Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2022


UNIVERSITAS HALUOLEO

NON HEMORRHAGIC STROKE (NHS)

Disusun Oleh :

Sitti Masyitah Wakanno, S.Ked (K1B120076)

Sri Wula Moni, S.Ked (K1B120080)

Pembimbing

dr. Karman, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Hemiparese Sinistra e. c. Non Hemorrhagic Stroke


Nama : 1. Sitti Masyitah Wakanno, S.Ked (K1B1 20 076)
2. Sri Wula Moni (K1B1 20 080)
Program studi : Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan pembacaan kasus besar dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada April 2022.

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Karman, Sp.S


BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jln. Gatot Subroto
Tanggal masuk : 16 April 2022
No RM : 01 41 09
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Mulut mencong sejak 30 menit SMRS
Anamnesis terpimpin :
Pasien perempuan umur 52 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan mulut mencong
disertai kelamahan pada badan sebelah kiri sejak 30 menit SMRS. Terjadi tiba-tiba saat
istrahat . Keluhan lain seperti nyeri kepala (-), kesadaran menurun (-), mual (-), muntah (-),
pelo (+), tekanan darah sebelum masuk rumah sakit 170/105 mmHg.
Riwayat pengobatan (-), Pasien memiliki Riwayat hipertensi dan minum obat secara
rutin, Riwayat stroke sebelumnya (-), DM (-), penyakit jantung (+), tuberkulosis (-),
peningkatan kadar kolesterol (-). Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Kebiasaan Merokok (-), Kebiasaan minum minuman beralkohol (-), kebiasaan memakan
gorengan (+).
C. PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan Umum
1.Kesan : Sakit berat
2.Kesadaran : Compos mentis
3.Tensi : 160/100 mmHg
4.Nadi : 76x/m
5.Pernapasan : 20x/m
6.Suhu :36.4ºC
7.Ikterus :-/-
8.Sianosis :-/-
9.Anemis :-/-
10.Gizi : Normal (IMT = 20 cm)
Thoraks
1. Paru
 Inspeksi : normochest, pelebaran sela iga (-), angulus costae <900, pergerakan dada
kiri dan kanan simetris, retraksi dinding (-)
 Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-), krepitasi (-)
 Perkusi : sonor kiri=kanan, batas jantng-hepar = ICS VI
 Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonchi -/-
2. Jantung
 Inspeksi : IC tidak tampak
 Palpasi : IC tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis D. Batas jantung kiri :
ICS V midclavicularis S
 Auskultasi : BJ I/II murni regular, Murmur (-), S3 Gallop (-)
Pemeriksaan Psikiatris
 Emosi dan efek : baik
 Penyerapan : baik
 Proses berfikir : baik
 Kemauan : baik
 Kecerdasan : baik
 Psikomotor : baik
Status neurologi
GCS : E4M6V5
1. Kepala
Posisi : Di tengah
Bentuk/ukuran : Normocephal
Penonjolan : (-)
2. Saraf Cranialis
N.1
Penghidu : Normosmia
N.II : OS OD
Ketajaman penglihatan : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan penglihatan : Normal Normal
Funduskopi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III, IV, VI
D S
- Celah kelopak mata
Ptosis : (-) (-)
Eksofthalmus : (-) (-)
 Ptosis bola mata (-) (-)
 Pupil
Bentuk/ukuran : 2,5 mm/bulat 2,5 mm/bulat
Isokor/unisokor : Isokor Isokor
RCL/RCTL : (+) (+)
Refleks Akomodasi: Normal Normal
Gerakan Bola Mata
Parese Ke arah : (mata kanan : dbn) (mata kiri : dbn)
Nistagmus : (-) (-)
N.V
Sensibilitas : N.V1 : Normal
N.V2 : Normal
N.V3 : Normal
Motorik : Inspeksi/ palpasi : Normal
Istrahat/menggigit : Normal
Refleks Dagu/Masseter : Normal
Refleks Kornea : Normal
N. VII
Motorik : M.Frontaslis M.Orbikulari okuli M.Orbik Oris
Istrahat : Baik Baik Mencong ke kiri
Mimik : Baik Baik Mencong ke kiri
Pengecap 2/3 lidah bagian depan : Tidak dilakukan pemerikasaan
N. VIII
Pendengaran : kanan normal/ kiri normal
Tes Rinne/Weber : tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi Vestibularis : tidak dilakukan pemeriksaan
Posisi arcus Faring (istrahat)
Refleks telan muntah : tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecap 1/3 lidah bagian belakang: tidak dilakukan pemeriksaan
Suara : Normal
Takikardi/bradikardi :-
N.XI
Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: tanpa tahanan/ dengan tahanan
Angkat Bahu: kanan lebih kuat daripada kiri
N. XII
Deviasi Lidah : tidak ada
Fasoiculasi : tidak ada
Atrofi : tidak ada
Tremor : tidak ada
Ataxia : tidak ada
1. Leher
Tanda-tanda perangsangan selaput otak : Kaku kuduk : (-)
Kelenjar lymphe : Pembesaran (-)
Arteri karotis : Palpasi (+), Auskultasi :bruit (-)
Kelenjar thyroid : Pembesaran (-)
2. Cranium
Perangsangan Meningeal
a. Kaku kuduk : Negatif
b. Kernig sign : Negatif
c. Lasegue sign : Negatif
d. Brudzinski I : Negatif
e. Brudzinski II : Negatif
Peningkatan Tekanan Intrakranial
a. Muntah : Tidak
b. Sakit Kepala : Tidak
c. Kejang : Tidak
3. Abdomen
Refleks kulit dinding perut :
N N N
N N N
N N N

4. Kolumna vertebralis
Inspeksi : Normal
Palpasi : Normal
Perkusi : Normal
Pergerakan : Normal
5. Ekstremitas:
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan Menurun Normal Menurun Normal
Kekuatan 4 5 4 5
Tonus Menurun Normal Menurun Normal
Bentuk otot Normal Normal Normal Normal
Refleks fisiologis
Superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra


Biceps Menurun N Patella Menurun N

Triceps Menurun N Achilles Menurun N

Radius Menurun N

Ulna Menurun N

Klonus

Lutut : Normal
Kaki : Normal
Refleks patologik
 Hoffmann : -/-
 babinski : -/-
 Tromner : -/-
 Chadock : -/-
 Gordon : -/-
 Schaefer : -/-
 Openheim : -/-
Sensibilitas
Ekstroseptif : nyeri : tidak dilakukan
Suhu : tidak dilakukan
Rasa raba halus : normal
Proprioseptif : rasa sikap : tidak dilakukan
Rasa nyeri dalam : normal
Fungsi kortikal: rasa diskriminasi : tidak dilakukan
Stereognosis : tidak dilakukan
Pergerakan abnormal spontan : (-)
Gangguan koordinasi :
 Tes jari hidung : TDP - Tes tumit : TDP
 Tes pronasi-supinasi : normal - tes pegang jari: TDP
Gangguan keseimbangan :
 Tes romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi luhur
 Reaksi emosi : baik
 Fungsi bicara : baik
 Fungsi psiko sensoris (gnosis) :Tidak dilakukan pemeriksaan
 Itelegensia :Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi psikomotorik (praksia) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Skor Hasanudin
No. KRITERIA SKOR

1. Tekanan Darah
7,5
- Sistole ≥ 200 ; Diastole ≥ 110 1
- Sistole < 200 ; Diastole < 110

2. Waktu Serangan
6,5
- Sedang bergiat 1
- Tidak sedang bergiat

3. Sakit Kepala
10
- Sangat hebat 7,5
- Hebat 1
- Ringan 0
- Tidak ada

4. Kesadaran Menurun
10
- Langsung, beberapa menit s/d 1 jam setelah onset 7,5
- 1 jam s/d 24 jam setelah onset 6
- Sesaat tapi pulih kembali 1
0
- ≥ 24 jam setelah onset
- Tidak ada
5. Muntah Proyektil
10
- Langsung, beberapa menit s/d 1 jam setelah onset 7,5
- 1 jam s/d < 24 jam setelah onset 1
- ≥ 24 jam setelah onset 0
- Tidak ada
3
JUMLAH

Interpretasi:
< 15 : NHS
≥ 15 : HS

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin (16 April 2022)
Parameter Hasil Unit Nilai rujukan

Leukosit 7600 mg/dl 4,0-10,0

Eritrosit 5.140 mg/dl 3,5 – 5,50

Hb 14,3 mg/dl 11-15

Hematokrit 42,6 mg/dl 36-48

Platelet 156 mg/dl 150-400

2. Kimia darah (16 April 2022)

Parameter Hasil Unit Nilai rujukan

GDS 72 mg/dl <140

Kreatinin 0,9 mg/dl

Kolesterol total 159 mg/dl

Tligeserida 173 mg/dl

SGPT 16 U/L

E. DIAGNOSIS KERJA
Klinis : Hemiparese Sinistra
Topis : Hemisphere Cerebri Dextra
Etiologi : Non Hemorrhagic Stroke
F. DIAGNOSIS BANDING
Hemorrhagic stroke
G. RENCANA PEMERSIKSAAN
 CT Scan, MRI
 EKG
 Cek Profil Lipid
H. TERAPI
1. Non Medikamentosa :

a. Head Up 20˚-30˚

b. Kontrol vital sign dan neurologis

c. Setelah vital sign stabil, mobilisasi dan rehabilitasi medika

d. Edukasi

e. Fisioterapi

2. Medikamentosa:

a. IVFD Ringer lactate 18 tetes per menit

b. Injeksi Citicoline ampul 250 mg/12 jam/IV

c. Aspilet tab 80 mg/24 jam/oral

d. Neurosanbe 1 amp/24 jam/drips

e. Ranitidin 1 amp/12 jam/iv

f. Amlodipin tablet 10 mg/24 jam/oral saat malam

g. Candesartan 8 mg/24 jam/oral saat pagi

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
Hari/
Perjalanan penyakit Planning
Tanggal
S : kelemahan separuh T:
badan sebelah kiri 1. Non farmakolagi
O :Sakit sedang - Kontrol tanda vital dan neurologis
GCS : E4M6V5 - Edukasi
TD : 180/100 mmHg - Cek GDS, darah rutin, profil lipid
Nadi : 94 x/menit, reguler, - EKG

16/04/2022 kuat angkat 2. Farmakologi


Pernafasan: 22 x/menit, IVFD Ringer Laktat 18 tpm
reguler, Citicoline 1 amp/12 jam/iv
Suhu : 36,5 oC/aksila Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
NVD : Neurosanbe 1 amp/ 24 jam/ drips

A : Hemiparese (D) ec Aspilet 80 mg 1x1


NHS Amlodipine 0-0-1

S : kelemahan separuh T:
badan sebelah kiri IVFD Ringer Laktat 18 tpm
O : Sakit sedang Citicoline 1 amp/12 jam/iv
GCS : E4M6V5 Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
TD : 180/100 mmHg Neurosanbe 1 amp/ 24 jam/ drips
Nadi : 84 x/menit, reguler, Aspilet 80 mg 0-0-1
17/04/2022 kuat angkat Amlodipine 10 mg 0-0-1
Pernafasan: 20 x/menit,
reguler,
Suhu : 36,5oC/aksila

A : Hemiparese (D) ec
NHS
S : kelemahan separuh T:
badan sebelah kiri IVFD Ringer Laktat 18 tpm
O : Sakit sedang Citicoline 250 gr/12 jam/iv
GCS : E4M6V5 Lansoprazol 1 amp/24 jam/iv
TD : 150/70 mmHg Neurosanbe 1 amp/ 24 jam/ drips
Nadi : 82 x/menit, reguler, CPG 75 mg 1x1
18/04/2022 kuat angkat Amlodipine 10 mg 0-0-1
Pernafasan: 20 x/menit, Candesartan 8 mg 1-0-0
reguler, Simvastatin 20 mg 0-0-1
Suhu : 36,3oC/aksila
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar ketiga di dunia setelah
penyakit jantung koroner dan kanker. Stroke merupakan tanda-tanda klinis yang
berkembang secara cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan beberapa
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan kematian tanpa
ada penyebab lain selain vaskuler. Stroke berdasarkan kelainan patologis dikelompokkan
menjadi dua yaitu stroke hemoragik dan non hemoragik (Shafi'i dkk., 2016).
Stroke non-hemoragik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang
disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan
oksigen di jaringan otak. Stroke non-hemoragik dapat disebabkan oleh trombosis dan
emboli, sekitar 80-85% menderita penyakit stroke non-hemoragik dan 20% persen sisanya
adalah stroke hemoragik yang dapat disebabkan oleh pendarahan intraserebrum hipertensi
dan perdarahan subarachnoid (Shafi'i dkk., 2016).
B. Epidemiologi
Jenis stroke yang terjadi adalah stroke non hemoragik 85 pasien (95,5%) dan stroke
hemoragik 4 orang (4,5%). Pada beberapa negara di dunia, penderita stroke memiliki
komposisi 70% stroke iskemik, 27% stroke hemoragik dan 3% stroke dengan sebab yang
tidak diketahui. Jumlah stroke hemoragik di Cina berkisar 17,1 - 39,4%, di Jepang sampai
38,7%. Kejadian stroke iskemik memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan stroke
hemoragik (Shafi'i dkk., 2016).
C. Etiologi
Walaupun etiologi sering tidak mendasari terjadinya stroke, namun hal ini sangat
penting dalam pengurangan risiko rekurensi (Smith dkk., 2013).
1. Stroke Kardioemboli
Kardioemboli merupakan penyebab 20% strok iskemik. Strok yang disebabkan
oleh penyakit jantung biasnaya dikarenakan oleh emboli dari pembentukan material
trombotik pada dinding atrial atau ventrikular atau katup jantung kiri. Trombus
tersebut kemudian terlepas dan menjadi emboli dalam sirkulasi arterial. Trombus bisa
terpisah atau lisis dengan cepat, menyebabkan TIA. Namun, jika oklusi arteri bertahan
dalam waktu lama, strok iskemik bisa terjadi. Strok emboli mempunyai onset yang
mendadak, dengan defisit neurologis yang berat. Dengan reperfusi yang diikuti dengan
iskemia berkepanjangan, perdarahan peteki bisa terajadi di daerah iskemi. Hal ini
biasanya mempunyai tanda klinis yang khas dan harus dibedakan dengan HS (Smith
dkk., 2013).
Emboli dari jantung biasanya tinggal di MCA, PCA, atau sala h satu
percabangannya; jarang terdapat di ACA. Emboli cukup besar untuk menyumbat
cabang MCA (3-4 mm) yang menyebabkan infark yang luas dan mencakup substansia
grissea dan alba dan beberapa bagian di korteks dan daerah di bawah substansia alba.
Emboli yang lebih kecil dapat meyumbat cabang arteri kortikal. Lokasi dan ukuran
dari infark dalam daerah perdarahan tergantung dari derajat sirkulasi kolateral (Smith
dkk., 2013).
Penyebab yang paling umum dari strok kardioemboli adalah fibrilasi atrium
nonreumatik, infark miokard, katup prostetik, penyakit jantung rematik, dan
kardiomiopati iskemi (Smith dkk., 2013).
2. Artery-to-artery Embolic Stroke
Pembentukan trombus pada plak aterosklerotik bisa menyebabkan emboli pada
arteri intrakranial yang selanjutnya menjadi artery-to-artery embolic stroke. Kasus yang
tidak umum ialah penyakit vaskuler dapat menyebabakan trombus secara akut. Tidak
seperti pembuluh darah miokars, emboli artery-to-artery termasuk mekanisme
vaskiArteruuler dominan yang menyebabkan iskemi sebreal. Pembuluh darah yang
patologis bisa menjadi sumber embol, termasuk arkus aorta, arteri karotis komunis,
karotis interna, vertebralis, dan basilaris. Aterosclerosis carotid bifurcatio merupakan
sumber emboli artery-to-artery, dan penatalaksanaan spesifik terbukti menurunkan
risiko (Smith dkk., 2013).

Tabel 1. Penyebab Strok Iskemi

Penyebab Umum Penyebab Tidak Umum


Trombosis Kelainan hiperkoagulasi
Strok lakunar (pembuluh darah Defisiensi protein C
kecil) Defisiensi protein S
Trombosis pembuluh darah besra Defisiensi antitrombin III
Dehidrasi Sindrom antifosfolipid
Oklusi emboli Mutasi faktor V Leiden
Artery-to-artery Mutasi protrombin G20210
Carotid bifurcation Keganasan sistemik
Arcus aorta Anemia sickle cell
Diseksi arterial Thalasemia
Kardioembolik Systhemic Lupus
Fibrilasi atrium Erythematous
Trombus mural Homosisteinemia
Infark miokard Thrombotic thrombocytopenic
Kardiomiopati purpura
Lesi valvuler Disseminated intravascular
Stenosis mitral coagulation
Katup mekanik Disproteinemia
Endokarditis bakterial Sindroma nefrotik
Emboli paradoksikal Inflammatory Bowel Disease
Atrial septal defect Kontrasepsi oral
Patent foramen ovale Trombosis sinus venosus
Aneurisma septum atrium Displasia fibromuskular
Vaskulitis
Vaskulitis sistemik (PAN,
granulmatosis dengan
polianglitis, Takayasu,
arteritis giant cell)
Vaskulitis primer CNS
Meningitis (sifilis,
tuberkulosis, jamur, bakteri,
zoster)
Kardiogenik
Kalsifikasi katup mitral
Miksoma atrial
Tumor intrakardiak
Endokarditis Marantic
Endokariditis Libman-Sacks
Perdarahan subaraknoid
Obat-obatan: kokain, amfetamin
Penyakit Moyamoya
Eklamsia

D. Klasifikasi Stroke
Klasifikasi stroke iskemik yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan subtipe
stroke iskemik adalah klasifikasi Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment
(TOAST), yaitu
(1) aterosklerosis pembuluh darah besar
(2) kardioembolik
(3) lakunar
(4) penyebab lain dan
(5) tidak diketahui penyebabnya (Mutiarasari, 2019).
E. Patofisiologi
Stroke Non Hemoragik Stroke karena penyumbatan, dapat disebabkan karena :
1. Trombosis serebri Biasanya ada kerusakan lokal pembuluh darah akibat aterosklerosis.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada tunika intima arteri besar. Plak
cenderung terbentuk pada percabangan dan tempat yang melengkung. Pembuluh darah
yang mempunyai resiko adalah arteri karotis interna dan arteri vertebralis bagian atas.
Hilangnya tunika intima membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit akan menempel
pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding menjadi kasar. Trombosit
akan melepaskan enzim adenosin difosfat yang mengawali proses koagulasi. Adesi
trombosit (platelet) dapat dipicu oleh produk toksik yang dilepaskan makrofag dan
kerusakan moderat pada permukaan intima. Trombosit juga melepaskan growth factors
yang menstimulasi migrasi dan proliferasi sel otot polos dan juga berperan pada
pembentukan lesi fibrointimal pada subendotelial. (Budianto, 2020.)
2. Emboli serebri biasanya terjadi pada orang yang lebih muda, kebanyakan emboli serebri
berasal dari suatu trombus di jantung sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya
adalah perwujudan penyakit jantung. Selain itu, emboli juga dapat berasal dari plak
ateroma karotikus atau arteri karotis interna. Setiap bagian otak dapat mengalami
emboli, tempat yang paling sering adalah arteri serebri media bagian atas. (Budianto,
2020.)
F. Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Usia, jenis kelamin dan riwayat keluarga adalah faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Pada penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa stroke terjadi pada usia
69,9 tahun. Prevalensi stroke lebih tinggi pada pria sebesar 59,8% dibanding wanita.
Penelitian yang dilakukan Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi
stroke di Indonesia pada laki – laki adalah di atas 75 tahun (67,0‰). Data Riskesdas
Provinsi Sulawesi Tengah tertinggi pada penduduk berusia diatas 75 tahun (84,6‰)
dan jenis kelamin laki-laki (17,3‰) lebih tinggi dibanding pada perempuan (15,8‰).
Riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Penelitian
Jood et al bahwa riwayat keluarga merupakan faktor risiko penyebab stroke iskemik
sebesar 41% (229 partisipan) dengan oods ratio multivariat (OR: 1,75;95% CI, 1,26-
2,43). Penelitian ini riwayat keluarga juga di analisis berdasarkan klasifikasi subtipe
stroke iskemik (klasifikasi Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment
(TOAST)) yakni aterosklerosis pembuluh darah besar (OR: 1,88;95% CI, 1,02-3,44),
lakunar (OR 1,79;95% CI, 1,13-2,84), dan tidak diketahui penyebabnya (OR :
1,70;95% CI,1,13-2,56), tetapi tidak pada kardioembolik.(Budima, 2013)
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes melitus, obesitas, alkohol dan
atrial fibrillation adalah faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Pada penelitian Hsieh
et al di Taiwan menunjukkan bahwa faktor – faktor risiko penyebab stroke adalah
hipertensi (79,2%), merokok (40,4%), dislipidemia (49,4), diabetes mellitus (45,4%),
obesitas (23,7%), dan atrial fibrillation (16,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian dari
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa masyarakat menderita hipertensi
(25,8%), masyarakat berusia > 15 tahun memiliki kadar LDL yang tinggi (15,9%),
masyarakat menderita penyakit jantung koroner (1,5%), masyarakat berusia > 15
tahun yang merokok (36,3%), dan masyarakat berusia > 10 tahun kurang konsumsi
buah dan sayur (93,5%).(Budima, 2013).

G. Manifestasi Klinis
Serangan untuk tipe stroke apa pun akan menimbulkan defisit neurologis yang bersifat
akut. Tanda dan gejala stroke:
1. Hemidefisit motorik
2. Hemidefisit sensorik
3. Penurunan kesadaran
4. Kelumpuhan nervus VII (fasialis) dan nervus XII (hipoglosus) yang bersifat sentral
5. Afasia dan demensia
6. Hemianopsia
7. Defisit batang otak (Mutiarasari, 2019).
Gejala utama stroke iskemik adalah timbulnya defisit neurologis secara mendadak
yang didahului gejala prodromal, terjadi waktu istirahat atau bangun tidur dan biasanya tidak
disertai penurunan kesadaran. Serangan untuk tipe stroke apa pun akan menimbulkan defisit
neurologis yang bersifat akut. Fase akut penderita stroke terjadi pada hari ke-0 sampai
dengan hari ke-14 sesudah onset penyakit. Hiperglikemia terjadi pada sekitar 20-50% dari
total pasien stroke akut dan berhubungan dengan keluaran klinis yang buruk. Dari jumlah
tersebut, terdapat sekitar 12-53% pasien stroke akut tidak terdiagnosa diabetes sebelumnya.
Hiperglikemia merupakaan keadaan dimana kadar glukosa darah berada di atas
normal. Keadaan hiperglikemia dapat merupakan tanda adanya diabetes mellitus, tetapi
dapat pula merupakan respon stress yang mencerminkan keparahan kerusakan jaringan dan
peningkatan katekolamin dalam serum. Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada
48 jam pertama pada penderita stroke akut mempengaruhi angka mortalitas dan morbiditas
penderita karena menimbulkan asidosis laktat yang berakhir pada kerusakan neuron,
jaringan glia, dan jaringan vascular.
Hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan luas infark, menurunkan aliran darah
otak, menyebabkan kelainan perdarahan dan lesi sawar otak. Selain itu, kadar glukosa darah
yang tinggi juga dapat menyebabkan perubahan sawar otak, meningkatkan edema serebri,
menghambat fribinolisis dan meningkatkan trombosis, menyebabkan kelainan perdarahan,
serta dapat meningkatkan produksi radikal bebas dan meningkatkan kadar neurotransmitter
glutamate (Munir, 2015).

H. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya
defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan
leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan juga dilakukan
untuk mencari faktor resiko stroke seperti obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-
lain4.
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting
dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran,
pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks
tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan
dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya (Pusparani, 2009).
I. Pemeriksaan Penunjang
Cara membedakan jenis patologi stroke dapat dilakukan pemeriksaan neuroimaging
(CT Scan kepala atau MRI). Stroke dengan lesi yang luas, misalnya di daerah kortikal atau
ganglia basalis, gambaran abnormal CT scan kepala baru akan muncul setelah 1-3 jam.
Pemeriksaan CT Scan kepala dilakukan dalam 24 jam pertama sejak admisi pasien ke rumah
sakit. Diagnosis stroke akut dapat ditegakkan dengan lebih cepat dan akurat dengan
menggunakan MRI terkini (resolusinya lebih tinggi, munculnya gambaran abnormal lebih
cepat, dan dapat menilai lesi di batang otak). Jika penampakan tidak khas atau tidak
menunjukkan stroke, maka seorang klinisi harus tetap menganggap itu adalah stroke dan
dilanjutkan dengan penentuan apakah pasien adalah calon untuk mendapatkan terapi akut.
Penggunaan neuroimaging sebagai alat diagnosis standar untuk stroke sangat tergantung dari
ketersediaan alat tersebut dan ada tidaknya dokter ahli yang kompeten untuk
menginterprestasikan hasil pemeriksaan (Puspinasari, 2009).

J. Terapi
Penatalaksanaan atau manajemen stroke terdiri dari beberapa fase yang saling
berkaitan dan berurutan yaitu
1. Manajemen umum pada stroke fase akut
a. Menstabilisasi fungsi kardiologis melalui ABC
b. Mencegah infeksi sekunder terutama pada traktus respiratorius dan
traktus urinarius
c. Menjamin nutrisi, cairan, dan elektrolit yang stabil dan optimal
d. Mencegah dekubitus, DVT dan stres ulcer
e. Menilai kemampuan menelan penderita untuk menentukan apakah dapat
diberikan makanan peroral atau dengan NGT.1
Dengan 5 B
 Breath : Oksigenasi, pemberian oksigen dari luar
 Blood : Usahakan aliran darah ke otak semaksimal mungkin dan pengontrolan
tekanan darah pasien.
 Brain : Menurunkan tekanan intra kranial dan menurunkan udema serebri.
 Bladder: Dengan pemasangan DC
 Bowel : Saluran pencernaan dan pembuangan
2. Terapi spesifik
Terapi pada stroke iskemik
a. Trombosis intravena : altapase dosis 0,6- 0,9mg/KgBB onset <6 jam
b. Terapi endovascular pada onset <8 jam
c. Manajemen hipertensi (Nicardipin,ARB,ACE-Inhibitor, beta blocker)
d. Manajemen gula darah
e. Pencegahan strok sekunder (antiplatelet, : aspirin, clopidogrel)
f. Neuroprotekktor: piracetam, citicholin, Pantoxyphilin)
g. Neurorestorasi/Neurorehabilitasi5
Tujuan terapi adalah memulihkan perfusi ke jaringan otak yang mengalami infark dan
mencegah serangan stroke berulang. Terapi dapat menggunakan Intravenous recombinant
tissue plasminogen activator (rtPA) yang merupakan bukti efektivitas dari trombolisis, obat
antiplatelet dan antikoagulan untuk mencegah referfusi pada pasien stroke iskemik.
1. Intravenous recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA) Obat ini juga disebut
dengan rrt PA, t-PA, tPA, alteplase (nama generik), atau aktivase atau aktilise (nama
dagang). Pedoman terbaru bahwa rt-PA harus diberikan jika pasien memenuhi kriteria
untuk perawatan. Pemberian rt-PA intravena antara 3 dan 4,5 jam setelah onset
serangan stroke telah terbukti efektif pada uji coba klinis secara acak dan dimasukkan
ke dalam pedoman rekomendasi oleh Amerika Stroke Association (rekomendasi kelas I,
bukti ilmiah level B) dan European Stroke Organisation (rekomendasi kelas I, bukti
ilmiah level A).
Penentuan penyebab stroke sebaiknya ditunda hingga setelah memulai terapi rt-PA.
Dasar pemberian terapi rt-PA menyatakan pentingnya pemastian diagnosis sehingga
pasien tersebut benar – benar memerlukan terapi rt-PA, dengan prosedur CT scan
kepala dalam 24 jam pertama sejak masuk ke rumah sakit dan membantu
mengeksklusikan stroke hemoragik.[8,14] Keberhasilan pemberian terapi rtPA sangat
tergantung dengan waktu pemberian terapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pemberian terapi rtPA dalam waktu 0-90 menit dapat mengurangi komplikasi sebesar
9,6%, pemberian terapi rt-PA dalam waktu 91180 menit sebesar 10,5%, dan pemberian
terapi rt-PA dalam waktu 181-270 menit sebesar 11,7%, sedangkan oods ratio
perbandingan waktu pemberian 0-90 menit dengan 181-270 menit (OR 0,74;
95%CI,0,64-0,86; p=0,001). Hasil penelitian ini dapat mendukung upaya intensif untuk
mempercepat pasien stroke admisi ke rumah sakit dan pemberian terapi trombolitik
dalam 4,5 jam pertama setelah onset serangan stroke, sehingga dapat mengurangi besar
keparahan stroke (OR 2,8; 95%CI,2,5-3,1), perdarahan intrakranial (OR 0,96; 95%CI,
0,95-0,98; p=0,001) dan penurunan mortalitas di rumah sakit (OR, 0,96; 95%CI, 0,95-
0,98; p=0,001).
2. Terapi antiplatelet
Pengobatan pasien stroke iskemik dengan penggunaan antiplatelet 48 jam sejak onset
serangan dapat menurunkan risiko kematian dan memperbaiki luaran pasien stroke
dengan cara mengurangi volume kerusakan otak yang diakibatkan iskemik dan
mengurangi terjadinya stroke iskemik ulangan sebesar 25%. Antiplatelet yang biasa
digunakan diantaranya aspirin, clopidogrel. Kombinasi aspirin dan clopidogrel dianggap
untuk pemberian awal dalam waktu 24 jam dan kelanjutan selama 21 hari. Pemberian
aspirin dengan dosis 81 – 325 mg dilakukan pada sebagian besar pasien. Bila pasien
mengalami intoleransi terhadap aspirin dapat diganti dengan menggunakan
clopidogrel dengan dosis 75 mg per hari atau dipiridamol 200 mg dua kali sehari.
Hasil uji coba pengobatan antiplatelet terbukti bahwa data pada pasien stroke lebih
banyak penggunaannya daripada pasien kardiovaskular akut, mengingat otak memiliki
kemungkinan besar mengalami komplikasi perdarahan. Uji klinis telah menunjukkan
bahwa antiplatelet hanya memiliki sedikit manfaat untuk pengobatan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Taylor et al yang menyatakan tidak ada perbedaan
yang bermakna pada pemberian aspirin pada pasien stroke iskemik dalam waktu 48 jam
pertama sejak admisi ke rumah sakit, baik sebelum dan sesudah penerapan clinical
pathway (46% vs 61%; p = 0,117).[18] Hasil ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Panella et al bahwa setelah penerapan clinical pathway pemberian aspirin
pada pasien stroke iskemik dalam waktu 48 jam pertama sejak admisi ke rumah sakit
mengalami peningkatan pada kelompok setelah penggunaan clinical pathway
dibandingkan sebelum penggunaan clinical pathway (83,5% vs 74,5%; p=0,03) dengan
oods ratio multivariat (OR 1,73;95% CI, 1,02-2,75).
3. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan sering menjadi pertimbangan dalam terapi akut stroke iskemik,
tetapi uji klinis secara acak menunjukkan bahwa antikoagulan tidak harus secara rutin
diberikan untuk stroke iskemik akut. Penggunaan antikoagulan harus sangat berhati-
hati. Antikoagulan sebagian besar digunakan untuk pencegahan sekunder jangka
panjang pada pasien dengan fibrilasi atrium dan stroke kardioemboli. Terapi
antikoagulan untuk stroke kardioemboli dengan pemberian heparin yang disesuaikan
dengan berat badan dan warfarin (Coumadin) mulai dengan 5-10 mg per hari. Terapi
antikoagulan untuk stroke iskemik akut tidak pernah terbukti efektif. Bahkan di antara
pasien dengan fibrilasi atrium, tingkat kekambuhan stroke hanya 5 – 8% pada 14 hari
pertama, yang tidak berkurang dengan pemberian awal antikoagulan akut.[9] Hal ini
sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Taylor et al yang menyatakan tidak ada
perbedaan yang bermakna pada pemberian warfarin pada pasien stroke iskemik dengan
hasil elektrokardiogram (EKG) menunjukkan fibrilasi atrium, baik sebelum dan sesudah
penerapan clinical pathway (33% vs 40%; p=0,264) (Mutiarasari, 2019).
3. Tindakan operatif
a. Carotid Endartersctomy (CEA), Sesuai Indikasi
b. Carotid Artery Stenting (CAS)
c. Stenting pembuluh darah intracranial5
4. Rehabilitasi dan perawatan lanjutan
a. Koordinasi rencana terapi multidisipliner untuk meningkatkan kemampuan
fungsional penderita
b. Edukasi pada penderita dan keluarga
c. Penilaian peralatan /perlengkapan adaptasi yang tepat untuk mobilisasi dan
ADL
d. Konseling psikososial
e. Prevensi stroke ulang
f. Prevensi dan terapi komorbiditas
g. Reintegrasi vokasional dan komunitas
h. Evaluasi pilihan paling aman yang memungkinkan pasien untuk kembali ke
tingkat kemandirian dalam lingkungan aman. Melalui:
 evaluasi neuromuskuloskleletal
 evaluasi medik umum
 evaluasi fungsional
 evaluasi psikososial.6

K. KOMPLIKASI
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi
medis, adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi secara dini pada stroke, sering
diperlihatkan adanya gangguan kognitif, fungsional, dan defisit sensorik. Pada umumnya
pasien pasca stroke memiliki komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko komplikasi
medis sistemik selama pemulihan stroke. Komplikasi medis sering terjadi dalam
beberapa minggu pertama serangan stroke. Pencegahan, pengenalan dini, dan pengobatan
terhadap komplikasi pasca stroke merupakan aspek penting. Beberapa komplikasi stroke
dapat terjadi akibat langsung stroke itu sendiri, imobilisasi atau perawatan stroke. Hal ini
memiliki pengaruh besar pada luaran pasien stroke sehingga dapat menghambat proses
pemulihan neurologis dan meningkatkan lama hari rawat inap di rumah sakit. Komplikasi
jantung, pneumonia, tromboemboli vena, demam, nyeri pasca stroke, disfagia,
inkontinensia, dan depresi adalah komplikasi sangat umum pada pasien stroke.
Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi untuk terjadi infeksi. Infeksi yang sering
terjadi pada pasien stroke pada umumnya adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih.
Kajian sistematis yang melibatkan 137.817 pasien stroke pada Academic Medical Center
di Netherland menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi secara keseluruhan pada
pasien stroke sebesar 30%, angka kejadian pneumonia 10% dan angka kejadian infeksi
saluran kemih sebesar 10%. Pneumonia secara bermakna dapat menyebabkan kematian
di rumah sakit dengan OR 3,62; 95% CI, 2,80-4,68 sedangkan infeksi saluran kemih
tidak menyebabkan kematian di rumah sakit.
Penatalaksanaan stroke yang terstruktur dan melibatkan tim multidisiplin dapat
menurunkan angka komplikasi stroke serta pengawasan petugas yang lebih ketat terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi sangat mempengaruhi pencapaian luaran pasien
stroke menjadi lebih baik. Salah satu komplikasi medis yang paling sering terjadi pada
pasien stroke adalah pneumonia. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas setelah stroke. Penelitian oleh bahwa risiko pneumonia pasca stroke lebih
tinggi terjadi pada pasien dengan usia lanjut (>65 tahun) dengan (OR 3,9; 95% CI,
2,07,5), gangguan bicara, tingkat keparahan kecacatan pasca stroke, gangguan kognitif
dan disfagia. Organisme yang menyebabkan pneumonia biasanya resistensi terhadap
antibiotik standar dan penilaian kesehatan mulut sangat penting untuk mencegah
pneumonia (Mutiarasari, 2019).
L. Pencegahan
Pencegahan penyakit stroke terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pada
pencegahan primer meliputi upaya – upaya perbaikan pola hidup dan pengendalian faktor
– faktor risiko. Pencegahan ini ditujukan kepada masyarakat yang sehat dan belum
pernah terserang stroke, namun termasuk pada kelompok masyarakat risiko tinggi. Upaya
- upaya yang dapat dilakukan adalah
1. mengatur pola makan sehat
2. penanganan stress dan beristirahat yang cukup
3. pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter (diet dan obat)
Pencegahan sekunder, yakni dengan mengendalikan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan dapat digunakan sebagai penanda (marker) stroke pada masyarakat,
sedangkan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi kita dapat melakukan
evaluasi kepada pasien stroke saat dirawat maupun ketika keluar dari RS. Pencegahan
sekunder yang dapat dilakukan pada pasien stroke iskemik akut.
1. pemeriksaan MRI pada beberapa pasien dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan
informasi tambahan dalam penegakan diagnosis dan dalam membuat perencanaan
perawatan selanjutnya
2. pencitraan non invasif rutin dilakukan dalam waktu 24 jam sejak pasien masuk RS,
dimana hanya untuk pasien dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2
3. monitoring jantung harus dilakukan setidaknya selama 24 jam pertama
4. pemeriksaan diabetes mellitus dengan pengujian glukosa plasma darah, hemoglobin
A1c atau tes toleransi glukosa oral
5. pengukuran kadar kolesterol darah pada pasien yang telah medapatkan terapi statin
6. penilaian troponin awal dapat diberikan, tetapi tidak boleh menunda alteplase IV atau
trombektomi
7. pemberian antikoagulasi pada pasien yang memiliki hasil tes koagulasi abnormal pasca
stroke iskemik
8. pemberian antitrombotik pada pasien stroke iskemik akut non kardioembolik, yakni
pemilihan antiplatelet dapat mengurangi risiko stroke berulang dan kejadian
kardiovaskular lainnya
9. pemberian terapi statin pada pasien selama periode akut
10.revaskularisasi karotid dapat dilakukan untuk pencegahan sekunder pada pasien stroke
dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2, jika tidak ada kontraindikasi.
11. inisiasi intervensi di RS dengan menggabungkan farmakoterapi dan dukungan terapi
perilaku pada pasien stroke yang memiliki kebiasaan merokok, serta melakukan
konseling rutin agar membantu pasien berhenti merokok.
12. memberikan pendidikan tentang stroke. Pasien harus diberikan informasi, saran, dan
kesempatan untuk berdiskusi mengenai dampak stroke dalam kehidupan sehari-hari
mereka (Mutiarasari, 2019).

M. Prognosis
Prognosis dari NHS ialah sebagai berikut.
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad functionam : dubia ad bonam (PDSSI, 2016).

BAB III
ANALISIS KASUS
Strok adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya
penyebab lain selain vaskuler. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah
otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus,
menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah
di otak tersebut. Biasanya pasien datang ke rumah sakit apabila sudah ada gangguan
fungsional misalnya seperti adanya kelemahan separuh badan sehingga aktifitas sehari hari
menjadi terganggu.
Pasien perempuan umur 52 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan mulut mencong
disertai kelamahan pada badan sebelah kiri sejak 30 menit SMRS. Terjadi tiba-tiba saat
istrahat . Keluhan lain seperti nyeri kepala (-), kesadaran menurun (-), mual (-), muntah (-),
pelo (+), tekanan darah sebelum masuk rumah sakit 170/105 mmHg. Riwayat pengobatan (-),
Pasien memiliki Riwayat hipertensi dan minum obat secara rutin, Riwayat stroke
sebelumnya (-), DM (-), penyakit jantung (+), tuberkulosis (-), peningkatan kadar kolesterol
(-). Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Stroke non hemoragik merupakan gangguan fungsi otak yang disebabkan obstruksi aliran
darah otak yang terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau embolis yang
mengalir ke otak dan tempat lain tubuh. Pada Stroke Non Haemoragik (SNH), dapat
dibedakan menjadi stroke emboli dan thrombolitik. Pada stroke thrombolitik Terjadi karena
adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak. Dapat dibagi menjadi stroke pembuluh
darah besar (termasuk sistem arteri karotis) merupakan 70% kasus stroke non hemoragik
trombus dan stroke pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).
Trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah terhalang, biasanya ini terkait
dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit atherosklerosis. Pada stroke emboli,
emboli tidak terjadi pada pembuluh darah otak, melainkan di tempat lain seperti di jantung
dan sistem vaskuler sistemik. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung
dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada katup
mitralis, fibrilasi atrium, infark kordis akut dan embolus yang berasal dari vena pulmonalis.
Atrial Fibrilasis merupakan faktor resiko terjadinya NHS dikarenakan pemompaan darah
yang tidak baik dari jantung, hal ini dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan didalam
ventrikel. Gumapalan dan sumbatan ini kemudian dapat lepas dan mengalir keotak sehingga
memblokir aliran darah kebagian otak yang dapat menyebabkan stroke. Pada pasien ini
ditemukan gejala kelumpuhan pada separuh badannya yaitu sebelah kiri.
Beberapa faktor resiko yang berperan pada terjadinya stroke non haemoragik (SNH)
mempunyai riwayat keturunan keluarga yang terkena stroke, kemudian juga berperan faktor
yang dapat dimodifikasi, misalnya terdapat penyakit hipertensi, penyakit jantung, kolesterol
tinggi, obesitas, DM, polisitemia dan stress emosional. Pasien ini memiliki beberapa faktor
resiko yang mungkin berperan terjadinya NHS, misalnya usia yang lebih dari 50 tahun,
memiliki kelainan jantung, dan memiliki riwayat penyakit hipertensi.
Pada pasien ini memiliki faktor risiko kelainan jantung yaitu atrial fibrilasi, dimana atrial
fibrilasi menyebabkan aktivitas sistolik pada atrium kiri menjadi tidak teratur sehingga
terjadi penurunan kecepatan aliran darah atrium yang menyebabkan aliran darah stasis pada
atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. Trombus pada jantung yang terdiri dari
gumpalan darah (klot) dapat lepas dari dinding pembuluh darah dan menjadi emboli. Emboli
yang telah terbentuk akan keluar dari ventrikel kiri dan mengikuti aliran darah menuju arkus
aorta. Aliran darah ini 90% akan menuju ke otak melalui arteri karotis komunis. Emboli
kebanyakan terdapat pada arteri serebri media karena arteri ini merupakan percabangan
langsung dari arteri karotis interna dan menerima 80% darah yang berasal dari arteri karotis
interna Emboli yang menyumbat aliran darah dapat menyebabkan hipoksia neuron yang
diperdarahinya. Sumbatan inilah yang akan menyebabkan terjadinya stroke non hemoragik
apabila perdarahan kolateral tidak dapat mencukupi.
Fibrilasi atrium tidak hanya terlibat dalam pembentukan trombus intrakardial tetapi juga
penurunan curah jantung. Fibrilasi atrium menyebabkan otot atrium tidak dapat berkontraksi
dengan efektif dan aktif untuk menambah pengisian ventrikel sehingga curah jantung dapat
menurun. Penurunan curah jantung ini terjadi lebih besar pada denyut ventrikel yang cepat
dan mengakibatkan penurunan perfusi serebral. Penurunan kapasitas untuk mempertahankan
perfusi otak yang adekuat dapat menjadi mekanisme kedua terjadinya kerusakan otak.
Menurut National Clinical of Stroke London sekitar seperempat pasien yang mengalami
stroke disebabkan oleh fibrilasi atrium.
Tanda dan gejala NHS yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari berat
ringannya lesi dan juga topisnya. Namun ada beberapa tanda dan gejala yang umum
dijumpai pada penderita stroke non hemoragik yaitu Gangguan Motorik : tonus abnormal,
penurunan kekuatan otot, gangguan gerak volunter, gangguan koordinasi dan gangguan
ketahanan, serta Gangguan Sensorik : gangguan propioseptik, gangguan kinestetik,
gangguan diskriminatif, gangguan kemampuan fungsional serta gangguan dalam beraktifitas
sehari-hari seperti mandi, makan, ke toilet dan berpakaian. Pasien ini sudah terjadi gangguan
motorik pada salah satu sisi (kiri) berupa kelumpuhan ekstremitas superior dan inferior,
dengan kekuatan motorik 0.
Temuan klinis yang khas akibat lesi di lokasi korteks serebri adalah paresis ekstremitas
atas bagian distal yang dominan, gangguan fungsional yang terberat adalah gangguan
control motorik halus. Kelemahan tersebut tidak total dan lebih berupa gangguan flaksid,
bukan spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidalis) sebagian besar tidak
terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut dapat menimbulkan kejang fokal. Lesi yang
merusak korteks piramidalis jarang terbatas pada area 4 saja, melainkan melibatkan daerah
di depan dan belakangnya juga. Dalam hal itu gejala pengiring hemiplegia bisa berupa
hipestesia atau gangguan berbahasa. Pada kebanyakan orang dengan hemiplegia dextra
akibat lesi kortikal terdapat afasia motorik (tidak dapat mengutarakan pikirannya dengan
kata-kata) atau afasia sensorik (tidak memiliki lagi pengertian tentang bahasa). Pada pasien
ini terjadi hemiplegi, tidak dapat menggerakan tangan dan kaki kirinya namun tidak ada
gangguan berbahasa.
Setelah diagnosis klinis dari stroke akut dibuat, langkah-langkah berikut harus diikuti:
pastikan pasien stabil secara medis, evaluasi penyebab gejala neurologis yang reversible,
tentukan sifat stroke (iskemik vs hemoragik), pengobatan stroke, dan tentukan penyebab
stroke. Tatalaksana Umum Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan, Stabilisasi hemodinamik
(infus kristaloid), Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan), Pengendalian
kejang (terapi anti kejang jika diperlukan), Analgetik dan antipiterik, jika diperlukan,
Gastroprotektor, jika diperlukan, Manajemen nutrisi, Pencegahan DVT dan emboli paru :
heparin atau LMWH. Tatalaksana Spesifik : Trombolisis intravena : alteplase dosis 0.6-0.9
mg/kgBB, pada stroke iskemik onset < 6 jam, Terapi endovascular : trombektomi mekanik,
pada stroke iskemik dengan oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset <
8 jam, Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium Antagonist, Beta
blocker, Diuretik), Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral), Pencegahan stroke
sekunder (antiplatelet :aspirin, clopidogrel, cilostazol atau antikoagulan : warfarin,
dabigatran, rivaroxaban), Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033),
Perawatan di Unit Stroke, Neurorestorasi/Neurorehabilitasi. Tindakan Intervensi/Operatif,
Carotid Endartersctomy (CEA) sesuai indikasi, Carotid Artery Stenting (CAS) sesuai
indikasi, Stenting pembuluh darah intracranial sesuai indikasi. Pada pasien ini
Pada pasien ini ditatalaksana dengan pembebasan jalan nafas, , cairan kristaloid RL
dengan kecepatan 16 tetes per menit, drips neurosanbe 1 ampul per 24 jam, injeksi citicolin
(neuroprotektor dan neurorepair) 250 mg setiap 12 jam per IV, clopidogrel (anti platelet) 75
mg.

DAFTAR PUSTAKA
Budianto, P.,Dkk. 2020. Stroke Iskemik Akut Dasar Dan Klinis. Surakarta; Universitas sebelas
maret

Budima,Y. Stroke. Dalam Budiman,Y.2013. Pedoman standar pelayanan

Handayani D, Dominica D. Gambaran Drug Related Problems (DRP’s) pada Penatalaksanaan


Pasien Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik di RSUD Dr M Yunus Bengkulu.
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Munir B., Rasyid H.A., Rosita R. 2015. Hubungan Antara Kadar Glukosa Darah Acak Pada Saat
Masuk Instalasi Gawat Darurat Dengan Hasil Keluaran Klinis Penderita Stroke Iskemik
Fase Akut. MNJ.1(2):52-60.

Mutiarasari D. 2019. Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, And Prevention. , Jurnal Ilmiah
Kedokteran.6(1):60-73.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi.
Jakarta.

Pusparani S. 2009. Hubungan Antara Hipertensi Dan Stroke Hemoragik Pada Pemeriksaan CT-
Scan Kepala Di Instalasi Radiologi RSU DR.Moewardi Surakarta. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Shafi’i J., Sukiandra R., Mukhyarjon. 2016. Correlation Of Stress Hyperglycemia With Barthel
Index In Acute Non-Hemorrhagic Stroke Patients At Neurology Ward Of Rsud Arifin
Achmad Pekanbaru. JOM. 3(1):1-10.

Smith WS, English JD, Johnston SC. 2013. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 3rd
Edition. New York: McGraw Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai