PEMBAHASAN
2.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan tanya jawab antara dokter dan pasien atau bisa juga
terhadap keluarga atau relasi terdekat atau yang membawa pasien tersebut ke
rumah sakit atau tempat praktek. Anamnesis diperlukan untuk mengetahui
penyebab penyakit tetanus seperti tempat masuknya kuman. Anamnesis
terdapatnya riwayat luka-luka patogenesis, disertai keadaan klinis berupa
kekakuan otot terutama di daerah rahang, sangat membantu diagnosis. Pembuktian
kuman seringkali tidak perlu, karena amat sukar mengisolasi kuman dari luka
pasien. Dari anamnesis juga bisa ditanyakan apakah pasien pernah mendapatkan
imunisasi sebelumnya.
Dari anamnesis, diketahui pasien tertusuk paku di telapak kaki kanan 12 hari yang
lalu namun tidak diobati. Tekanan darah 130/80 dengan frekuensi nafas 28x/menit.
2.2 Pemeriksaan
2.2.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala
yang khas pada penyakit tetanus seperti trismus, kejang opistotonus,
spasme otot, senyum sengit akibat kejang yang tidak henti-hentinya di
daerah muka, terutama rahang. Juga tampak luka yang dalam dan
bernanah serta suhu tubuh 38,3oC
2.2.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium) tidak begitu perlu
dilakukan. Hal ini disebabkan karena penyakit tetanus dapat
ditegakkan dengan gejala klinis dan anamnesis.
2.3 Diagnosis
2.3.1. Diagnosis Kerja
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung
bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan
pencegahan dari tetanus. 1,2
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu
istirahat, berupa gejala klinik : kejang tetanik, trismus, dysphagia, Rhisus
sardonicus ( otot wajah kaku ). Biasanya tampak luka yang
mendahuluinya. Pembuktian kuman seringkali tidak perlu karena amat
sukar mengisolasi kuman dari luka penderita.
2.3.2. Differensial Diagnosis
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar
sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan
serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit
meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi
karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otototot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
Spasme yang disebabkan oleh strikinin jarang menyebabkan spasme otot
rahang. Tetanus didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan
fosfat). Kejang pada meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan
cerebrospinalis. 1,2
Trismus dapat pula terjadi pada abses retrofaring, abses gigi yang berat,
pembesaran kelenjar limfe leher. Kaku kuduk juga dijumpai pada
meningitis, tetapi pada hal yang terakhir ini biasanya tampak jelas
demam, kesadaran yang menurun dan kelainan cairan serebrospinalis.
Selain itu, pada tetanus kesadaran tidak menurun.1,2,3
Rabies dapat menimbulkan spasme laring dan faring, tetapi tidak disertai
trismus. Tetani dibedakan dengan tetanus dengan pemeriksaan kadar Ca
dan P
dalam darah. Selain itu, pada rabies, terdapat anamnesis gigitan anjing
atau kucing dengan saliva yang mengandung virus, disertai gejala spasme
laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi tanpa
trismus. 1,2,3
Tabel 3 yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus : 4
2.4 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri ini
hidupnya anaerob dan berbentuk batang berspora, dijumpai pada tinja binatang
terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi
dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar , kecelakaan, serta pada infeksi tali
pusat (Tetanus Neonatorum ). Bakteri ini lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Gbr Clostridium
tetani 5
Toksin ini mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat.
Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 0 C akan hancur dalam lima menit.
Di samping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat hemolisis, yang peranannya
kurang berarti dalam proses penyakit.
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit ini biasa karena luka tusuk, luka bakar, atau pascapartus.
Biasa di daerah pertanian dan perkebunan juga beresiko terkena tetanus karena
penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang terkontaminasi dengan tanah dan
dengan kebersihan serta perawatan luka yang buruk. Melahirkan juga menjadi
salah satu faktor risiko penyakit tetanus terutama pada tali pusat. Bagi yang tidak
mempunyai kekebalan juga beresiko terkena tetanus. Tetanus juga masih banyak
dijumpai dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan dan
perawatan luka yang kurang higienis.
2.6 Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksin ulangan.
Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan
penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan
Negara Negara sedang berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina, Vietnam,
Indonesia, dan Negara lain di benua Asia. 1,2,6
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani suatu basil anaerob Gram positif
pembentuk spora, yang terdapat dalam usus berbagai hewan herbivora dan
terdistribusi luas dalam tanah. Bila tidak memiliki imunisasi aktif, seorang pasien
dengan usia berapapun dapat mengalami tetanus melalui luka yang terkontaminasi
oleh tanah. Orang dewasa yang berusia > 60 tahun merupakan kelompok berisiko
tertinggi, terutama wanita yang mungkin lahir sebelum dikenalkan imunisasi pada
anak-anak . 1,2,6
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri
masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal
dengan nama tetanus neonatorum. Tetanus neonatal merupakan masalah khusus di
beberapa negara berkembang akibat kontaminasi sekitar umbilikus oleh tanah atau
kotoran hewan untuk tujuan terapi. 1,2,6
Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah,
pembedahan, absorsi dan adanya porte dentre.
Port of entry tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar. Bisa juga melalui luka operasi
yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik, caries gigi, serta pemotongan tali
pusat yang tidak steril.
2.7 Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku,
pecahan kaca, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat
melalui tali pusat. Bentuk spora dari bakteri akan berubah menjadi vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian
mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah
luka, sehingga tidak ada penyebaran kuman.
Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanospasmin yang merupakan
toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme
otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat. Tetanolisin mampu secara lokal
merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Eksotoksin
yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson
neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau
jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun
toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
antitoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin
diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke kornu
anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik,
masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf
pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot
menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan
dan rata-rata 10 hari. 1,2,6,7
Toksin mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokir pelepasan
neurotransmitter yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Tetanospasmin
berpengaruh pula pada sistem saraf otonom, sehingga muncul gangguan pada
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,saluran cerna, saluran kemih,
dan neuromuskular. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan pelepasan asetikolin
ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin
juga dipengaruhi. 1,2,6,7
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Aliran eferen yang tak terkendali dari
saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan
spasme muskuler. Spasme otot sangat nyeri dan dapat berakibat fraktur tendon.
Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otototot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,2,6,7
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversible. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi
lama.
Untuk menentukan derajat penyakit ini, digunakan score menurut Phillips yang
berdasarkan 4 tolok ukur yaitu
masa inkubasi
imunisasi
Masa inkubasi
Lokasi infeksi
Imunisasi
Nilai
Kurang 48 jam
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
lebih 14 hari
Internal/umbilikal
Ekstremitas proksimal
Ekstremitas distal
Tidak diketahui
Tidak ada
10
Proteksi lengkap
10
8
4
2
1
Ada beberapa bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: 1,2,6,7
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
Tetanus ini merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasinya hanya pada
otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot bisa terjadi akibat peran toksin pada
tempat hubungan neuromuskuler. Gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan
sampai berbulan-bulan. Progresi menjadi tetanus generalisata bisa terjadi.
Namun secara umum, prognosisnya baik.
2. Cephalic Tetanus ( Tetanus Sefalik )
Tetanus ini merupakan bentuk yang jarang dari bentuk tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.
Biasanya terjadi disfungsi satu atau lebih saraf kranial yang tersering saraf ke
tujuh (nervus fascialis). Mortalitasnya tinggi.
3. Generalized tetanus (Tctanus Generalisata atau umum)
Tetanus ini merupakan bentuk yang paling umum ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme. Masa inkubasinya bervariasi tergantung
lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas (kekakuan), spasme (ketegangan) otot,
dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan
kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus.
Spasme otot maseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme
secara progresif akan meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi
wajah yang khas risus sardonicus dan meluas ke otot-otot menelan yang
menyebabkan disfagia (kesulitan menelan). Rigiditas tubuh menyebabkan
opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding
dada. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak. Sementara kesadaran
tidak berpengaruh.
Kontraksi otot dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa
sentuhan, stimulus visual, auditori, atau emosional. Spasme faringeal sering
diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan
obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.
Komplikasi 1,2,6,9
Penatalaksanaan
2.10.1.
Perawatan
1,2,6,7,9
2.10.2.
Pengobatan 1,2,6,7,9
2.11
Prognosis 9
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya
masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus
neonatorum
> 60%.
Prognosis dibagi menjadi 2 macam yaitu prognosis yang paling baik dihubungkan
dengan masa inkubasi yang lama, tanpa demam, dan dengan penyakit yang
terlokalisasi. Prognosis yang buruk dihubungkan antara jejas dan mulainya trimus
seminggu atau kurang, dan tiga hari atau kurang antara trimus dengan spasme
tetanus menyeluruh. 1,2,9
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, disimpulkan pasien menderita
tetanus. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri anaerob
Clostridium tetani. Penyakit ini berasal dari luka tusukan ysng berasal dari benda
kotor seperti paku, injeksi yang tidak steril, pascapartus, serta keadaan yang tidak
lazim yang dapat menimbulkan tetanus seperti gigitan binatang, abses, luka bakar,
fraktur, gangren, dan sirkumsisi wanita. Secara etiologi, Clostrisium tetani
memiliki spora yang dapat bertahan dalam air mendidih tetapi tidak dalam
autoklaf. Clostridium tetani memiliki toksin tetanus yang merupakan bahan kedua
yang paling beracun setelah toksin botulinum.
Tetanus memiliki gejala awal seperti nyeri kepala, gelisah, dan iritabilitas yang
sering disertai kekakuan, sukar mengunyah, dan spasme otot leher. Pada keadaan
yang lebih lanjut terdapat gejala seperti trismus, kejang opistotonus, penderita
berpostur lengkung, dan sampai menimbulkan kematian. Tetanus tidak menyerang
saraf sensorik atau fungsi korteks. Hal ini menyebabkan penderita sadar dan harus
menahan rasa yang sangat nyeri.
Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan barulah
dilakukan tindakan pengobatan seperti pemberian globulin anti tetanus,
debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien telah mengalami kejang,
maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi
digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam. Pada tetanus berat kadang
diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan
memakai respirator.
Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan pemberian penisilin.
Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala
klinis pertama sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan
prognosis. Kematian tertinggi yang diakibatkan oleh tetanus yaitu anak-anak
( balita dan bayi) dan lansia.
Skenario 7 : Rabies
PENDAHULUAN
Rabies disebabkan oleh virus Rabies dari spesies Rabdovirus, genus Lyssavirus,
family Rhabdoviridae dan order Mononegavirales . Penyakit rabies atau yang sering disebut
juga anjing gila merupakan penyakit zoonosis (penyakit hewan yang dapat menular ke
manusia). Menurut bahasa, Rabies berasal dari bahasa latin rabere yang mempunyai arti
marah atau dengan kata lain mempunyai sifat pemarah. rabere juga kemungkinan berasal
dari bahasa terdahulu yaitu bahasa Sanskrit rabhas yang bermakna kekerasan. Orang
Yunani meng-adopsi kata Lyssa yang juga berarti kegilaan. Jika dilihat dari sisi bahasa
tidak akan susah dimengerti bahwa semenjak beberapa ribuan tahun yang lalu Rabies
merupakan simbol bagi penyakit yang menyerang anjing dan membuat anjing seperti gila.
Penyakit ini merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva hewan penular
rabies terutama anjing, kucing, kelawar, raccoon dan kera serta beberapa binatang menyusu
lain yang dipelihara atau liar dan telah terinfeksi, cakaran hewan, sekresi yang
mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan
transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga system
saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan
medulla spinalis). Virus rabies tergolong virus ukuran besar yang dirusak dan mati oleh
cahaya matahari dan cahaya ultraviolet, larutan formalin, asam kuat, atau dipanaskan lebih
dari 56 derajat C dalam satu jam. Virus ini tidak dipengaruhi antibiotic atau bakterisida, dapat
tahan hidup beberapa minggu dalam suhu lemari es dan tahan hidup lebih dari satu tahun
dalam suhu mendekati titik beku.
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai
sistem saraf pusat. Hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian
terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis
generalisata. Namun, bagi kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang
segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival
100%.
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya
berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun
tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan
intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup
pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh
karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan efisien baik penanganan
profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca pajanan sehingga akibat buruk akibat virus
ini dapat diminimalkan.
PERBAHASAN
2.1) Pemeriksaan
2.1.1 Anamnesis
Pemeriksaan berupa sesi tanya jawab atau anamnesis terhadap pasien harus
dilakukan sebagai langkah pertama bagi mengetahui keluhan utama yang merupakan
penyebab kedatangan pasien kepada dokter. Bagi kasus ini, pasien yang datang adalah
seorang laki-laki berusia 22tahun. Pasien mengalami gigitan anjing liar di kaki sebelah kanan
sehingga meninggalkan luka terbuka. Kemudian, luka tersebut bernanah selepas pasien mandi
di kubangan air. Antara keluhan yang biasa pasien ajukan adalah pasien berasa panas yang
kemungkinan demam. Gejala lain adalah nyeri kepala, berasa lemah, nyeri tenggorokan dan
takut untuk meminum air (hidroforbik) karena spasme otot menelan.
Selain itu, kejadian tersebut harus diketahui sama ada di kawasan yang tertular
penyakit rabies atau tidak. Di samping penting untuk mengetahui adakah pasien melakukan
tindakan provokatif terlebih dahulu atau tidak sebaik sahaja mendapatkan gigitan anjing
tersebut. Pasien juga harus ditanyakan jika beliau pernah mendapatkan suntikan anti rabies
(VAR) serta adakah anjing yang menggigit pasien mempunyai gejala rabies yang sama seperti
dialami oleh manusia.1
2.1.2
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama kali
untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta bilangan
denyut nadi. Setelah itu, lokasi luka gigitan anjing tersebut diidentifikasi supaya dapat
diketahui status penyakit jika pasien tertular virus rabies. Hal ini penting karena pada daerah
yang kaya elemen sisyem saraf masa inkubasi adalah lebih pendek dan gejala dapat muncul
dengan cepat. Antaranya seperti di daerah tangan, jari atau yang dekat dengan system saraf
pusat terutama leher, muka dan kepala.
Pemeriksaan fisik lainnya adalah dengan melakukan palpasi untuk mengetahui adakah
berlaku pembesaran lien dan hepar. Kemudian adalah auskultasi dan perkusi. Auskultasi
penting untuk mengetahui keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya. Adakah mempunyai
bunyi tambahan, bradicardi atau tachycardia dan peristaltik usus.
2.1.3
Pemeriksaan Penunjang2
Diagnosis Rabies pada hewan dan manusia dapat dilakukan dengan 4 metode yaitu
histopathology, kultivasi virus, serologis dan deteksi antigen dari virus. Meskipun 3 metode
pertama memberikan berbagai kelebihan tetapi bukan diagnosa yang bersifat cepat (rapid
test).
1. Histopatologi, badan negeri (negri bodies) merupakan temuan yang bersifat
pathognomonis pada Rabies, meskipun adanya badan negeri hanya 71% dari kasus.
2. Kultivasi virus, pemeriksaan diagnosa untuk Rabies yang paling bersifat definitif
adalah Kultivasi virus. Kultivasi virus adalah proses penanaman virus didalam suatu
kultur jaringan (tissue culture) dengan maksud untuk memperbanyak virus sehingga
akan lebih mudah untuk diisolasi dan di identifikasi. Kultur jaringan yang biasa
digunakan untuk identifikasi penyakit Rabies adalah WI-38, BHK-21 atau
CER. Immuno Fluororecent (IF) adalah test (melalui Flourorescence Antibody Test
(FAT)) yang biasa dilakukan melihat keberadaan antigen atau virus rabies dalam
kultur jaringan. Proses kultivasi yang paling umum dilakukan dengan cara melakukan
inokulasi dari saliva hewan terjangkit Rabies atau dari jaringan kelenjar saliva dan
atau jaringan intracerebral yang disuntikan kedalam mencit. Mencit kemudian
dilakukan observasi dan akan mengalami paralisis dan kematian dalam waktu 28
hari. Setlah mati otak mencit kemudian diperiksa untuk keberadaan virus Rabies
dengan Immuno fluororesence test.
3. Pemeriksaan Serologis adalah pemriksaan untuk melihat suatu infeksi yang terjadi di
masa lampau. Pemeriksaan serologi, prinsipnya adalah memeriksa keberadaan
antibodi pada sirkulasi darah sebagai akibat dari infeksi. Jenis pemeriksaan yang
paling sering dilakukan untu pemeriksaan serologis dalam Rabies adalah pemeriksaan
dengan metode Mouse Infection Neutralization Test (MNT) atau dengan Rapid
fluororescent Focus Inhibition Test (REFIT). Dari berbagai laporan pemeriksaan
Rabies dengan serologis adalah periksaan yang paling berguna dalam diagnosa.
4. Deteksi virus Rabies Cepat, dalam beberapa tahun terakhir, deteksi virus dengan
menggunakan tekhnik IF makin sering dilakukan. Jaringan yang potensial terinfeksi
(dalam hal ini kelenjar saliva, otak (hipokampus) dan kornea mata) di inkubasi dalam
fluorescence antibodi yang dilabel. Kemudian spesimen diperiksa dengan penggunaan
mikroskop
elektron
fluororescence
dengan
melihat
adanya
inklusi
di
11. Cairan serebrospinal: dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan glukosa
dalam batas normal.
2.1.4
Uji laboratorium2
1. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler.
2. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematocrit.
3. Panel elektrolit.
4. Skrining toksik dari serum dan urin.
5. GDA
6. Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200 mq/dl)
7. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
8. Elektrolit: K, NaKetidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang,
9. Kalium (N 3,80 5,00 meq/dl)
10. Natrium (N 135 144 meq/dl)
sakit kepala, dan fotofobia. Alergi terhadap vaksin rabies juga dapat menyebabkan ensefalitis.
Anamnesis mengenai riwayat digigt hewan, kontak dengan saliva, serta bepergian ke daerah
endemik rabies dapat menegakkan diagnosis. Selain itu, ensefalitis dapat dibedakan dengan
metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia
Histerikal pseudorabies
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik
orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Reaksi berlebihan
karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak dengan hewan sedangkan
pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi. Di samping itu, penderita dengan
rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada
penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang
akhirnya
menyebabkan
spasme
laring
Poliomielitis
Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomyelitis terdapat demam dan
kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala LMN). Namun, pada
poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan
sensorik.
2.4) Gejala Klinis5
Gejala klinis biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi
masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Gejala pertama yang khas
adalah rasa kejang pada daerah sekitar luka gigitan/tempat masuknya virus. Masa inkubasi
biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup celana
pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat. Pada 20% penderita, rabies dimulai
dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini
biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak
badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan
penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa
menyebankan rasa sakit luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak
yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum
air biasa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum.
Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
Secara umumnya, penyakit rabies dapat dikenalpasti melalui 4 stadium yang utama:
pits). Virion
kemudian
berkumpul
atau
masuk
kedalam
vesikel
cytoplasmic. Viral membran kemudian masuk kedalam membran endosome yang kemudian
dikuti oleh lepasnya RNP kedalam sitoplasma. Virus rabies kemudian akan membuat mRNA
untuk menjalankan proses replikasinya dengan menggunakan genom dengan mepengaruhi
atau
menyisipkan
dengan
proses
dalam
sel
inang
dan
menginfeksi
sel
lain.
2.6) Etiologi 7
Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa, yang
berarti mengamuk atau kemarahan) family Rahbdoviridae (dar bahasa Yunani, Rhabdos,
yang berarti batang). Virus ini mendekati virus species Vesicular stomatitis Virus (VSV) dari
genus Vesiculovirus. Keduanya memiliki persamaan morfologi, sturktur kimia dan siklus
hidup yang mirip.
Klasifikasi
Order
: Mononegavirales
Famili
: Rhabdoviridae
Genus
: Lyssavirus
penulis sepanjang tahun 2007, ditemukan lebih dari 60 kasus gigitan anjing yang tersangka
rabies.
2.8) Penatalaksanaan
2.8.1 medikamentosa
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.Luka
gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen untuk membersihkan luka
dari benda asing dan jaringan mati sehingga dapat memberikan persediaan darah yang baik di
seluruh bagian tersebut. Kemudian, diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura
yodii, atau larutan ephiran 0.1%.luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan
untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis
tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu
diberikan antibiotik.
2.8.1.1 Profilaksis pasca paparan
Dasar vaksinasipost- exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap
virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan
sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan
panjangnya inkubasi penyakit.neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi
pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi
aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu ;
1) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa
seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan
mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC);
2) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo
Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human
Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine(PVRV).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua
kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor
rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan
memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat
digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies
Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis
0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR
0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga
vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRCID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis
pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun
terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0
dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan
yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per
kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi
pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan
suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
hipersensitif.Pada
keadaan
ini
vaksinasi
harus
dihentikan
dan
penderita
Biasanya, binatang pembawa rabies akan mempunyai gejala, seperti hewan menjadi garang
atau ganas (furious rabies) atau hewan menjadi tenang (dum rabies). Penangannya:
A. Hewan yang telah menggigit manusia harus diusahakan tertangkap dan jangan dibunuh,
laporkan kepada petugas Dinas Peternakan, Pos Kesehatan Hewan atau diserahkan langsung
kepada Dinas Peternakan setempat untuk dilakukan observasi selama 14 hari.
B. Hewan yang telah menggigit manusia dan tertangkap tetapi terpaksa dibunuh atau mati,
kepalanya harus diserahkan kepada Dinas Peternakan setempat sebagai bahan pemeriksaan
laboratorium.
2.9) Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma.Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada
hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);
disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia
dan henti jantung.Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi.Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan
terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi
dan gangguan otonomik.
2.10) Pencegahan
Untuk mencegah infeksi pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui
kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies, harus dilakukan perawatan
luka gigitan yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan immunoglobulin.Vaksinasi
perlu juga diberikan kepada individu yang berisiko tertular rabies.
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau
segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang
berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
Dokter hewan.
Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.
Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang
rabies pada anjing banyak ditemukan.
Perubahan morfologik kematian sel jaringan hidup jenis nekrosis terdiri dari:
1. Koagulatif nekrosis.
2. Liquefaktif nekrosis
3. Kaseous nekrosis.
4. Fat nekrosis.
Mekanisme terjadinya perubahan ini adalah:
Enzym digestion sel liquefaktif nekrosis.
Denaturasi protein koagulatif nekrosis
Enzym asal sel mati akan menyebabkan autolysis atau sel radang oleh lisosom
sehingga terjadi heterolysis. Perubahan morfologis nekrosis memerlukan waktu yang
panjang. Apabila terjadi myocard infark akut, tidak nampak perubahan morfologis pada
bagian tersebut.
Pada koagulatif nekrosis, masih nampak struktur jaringan nekrotik. Ini sering
ditemukan pada kematian sel karena hypoksia. Pada nekrosis liquefaktif pula tidak ternampak
struktur jaringan nekrosis karena sisa sel hilang sama sekali. Keadaan ini ditemukan pada
fokal infeksi bakteri, dan kadang pada infeksi fungus. Gangraenous nekrosis juga bisa terjadi
pada kaogulatif nekrosis sebab iskemia disertai infeksi bacteria yang akan menimbulkan
nekrosis liquefaktif ( wet gangrene). Tuberculosis secara makroskopik seperti keju manakala,
dari segi mikroskopik pula seperti nekrosis amorf tanpa struktur dikelilingi radang. Pada
granulomatous pula, jaringan asal tak nampak. Fat nekrosis terjadi apabila terdapat destruksi
jaringan lemak oleh enzim-enzim dan sering terjadi pada jejas jaringan pancreas dan
meningkatkan penyerapan kalsium sehingga menyebabkan distrofik calcification.
2.11.2 Penyembuhan luka
Tahap-tahap penyambuhan luka terdiri dari fase inflamasi atau eksudasi untuk
melepaskan jaringan yang rusak dan membersihkan luka, fase proliferasi untuk
perkembangan jaringan granulasi dan fase diferensiasi atau regenerasi untuk maturasi,
pembentukan parut dan epitelialisasi. Secara praktis fase tersebut diatas dikenal sebagai fase
pembersihan, fase granulasi dan epitelialisasi. Lebih lengkap Hall menyebutkan tahapan
proses penyembuhan luka adalah perdarahan, inflamasi proliferasi dan remodeling.
Secara garis besar, dikenal dua fase penyembuhan luka yaitu penyembuhan luka secar
apremier dan sekunder. Suatu jaringan dikatakan mengalami penyembuhan luka secara
intensi primer apabila proses penyembuhan berlangsung cepat dan hasilnya baik.
Penyembuhan secara primer ini terjadi pada luka yang bersih, luka insisi dengan ujung
aposisi
yang
baik
dan
umumnya
terjadi
pada
insisi
bedah.
Proses penyembuhan luka secara intensi primer lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai
berikut:( Sesaat setelah terjadi luka gumpalan darah dan debris mengisi celah jaringan yang
cedera. Inflasi awal terjadi setelah dua sampai tiga jam yang ditandai dengan hyperemia
ringan dan adanya sedikit polymorps. Pada hari kedua sampai ketiga aktivitas makrofag
menghilangkan clot dan terjadi aktivitas fibroblast. Pada hari kesepuluh sampai keempat
belas scab hilang dan epitel telah terbentuk sempurna dan terjadi penyatuan jaringan fibrous
pada
tepi
luka
namun
pada
saat
ini
luka
masih
lemah.
Beberapa minggu kemudian jaringan bekas luka masih sedikit hiperemis, penyatuan
jaringan fibrous baik tapi belum mencapai kekuatan yang penuh. Devaskularisasi,remodeling
kolagen oleh aktivitas enzim terjadi sesudah beberapa bulan hingga beberapa tahun. Pada
periode tersebut bekas luka mengecil dan sudah menyatu dengan jaringan sekitarnya. Jika
penyembuhan luka berjalan lambat dan disertai pembentukan jaringan parut, proses ini
dikatakan mengalami penyembuhan secara sekunder. Penyembuhan jenis ini terjadi pada luka
yang terbuka, umumnya jika terdapat jaringan yang hilang, nekrosis atau infeksi.
Kekuatan luka akan mencapai dua puluh persen kekuatan jaringan normal dalam tiga
minggu dan kemudian mencapai kekuatan lebih lagi tetapi tidak pernah mencapai lebih dari
tujuh
puluh
persen
kekuatan
normal.
Oksigen memiliki dua fungsi besar dalam metabolisme seluler, hal yang paling penting
yaitu sebagai transfer elektron pada sistem oksidasi yang mana bertanggung jawab sekitar
sembilan puluh persen dalam konsumsi oksigen secara keseluruhan. Oksigen diperlukan oleh
mitokondria untuk fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP dimana lebih dari sembilan
puluh persen dari ATP yang dihasilkan ini dipergunakan untuk metabolisme seluler.
Pada awal penyembuhan luka, fibroblas mulai bermigrasi dan menghasilkan kolagen
yang merupakan matrik penting dalam prose penyembuhan luka sebagai sumber energi pada
proses perbaikan, juga diperlukan dalam metabolisme dan proses pemeliharaan
jaringanKESIMPULAN DAN SARAN
1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.
2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi,
tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang
terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas
rabies.
4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi.
dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan
Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah
Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.
5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak
virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa.
6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,
(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang
otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4)
jarang, sembuh.
7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi.
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem
saraf pusat.