terdapat tanda-tanda adanya kompresi pada medula spinalis maka harus dilakukan tindakan
dekompresi.3
SUMBER LINDSAY

Low Back Pain & Herniated Nucleus Pulpous


Gambaran Umum
Pentingnya memahami mengenai low back pain (LBP) adalah: (1) jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan LBP di USA mencapai lebih dari $100 miliar dolar per tahunnya;
kira-kira sepertiga dari biaya ini adalah biaya perawatan kesehatan langsung dan dua pertiganya
adalah biaya tidak langsung akibat hilangnya upah dan produktivitas; (2) gejala LBP merupakan
penyebab terbanyak disabilitas pada individu <45 tahun; (3) LBP merupakan alasan kedua
terbanyak pasien datang mengunjungi dokter di USA; dan (4) kurang dari 1% populasi USA
mengalami disabilitas kronik karena nyeri punggung.5
Penekanan pada radiks saraf (radikulopati) merupakan penyebab umum terjadinya nyeri
pada leher, lengan, punggung bawah, bokong, dan tungkai. Radiks saraf keluar di atas dari
korpus vertebra yang bersesuaian pada regio servikal (contoh, radiks C7 keluar pada setinggi C6-
7), dan di bawah dari korpus vertebra yang bersesuaian pada regio torakal dan lumbal (contoh,
radiks saraf T1 keluar di antara T1-2). Radiks saraf daerah servikal melalui perjalanan intraspinal
yang pendek sebelum akhirnya keluar. Namun, karena medula spinalis berakhir pada vertebra

47
L1-2, radiks saraf lumbal akan melalui perjalanan intraspinal yang panjang sebelum keluar,
sehingga dapat mengalami perlukaan di bagian atas sebelum akhirnya keluar pada foramen
intervertebralis. Sebagai contoh, herniasi diskus pada setinggi L4-5 tidak haya mengkompresi
radiks L5, namun juga mengkompresi radiks saraf S1.5
Struktur sensitif nyeri pada tulang belakang adalah periosteum vertebra, dura mater, sendi
facet, anulus fibrosus diskus intervertebralis, vena dan arteri epidura, dan ligamentum
longitudinale posterior. Kelainan pada struktur-struktur berikut dapat menjelaskan banyak kasus
nyeri punggung tanpa adanya kompresi radiks saraf. Nukleus pulposus pada diskus
intervetebralis merupakan struktur yang tidak sensitif terhadap nyeri pada kondisi normal.
Sensasi nyeri di dalam kanalis spinalis disalurkan secara parsial oleh nervus sinuvertebralis yang
keluar dari saraf spinal masing-masing segmen dan kembali memasuki kanalis spinalis melalui
foramen intervertebralis pada tingkat yang sama.5
LANGE HALAMAN 29
Banyak istilah digunakan untuk menjelaskan abnormalitas pada diskus, namun herniasi
diskus yang sebenarnya merupakan kerusakan pada serat anulus fibrosus. Radikulopati terjadi
ketika diskus mengalami herniasi ke arah lateral. Jika diskus herniasi ke arah sentral,
akanmenyebabkan kompresi pada medula spinalis pada daerah servikal dan torakal dan
menyebabkan sindrom kauda equina pada daerah lumbal.6
Pada radikulopati servikal, segmen servikal yang paling sering terkena adalah C7 (60%),
yang kemudian diikuti oleh C6 (25%). Herniasi diskus lebih sering terjadi karena proses
degenerasi dibandingkan karena proses trauma. Dengan hilangnya kemampuan viskoelastik pada
nukleus pulposus dan anulus fibrosus, diskus menjadi lebih pendek dan menonjol ke arah
posterior ke dalam kanalis. Osteofit terbentuk di sekitar tepi diskus dan facet sendi, sehingga
menyebabkan penyempitan kanalis spinalis dan menghasilkan gejala radikular.6
Radikulopati lumbosakral biasanya disebabkan karena herniasi diskus atau karena
perubahan spondilitik, terutama pada daerah faset sendi atau karena kalsifikasi pada ligamentum
flavum, Jika terjadi kombinasi, hal ini akan menyebabkan stenosis pada kanalis lumbalis.
Herniasi diskus paling sering terjadi pada laki-laki usia pertengahan, terutama setelah
beraktivitas fisik. Beberapa faktor risiko lainnya berupa kelainan kongenital yang mengenai
ukuran kanalis spinalis regio lumbal. Pada 90% pasien, herniasi diskus lumbal terjadi pada L4-5
dan L5-S1. Akar saraf yang paling sering mengalami kompresi adalah L5, dan kemudian yang

48
kedua adalah S1. Diskus biasanya mengalami herniasi ke arah posterolateral dan mengkompresi
akar saraf yang melalui foramen di bawah dari diskus tersebut. Jika diskus tersebut mengalami
herniasi ke arah yang lebih lateral, maka kompresi terjadi pada akar saraf yang keluar dari
medula spinalis/motorik. Posisi yang paling menyebabkan tekanan intradiskus dan menyebabkan
rasa tidak nyaman adalah posisi membungkuk, duduk dan membungkuk ke depan,
duduk/berdiri/bersandar pada satu sisi, dan posisi terlentang. Kegiatan seperti mengangkat
barang, batuk, bersin, juga dapat mencetuskan nyeri.6

Gejala Klinis
Tipe Nyeri Punggung
Pemahaman mengenai tipe nyeri punggung yang dilaporkan oleh pasien merupakan
langkah esensial pertama. Perhatian juga difokuskan identifikasi faktor risiko terhadap adanya
penyakit yang serius. Penyebab tersering nyeri punggung adalah radikulopati, dan kemungkinan
lainnya adalah fraktur, tumor, infeksi, atau nyeri alih dari struktur organ viseral.5
Local Pain disebabkan karena cedera pada struktur yang sensitif terhadap nyeri yang di
mana mengalami kompresi atau iritasi pada ujung saraf bebas. Lokasi nyeri dekat dengan bagian
yang terkena pada punggung.5
Pain reffered to the back dapat berasal dari viseral abdomen ataupun pelvis. Nyeri
biasanya dideskripsikan terutama pada daerah abdomen atau pelvis namun dibarengi oleh nyeri
punggung dan tidak terpengaruh oleh perubahan posisi. Kadang-kadang pasien dapat hanya
mengeluhkan nyeri punggung saja.5
Pain of spine origin dapat berlokasi di punggung atau menjalar ke bokong atau tungkai.
Penyakit yang mengenai tulang punggung di atas regio lumbal cenderung mengalihkan nyeri ke
regio lumbal, inguinal, atau paha bagian depan. Penyakit yang mengenai tulang punggung di
bawah regio lumbal cenderung menyebabkan nyeri yang dialihkan ke bokong, paha bagian
dalam, dan kaki meskipun jarang terjadi. Nyeri alih atau nyeri ‘sklerotomal’dapat menjelaskan
nyeri melalui berbagai dermatom tanpa adanya kompresi radiks saraf.5
Radicular back pain biasanya bersifat tajam dan menjalar dari punggung bawah ke
tungkai pada perjalanan akar saraf yang terlibat. Batuk, bersin, atau kontraksi volunter otot
abdomen (mengangkat beban berat, atau mengedan) dapat menimbulkan nyeri yang menjalar.
Nyeri dapat meningkat pada postur tubuh yang meregang saraf dan radiks saraf. Duduk pada

49
posisi kaki yang diregangkan berlebihan menyebabkan traksi pada saraf skiatika dan radiks saraf
L5 dan S1 karena saraf ini berada pada posterior dari paha. Saraf femoralis (radiks L2-4) berjalan
di anterior pada paha dan tidak teregang saat duduk. Deskripsi sensasi nyeri yang dirasakan saja
seringkali gagal untuk membedakan antara nyeri sklerotomal dan radikulopati.5
Pain associated with muscle spasms, meskipun tidak dapat diketahui penyebabnya,
seringkali disebabkan oleh kelainan-kelainan pada tulang belakang. Spasme terjadi dan
berhubungan dengan postur yang abnomal, ketegangan otot-otot paraspinal, dan nyeri tumpul
pada regio paraspinal.5
Pengetahuan mengenai lingkungan yang berhubungan dengan onset nyeri punggung
penting untuk mengetahui penyebab nyeri punggung yang serius.5
Pada herniasi diskus servikal, nyeri dirasakan pada leher bagian posterior, dengan spasme
otot paraspinal dan otot-otot sekitar bahu pada sisi yang terkena. Nyeri, gangguan sensorik, dan
kelemahan lengan biasanya terjadi pada level distribusi akar saraf pada sisi ipsilateral herniasi.
Nyeri dapat meningkat saat batuk, melakukan aktivitas, tertawa, menahan beban, atau
menggerakkan leher ke salah satu sisi.6
Herniasi diskus lumbosakralis akan memberikan gejala nyeri punggung berat dan spasme
otot paraspinal lumbar, dengan nyeri yang menjalar ke bokong hingga tungkai dan kaki. Nyeri,
hilangnya fungsi sensorik, dan kelemahan otot terjadi dengan pola radikuler, namun kelemahan
otot dan atrofi biasanya tidak terjadi pada awal proses penyakit. Nyeri dapat dicetuskan dengan
batuk, melakukan aktivitas, dan tertawa. Jika terjadi gangguan berkemih, harus mendapatkan
perhatian khusus.6
LANGE 278
Pemeriksaan Fisik
Tulang belakang yang normal memiliki lordosis pada daerah servikal dan lumbal, dan
kifosis pada daerah torakal. Kelainan pada struktur ini dapat menyebabkan hiperkifosis pada
torakal atau hiperlordosis pada daerah lumbal. Inspeksi dapat memperlihatkan skoliosis atau
asimetris penonjolon otot-otot paraspinal, yang mengindikasikan adanya spasme otot. Nyeri
punggung yang berasal dari tulang biasanya dapat dihasilkan dengan palpasi atau perkusi pada
prosesus spinosus pada tulang yang terkena.5 HARISON 90
Penekukan tulang belakang ke arah depan biasanya terbatas pada spasme otot paraspinal,
di mana tindakan ini meluruskan lordosis pada regio lumbal. Hiperekstensi tulang belakang

50
dengan posisi berdiri terbatas pada kompresi radiks saraf, dan beberapa kelainan lainnya. Nyeri
pada panggul dapat menyerupai nyeri pada penyakit pada daerah lumbal. Nyeri pada panggul
dapat dicetuskan dengan melakukan Patrick’s sign dan mengetuk daerah tumit dengan
menggunakan telapak tangan pemeriksa saat kaki ekstensi (heel percussion sign).5 HARISON 90
Dengan posisi pasien terlentang, fleksi pasif pada panggul saat kaki terekstensi menarik
radiks saraf L5 S1 dan saraf skiatika (straight leg-raising/SLR maneuver). Dorsofleksi pasif saat
maneuver tadi dapat dilakukan untuk menambah regangan (Laseque’s sign). SLR positif juga
pasien mengeluhkan nyeri yang seperti biasa pasien alami. Crossed SLR sign dikatakan positif
jika fleksi pada salah satu kaki menyebabkan nyeri yang biasa pasien alami pada tungkai atau
bokong yang berlawanan. Tes ini kurang sensitif namun spesifik untuk herniasi diskus.5
HARISON 91
Femoral stretch test dilakukan radikulopati L2-4 dengan cara pasien dalam tidur
telunkup, paha diekstensikan terhadap panggul, dan lutut difleksikan. Kernig’s sign juga dapat
dilakukan tidak hanya sebagai pemeriksaan pada meningitis. Radikulopati servikal dapat
diperiksa dengan melakukan spurling sign.6 LANGE 297
Pemeriksaan neurologis mencakup pencarian adanya kelemahan fokal atau atrofi otot,
perubahan refleks fokal, penurunan sensasi pada tungkai, atau tanda-tanda adanya cedera medula
spinalis. Pemeriksa harus sadar kemungkinan adanya kelemahan semu (breakaway weakness)
yang ditandai dengan adanya perubahan kekuatan motorik fluktuatif selama pemeriksaan. Hal ini
dapat disebabkan karena nyeri atau kombinasi nyeri dengan kelemahan otot yang sebenarnya.
Jika tidak terdapat nyeri biasanya disebabkan karena ketidakadanya usaha.5 HARISON 91

Pemeriksaan Penunjang LANGE 278


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos posisi anteroposterior,
lateral, dan oblik untuk melihat adanya osteofit yang memasuki foramen intervertebralis, namun
memiliki kemampuan terbatas untuk mendeteksi adanya herniasi nukleus pulposus.6
MRI merupakan teknik pencitraan terbaik untuk melihat patologi pada diskus, herniasi
nukleus pulposus, dan radiks saraf yang terganggu. MRI juga dapat memperlihatkan tingkat
abnormalitas diskus, seperti bulging atau protrusi, pada pasien asimtomatik.6
Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk melihat arsitektur tulang dan mendeteksi
protrusi diskus. CT dengan mielografi dapat memperlihatkan stenosis foraminal dan sentral.

51
EMG (elektromiografi) dan NCS (nerve conduction studies) dapat digunakan untuk memastikan
impresi klinis, serta menyingkirkan kemungkinan diferensial diagnosis lainnya. Denervasi otot
pada tingkat radiks mengindikasikan adanya radikulopati. EMG dan NCS juga dapat
memberikan informasi mengenai proses akut atau kronik penyakit dan tingkat keparahan defisit
neuronal. Studi ini dapat membedakan antara radikulopati, neuropati, miopati, atau pleksopati.6

Penatalaksanaan
Terapi utama pada radikulopati adalah istirahat dan pemberian obat-obat antiinflamasi.
Kebanyakan pasien dapat ditangani dengan baik hanya dengan terapi konservatif.
Direkomendasikan untuk melakukan bed rest selama 2 hari, di mana lebih dari ini tidak akan
memberikan manfaat tambahan.6 LANGE 300
Terapi Farmakologis
NSAID digunakan sebagai antiinflamasi dan analgesik. Obat ini harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol, pada usia tua, dan pada pasien dengan
gangguan gastrointestinal. Penambahan misoprostol, H2 bloker, atau PPI dapat memberikan
proteksi lambung yang baik. Asetaminofen dapat mengurangi nyeri tanpa memberikan efek
buruk pada gastrointestinal namun tidak memiliki efek antiinflamasi.6
Pemberian kortikosteroid jangan pendek dapat berguna untuk menangani pasien dengan
herniasi diskus akut, terutama pada pasien dengan risiko rendah, namun penggunaan obat ini
masih bersifat kontroversial. Pemberian relaksan otot dapat diberikan, namun kerja obat lebih
bersifat sentral dibandingkan pada setinggi otot, dan dapat menyebabkan kantuk yang
berlebihan. Narkotik diberikan pada pasien dengan nyeri yang sangat hebat. Untuk nyeri
neuropatik, obat-obat yang dapat berguna berupa gabapentin, pregabalin, duloksetin, 5%
lidocaine patch, tramadol, dan trisiklik antidepresan.6

Kortikosteroid
Kortikosteroid Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat
pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai
tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding

52
steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih
efektif menetralkan faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia
pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta
inhibisi prostaglandin dan tromboksan.7

21-Aminosteroid (Lazaroid)
21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan mengurangi
proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim
hidroksi peroksidase serta menstabilkan membran sel, namun penggunaannya masih belum
terbukti menghasilkan keluaran yang lebih baik.7

GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel. Glikolipid ini
berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik. Monosialotetraheksosilgangliosid
(GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel
saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia. Pada
percobaan, dilakukan terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi
terbaru menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini.7

Antagonis opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson sebagai
antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding metilprednison.
Penggunaan obat satu golongan namun beda titik tangkap, yaitu golongan antagonis reseptor
kappa (seperti dinorfi n dan norbinaltorfi min) pada hewan coba berhasil baik; diduga berefek
pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah, pengurangan infl uks kalsium, peningkatan kadar
magnesium, serta modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji
klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem
kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi
medula spinalis membaik.7

Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH

53
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai fungsi
melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet activating factor,
peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah spinalis,
memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid. Pemberian thyrotropin-
releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2 mg/ kgBB/jam infus sampai 6 jam,
dikatakan memberikan hasil baik, terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan
setelah injury.7

Penyekat Kanal Kalsium


Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik, vasospasme
arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang dipakai adalah nimodipin,
golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium.
Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering dipakai pada kasus
stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga mencegah akumulasi ion kalsium
intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat
mencegah vasospasme dan iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di
percobaan laboratorium; namun klinis masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran
pascatrauma karena diduga ada keterlibatan kanal ion lain. Infl uks kalsium terjadi dalam
hitungan detik pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi menunjukkan
bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran darah regional menyebabkan
hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya
selektif.7

Magnesium
Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder. Pada tikus dengan
onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO4 600 mg/kgBB mempunyai efek baik dengan
evaluasi somatosensory evoked potential dan mempunyai efek mencegah peroksidase lipid,
namun untuk memastikan efek pada kondisi klinis sesungguhnya masih dibutuhkan serangkaian
uji klinis pada manusia.7

Penyekat Kanal Natrium

54
Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel pascatrauma. Efek obat ini
adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel
pascatrauma. Studi in vivo menggunakan tetrodotoksin dan golongan lain, seperti QX314, masih
belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula penggunaan riluzol oleh Schwartz dan
Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan klinis.7

Modulasi metabolisme asam arakidonat


Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin, dan leukotrien akan
berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit sehingga menimbulkan iskemia. Obat yang
dapat memblokade enzim COX dianggap dapat bermanfaat. Prostasiklin yang merupakan hasil
metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda, yaitu vasodilatasi dan menghambat
agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung dengan indomethacin dan prostasiklin yang
dimulai 1 jam pascatrauma memiliki efek lebih meng untungkan dibandingkan dengan naloxon
sendiri. Studi lain menggunakan ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan COX-inhibitor) dengan
prostasiklin analog (iloprost) me nunjukkan manfaat terhadap aliran darah.7

Strategi pengobatan lain


Antagonis serotonin yang bekerja pada reseptor 5HT-1 dan 5HT-2 dalam percobaan
memberikan efek cukup baik, begitu pula dengan penggunaan neurotrophic growth factor;
antibodi inhibitor degenerasi aksonal telah dicobakan begitu pula dengan transplantasi sel saraf,
semuanya memberi kan hasil baik sebatas percobaan. Target berikut yang lebih penting adalah
memotong jalur apoptosis yang dicetuskan oleh kaspase, seperti inhibitor kaspase-3 serta
antiapoptosis protein (BCl-2). Takrolimus (FK56) dapat dipakai sebagai imunomodulator yang
ber fungsi sebagai promotor regenerasi akson.7
SUMBER GONDOWA
TERAPI NON FARMAKO LANGE 300
Tumor Medula Spinalis
Perjalanan klinis tumor berdasarkan letak tumor dalam kanalis spinalis

55
Lesi Ekstradural
Cenderung berkembang cepat, sering menyebabkan manifestasi kompresi medula spinalis, yang
berat dan progresif; paresis spastik terjadi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh medula
spinalis dibawah tingkat lesi dan kemudian, disfungsi miksi dan sedekasi. Nyeri merupakan
gambaran umum. Tumor yang terletak dibagian dorsal terutama menimbulkan gangguan
sensorik; kompresi bagian lateral medulla spinalise dapat menyebabkan sindroma Brown
Sequard.3

Lesi Intradural

1. Intradural Ekstramedular
Lesi medula spinalis ekstramedular paling sering timbul didaerah radix
posterior.awalnya tumor ini menimbulkan nyeri radicular dan parastesia. Kemudian, ketika
semakin membesar, tumor ini menyebabkan peningkatan kompresi pada radiks posterior dan
medulla spinalis, diawali dari kolumna posterior kemudian traktus piramidalis di funikulus
lateralis. Hasilnya adalah paresis spastik yang berat dan progresif pada ekstremitas bawah, dan
parestesia (terutama parestesia dingin) di kedua tungkai, disertai oleh gangguan sensasi epikritik
dan proprioseptik awalnya ipsilateral dan kemudian bilateral. Gangguan sensorik biasanya
berjalan naik dari kaudal ke kranial hingga mencapai tingkat lesi. Terdapat nyeri ketok pada
vertebrae saat perkusi setinggi radiks saraf yang rusak, dan nyeri tersebut memberat secara nyata
ketika batuk atau bersin. Nyeri akibat keterlibatan kolumna posterior memiliki kualitas seperti
“rematik” dan awalnya timbul di ujung distal ekstremitas. Hiperestesia tidak jarang terjadi pada
dermatom yang dipersarafi oleh radiks saraf yang terkena; hal ini dapat bermamfaat untuk
melokalisasi tingkat lesi secara klinis. Ketika kompresi medulla spinalis berkembang, pada
akhirnya akan menimbulkan disfungsi miksi dan defekasi.3
Tumor yang terletak di ventral, bisa mengenai radiks saraf anterior pada satu atau
kedua sisi, dan menyebabkan paresis flasid misalnya pada tangan (bila tumor terletak pada
region servikal). Seiring dengan perkembangannya, tumor menekan traktus piramidalis sehingga
pada awalnya menimbulkan paresis spastik pada ekstremitas bawah ipsilateral, dan kemudian
kedua ekstremitas bawah. Traksi pada medulla spinalis akibat regangan pada ligament
dentikulata juga dapat merusak sensari nyeri dan suhu kontralateral dapat tergangu. Pada tumor

56
ventral maupun dorsal, kompresi medulla spinalis yang progresif akhirnya dapat menimbulkan
disfungsi miksi dan defekasi.3

2. Intradural Intramedular
Tumor-tumor intramedular tumbuh ke bagian tengah dari medula spinalis dan merusak
serabut-serabut yang menyilang serta neuron-neuron substansia grisea. Kerusakan serabut-
serabut yang menyilang ini mengakibatkan :3
- Jarang menimbulkan nyeri radikuler, tetapi menimbulkan nyeri atipikal (rasa seperti
terbakar, nyeri tumpul) dengan lokalisasi difus.
- Defisit sensorik terdisosiasi dapat menjadi temuan dini
- Disfungsi miksi dan defekasi timbul pada awal pertumbuhan tumor.
- Tinggi gangguan sensorik (batas atas defisit neurologis) dapat naik, karena
pertumbuhan longitudinal tumor, sedangkan tinggi gangguan sensorik yan berkaitan
dengan tumor ekstramedular biasanya tetap konstan, karena pertumbuhan transversal.
- Atrofi otot akibat keterlibatan kornu anterior lebih sering dibandingkan dengan tumor
ekstramedular.
- Berat spastisitas berbeda dengan tumor ekstramedular.
- Sumber DUUS

57
Gambar 4.Tumor Medulla Spinalis (a,b) tumor ekstradural, (a) di dorsal medulla spinalis,
(b) di ventral medulla spinalis (c) Tumor intradural ekstrameduler (d) tumor intradural
intrameduler.

RED FLAG
Merupakan gejala atau tanda fisik yang memberi petunjuk adanya suatu kelainan serius
yang mendasari nyeri pinggang.8
 Sindrom kauda equina : terjadi akibat herniasi masif yang menyebabkan kompresi kauda
equina. Tanda-tanda mencurigakan ke arah sindrom kauda equina yaitu:
- Retensi urin akut atau overflow incontinentia
- Inkontinensia alvi/ atoni sfingter ani
- Saddle anesthesia
-
Paralisis progresif atau paraplegi
 Keganasan. Insidensi keganasan di tulang belakang relatif rendah. Kebanyakan merupakan
akibat metastasis. Tanda-tanda yang mencurigakan ke arah keganasan, yaitu :
- Adanya riwayat kanker
- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
- Usia lebih dari 50 tahun
- Tidak membaik setelah diterapi
- Nyeri lebih dari 4-6 minggu
- Nyeri pada malam hari atau saat istirahat
 Infeksi yang terpenting pada medula spinalis adalah osteomielitis vetebrae dan abses
epidural. Tanda-tanda yang mencurigakan ke arah infeksi yaitu:
- Riwayat pemakaian obat IV
- Sedang menderita infeksi bakteri (infeksi saluran kemih, kulit dan pneumonia)
- Kondisi penekanan sistem imun (penggunaan steroid, transplantasi organ., DM dan HIV)
- Nyeri pada saat istirahat atau tidak membaik saat istirahat
- Lokasi nyeri daerah lumbal dan sakrum
- Sifat nyeri menusuk dan ngilu
 Fraktur vertebrae : Fraktur vertebra dapat terjadi setelah trauma atau pada keadaan terdapat
neoplasma/osteoporosis (fraktur patologis)

58
Yellow flags adalah faktor psikologis yang memberi petunjuk bahwa nyeri pada penderita
nyeri pinggang cenderung berkembang kronis. Disebut nyeri pinggang kronis bila durasi nyeri
telah berlangsung lebih dari 3 bulan. Berkembangnya nyeri pinggang menjadi kronis diduga
karena terlibatnya faktor psikologis yang menghambat penyembuhan. Kondisi seperti ini
memerlukan intervensi dini untuk mencegah menjadi kronis.8

Sindrom Cauda Equina


Serabut saraf tulang belakang berakhir pada level antara vertebra lumbal pertama dan
kedua pada rata-rata orang dewasa. Bagian bulat yang paling distal dari sumsum tulang belakang
disebut conus medullaris, dan ujungnya yang meruncing berlanjut menjadi filum terminale. Di
distal dari akhir spinal cord merupakan suatu kumpulan akar saraf, yang berbentuk seperti ekor
kuda dan karenanya disebut cauda equina (bahasa Latin untuk ekor kuda).9
Akar saraf merupakan koneksi anatomis antara sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
perifer (PNS). Disusun secara anatomis sesuai dengan segmen tulang belakang dimana berasal
dan berada di dalam cairan serebrospinal (CSF) di ruang subaraknoid dengan dural sac yang
berakhir pada tingkat vertebra sakral kedua.9
Sindrom kauda equina merupakan gangguan neuromuskular dan urogenital yang
disebabkan karena kompresi simultan pada radiks saraf lumbosakral multipel di bawah segmen
konus medularis. Gejala yang dapat muncul adalah nyeri punggung bawah, nyeri skiatika (dapat
unilateral, atau biasanya bilateral), gangguan sensorik saddle anethesia, disfungsi kandung
kemih dan usus, dan hilangnya fungsi sensorik dan motorik ekstremitas yang bervariasi.9

Etiologi
Sindrom cauda equina disebabkan karena penyempitan kanal tulang belakang yang
menekan akar saraf di bawah tingkat medula spinalis. Beberapa penyebab sindrom cauda equina
yang telah dilaporkan adalah meliputi herniasi disk, ruptur intradural disk, stenosis tulang
belakang akibat kondisi tulang belakang lainnya, trauma, tumor primer seperti ependymoma dan
schwanoma, metastase tumor, infeksi, malfomasi arterivena atau perdarahan dan cedera
iatrogenik.9
Penyebab paling sering sindrom cauda equina dan sindrom konus mendullaris adalah.9
 Stenosis lumbar (multilevel)

59
 Trauma spinal
 HNP (penyebab 2-6% sindrom cauda equina)
 Neoplasma, termasuk diantaranya metastase, astrocytoma, neurofibroma dan meningioma
 Infeksi spinal/abses (tuberkulosis, HSV, meningitis, sifilid meningovaskular, CMV,
schistomosiasis)
 Idiopatik
 Spina bifida dan subsequent tetheredcord syndrome.

Penyebab lain yang jarang adalah.9


 Perdarahan spinal, terutama perdarahan subdural dan epidural menyebabkan kompresi di
dalam kanal tulang belakang
 Limfomatosis intravaskular
 Anomali kongenital tulang belakang / filum terminale, termasuk sindrom tali pusat
 Lipoma conus medullaris
 Multiple sclerosis
 Malformasi arteriovenosa spinalis
 Stadium akhir ankylosing spondylitis
 Neurosarcoidosis
 Trombosis vena dalam vena spinalis

Epidemiologi

Sindrom Cauda equina dan conus medullaris diklasifikasikan sebagai sindrom klinis
medulla spinalis; Data epidemiologis tentang 2 sindrom ini seringkali tidak tersedia secara
terpisah dari data umum pada cedera tulang belakang. Sindroma cauda equina sangat jarang
terjadi, baik secara atraumatis maupun traumatis. Sindrom cauda equina sering dilaporkan
sebagai laporan kasus karena kelangkaannya. Meskipun jarang, diagnosis tetap harus
diperhatikan pada pasien yang mengeluh nyeri punggung bawah disertai keluhan neurologis,
terutama gejala kencing.9

Gejala

60
Gejala dan tanda dari sindrom cauda equina cenderung mengarah kelainan LMN,
sedangkan sindrom conus medullaris merupakan kombinasi kelainan LMN dan UMN. Onset,
durasi dan gejala yang dititunjukkan dapat memperlihatkan penyebabnya.9
Gejala sindrom cauda equina meliputi.9
 Nyeri punggung bawah
 Unilateral atau bilateral
 Gangguan pada usus dan kandung kemih
 Kelemahan pada ekstremitas bawah dan defisit sensorik
 Penurunan atau hilangnya refleks pada ekstremitas bawah

Nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan nyeri radikular. Nyeri lokal
pada umumnya adalah nyeri yang disebabkan karena iritasi jaringan lunak tubuh dan tulang
vertebra. Nyeri radikular adalah nyeri yang bersifat tajam, menusuk dari merupakan hasil dari
kompresi dari akar saraf dorsal. Nyeri punggung bawah pada sindrom cauda equina mungkin
memiliki beberapa karakteristik yang menunjukkan adanya sesuatu yang berbeda dari strain
lumbar yang jauh lebih umum. Pasien mungkin melaporkan tingkat keparahan atau pemicu,
seperti kepala berputar, yang tampaknya tidak biasa.
Nyeri yang berat adalah ditemuan pada 96% pasien dengan sindrom cauda equina
sekunder yang disebabkan oleh neoplasma tulang belakang. Temuan selanjutnya meliputi
kelemahan ekstremitas bawah karena keterlibatan saraf ventral. Pasien umumnya mengalami
hipotonia dan hyporeflexia. Kehilangan sensori dan disfungsi sfingter juga umum terjadi.9

Manifestasi berkemih dari sindroma cauda equina meliputi.9


 Retensi
 Kesulitan memulai berkemih
 Berkurangnya sensasi
 Biasanya, manifestasi kencing dimulai dengan retensi urin dan kemudian diikuti oleh
inkontinensi overflow

Diagnosis

61
Diagnosis sindrom cauda equina berdasarkan riwayat medis dan temuan pemeriksaan
fisik. Radiologi dan laboratorium digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk
melokalisasi lokasi patologi dan penyebabnya.9
Myelografi, computed tomography, dan MRI masing-masing digunakan dalam kasus
tertentu dengan tingkat akurasi yang baik. Setiap tes dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
patologi dan bantuan dalam penentuan penyebab sindrom ini. Bone scan dapat mendeteksi tumor
ganas atau metastasis dan kondisi peradangan yang mempengaruhi vertebra.9
Karena kemampuannya untuk menggambarkan jaringan lunak, MRI umumnya
merupakan studi pencitraan yang disukai untuk membantu dokter dalam diagnosis sindrom
cauda equina. MRI yang mendesak dianjurkan untuk semua pasien yang memiliki gejala kencing
baru dengan nyeri punggung atau linu panggul terkait. Meski begitu, keunggulan MRI over CT
hanya disarankan oleh laporan kasus. Konsultasi awal dengan subspesialisasi yang tepat
didorong untuk memandu studi pencitraan.9
Berdasarkan temuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, laboratorium dapat mencakup
pemeriksaan darah dasar, kimiawi, gula darah puasa, tingkat sedimentasi, dan sifilis dan serologi
Lyme. Pemeriksaan CSF juga harus disertakan jika tanda meningitis ada.9
Perubahan fungsi kandung kemih dapat dinilai secara empiris dengan mendapatkan urine
melalui kateterisasi. Volume yang signifikan dengan sedikit atau tanpa dorongan untuk
membatalkan, atau sebagai sisa post-void, dapat mengindikasikan disfungsi kandung kemih.
Ultrasonografi juga dapat digunakan untuk memperkirakan atau mengukur volume kandung
kemih residu post-void.9
Studi mikrodinamik berguna untuk mengevaluasi tingkat dan penyebab disfungsi
sfingter, serta untuk memantau pemulihan fungsi kandung kemih setelah operasi dekompresi.
Pemantauan intraoperatif potensial somatosensori dan motor membangkitkan memungkinkan
evaluasi radikulopati dan neuropati.9

Penatalaksanaan
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab primer. Tujuan pengobatan adalah untuk
meminimalkan tingkat cedera dan untuk mengobati komplikasi umum berikutnya.9

62
Pilihan perawatan medis lainnya berguna pada pasien tertentu, tergantung pada penyebab
sindrom cauda equina. Agen anti-inflamasi dan steroid dapat efektif pada pasien dengan proses
inflamasi, termasuk ankylosing spondylitis.9
Pasien dengan sindrom cauda equina sekunder akibat penyebab infeksi harus mendapat
terapi antibiotik yang tepat. Pasien dengan neoplasma tulang belakang harus dievaluasi untuk
kesesuaian kemoterapi dan terapi radiasi.9
Methylprednisolone harus diberikan. Perawatannya harus dimulai dalam waktu 8 jam
setelah cedera. Tidak ada bukti adanya manfaat jika dimulai lebih dari 8 jam setelah cedera;
Sebaliknya, pengobatan terlambat mungkin memiliki efek yang merugikan.9
Pemberian garam natrium GM1 gangliosida yang dimulai dalam waktu 72 jam karena
cedera mungkin bermanfaat; Dosisnya 100 mg IV qd selama 18-32 hari.9
Tirilazad mesylate (aminosteroid nonglucocorticoid 21) telah terbukti bermanfaat bagi
hewan dan saat ini sedang diselidiki. Ini menghambat peroksidasi lipid dan hidrolisis dengan
cara yang sama seperti glukokortikoid.9
Perhatian harus digunakan dalam semua bentuk manajemen medis untuk sindrom cauda
equina. Setiap pasien dengan sindrom cauda equina yang benar dengan gejala kehilangan rasa
dan / atau kelemahan ekstremitas bawah atau kehilangan kontrol usus atau kandung kemih harus
menjalani tidak lebih dari 24 jam penanganan medis awal. Jika tidak ada gejala yang hilang
selama periode ini, segera dekompresi bedah diperlukan untuk meminimalkan kemungkinan
cedera neurologis permanen. 9
SUMBER MEDSCAPE CAUDA EQUINA

63
BAB III
PEMBAHASAN

Anamnesis

Sejak 2 bulan SMRS, pasien mengeluh nyeri pinggang. Nyeri dirasakan pada
pinggang sebelah kiri. Nyeri pinggang hilang timbul dengan rasa nyeri seperti diiris-iris
dan ditusuk-tusuk. Nyeri menjalar ke punggung belakang, bokong, paha dan lutut sebelah
kiri. Nyeri pinggang dirasakan bertambah berat jika pasien duduk dan berjalan sehingga
membuat pasien sulit untuk duduk dan berjalan. Nyeri tidak bertambah berat dengan
keadaan batuk, bersin, mengangkat berat maupun mengejan. Pasien mengaku nyeri
pinggang terasa berkurang saat pasien berbaring dan tidak melakukan aktivitas apapun.

Pasien juga mengeluh kaki sebelah kiri terasa lemah, mudah capek dan kesemutan
namun tidak mati rasa sehingga saat berjalan pasien cenderung melempar kaki sebelah
kiri dan memerlukan tongkat saat berjalan.

Buang air besar tidak ada keluhan. Buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien
mengaku tidak ada penurunan berat badan drastis akhir-akhir ini. Tidak ada demam.

Diskusi

Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang. Dimana keluhan nyeri pinggang yang
dirasakan pasien bersifat nyeri radicular back pain, dimana nyeri tersebut bersifat tajam
yang mana dideskripsikan pasien seperti nyeri diiris-iris atau ditusuk tusuk, dan keluhan
nyeri menjalar hingga ke bokong, paha, dan kaki sebelah kiri. Namun pasien tidak ada
mengeluh nyeri ketika mengangkat berat, mengedan maupun bersin, hal ini tidak sesuai
teori. Nyeri radikular juga sesuai dengan gejala pada sindrom cauda equina.

Pasien bekerja sebagai pedagang dan mempunyai kebiasaan mengangkat berat. Hal
ini merupakan risiko terjadinya herniasi diskus yang merupakan salah satu penyebab
sindrom kauda equina. Dimana terjadi peningkatan tekanan intradiskus sehingga diskus
mengalami herniasi ke arah posterolateral dan megkompresi akar saraf yang melalui
foramen dibawah dari diskus tersebut.

64
Pasien juga mengeluh kaki sebelah kiri terasa lemas, mudah capek, dan kesemutan.
Hal ini sesuai degan teori sindrom cauda equina dimana pada sindrom ini didapatkan
kelemahan pada ekstremitas atas atau bawah yang bersifat unilateral atau bilateral, dan
terdapat penurunan refleks ekstremitas bawah yang bersifat unilateral atau bilateral.
Namun defisit sensorik dan gangguan pada usus dan kandung kemih tidak ditemukan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan penurunan refleks patella dan refleks


achilles. Hal ini menunjukkan lesi dari radix saraf setinggi L2-L4 dan S1-S2. Sesuai
dengan teori sindrom cauda equina yaitu berada antara L3-S5. Hasil pemeriksaan motorik
ekstremitas bawah yaitu kekuatan 4, dimana pasien dapat melawan tahanan pemeriksaan
namun lemah.

Hasil MRI memnunjukkan spondyloartrosis lumbalis dengan degenarative disc


disease, spondylolisthesis L4 grade 1 dan bulging diskus intervertebralis L4-5 yang
menyebabkan canal stenosis, bulging diskus intervertebralis L3-4 dan L5-S1 yang
menekan dural sac dan menyempitkan foramen neuralis kanan kiri. Hal ini sesuai dengan
klinis, hasil pemeriksaan fisik, dan faktor risiko yang ada pada pasien.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan diagnosa klinik pada pasien adalah
monoparesis ekstremitas kiri bawah, refleks patella menurun dan refleks achilles
menurun. Diagnosa topik pada pasien adalah adanya lesi medulla spinalis segmen L3-L4
dan L5-S1. Hal ini didasari dari hasil pemeriksaan fisik dan MRI. Diagnosa etiologik
adalah trauma dan degenerative. Dimana pasien mengalami trauma secara tidak langsung
namun terus-menerus yaitu mengangkat berat dan usia pasien lebih dari 50 tahun yang
berisiko terjadinya proses degenerative pada tulang belakang. Diagnosa patologik adalah
kompresi yang disebabkan karena peningkatan tekanan intradiskus karena proses trauma.

Pasien diberikan obat sinkronik, metil prednisolon dan pregabalin.

Sinkronik mengandung tramadol 37.5 mg dan paracetamol 325 mg. Diberikan untuk
mengobati rasa nyeri. Pemberian opioid dapat mencegah hipotensi sehingga
mikrosirkulasi medula spinalis.

Metil prednisolon diberikan untuk menstabilkan membran, menghambat oksidasi


lipid, mensupresi edem vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,
65
menghambat pelepasan endorfin dari hipofisi dan menghambat respon radang. Berguna
untuk menangangi pasien dengan herniasi diskus akut, terutama pada pasien dengan
risiko rendah.

Pemberian pregabalin pada pasien ini digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik.

Prognosis ad vitam : bonam. Hal ini didasari dari hasil pemeriksaan kesadaran
GCS 15 dan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital menunjukkan semua dalam batas
normal. Sehingga tidak mengancam nyawa pasien. Prognosis ad fungsionam: dubia ad
bonam. Didasari karena penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi fungsi organ
yaitu pasien merasa nyeri pada punggung sebelah kiri dan kelemahan pada kaki sebelah
kiri sehingga menganggu fungsi berjalan pasien namun pasien masih dapat beraktivitas
seperti biasa. Prognosis ad sanationam : dubia ad bonam. Disebabkan penyakit yang
diderita pasien tidak bisa sembuh sempurna hanya mengurangi keluhan. Apabila pasien
tidak meminum obat secara rutin, mengikuti nasehat dokter dan tidak menghindari faktor
risiko (angkat barang-barang berat), keluhan tetap akan dirasakan dan bisa bertambah
berat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS. Clinical neuroanatomy. 7th ed. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2010.
p.133-73.

66
2. Lindsay KW, Bone I, Callander R. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed.
Edinburgh: Churchull Livingstone; 1997. p. 376-91. (penyebab dan gejala)
3. M. Baehr, M. Frotscher. Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi, isiologi, Tanda,
Gejala. Jakarta : EGC; 2015.p.60-77.
4. Chin Lawrence S. Spincal cord injuries. Oct 2016. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/7793582-overview pada tanggal 11 januari 2018 jam
20.47 WIB.
5. Hauser SL. Harrison’s neurology in clinical medicine. 3rd ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2013.p.71-5;403-5.
6. Brust MCJ. Current diagnosis and treatment: neurology. 2nd ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 193-200; 277-81.
7. Gondowaraja Y, Purwata TE. Trauma medula spinalis : patobiologi dan tatalaksanan
medikamentosa. Diunduh pada tanggal 11 Januari 2018 jam 21.45 WIB, dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_219CME_Trauma%20Medula%20Spinalis-
Patobiologi%20dan%20Tatalaksana%20Medikamentosa.pdf Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC;2009.p.179.
8. Dawodu ST. Cauda equina and conus medullaris syndrome. May 30 2017. Diunduh dari
https://emedicine.medscape.com/article/1148690-
overview?pa=fINp15RpAEaKj1ndnzNRIx7OSpXgWN1b5J1nxWJsaMssrTcC7DvKuWaNU
uflKDJgewvrN3iqwLEuCePsMf5EFHBa6qMPn9v9%2B17kWmU%2BiQA%3D pada
tanggal 19 Agustus 2015 pukul 19:29.

67

Anda mungkin juga menyukai