Anda di halaman 1dari 23

STRAUMA

Definisi Struma
Struma

disebut

juga

goiter

adalah

suatu

pembengkakan

pada

leher

oleh

karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Berdasarkan patologinya, pembesaran
tiroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998). Biasanya dianggap
membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat terjadi pada
kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau
kelebihan produksi hormon (hipertiroidisme) (Black and Hawks, 2009).

Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar Tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4cm, yaitu pada akhir bulan
pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara kantong brankial
(branchial pouch) pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian
membesar, tumbuh kearah bawah mengalami migrasi ke bawah yang akhirnya melepaskan diri
dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen
sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada
beberapa keadaan masih menetap. (Djokomoeljanto R, 2006)

Kelenjar tiroid merupakan organ kecil pada anterior leher bagian bawah, di antara
muskulus sternokleidomastoideus, yang terdiri dari dua buah lobus lateral yang dihubungkan
oleh sebuah istmus (Price & Wilson, 2006). Kelenjar tiroid dewasa berwarna coklat dan tegas
dalam konsistensi. Kelenjar tiroid terletak di leher, dibawah kartilago krikoid dan berbentuk
seperti huruf H (Black & Hawks, 2009). Dan menurut Newton, Hickey, &Marrs, (2009), kelenjar
tiroid terletak di pangkal leher di kedua sisi bagian bawah laring dan bagian atas trakea. Panjang
kelenjar tiroid kurang lebih 5 cm dengan lebar 3 cm dan berat sekitar 30 gram (Brunner &
Suddarth, 2002). Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan yodium
(Djokomoeljanto R, 2006). Kelenjar tiroid yang dimiliki wanita lebih besar dibanding laki-laki
(Seeley et al, 2007). Kegiatan metabolik pada kelenjar tiroid cukup tinggi, ditandai dengan aliran
darah yang menuju kelenjar tiroid sekitar 5 kali lebih besar dari aliran darah ke dalam hati
(Skandalakis, 2004). Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. Setiap folikel tiroid
diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram kelenjar/menit; dalam keadaan
hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar bising aliran
darah. (Djokomoeljanto R, 2006)
Suplai darah: Arteri tiroid superior timbul dari ipsilateral arteri karotis eksternal dan
dibagi menjadi anterior dan posterior cabang di apeks lobus tiroid. Arteri tiroid inferior lanjutan
dari trunkus tiroservikalis yang berasal dari arteri subklavia. Tepat pada kutub kaudal kelenjar
tiroid, arteri akan bercabang dua yaitu ramus anterior dan ramus posterior yang beranastomosa
dengan cabang arteri tiroidea superior. Arteri tiroidea ima, arteri ini berjalan ke arah isthmus,
merupakan percabangan dari arkus aorta atau a. Breakiosefalika dan memberi darah 1-2%.
Drainase vena dari kelenjar tiroid berawal dari pleksus venosus yang kemudian bergabung
menjadi tiga percabangan yaitu vena tiroidea superior yang menuju ke vena jugularis interna atau
vena fasialis, vena tiroidea media ke vena jugularis interna, vena tiroidea inferior ke vena
brakiosefalika.

Pembuluh Limfe : Tiroid mempunyai jaringan saluran getah benih yang menuju KGB di daerah
laring diatas isthmus (Delphian node), KGB paratrakeal dekat n. Rekuren, KGB bagian depan
trakea. Dari kelenjar tersebut bergabung alirannya di teruskan ke KGB rantai jugular.

Persarafan : Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid
sebelum masuk ke laring.
Fisiologi Hormon Tyroid
Sel utama yang mengeluarkan hormon tiroid tersusun membentuk folikel-folikel berisi koloid
Sel-sel sekretorik utama tiroid, yang dikenal sebagai sel folikel, tersusun membentuk bola-bola
berongga yang masing-masing membentuk unit fungsional yang dinamai folikel. Pada potongan
mikroskopis folikel tampak sebagai cincin sel-sel fplikel mengelilingi suatu lumen dibagian
dalam yang terisi oleh koloid. Bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel
untuk hormon tiroid. Konstituen utama koloid adalah suatu molekul protein besar yang dikenal
sebagai triglobulin (Tg), yang berikatan dengan hormon hormon tiroid dalam berbagai stadium
sintesis. Sel folikel menghasilkan dua hormon yang mengandung iodium yang berasal dari asam
amino tirosin: tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3). Awalan tetra dan tri
serta huruf bawah 4 dan 3 menunjukkan jumlah atom iodium yang terdapat di masing-masing
hormon ini. Kedua hormon, yang secara kolektif disebut hormon tiroid, adalah regulator penting
laju metabolik basal (BMR) keseluruhan.
Hormon tiroid disintesis dan disimpann di molekul triglobulin
Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, dimana keduanya harus
diserap dari darah oleh sel folikel. Tirosin, suatu asam amino, dibentuk dalam jumlah memadai
oleh tubuh sehingga bukan suatu zat esensial dalam makanan. Sebaliknya, iodium yang
dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid harus diperoleh dari makanan. Pembentukan,
penyimpanan, dan sekresi hormon tiroid melibatkan langkah-langkah berikut:
1. Semua tahap pembentukan hormon tiroid berlangsung di molekul triglobulin di dalam
koloid. Triglobulin itu sendiri di produksi oleh kompleks golgi/ retikulum endoplasma sel
folikel tiroid. Asam amino tirosin masuk ke dalam molekul triglobulin yang jauh lebih
besar sewaktu yang terakhir ini sedang di produksi. Setelah terbentuk, triglobulin yang
sudah mengandung tirosin diekspor dari sel folikel ke dalam koloid melalui proses
eksositosis.
2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid melalui
pompa iodium-protein protein pengangkut yang kuat dan memerlukan energi di

membran di luar sel folikel, hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan gradien
konsentrasi untuk disimpan di tiroid untuk membentuk hormon tiroid, iodium tidak
memiliki fungsi lain di tubuh.
3. Di dalam koloid, iodium cepat di letakan ke tirosin di dalam molekul tiroglobulin.
Perlekatkan satu iodium ke dalam molekul tiroglobulin. Perlekatan satu iodium ke tirosin
menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan
diiodotirosin (DIT).
4. Kemudian, terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin yang telah
beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan satu MIT (dengan satu
iodium) dan satu DIT (dengan dua iodium) menghasilkan triiodotironin atau T3 (dengan
tiga iodium). Penggabungan dua DIT (masing-masing mengandung dua atom iodium)
menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan
empat iodium. Antara dua molekul MIT tidak terjadi penggabungan.
Semua produk ini tetap melekat ke tiroglobulin. Hormon tiroid tetap tersimpan dalam bentuk ini
di koloid sampai terurai dan sekresikan. Jumlah hormon tiroid yang tersimpan normalnya dapat
memenuhi kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan.
Untuk mensekresikan hormon tiroid, sel folikel memfagosit koloid penuh tiroglobulin.
Pelepasan hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik adalah suatu proses yang agak rumit karena
dua alasan.

Pertama, sebelum pembebasannya, T3 dan T4 masih terikat di dalam molekul


tiroglobulin.

Kedua, kedua hormon tersimpan di tempat ekstrasel, lumen folikel, sehingga harus
diangkut menembus sel folikel untuk mencapai kapiler yang berjalan di ruang
interstisium di antara folikel-folikel.

Pada proses sekresi hormon tiroid, sel folikel menggigit putus sepotong koloid, menguraikan
molekul tiroglobulin menjadi bagian-bagiannya, dan meludahkan T3 dan T4 yang telah
dibebaskan ke dalam darah. Pada stimulasi yang sesuai untuk sekresi hormon tiroid, sel-sel
folikel menginternalisasi sebagian kompleks tiroglobulin-hormon dengan memfagosit sepotong
koloid. Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan lisosom, yang
enzim-enzimnya memisahkan hormon-hormon tiroid, yang aktif secara biologis, T3 dan T4, serta

iodotirosin yang inaktif, MIT dan DIT. Hormon tiroid, karena sangat lipofilik, mudah melewati
membran luar sel folikel dan masuk ke dalam darah.
MIT dan DIT tidak memiliki nilai endokrin. sel-sel folikel mengandung suatu enzim
yang secara cepat mengeluarkan iodium dari MIT dan DIT sehingga iodium yang telah bebas ini
dapat di daur ulang untuk membentuk lebih banyak hormon. Enzim yang sangat spesifik ini akan
mengeluarkan iodium hanya dari MIT dan DIT, bukan dari T3 atau T4. Setelah dikeluarkan ke
dalam darah, molekul-molekul hormon tiroid yang sangat lipofilik (dan karenanya tak larut air)
berikatan dengan beberapa protein plasma. Sebagian besar T3 dan T4 diangkut oleh thyroxinebinding globulin (TBG, globulin pengikat tiroksin) suatu protein plasma yang secara selektif
berikatan hanya dengan hormon tiroid. (Sherwood, 2011)

Sumber : Sherwood, 2011


1. Tg yang mengandung tirosin di dalam sel folikel tiroid diangkut ke dalam koloid melalui
proses eksositosi
2. Iodium secara aktif dipindahkan dari dari darah ke dalam koloid oleh sel folikel
3. A) Perlekatan satu iodium ke tirosin di dalam molekul Tg menghasilkan MIT
B) Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan DIT
4. A) Penggabungan satu MIT dan satu DIT menghasilkan T3
B) Penggabungan dua DIT menghasilkan T4
5. Pada perangsangan yang sesuai, sel folikel tiroid menelan sebagian dari koloid yang
mengandung Tg melalui proses fagositosis

6. Lisosom menyerang vesikel yang ditelan tersebut dan memisahkan produk-produk


beriodium dari Tg.
7. A) T3 da T4 berdifusi ke dalam darah.
B) MIT dan DIT mengalami deiodinasi dan iodium yang bebas di daur ulang untuk
membentuk hormon baru.
Sebagian besar T3 yang disekresikan diubah menjadi T3 di luar tiroid
Sekitar 90% dari produk sekretorik yang dibebaskan dari kelenjar tiroid adalah dalam
bentuk T4 namun T3 memiliki aktivitas biologik empat kali lebih kuat. Meskipun demikian,
sebagian besar dari T4 yang disekresikan diubah menjadi T3, atau diaktifkan, ditanggalkan satu
iodiumnya diluar kelenjar tiroid, terutama di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal
dari T4 yang telah mengalami proses penanggalan di perifer. Karena itu T3 adalah bentuk
hormon tiroid utama yang aktif secara biologis di tingkat sel, meskipun kelenjar tiroid terutama
menghasilkan T4
Hormon tiroid adalah penentu utama laju metabolik basal dan juga memiliki efek lain:
1. Efek pada laju metabolisme dan produksi panas
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh, atau laju
langsam. Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan pengeluaran
energi tubuh pada keadaan istirahat. Efek metabolik hormon tiroid berikatan erat dengan
efek kalorgenik. Peningkatan aktivitas metabolik menyebabkan peningkatan produksi
panas.
2. Efek Simptomimetik
Setiap efek yang serupa dengan yang ditimbulkan oleh sistem saraf simpatis dikenal
sebagai efek simpatomimetik (menyerupai simpatis). Hormon tiroid meningkatkan
responsivitas sel sasaran terhadap ketekolamin (epinefrin dan norepinefrin), pembawa
pesan kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis dan medula adrenal. Hormon
tiroid melaksanakan efek permisif ini dengan menyebabkan proliferasi reseptor sel
sasaran spesifik ketekolamin. Karena pengaruh pengaruh ini banyak dari efek yang

diamati ketika sekresi hormon tiroid meningkat adalah serupa dengan yang menyertai
pengaktifan sistem saraf simpatis.
3. Efek pada kardiovaskular
Melalui efek meningkatkan kepekaan jantung terhadap ketokolamin dalam darah, hormon
tiroid meningkatkan kecepatan jantung dan kekuatan kontraksi sehingga curah jantung
meningkat. Selain itu sebagai respon terhadap beban panas yang dihasilkan oleh efek
kalorigenik hormon tiroid, terjadi vasodilatasi perifer untuk membawa kelebihan panas
ke permukaan tubuh untuk dikeluarkan ke lingkungan.
4. Efek pada pertumbuhan dan sistem saraf
Hormon tiroid penting bagi pertumbuhan normal karena efeknya pada hormon
pertumbuhan (GH) dan IGF-I. Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi GH dan
meningkatkan produksi IGF-I oleh hati tetapi juga mendorong efek GH dan IGF-I pada
sintesis protein struktural baru dan pada pertumbuhan tulang. Anak dengan defisiensi
tiroid mengalami hambatan pertumbuhan yang dapat dipulihkan dengan terapi sulih
tiroid. Namun tidak seperti kelebihan GH, kelebihan hormon tiroid tidak menyebabkan
pertumbuhan yang berlebihan. Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan
normal sistem saraf, khususnya SSP, suatu efek yang terganggu pada anak dengan
defisiensi tiroid sejak lahir. Hormon tiroid juga essensial untuk aktivitas normal SSP pada
orang dewasa.
Sekresi hormon tiroid dikontrol oleh hipotalamus-hipofisis-tiroid axis. Hipotalamus
menghasilkan peptida, hormon thyrotropin-releasing (TRH), yang merangsang hipofisis untuk
melepaskan TSH atau thyrotropin. TRH mencapai hipofisis melalui sirkulasi portovenous. TSH,
sebuah glycopeptide 28-kDa, memediasi menangkap iodida, sekresi, dan pelepasan hormon
tiroid, selain meningkatkan cellularity dan vaskularisasi kelenjar tiroid. TSH reseptor (TSH-R)
milik keluarga G-proteinuria reseptor ditambah yang memiliki tujuh transmembran-spanning
domain dan menggunakan adenosin monofosfat siklik di signal transduction yang jalan. sekresi
TSH oleh hipofisis anterior juga diatur melalui umpan balik negatif oleh T4 dan T3. Karena
hipofisis memiliki kemampuan untuk mengkonversi T4 untuk T3, yang terakhir dianggap lebih
penting dalam kontrol umpan balik ini. T3 juga menghambat pelepasan TRH. Kelenjar tiroid
juga mampu autoregulasi, yang memungkinkan untuk memodifikasi fungsi independen dari
TSH. Sebagai adaptasi asupan iodida rendah, kelenjar istimewa mensintesis T3 daripada T4,

Sehingga meningkatkan efisiensi hormon yang disekresikan. Dalam situasi kelebihan yodium,
transportasi iodida, peroksida generasi, dan sintesis dan sekresi tiroid hormon yang menghambat.
dosis yang berlebihan dalam iodida mungkin memimpin untuk awal meningkat organifikasi,
diikuti oleh penindasan, fenomena yang disebut efek Wolff-Chaikoff. Epinefrin dan manusia
hormon gonadotropin chorionic merangsang tiroid produksi hormon. Dengan demikian, tingkat
hormon meningkat tiroid ditemukan pada kehamilan dan ginekologi keganasan seperti mola
hidatidosa. Sebaliknya, glukokortikoid menghambat tiroid produksi hormon. Pada pasien sakit
berat, tiroid perifer hormon dapat dikurangi, tanpa peningkatan kompensasi dalam tingkat TSH ,
sehingga menimbulkan sindrom sakit eutiroid. Hormon Fungsi tiroid. hormon tiroid bebas
memasuki membran sel dengan cara difusi atau dengan operator tertentu dan dibawa ke
membran nuklir dengan mengikat protein tertentu . T4 adalah deiodinated ke T3 dan memasuki
inti via aktif transportasi, di mana ia mengikat reseptor hormon tiroid. Itu T3 reseptor mirip
dengan reseptor nuklir untuk glukokortikoid, mineralocorticoids, estrogen, vitamin D, dan
retinoic AC id. Pada manusia, dua jenis T3 gen reseptor ( dan ) yang terletak pada
kromosom 3 dan ekspresi reseptor 17. Tiroid tergantung pada konsentrasi perifer hormon tiroid
dan adalah jaringan khusus - bentuk adalah melimpah di saraf pusat sistem, sedangkan bentuk
menonjol dalam hati. Setiap produk memiliki gen, amino - terminal ligan independen
domain; a, karboksi - terminal domain ligan - mengikat; dan berlokasi daerah DNA - binding .
Pengikatan tiroid hormon mengarah ke transkripsi dan translasi yang spesifik gen hormon responsif. Hormon tiroid mempengaruhi hampir setiap sistem dalam tubuh. Mereka penting
untuk perkembangan otak janin dan maturasi tulang. T3 meningkatkan konsumsi oksigen,
tingkat metabolisme basal, dan produksi panas oleh stimulasi Na + / K + ATPase dalam berbagai
jaringan. Ia juga memiliki inotropik positif dan efek chronotropic di jantung dengan
meningkatkan transkripsi Ca2 yang + ATPase di retikulum sarkoplasma dan peningkatan tingkat
adrenergik reseptor dan konsentrasi protein G. reseptor miokard yang menurun, dan
tindakan katekolamin diperkuat. Hormon tiroid bertanggung jawab untuk menjaga normal
hipoksia dan berkendara hiperkapnia di pusat pernapasan dari otak. Mereka juga meningkatkan
pencernaan ( GI ) motilitas, terkemuka diare pada hipertiroidisme dan sembelit pada
hipotiroidisme. Hormon tiroid juga meningkatkan omset tulang dan protein dan kecepatan
kontraksi otot dan relaksasi. Mereka juga peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis hepatik ,
usus penyerapan glukosa, dan sintesis kolesterol dan degradasi.

Epidemiologi
Menurut Penelitian Framingham, setiap orang berisiko 5-10% untuk menderita struma
nodosa dan perempuan berisiko 4 kali lipat dibanding laki-laki (Incidence and Prevalence Data,
2012). Kebutuhan hormon tiroid meningkat pada masa pertumbuhan, masa kehamilan dan
menyusui. Pada umumnya struma nodosa banyak terjadi pada remaja, wanita hamil dan ibu
menyusui. Struma nodosa terdapat dua jenis, toxic dan non toxic. Struma nodusa non toxic
merupakan struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme (Hermus& Huysmans,
2004).
Klasifikasi
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy, 2011):

Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter

(uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.


Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk nodul tiroid yaitu
nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila penangkapan yodium tidak ada
atau kurang dibandingkan dengan bagian tiroid sekitarnya. Hal ini menunjukkan aktivitas
yang rendah. Nodul hangat apabila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid lainnya. Dan nodul panas bila
penangkapan yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas

yang berlebih.
Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :


a)
b)
c)
d)

Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan


Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III : terlihat pada jarak jauh.

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Rehman, dkk,
2006) :
a) Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau struma semacam
ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis
dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan
kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap
udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,

rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan


kemampuan bicara.
c) Hipertiroidisme
Hipertiroidisme ialah suatu keadaan metabolism yang tinggi ditemukan lebih banyak
pada wanita dan disebabkan oleh meningkatnya pengaruh T4 dan T3. Paling sering
dijumpai hyperplasia toksik difus atau penyakit Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara
dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada
tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok,
dan atrofi otot
Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi (Tonacchera, dkk,
2009):
a) Struma nodosa toxic
Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa toxic dan
struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan
bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas ke jaringan lain.
Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan
yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma nodosa multinodular toxic).
Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
b) Struma nodosa non toxic
Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi menjadi
struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic. Struma nodosa non

toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma nodosa ini disebut
sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau struma nodosa koloid yang
sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan
goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Tiroiditis Hashimoto
Merupakan bentuk tiroiditis yang paling sering ditemukan. Kelainan ini termasuk penyakit
autoimun. Sering ditemukan pada wanita dengan perbandingan antara wanita dan pria 10:1.
Kebanyakan berumur 30-50 tahun, tetapi dapat juga ditemukan pada anak-anak.
Sistem imun menghasilkan antibody terdapat antigen tiroid. Di serum ditemukan autoantibodi
terhadap tiroglobulin dan TSH. Tiroid biasanya membesar, tetapi dapat pula atrofik. Kadar TSH
serum tinggi, sedangkan kadar T4 dan T3 rendah. Pada suatu saat terjadi tirotoksikosis, tetapi
dengan pelan akan menjadi hipotiroid.
Tiroiditis Riedel
Kelainan ini jarang ditemukandan penyebabnya belum diketahui. Ditandai adanya fibrosis
merusak parenkim tiroid dan meluas keluar simpai sehingga mengenai jaringan sekitarnya.
Konsistensi keras seperti kayu dan disebut tiroiditis ligneous. Karena adanya fibrosis dapat
menimbulkan gejala penekanan sehingga timbul nyeri atau sesak nafas.
Tumor
Kebanyakan karsinoma dan adenoma tiroid tidak dapat mengumpulkan yodium radioaktif
sehingga terlihat seperti tidak berfungsi (cold nodule).
1. Adenoma folikular
Adenoma folikular biasanya soliter, berbeda dengan jaringan disekitarnya dan biasanya
kecil (kurang dari 4cm).
2. Karsinoma papiler
Kasinoma papiler merupakan golongan yang paling sering ditemukan dan menempati 7080% seluruh keganasan tiroid. Adanya hubungan antara radiasi dengan timbulnya
karsinoma papiler tiroid. Setelah penyinaran pada daerah leher dan kepala pada masa
anak-anak dapat timbul karsinoma papiler 20 tahun kemudian. Kadang-kadang dapat

timbul karsinoma papiler setelah mendapat radiasi dosis tinggi didaerah leher untuk
pengobatan suatu keganasan.
Karsinoma papiler dapat ditemukan berukuran kecil dengan diameter kurang dari 1cm.
kadang-kadang tumor telah bermetastasis ke kelenjar getah bening leher tanpa adanya
pembesaran tiroid, disebut occult carcinoma. Tetapi hal ini dapat bermetastasis secara
hematogen ke paru dan jantung. Metastasis ke paru dapat bertahan sampai 10 tahun.
3. Karsinoma folikular
Karsinoma folikular menempati 5-15% dari seluruh keganasan tiroid. Pada daerah yang
kekurangan yodium, frekuensinya meningkat. Biasanya ditemukan pada penderita lebih
tua.
4. Karsinoma anaplastic
Suatu tumor tiroid dimasukkan dalam golongan karsinoma anaplastic bila sebagian atau
seluruhnya terdiri atas sel yang tidak berdiferensiasi pada pengamatan dengan mikroskop
cahaya. Karsinoma anaplastic biasanya ditemukan pada orang tua, berumur lebih dari 50
tahun pada waktu didagnosis. Massa tumor membesar dengan cepat, memberikan gejala
tekanan, misalnua sesak nafas, sulit menelan dan suara parau. Jaringan tiroid membesar,
bertonjol-tonjol, sering membesar kebawah dan metastasis ke kelenjar getah bening atau
tempat jauh misalnya tulang.
5. Karsinoma meduler tiroid
Karsinoma meduler tiroid merupakan tumor ganas, berasal dari sel C. Sel ini berada
diantara folikel dan termasuk neuroendokrin. Tumor ini jarang ditemukan, 6-10% seluruh
keganasan tiroid.
Patofisiologi
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon
tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi darah dan
ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi bentuk
yang aktif yang distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan
menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam
molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4)
menunjukan pengaturan umpan balik negatif dari seksesi TSH dan bekerja langsung pada
tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik yang tidak aktif. Akibat
kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel
menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Beberapa

obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan
pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.
Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol kebagian depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan
trakea bila pembesarannya bilateral
Seperti penyakit endokrin lainnya, penyakit kelenjar tiroid berupa:
1. Pembentukkan hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme)
2. Defisiensi produksi hormon (hipotiroidisme)
3. Pembesaran tiroid (goiter) tanpa bukti adanya pembentukan hormon tiroid abnormal.
Selain itu, pasien yang memiliki penyakit sistemik dapat mengalami perubahan metabolisme
tiroksin dan fungsi tiroid. Temuan ini dikenal sebagai sindrom sakit eutiroid atau penyakit
nontiroid.
Hipertiroidisme
Dikenal sebagai Tirotoksikosis, hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respons
jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan
ini dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid secara berlebihan. Terdapat dua tipe
hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai yaitu: 1) penyakit graves dan 2) goiter
nodular toksik.
Penyakit graves biasanya terjadi pada usia sekitar tiga puluh dan empat puluh dan lebih
sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Terdapat presdiposisi familial terhadap
penyakit ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Pada
penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya
mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid, dan
hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa
manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan.

Manifestasi ekstratiroidal penyakit graves dapat diikuti dengan gejala klinis yang
berbanding terbalik dengan beratnya hipertiroidisme. Sebagai contoh, manifestasi ini dapat tidak
ada atau dapat membaik bila hipertiroidisme minimal atau setelah dikontrol dengan pengobatan.
Penyakit graves agaknya timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum pasien
ini ditemukan antibodi imunoglobulin. (IgG). Antibodi ini agaknya bereaksi Dengan reseptor
TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi tersebut dapat
merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis, yang dapat mengakibatkan
hipertiroidisme. Imunoglobulin yang merangsang tiroid ini (TSI) mungkin disebabkan suatu
kelainan imunitas yang bersifat heriditer, yang memungkinkan kelempokan limfosit tertentu
dapat bertahan, berkembang biak dan menyekresi imunoglobulin stimulator sebagai respons
terhadap beberapa faktor perangsang. Respon imun yang sama agaknya bertanggung jawab atas
oftalmopati yang ditemukan pada pasien-pasien tersebut.
Goiter nodular toksik paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi
goiter nodular kronik. Pada pasien-pasien ini, hipertiroidisme timbul secara lambat dan
manifestasi klinisnya lebih ringan daripada penyakir Graves. Pasien mungkin mengalami aritmia
dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi digitalis.
Hipotiroidisme
Terdapat beberapa tipe hipotiroidisme. Bergantung pada lokasi timbulnya masalah,
penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai:
1. Primer, bila timbul akibat proses patologis yang merusak kelenjar tiroid, atau
2. Sekunder, akibat defisiensi sekresi TSH hipofisis.
Bergantung pada usia awitan hipotiroidisme, penyakit ini diklasifikasikan sebagai:
1. Hipotiroidisme dewasa atau miksedema,
2. Hipotiroidisme juvenilis (timbulnya sesudah usia 1 sampai 2 tahun), atau
3. Hipotiroidisme kongenital, atau kreatinin disebabkan kekurangan hormon tiroid sebelum
atau segera sesudah lahir.
Beberapa pasien dengan hipotiroidisme mempunyai kelenjar tiroid yang mengalami atrofi atau
tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan atau ablasi radioisotop, atau akibat destruksi
oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Cacat perkembangan dapat juga menjadi

penyebab tidak terbentuknya kelenjar tiroid pada kasus hipotiroidisme kongenital. Goiter dapat
terlihat pada pasien hipotiroidisme dengan dapat herediter dalam biosintesis hormon tiroid; pada
penderita seperti ini terjadi peningkatan pelepasan TSH yang menyebabkan pembesaran
tiroid.Goiter dapat juga terlihat pada penderita tiroiditis Hashimoto,suatu penyakit autoimun
yang infiltrasi limfosit dan destruksi kelenjar tiroidnya dikaitkan dengan antitriglobulin atau
antibodi mikrosomal sel antitiroid. Pasien dengan hipotiroidisme sekunder mungkin menderita
tumor hipofisis dan defisiensi hormon-hormon trofik hipofisis lainnya. Hipotiroidisme
kongenital atau kreatinisme mungkin sudah timbul sejak lahir, atau menjadi nyata dalam
beberapa bulan pertama kehidupan.
Diagnosis
Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak memiliki gejala sama sekali. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan
juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Peningkatan seperti ini jantung
menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan kelelahan. Beberapa
diantaranya mengeluh adanya gangguan menelan, gangguan pernapasan, rasa tidak nyaman di
area leher, dan suara yang serak.
Pemeriksaan fisik struma nodosa non toxic berfokus pada inspeksi dan palpasi leher untuk
menentukan ukuran dan bentuk nodular. Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan
penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.
Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi,
ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode palpasi
dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang
pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
Struma nodosa tidak termasuk kanker tiroid, tapi tujuan utama dari evaluasi klinis adalah untuk
meminimalkan risiko terhadap kanker tiroid.
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :
1. jumlah nodul

2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah
yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah
hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang
multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih
keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.

Pemeriksaan penunjang meliputi :

Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera, dkk, 2009):
1. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH.

2. Pemeriksaan radiologi.
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma yang pada

umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada leher lateral diperlukan untuk
evaluasi kondisi jalan nafas.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam pemeriksaan tiroid :

Untuk menentukan jumlah nodul.


Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik.
Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.
Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap yodium,
dan tidak terlihat dengan sidik tiroid.
Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah.
3. Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah tentang ukuran,
bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.

4. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy). Biopsi ini dilakukan khusus
pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Penatalaksanaan konservatif
Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid. Tiroksin digunakan untuk
menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker
tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah
mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat
anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimasol/karbimasol..

Terapi Yodium Radioaktif . Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis


yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien
yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi
gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini
tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium
radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di
rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi,
sebelum pemberian obat tiroksin.
-

Penatalaksanaan operatif
Tiroidektomi Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar
tiroid adalah tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal
akan menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan
tiroidektomi total, yaitu pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus
(Sudoyo, A., dkk., 2009). Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative
aman dengan morbiditas kurang dari 5 %. Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis
tiroidektomi, yaitu :
Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah
satu lobus
Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus
Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu pengangkatan satu lobus
dan istmus
Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus dan
sebagian besar lobus lainnya.
Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.
Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan
kelenjar limfatik servikal.

Komplikasi
Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi. Komplikasi pasca
operasi utama yang berhubungan dengan cedera berulang pada saraf laring superior dan kelenjar
paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi sengaja dari satu atau lebih kelenjar paratiroid

dapat menyebabkan hipoparatiroidisme dan hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau
permanen.
Pemeriksaan yang teliti tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar paratiroid yang adekuat
sangat penting untuk menghindari komplikasi ini. Namun, prosedur ini umumnya dapat
ditoleransi dengan baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal (Bliss et al, 2000).
Komplikasi lain yang dapat timbul pasca tiroidektomi adalah perdarahan, thyrotoxic
strom, edema pada laring, pneumothoraks, hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan syaraf
laringeus reccurens, dan hipotiroidisme (Grace & Borley, 2007). Tindakan tiroidektomi dapat
menyebabkan keadaan hipotiroidisme, yaitu suatu keadaan terjadinya kegagalan kelenjar tiroid
untuk menghasilkan hormon dalam jumlah adekuat, keadaan ini ditandai dengan adanya lesu,
cepat lelah, kulit kering dan kasar, produksi keringat berkurang, serta kulit terlihat pucat. Tandatanda yang harus diobservasi pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang ditandai dengan
adanya rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari tangan dan kaki, dan kedutan otot pada area
wajah (Urbano, FL, 2000). Keadaan hipolakalsemia menunjukkan perlunya penggantian kalsium
dalam tubuh. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah kelumpuhan nervus laringeus
reccurens yang menyebabkan suara serak. Jika dilakukan tiroidektomi total, pasien perlu
diberikan informasi mengenai obat pengganti hormon tiroid, seperti natrium levotiroksin
(Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini harus diminum selamanya.

Daftar Pustaka
1. Black & Hawks. (2009). Medical-surgical nursing : clinical management for positive
outcomes.8th Edition. Saunders Elsevier
2. Bliss, RD., Gauger, PG., Delbridge, LW. (2000). Surgeons approach to the thyroid gland :
surgical anatomy and the importance of technique. World Journal of Surgery. 24, 8, 891
897

3. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
4. Djokomoeljanto R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme dan Hipertiroidisme. Buku Ajar Ilmu
penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. FKUL 2006: 1955-65
5. Grace., PA & Borley., N.R. (2007). Surgery at a glance. Edisi 3. Alih bahasa dr. Vidhia
Umami. Jakarta : Erlangga Medical Series
Jakarta
6. Lang, BH. (2010). Minimally invasive thyroid and parathyroid operations : surgical
techniques and pearls. Journal of Advances in Surgery. 44,1. 185 198
7. Lewinski, A. (2002). The problem of goitre with particular consideration of goitre
resulting from iodine deficiency (I): Classification, diagnostics and treatment. Style Sheet
: http://www.nel.edu/23_4/NEL230402R04_Lewinski.htm (Diakses pada Sabtu, 23 Juli
2016 pkl. 19:19 WIB)
8. Made Nasar. 2010. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: Sagung Seto.
9. Newton, S., Hickey, M., Marrs, J. (2009). Mosbys oncology nursing advisor : a
comprehensive guide to clinical practice. Canada : Elsevier.
10. Rehman, SU., Hutchison, FN., Basile, JN. (2006). Goitre in Older Adults. Journal of
Aging Health. 2 (5). 823 831. USA : Medical Center and Medical University of South
Carolina.
11. Roy, H. (2011). Short textbook of surgery : with focus on clinical skills. New Delhi :
Jaypee Brothers Medical Publishers
12. Seeley, RR., Stephens, TD., &Tate P. (2007). Essentials of anatomy and physiology. 6 th
Edition. McGraw-Hill, Dubuque
13. Skandalakis, JE. (2004). Surgical anatomy. McGraw-Hill, New York NY
14. Sudoyo, dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
15. Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P., (2009). Assesment of nodular goiter. Journal of
best practice & research clinical endocrinology and metabolism. Pisa : Elsevier.
16. Urbano, FL. (2000). Signs of hypocalcemia : chvosteks and trousseaus signs. Style
Sheet http://www.turner-white.com/pdf/hp_mar00_hypocal.pdf (Diakses sabtu 23 Juli
2016 pk. 19.22 WIB )

Anda mungkin juga menyukai