Anda di halaman 1dari 37

REFLEKSI KASUS

SOL (Space occupying lesion ) dengan B20

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
RSUD Kota Salatiga

Disusun oleh:
Dyah Handayani Nastiti
NIPP. 1913020048

Pembimbing:
dr. Dony Ardianto, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul
SOL (Space occupying lesion ) dengan B20

Disusun oleh:
Dyah Handayani Nastiti
NIPP. 1913020048

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: ________ / ____ November 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Dony Ardianto, Sp.S


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kalinanas RT 01 / RW 05 Wonosegoro, Boyolali
Tanggal Masuk : 08 November 2019
Nomor CM : 19-20-433807

B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Bicara Pelo

b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan bicara pelo,
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sehinggga sulit untuk komunikasi.
Pasien awalnya merasakan pusing dan nyeri kepala hilang timbul, kemudian
pasien mengaku badan terasa lemas, makanan dan minuman kesulitan
menelan. Pasien 1 HSMRS pasien demam hingga menggigil. Pasien
mengeluh juga mulut sariawan. Riwayat terjatuh, terbentur dan pingsan
disangkal. Adanya kelemahan anggota gerak di sangkal.
Keluhan lain seperti mual, muntah dan diare disangkal. Riwayat
adanya penurunan kesadaran dan kejang juga disangkal. BAB dan BAK
dalam batas normal. Riwayat Penyakit pasien hipertensi tetapi tidak
terkontrol dan pasien menjalani pengobatan B20.

c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


a) Riwayat sakit sama : disangkal
b) Riwayat Hipertensi : tidak terkontrol
c) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
d) Riwayat sakit telinga : disangkal
e) Riwayat trauma kepala : disangkal
f) Riwayat Alergi obat : disangkal
g) Riwayat stroke : disangkal
h) Riwayat B20 : diakui

d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


a) Riwayat sakit sama : disangkal
b) Riwayat Hipertensi : disangkal
c) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

e. Riwayat Personal Sosial (RPSos)


Pasien tinggal bersama dengan istri dan anaknya. Riwayat merokok
diakui oleh pasien namun sekarang sudah berhenti. Riwayat konsumsi
alkohol dan penggunaan obat – obatan terlarang disangkal. Pasien dirawat di
rumah sakit dengan menggunakan BPJS kesehatan PBI (Penerima Bantuan
Iuran).

C. PEMERIKSAAN FISIK
Hari / Tanggal : Jumat / 08 November 2019
1. Status Generalisata
Kesan Umum Tampak sakit
Kesadaran IGD Bangsal
Compos Mentis Compos Mentis
GCS : E4V5M6 (IGD) GCS : E4V5M6 (BANGSAL)
Vital Signs IGD BANGSAL
TD: 160/100 mmhg TD: 150/90 mmhg
/Tanda-Tanda
HR : 88x/menit HR: 80x/menit
Vital
RR : 20x/menit RR: 20x/menit
o
S : 39, C S: 37, 2 o C
SpO2: 98 % SpO 2 : 98 %
Kepala dan Leher
Inspeksi Normocepal, wajah terlihat simetris, tak tampak
adanya jejas, conjungtiva anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-)
Palpasi Pembesaran limfonodi (-), trakea teraba di garis
tengah.
Thorax
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk, tidak terdapat deformitas.
Palpasi Pulmo : Tidak ada ketertinggalan gerak dan vocal
fremitus tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Pulmo : Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif
dilapang paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/- , Wheezing : -/-

Cor : Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak


ada bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Abdomen terlihat datar, tidak ada kelainan bentuk
abdomen, jejas (-)
Auskultasi Bising usus (+)
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen, area traube
timpani
Palpasi Defens muskular (-), nyeri tekan (-), ginjal, hepar
dan lien tidak teraba
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Inspeksi Edema (-), jejas (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik

D. Status Neurologis
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 à Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6

a. Pemeriksaan Rangsang Meningeal


 Kaku kuduk :-
 Kernig :-
 Lasegue :-
 Brudzinski I :-
 Brudzinski II :-
 Brudzinski III :-
 Brudzinski IV :-

b. Pemeriksaan Nervus Cranial


1. Nervus Olfaktorius

Dextra Sinistra
Daya pembau Normosmia Normosmia

2. Nervus Optikus
Dextra Sinistra
Tajam Penglihatan Normal Normal
Lapang Pandang Normal Normal
Pengenalan Warna Normal Normal
Funduskopi
Papil edema Tidak dilakukan
Arteri : Vena
3. Nervus Okulomotorius

Dextra Sinistra
Ptosis - -
Gerakan Bola Mata
Baik Baik
 Medial
 Atas Baik Baik
 Bawah Baik Baik
Ukuran Pupil Pupil bulat isokor Ø ODS 3 mm

Refleks Cahaya Langsung + +

Refleks Cahaya Tidak Langsung + +

Akomodasi + +

4. Nervus Trokhlearis
Dextra Sinistra
Gerakan Mata Medial Bawah Baik Baik
Diplopia Negative Negative

5. Nervus Trigeminus
Menggigit Normal
Membuka mulut Normal
Sensibilitas
+ +
 Oftalmikus
 Maksilaris + +
 Mandibularis + +
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks bersin Tidak dilakukan

6. Nervus Abdusens

Dextra Sinistra
Gerakan mata ke lateral + +
Nistagmus Negative

7. Nervus Facialis

Dextra Sinistra
Mengangkat alis + +
Kerutan dahi + +
Menutup mata Normal Normal
Meringis Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengedip Normal Normal
Mengembungkan pipi Sulit dinilai Sulit dinilai

8. Nervus Vestibulochoclearis

Dextra Sinistra
Tes bisik Normal Normal
Tes Rinne
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Schwabach

9. Nervus Glosofaringeus & Nervus Vagus

Arkus faring Gerakan simetris


Daya Kecap Lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan
Tersedak Negative
Menelan Normal
Refleks muntah Tidak dilakukan

11. Nervus Assesorius

Dextra Sinistra
Memalingkan kepala Baik Baik
Mengangkat bahu Baik Baik
Sikap bahu Baik Baik
Trofi otot bahu Baik Baik

12. Nervus Hipoglossus

Sikap lidah Baik


Fasikulasi -
Tremor lidah + Minimal
Atrofi otot lidah -
Artikulasi Disarthia
Kekuatan lidah Tidak dilakukan
Menjulurkan lidah Deviasi

c. Pemeriksaan Ekstremitas
1. Pemeriksaan ekstremitas atas
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (+) (+)
 Kekuatan 5 5
 Tonus Normal Normal
Sensibilitas
 Taktil (+) (+)
 Nyeri (+) (+)
Gerakan Involunteer
 Tremor (-) (-)
 Atetosis (-) (-)
 Chorea (-) (-)
 Tics (-) (-)
(-) (-)
Refleks fisiologis
 Biseps (++) (++)
 Triseps (++) (++)
 Brachioradialis (++) (++)
Refleks patologis
 Tromner (-) (-)
 Hoffman (-) (-)

2. Pemeriksaan ekstremitas bawah


Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (+) (+)
 Kekuatan 5 5
 Tonus Normal Normal
Sensibilitas
 Taktil (+) (+)
 Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
 Patella (++) (++)
 Achilles (++) (++)
Refleks patologis
 Babinski (-) (-)
 Chaddock (-) (-)
 Schaefer (-) (-)
 Oppenheim (-) (-)
 Rossolimo (-) (-)
 Mendel-Bechterew (-) (-)
(-) (-)
 Bing
(-) (-)
 Gordon
Tes lasiegue (-) (-)
Tes patrick (-) (-)
Tes kontrapatik (-) (-)

d. Vegetatif : Dalam batas normal


e. Pemeriksaan Sensibilitas
1. Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba : (+)
- Rasa nyeri : (+)
- Rasa suhu panas : Tidak dilakukan
- Rasa suhu dingin : Tidak dilakukan
2. Proprioseptif / rasa dalam
- Rasa sikap : (+)
- Rasa getar : (+)
- Rasa nyeri dalam : (+)

f. Pemeriksaan Laboratorium
-
g. Pemeriksaan Radiologi (CT Scan tanpa kontras)

Hasil :
- Tak tampak soft tissue swelling extracranial
- Gyri, sulci dan fissura sylvii tak prominent
- Batas white matter dan grey matter tegas
- Midline ditengah tidak terdeviasi
- Tampak lesi heterogen isodens - hiperdens (21 HU – 63 HU) dilobus
parietal sinistra, batas tegas lobulated ukuran lk. (3,2 x 3,8 x 3,9) cm,
perifokal edema (+)
- Ventrikel lateralis sinistra menyempit
- Air cellulae mastoidea dan SPN normodens

Kesan :
- SOL lobus parietalis sinistra dengan perifokal edema, dd/ 1. Massa, 2.
Sub acute ICH

E. Assesment
Diagnosis Klinis : Pareses N. XII dextra tipe sentral
Diagnosis Topis : Intrakranial, Lobus parietal sinistra
Diagnosis Etiologi : Space Occupying Lesion

A. Penatalaksanaan / Planning
1. Non Medikamentosa
 Bed rest
2. Medikamentosa
1. Umum
 Stabilisasi airway, breathing, circulation
 Observasi tanda-tanda vital
 Head up 20 - 30˚
2. Medikamentosa
 IVFD Asering Loading 500 cc dilanjut 20 tpm
 Manitol 6 x 75 cc
 Injeksi Citicolin 2 x 500 mg
 Injeksi Omeprazol 2 x 1 Vial
 Infus Paracetamol 1000 gram extra, lanjut 500mg / 8 jam

3. Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit pasien,
penyebab, faktor pencetus dan penatalaksanaan.

B. Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia ad malam
 Quo ad functionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad malam
BAB II
Tinjauan Pustaka

2. 1. Space Occupying Lesions Intracranial (SOL)


2.1.1 Definisi
Space Occupying Lesions Intracranial (SOL) dapat didefinisikan
sebagai tumor yang jinak atau ganas baik bersifat primer atau sekunder,
dan juga sebagai massa inflamatorik maupun parasitic yang berletak pada
rongga cranium. Sol juga berupa hematoma, berbagai jenis kista dan
malformasi vaskuler.1

2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian terdapat 42 kasus SOL mempengaruhi
rongga intrakranial dan tulang belakang. 39 kasus berasal dari otak dan
selaput-selaput otak dan 3 berasal dari lumbar pinalis. Dari 39 kasus, 26
(67%) adalah akibat tumor dan 13(33%) adalah akibat infeksi, terutama
tuberculosis. Dari data tersebut terdapat 6 kasus astrocytoma dan 3 kasus
meningioma. Dalam kasus tersebut masing-masing terdapat 2 kasus lagi
yakni, pilocytic astrocytoma and medulloblastoma. Selain itu juga terdapat
kasus pineal tumour, craniopharyngioma, pituitary adenoma, vestibular
schwannoma dan oligodendroglioma dan 6 kasus indeterminate . ada 3
kasus SOL yang mengenai spinal yakni arachnoiditis, subdural abscess
dan tuberculoma.2

2.1.3. Etiologi
a. Kontusio serebri
Konstusio serebri merupakan cedera kepala berat, dimana otak
mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi.
Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul
dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi
lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi
defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan untuk
bangun tetapi segera masuk kembali ke dalam keadaan tidak sadar.
Tekanan darah dan suhu subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya, individu yang mengalami cedera luas mengalami
fungsi motorik abnormal, gerakan mata abnormal dan peningkatan
TIK mempunyai prognosis yang buruk. Sebaliknya, pasien dapat
mengalami pemulihan kesadaran komplet dan mungkin melewati
tahap rangsang serebral.
b. Hematoma
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah
cranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala. Hematoma
disebut sebagai epidural, subdural atau intraserebral, bergantung
pada lokasinya. Efek utama adalah seringkali lambat sampai
hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan
herniasi otak serta peningkatan TIK.
c. Infark
Sebuah infark otak terjadi bila pembuluh darah yang memasok
bagian dari otak tersumbat atau kebocoran terjadi di luar dinding
pembuluh darah.
d. Abses
Abses otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius
dalam jaringan otak. Ini dapat terjadi melalui invasi otak langsung
dari trauma intrakranial atau pembedahan. Melalui penyebaran
infeksi dari daerah lain seperti sinus, telinga dan gigi (infeksi sinus
paranasal, otitis media, sepsis gigi) atau melalui penyebaran infeksi
dari organ lain (abses paru-paru, endokarditis infektif) dan dapat
menjadi komplikasi yang berhubungan dengan beberapa bentuk
meningitis. Abses otak merupakan komplikasi yang dikaitkan
dengan beberapa bentuk meningitis. Abses otak adalah komplikasi
yang meningkat pada pasien yang sistem imunnya disupresi baik
karena terapi atau penyakit.
e. Tumor Intrakranial
f. Defisisensi imunologi dan congenital.5
2.1.4. Klasifikasi
A. Berdasarkan jenis tumor dapat dibagi menjadi:
1. Jinak
a. Acoustic Neuroma
b. Meningioma
c. Pituitary adenoma
d. Astrocytoma (grade1)
2. Malignant
a. Astrocytoma (grade 2)
b.Oligodendroglioma
c. Apendymoma
B. Berdasarkan lokasi tumor dapat dibagi menjadi :
1. Tumor Intradural
a. Ekstramedular
b. Cleurofibroma
c. Meningioma Intramedular
d. Apendimoma
e. Astrocytoma
f. Oligodendroglioma
g. Hemangioblastoma
2. Tumor ekstradural
Merupakan metastase dari lesi primer.4

2.1.5. Patofisiologi
Peningkatan tekanan intracranial adalah suatu mekanisme yang
diakibatkan oleh beberapa kondisi neurologi. Isi dari cranial adalah
jaringan otak, pembuluh darah dan cairan serebrospinal. Bila terjadi
peningkatan satu dari isi cranial mengakibatkan peningkatan tekanan
intracranial, sebab ruang cranial keras, tertutup tidak bisa berkembang.
Peningkatan satu dari beberapa isi cranial biasanya disertai dengan
pertukaran timbale balik dalam satu volume yang satu dengan yang lain.
Jaringan otak tidak dapat berkembang, tanpa berepengaruh serius pada
aliran dan jumlah cairan serebrospinal dan sirkulasi serebral. Space
Occupaying Lesion (SOL) menggantikan dan merubah jaringan otak
sebagai suatu peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan dapat secara
lambat (sehari/seminggu) atau secara cepat, hal ini tergantung pada
penyebabnya. Pada pertama kali satu hemisphere akan dipengaruhi.
Peningkatan tekanan intracranial dalam ruang kranial pada pertama
kali dapat dikompensasi dengan menekan vena dan pemindahan cairan
serebrospinal. Bila tekanan makin lama makin meningkat, aliran darah ke
serebral akan menurun dan perfusi menjadi tidak adekuat, maka akan
meningkatkan PCO2 dan menurunkan PO2 dan PH. Hal ini akan
mnyebabkan vasodilatasi dan edema serebri. Edema lebih lanjut akan
meningkatkan tekanan intracranial yang lebih berat dan akan meyebabkan
kompresi jaringan saraf.
Pada saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk
berkompensasi, maka untuk meringankan tekanan, otak memindahkan ke
bagian kaudal atau herniasi kebawah. Sebagian akibat dari herniasi, batang
otak akan terkena pada berbagai tingkat, yang mana penekanannya bisa
mengenai pusat vasomotor, arteri serebral posterior, saraf okulomotorik,
traktus kortikospinal, dan serabut-serabut saraf ascending reticular
activating system. Akibatnya akan mengganggu mekanisme kesadaran,
pengaturan tekanan darah, denyut nadi pernafasan dan temperature.4

2.1.6. Manifestasi Klinis


Nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap
sebagai karakteristik peninggian TIK. Demikian juga , dua pertiga pasien
SOL memiliki semua gambaran tersebut. Walau demikian, tidak satupun
dari ketiganya khas untuk peninggian tekanan, kecuali edema papil,
banyak penyebab lain yang menyebabkan masing-masing berdiri sendiri
dan bila mereka timbul bersama akan memperkuat dugaan adanya
peninggian TIK.5
1. Gejala klinik umum timbul karena peningkatan tekanan intracranial,
meliputi :
a. Nyeri kepala
Nyeri bersifat dalam, terus menerus, tumpul dan
kadang-kadang bersifat hebat sekali, biasanya paling hebat
pada pagi hari dan diperberat saat beraktivitas yang
menyebabkan peningkatan TIK, yaitu batuk,
membungkung, dan mengejan.
b. Nausea atau muntah
Muntah yang memancar (projectile voiting)
biasanya menyertai peningkatan tekanan intracranial.
c. Papil edema
Titik buta dari retina merupakan ukuran dan bentuk
dari papilla optic atau discus optic. Karena tekanan
intracranial meningkat, tekanan ditransmisi ke mata melalui
cairan cerebrospinal sampai ke discus optic. Karena
meningens memberi reflex kepada seputar bola mata,
memungkinkan transmisi tekanan melalui ruang-ruang oleh
cairan cerebrospinal. Karena discus mata membengkak
retina menjadi tertekan juga. Retina yang rusak tidak dapat
mendeteksi sinar.4
2. False localizing signs dan tanda lateralisasi
False localizing signs ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi
tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan karena peningkatan tekanan
intrakaranial, peregeseran dari struktur-struktur intracranial atau iskemi.
Lesi pada salah satu kompartemen otak dapat menginduksi pergeseran
dan kompresi dibagian otak yang jauh dari lesi primer. Suatu tumor intra
cranial dpat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan fungsi
area yang ditempatinya. Tanda tersebut adalah:
a. Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik
atau tertekan. Desakan itu tidak harus langsung terhadap saraf otak.
Saraf yang sering terkena tidak langsung adalah saraf III dan IV.
b. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada
tumor yang terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.
c. Gangguan mental
d. Gangguan endokrin dapat juga timbul SOL di daerah hipofise.
3. Gejala klinik local
Manifestasi local terjadi pada tumor yang meneyebabkan destruksi
parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor
kedaerah sekitar tumor (contohnya: peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat meyebabkan disfungsi fokal
yang reversibel.
a. Tumor Lobus Frontal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum
yang diikuti paralisis pos- iktal.
b. Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus
kortikospinal kontralateral, deficit lapangan pandang homonim
perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial
kompleks
c. Lobus Parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori, kortikal
hemianoksi homonym
d. Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia
homonym yang kongruen.
e. Tumor pada Ventrikel Tiga
Tumor didalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan
hidrosepalus.
f. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek
lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas
g. Tumor Serebellar
Muntah Berulang dan sakit kepala dibagian oksiput
merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar.
h. Tumor Hipotalamus
Gangguan perkembangan seksual pada anak-anak,
gangguan cairan cerebrospinal.
g. Tumor Fosa Posterior
Gangguan berjalan nyeri kepala dan muntah disertai dengan
nistagmus.8

3.1.7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan seperti ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik
neurologik ditemukana adanya gejala seperti edema papil dan defisit lapangan
pandang.8
Perubahan tanda vital pada kasus SOL intrakranial meliputi:
1. Denyut nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme yang mungkin
terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh
tekanan pada mekanisme refleks vagal yang terdapat dimedulla.
2. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak pada pasien dewasa, perubahan pernapasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran. Perubahan
pola pernapasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
3. Tekanan darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat
sebagai mekanisme kompensasi, sehingga terjadi penurunan dari denyut nadi
disertai dengan perubahan pola pernapasan. Apabila kondisi ini terus
berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun.
4. Suhu tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan TIK, suhu tubuh
akaN tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningkatan
suhu tubuh akan muncul akibat dari disfungsi dari hipotalamus atau edema
pada traktus yang menghubungkannya.
5. Reaksi pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi
pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau
lesi pada otak.

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang


1. Head CT-Scan
CT-Scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi
pasien yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan
pemeriksaan yang mudah, sederhana, non invasif, tidak berbahaya, dan
waktu pemeriksaan lebih singkat. Ketika kita menggunakan CT-Scan
dengan kontras, kita dapat mendeteksi tumor yang ada. CT-Scan tidak
hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat menunjukkkan jenis tumor
apa, karena setiap tumor intrakranial menunjukkan gambar yang berbeda
pad CT-Scan.8
Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai
lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya.
Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena
densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi
mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya hiperdens.
Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu
pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat kontras. Kekurangan
CT-Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa tumor yang kecil,
massa yang berdekatan dengan struktur tulang kranium, maupun massa di
batang otak.8
Pada subdural akut CT-Scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak didaerah parietal. Terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit didaerah bagian atas tentorium serebeli. Perdarahan
subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window
width. Pegeseran garis tengah (middle shift) akan tampak pada perdarahan
subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada middle shift
harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila middle shift hebat
harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.8
Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu
pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada
kasus perdarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah trauma. Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas
dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak.
Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.8
Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa
kontra menjadi hipodens dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan
kepala telah ditemukan perdarahan subdural, sangat penting untuk
memeriksa kemungkinan adanya lesi lain yang berhubungan seperti
fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan subarakhnoid.8
Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk
dilakukannya biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan
diagnostik maupun terapi.
2. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk
mendeteksi tumor yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada
dibasis kranium, batang otak dan di fossa posterior. MRI juga lebih baik
dalam memberikan gambaran lesi perdarahan, kistik, atau, massa padat
tumor intrakranial. 8
3. Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk
menemukan kelainan dalam tubuh. kelainan sitemik biasanya jarang
terjadi, walaupun terkadang pada abses otak sedikit peningkatan leukosit.
4. Foto Thoraks
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor dibagian tubuh
lain, terutama paru yang merupakan tempat tersering untuk terjadinya
metastasis primer paru. Pada hematoma, mendeteksi perubahan struktur
tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /edema), dan
fragmen tulang.
5. USG Abdomen
Dilakukan untuk mengetahui aakah ada tumor dibagian tubuh lain.
Pada orang dewasa. Tumor otak yang merupakan metastase dari tumor lain
lebih sering daripada tumor primer otak.
6. Biopsi
Untuk tumor otak, biopsi dilakukan untuk mengetahui jenis sel
tumor tersebut, sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi
tipe dan stadium tumor dan menentukan pengobatan yang tepat seperti
apakah akan dilakukan pengangkatan seluruh tumor ataupun dilakukan
radioterapi.8
7. Lumbal Pungsi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk beberpa jenis tumor otak
tertentu. Dengan mengambil cairan serebro spinal, diharapkan dapat
diketahui jenis sel dari tumor otak tersebut. Jika tekanan intrakranial
terlalu tinggi, pemeriksaan ini kontraindikasi untuk dilakukan.8
8. Analisa Gas Darah
Untuk mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.8

9. Angiography
Angiography tidak sealu dilakukan, tetapi pemeriksaan ini perlu
dilakukan untuk beberapa jenis tumor. pemeriksaan ini membantu ahli
bedah untuk mengetahui pembuluh darah mana saja yang mensuplai area
tumor, terutama apabila terlibat embuluh darah besar. Pemeriksaan ini
penting dilakukan terutama untuk tumor yang tumbuh ke bagian sangat
dalam dari otak.8

2.1.9. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Jika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan
pembedahan. Ada pembedahan total dan parsial, hal ini tergantung jenis
tumornya. Pada kasus abses seperti loculated abscess, pembesran abses
walaupun sudah diberi antibiotik yang sesuai, ataupun terjadi impending
herniation. Sedangkan pada subdural hematoma, operasi dekompresi harus
segera dilakukan jika terdapat subdural hematoma akut dengan middle
shift > 5 mm. Operasi juga direkomendasikan pada subdural hematoma
akut dengan ketebalan lebih dari 1 cm.7
2. Radioterapi
Ada beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi,
seperti low grade glioma. Selain itu radioterapi juga digunakan sebagai
lanjutan terapi dari pembedahan parsial.7
3. Kemoterapi
Terapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk
oligodendroglioma dan beberapa astrocytoma yang berat, kemoterapi
hanya digunakan sebagai terapi tambahan.7
4. Antikolvusan
Mengontrol kejang merupakan bagian terapi yang penting pada
pasien dengan gejala klinis kejang. Pasien SOL sering mengalami
peningkatan tekanan intrakranial, yang salah satu gejala klinis yang sering
terjadi adalah kejang.7
Phenytoin (300-400mg/kali) adalah yang paling umum digunakan.
Selain itu dapat juga digunakan carbamazepine (600-1000mg/hari),
phenobarbital (90-150mg/hari) dan asam valproat (750-1500mg/hari).7
5. Antibiotik
Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka
antibiotik merupakan salah satu terapi yang harus diberikan. Berikan
antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun sesuai data empiris yang ada.
Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan
hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum.
Carbapenem, fluorokuinolon, aztreonam memiliki penetrasi yang bagus ke
sistem saraf pusat, tetapi harus memperhatikan dosis yang diberikan
(tergantung berat badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah toksisitas.9
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangu
tekana intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat.
Dexamethasone adalah kortikosteroid yang dipilh karena aktivitas
mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari
16mg/hari, tetapi dosisnya dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk
mencapai dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.6
7. Head up 30-45˚
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala,
sehingga akan membantu mengurangi TIK.7
8. Menghindari Terjadinya Hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena
hiperkapnia dapat menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke
otak sehingga terjadi peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan
disertai dengan analisa gas darah untuk menghindari global iskemia pada
otak.7
9. Diuretika Osmosis
Manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB diberikan cepat dalam
30-60 menit untuk membantu mengurangi peningakatan TIK dan dapat
mencegah edema serebri.7
2.1.10. Prognosis
SOL intrakranial tergantung pada penyebabnya. Berdasarkan data
di negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang
tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka
ketahanan hidup 5 tahun berkisar 50-60 % dan angka ketahanan hidup 10
tahun berkisar 30-40 %. Terapi SOL yang disebabkan oleh tumor
intrakranial di Indonesia secara umum prognosisnya masih buruk,
berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit
di Jakarta.

b. 2. HIV
2.2.1. Etiologi
HIV merupakan virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili
Lentiviridae. Dikenal ada dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Secara
morfologis HIV-1 berbentuk bulat yang terdiri atas bagian inti (core) dan
selubung (envelope).Molekul RNA dikelilingi suatu kapsid berlapis dua dan
suatu membran selubung yang mengandung protein. Komponen membran luar
tersusun dari dua lapis lipid dan terdapat glikoprotein spesifik menyerupai
jarum yang terdiri atas gp120, yang mampu berinteraksi dengan reseptor CD4
dan core reseptor CXCR4 dan CCR5 yang terdapat pada sel target, dan gp41
yang mendorong terjadinya fusi membran HIV dengan membran sel target.
Glikoprotein tersebut mempuyai peranan penting dalam proses infeksi karena
mempunyai afinitas yang besar dengan reseptor CD4 dan core reseptor
CXCR4 dan CCR5 sel target. Bagian inti HIV tersusun dari rangkaian protein
matrix p17, rangkaian nukleocapsid dari protein p24, protein inti terdiri atas
genom RNA dan enzim reverse transcriptase yang dapat mengubah RNA
menjadi DNA pada proses replikasi. Genom HIV terdiri atas ssRNA (2 untai
yang identik dengan masing-masing 9,2kb). Pada genom HIV terdapat gen
yang berperan untuk menyandi sintesis protein inti, enzim reverse
transcriptase maupun memandu kinerja glikoprotein dari selubung.

Gambar 1. Anatomi virus HIV


2.2.2. Transmisi Infeksi Hiv
HIV merupakan virus sitopatik dari famili retrovirus. Transmisi HIV
masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu:
1. Secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung,
persalinan, menyusui)
2. Secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual)
3. Secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang
terinfeksi (asas sterilitas kurang di perhatikan terutama pada pemakaian
jarum suntik bersama-sama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah,
transplantasi organ, tindakan hemodialisis, perawatan gigi)
HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks, cairan vagina, ASI,
air liur, serum, urine, air mata, cairan alveoler, cairan serebrospinal. Sejauh ini
transmisi secara efisien terjadi melalui darah, cairan semen, cairan vagina dan
serviks, ASI. HIV tidak menular melalui bersalaman, tinggal dalam satu
rumah, menggunakan alat makan/minum bersamaan, dengan gigitan nyamuk,
berpelukan atau berciuman, dan dengan jamban yang sama.
2.2.3. Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal, dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi
sistemik secara langsung dengan di perantarai benda tajam yang mampu
menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit
dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu
mencapai atau berada kala sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama
HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi
viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi
mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk
pilek dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini
mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load
akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai
pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara
perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan
hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju
penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel
yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor
CD4. Untuk bisa masuk ke dalam sel target, gp120 HIV perlu berikatan dengan
reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit-
makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, mikroglia. Selain itu, untuk masuk
ke sel HIV memerlukan chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5,
beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3.
Intensitas ikatan gp120 HIV dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran
regio V terutama V3. Stabilitas dan potensi ikatan di perkuat oleh ko-reseptor
CCR5 dan CXCR4. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut
akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV
dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua
membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transcriptase dan
inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV
melepaskan single strand RNA (ssRNA).
Enzim reverse transkriptase akan menggunakan RNA sebagai
template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA di pindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi
sehingga menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus
masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara
enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif
untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini
disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus dari keadaan laten
tersebut memerlukan proses aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi
oleh induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu
nuclear factor kB (NF-kB) sehingga menjadi aktif dan berikatan 5’LTR (long
terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen
pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NFxB menginduksi replikasi DNA.
Induktor nulear factor kB (NF-kB) sehingga cepat memicu replikasi HIV
adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang memicu
infeksi sekunder dan memperngaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, jamur,
virus maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut yang
paling besar pengaruhnya terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non
HIV, terutama adalah virus DNA.
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara
struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari
nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida
akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat
lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian polipeptida di pecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim
yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari
permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang.
Virus yang sudah lengkap ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target
berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai
109-1011 virus baru.

Gambar 2. Siklus hidup HIV

Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan


semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV
mengalami penurunan jumlah limfosit T CD4 melalui beberapa mekanisme
sebagai berikut:
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma
akibat adanya penonjolan dan perobekan virion, akumulasi DNA virus
yang tidak berintegritasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis
makromulekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi
HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respon imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan
melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respon ini bisa
menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel
normal di sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan
untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis) peningkatan antara gp120 di
regio V3 dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk
menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperreaktivitas Hsp70 sehingga fungsi
sitoproteksif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu,
terjadi missfolding dan denaturasi protein, jejas dan kematian sel.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebu terjadi


penurunan jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal berkisar
600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua
mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga
pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke
stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya
keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

2.2.4. Perjalanan Infeksi HIV


Infeksi HIV dapat bermanifestasi berbagai macam gejala dan
mempunyai efek ke berbagai macam sistem tubuh. Biasanya gejala
asimtomatik, atau hanya gejala ringan seperti demam, nyeri sendi, lemah,
limfadenopati, sakit tenggorokan.
Manifestasi klinis HIV Akut :
1. Constitusional : demam, lemah otot, menggigil, keringat malam,
nafsu makan menurun, berat badan menurun.
2. Lymphatik : limpadenopati, terutama di leher, mastoid, ketiak
3. Hidung Tenggorokan : nyeri menelan, sakit tenggorokan
4. Gastrointestinal : mual, muntah, dieare
5. Neurologi : sakit kepala, nyeri dan kaku pada leher, photophobia
6. Musculoskeletal : bengkak, myalgia
Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan temuan yang khas, hanya
seperti flu biasa, tetapi dapat pula ditemukan pembesaran kelenjar limfe,
dan kemerehan pada extrimitas proximal.
Perjalanan virus HIV dalam tubuh hampir sama dengan virus lain,
tetapi dalam waktu 4 minggu akan terjadi penurunan jumlah limfosit.pada
saat terpajan, virus HIV akan menginfeksi satu sel T helper untuk menjadi
sel inangnya. Pada hari ke 8, virus dan antigen dapat terdeteksidengan tes
PCR, anti body tes negatif, jumlah virus langsung bertambah dua kali lipat
tiap harinya disertai jumlah CD4 yang semakin menurun. Pada minggu 2-
4, anti body HIV mungkin dapat terlihat, pada individu dalam periode ini
biasanya belum menimbulkan geejala, tetapi pasien dalam periode ini
sudah bias menularkan virus ke orang lain.minggu 10-24 terjadi
peningkatan jumlah virus yang signifikan,penurunan CD4 dan akan
menuju ke fase kronik (infeksi oportunistik ). Dalam fase ini terdapat
persisten limfadenopati generalisata, terjadi karena hyperplasia folikel
karena infeksi hiv virus terlalu tinggi, lesi oral seperti candida, leuplakia
dan EBV (CD4 200-500 /uL). Gangguan hamatologi juga dapat terjadi
seperti anemia kronik, trombositopenia (CD4>400/uL), Gangguan
Dermatologi seperti Herpes Zoster (10-20%).

2.2.5. Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saai ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(obat anti retroviral ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas
dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat
bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem
kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi
oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu:
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat ARV
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasma, sarkoma kaposi’s, limfoma, kanker serviks
c. Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga
kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat
ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat
berkurang.

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan bicara pelo,


dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sehinggga sulit untuk komunikasi.
Pasien awalnya merasakan pusing dan nyeri kepala hilang timbul, kemudian
pasien mengaku badan terasa lemas, makanan dan minuman kesulitan
menelan. Pasien 1 HSMRS pasien demam hingga menggigil. Pasien
mengeluh juga mulut sariawan. Riwayat terjatuh, terbentur dan pingsan
disangkal. Adanya kelemahan anggota gerak di sangkal.
Keluhan lain seperti mual, muntah dan diare disangkal. Riwayat
adanya penurunan kesadaran dan kejang juga disangkal. BAB dan BAK
dalam batas normal. Riwayat Penyakit pasien hipertensi tetapi tidak
terkontrol dan pasien menjalani pengobatan B20.
Pasien tinggal bersama dengan istri dan anaknya. Riwayat merokok
diakui oleh pasien namun sekarang sudah berhenti. Riwayat konsumsi
alkohol dan penggunaan obat – obatan terlarang disangkal. Pasien dirawat di
rumah sakit dengan menggunakan BPJS kesehatan PBI (Penerima Bantuan
Iuran).
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan status generalisata dan
pemeriksaan status neurologis, pada pemeriksaan status generalisata di dapatkan:
Vital Signs IGD BANGSAL
TD: 160/100 mmhg TD: 150/90 mmhg
/Tanda-Tanda
HR : 88x/menit HR: 80x/menit
Vital
RR : 20x/menit RR: 20x/menit
o
S : 39, C S: 37, 2 o C
SpO2: 98 % SpO 2 : 98 %
Periksaan status generalisata : dalam batas normal

Kemudian pemeriksaan status neurologis didapatkan:


1. Kesadaran : Compos mentis
2. GCS : 15 à Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6
3. Pemeriksaan Rangsang Meningeal : Dalam Batas Normal
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
1. Nervus Olfaktorius : Dalam Batas Normal
2. Nervus Optikus : Dalam Batas Normal
3. Nervus Okulomotorius : Dalam Batas Normal
4. Nervus Trokhlearis : Dalam Batas Normal
5. Nervus Trigeminus : Dalam Batas Normal
6. Nervus Abdusens : Dalam Batas Normal
7. Nervus Facialis :
Meringis : Sulit dinilai
Mengembungkan pipi : Sulit dinilai

8. Nervus Vestibulochoclearis : Dalam Batas Normal


9. Nervus Glosofaringeus & Nervus Vagus : Dalam Batas Normal
11. Nervus Assesorius : Dalam Batas Normal
12. Nervus Hipoglossus
Tremor lidah : + Minimal
Artikulasi : Disarthia
Menjulurkan lidah : Deviasi
5. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah : Dalam Batas Normal
6. Vegetatif : Dalam batas normal
7. Pemeriksaan Sensibilitas : Dalam batas normal
8. Pemeriksaan Laboratorium :-
9. Pemeriksaan Radiologi (CT Scan tanpa kontras)
- Tampak lesi heterogen isodens - hiperdens (21 HU – 63 HU) dilobus
parietal sinistra, batas tegas lobulated ukuran lk. (3,2 x 3,8 x 3,9) cm,
perifokal edema (+)
Kesan :
- SOL lobus parietalis sinistra dengan perifokal edema, dd/ 1. Massa, 2.
Sub acute ICH

Assesment
Diagnosis Klinis : Pareses N. VII dextra tipe sentral dan Pareses . N.
XII dextra tipe sentral
Diagnosis Topis : Intrakranial, Lobus parietal sinistra
Diagnosis Etiologi : Space Occupying Lesion

Diagnosis klinis adalah deskripsi gejala dan temuan-temuan klinis yang


diperoleh. Pada kasus ini, diagnosis klinis yang didapat adalah Pareses N.
VII dextra tipe sentral dan Pareses . N. XII dextra tipe sentral

Diagnosis kedua pada penyakit neurologis adalah diagnosis topis.


Diagnosis topis diagnosis berdasarkan gejala dan tanda yang diperoleh
dihubungkan dengan lokalisasi lesi di susunan saraf. Pada kasus ini,
diagnosis topis adalah intrakranial. Dari keluhan yang didapatkan berupa
bicara pelo dan nyeri kepala menandakan bahwa terjadi proses desak
ruang sehingga terjadi gangguan pembuluh darah otak dan peningkatan
tekanan intracranial.

Diagnosis yang ketiga adalah diagnosis etiologi. Diagnosis etiologi adalah


diagnosis berdasarkan gejala, tanda, lokalisasi lesi dihubungkan dengan
proses patologi di susunan saraf. Pada kasus ini, diagnosis etiologi yang
ditegakkan adalah SOL (Space Occupying Lesion)

Penatalaksanaan / Planning
1. Non Medikamentosa
 Bed rest
2. Medikamentosa
Umum
 Stabilisasi airway, breathing, circulation
 Observasi tanda-tanda vital
 Head up 20 - 30˚

Medikamentosa
 IVFD Asering Loading 500 cc dilanjut 20 tpm
 Manitol 6 x 75 cc
 Injeksi Citicolin 2 x 500 mg
 Injeksi Omeprazol 2 x 1 Vial
 Infus Paracetamol 1000 gram extra, lanjut 500mg / 8 jam

Penatalaksanaan SOL tergantung pada penyebab lesi:


1. Untuk tumor primer, jika memungkinkan dilakukan eksisi sempurna,
namun umumnya sulit dilakukan sehingga pilihan pada radioterapi dan
kemoterapi, namun jika tumor metastase pengobatan paliatif yang
dianjurkan.
2. Hematom membutuhkan evakuasi.
3. Lesi infeksi membutuhkan evakuasi dan terapi antibiotik.

Dapat berupa terapi suportif dan terapi definitif.


1. Terapi Suportif
Terapi suportif berfokus pada meringankan gejala dan
meningkatkan fungsi neuroligik pasien. Terapi suportif yang utama
digunakan adalah analgesik dan kortikosteroid untuk menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial.
2. Terapi Definitif
Terapi definitif meliputi pembedahan, radiotherapy,
kemoterapi dan yang sedang dikembangkan yaitu immunotherapy.
Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan analgetik non narkotik
dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di
sistem saraf pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas baik
dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun
kombinasi dengan obat lain. Efek analgetik parasetamol
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Dosis
parasetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali pemberian.
Citicolin
Citicolin merupakan obat yang bekerja dengan cara
meningkatkan senyawa kimia di otak bernama phospholipid
phosphatidylcholine. Senyawa ini memiliki efek untuk melindungi
otak, mempertahankan fungsi otak secara normal, serta mengurangi
jaringan otak yang rusak akibat cedera. Selain itu, citicolin mampu
meningkatkan aliran darah dan konsumsi oksigen di otak. Sebenarnya,
citicolin merupakan senyawa kimia otak yang secara alami ada di
dalam tubuh manusia. Dosis yang diberikan berupa tablet 200-
600mg/hari
Manitol
Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis Diuretik yang
paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu hiperosmotik ggent
yang digunakan dengan segera meningkat volume plasma untuk
meningkatkan aliran darah otak dan menghantarkan oksigen. Ini
merupakan salah satu alasan Manitol sampai saat ini masih digunakan
untuk mengobati pasien menurunkan peningkatan tenanan intra
cranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi edema otak, khususnya
pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol adalah larutan Hiperosmolar
yang digunakan untuk terapi meningkatkan osmolalitas serum .(Ellen
Barker. 2002). Dengan alasan fisiologis ini, cara kerja Diuretic
Osmotik (Manitol) ialah meningkatkan osmolalitas plasma dan
menarik cairan normal dari dalam sel otak yang osmolarnya rendah
ke intravaskuler yang olmolar tinggi, untuk menurunkan edema otak.
Omeprazole
Omeprazole diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah
efek samping dan interaksi dari obat lain.

Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia ad malam
 Quo ad functionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad malam

1. Quo ad vitam: menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses


kehidupan
2. Quo ad functionam: menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi
organ atau manusia dalam melakukan tugasnya
3. Quo ad sanationam: menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total
sehingga dapat beraktifitas seperti biasa
DAFTAR PUSTAKA

1. Ejaz M, Saeed A, Naseer A, Chaudrhy, Qureshi G.R, 2005. Intra-cranial


Space Occupying Lesions A Morphological Analysis. Department of
Pathology, Postgraduate Medical Institute, Lahore – Pakistan. Biomedica
Vol. 21
2. Kaptigau, W. Matui ,Ke Liu. Space-occupying lesions in Papua New
Guinea – the CT era. Port Moresby General Hospital, Papua New Guinea
and Chongqing Emergency Medical Centre, Chongqing City, China. PNG
Med J 2007 Mar-Jun;50(1-2):33-43

3. Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 1999 : 201 – 207 (Dilihat dari :
https://yayanakhyar.wordpress.com/2008/10/23/602/)
4. Ningrum, F.Y., 2013. Space Occupaying Lesion ( SOL). Available from:
http://www.scribd.com/doc/123949291/referat-SOL [Last accessed 7th
December 2014]
5. Widyalaksono, A., 2012. SOL Space Occupayimg Lesion. Available from:
http://www.scribd.com/doc/129372631/CR-SOL [Last accessed 7th
December 2014]
6. Lombardo MC. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam: Price SA,
Wilson LM, eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Wilkinson, Iain. 2005. Brain Tumour. Essential Neurology, 4th Edition.
Page 45.
8. Meagher, R.J., & Lutsep, H.L. 2013. Subdural Hematoma. Dipetik
Desember 10, 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/113720.
[Last accessed 7th Desember 2014]
9. Japardi, I. 2004 Cedera Kepala: Memahami Aspek-Aspek Penting dalam
Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta Barat: Bhuana Ilmu
Populer.
Dilihat dari : http://documents.tips/documents/neurologi-sol.html

Anda mungkin juga menyukai