Anda di halaman 1dari 32

I.

PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pendengaran, Penghidu, dan Keseimbangan
B. Waktu Pelaksanaan Praktikum
Hari, tanggal
: Selasa, 07 April 2014
Waktu
: 13.00 s/d 15.00
C. Tujuan praktikum
- Setelah praktikum ini praktikan diharapkan paham mengenai fungsi
-

pendengaran
Setelah praktikum ini praktikan diharapkan paham mengenai fungsi

keseimbangan
Setelah praktikum ini praktikan diharapkan paham mengenai pemeriksaan
fungsi pendengaran

D. Dasar teori
1. Gelombang suara dan fisiologi pendengaran
a. Gelombang suara
Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari
daerah-daerah bertekanan tinggi karena kompresi (pemampatan) molekulmolekul udara yang berselang-seling dengan daerah-daerah bertekanan
rendah karena penjarangan (rarefaction) molekul tersebut. Setiap alat yang
mampu menghasilkan pola gangguan molekul udara tersebut adalah sumber
suara. Suatu contoh sederhana adalah garpu tala (Sherwood, 2012).
Suara ditandai oleh (Sherwood, 2012):
1) Nada (tone)
Nada suatu suara (misalnya nada C atau G) ditentukan oleh
frekuensi getaran. Semakin besar frekuensi getaran, semakin tinggi
nada. Gelombang suara yang dapat dideteksi oleh telinga manusia
adalah mulai dari frekuensi dari 20 sampai 20.000 siklus per detik,
tetapi paling peka untuk frekuensi antara 1000 dan 4000 siklus per
detik.
2) Intensitas (kekuatan)
Intensitas suara bergantung pada amplitude gelombang suara atau
perbedaan tekanan antara daerah pemadatan bertekanan tinggi dan
daerah peregangan bertekanan rendah. Dalam rentang pendengaran,

semakin besar amplitudo, semakin keras suara. Telinga manusia dapat


mendengar intensitas suara dengan kisaran yang lebar, dari bisikan
paling lemah hingga bunyi pesawat lepas landas yang memekakkan
telinga. Kekuatan suara diukur dalam decibel (dB), yaitu ukuran
logaritmik intensitas dibandingkan dengan suara paling lemah yang
masih terdengar. Karena hubungannya yang logaritmik, maka setiap
10 dB menunjukkan peningkatan 10 kali lipat kekuatan suara.
3) Warna suara (kualitas)
Warna suara, atau kualitas suara bergantung pada overtone, yaitu
frekuensi tambahan yang mengenai nada dasar. Nada tambahan
memiliki peran menimbulkan perbedaan karakteristik suara orang.
Warna suara memungkinkan pendengar membedakan sumber
gelombang suara, karena setiap sumber suara menghasilkan pola nada
tambahan yang berbeda-beda.

Gambar 1.1 Sifat gelombang suara (Sherwood, 2012).


b. Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran terjadi mengikuti alur yang dimulai dari adanya
gelombang suara yang mencapai membran tympani. Gelombang suara yang
memiliki tekanan tinggi dan rendah berselang seling menyebabkan gendang
telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar masuk seirama dengan
frekuensi gelombang suara. Saat membran timpani bergetar rantai tulangtulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama sebagai respon
terhadap gelombang suara, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari
membrana timpani ke jendela oval. Tulang stapes yang bergetar masuk
keluar dari tingkat oval menimbulkan getaran pada perilimfe di skala
vestibuli. Oleh karena luas permukaan membran tympani 22 kali lebih
besar dari luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang

suara15-22 kali pada tingkap oval. Selain itu, efek dari pengungkit tulangtulang pendengaran juga turut berkontribusi dalam peningkatan tekanan
gelombang suara (Guyton, 2007; Sherwood, 2012).
Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval
menyebabkan timbulnya gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena
cairan tidak dapat ditekan, tekanan dihamburkan melalui dua cara sewaktu
stapes menyebabkan jendela oval menonjol kedalam yaitu, perubahan
posisi jendela bundar dan defleksi membrana basilaris (Sherwood, 2012).
Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan
di kompartemen atas, kemudian mengelilingi helikoterma, dan ke
kompartemen bawah, tempat gelombangtersebut menyebabkan jendela
bundar menonjol ke luar untuk mengkompensasi peningkatan tekanan.
Ketika stapes bergerak mundur dan menarik jendela oval ke luar, perilimfe
mengalir ke arah yang berlawanan mengubah posisi jendela bundar ke arah
dalam (Sherwood, 2012).
Pada jalur kedua, gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan
penerimaan suara mengambil jalan pintas. Gelombang tekanan di
kompartemen atas dipindahkan melalui membrana vestibularis yang tipis,
ke dalam duktus koklearis dan kemudian melalui mebrana basilaris ke
kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela
bundar menonjol bergantian (Sherwood, 2012).
Membran basilaris yang terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan
kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Getaran yang
bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi membrana
vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Sebaliknya nada rendah
akan menggetarkan bagian membrana basilaris di daerah apeks. Getaran ini
kemudian akan turun ke perilimfe skala tympani, kemudian keluar melalui
tingkap bulat ke telinga tengah untuk diredam. Karena organ corti
menumpang pada membrana basilaris, sewaktu membrana basilaris
bergetar, sel-sel rambut juga bergerak naik turun dan rambut-rambut
tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu membrana

basilaris

menggeser

(Sherwood, 2012).
Perubahan bentuk

posisinya
mekanis

terhadap
rambut

membrana
yang

maju

tektorial
mundur

ini

menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis di sel-sel rambut


terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini menyebabkan perubahan
potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian. Sel-sel rambut
berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan ujung-ujung serat saraf
aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis) (Sherwood, 2012).
Depolarisasi sel-sel rambut menyebabkan peningkatan kecepatan
pengeluaran zat perantara mereka yang menaikan potensial aksi di seratserat aferen. Sebaliknya,kecepatan pembentukan potensial aksi berkurang
ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami
hiperpolarisasi

saat membrana basilaris bergerak ke bawah. Perubahan

potensial berjenjang di reseptor mengakibatkan perubahan kecepatan


pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Cara inilah yang
digunakan agar gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang
dapat diterima oleh otak sebagai sensasi suara (Sherwood, 2012).
2. Gangguan pendengaran dan penyebabnya
a. Tuli Konduksi / Conduction Hearing Loss (CHL)
Penyebab dari tuli konduksi, misalnya Penyakit telinga luar, terdiri
dari Atresia liang telinga, Sumbatan oleh serumen, Otitis eksterna
sirkumskripta Dan Osteoma liang telinga Sedangkan pada Penyakit telinga
tengah, terdiri dari Sumbatan tuba eustachius, Otitis media, Otosklerosis,
Timpanosklerosis,

Hemotimpanum,

Dislokasi

tulang

pendengaran

(Mansjoer A, 2010).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharjan dkk tahun 2009 di
Teaching Hospital, Sinamangal, Nepal dengan penelitian yang berjudul
Observation of hearing loss in patients with chronic suppurative otitis
media tubotympanic type didapatkan hasil, bahwa terdapat hubungan yang
signifikant antara otitis media supuratif dengan terjadinya tuli konduksi, ini
terlihat dari hasil penelitian, bahwa sebanyak 119 telinga dari 100 pasien
mengalami perforasi membran tympani, dengan 72 telinga yang mengalami

perforasi MT yang luas yang terbagi pada 4 quadran menunjukkan tuli


konduksi berat, 45 telinga mengalami tuli konduksi sedang, 22 telinga
mengalami tuli konduksi sedang ringan, dan 2 telinga mengalami tuli
konduksi ringan. Sedangkan pada pasien dengan perforai kecil pada 1
quadran menujukkan sedikit penurunan pendengaran (Mansjoer A, 2010).
Dari penelitian ini pula di dapatkan hasil bahwa perforasi dibagian
posterior yang paling banyak menyebabkan tuli konduksi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara luasnya perforasi MT
dengan terjadinya tuli konduksi (Soepardi, 2010).
Tuli konduksi terjadi bila ada sesuatu bendungan yang menghalangi
proses hantaran gelombang suara, bendungan ini bisa bermacam-macam
seperti serumen, infeksi, kerusakan membran timpani maupun kerusakan
tulang pendengaran (Soepardi, 2010).
Gejala yang utama adalah adanya penurunan pendengaran dimana
Penurunan pendengaran tersebut dapat disertai dengan gejala-gejala lain
sesuai dengan penyebab tuli konduksi itu sendiri seperti rasa gatal, nyeri,
buntu, tinitus, othorea, dll (Soepardi, 2010).
Dari pemeriksaan didapatkan tanda-tanda adanya kelainan pada telinga
luar dan tengah seperti serumen pada MAE, furunkel, atresia liang
telinga,perforasi membran timpani dll (Antonelli, 2013).
Ada juga Tes Weber untuk membandingkan hantaran tulang telinga
kiri dengan telinga kanan. Caranya adalah Penala digetarkan dan tangkai
penala diletakkan di garis tengah kepala, apabila bunyi penala lebih
terdengar keras pada salah satu telinga disebut lateralisasi ke telinga
tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar
lebih keras disebut tidak ada lateralisasi. Hasil tes Weber pada penderita tuli
konduksi adalah lateralisasi ke telinga yang sakit (Mulyarjo, 2008).
Selain itu Tes Schwabach untuk membandingkan hantaran tulang
orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala dipindah ke
prosesus mastoideus pemeriksa (Mulyarjo, 2008).

Bila pemeriksa masih mendengar disebut schwabach memendek, bila


pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan meletakkan
penala pada prosesus mastoideus pemeriksa dulu, bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa sama-sama mendengarnya disebut schwabach sama. Hasil tes
Schwabach

pada

penderita

tuli

konduksi

adalah

memanjang

(Soepardi, 2012).
Penatalaksanaan dan terapi utama tuli konduksi adalah dengan
mengatasi kelainan atau penyakit yang menyebabkan tuli konduksi tersebut,
jika penyebabnya berupa Atresia liang telinga maka harus dilakukan
Operasi rekonstruksi untuk memperbaiki fungsi pendengaran dan untuk
kosmetik juga (Soepardi, 2012).
Jika Serumen, dilakukan dengan membersihkan serumen di liang
telinga bisa dengan pengait, suction, atau dengan irigasi (Soepardi, 2012).
Jika Otitis Eksterna Sirkumsripta yang dilakukan adalah Incisi dinding
furunkel

yang

ebal,

aspirasi

abcess,

antibiotika,

analgetika

(Soepardi, 2012). Osteoma liang telinga dilakukan Pengangkatan Tumor


(Pracy, 2009). Sumbatan Tuba Eustachius dilakukan pengobatan terutama
bertujuan untuk membuka kembali tuba sehingga tekanan negatif di telinga
hilang yaitu dengan pemberian tetes hidung efedrin hcl. Antibiotika
diberikan bila penyebabnya kuman (Mulyarjo, 2008).
Otitis Media diberikan pengobatan sesuai dengan macam-macam
otitis media dan stadiumnya, pengobatan bertujuan menyembuhkan
peradangan yang terjadi pada telinga tengah. Pada Otitis media supuratif
kronis dimana penderita tetap tuli walaupun sudah menjalani operasi
rekonstruksi telinga maka pasien bisa memakai alat bantu dengar
(Patrick, 2012).
Otosklerosis, pengobatan penyakit ini adalah operasi stapedektomi
atau stapedotomi dimana stapes diganti dengan bahan protesis, bila tidak
dapat dioperasi dapat digunakan alat bantu dengar untuk sementara
membantu pendengaran pasien (Mulyarjo, 2008).

Timpanosklerosis,

dilakukan timpanolasti. Hemotimpanum, kita konservatif dengan absorpsi


darah dan antibiotika (Mansjoer A, 2010).

b. Tuli Persepsi / Sensorineural Hearing Loss (SNHL)


Tuli sensorineural adalah tuli yang terjadi karena adanya gangguan
pada telinga dalam atau pada jalur saraf dari telinga dalam ke otak. Tuli
sensorineural

merupakan

masalah

bagi

jutaan

orang.

Kehilangan

pendengaran ini dibagi dalam beberapa derajat, yaitu ringan, sedang,dan


berat.Tuli ini dapat mengenai segala usia dengan etiologi yang berbedabeda.Sekitar 50% kasus merupakan faktor genetik dan 50 % lagi didapat
(acquired) (Adam, 2012)
Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan
retrokoklea. Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh kelainan kongenital,
labirintitis (oleh bakteri/virus), intoksikasi obat, selain itu juga dapat
disebabkan oleh tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan
bising.Sedangkan tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma
akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak,
perdarahan otak dan kelainan otak lainnya (Mulyarjo, 2008).
Jumlah orang Amerika dengan gangguan pendengaran memiliki
angkakejadian dua kali lipat selama 30 tahun terakhir. Berdasarkan data
yang diperoleh dari surveifederal, didapatkan prevalensi untuk individu
yang berusia tiga tahun atau lebih yangmengalami gangguan pendengaran
berkisar 13,2 juta (1971), 14,2 juta (1977), 20,3 juta(1991), dan 24,2 juta
(1993). Seorang peneliti independen memperkirakan bahwa 28,6 juta orang
Amerika memiliki gangguan pendengaran pada tahun 2000. Gangguan pendengaran
sensorineural mendadak ditemukan hanya 10-15% dari jumlah pasien.
Insidensi tahunangangguan pendengaran sensorineural diperkirakan adalah
5 sampai 20 kasus per 100.000 orang. Paparan dengan kebisingan telah
lama dikenal sebagai faktor risiko untuk gangguan pendengaran Lebih dari
30 juta orang Amerika yang terkena tingkat suara berbahaya secara teratur
(Mulyarjo, 2008).
Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (congenital),
labirinitis (oleh bakteri/virus), intoksikasi obat streptomisin, kanamisin,
garamisin, neomisin, kina, asetosal atau alkohol. Selain itu, tuli
sensorineural juga dapat disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness),

trauma kapitis, trauma akustik, dan pajanan bising. Dan tuli sensorineural
retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum,
mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, dan sebagainya
(Mulyarjo, 2008).
Perjalanan penyakit dari tuli sensorineural disebabkan oleh beberapa
hal sesuai dengan etiologi yang sudah disebutkan diatas. Pada tuli
sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam),
nervus VIII atau di pusat pendengaran. Sel rambut dapat dirusak oleh
tekanan udara akibat terpapar oleh suara yang terlalu keras untuk jangka
waktu yang lama dan iskemia. Kandungan glikogen yang tinggi membuat
sel rambut dapat bertahan terhadap iskemia melalui glikolisis anaerob
(Mulyarjo, 2008).
Sel rambut juga dapat dirusak oleh obat-obatan, seperti antibiotik
aminoglikosida dan agen kemoterapeutik cisplatin, yang melalui stria
vaskularis akan terakumulasi di endolimfe. Hal ini yang menyebabkan tuli
telinga dalam yang nantinya mempengaruhi konduksi udara dan tulang.
Ambang pendengaran dan perpindahan komponen aktif membran basilar
akan terpengaruh sehingga kemampuan untuk membedakan berbagai nada
frekuensi yang tinggi menjadi terganggu. Akhirnya, depolarisasi sel rambut
dalam tidak adekuat dapat menghasilkan sensasi suara yang tidak biasa dan
mengganggu (tinnitus subyektif). Hal ini bias juga disebabkan oleh eksitasi
neuron yang tidak adekuat pada jaras pendengaran atau korteks auditorik.
(Mulyarjo, 2008).
Kekakuan membran basilar mengganggu mikromekanik yang akan
berperan dalam ketulian pada usia lanjut. Tuli telinga dalam juga
disebabkan oleh sekresi endolimfe yang abnormal. Jadi, loop diuretics pada
dosisi tinggi tidak hanya menghambat kotranspor Na + -K+ -2Cl- ginjal,
tetapi juga di pendengaran. Kelainan genetik pada kanak K+ di lumen juga
diketahui menyebabkan hal tersebut. Kanal K+ terdiri atas dua subunit
(IsK/KvLQT1) yang juga diekspresikan pada organ lain, berperan dalam
proses repolarisasi. Defek KvLQT1 atau IsK tidak hanya mengakibatkan
ketulian, tetapi juga perlambatan repolarisasi miokardium (Mulyarjo, 2008).

Ganggguan penyerapan endolimfe juga dapat menyebabkan tuli di


mana ruang endolimfe menjadi menonjol keluar sehingga mengganggu
hubungan antara sel rambut dan membran tektorial (edema endolimfe).
Akhirnya, peningkatan permeabilitas antara ruang endolimfe dan perilimfe
yang berperan dalam penyakit Meniere yang ditandai dengan serangan tuli
dan vertigo (Mulyarjo, 2008).
Gangguan pendengaran mungkin timbul secara bertahap atau tiba-tiba.
Gangguan pendengaran mungkin sangat ringan, mengakibatkan kesulitan
kecil dalam berkomunikasi atau berat seperti ketulian. Kehilangan
pendengaran secara cepat dapat memberikan petunjuk untuk penyebabnya.
Jika gangguan pendengaran terjadi secara mendadak, mungkin disebabkan
oleh trauma atau adanya gangguan dari sirkulasi darah. Sebuah onset yang
tejadi secara bertahap bisa dapat disebabkan oleh penuaan atau tumor
(Mulyarjo, 2008).
Gejala seperti tinitus (telinga berdenging) atau vertigo (berputar
sensasi), mungkin menunjukkan adanya masalah dengan saraf di telinga
atau otak. Gangguan pendengaran dapat terjadi unilateral atau bilateral.
Kehilangan pendengaran unilateral yang paling sering dikaitkan dengan
penyebab konduktif, trauma, dan neuromas akustik. Nyeri di telinga
dikaitkan dengan infeksi telinga, trauma, dan obstruksi pada kanal. Infeksi
telinga juga dapat menyebabkan demam (Adam, 2012).
Beberapa penyakit yang dapat dijadikan sebagai diagnosis banding
tuli sensorineural,antara lain barotrauma, serebrovaskular hiperlipidemia,
efek akibat terapi radiasi, traumakepala, lupus eritematosus, campak,
multiple sclerosis, penyakit gondok, neoplasma kanal telinga, neuroma,
otitis externa, otitis media dengan pembentukan kolesteatoma, ototoxicity ,
poliartritis, gagal ginjal, dan sipilis (Mulyarjo, 2008)
Tuli sensorineural tidak dapat diperbaiki dengan terapi medis atau
bedah tetapi dapat distabilkan. Tuli sensorineural umumnya diperlakukan
dengan menyediakan alat bantu dengar (amplifikasi) khusus. Volume suara
akan ditingkatkan melalui amplifikasi, tetapi suara akan tetap teredam. Saat
ini, alat bantu digital yang di program sudah tersedia, dimana dapat diatur

untuk

menghadapi

keadaan

yang

sulit

untuk

mendengarkan

(Mulyarjo, 2008).
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh penyakit metabolik tertentu
(diabetes, hipotiroidisme, hiperlipidemia, dan gagal ginjal) atau gangguan
autoimun (poliartritis dan lupus eritematosus) dapat diberikan pengobatan
medis sesuai penyakit yang mendasarinya. Beberapa individu dengan tuli
sensorineural yang berat, dapat dipertimbangkan untuk melakukan
implantasi bedah perangkat elektronik di belakang telinga yang disebut
implan koklea yang secara langsung merangsang saraf pendengaran
(Mulyarjo, 2008).
Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural yang berat
mungkin dapat mendengar suara setelah melakukan implantasi koklea. Jika
tinitus disebabkan oleh tumor akustik, otosklerosis, atau kondisi tekanan
telinga meningkat dalam hidrolik (sindromMeniere), operasi untuk
mengangkat lesi atau menyamakan tekanan dapat dilakukan. Tinitus
berkurang atau sembuh sekitar 50% dari kasus yang berat setelah menjalani
operasi (Mulyarjo, 2008).
3. Tes pendengaran, prinsip, dan interpretasinya
a. Tes bisik
Ada 3 syarat utama bila kita melakukan tes bisik, yaitu (Soepardi, 2010) :
1) Syarat tempat
- Ruangan harus sunyi
- Tidak terjadi echo / gema. Caranya dinding dibuat tidak rata, atau
dilapis dengan soft board maupun korden.
- Jarak minimal 6 meter.
2) Syarat penderita
- Kedua mata penderita kita tutup agar ia tidak melihat gerakan bibir
pemeriksa.
- Telinga pasien yang diperiksa, dihadapkan ke arah pemeriksa.
- Telinga pasien yang tidak diperiksa, ditutup (masking). Caranya
dengan menekan tragus ke arah meatus akustikus eksternus atau
dengan menyumbat telinga menggunakan kapas yang telah dibasahi
gliserin.
- Penderita diminta mengulangi dengan keras dan jelas setiap kata
yang diucapkan pemeriksa.
3) Syarat pemeriksa

Pemeriksa membisikkan kata menggunakan cadangan udara paru-

paru setelah fase ekspirasi.


Pemeriksa membisikkan 1 atau 2 suku kata yang telah dikenal
penderita. Biasanya kita menyebutkan nama benda-benda yang ada
disekitar kita.

Teknik pemeriksaan pada tes bisik, yaitu :


Penderita dan pemeriksa sama-sama berdiri. Hanya pemeriksa yang
boleh berpindah tempat. Pertama-tama pemeriksa membisikkan kata pada
jarak 1 meter dari penderita. Pemeriksa lalu mundur pada jarak 2 meter
dari penderita bilamana penderita mampu mendengar semua kata yang kita
bisikkan. Demikian seterusnya sampai penderita hanya mendengar 80%
dari semua kata yang kita bisikkan kepadanya. Jumlah kata yang kita
bisikkan biasanya 5 atau 10. Jadi tajam pendengaran penderita kita ukur
dari jarak antara pemeriksa dengan penderita dimana penderita masih
mampu mendengar 80% dari semua kata yang kita ucapkan (4 dari 5 kata).
Kita dapat lebih memastikan tajam pendengaran penderita dengan cara
mengulangi pemeriksaan. Misalnya tajam pendengaran penderita 4 meter.
Kita maju pada jarak 3 meter dari pasien lalu membisikkan 5 kata dan
penderita mampu mendengar semuanya. Kita kemudian mundur pada jarak
4 meter dari penderita lalu membisikkan 5 kata dan penderita masih
mampu mendengar 4 kata (80%) (Soepardi, 2010).
b.

Tes Penala
Dasar fisiologi pemeriksaan:
Telinga dalam (koklea) terletak pada kavitas bertulang di dalam os
temporalis (labyrinth tulang) getaran di seluruh tulang tengkorak dapat
menyebabkan getaran pada cairan koklea (Soepardi, 2010).
Masking phenomenon adanya bunyi akan menurunkan kemampuan
seseorang mendengar bunyi lain masa refrakter relatif dan absolut
reseptor dan serat n.auditorik berkaitan dengan nada (Soepardi, 2010).
Berikut yang termasuk dalam rangkaian tes penala sebagai penilaian tuli
secara kualitatif (Soepardi, 2010) :
1) Tes Rinne
- Merupakan tes kualitatif

Tes Rinne ini bertujuan untuk membandingkan hantaran melalui


udara dan hantaran melalui tulang
Cara pemeriksaan :
a) Penala digetarkan
b) Dasar penala diletakan pada prosesus mastoideus telinga yang
akan diperiksa.
c) Jika op tidak mendengar bunyi lagi, penala di pindahkan ke

depan liang telinga, 2,5 cm dari liang telinga.


Interpretasi :
a) Normal AC : BC = 2:1
b) Rinne (+) : intensitas AC > BC Telinga normal atau tuli

saraf
c) Rinne (-) : intensitas AC < BC Tuli Konduktif
2) Tes Weber
- Tes weber ini bertujuan untuk membandingkan hantaran tulang
-

telinga kiri dengan telinga kanan.


Cara pemeriksaan :
a) Penala digetarkan.
b) Dasar penala diletakkan pada garis tengah kepala : ubunubun, glabella, dagu, pertengahan gigi seri paling sensitif)
Interpretasi :
a) Tak ada lateralisasi normal
b) Lateralisasi ke telinga yang sakit telinga tsb tuli konduktif
c) Lateralisasi ke telinga yang sehat telinga yang sakit tuli
saraf

3) Tes Schwabach
-

Tes schwabach ini bertujuan untuk membandingkan hantaran


tulang

orang

yang

diperiksa

dengan

pemeriksa

yang

pendengarannya normal.
-

Cara pemeriksaan :
a) Penala digetarkan.
b) Dasarnya diletakkan ada prosesus mastoideus op
c) Bila sudah tidak didengar lagi, penala dipindahkan pada
proc.mastoideus pemeriksa.
d) Bila masih terdengar kesan: pendengaran op memendek.
e) Bila pemeriksa juga tidak mendengar ulangi tes kembali.

f)

Penala digetarkan kembali dan diletakkan di proc.mastoideus


pemeriksa terlebih dahulu, bila sudah tidak terdengar lagi
pindahkan pada op

Interpretasi :
a) Normal apabila BC op = BC pemeriksa .
b) Bila BC op < pemeriksa Schwabach memendek telinga
op yang diperiksa tuli saraf
c) Bila BC op > pemeriksa Schwabach memanjang telinga
op yang diperiksa tuli konduktif.

c. Audiogram
Audiometri berasal bahasa Latin yaitu dari kata audire yang bearti
pendengarandan metrios yang berarti mengukur, jadi secara hafiah
audiometric adalah pemeriksaan untuk menguji fungsi pendengaran.
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level
pendengaran seseorang. Pemeriksaan audiometri dalam ilmu medis maupun
ilmu hiperkes tidak saja dapat digunakan untuk mengukur ketajaman
pendengaran, tetapi juga dapat untuk menentukan lokasi kerusakan
anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran. Alat yang digunakan
untuk menguji pendengaran adalah audiometer yang pada kedua belah
telinga secara bergantian (Asroel, 2009).
Audiometer merupakan suatu peralatan elektronik yang digunakan
untuk menguji pendengaran, dima audiometer mampu menghasilkan suara
yang memenuhi syarat sebagai bahan pemeriksa yaitu frekuensi (125-8000),
dan intensitas suara yang dapat diukur (-10 s/d 100 dB) (Asroel, 2009).

Gambar 1.2 Konsep Audiometri Dasar (Asroel, 2009)


Indikasi pemeriksaan audiometri diantaranya adalah (Asroel, 2009) :
1) Adanya penurunan pendengaran
2) Telinga berbunyi dengung (tinitus)

3)
4)
5)
6)
7)
8)

Rasa penuh di telinga


Riwayat keluar cairan
Riwayat terpajan bising
Riwayat trauma
Riwayat pemakaian obat ototoksik
Riwayat gangguan pendengaran pada keluargai.

Gangguan

keseimbanganPemeriksaan

audiometri

memerlukan

audiometri ruang kedap suara, audiologis,dan pasien yang kooperatif.


Prinsip dasar pemeriksaan audiometri ini adalah pemeriksaan pada
bermacam-macam frekunsi dan intensitas suara (dB) ditransfer melalui
headset atau bone conductor ke telinga atau mastoid dan batasan intensitas
suara (dB) pasien yang tidak dapat didengar lagi dicatat melalui program
computer atau diplot secara manual pada kertas grafik (Asroel, 2009).

Gambar 1.3 Audimeter (Asroel, 2009)


Audiogram merupakan hasil pemeriksaan dengan audiometer yang
berupacatatan grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan
audiometer, yang berisi grafik ambang pendengaran pada berbagai frekuensi
terhadap intensitas suaradalam desibel (dB). (Asroel,2009)

Gambar 1.4 Audiogram (Asroel, 2009)


Keterangan :
- Gunakan tinta merah untuk telinga kanan, dan tinta biru untuk telinga
kiri
- Hantaran udara (Air Conduction = AC)
Kanan =

Kiri

- Hantaran udara (Air Conduction = AC) dengan masking


Kanan =

Kiri

- Hantaran tulang (Bone Conduction = BC)


Kanan =

<

Kiri

>

- Hantaran tulang (Bone Conduction = BC) dengan masking


Kanan =
Kiri

- Hantaran udara (AC) dihubungkan dengan garis lurus (

) dengan

menggunakan tinta merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga
kiri.
- Hantaran tulang (BC) dihubungkan dengan garis putus-putus
( - - - - - -) dengan menggunakan tinta merah untuk telinga kanan dan
biru untuk telinga kiri.

Interpretasi audiogram :
1)
Audiogram Normal (telinga kanan)
AC dan BC berimpit atau kurang dari 25dB.

Gambar 1.5 Audiogram Normal-telinga kanan (Asroel, 2009)


2)

Gangguan Dengar Konduktif


Diagnosis gangguan dengar kondukstif ditegakkan berdasarkan
prinsip bahwa gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan
gangguan hantaran udara yang lebih besar daripada hantaran tulang,
disini terdapat ambanghantaran tulang turun menjadi 15 dB pada
200Hz (Guyton, 2007).

Penyebab ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga,


contohnya serumen, terjadinya OMA, OMSK, penyumbatan tuba
eustachius. Setiapkeadaan yang menyebabkan gangguan pendengaran
seperti fiksasikongenitalm fiksasi karena trauma, dislokasi rantai

tulang pendengaran, jugaakan menyebabkan peninggian amabang


hantaran udara dengan hantarantulang normal. Gap antara hantran
tulang

dengan

konduktif.

hantaran

udaramenunjukkan

beratnya

ketulian

Konfigurasi audiogram pada tulikonduktif biasanya

menunjukkan

pendengaran

lebih

pada

frekuensi

rendah

(Guyton, 2007).

Gambar 1.6 Gangguan dengan Konduktif (CHL) (Guyton, 2007)


3)

Gangguan Dengar Sensorineural (SNHL)


Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran
hantarantulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini
terjadi bila terdapatgangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke
pusat pendengarantermasuk kelainan yang terdapat didalam batang
otak.2 Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran
sentral) biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada
murni, namun tetap terdapat gangguan pendengaran tertentu.
Gangguan pada koklea terjadi karena dua cara, pertama sel rambut

didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapathancur. Proses ini


dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasaterpapar
bising yang lama, dapat pula terjadi kongenital. (Guyton, 2007)

Gambar 1.7 Gangguan dengan sensorineural (SNHL)


(Guyton, 2009).
4)

Gangguan Dengar Campuran


Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan
serumenyang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan
gangguanfungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran
karena sumbatankonduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang
disebabkan olehkomponen konduktif.Perbedaan anatara level hantaran
udara dan tulang dikenal sebagai jarak udara-tulang atau air-bone
gap. Jarak udara-tulang merupakan suatuukuran dari komponen
konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level hantaran udara
menunjukkan

tingkat

patologi

koklea,

kadang

disebut

sebagaicochlear reserve atau cabang koklea. (Guyton, 2007)


4. Organ keseimbangan
Telinga dalam memiliki aparatus vestibularis, komponen khusus yang
memberi informasi esensial bagi sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi
gerakan kepala dengan gerakan mata dan postur. Aparatus vestibularis terdiri
dari kanalis sirkularis dan organ otolit, yaitu utrikulus dan sakulus. Aparatus

vestibularis berfungsi untuk mendeteksi perubahan posisi dan gerakan kepala.


Semua komponen aparatus vestibularis mengandung endolimfe dan dikelilingi
oleh perilimfe, mengandung sel rambut yang berespon terhadap deformasi
mekanis yang dipicu oleh gerakan spesifik endolimfe. Sel rambut dapat
mengalami

depolarisasi

bergantung

pada

arah

gerakan

cairan

(Sherwood, 2012).
Kanalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselerasi kepala
rotasional atau angular. Masing masing telinga mengandung tiga kanalis
semisirkularis yang tersusun dalam bidang tiga dimensi yang tegak lurus satu
sama lain. Pada dasar setiap kanalis sirkularis terdapat suatu pembesaran yang
disebut ampula. Rambut rambut terbenam di dalam lapisan gelatinosa di
atasnya, disebut kupula, menonjol ke dalam endolimfe di dalam ampula.
Kupula bergoyang sesuai arah gerakan cairan. Pada awal bergerak, cairan di
dalam kanalis tidak bergerak searah dengan rotasi tetapi tertinggal di belakang
akibat inersia. Sel rambut vestibularis terdiri dari kinosilium, bersama dengan
20 sampai 50 stereosilia (Sherwood, 2012).
Sel rambut mengalami depolarisasi bergantung pada saluran ion yang
diatur secara mekanis oleh pergeseran berkas rambut. Sel rambut membentuk
sinaps dengan ujung terminal neuron aferen yang aksonnya menyatu dengan
akson

struktur

vestibularis

lain

membentuk

nervus

vestibularis

(Sherwood, 2012).
Organ otolit memberi informasi tentang posisi kepala relatif terhadap
gravitasi dan juga mendeteksi perubahan kecepatan gerakan lurus. Utrikulus
dan sakulus adalah struktur berbentuk kantung yang berada di dalam ruang
bertulang di antara kanalis semisirkularis dan koklea. Pada lapisan gelatinosa
disini terbenam banyak kristal kecil kalsium karbonat yang disebut otolit.
Utrikulus bergerak oleh setiap perubahan pada gerakan linier horizontal, saat
mulai berjalan maju mula mula membran otolit tertinggal di belakang
endolimfe dan sel rambut karena inersianya yang lebih besar. Sakulus berfungsi
serupa denga utrikulus, namun berespon secara selektif terhadap gerakan
kepala menjauhi posisi horizontal dan terhadap akselerasi dan deselerasi linier
vertikal (Sherwood, 2012).

5. Fisiologi keseimbangan
Apparatus vestibularis merupakan bagian penting dalam telinga yang
mengatur fungsi keseimbangan dan koordinasi gerakan kepala dengan gerakan
mata serta posisi tubuh. Apparatus vestibularis meliputi kanalis semisirkularis
dan organ otolit (utrikulus dan sakulus) yang terletak di bagian temporal dekat
koklea. Komponen-komponen vestibularis memiliki sel rambut yang berespons
terhadap deformasi mekanis karena rangsangan dari gerakan spesifik endolimfe
(Sherwood, 2011).

Gambar 1.8 Bagian Telinga Dalam dan Aparatus Vestibularis


(Scanlon, 2007)
Kanalis semisirkularis terdiri dari tiga saluran semisirkuler yang
berfungsi mendeteksi akselerasi, deselerasi rotasional atau angular, misalnya
ketika

mulai

atau

berhenti

berputar,

jungkir-balik,

atau

menengok.

Utrikulus mempunyai struktur seperti kantong di rongga bertulang antara


koklea dan kanalis semi sirkularis. Utrikulus mempunyai fungsi mendeteksi
perubahan kepala menjauhi sumbu vertikal dan mengerahkan akselerasi dan
deselerasi linear secara horizontal. Sakulus terletak di samping utrikulus yang
mempunyai fungsi mendeteksi perubahan posisi kepala menjauhi sumbu
horizontal dan mengarahkan akselerasi serta deselerasi linear secara vertikal
(Sherwood, 2011).

Pada

bagian

dasar

saluran

semisirkularis

terdapat

bagian

membesar yang disebut ampula. Di dalam ampula tersusun banyak sel


rambut kecil

bersilia.

Sel

rambut

berfungsi

sebagai

reseptor

dan

dinamakan krista. Krista terbenam dalam suatu zat seperti gelatin yang
disebut kupula.

Apabila

kepala

melakukan

gerakan

menggeleng,

cairan perilimfe akan bergoyang dan menstimulasi sel-sel rambut untuk


mengirimkan impuls

saraf

ke

otak.

Bagian

tersebut

yang

berperan

dalam keseimbangan gerakan. Sementara itu, vestibulum berperan saat terjadi


kesetimbangan gravitasi. Vestibulum tersusun atas dua bagian berbentuk
kantung dan berlapis sel-sel rambut serta silia. Dua bagian ini meliputi sakulus
dan utrikulus, yang di dalamnya berisi cairan endolimfe. Pada bagian
dinding sakulus dan utrikulus terdapat bagian yang tersusun dari zat kapur.
Organ otolit berperan dalam perubahan gravitasi saat kepala menunduk atau
menggeleng (tubuh bergerak), dapat menyebabkan otolit bergerak. Perubahan
posisi otolit tersebut mengakibatkan silia melengkung, sehingga menstimulasi
impuls saraf untuk dikirim menuju otak. Informasi dari otak menjadikan posisi
kepala dapat di ketahui (Sherwood, 2011).
E.

Metode pemeriksaan
1. Pemeriksaan garpu tala
Pemeriksaan

ketajaman

pendengaran

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan garputala.Garputala (tuning fork) meruapakan suatu alat


resonator akustik yang terbentuk dari logam baja berbentuk U dengan sebuah
tangkai.Garputala mampu beresonansi pada nada yang konstan sehingga dapat
digunakan sebagai standar nada dasar.Kemampuan resonansi garputala dapat
digunakan untuk memeriksa kemampuan pendengaran manusia.Pemeriksaan
garputala bertujuan untuk membedakan jenis tuli dan lokasi tuli
berada.Pemeriksaan

garputala

mewajibkan

pemeriksa

dalam

kondisi

pendengaran yang normal (Bagai, 2006).


Secara lebih spesifik, pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan
pemeriksaan, antara lain (Satyanegara, 2010) :
a. Tes Rinne

Pemeriksaan ini bertujuan untuk membandingkan konduksi tulang dan


konduksi udara. Pemeriksaan dilakukan dengan cara garputala yang
dibunyikan dan ujung pangkalnya diletakkan pada tulang mastoid pasien.
Pasien diminta untuk mendengarkan bunyinya. Apabila bunyi sudah tidak
terdengar, maka garputala didekatkan ke liang telinga. Bila masih
terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih bak dari konduksi tulang
(Rinne Positif).Dan sebalinya, jika pasien sudah tidak mendengar bunyi,
maka didapatkan Rinne Negatif. Pada pasien normal atau tuli saraf, maka
akan didapatkan konduksi udara lebih baik daripada tulang. Sedang pada
pasien tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik daripada konduksi udara
(Satyanegara, 2010).
b. Tes Weber
Tes Weber dilakukan dengan cara menggetarkan garputala, kemudian
meletakkan garputala tersebut pada bagian tengah dahi pasien. Pasien
diminta untuk mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana
bunyi terdengar lebih keras. Pada orang normal, bunyi akan terdengar sama
keras antara telinga kanan dan kiri. Pada tuli saraf, bunyi tersengar lebih
keras pada telinga sehat, sedangkan pada tuli konduktif maka bunyi akan
lebih keras pada telinga yang mengalami gangguan (Satyanegara, 2010).
c. Tes Schwabach
Tes Schwabach bertujuan untuk membandingkan pendengaran pasien
dengan pendengaran pemeriksa. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
garputala dibunyikan, kemudian ditempatkan di liang telinga pasien.
Setelah pasien tidak mendengar bunyi, garputala didekatkan ke liang
telinga pemeriksa. Apabila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka
dikatan

Schwabach

memendek

(untuk

konduksi

udara)

(Satyanegara, 2010).
Tabel 1.1 Interpretasi hasil pemeriksaan garputala (Bagai, 2006).
Tes Rinne
+ (Positif)

Tes Weber
Simetris

Tes
Schwabach
Sama

Interpretas
i
Normal

- (Negatif)

+ (Positif)

Lateralisasi

ke Memanjang

Conductiv

sisi sakit

Lateralisasi

loss (CHL)
Sensoryne

ke Memendek

sisi sehat

hearing

ural
hearing
loss
(SNHL)

2.

Audiogram
Audiologi ialah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk fungsi
pendengaran

yang

erat

hubungannya

dengan

habilitasi

dan

rehabilitasinya.Rehabilitasi ialah usaha untuk mengembalikan fungsi yang


pernah dimiliki, sedangkan habilitasi ialah usaha untuk memberikan fungsi
yang seharusnya dimiliki. Audilogi medik dibagi atas (Arsyad, 2007):
a. Audiologi Dasar
Audiologi dasar ialah pengetahuan mengenai nada murni, bising,
gangguan

pendengaran,

serta

cara

pemeriksaannya.

Pemeriksaan

pendengaran dilakukan dengan : tes penala, tes berbisik, audiometri nada


murni.
b. Audiologi Khusus
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli sensorineural
koklea dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk tuli anorganik,
audiologi anak, audiologi industri.
Pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal seperti ini,
nada murni bising NB (narrow band) dan WN (white noise), frekuensi,
intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, standar ISO dan
ASA, notasi pada audiogram, jenis dan derajat ketulian serta gap dan
masking (Arsyad, 2007).
Pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus
penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat
dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa antara 250-4000 Hz).Untuk
telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga kanan dipakai warna
merah.Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau tuli.Jenis

ketulian yaitu tuli konduksi, sensorineural atau tuli campur juga dapat ditentukan
(Soetirto, 2004).

Derajat ketulian dihitung dalam ambang dengar (AD) sebagai berikut :


AD =
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udara (AC) saja (Soetirto, 2004).
Derajat ketulian ISO (International Standard Organization)
(Soetirto, 2004) :
a)

F.
G.

0 25 dB

normal

b) >25 40 dB

tuli ringan

c)

>40 55 dB

tuli sedang

d) >55 70 dB

tuli sedang berat

e)

>70 90 dB

tuli berat

f)

>90 dB

tuli sangat berat

Alat dan bahan


1. Ruang sunyi (tingkat kebisingan 30 dB)
2. Penala berfrekuensi 512 Hz
Cara kerja
1. Tes Rinne
Tes ini dilakukan dengan cara menggetarkan garputala berukuran 512 Hz
dan meletakkannya pada processus mastoideus os temporalis. Apabila pasien
tidak dapat mendengar suara dengungan lagi, pemeriksa segera memindahkan
garputala ke 1-2 cm lateral meatus acusticus externus (Bagai, 2006).
Pasien harus memberikan tanda apabila pasien tidak dapat mendengarkan
dengungan lagi. Prinsip tes Rinne adalah membandingkan konduksi suara
melalui udara (air conduction) dengan konduksi suara melalui tulang (bone
conduction). Tes Rinne dinyatakan positif apabila AC > BC, dimana
interpretasinya bisa normal atau sensoryneural hearing loss (Bagai, 2006).
2. Tes Weber
Tes ini dilakukan dengan cara menggetarkan garputala berukuran 512 Hz
dan meletakkannya di linea mediana tepatnya di glabella os frontalis. Prinsip
dari pemeriksaan ini adalah membandingkan BC dextra et sinistra. Pasien

diminta membandingkan suara di sisi mana yang lebih terdengar jelas (Bagai,
2006).
Apabila pasien mengalami lateralisasi (suara yang menguat pada salah
satu sisi), hal ini menandakan pada sisi tersebut mungkin terjadi conductive
hearing loss maupun sensoryneural hearing loss pada sisi kontralateral.Pada
pasien sensoryneural hearing loss akan terjadi lateralisasi ke sisi yang sehat,
sedangkan pada pasien conductive hearing loss akan terjadi lateralisasi ke sisi
yang sakit (Bagai, 2006).
3. Tes Schwabah
Tes ini dilakukan dengan cara menggetarkan garputala berukuran 512 Hz
dan meletakkannya pada processus mastoideus os temporalis pasien. Prinsip
pemeriksaan

ini

adalah

membandingkan

BC

penderita

dan

BC

pemeriksa.Apabila pasien sudah tidak dapat mendengar suara dengungan lagi,


segera pindahkan garputala ke pada processus mastoideus os temporalis
pemeriksa dan memperhatikan apakah pemeriksa masih dapat mendengarkan
suara dengungan garputala.Apabila pemeriksa masih dapat mendengar suara
garputala, maka pasien diinterpretasikan mengalami sensoryneural hearing
loss (Bagai, 2006).
Sedangkan apabila pemeriksa tidak mampu mendengar suara garpu tala,
maka pemeriksa menggetarkan kembali garputala berukuran 512 Hz dan
meletakkannya pada processus mastoideus os temporalis pemeriksa.Apabila
pemeriksa sudah tidak dapat mendengarnya, segera pindahkan ke processus
mastoideus os temporalis pasien dan memperhatikan apakah pasein masih
dapat mendengarkan suara dengungan garputala.Jika pasien masih dapat
mendengarnya, maka pasien mengalami pemanjangan, sebagai gangguan
conductive

hearing

loss, sedangkan

jika

pasien juga tidak

mendengarnya, maka pasien dinyatakan normal (Bagai, 2006).

dapat

II. ISI DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Identitas Probandus :
Nama

: Lathif Suryandana

Umur

: 20 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal praktikum

: 7 April 2015

Hasil praktikum :
Rinne
Positif

Swabach
Sama dengan

AC > BC

Pemeriksa

Weber

Diagnosis

Tidak ada lateralisasi

Normal

B. Pembahasan
1. Tes Rinne
Pada praktikum ini, pemeriksaan rinne dengan cara menggetarkan garputala
berukuran 512 Hz dan meletakkannya pada processus mastoideus os temporalis.
Apabila pasien tidak dapat mendengar suara dengungan lagi, pemeriksa segera
memindahkan garputala ke 1-2 cm lateral meatus acusticus externus (Bagai,
2006).
Pasien harus memberikan tanda apabila pasien tidak dapat mendengarkan
dengungan lagi. Prinsip tes Rinne adalah membandingkan konduksi suara
melalui udara (air conduction) dengan konduksi suara melalui tulang (bone
conduction). Tes Rinne dinyatakan positif apabila AC > BC, dimana
interpretasinya bisa normal atau sensoryneural hearing loss (Bagai, 2006).
Interpretasi hasil dari tes rinne (Bagai, 2006) :
- Normal
: Positif (Pasien mendengar setelah
diletakkan di depan liang telinga)
- Tuli sensoryneural
: Positif (Pasien mendengar setelah
diletakkan di depan liang telinga)
- Tuli konduksi
: Negatif (Pasien tidak mendengar penala setelah
diletakkan di depan liang telinga). Kadang-kadang
terjadi false rinne (pseudo positif atau pseudo

negatif) terjadi bila stimulus bunyi ditangkap oleh


telinga yang tidak di tes, hal ini dapat terjadi bila
telinga yang tidak dites pendengarannya jauh lebih
baik daripada yang di tes.
2. Tes Weber
Bertujuan untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga
penderita baik telinga kanan maupun telinga kiri. Tes ini dilakukan dengan cara
menggetarkan garputala berukuran 512 Hz dan meletakkannya di linea mediana
tepatnya di glabella os frontalis. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah
membandingkan BC dextra et sinistra. Pasien diminta membandingkan suara di
sisi mana yang lebih terdengar jelas (Bagai, 2006).
Apabila pasien mengalami lateralisasi (suara yang menguat pada salah
satu sisi), hal ini menandakan pada sisi tersebut mungkin terjadi conductive
hearing loss maupun sensoryneural hearing loss pada sisi kontralateral. Pada
pasien sensoryneural hearing loss akan terjadi lateralisasi ke sisi yang sehat,
sedangkan pada pasien conductive hearing loss akan terjadi lateralisasi ke sisi
yang sakit (Bagai, 2006).
3. Tes Schwabach
Bertujuan untuk membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita
dengan pemeriksa. Tes ini dilakukan dengan cara menggetarkan garputala
berukuran 512 Hz dan meletakkannya pada processus mastoideus os temporalis
pasien. Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan BC penderita dan BC
pemeriksa. Apabila pasien sudah tidak dapat mendengar suara dengungan lagi,
segera pindahkan garputala ke pada processus mastoideus os temporalis
pemeriksa dan memperhatikan apakah pemeriksa masih dapat mendengarkan
suara dengungan garputala. Apabila pemeriksa masih dapat mendengar suara
garputala, maka pasien diinterpretasikan mengalami sensoryneural hearing loss
(Bagai, 2006).
Sedangkan apabila pemeriksa tidak mampu mendengar suara garpu tala,
maka pemeriksa menggetarkan kembali garputala berukuran 512 Hz dan
meletakkannya pada processus mastoideus os temporalis pemeriksa. Apabila
pemeriksa sudah tidak dapat mendengarnya, segera pindahkan ke processus

mastoideus os temporalis pasien dan memperhatikan apakah pasein masih dapat


mendengarkan

suara

dengungan

garputala.

Jika

pasien

masih

dapat

mendengarnya, maka pasien mengalami pemanjangan, sebagai gangguan


conductive hearing loss, sedangkan jika pasien juga tidak dapat mendengarnya,
maka pasien dinyatakan normal (Bagai, 2006).
4.

Aplikasi klinis
a. Otitis Media
Otitis media merupakan peradangan di telinga tengah. Pada otitis media
yang memiliki onset cepat dan singkat dikenal sebagai otitis media akut.
Beberapa tanda yang muncul pada otitis media akut adalah otalgia, otorrhea,
demam, mual, muntah atau diare. Pada membran timpani ditemukan penuh atau
bulging, terbatas erak pada pneumatik otoskop, dan dapat dijumpai eritem pada
membran timpani (Bluestone, 2007).
Selain eritem pada membran timpani, pada otitis media juga dijumpai
kelainan fungsi tuba eustachia yang dapat berdampak pada gejala seperti, Tuli,
otalgia, dan tinnitus. Kehilangan pendengaran merupakan komplikasi dan sekuel
tersering dari otitis media, dapat bersifat konduktif, sensorineural, atau keduanya
(Bluestone, 2007).
Tuli konduktif, baik fluktuatif maupun persisten sering muncul pada
pasien anak dengan otitis media akut yang disertai efusi. Tuli konduktif pada
otitis media, biasanya berkisar antara 15 sampai 40 dB, rata-rata kehilangan 27
dB. Fungsi pendengaran dapat kembali normal, ketika efusi pada telinga tengah
sembuh (Bluestone, 2007).
Tuli neurosensori dapat disebabkan oleh otitis media. Tuli dapat berupa
tuli ringan, sedang, berat atau profound. Tuli sensorineural yang reversible
merupakan efek dari peningkatan tekanan dan kekakuan dari membran fenestra
rotundum. Tuli sensorineural permanen disebabkan karena penyebaran infeksi
melewati membran fenestra rotundum menuju labirintus, perkembangan fistula
perilimfe di fenestra rotundum maupun vestibular, atau juga karena komplikasi
supuratif seperti labirintitis atau bahkan meningitis (Bluestone, 2007).
b. Sindroma Meniere
Sindroma Meniere adalah kelainan kronik pada telinga dalam yang
menyebabkan ketidak nyamanan dan penurunan kualitas hidup, meskipun tidak

fatal. Semua tanda berhubungan terhadap organ-organ pada telinga dalam.


Berdasarkan pedoman dari American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery (AAO-HNS), karakteristik Sindroma Meniere ditandai oleh empat
tanda dengan intensitas dan derajat yang bervariasi (Crane, 2011):
1) Vertigo. Sebuah sensasi berputar. Biasanya episodik dan bervariasi dari
ringan ke berat. Durasi vertigo pada sindroma Meniere berkisar selama
20 menit.
2) Tuli sensorineural frekuensi rendah
3) Tinnitus
4) Telinga terasa penuh
Banyak hipotesis diajukan tentang etiologi sindroma Meniere sejak pertama
kali di deskripsikan pada tahun 1861. Komponen genetik merupakan faktor
predisposisi yang dikenal menjadi pemicu sindroma meniere. Selain faktor
genetik, sindrom Meniere juga dapat dipicu pada keadaan berikut (Crane, 2011):
1) Otitis media. Infeksi berulang pada telinga dapat menyebarkan agen
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)

infeksius ke koklea atau sakus endolimfe


Reaksi alergi
ISPA
Kehamilan
Stress psikologis
Kelelahan
Kafein
Alkohol
Perubahan tekanan barometrik
Trauma akustik atau fisik

Tuli pada sindroma Meniere adalah tuli sensorineural, disebabkan oleh


destruksi sel rambut pada koklea, yang berfungsi menghantarkan suara menjadi
impuls. Pemeriksaan tuli pada sindroma Meniere harus di uji menggunakan
audiometri. Terdapat dua tipe tuli yang menyerang pasien dengan sindroma
Meniere: pertama tipe sementara, yaitu tuli ringan sampai sedang selama
serangan vertigo dan lambat. Kedua, tipe permanen, disebabkan oleh destruksi
sel rambut akibat episode Meniere berulang (Crane, 2011).
Diagnosis sindroma Meniere ditegakkan berdasarkan: riwayat penyakit
dahulu dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab (hitung jenis lengkap untuk

mengetahui infeksi, pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit metabolik, gula


darah,

kolesterol),

audiometer,

tes

keseimbangan

(menggunakan

elektronistagmogram, tes romberg, manuver dix-halpike, dan tes rotasi), dan


radiologi (CT scan untuk mencari massa abnormal di kepala, MRI untuk mencari
tumor yang mungkin tumbuh di sepanjang nervus Vestibulokoklear, HRCT untuk
mengobservasi

perubahan

struktur

tulang

karena

otosklerotik)

(Crane, 2011).
c. Presbikusis
Presbikusis adalah tuli sensorineural pada usia lanjut mulai usia 65 tahun
akibat proses degenerasi organ pendengaran, simetris (terjadi pada kedua sisi
telinga) yang terjadi secara progresif lambat, dapat dimulai pada frekuensi
rendah atau tinggi serta tidak ada kelainan yang mendasari selain proses menua
secara umum (Soepardi, 2007).
Gacek dan Schucknecht mengidentifikasi 4 lokasi penuaan koklea dan
membagi presbikusis menjadi 4 tipe berdasarkan lokasi tersebut. Perubahan
histologi kini berhubungan dengan gejala yang timbul dan hasil pemeriksaan
auditorik. Prevalensi terbanyak menurut penelitian adalah jenis metabolic 34,6%,
jenis lainnya neural 30,7%, mekanik 22,8% dan sensorik 11,9%. Adapun
keempat tipe dari prebikusis adalah presbikusis sensorik, presbikusis neural,
presbikusis metabolic (Strial presbyacusis), dan presbikusis mekanik( Cochlear
presbykusis) (Muyassaroh, 2013).
Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara
perlahan-lahan dan progresif, simetris pada kedua telinga. Kapan berkurangnya
pendengaran tidak diketahui pasti. Keluhan lainnya adalah telinga berdenging
(tinitus nada tinggi). Pasien dapat mendengar suara percakapan, tetapi sulit untuk
memahaminya, terutama bila diucapkan dengan cepat di tempat dengan latar
belakang yang bising (cocktail party deafness). Bila intensitas suara ditinggikan
akan timbul suara nyeri di telinga, hal ini disebabakan oleh faktor kelemahan
saraf (recruitment) (Soepardi, 2007).
Pemeriksaan fisik pada penderita biasanya normal setelah pengambilan
serumen yang merupakan problem pada penderita usia lanjut dan penyebab
kurang pendengaran terbanyak. Pada pemeriksaan otoskopi, tampak membran

timpani normal atau bisa juga suram, dengan mobilitas yang berkurang.
Pemeriksaan tambahan tes penala Uji rinne positif Hantaran Udara Hantaran
Tulang, Uji Weber, Uji Schwabach memendek (Soepardi, 2007).
Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan
audiometri. Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan suatu tuli
sensorineural nada tinggi bilateral dan simetris. Pemeriksaan audiometri nada
murni ditemukan perurunan ambang dengar nada murni yang menunjukkan
gambaran tuli sensorineural. Pada tahap awal terdapat penurunan yang tajam
(sloping) setelah frekuensi 1000 Hz. Penatalaksanaan prebikusis bertujuan untuk
memperbaiki efektifitas pasien dalam berkomunikasi dan memaksimalkan
pendengaran pasien, atau yang biasa disebut dengan rehabilitasi (Dewi, 2011).

III. KESIMPULAN
1. Proses pendengaran terjadi mengikuti alur yang dimulai dari adanya gelombang
suara yang mencapai membran tympani. Saat membran timpani bergetar rantai
tulang-tulang juga bergerak dengan frekuensi sama sebagai respon terhadap
gelombang suara, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membrana
timpani ke jendela oval. Tulang stapes yang bergetar masuk keluar dari tingkat
oval menimbulkan getaran pada perilimfe di skala vestibuli. Pergerakan dari
perilimfe ini yang nantinya akan menghasilkan gerakan dari sel-sel rambut luar
dan dalam sehingga impuls mekanik dapat diubah menjadi impuls listrik untuk
kemudian dihantarkan ke otak.
2. Apparatus vestibularis merupakan bagian penting dalam telinga yang mengatur
fungsi keseimbangan dan koordinasi gerakan kepala dengan gerakan mata serta
posisi tubuh. Apparatus vestibularis meliputi kanalis semisirkularis dan organ
otolit (utrikulus dan sakulus) yang terletak di bagian temporal dekat koklea.
Kanalis semisirkularis bergerak sebagai respon keseimbangan terhadap gerakan
rotasi kepala, sedangkan organ otolit bergerak sebagai respon keseimbangan
terhadap gerakan kepala linier baik vertikal (utrikulus) maupun horizontal
(sakulus).
3. Terdapat dua jenis pemeriksaan untuk menilai fungsi pendengaran yaitu
penilaian secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk penilaian secara kualitatif dapat
digunakan tes Penala maupun tes bisik, tes ini hanya dapat mengidentifikasi jenis
kelainan. Sedangkan untuk penilaian secara kuantitatif dapat dilakukan
menggunakan Audiometri, pemeriksaan ini selain dapat digunakan untuk
menjelaskan jenis kelainan dapat juga untuk identifikasi derajat keparahan.

Anda mungkin juga menyukai