Anda di halaman 1dari 35

Skenario 6 : Tetanus

PEMBAHASAN
2.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan tanya jawab antara dokter dan pasien atau bisa juga
terhadap keluarga atau relasi terdekat atau yang membawa pasien tersebut ke
rumah sakit atau tempat praktek. Anamnesis diperlukan untuk mengetahui
penyebab penyakit tetanus seperti tempat masuknya kuman. Anamnesis
terdapatnya riwayat luka-luka patogenesis, disertai keadaan klinis berupa
kekakuan otot terutama di daerah rahang, sangat membantu diagnosis. Pembuktian
kuman seringkali tidak perlu, karena amat sukar mengisolasi kuman dari luka
pasien. Dari anamnesis juga bisa ditanyakan apakah pasien pernah mendapatkan
imunisasi sebelumnya.
Dari anamnesis, diketahui pasien tertusuk paku di telapak kaki kanan 12 hari yang
lalu namun tidak diobati. Tekanan darah 130/80 dengan frekuensi nafas 28x/menit.
2.2 Pemeriksaan
2.2.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala
yang khas pada penyakit tetanus seperti trismus, kejang opistotonus,
spasme otot, senyum sengit akibat kejang yang tidak henti-hentinya di
daerah muka, terutama rahang. Juga tampak luka yang dalam dan
bernanah serta suhu tubuh 38,3oC
2.2.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium) tidak begitu perlu
dilakukan. Hal ini disebabkan karena penyakit tetanus dapat
ditegakkan dengan gejala klinis dan anamnesis.
2.3 Diagnosis
2.3.1. Diagnosis Kerja
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung
bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan
pencegahan dari tetanus. 1,2
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa gejala klinik : kejang tetanik, trismus, dysphagia, Rhisus
sardonicus ( otot wajah kaku ). Biasanya tampak luka yang
mendahuluinya. Pembuktian kuman seringkali tidak perlu karena amat
sukar mengisolasi kuman dari luka penderita.
2.3.2. Differensial Diagnosis
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar
sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan
serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit
meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi
karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otototot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
Spasme yang disebabkan oleh strikinin jarang menyebabkan spasme otot
rahang. Tetanus didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan
fosfat). Kejang pada meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan
cerebrospinalis. 1,2
Trismus dapat pula terjadi pada abses retrofaring, abses gigi yang berat,
pembesaran kelenjar limfe leher. Kaku kuduk juga dijumpai pada
meningitis, tetapi pada hal yang terakhir ini biasanya tampak jelas
demam, kesadaran yang menurun dan kelainan cairan serebrospinalis.
Selain itu, pada tetanus kesadaran tidak menurun.1,2,3
Rabies dapat menimbulkan spasme laring dan faring, tetapi tidak disertai
trismus. Tetani dibedakan dengan tetanus dengan pemeriksaan kadar Ca
dan P

dalam darah. Selain itu, pada rabies, terdapat anamnesis gigitan anjing
atau kucing dengan saliva yang mengandung virus, disertai gejala spasme
laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi tanpa
trismus. 1,2,3
Tabel 3 yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus : 4
2.4 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri ini

hidupnya anaerob dan berbentuk batang berspora, dijumpai pada tinja binatang
terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi
dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar , kecelakaan, serta pada infeksi tali
pusat (Tetanus Neonatorum ). Bakteri ini lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.

Gbr Clostridium
tetani 5
Toksin ini mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat.
Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 0 C akan hancur dalam lima menit.
Di samping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat hemolisis, yang peranannya
kurang berarti dalam proses penyakit.
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit ini biasa karena luka tusuk, luka bakar, atau pascapartus.
Biasa di daerah pertanian dan perkebunan juga beresiko terkena tetanus karena
penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang terkontaminasi dengan tanah dan
dengan kebersihan serta perawatan luka yang buruk. Melahirkan juga menjadi
salah satu faktor risiko penyakit tetanus terutama pada tali pusat. Bagi yang tidak
mempunyai kekebalan juga beresiko terkena tetanus. Tetanus juga masih banyak
dijumpai dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan dan
perawatan luka yang kurang higienis.
2.6 Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksin ulangan.
Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan
penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan
Negara Negara sedang berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina, Vietnam,
Indonesia, dan Negara lain di benua Asia. 1,2,6

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani suatu basil anaerob Gram positif
pembentuk spora, yang terdapat dalam usus berbagai hewan herbivora dan
terdistribusi luas dalam tanah. Bila tidak memiliki imunisasi aktif, seorang pasien
dengan usia berapapun dapat mengalami tetanus melalui luka yang terkontaminasi
oleh tanah. Orang dewasa yang berusia > 60 tahun merupakan kelompok berisiko
tertinggi, terutama wanita yang mungkin lahir sebelum dikenalkan imunisasi pada
anak-anak . 1,2,6
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri
masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal
dengan nama tetanus neonatorum. Tetanus neonatal merupakan masalah khusus di
beberapa negara berkembang akibat kontaminasi sekitar umbilikus oleh tanah atau
kotoran hewan untuk tujuan terapi. 1,2,6
Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah,
pembedahan, absorsi dan adanya porte dentre.
Port of entry tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar. Bisa juga melalui luka operasi
yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik, caries gigi, serta pemotongan tali
pusat yang tidak steril.
2.7 Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku,
pecahan kaca, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat
melalui tali pusat. Bentuk spora dari bakteri akan berubah menjadi vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian
mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah
luka, sehingga tidak ada penyebaran kuman.
Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanospasmin yang merupakan
toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme
otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat. Tetanolisin mampu secara lokal
merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Eksotoksin
yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson

neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau
jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun
toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
antitoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin
diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke kornu
anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik,
masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf
pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot
menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan
dan rata-rata 10 hari. 1,2,6,7
Toksin mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokir pelepasan
neurotransmitter yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Tetanospasmin
berpengaruh pula pada sistem saraf otonom, sehingga muncul gangguan pada
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,saluran cerna, saluran kemih,
dan neuromuskular. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan pelepasan asetikolin
ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin
juga dipengaruhi. 1,2,6,7
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Aliran eferen yang tak terkendali dari
saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan
spasme muskuler. Spasme otot sangat nyeri dan dapat berakibat fraktur tendon.
Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otototot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,2,6,7
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversible. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi
lama.
Untuk menentukan derajat penyakit ini, digunakan score menurut Phillips yang
berdasarkan 4 tolok ukur yaitu

masa inkubasi

lokal infeksi ( Port d'entree)

imunisasi

faktor yang memberatkan


Derajat keparahan penyakit dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel empat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips) 7
Tolah ukur

Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Imunisasi

Faktor yang memberatkan

Nilai

Kurang 48 jam

2-5 hari

6-10 hari

11-14 hari

lebih 14 hari

Internal/umbilikal

Leher, kepala, dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui

Tidak ada

10

Mingkin ada/ibu mendapat

Lebih dari 10 tahun yang lalu

Kurang dari 10 tahun

Proteksi lengkap

Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa


Keadaan yang tidak langsung membahayakan
jiwa

10

Keadaan yang tidak membahayakan jiwa


Trauma atau penyakit ringan
A.S.A.** derajat
** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit
Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat
dibagi menjadi tetanus ringan (angka kurang dari 9), penyakit sedang (angka 916), dan tetanus berat (angka lebih dari 16). Tetanus ringan dapat sembuh dengan
pengobatan baku sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang
intensif.

8
4
2
1

Ada beberapa bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: 1,2,6,7
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
Tetanus ini merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasinya hanya pada
otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot bisa terjadi akibat peran toksin pada
tempat hubungan neuromuskuler. Gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan
sampai berbulan-bulan. Progresi menjadi tetanus generalisata bisa terjadi.
Namun secara umum, prognosisnya baik.
2. Cephalic Tetanus ( Tetanus Sefalik )
Tetanus ini merupakan bentuk yang jarang dari bentuk tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.
Biasanya terjadi disfungsi satu atau lebih saraf kranial yang tersering saraf ke
tujuh (nervus fascialis). Mortalitasnya tinggi.
3. Generalized tetanus (Tctanus Generalisata atau umum)
Tetanus ini merupakan bentuk yang paling umum ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme. Masa inkubasinya bervariasi tergantung
lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas (kekakuan), spasme (ketegangan) otot,
dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan
kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus.
Spasme otot maseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme
secara progresif akan meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi
wajah yang khas risus sardonicus dan meluas ke otot-otot menelan yang
menyebabkan disfagia (kesulitan menelan). Rigiditas tubuh menyebabkan
opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding
dada. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak. Sementara kesadaran
tidak berpengaruh.
Kontraksi otot dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa
sentuhan, stimulus visual, auditori, atau emosional. Spasme faringeal sering
diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan
obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.

4. Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus


Tetanus ini biasanya fatal apabila tidak terapi. Bentuk ini menyebabkan lebih
dari 50% kematian akibat tetanus di seluruh dunia, tapi jarang di negara maju.
Tetanus neonatal biasa disebabkan oleh higiene umbilikal yang buruk (tidak
steril). Risiko infeksi tergantung panjang tali pusat, kebersihan lingkungan,
dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Gambaran khas
tetanus neonatum antara lain rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan
spasme. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi
mental dapat terjadi pada yang bertahan hidup. Namun tetanus neonatus ini
dapat dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan.
Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan. Penderita tetap sadar dengan nyeri yang sangat hebat serta
ketakutan akibat kejang tetanus berikutnya karena toksin tetanus tidak
mengenai saraf sensorik atau fungsi korteks. Kejang-kejang ini ditandai
dengan kontraksi otot tonik berat, mendadak, dengan tangan mengepal seperti
tangan yang sedang meninju, lengan fleksi dan adduksi serta hiperekstensi
kaki. Gangguan paling kecil pada pandangan, suara atau sentuhan dapat
memicu kejang tetani. Demam dengan suhu 40 0C adalah lazim karena banyak
energi metabolik yang dihabiskan oleh otot-otot spastik. Pengaruh otonom
yang utama adalah takikardi, aritmia, hipertensi labil, diaforesis, dan
vasokonstriksi kulit. 1,2,6,7,9
Tanpa pengobatan, kisaran kejang dari beberapa detik sampai beberapa menit
sampai spasme otot dapat bertahan. Secara bertahap, otot voluntar lain terkena
yang menyebabkan spasme tonik.
Setiap rangsangan eksterna dapat mencetuskan spasme otot tetanik
generalisata.7 Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan respirasi. Angka
mortalitas generalisata sangat tinggi.7 Penyebab kematian merupakan
kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot nafas dan infeksi sekunder
di paru-paru yang menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
2.8

Komplikasi 1,2,6,9

Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan otot-otot


pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia serta kompressi
fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi
rhabdomyolysis dan renal failure. Rhabdomyolysis adalah keadaan dimana otot
rangka dengan cepat hancur, sehingga mengakibatkan mioglobin (protein otot)
bocor ke dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
2.9 Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan
artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi
luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin
yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan
antitoksin ( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,
walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam
konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan). 1,2,6,7,9
Pencegahan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan merawat luka dan pemberian
anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan
kekebalan pasif sehingga mencegah terjadinya tetanus atau memperpanjang masa
inkubasi.
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satusatunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian
imunisasi aktif( DPT atau DT ) yang diberikan tiga kali dengan interval 4-6
minggu, dan diulang pada umur 18 bulan dan 5 tahun . 1,2,6,7,8
Untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan padawaktu
persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan
tali pusat.
2.10

Penatalaksanaan
2.10.1.

Perawatan

1,2,6,7,9

Imunisasi pasif dengan globulin imun tetanus manusia (TIG)


memperpendek program tetanus dan dapat mengurangi keparahannya.
Dosis 500 U muncul seefektif seperti dosis yang lebih besar.

Terapi pendukung mungkin termasuk dukungan ventilasi dan agen


farmakologis yang mengobati kejang otot refleks, kekakuan, dan
kejang berhubung dengan tetanus.
Benzodiazepines telah muncul sebagai andalan terapi simtomatik
untuk tetanus. Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih lama
dari 5-10 detik, mengelola diazepam intravena, biasanya 10-40 mg
setiap 1-8 jam. Vecuronium (infus kontinu) atau pankuronium
(dengan injeksi intermiten) adalah alternatif yang memadai.
Penisilin G, yang telah digunakan secara luas selama bertahuntahun, namun bukan obat pilihan. Metronidazol (misalnya, 0,5 q6h
g) merupakan aktivitas antimikroba yang sebanding atau lebih baik,
dan penisilin merupakan antagonis GABA, seperti toksin tetanus.
Dokter juga menggunakan sedatif hipnotik, narkotika, obat anestetik
inhalasi, agen yang memblokir neuromuskuler, dan relaksan otot
(misalnya, baclofen intratekal).
Sampai saat ini, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 26 orang
dewasa dengan tetanus parah telah diperlakukan dengan baclofen
intratekal. Dosis perwakilan dari infus kontinu adalah 1750 mcg per
hari.

2.10.2.

Pengobatan 1,2,6,7,9

Mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan, pengendalian


keseimbangan cairan dan elektrolit, serta perbaikan nutrisi adalah tindakan
yang harus dilakukan. Untuk mengatasi kaku otot diberikan obat yang
bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi digunakan fenobarbital,
klorpromazin, atau diazepam.
Diazepam bekerja di semua sinaps GABA tapi kerjanya dalam mengurangi
spastisitas sebagian yang dimediasi di medula spinalis. Diazepam dapat
digunakan untuk melemaskan otot yang berasal dari mana saja termasuk
trauma otot lokal. Dosis diazepam dimulai dengan 4 mg/hari yang dapat
ditingkatkan secara bertahap hingga maksimum 60 mg/hari. 7 Pada tetanus
berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil

alih pernapasan memakai respirator. Pasien dengan kaku laring biasanya


memerlukan trakeostomi untuk mengatasi gangguan pernapasan.
Pada perawatan harus dilakukan observasi ketat, terutama jalan napas,
perubahan posisi, dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus, dan
pengosongan buli-buli. Fisioterapi paru dan anggota gerak serta perawatan
mata juga merupakan bagian dari perawatan baku. Pemberian nutrisi yang
adekuat dapat dilakukan dengan nutrisi perenteral dan enteral. Selama
pasese usus yang baik, nutrisi enteral merupakan pilihan tetapi bila perlu
dilakukan pemberian makan lewat pipa lambung atau gastronomi. 1,2,6,7,9
Dalam merawat pasien tetanus sebaiknya diusahakan ruangan yang tenang
yang dilindungi dari rangsangan penglihatan, pendengaran, dan perabaan.
Selain itu, diperlukan staf perawatan yang berpengalaman dan mempunyai
desikasi tinggi serta bertanggung jawab. Ruangan yang gelap tidak
diperlukan karena perubahan dari gelap dan terang secara tiba-tiba dapat
memicu timbulnya kejang.
Netralisasi toksin yang masih beredar dilakukan dengan memberikan serum
antitetanus (ATS) atau Imunoglobin tetanus human. ATS diberikan 20.000
IU setiap hari selama lima hari. Pada pemberian ATS harus diingat
kemungkinan timbulnya reaksi alergi. Pemberian imunoglobulin tetanus
human cukup dengan dosis tunggal 3000-6000 unit. Pemberian tidak perlu
diulang karena waktu paruh antibodi ini 31/2-41/2 minggu. 1,2,6,7,9
Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat luka
yang dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka dengan
larutan antiseptik, eksisi luka, bahkan histerektomi bila uterus diperkirakan
sebagai sumber kuman tetanus dan pemakaian antimikroba. Bila tidak
ditemukan sumber infeksi yang jelas, antimikroba merupakan satu-satunya
usaha untuk menghilangkan kuman penyebab. Dasar pemikirannya ialah
perkiraan bahwa kuman penyebab terus memproduksi eksotoksin yang
hanya dapat dihentikan dengan membasmi kuman tersebut. 1,2,6,7,9
Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif untuk membunuh
Clostridium tetani adalah penisilin. Dosis penisilin G adalah 100.000
U/kg/24 jam yang terbagi dan diberikan pada interval 4-6 jam selama 10-14
hari.2 Metronidazol nyata lebih efektif dibandingkan dengan penisilin

dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas karena metronidazol tidak


menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan
oleh penisilin. Dosis penisilin yang dianjurkan adalah 3 x 1,5 juta unit/hari
dan metronidazol 3 x 1 gr/hari. 3 Pemberian eritromisisn, tetrasiklin dan
klindamisin pada usia lebih dari 9 tahun merupakan alternatif untuk
penderita alergi penisilin. 1,2,6,7,9

2.11

Prognosis 9
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya
masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus
neonatorum
> 60%.
Prognosis dibagi menjadi 2 macam yaitu prognosis yang paling baik dihubungkan
dengan masa inkubasi yang lama, tanpa demam, dan dengan penyakit yang
terlokalisasi. Prognosis yang buruk dihubungkan antara jejas dan mulainya trimus
seminggu atau kurang, dan tiga hari atau kurang antara trimus dengan spasme
tetanus menyeluruh. 1,2,9

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, disimpulkan pasien menderita
tetanus. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri anaerob
Clostridium tetani. Penyakit ini berasal dari luka tusukan ysng berasal dari benda
kotor seperti paku, injeksi yang tidak steril, pascapartus, serta keadaan yang tidak
lazim yang dapat menimbulkan tetanus seperti gigitan binatang, abses, luka bakar,
fraktur, gangren, dan sirkumsisi wanita. Secara etiologi, Clostrisium tetani
memiliki spora yang dapat bertahan dalam air mendidih tetapi tidak dalam
autoklaf. Clostridium tetani memiliki toksin tetanus yang merupakan bahan kedua
yang paling beracun setelah toksin botulinum.
Tetanus memiliki gejala awal seperti nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas yang
sering disertai kekakuan, sukar mengunyah, dan spasme otot leher. Pada keadaan
yang lebih lanjut terdapat gejala seperti trismus, kejang opistotonus, penderita
berpostur lengkung, dan sampai menimbulkan kematian. Tetanus tidak menyerang
saraf sensorik atau fungsi korteks. Hal ini menyebabkan penderita sadar dan harus
menahan rasa yang sangat nyeri.
Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan barulah
dilakukan tindakan pengobatan seperti pemberian globulin anti tetanus,
debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien telah mengalami kejang,
maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi
digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam. Pada tetanus berat kadang
diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan
memakai respirator.
Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan pemberian penisilin.
Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala
klinis pertama sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan
prognosis. Kematian tertinggi yang diakibatkan oleh tetanus yaitu anak-anak
( balita dan bayi) dan lansia.

Skenario 7 : Rabies
PENDAHULUAN
Rabies disebabkan oleh virus Rabies dari spesies Rabdovirus, genus Lyssavirus,
family Rhabdoviridae dan order Mononegavirales . Penyakit rabies atau yang sering disebut
juga anjing gila merupakan penyakit zoonosis (penyakit hewan yang dapat menular ke
manusia). Menurut bahasa, Rabies berasal dari bahasa latin rabere yang mempunyai arti
marah atau dengan kata lain mempunyai sifat pemarah. rabere juga kemungkinan berasal
dari bahasa terdahulu yaitu bahasa Sanskrit rabhas yang bermakna kekerasan. Orang
Yunani meng-adopsi kata Lyssa yang juga berarti kegilaan. Jika dilihat dari sisi bahasa
tidak akan susah dimengerti bahwa semenjak beberapa ribuan tahun yang lalu Rabies
merupakan simbol bagi penyakit yang menyerang anjing dan membuat anjing seperti gila.
Penyakit ini merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva hewan penular
rabies terutama anjing, kucing, kelawar, raccoon dan kera serta beberapa binatang menyusu
lain yang dipelihara atau liar dan telah terinfeksi, cakaran hewan, sekresi yang
mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan
transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga system
saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan
medulla spinalis). Virus rabies tergolong virus ukuran besar yang dirusak dan mati oleh
cahaya matahari dan cahaya ultraviolet, larutan formalin, asam kuat, atau dipanaskan lebih
dari 56 derajat C dalam satu jam. Virus ini tidak dipengaruhi antibiotic atau bakterisida, dapat
tahan hidup beberapa minggu dalam suhu lemari es dan tahan hidup lebih dari satu tahun
dalam suhu mendekati titik beku.
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai
sistem saraf pusat. Hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian
terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis

generalisata. Namun, bagi kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang
segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival
100%.
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya
berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun
tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan
intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup
pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh
karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan efisien baik penanganan
profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca pajanan sehingga akibat buruk akibat virus
ini dapat diminimalkan.

PERBAHASAN
2.1) Pemeriksaan
2.1.1 Anamnesis
Pemeriksaan berupa sesi tanya jawab atau anamnesis terhadap pasien harus
dilakukan sebagai langkah pertama bagi mengetahui keluhan utama yang merupakan
penyebab kedatangan pasien kepada dokter. Bagi kasus ini, pasien yang datang adalah
seorang laki-laki berusia 22tahun. Pasien mengalami gigitan anjing liar di kaki sebelah kanan
sehingga meninggalkan luka terbuka. Kemudian, luka tersebut bernanah selepas pasien mandi
di kubangan air. Antara keluhan yang biasa pasien ajukan adalah pasien berasa panas yang
kemungkinan demam. Gejala lain adalah nyeri kepala, berasa lemah, nyeri tenggorokan dan
takut untuk meminum air (hidroforbik) karena spasme otot menelan.
Selain itu, kejadian tersebut harus diketahui sama ada di kawasan yang tertular
penyakit rabies atau tidak. Di samping penting untuk mengetahui adakah pasien melakukan
tindakan provokatif terlebih dahulu atau tidak sebaik sahaja mendapatkan gigitan anjing
tersebut. Pasien juga harus ditanyakan jika beliau pernah mendapatkan suntikan anti rabies
(VAR) serta adakah anjing yang menggigit pasien mempunyai gejala rabies yang sama seperti
dialami oleh manusia.1
2.1.2

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama kali

untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta bilangan
denyut nadi. Setelah itu, lokasi luka gigitan anjing tersebut diidentifikasi supaya dapat

diketahui status penyakit jika pasien tertular virus rabies. Hal ini penting karena pada daerah
yang kaya elemen sisyem saraf masa inkubasi adalah lebih pendek dan gejala dapat muncul
dengan cepat. Antaranya seperti di daerah tangan, jari atau yang dekat dengan system saraf
pusat terutama leher, muka dan kepala.
Pemeriksaan fisik lainnya adalah dengan melakukan palpasi untuk mengetahui adakah
berlaku pembesaran lien dan hepar. Kemudian adalah auskultasi dan perkusi. Auskultasi
penting untuk mengetahui keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya. Adakah mempunyai
bunyi tambahan, bradicardi atau tachycardia dan peristaltik usus.
2.1.3

Pemeriksaan Penunjang2

Diagnosis Rabies pada hewan dan manusia dapat dilakukan dengan 4 metode yaitu
histopathology, kultivasi virus, serologis dan deteksi antigen dari virus. Meskipun 3 metode
pertama memberikan berbagai kelebihan tetapi bukan diagnosa yang bersifat cepat (rapid
test).
1. Histopatologi, badan negeri (negri bodies) merupakan temuan yang bersifat
pathognomonis pada Rabies, meskipun adanya badan negeri hanya 71% dari kasus.
2. Kultivasi virus, pemeriksaan diagnosa untuk Rabies yang paling bersifat definitif
adalah Kultivasi virus. Kultivasi virus adalah proses penanaman virus didalam suatu
kultur jaringan (tissue culture) dengan maksud untuk memperbanyak virus sehingga
akan lebih mudah untuk diisolasi dan di identifikasi. Kultur jaringan yang biasa
digunakan untuk identifikasi penyakit Rabies adalah WI-38, BHK-21 atau
CER. Immuno Fluororecent (IF) adalah test (melalui Flourorescence Antibody Test
(FAT)) yang biasa dilakukan melihat keberadaan antigen atau virus rabies dalam
kultur jaringan. Proses kultivasi yang paling umum dilakukan dengan cara melakukan
inokulasi dari saliva hewan terjangkit Rabies atau dari jaringan kelenjar saliva dan
atau jaringan intracerebral yang disuntikan kedalam mencit. Mencit kemudian
dilakukan observasi dan akan mengalami paralisis dan kematian dalam waktu 28
hari. Setlah mati otak mencit kemudian diperiksa untuk keberadaan virus Rabies
dengan Immuno fluororesence test.

3. Pemeriksaan Serologis adalah pemriksaan untuk melihat suatu infeksi yang terjadi di
masa lampau. Pemeriksaan serologi, prinsipnya adalah memeriksa keberadaan
antibodi pada sirkulasi darah sebagai akibat dari infeksi. Jenis pemeriksaan yang
paling sering dilakukan untu pemeriksaan serologis dalam Rabies adalah pemeriksaan
dengan metode Mouse Infection Neutralization Test (MNT) atau dengan Rapid
fluororescent Focus Inhibition Test (REFIT). Dari berbagai laporan pemeriksaan
Rabies dengan serologis adalah periksaan yang paling berguna dalam diagnosa.
4. Deteksi virus Rabies Cepat, dalam beberapa tahun terakhir, deteksi virus dengan
menggunakan tekhnik IF makin sering dilakukan. Jaringan yang potensial terinfeksi
(dalam hal ini kelenjar saliva, otak (hipokampus) dan kornea mata) di inkubasi dalam
fluorescence antibodi yang dilabel. Kemudian spesimen diperiksa dengan penggunaan
mikroskop

elektron

fluororescence

dengan

melihat

adanya

inklusi

di

intracytoplasmic. Pemeriksaan dengan metode ini cenderung lebih cepat jika


dibandingkan dengan metode lainnya meskipun lebih banyak membutuhkan peralatan
yang lebih modern seperti mikroskop elektron fluorescence.
5. Elektroensefalogram (EEG): dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus
dari kejang.
6. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
7. Magneti resonance imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
8. Pemindaian positron emission tomography (PET): untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak.
9. Darah rutin: dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 13000/mm3) dan
penurunan hemoglobin serta hemtokrit.
10. Urinalisis: dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.

11. Cairan serebrospinal: dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan glukosa
dalam batas normal.
2.1.4

Uji laboratorium2
1. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler.
2. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematocrit.
3. Panel elektrolit.
4. Skrining toksik dari serum dan urin.
5. GDA
6. Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200 mq/dl)
7. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
8. Elektrolit: K, NaKetidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang,
9. Kalium (N 3,80 5,00 meq/dl)
10. Natrium (N 135 144 meq/dl)

2.2) Diagnosis Kerja


Prosedur diagnosis Rabies dilakukan pada umumnya jika terdapat laporan kasus
gigitan terhadap manusia atau secara potensial terdapat kasus yang menyebabkan Rabies.
Untuk mendiagnosa Rabies, selain memperhatikan riwayat penyakit, gejala klinis dan
gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris perlu dilakukan. Diagnosa
secara laboratoris didasarkan atas penemuan antigen rabies, penemuan badan negeri dan
penemuan virus rabies pada spesimen yang diperiksa. Oleh karena itu pemilihan bahan
pemeriksaan serta cara pengepakan dan pengirimannya ke laboratorium adalah satu faktor
penting untuk menunjang proses diagnosa.
Gejala pertama yang khas pada pasien yang tertular virus rabies adalah rasa kejang
pada daerah sekitar luka gigitan. Selain itu, temuan badan negri telah menjadi hal yang paling
sering menjadi acuan dalam proses diagnosa penyakit rabies selama lebih dari 100
tahun semenjak ditemukan pertama kali oleh Adelchi Negri pada tahun 1903. Dengan
perkembangan teknologi saat ini berbagai prosedur diagnosis lain berkembang dengan tingkat
spesifitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dengan melakukan deteksi pada virion dari virus,
protein spesifik pada virus, dan genome RNA pada virus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
pengamatan langsung partikel virus, deteksi protein virus dengan visualisasi adanya reaksi
antara antibodi yang telah dilabel dan sebagainya.3

2.3) Diagnosis Banding


Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies pada umumnya karena infeksi
dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk
dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus
seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71. Faktor
epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan
yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.4
Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik
atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau
orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies. Rabies paralitik dapar
dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes
simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Ensefalitis post vaksinasi
rabies pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala
cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan
pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis. Antara penyakit
lain yang mempunyai kemiripan adalah;
Tetanus
Seperti rabies, tetanus juga dapat menyebabkan demam, nyeri dan parestesia di sekitar
luka dan kejang.Akan tetapi kejang pada tetanus sifatnya tonik dan adanya kontak dengan
hewan liar dapat membedakan keduanya. Selain itu, tetanus dapat dibedakan dengan rabies
melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten
diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak
terdapat hidropobia.
Intoksikasi obat-obatan
Keracunan obat-obatan dapat memperlihatkan gejala yang mirip dengan rabies
misalnya koma (intoksikasi obat hipnotik), pupil midriasis dan anisokor (intoksikasi atropin
atau morfin), kejang (intoksikasi amfetamin), hambatan pada pusat napas (intoksikasi
insektisida), hingga henti jantung (intoksikasi antidepresan trisiklik dan digitalis).Seluruh
gejala ini dapat ditemukan pada rabies jika virus telah menyerang susunan saraf pusat.
Anamnesis yang cermat dan teliti diperlukan untuk membedakan kedua kelainan ini.
Ensefalitis
Rabies sendiri dapat menyebabkan ensefalitis karena virus sehingga gejala yang
muncul sangat mirip misalnya prilaku yang tidak normal, perubahan kepribadian, kejang,

sakit kepala, dan fotofobia. Alergi terhadap vaksin rabies juga dapat menyebabkan ensefalitis.
Anamnesis mengenai riwayat digigt hewan, kontak dengan saliva, serta bepergian ke daerah
endemik rabies dapat menegakkan diagnosis. Selain itu, ensefalitis dapat dibedakan dengan
metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia
Histerikal pseudorabies
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik
orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Reaksi berlebihan
karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak dengan hewan sedangkan
pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi. Di samping itu, penderita dengan
rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada
penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang
akhirnya

menyebabkan

spasme

laring

Poliomielitis
Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomyelitis terdapat demam dan
kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala LMN). Namun, pada
poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan
sensorik.
2.4) Gejala Klinis5
Gejala klinis biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi
masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Gejala pertama yang khas
adalah rasa kejang pada daerah sekitar luka gigitan/tempat masuknya virus. Masa inkubasi
biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup celana
pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat. Pada 20% penderita, rabies dimulai
dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini
biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak
badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan
penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa
menyebankan rasa sakit luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak
yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum
air biasa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum.
Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
Secara umumnya, penyakit rabies dapat dikenalpasti melalui 4 stadium yang utama:

1. Pertama, Stadium prodromal, biasanya 1 - 4 hari dengan demam yang tidak


begitu tinggi, nyeri pada daerah bekas gigitan yang merupakan gejala penting
pertama, rasa lesu. Gejala ini tidak spesifik, sama seperti pada penyakit
lainnya.
2. Stadium kedua disebut Ensefalitis akut (peradangan otak) yg timbul setelah
beberapa hari setelah timbul gejala prodromal dengan kejang, halusinasi,
kejang pada otot pinggang, dan otot anggota gerak, keluar air mata yang
berlebihan, dan sekresi air liur juga berlebihan.
3. Stadium ketiga disebut Disfungsi batang otak, tejadi gangguan saraf pusat
berupa : pandangan double (diplopia), kelumpuhan saraf muka, hidrofobia,
yaitu bila penderita diberi air minum, pasien menerimanya oleh karena haus,
tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme/kejang yang hebat dari otot
tenggorokan, kontraksi otot faring dan otot pernafasan sehingga pasien merasa
takut terhadap air.
4. Stadium keempat, Stadium Koma dan terjadinya kematian atau sembuh, tapi
hampir seluruh pasien berakhir dengan kematian.
2.5) Patofisiologi
2.5.1 Perubahan-perubahan Sel6
2.5.1.1 Perubahan Makroskopik
Perubahan Pathologi utama dari penyakit Rabies adalah perubahan pada SPP berupa
enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang bersifat akut sangat
susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit mengalami kebengkakan pada
bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat. Temuan lain adalah adanya
perubahan pada organ-organ respirasi, dan gagal jantung. Ada pendarahan atau haemorhage
atau jaringan nekrosis bukanlah hal yang biasa ditemukan dari Rabies enchepalitis. Proses
inflamasi pada otak yang mirip juga dapat diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese
enchepalitis. Pada umumnya perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies
sangat bervariasi dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies.
Perubahan yang makroskopis lainnya yang sering terlihat ialah adanya perdarahan pada
selaput lendir di daerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan segala
sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan trauma disekitar
mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis yang berupa temuan barang-barang
asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya.

2.5.1.2 Perubahan Mikroskopik


Secara histologis tidak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan selain
pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain. Secara umum akan terlihat
normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang paling signifkan atau patognomonik
adalah adanya badan negeri (negri bodies) yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma
sel neuron yang diinfeksi oleh Rabies.
Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adanya persitensi virus dalam
organ extraneural. Pada kasus-kasus Rabies yang bersifat dumb atau paralytic Rabies dengan
bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal akan sangat terlihat bahkan
pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat perubahan denagn memeperlihatakan
gejala inflamasi pada batang otak.
Adanya perlakuan postexposure, vaksin Rabies dan perlakuan lainnya memungkinkan
perubahan patologi yang bervariasi tetapi hal yang paling penting adalah adanya badan negri
dan Nodul glial pada temuan pathologi penyakit yang disebabkan Rabies.
Tidak adanya temuan badan negri pada setiap kasus dengan gejala Rabies terkadang
terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam sampel
jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampel yang tepat
untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka (sampai dengan 14 hari) sangatlah penting
adanya.
Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar seperti
hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia sehingga kemungkinan
untuk mendeteksi adanya badan negri lebih besar.

2.5.2 Perkembangan Virus6


Virus rabies terdapat dalam air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan
infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan dan kadang melalui jilatan.Virus
akan berpindah dari tempatnya masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan
otak, dimana mereka berkembang biak.
Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf menuju ke kelenjar liur dan masuk ke
dalam air liur. Semua hewan berdarah panas rentan dengan Rabies.
Sikus Hidup dan Replikasi

Genom Lyssavirus merupakai rantai tunggal, antisense, tidak bersegmen, mempunyai


RNA dengan ukuran 12 kb. Berdasarkan hasil squence Genom Lyssavirus terdiri dari 50
nucleotida diikuti oleh gen untuk protein N, P, M, G dan L.

Gambar 2. Genom virus Rabies


Genom Lyssavirus merupakai rantai tunggal, antisense, tidak bersegmen, mempunyai
RNA dengan ukuran 12 kb. Berdasarkan hasil squence Genom Lyssavirus terdiri dari 50
nucleotida diikuti oleh gen untuk protein N, P, M, G dan L. Replikasi dari Lyssavirus diawali
oleh menempelnya bagian struktur amplon dari virus kedalam mebran sel dari inang. Proses
ini dikenal dengan sebutan adsorpsi. Proses ini merupakan hasil dari interaksi protein G dan
permukaan sel inang yang spesifik. Setelah proses adsorpsi, kemudian melakukan proses
penetrasi kedalam sel inang dan masuk ke dalam sitoplasma sel dengan pinocytosis (via
clathrin-coated

pits). Virion

kemudian

berkumpul

atau

masuk

kedalam

vesikel

cytoplasmic. Viral membran kemudian masuk kedalam membran endosome yang kemudian
dikuti oleh lepasnya RNP kedalam sitoplasma. Virus rabies kemudian akan membuat mRNA
untuk menjalankan proses replikasinya dengan menggunakan genom dengan mepengaruhi
atau

menyisipkan

dengan

proses

dalam

sel

inang

dan

menginfeksi

sel

lain.

Gambar 3. Siklus Hidup Virus Rabies di dalam Sel Inang


Berikut adalah siklus hidup dari virus Rabies : 1: Adsorpsi (receptors dan virion
berinterkasi). 2: Penetrasi (masuknya virus ke dlaam sel inang). 3: Uncoating (pengilangan
bagian amplop virus). 4. Transkripsi (sintesis mRNAs). 5. Translasi (Sintesis dari struktur
protein). 6. Prosesing (G-protein gycosylation). 7. Replikasi (produksi genom RNA dari
intermediate strand). 8. Assembly. 9: Budding (keluar virus complete dari sel inang).
Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada
orang yang digigit pada wajah atau kepala. Virus rabies menghasilkan inklusi sitoplasma
eosinofilik spesifik, badan Negri, dalam sel saraf yang terinfeksi. Adanya inklusi seperti ini
bersifat patognomonik rabies tetapi tidak terlihat pada sedikitnya 20% kasus. Karena itu,
tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan diagnosis rabies.

2.6) Etiologi 7
Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa, yang
berarti mengamuk atau kemarahan) family Rahbdoviridae (dar bahasa Yunani, Rhabdos,
yang berarti batang). Virus ini mendekati virus species Vesicular stomatitis Virus (VSV) dari
genus Vesiculovirus. Keduanya memiliki persamaan morfologi, sturktur kimia dan siklus
hidup yang mirip.
Klasifikasi
Order

: Mononegavirales

Famili

: Rhabdoviridae

Genus

: Lyssavirus

Spesies : Rhabdovirus (Virus Rabies)


Struktur virus Rabies mirip dengan family Rhabdoviridae yang lain yaitu berbentuk batang
seperti peluru (seperti Rhabdoviridae yang lain) dengan ukuran rata-rata 180 nm panjang 75
nm lebar dengan ukuran ukuran spike 10 nm. Virus ini terdiri dari RNA(2-3%), protein(6774%), lemak(20-26%) dan karbohidrat(3%) yang menyatu menjadi strukutur utama virus ini.
Struktur dasar dari Lyssavirus dapat dilihat pada gambar dibawah ini;

Gambar . 1: Virus Rabies Penampang Memanjang


Virus ini masuk kedalam aliran darah manusia lewat luka gigitan hewan terinfeksi
melalui air liur (saliva). Virus bergerak dari luka gigitan melalui serabut saraf menuju ke
otak, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya peradangan otak (ensefalitis), iritasi dan
pembengkakan yang akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala penyakit.
2.7) Epidemiologi 8
Diseluruh dunia, anjing merupakan hewan yang paling berisiko untuk menularkan
rabies kepada manusia.Di Amerika dan Inggeris sudah meluas dan ekstensif program
vaksinasi terhadap hewan piaraan.
Inggeris telah berhasil mengeradikasi rabies, dan tidak diizinkan membawa hewan piaraan ke
Inggeris sebelum menjalani karantina 6 bulan.
Di Indonesia, rabies diduga telah lama ada, namun laporan resmi ditulis pertama kali
oleh Penning di Jawa Barat, tahun 1889. Peraturan tentang rabies telah ada sejak tahun 1926
(Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452), diikuti oleh Staatsblad 1928 Nomor 180,
SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) tahun 1978, dan
Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian (1982). Sebelum Perang Dunia II, selain Jawa Barat
rabies hanya ditemukan di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada 1945-1980,rabies
ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan
(1959), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972),
Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Ambon, Flores,
Palangkaraya, dan Papua adalah sebagian daerah endemik rabies.
Tahun 1960, Prof AA Ressang, mantan guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner UI
(sekarang IPB), mengungkapkan bahwa rabies adalah "the Incurable Indonesian Wound"
(luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh) dalam jurnal Com.Vet 4:1. Ungkapan di atas
ternyata masih berlaku sampai kini. Dari data pada penulis, tahun 1997 sampai 2003
dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan tersangka Rabies (rata-rata 12.400 kasus pertahun)
dan yang terbukti Rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus pertahun). Di Medan, yang diketahui

penulis sepanjang tahun 2007, ditemukan lebih dari 60 kasus gigitan anjing yang tersangka
rabies.
2.8) Penatalaksanaan
2.8.1 medikamentosa
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.Luka
gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen untuk membersihkan luka
dari benda asing dan jaringan mati sehingga dapat memberikan persediaan darah yang baik di
seluruh bagian tersebut. Kemudian, diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura
yodii, atau larutan ephiran 0.1%.luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan
untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis
tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu
diberikan antibiotik.
2.8.1.1 Profilaksis pasca paparan
Dasar vaksinasipost- exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap
virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan
sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan
panjangnya inkubasi penyakit.neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi
pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi
aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu ;
1) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa
seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan
mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC);
2) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo
Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human
Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine(PVRV).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua
kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor
rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan
memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat
digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies
Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.

Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis
0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR
0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga
vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRCID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis
pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun
terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0
dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan
yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per
kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi
pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan
suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

2.8.1.2 Profilaksis pra-pemajanan


Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik
gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis prapemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah
endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan
pencegahan pre- exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara
intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun. Efek
samping/komplikasi vaksinasi.
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat
memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa
bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa
panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala
sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan
kejang.Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan
protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan
saraf.Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang
yang

hipersensitif.Pada

keadaan

ini

vaksinasi

harus

dihentikan

dan

penderita

diberikankortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap.Pada pemberian


HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang.Pada vaksin
generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum
sickness.Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi
dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar
20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi miripkompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang
angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan
adanya -propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya
antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya
mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka
dengan titer antibodi yang rendah.Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih
untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan
substansi yang mana saja.
2.8.2 Non-medikamentosa
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan dan pemberantasan rabies adalah:
1. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor
Kepala Desa atau Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
2. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter.
3. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2
meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong).
4. Pemilik anjing wajib untuk menvaksinasi rabies.
5. Anjing liar atau anjing yang diliarkan harus segera dilaporkan kepada petugas Dinas
Peternakan atau Pos Kesehatan Hewan untuk diberantas / dimusnahkan.
6. Kurangi sumber makanan di tempat terbuka Untuk mengurangi anjing liar atau anjing yang
diliarkan.
7. Daerah yang terbebas dari penyakit rabies, harus mencegah masuknya anjing, kucing, kera
dan hewan sejenisnya dari daerah tertular rabies.
8. Masyarakat harus waspada terhadap anjing yang diliarkan dan segera melaporkannya
kepada Petugas Dinas Peternakan atau Posko Rabies.

Biasanya, binatang pembawa rabies akan mempunyai gejala, seperti hewan menjadi garang
atau ganas (furious rabies) atau hewan menjadi tenang (dum rabies). Penangannya:
A. Hewan yang telah menggigit manusia harus diusahakan tertangkap dan jangan dibunuh,
laporkan kepada petugas Dinas Peternakan, Pos Kesehatan Hewan atau diserahkan langsung
kepada Dinas Peternakan setempat untuk dilakukan observasi selama 14 hari.
B. Hewan yang telah menggigit manusia dan tertangkap tetapi terpaksa dibunuh atau mati,
kepalanya harus diserahkan kepada Dinas Peternakan setempat sebagai bahan pemeriksaan
laboratorium.
2.9) Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma.Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada
hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);
disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia
dan henti jantung.Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi.Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan
terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi
dan gangguan otonomik.
2.10) Pencegahan
Untuk mencegah infeksi pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui
kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies, harus dilakukan perawatan
luka gigitan yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan immunoglobulin.Vaksinasi
perlu juga diberikan kepada individu yang berisiko tertular rabies.
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau
segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang
berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
Dokter hewan.
Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.
Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang
rabies pada anjing banyak ditemukan.

Para penjelajah gua kelelawar.


Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan
menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran
selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.
dapat dilakukan dengan cara:
a. Vaksinasi secara teratur anjing, kucing, kera dan binatang peliharaan lainnya yang
berpotensi menularkan rabies melalui gigitan, dan melakukan recording vaksinasi
b. Mengendalikan tingkah laku hewan peliharaan terutama anjing penjaga dari orang
yang asing bagi hewan tersebut agar tidak terprovokasi untuk menggigit dengan
merantainya, kecuali bila memang orang asing tersebut bermaksud tidak baik
c. Tidak membiarkan hewan peliharaan berkeliaran di luar rumah
d. Penertiban hewan-hewan liar dengan mengurangi jumlah populasi hewan liar
e. Tidak memasukkan hewan berisiko penular rabies tanpa izin di daerah yang bebas
rabies
f. Bangkai hewan terinfeksi harus dikremasi/dibakar atau dikubur sedalam-dalamnya
setelah didiagnosa positif.
g. Vaksinasi kepada orang yang berisiko tinggi tertular rabies seperti dokter hewan,
paramedis hewan, petugas lab yang menangani hewan terinfeksi, orang yang menetap
selama 30 hari atau lebih di daerah tertular rabies serta para penjelajah alam dan gua
kelelawar
2.11) Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai
sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien
yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies
yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak
hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung
ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang
melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera
mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.
2.11) Luka
2.11.1 Jenis-jenis luka

Perubahan morfologik kematian sel jaringan hidup jenis nekrosis terdiri dari:
1. Koagulatif nekrosis.
2. Liquefaktif nekrosis
3. Kaseous nekrosis.
4. Fat nekrosis.
Mekanisme terjadinya perubahan ini adalah:
Enzym digestion sel liquefaktif nekrosis.
Denaturasi protein koagulatif nekrosis
Enzym asal sel mati akan menyebabkan autolysis atau sel radang oleh lisosom
sehingga terjadi heterolysis. Perubahan morfologis nekrosis memerlukan waktu yang
panjang. Apabila terjadi myocard infark akut, tidak nampak perubahan morfologis pada
bagian tersebut.
Pada koagulatif nekrosis, masih nampak struktur jaringan nekrotik. Ini sering
ditemukan pada kematian sel karena hypoksia. Pada nekrosis liquefaktif pula tidak ternampak
struktur jaringan nekrosis karena sisa sel hilang sama sekali. Keadaan ini ditemukan pada
fokal infeksi bakteri, dan kadang pada infeksi fungus. Gangraenous nekrosis juga bisa terjadi
pada kaogulatif nekrosis sebab iskemia disertai infeksi bacteria yang akan menimbulkan
nekrosis liquefaktif ( wet gangrene). Tuberculosis secara makroskopik seperti keju manakala,
dari segi mikroskopik pula seperti nekrosis amorf tanpa struktur dikelilingi radang. Pada
granulomatous pula, jaringan asal tak nampak. Fat nekrosis terjadi apabila terdapat destruksi
jaringan lemak oleh enzim-enzim dan sering terjadi pada jejas jaringan pancreas dan
meningkatkan penyerapan kalsium sehingga menyebabkan distrofik calcification.
2.11.2 Penyembuhan luka
Tahap-tahap penyambuhan luka terdiri dari fase inflamasi atau eksudasi untuk
melepaskan jaringan yang rusak dan membersihkan luka, fase proliferasi untuk
perkembangan jaringan granulasi dan fase diferensiasi atau regenerasi untuk maturasi,
pembentukan parut dan epitelialisasi. Secara praktis fase tersebut diatas dikenal sebagai fase
pembersihan, fase granulasi dan epitelialisasi. Lebih lengkap Hall menyebutkan tahapan
proses penyembuhan luka adalah perdarahan, inflamasi proliferasi dan remodeling.
Secara garis besar, dikenal dua fase penyembuhan luka yaitu penyembuhan luka secar
apremier dan sekunder. Suatu jaringan dikatakan mengalami penyembuhan luka secara
intensi primer apabila proses penyembuhan berlangsung cepat dan hasilnya baik.

Penyembuhan secara primer ini terjadi pada luka yang bersih, luka insisi dengan ujung
aposisi

yang

baik

dan

umumnya

terjadi

pada

insisi

bedah.

Proses penyembuhan luka secara intensi primer lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai
berikut:( Sesaat setelah terjadi luka gumpalan darah dan debris mengisi celah jaringan yang
cedera. Inflasi awal terjadi setelah dua sampai tiga jam yang ditandai dengan hyperemia
ringan dan adanya sedikit polymorps. Pada hari kedua sampai ketiga aktivitas makrofag
menghilangkan clot dan terjadi aktivitas fibroblast. Pada hari kesepuluh sampai keempat
belas scab hilang dan epitel telah terbentuk sempurna dan terjadi penyatuan jaringan fibrous
pada

tepi

luka

namun

pada

saat

ini

luka

masih

lemah.

Beberapa minggu kemudian jaringan bekas luka masih sedikit hiperemis, penyatuan
jaringan fibrous baik tapi belum mencapai kekuatan yang penuh. Devaskularisasi,remodeling
kolagen oleh aktivitas enzim terjadi sesudah beberapa bulan hingga beberapa tahun. Pada
periode tersebut bekas luka mengecil dan sudah menyatu dengan jaringan sekitarnya. Jika
penyembuhan luka berjalan lambat dan disertai pembentukan jaringan parut, proses ini
dikatakan mengalami penyembuhan secara sekunder. Penyembuhan jenis ini terjadi pada luka
yang terbuka, umumnya jika terdapat jaringan yang hilang, nekrosis atau infeksi.
Kekuatan luka akan mencapai dua puluh persen kekuatan jaringan normal dalam tiga
minggu dan kemudian mencapai kekuatan lebih lagi tetapi tidak pernah mencapai lebih dari
tujuh

puluh

persen

kekuatan

normal.

Oksigen memiliki dua fungsi besar dalam metabolisme seluler, hal yang paling penting
yaitu sebagai transfer elektron pada sistem oksidasi yang mana bertanggung jawab sekitar
sembilan puluh persen dalam konsumsi oksigen secara keseluruhan. Oksigen diperlukan oleh
mitokondria untuk fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP dimana lebih dari sembilan
puluh persen dari ATP yang dihasilkan ini dipergunakan untuk metabolisme seluler.
Pada awal penyembuhan luka, fibroblas mulai bermigrasi dan menghasilkan kolagen
yang merupakan matrik penting dalam prose penyembuhan luka sebagai sumber energi pada
proses perbaikan, juga diperlukan dalam metabolisme dan proses pemeliharaan
jaringanKESIMPULAN DAN SARAN
1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.

2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi,
tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang
terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas
rabies.
4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi.
dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan
Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah
Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.
5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak
virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa.
6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,
(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang
otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4)
jarang, sembuh.
7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi.
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem
saraf pusat.

Anda mungkin juga menyukai