Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Agama : Islam
Umur : 72 tahun
Alamat : Jeneponto
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bugis
Status : Menikah
No. RM : 234035
Tgl. Masuk : 25 Januari 2017

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri kepala dari mata tembus ke belakang sejak ± 1 bulan yang lalu
Anamnesis Terpimpin :
 Informasi mengenai keluhan utama
Seorang pasien perempuan berusia 72 tahun datang ke UGD RS Haji mengeluh nyeri
kepala dari mata tembus ke belakang sejak ± 1 bulan yang lalu. Pasien mengaku sakit
kepalanya sering terjadi dan bersifat hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan kelopak mata
sebelah kanannya tidak bisa membuka. Ada riwayat operasi katarak 2 tahun yang lalu ,
riwayat trauma (-), riwayat stroke (-), riwayat hipertensi (+), riwayat DM (-). BAB lancar,
BAK lancar.
 Anamnese sistematis
Demam (-), Batuk (-), Mual (-), Muntah (-), BAK warna kuning kesan cukup, BAB warna
kuning kesan biasa.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesan : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Gizi : Cukup

1
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 82x/menit, kuat angkat, reguler
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36.8˚C
Anemi :-

TORAKS :
Paru-paru :
a. Inspeksi : Dinding thoraks simetris saat statis atau dinamis, retraksi otot
dinding dada (-)
b. Palpasi : Simetris antara kiri dan kanan
c. Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
a. Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
b. Palpasi : Tidak teraba iktus cordis
c. Perkusi : Batas jantung – paru dalam batas normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, mur-mur (-)
Abdomen :
a. Inspeksi : Massa (-), Ascites (-)
b. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan. Massa abnormal (-). Distensi abdomen (-)
c. Perkusi : Dalam batas normal
d. Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat
Ekstremitas:
a. Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis(-/-)
b. Bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis(-/-)
Status Neurologis : GCS = 15 E4 M6 V5
1. Kepala :
Posisi : Di tengah Auskultasi :-
Penonjolan : Massa (-)
Bentuk/ukuran : Normocephal

2
2. Saraf kranial : Kanan Kiri
N. I (Olfaktorius)
Subyektif : - -
Dengan bahan (kopi bubuk) : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. II (Optikus)
Tajam penglihatan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lapang penglihatan : dalam batas normal
Melihat warna : dalam batas normal
Fundus okuli : tidak dilakukan pemeriksaan
N. III (Okulomotorius)
Celah mata : asimetris
Posisi bola mata : di lateral di tengah
Pergerakan bola mata : terbatas dalam batas normal
Strabismus : - -
Nistagmus : - -
Exophtalmos : - -
Pupil : Besarnya : 2,5 mm 2,5 mm
Bentuknya : Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung : + +
Refleks cahaya tidak langsung: + +
Melihat ganda : - -
N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata : terbatas dalam batas normal
(ke bawah-ke dalam)
Sikap bola mata : Lateral Tengah
Melihat ganda : - -
N.V (Trigeminus)
Membuka mulut : dalam batas normal

3
Mengunyah : dalam batas normal
Menggigit : dalam batas normal
Refleks kornea : +
Sensibilitas muka : dalam batas normal
N. VI (Abdusen)
Pergerakan mata (ke lateral) : - -
Sikap bola mata : Tengah Tengah
Melihat ganda : - -
N. VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi : dalam batas normal
Menutup mata : dalam batas normal
Memperlihatkan gigi : dalam batas normal
Bersiul : dalam batas normal
Perasaan lidah (2/3 anterior) : dalam batas normal
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Suara berbisik : sulit dinilai
Tes schwabach : tidak dilakukan
Tes rinne : tidak dilakukan
Tes weber : tidak dilakukan
Vertigo : (-)
Nistagmus : (-)
N. IX (Glosofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 posterior) : dalam batas normal
Sensibilitas faring : dalam batas normal
N. X (Vagus)
Arkus faring : dalam batas normal
Menelan : dalam batas normal
Refleks muntah : dalam batas normal

4
N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu : dalam batas normal
Memalingkan muka : dalam batas normal
N.XII (Hipoglossus)
Atrofi lidah : tidak ada
Kekuatan : dalam batas normal
Gerak spontan : dalam batas normal
Posisi diam : dalam batas normal
Posisi dijulurkan : dalam batas normal
3. Leher:
Tanda-tanda perangsangan selaput otak:
 Kaku kuduk : Tida ada
 Kernig’s sign : Tidak ada
Kelenjar limfe : Tidak teraba
Arteri karotis :
 Palpasi : Teraba, kuat angkat
 Auskultasi : Bruit (-)
Kelenjar gondok : Tidak teraba
4. Abdomen
Refleks kulit dinding perut : Ada
5. Kolumna vertebralis:
Inspeksi : Gibbus (-), Skoliosis (-)
Pergerakan : Normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Tidak Dilakukan

5
6. Ekstremitas: Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Motorik
Pergerakan : Normal Normal Normal Normal
Kekuatan : 5 5 5 5
Tonus otot : Normal Normal Normal Normal
Bentuk otot : Normal Normal Normal Normal
Otot yang terganggu : -

Refleks Fisiologis
 Biceps : N/N
 Triceps : N/N
 Radius : N/N
 Ulna : N/N
Klonus
 Lutut : tidak ada
 Kaki : tidak ada
Refleks Patologis
 Hoffman – Trommer : -/-
 Babinsky : +/-
 Chaddock : +/-
 Gordon : -/-
 Schaffer : -/-
 Oppenheim : -/-

6
Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil : Normal Normal
Nyeri : Normal Normal
Suhu : Normal Normal
Diskriminan 2 titik : Normal Normal
Lokalis : Normal Normal

7. Gangguan koordinasi :
 Tes jari hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Tes pronasi-supinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Tes tumit : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Tes pegang jari : Tidak dilakukan pemeriksaan
8. Gangguan Keseimbangan
 Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
9. Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Pemeriksaan nyeri : Tidak dilakukan pemeriksaan
11. Pemeriksaan fungsi luhur :
 Memori : dbn
 Fungsi Bahasa : dbn
 Visuospasial : dbn
 Fungsi Eksekutif : dbn
 Fungsi Psikomotor : dbn
 Kalkulasi : dbn
 Gnosis : dbn

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tidak dilakukan

V. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK DAN PEMERIKSAAN LAIN-LAIN:


Tidak dilakukan

7
VI. RESUME
Pasien perempuan berumur 72 tahun dibawa ke UGD RS HAJI pada tanggal 25 April
2017 dengan keluhan nyeri kepala dari mata tembus ke belakang yang dialami sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit dan bersifat hilang timbul disertai kelopak mata yang tidak bisa
membuka. Pernah menjalani operasi katarak 2 tahun yang lalu dan riwayat hipertensi (+).
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital TD: 160/100 mmHg, Nadi: 82x/menit,
Pernapasaan: 20x/menit, Suhu: 36.80C, kesadaran Compos Mentis (E4M6V5). Pada
pemeriksaan Motorik:

N N 5 5 N N - -
P K RF RP
N N 5 5 N N - -

VII. DIAGNOSA
 Diagnosa klinis : Ptosis Dextra
Parese N. III dan N. IV
 Topis : Cerebral Dextra
 Etiologi : Migraine Opthalmoplegic

VIII. DIAGNOSA BANDING


Tolosa Hunt Syndrome

IX. TERAPI
 Medikamentosa :
- Ranitidine 1 amp/ 12 jam/ IV
- Dexametasone 1 amp/12 jam/ IV
- Mecobalamin 1 amp/ 24jam/ IM
- Pulvis (Asam mefenamat 500 mg, Diazepam 1gr, Ericaff ¾ tab) 2 x 1

 Non-medikamentosa
- Rawat inap
- Perbaikan nutrisi

8
X. FOLLOW UP
FOLLOW UP (25 April 2017)
Subjective Objective Assesment Planning
Nyeri kepala Kesadaran : Compos Ptosis dextra dan - Dexametasone
masih tetapi Mentis Parese N. III dan amp/12 jam/IV
beratnya GCS: E4M6V5 N. IV ec. - Ranitidin 1 amp/12
sudah TTV : Migraine jam/IV
menurun, TD=160/100 mmHg opthalmoplegic - Mecobalamin
kelopak mata Nadi = 82x/m, reguler 1 amp/ 24 jam/IM
masih tertutup Suhu = 36,80C DD/ Tolosa Hunt - Asam mefenamat
Napas = 20x/m,reguler Syndrome 500mg, Diazepam
S.Neurologis: 1mg, ericaf ½ tab
- RM: caps 2x1
- Kaku Kuduk : (-)
- Kernig Sign : (-)
b. Nn.Cranial :
- Pupil bulat diameter
2,5 mm, isokor, Refleks
Cahaya (+/+)
c. Motorik :
P N N
N N
K 5 5
5 5
RF N N
N N
RP - -
- -
d. Sensorik : baik
e. Otonom :
BAB (-), BAK (+)

9
FOLLOW UP (26 April 2017)
Subjective Objective Assesment Planning
Nyeri kepala Kesadaran : CM Ptosis dextra dan - Dexamethasone
masih tetapi GCS: E4M5V2 Parese N. III dan N. IV amp/12 jam/IV
beratnya TTV : ec. Migraine - Ranitidin 1
sudah TD=120/70 mmHg opthalmoplegic amp/12 jam/IV
menurun, Nadi = 80x/m, reguler - Mecobalamin
kelopak mata Suhu = 36,80C DD/ Tolosa Hunt 1 amp/ 24
masih Napas = 22 x/menit Syndrome jam/IM
tertutup S.Neurologis: - Asam mefenamat
- RM: 500mg,
- Kaku Kuduk : (-) Diazepam 1mg,
- Kernig Sign : (-) ericaf ½ tab caps
b. Nn.Cranial : 2x1
- Pupil bulat diameter -
2,5 mm, isokor,
Refleks Cahaya (+/+)
c. Motorik :
P N N
N N
K 5 5
5 5
RF N N
N N
RP - -
- -
d. Sensorik : baik
e. Otonom :
BAB (-), BAK (+)

10
XI. PROGNOSIS
Qua Ad Vitam : Dubia
Qua Ad Sanationam : Dubia
Ad Fungsionam : Dubia

XII. DISKUSI
Anamnesis
Seorang pasien perempuan berusia 72 tahun datang ke UGD RS Haji mengeluh nyeri
kepala berdenyut sebelah kanan dari mata tembus ke belakang sejak ± 1 bulan yang lalu.
Nyeri kepala ini sering dirasakan pasien dan sifatnya hilang timbul. Selain itu, kelopak mata
kanan pasien tidak dapat membuka sejak 7 hari yang lalu. Pasien pernah melakukan operasi
katarak 2 tahun yang lalu , dan memiliki riwayat hipertensi. Pada pemeriksaan fisik, Tekanan
darah 160/100 mmHg, nadi 82x/ menit, kuat angkat dan regular, pernapasannya 20x/menit
dengan suhu 36,8oC. GCS: E4M6V5. Pada pemeriksaan refleks cahaya, pupil mata kanan
pasien tidak berespon dengan baik sedangkan mata kiri berespon dengan baik. Pada
pemeriksaan gerakan bola mata, sisi kanan mengalami keterbatasan di mana bola matanya
hanya dapat bergerak di daerah lateral saja.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan, disimpulkan diagnosis
penyakit pasien adalah neuropati ophthalmoplegik dengan nyeri berulang. Istilah neuropati
ophthalmoplegik dengan nyeri berulang ini baru-baru saja digunakan oleh International
Classification of Headache Society edisi 3. Sebelumnya, penyakit ini bernama migraine
ophthalmoplegik. Hal ini dilakukan karena dengan menggunakan MRI, hasilnya lebih
mengarah ke neuropati dan hubungan antara migraine masih belum dapat dijelaskan. Namun,
gejala migrain hampir didapatkan pada semua kasus dan tipe nyeri kepala yang terjadi pun
sangat mirip dengan migrain. Dimana migrain adalah nyeri kepala yang umumnya unilateral
yang berlangsung selama 4-72 jam, sekitar 2/3 penderita migraine predileksinya unilateral,
dengan sifat nyeri berdenyut, dan lokasi nyeri umumnya di daerah frontotemporal dan
diperberat dengan aktivitas fisik. Kebanyakan kasus migraine lebih sering dialami oleh
perempuan dibanding laki-laki (2-3 : 1). Untuk dapat mendiagnosis nyeri kepala tersebut
merupakan migraine, dapat menggunakan kriteria diagnostik HIS. Kriteria diagnostic HIS
untuk migraine mensyaratkan bahwa harus terdapat paling tidak 3 dari 4 karakteristik berikut:
(1) migren dengan satu atau lebih aura reversible yang mengindikasikan disfungsi serbral
korteks dan/atau tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk

11
berangsur-berangsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, (4) sakit
kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit. Sedangkan
untuk kriteria diagnostic HIS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus terdapat
paling sedikit 10 kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memiliki kriteria berikut: (a)
berlangsung 4-72 jam, (b) paling sedikit memnuhi dua dari: (1) unilateral, (2) sensasi
berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh aktivitas, (3) bisa terjadi mual
muntah, fotofobia dan fonofobia. Dengan gejala seperti itu, maka tujuan pemberian terapi
pada pasien migraine untuk membantu penyesuaian psikologis dan fisiologis, mencegah
berlanjutnya dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi media humoral (misalnya serotonin dan
histamine), dan mencegah vasokonstriksi arteri intracranial untuk memperbaiki aliran darah
otak. Dimana terapi tahap akut berupa ergotamine tatrat, secara subkutan atau IM diberikan
sebanyak 0,25-0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/ 24 jam. Secara oral atau sublingual
dapat diberikan 2mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10mg/minggu.
Dosis untuk pemberian nasal adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2
mg (4 semprotan). Untuk terapi profilaksisnya dapat menggunakan metilgliserid malead,
siproheptidin hidroklorida, pizotifen dan propranolol. Daripada menggunakan obat-obatan,
migren lebih baik diatasi dengan menghindari faktor penyebab, manajemen lingkungan,
memperkirakan siklus menstruasi, yoga, meditasi dan hipnotis. Beberapa faktor penyebab
yang sebaiknya dihindari, secara garis besar digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu (1)
lingkungan (menghindari cahaya terang, keributan, bau menyengat), (2) makanan yang terdiri
atas: (a) makanan yang diawetkan (seperti keju, ragi pada roti yang segar dan yogurt) dan (b)
makanan yang mengandung zat yang hamper sama dengan neurotransmitter yang dihasilkan
tubuh kita (seperti kopi, coklat, MSG), dan (3) stress psikologis. Hal ini diakibatkan faktor
penyebab tersebut berpengaruh langsung mensensitasi neurotransmitter. Dimana saat
serangan migraine, terdapat nyeri intracranial yang disertasi peninggian senstivitas julit.
Sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang
terdapat di pembuluh darah intracranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi set safar
sentral terutama pada system trigeminal, yang memproses informasi yang berasal dari
struktur intracranial dan kulit. Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan
aura, pada saat paling awal serang migren ditemukan adanya penurunan cerebral blood flow
(CBF) yang dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan sebagai seperti
suatu gelombang (‘spreading oligemia’) dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-
3 mm per menit. Hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses
hyperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif
12
hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi sel saraf
menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktivitas sel saraf menurun menimnulkan
gejala scotoma. Peristiwa kejadi tersebut disebut suatu cortical spreading depression (CSD).
CSD menyebabkan hyperemia yang berlama di dalam duramater, edema beurogenik di dalam
meningens dan aktivitas neuronal di dalam TNC (Trigeminal Nucleus Caudalis) ipsilateral.
TImbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal,
yang akan mencetuskan timbulnya nyeri. Pada serangan migren akan terjadi fenomena pain
pathway pada pain system trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang
kemudian diikuti peninggi Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase
seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzim NOS.
Proses tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hyperalgesia
pada penderita migren. Fase sentral sesnitasi pada migren dimulai dari penginduksian nyeri
oleh komponen inflamasi yang dilepas dari dura seperti ion potassium, protons, histamine,
5HT (serotonin), bradikin, prostaglandin E di pembuluh darah serebral, dan serabut saraf
yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Fase berikutnya dari sensitasi sentral dimediasi olehh
aktivasi reseptor presinap NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphospat (reseptor
P2X3) dan reseptor 5HT IB/ID pada terminal sentral dari nosiseptor C-fiber. Nosiseptor C-
fiber memperbanyak pelepasan transmitter.
Sedangkan pada

migrain opthalmoplegic. Pengertian migraine sendiri adalah

Berdasarkan studi epidemiologi, penyakit ini sama banyaknya antara laki-laki dan
perempuan. Penyakit ini sering dialami pada masa kanak-kanak, namun tidak menutup
kemungkinan dapat pula terjadi pada orang dewasa maupun lansia. Migrain opthalmoplegic
adalah .sindrom neurologic langka yang memiliki ciri berupa nyeri kepala dan
opthalmoplegia yang berekuren.
Pasien juga mengeluhkan kelopak mata sebelah kanannya tidak bisa membuka.
Keluhan ini sesuai dengan teori yang ada di mana N. III merupakan nervus cranialis yang
paling sering terserang, sehingga menimbulkan gejala berupa midriasis dan ptosis.

13
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. Ditemukannya
parese N. III yang ditandai dengan kelopak mata menutup dan bola mata yang tidak dapat
bergerak ke arah superior, inferior, oblique superior lateral, oblique superior medial, oblique
inferior lateral, dan parese N. IV di mana bola mata tidak ada mengarah ke oblique inferior
medial.

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang


dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami migraine opthalmoplegic.

14
Patofisiology

Patogenesis penyakit ini masih belum jelas. Dengan gejala nyeri kepala unilateral dan paresis
nervus okulomotorik, menandakan sebuah lesi yang terletak di daerah perifer N. III. Adapun
2 teori yang sering digunakan:

a. Beberapa peneliti menjelaskan kompresi satu atau beberapa nervus oculomotor akibat
dilatasi atau edema intracavernosus pada arteri carotis interna. Dengan menggunakan
angiografi, ditemukan penyempitan intracavernosus dari A. Carotis Interna dapat
menyebabkan migraine opthalmoplegic.
b. Adapun penjelasan yang lebih masuk akal lainnya dimana selama serangan migraine
opthalmoplegik, terjadi penurunan aliran darah A. Carotis Interna dan mungkin saja juga
melalui A. Cerebri posterior ataus A. Basilaris, yang dapat mengurangi alirannya ke satu
atau beberapa nervus okulomotorik sehingga menimbulkan paresis sikemik
okulomotorik. Dikarenakan 2/3 pasien dengan migraine opthalmoplegic memiliki gejala
berupa paresis okulomorik dengan pupil yang tidak memiliki kelainan atau hanya sedikit
saja berkelainan. Oleh karena itu, teori ini lebih memungkinkan dibandingkan teori lesi
kompresi.

Diagnosis

Gejala Klinis

Pada International Classification of Headache Disorders (edisi kedua), sindrom ini


diklasifikasi ulang di bawah neuralgia cranial untuk menyesuaikan evolusi teori etiologinya.
Namun, istilah migrain masih tetap dipertahankan. Dimana sindrom ini memiliki sekurang-
kurangnya 2 serangan yang menyerupai migraine kemudian dalam waktu 4 hari terjadi
paresis N. III. IV dan/atau N. VI, termasuk opthalmoparesis, ptosis, atau midriasis. Penyebab
nyeri opthalmoparesis lainnya seperti tumor, infeksi dan thrombosis harus dihilangkan
dengan pemeriksaan penunjang.

Walsh dan O’Doherty memberikan spesifik kriteria yang diperlukan untuk


mendiagnosis Migrain Opthalmoplegik:

 Nyeri kepala yang hebat dan berdenyut


 Nyeri kepala biasanya unilateral, dapat juga bilateral atau berganti-gantian

15
 Nyeri kepala sering bersifat kresendo dan dapat bertahan dalam beberapa jam hingga
hari
 Opthalmoplegia – termasuk satu atau lebih nervus dan dapat pindah ke sisi lainnya
dalam serangan
 Paralisis otot extra ocular dapat terjadi pada serangan pertama atau terjadi sebelum
serangan (sangat jarang).

Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

Pasien yang mengambil MRI otak dengan memasukkan gadolinium selama serangan akut
dengan peranan N. III, 75% mengalami penambahan kontras N. III dan 76% mengalami
penebalan nervus.

Beberapa foto vaskular pun didapatkan dalam beberapa kasusu. Abnormalitas ditemukan
hanya pada 3 pasien. DAN mereka memiliki etiologi yang tidak jelas: (1) Angioma venous
memasuki sinus cavernosus. (2) Dilatasi infundibular melubangi cabang A. Cerebri posterior
yang berada di atasnA. Cerebellar yang berkesinambungan nervus oculomotor terkait. Dan
(3) terdapat kontak antara N. VI dan A. Basilaris dan A. Cerebrum inferior anterior
ipsilateral.

Analisis Cairan Serebrospinal

Dari pemeriksaaan yang dilakukan, hanya 2 pasien yang mendapat hasil abnormal 1.
Peningkatan Ig G tanpat ikatan oligoclonal dan yang lainnya memiliki ikatan single
oligoclonal.

Penatalaksanaan

Sangat sedikit penelitian yang menyebutkan terapi efektif untuk serangan tertentu, karena itu
sifat penyembuhan penyakit ini bergantung pada individu. Dirasakan adanya keuntungan
dalam penggunaan kortikosteroid, berupa peningkatan dalam 1-2 hari pada 14 pasien, namun
tidak terlalu jelas atau perburukan gejala. Namun , beberapa pasien efeknya tidak jelas. Dosis
efektif minimum 2mg prednisone/kg/hari diberikan selama beberapa minggu dengan tapering
off lama

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Gelfand et al. 2012. Opthalmoplegic Migraine or Recurrent Opthalmoplegic Cranial


Neuropathy: New Cases and a Systematic Review dalam “ J Child Neurol” 27 (6): 759-
766
2. Dudani, Ajay et al. 2001. Opthalmoplegic Migraine dalam “Journal of the Bombay
Ophthalmologists’ Association” Vol 11 No. 3l
3. Carlow, Thomas J. 2012. Occulomotor Ophthalmoplegic Migraine: Is it Really
Migraine? Dalam J Neurol-Ophthalmol” Vol 22: 216-221
4. O’Day et al. 1980. Opthalmoplegic Migraine and Aberrant Regeneration of the
Occulomotor Nerve dalam “British Journal of Opthalmology. Vol. 64; 534-536
5. Ravinshakar, K. 2008. Ophthalmologic Migraine: Still a Diagnostic Dilemma? Dalam
Current Pain and Headache Reports. 12: 285-291
6. Teixido, Michael dan John Carey. 2014. “Migraine-More than A Headache.” Dalam
John Hopkins Otolaryngology – Head & Neck Surgery
7. Widjaja, Jimmy Hadi. 2013. Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer. Surabaya

17

Anda mungkin juga menyukai