Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT

APPENDICITIS ACUTE

Disusun oleh :
Nadia Annisa Ratu, S.Ked

Pembimbing :
dr. Delidios Arimbi, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA DUMAI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyusun
Laporan Kasus dengan judul “Appendicitis Acute”. Tidak lupa pula shalawat
beserta salam penulis ucapkan untuk junjungan alam yakni nabi besar Muhammad
SAW, sebagai pembawa syariat islam untuk diimani, dipelajari serta diamalkan
setiap hari.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Delidios
Arimbi, Sp.B, selaku pembimbing penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
laporan kasus ini dapat memberikan manfaat, umumnya bagi pembaca dan
khususnya bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari kesempurnaan
disebabkan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh sebab itu
penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua amiin.

Dumai, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi......................................................................................................
2.2 Fisiologi.....................................................................................................
2.3 Definisi.......................................................................................................
2.4 Etiologi.......................................................................................................
2.5 Patofisiologi................................................................................................
2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................................
2.7 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................
2.8 Score Appendicitis......................................................................................
2.9 Diagnosis Banding......................................................................................
2.10 Penatalaksanaan........................................................................................
2.11 Komplikasi................................................................................................
2.12 Prognosis...................................................................................................
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................
BAB IV ANALISA KASUS.....................................................................................
BAB V PENTUP.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Appendiks..................................................................................


Gambar 2. Rovsing’s Sign..........................................................................................
Gambar 3. Psoas Sign.................................................................................................
Gambar 4. Obturator Sign..........................................................................................
Gambar 5. CT scan dengan inflamasi apendiks, tampak fekalit................................
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bakteri Penyebab Appendicitis....................................................................


Tabel 2. Alvarado Score.............................................................................................
Tabel 3. Pediatric Appendicitis Score (PAS)..............................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang
paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000
kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama
terjadi pada anak usia 6-10 tahun.1
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum
pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut
mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik,
appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan.1
Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang
tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka
appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis appendicitis.2
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari
appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy.
Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi,
terutama disebabkan karena peritonitis dan shock.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

APPENDICITIS AKUT
2.1 ANATOMI
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di
caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.3
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di
ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.3
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan
lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil.3
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan
submukosa terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding
luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari appendiks.3
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal
dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi
appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.3
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden appendicitis pada usia itu.3
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang
kolonasendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks.3
Jenis-jenis Posisi Appendiks :
1. Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium
sacri.
2. Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
3. Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
4. Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
5. Pelvic Descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
6. Retrocaecal : intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar
ke atas ke belakang caecum.3
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari a.
appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.3
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot
yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas
vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.4
Histologis : 4
- Tunika Mukosa : memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
- Tunika Submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika Muskularis : stratum circulare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah
luar.
- Tunika Serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.

Gambar 1 : Anatomi Appendiks3

2.2 FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.5
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun,
tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran
lumen appendiks komplit.5

2.3 DEFINISI
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.6

2.4 ETIOLOGI
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab
obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar
20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks
meliputi:6
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Kadang parasit
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang
dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:6
Tabel 1. Bakteri penyebab appendicitis6
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

2.5 PATOFISIOLOGI
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.7
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.7
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60
cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangren atau terjadi perforasi.7
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor.7
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.7
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendicitis
perforasi.7
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate appendicularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.7
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.7
Dalam pathogenesis appendicitis akut urutan kejadiannya adalah :7
1. Obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal.
2. Ketika tekanan intraluminal meningkat, tekanan dalam mukosa
venula dan limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat
karena tekanan meningkat pada dinding appendiceal.
3. Ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa
inflamasi dan ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam
lumen dan bakteri menyerang mukosa dan submukosa sehingga
terjadi inflamasi transmural, edema, vascular stasis, dan nekrosis
dari muscular. Perforasi mungkin dapat terjadi.
Pada perjalanan penyakitnya, penyakit appendicitis akut dapat berubah
menjadi :7
1. Phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.
Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar.
Pada orang dewasa, terjadi karena keterlambatan dalam
menegakkan diagnosa, sedangkan pada anak kecil disebabkan
appendiks kecil dan kurang komunikatif.
2. Mikroperforasi massa / infiltrate periappendiks.
Mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan
jaringan sekitarnya. Tubuh melokalisir perforasi oleh karena daya
tahan tubuh meningkat (dengan pemberian antibiotik).
Jika peradangan tidak sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
dari ruangan omentum.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam
cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat.7
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.7

2.6 MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala Klinis
Appendicitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala appendisitis akut
umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang
didahului anoreksia. Gejala klasik appendicitis akut biasanya bermula dari
nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Nyeri menetap, kadang
disertai kram yang hilang-timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke
kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif.6,7
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Suhu tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan
perforasi suhu tubuh meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian
besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak.6,7
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi
satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Umumnya urutan munculnya gejala appendisitis adalah anoreksia, diikuti
nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri perut
mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 6,7
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena
letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot
psoas mayor yang menegang dari dorsal.6,7
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. 6,7
Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis
sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala
appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan
anak akan menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi,
sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 %
appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 6,7
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi. 6,7
Pada kehamilan, keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut,
mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 6,7

b. Tanda Klinis
Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu
diingat bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua
titik, 360o mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak retrocaecal
dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca
posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri
rektal. 6,7
Secara teori, peradangan akut appendiks dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal toucher). Namun
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-tanda
appendicitis lain telah positif. 6,7
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik : 6
 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan
nyeri di abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh
karena iritasi dari peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral.
Sering positif pada appendicitis namun tidak spesifik.

Gambar 2 : Rovsing’s Sign6


 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di
kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran
kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas
kontralateral.6
 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai
kanan pasien digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver
ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.6
Gambar 3 : Psoas Sign6
 Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi.
Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks,
abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.6

Gambar 4 : Obturator sign6

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendicitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat. 6
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan. 6
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL,
hitung leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki
sensitivitas 86% dan spesifitas 90.7%.6
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit
atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang
diakibatkan oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut
dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria. 6
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis.2,6
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal,
divertikulum Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease
(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG. 2,6
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya,
CT scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat. 2,6
Gambar 5: CT scan dengan inflamasi apendiks, tampak fekalit (tanda panah)
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan tidak spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan
appendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 48-50%.2,6

2.8 SCORE APPENDICITIS

Tabel 2. Alvarado score8

Tabel 3. Pediatric Appendicitis Score (PAS) 9


Indikator Diagnostik Nilai Skor
Nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat 2
Penurunan nafsu makan 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Mual/ muntah 1
Nyeri perut kuadran kanan bawah 2
Leukositosis lebih dari 10.000 1
Neutrofilia 1
Migrasi nyeri 1
Total 10

Anak dengan keluhan nyeri abdomen dengan PAS : 9


 PAS < 5 berisiko rendah untuk terjadi apendisitis. Anak dengan
PAS < 5 dapat dirawat jalan. Namun, nyeri perut yang menetap
atau adanya keluhan tambahan lain harus dievaluasi ulang.
 PAS > 9 berisiko tinggi untuk terjadi apendisitis komplikata. Anak
dengan PAS > 9 harus dioperasi apendektomi.
 PAS 6 – 8 lebih sering dijumpai apendisitis sederhana.Anak dengan
PAS 6 – 8 juga dioperasi apendektomi.

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelamin:10
 Pada anak-anak balita
 Intususepsi, Divertikulitis, dan Gastroenteritis Akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri
divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda,
yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui
adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding
yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki
gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah,
dan ditemukan leukosit pada feses.
 Pada anak-anak usia sekolah
 Gastroenteritis, Konstipasi, Infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan
appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi,
merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada
anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada
infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak
berpindah
 Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak
berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran
kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah.
Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
 Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis
banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari
traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi
ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan
gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada
orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan
dengan pemeriksaan laboratorium.

2.10 PENATALAKSANAAN
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya. 10
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan
tindakan operasi untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari
dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan
bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase. 10
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periappendikular yang dindingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.10
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikhawatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis
sederhana tanpa perforasi. 10
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. 10

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada


anak kecil, wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya. 10
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periappendikular infiltrat : 10
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
appendectomy. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase. 10
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila appendiks mudah diambil, lebih baik diambil
karena appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar
dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.
Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita diperiksa colok dubur.
Penderita periappendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :10
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa periappendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesis : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur di rektal dan aksiler).
b. Tanda-tanda appendisitis sudah tidak terdapat.
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.
Kebijakan untuk operasi periappendikular infiltrat :10
 Bila LED telah menurun kurang dari 40
 Tidak didapatkan leukositosis.
 Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa :10
 Apakah penderita sudah bed rest total.
 Pemberian makanan penderita.
 Pemakaian antibiotik penderita.
 Kemungkinan adanya sebab lain.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular
yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase. 10

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.10
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :10
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance muscular yang menyeluruh.
 Perut distended.
 Bising usus berkurang.
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke
rongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.10

2.12 PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat
menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama bila telah
terjadi komplikasi. Serangan berulang juga dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.10

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS
Pemeriksaan dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di
Instalasi Rawat Darurat RSUD Kota Dumai.
a. Identitas
Nama : An. FS
Umur : 9 tahun
Pendidikan : Sekolah Dasar
Alamat : Gang Merlin, Bagan Besar.
Tanggal lahir : 31/05/2010
Agama : Islam
No.RM : 45.33.97

b. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Kota Dumai tanggal 18 februari 2020
pukul 04.00 wib dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang dirasakan
sejak 1 hari SMRS, awalnya pasien merasakan nyeri perut di sekitar ulu
hati dan sekitar pusar, nyeri kemudian dirasakan berpindah di perut kanan
bawah, disertai mual, tidak ada muntah. Sifat nyeri tajam seperti ditusuk-
tusuk, terkadang terasa mulas dan kram-kram, nyeri dirasakan tidak
menjalar ke daerah pinggang. Nyeri dirasakan memberat ketika perut
pasien di tekan atau ketika pasien melakukan aktivitas seperti berjalan, dan
di rasakan berkurang ketika pasien tiduran atau berisitrahat.
Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan, pasien merasakan mual
tidak muntah. Pasien mengalami demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, demam di rasakan terus menerus sepanjang hari, pagi, siang dan
malam. Pasien mengatakan tidak buang air besar sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien tidak ada keluhan buang air kecil. Pasien
mengaku tidak terlalu suka makan sayur dan buah dan jarang minum air.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini. Pasien
tidak memiliki riwayat sakit gastritis sebelumnya.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat serupa. Hipertensi, diabetes
mellitus, asthma bronchiale, alergi obat disangkal.

f. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan rendah serat. Minum ± 2
liter air mineral setiap hari.

3.2 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Frekuensi Nadi : 130 x/menit

- Frekuensi Pernapasan : 22 x/menit

- Suhu : 37,6˚ C

Status Generalis

Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-
Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -
Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil tenang
T1/T1, hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar
Toraks Normochest
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Bentuk simetris, bising usus + normal,
shifting dullnes (-), undulasi (-), nyeri tekan (+), Hepar
tidak teraba membesar, Lien tidak teraba membesar
Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, oedem -

Status Lokalis Abdomen

Pemeriksaan Hasil
Inspeksi Bentuk simetris, tampak lemas lembut,
massa (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Perkusi Tidak dilakukan karena pasien mengeluh kesakitan
Palpasi Nyeri tekan (+) terutama regio kanan bawah
(Mc Burney sign +). Nyeri lepas regio kanan
bawah (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+),
defans muscular (+)
Psoas sign Positif
Obturator sign Positif
Rectal toucher Tidak dilakukan

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium pada tanggal 18 februari 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 13.9 12 -15 g/dL
Ht 42 35 - 49 %
Leukosit 15.600 4.000-11.000/ul
Trombosit 151.000 150.000-450.000/ul
Eritrosit 5.53 4.0 juta-5.4 juta/ ul
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 0.0-5.0 %
Basofil 0 0.0-2.0 %
Neutrofil Segmen 82 50.0-70.0 %
Limfosit 13 20.0-40.0 %
Monosit 4 2.0-8.0 %
KIMIA DARAH
KGD AD Random 137 < 140 mg/dl
HEMOSTATIS
Masa Perdarahan 3 2-7 menit
Masa Pembekuan 4 <5 menit
IMUNOSEROLOGI
HBSAG Negatif Negatif
ELEKTROLIT/GAS DARAH
Natrium 136 125-149 mmol/l
Kalium 4.2 3.35-4.01 mmol/l
Klorida 108 80.5-96.1 mmol/l
3.4 DIAGNOSIS KERJA
Appendicitis Akut

3.5 DIAGNOSIS BANDING


- Gastroenteritis
- Peritonitis Lokal

3.6 PENATALAKSANAAN
Instalasi rawat darurat RSUD Kota Dumai
- IVFD Ringer Laktat 16 tetes / menit
- Inj. Ranitidine 25 mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/12 jam
- Inj. Keterolac 10 mg/12 jam
- Konsul dokter spesialis bedah  Appendectomy cito pukul 13.45 Wib

Laporan Pembedahan
 Dilakukan pembedahan oleh dr. Delidios Arimbi, Sp.B pada tanggal
18 februari pukul 13.45 Wib di ruang OK RSUD Kota Dumai.
 Tindakan Operasi :
1. Pasien terlentang dengan anastesi general.
2. Dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik pada lapang operasi.
3. Dilakukan insisi Mc Burney lapis demi lapis secara tajam.
4. Dilakukan eksplorasi  tampak daerah operasi : ditemukan
appendix letak antecaecal, panjang kurang lebih 5 cm, diameter
kurang lebih 0,4 cm, hiperemis, tidak tampak adanya fekalit.
5. Dilakukan appendectomy.
6. Dilakukan perawatan luka operasi.
7. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
8. Operasi selesai.
9. Diagnosis pasca pembedahan : Appendicitis Akut.

Gambar appendiks pasien

Terapi Post Appendectomy


- Ceftriaxone 2 x 750 mg i.v
- Ketorolak 2 x 10 mg i.v
- Ranitidine 2 x ½ amp i.v
- Kalnex 2 x 250 mg i.v
- Diit MC 15cc/jam

3.6 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad malam
Ad sanationam : Ad bonam

3.7 FOLLOW UP HARIAN

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN


18-02-2020 S : Nyeri di luka operasi, mual, - IVFD RL 16 tetes/menit
- Ceftriaxone 2 x750 mg i.v
nyeri ulu hati, muntah (-)
- Ketorolak 2 x 10 mg i.v
O : KU: sakit sedang, compos
- Ranitidine 2 x ½ amp i.v
mentis - Kalnex 2 x 250 mg i.v
TD 120/70 mmHg, N 84 x/menit, - Diit MC 15cc/jam
RR 20 x/menit, S 36.8◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
0 (POD 0)
19-02-2020 S : Mual, nyeri di luka operasi, - IVFD RL 16 tetes/menit
- Ceftriaxone 2 x750 mg i.v
sudah bisa berjalan ke toilet
- Ranitidine 2 x ½ amp i.v
O : KU: sakit sedang, compos
- Kalnex 2 x 250 mg i.v
mentis - Ganti verbant
TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit,
RR 20 x/menit, S 36◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
1 (POD 1)
20-02-2020 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - IVFD RL 16 tetes/menit
- Ceftriaxone 2 x750 mg i.v
mual terkadang, berjalan (+)
- Ranitidine 2 x ½ amp i.v
O : KU: sakit sedang, compos
- Kalnex 2 x 250 mg i.v
mentis
TD 110/70 mmHg, N 81 x/menit,
RR 20 x/menit, S 36.2◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
2 (POD 2)
21-02-2020 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - Boleh pulang
- Ciprofloxasin 2 x 500 mg
mual terkadang, berjalan (+)
O : KU: sakit sedang, compos p.o
- Paracetamol 3 x 1 gram
mentis
TD 120/70 mmHg, N 82 x/menit, p.o
- Omeprazole 2 x 20 mg
RR 20 x/menit, S 36.1◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani, p.o
luka operasi baik - Kontrol poli bedah umum
A : Post appendectomy e.c
appendisitis akut, post opertion day
3 (POD 3)

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada anamnesa didapatkan pasien mengeluh nyeri di perut daerah ulu


hati, sekitar pusar, dan perut kanan bawah. Nyeri tersebut merupakan nyeri
visceral yang sifatnya difus, terletak pada mid-line, sekitar umbilikal, tidak dapat
ditunjukkan, bersifat tumpul dan tidak jelas, tidak menetap. Referred pain sesuai
persarafan yang terjadi akibat regangan organ. Nyeri visceral pada appendicitis ini
bermula di sekitar umbilicus sesuai dengan persarafan dari N.Thorakalis X. Nyeri
disebabkan oleh karena obstruksi lumen appendiks yang akan menyebabkan
peningkatan sekresi normal mukus dari mukosa appendiks yang distensi. Makin
lama mucus makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan
appendiks bertambah (edema). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan bawah yang hilang timbul,
nyeri tersebut merupakan nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis.
Nyeri ini disebabkan oleh sekresi mukus yang terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Kemudian hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul akan
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.
Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan
yang berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan
diaktifkan dari saluran pencernaan melalui aferen nervus vagus.
Nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang
menyebabkan nyeri somatis.
Illiopsoas sign menunjukkan peradangan dari appendiks yang letaknya
dekat dengan otot psoas. Obturator test juga positif karena gerakan rotasi dari
pinggang juga menghasilkan nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga
terletak berdekatan dengan otot obturator eksternus.
Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan respon tubuh terhadap infeksi.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini
sesuai Alvarado score dengan total skor 10, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila
skor 7-10.

Skor yang
Penilaian Skor Ajuan
Didapat
Gejala -Nyeri beralih 1 1
-Anoreksia 1 1
-Mual / muntah 1 1
Tanda -Nyeri perut kanan bawah 2 2
(Mc Burney point)
-Nyeri lepas 1 1
-Kenaikkan temperature 1 1
(> 37.5 oC)
Laboratoriu -Leukositosis (> 10.000/ul) 2 2
m -Neutrofil bergeser ke kiri 1 1
(> 72%)
Total Skor 10 10

Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotik spektrum luas golongan


sefalosporin generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan
diantaranya memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan anaerob.

BAB V
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendicitis


merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor
predisposisi dan etiologinya bisa bermacam-macam, namun obstruksi lumen
adalah penyebab utamanya.
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney
disertai nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu.
Dapat dijumpai mual, muntah, anoreksia, dan demam. Dapat dilakukan manuver
Rovsing’s sign, Blumberg sign, Illiopsoas sign, dan Obturator test dalam
membantu penegakan diagnosis.
Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah appendicitis
akut. Dari hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah
cukup terpenuhi. Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi
pasien saat pulang telah dalam keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad
bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ferri FF, 2014 .Acute appendicitis. Dalam: Ferri Fed. Ferri’s Clinical
Advisor 2014, 1sted. Philadelphia: Mosby, pp: 107-8.
2. Minkes RK. Pediatric appendicitis. Medscape reference.
http://emedicine.medscape.com/article/926795. Updated April 25, 2013.
(Accessed: Februari 23th, 2020).
3. Omar Faiz and David Moffat, 2006, Anatomy at a Glance, Surabaya:
Erlangga, pp139.
4. Eroschenko VP, 2010. Atlas histologi Difiore dengan korelasi
fungsional,edisi 11. EGC : Jakarta
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 11th Ed.
Philadelphia: Saunders. 2006.
6. Craig S. Appendicitis. Department of Emergency Medicine, University of
North Carolina at Chapel Hill School of Medicine. Update: Jan 19th 2017.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
(Accessed: Februari 23th, 2020).
7. Petroianum A, Villar Barroso TV, 2016, Pathophysiology of Acute
Appendicitis, JSM Gastroenterol Hepatol 4(3): 1062
8. Jade .R, Muddebihal. U, N. Naveen, 2016, Modified Alvarado Score and
its Application in the Diagnosis of Acute Appendicitis, international
Journal of Conteporary Medical Research, Vol. 3, Issue 5.
9. Bhatt M. Prospective validation of the pediatric appendicitis score in a
Canadian pediatric emergency department. Montreal. Thesis, McGill
University. 2008
10. Paya, Kurosh, 2008, Appendicitis in book: pediatric surgery diagnosis and
management, edition: 1 st /edne/2008, Chapter:54, Publish: Jaypee
Brothers Medical Publish LTD, pp. 596-617.

Anda mungkin juga menyukai