Anda di halaman 1dari 27

Referat Saraf

Trauma Capitis

Pembimbing :

Dr. Hardhi, SpS

Disusun oleh :

Olivia Josephine 11.2012.094

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf

RS BHAKTI YUDHA, Depok

Periode 11 November – 14 Desember 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya, saya
dapat menyelesaikan penulisan referat ini dalam memenuhi kewajiban tugas pada Kepaniteraan
Klinik Saraf di RS Bhakti Yudha, Depok.

Terima kasih kami ucapkan kepada para dosen, pembimbing, serta panutan saya Dr. Hardhi,SpS
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar lebih banyak tentang Trauma
Capitis sehingga saya dapat menyelesaikan tanggung jawab saya dalam menyelesaikan tugas
referat ini.

Saya sebagai penulis menyadari dalam pembuatan serta penyusunan referat ini banyak terdapat
kekurangan, maka saya dengan lapang dada menerima koreksi, kritikan dan saran yang
membangun demi terciptanya hasil yang lebih baik kedepannya. Saya berharap referat ini dapat
memberikan sumbangan pikiran dan pengetahuan bagi pembaca pada umumnya.

Depok, 20 November 2013

Olivia Josephine

11.2012.094
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup tinggi
dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang
muda, sehat dan produktif.
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun di Amerika
Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma capitis adalah yang tertinggi,
yaitu sekitar lebih atau sama dnegan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis,
meninggal ditempat kejadian. Trauma kapitis memiliki dampak emosi, psikososial, dan ekonomi
yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang
panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit membutuhkan fasilitas pelayanan jangka
panjang.
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun
pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma
kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan
dan berat dalam jumlah yang sama.
Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada barulah data dari
beberapa rumah sakit (sporadis).1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Trauma Kapitis

Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan
mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater,
vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan
psikosial baik temporer maupun permanen. 2

2.2. Epidemiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan
teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok
usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh
kaum laki-laki. 2

2.3 Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang
tengkorak. Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur
tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini
mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara
makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera
otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara
makroskopis.
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala
sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Penyebab cedera
kepala sekunder antara lain seperti penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea,
hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi. Aspek
patologis dari cedera kepala antara lain hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara
tulang tengkorak dan duramater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara duramater
dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara duramater dan arakhnoidea),
perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara
arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di
sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan di
dalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan
ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma
serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada
kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang
tengkorak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contrecoup dan coup.
Contrecoup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang
mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada
otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contrecoup terjadi pada sisi yang
berlawanan dengan daerah benturan. 1,2,3

2.4 Klasifikasi Cidera Kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:


a. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi
yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan
kontak pada protuberans tulang tengkorak.
Gambar. Mekanisme Cedera Tertutup
b. Cedera tembus, disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


a. Fraktur kranium, fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
Fraktur dapat berupa garis atau linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik
(stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak
dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan
spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki
tulang tengkorak.
b. Lesi intrakranial, dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan. 2,3,4,5

Berdasarkan Morfologi Cedera Kepala

Komosio Serebri (geger otak)

Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk
kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepalaberat, hilang ingatan
(amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah,pandangan ganda.

Kontusio serebri (memar otak)

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau
benturan pada kepala.Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak,
dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan
berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia
retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada
daerah yang luka dan luasnya lesi:
i. Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang dapat
menyebabkan kematian.

ii. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil
mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku
dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)

iii. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma,
pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata
diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap
ekstensi).

Perdarahan epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
(hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media akibat retaknya tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga
kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat
robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun
secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan
9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena
memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong
segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan
gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural dapat
menunjukkan intervallucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang semula mampu
bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif
memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Gambar. Perdarahan epidural

Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30% dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang
terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara. Namun dapat juga
terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan
otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan
tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif. 2,3,4,5
Gambar. Perdarahan subdural

Subdural hematom dibagi menjadi, yaitu:

1. Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang
otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
Gejala klinis subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom dan
derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral.
Gejala neurologis yang sering muncul, yaitu:
a. Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran
b. Dilatasi pupil ipsilateral hematom
c. Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
d. Hemiparesis kontralateral
e. Papil edema

2. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik
yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-
lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon
terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan
intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus
atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu
vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam
ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah
dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini,
cedera tampaknya ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
a. sakit kepala yang menetap
b. rasa mengantuk yang hilang-timbul
c. linglung
d. perubahan ingatan
e. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara
membrana arachnoid dan piamater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara
spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala
yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (“thunderclap headache”), penurunan
kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset
perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi
otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi
neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta
tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan
perdarahan berasal dari a.communicating posterior.
Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan
darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral,
kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat
menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio
intraserebral.

Kontusio dan perdarahan intraserebral


Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri meningkat
sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio
serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun dapat
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan
antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri
dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan
intraserebral.

Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio serebri
ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis
yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan
kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan
bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama
sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia
retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah
cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam.
Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain
amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul defisit
neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing,
mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma
yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering
tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua
keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.

Hematoma intraserebral

Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak,
sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.Gejala-gejala yang ditemukan adalah :

i. Hemiplegi

ii. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yangmeningkat.

iii. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke
sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

Fraktura basis kranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada
dasar tengkorak.Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun,
bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.Dapat
tampak amnesia retrogad dan amnesia pascatraumatik.Gejala tergantung letak frakturnya

a. Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius
sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

b. Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga.Fraktur memecahkan arteri carotis
interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah
arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid.Getaran fraktur dapat melintas foramen


magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.

2,3,4,5

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:

1. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri
a. Skor GCS 13-15
b. Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
c. Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
d. Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
neurologis
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
a. Skor GCS 9-12
b. Ada pingsan lebih dari 10 menit
c. Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
d. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak
3. Cedera Kepala Berat (CKB)
a. Skor GCS < 8
b. Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
c. Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
d. Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas

Gambaran Klinis
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)

Glasgow Coma Scale ( GCS)

Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik (Eyes, Verbal, Movement).
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Gambar 2. Tes membuka mata (eye)

 Secara spontan 4
 Atas perintah 3
 Rangsangan nyeri 2
 Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

Gambar 3. Kemampuan komunikasi (verbal)

 Orientasi baik 5
 Jawaban kacau 4
 Kata-kata tidak berarti 3
 Mengerang 2
 Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)

Gambar 4. Kemampuan motorik

 Kemampuan menurut perintah 6


 Reaksi setempat 5
 Menghindar 4
 Fleksi abnormal 3
 Ekstensi 2
 Tidak bereaksi 1

Catatan :

1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak
dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi, skor
SKG maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye
closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen
motoriknya.
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan
neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan
yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat
darurat, yaitu:

1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta (lebih dari
50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoon’s eyes
(ekhimosis periorbital), atau Battle’s sign (ekhimosis retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung
(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan
ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas
dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian
kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi
secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf,
pembuluh darah). 1,2,3,4

2.5. Diagnosis7,9,10

1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
e. Gangguan fokal neurologis
f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis
h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye phenomen
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation,
apneusitic breath, ataxic breath
j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur linier, impresi,
terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa gambaran
kontusio, gambaran edema otak, gambaran perdarahan(hiperdens), hematoma
epidural, hematoma subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma
f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi5,6

2.6. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah
dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)
berdasarkan urutan:

1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan seperti
berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak.
Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi
cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Memasang
oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien
tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan
Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan adanya
cedera intra abdomen atau dada.mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan
larutan koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan
pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien
stabil.
E = Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah
sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
F = manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sedar (pantauan
dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi
kondisi sebagai berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38˚C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
1. Elevasi kepala 30
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam, drip cept,
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam
dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan
24 jam dari pemberian pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
d. Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure
pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi
intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut, yaitu:

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN8


Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 14-15)

1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan,
kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS

1. CT scan tidak ada


2. CT scan abnormal
 Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
 Sakit kepala sedang-berat
 Intoksikasi alkohol/obat-obatan
 Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera
9. Amnesia

Dipulangkan dari RS

1. Tidak memenuhi kriteria rawat


2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG


Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu
menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-13).
1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akandipulangkan

Bila kondisi membaik (90%)

1. Pasien dapat pulang


2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik

Bila kondisi memburuk (10%)


Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT


Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang
menurun (GCS 3-8)
•Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE
•Primary Sunny dan resusitasi

•Secondary Survey dan riwayat AMPLE 22

•Re-evaluasi neurologic

•Respon buka mata

• Reaksi Cahaya pupil

•Respon motorik

• Refleksokulosefalik (Doll's eyes)

•Respon verbal
• RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)

•Obat-obatan

•Manitol

•Antikonvulsan

•Hiperventilasisedang

•TesDiagnostik (sesuaiurutan)

•CT Scan (semuapenderita)

•Ventrikulografiudara

•Angiogram

2.7 Prognosis

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala ringan,
sebagian besar penderita sembuh dengan baik.

10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi
sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-
scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita mungkin
dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.

Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang
sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai
resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan
mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater,
vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan
psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma Kapitis dapat terjadi akibat benturan
langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma
Kapitis dibagi menjadi Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan
proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes,
Verbal, Movement)
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala
ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan cedera kepala
sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang tergolong dalam cedera
kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan
resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. IT Maria.Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma


Spinal.Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PERDO).Jakarta,2011.hal 2-3.
2. . Advance Trauma Life Support, hal 196-2352.
3. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.PenerbitErlangga.Jakarta,
hal 44-51
4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon LearningSystem
LLC, 2003
5. Diunduh dari http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact, 18
november 2013.
6. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
7. Diunduh dari http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf, 19
november 2013.
8. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 199125
9. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge
University Press. Cambridge.2009
10. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
11. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery
2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.

Anda mungkin juga menyukai